PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMBERIKAN PUTUSAN TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BAYI OLEH IBU KANDUNG DI PENGADILAN NEGERI KARANGANYAR

(1)

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMBERIKAN PUTUSAN TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BAYI OLEH IBU

KANDUNG DI PENGADILAN NEGERI KARANGANYAR

Penulisan Hukum

( Skirpsi )

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Oleh

Sry Handayani Nainggolan

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET


(2)

(3)

(4)

(5)

commit to user

Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna.( Einstein )

Orang yang berhasil akan mengambil manfaat dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan, dan akan mencoba kembali untuk melakukan dalam suatu cara yang

berbeda. ( Dale Carnegie)

Bagian terbaik dari hidup seseorang adalah perbuatan-perbuatan baiknya dan kasihnya yang tidak diketahui orang lain. ( William Wordsworth )

Tugas kita bukanlah untuk berhasil.

Tugas kita adalah untuk mencoba, karena didalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil.

(Mario Teguh)


(6)

commit to user Penulisan Hukum ini Penulis persembahkan untuk :

1. Tuhan Yang Maha Esa, atas segala anugerah yang diberikan-Nya kepada

penulis.

2. Papa dan mama tercinta sebagai rasa terima kasih penulis karena cinta dan kasih sayang serta dukungan yang telah di berikan.

3. kakak dan adik tercinta penulis atas perhatian dan dukungan. 4. Seseorang yang telah memberikan perhatiannya kepada penulis .

5. Seluruh keluarga besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret


(7)

commit to user

SRY HANDAYANI NAINGGOLAN, E1107215. PERTIMBANGAN HAKIM

DALAM MEMBERIKAN PUTUSAN TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BAYI OLEH IBU KANDUNG DI PENGADILAN NEGERI KARANGANYAR. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penulisan Hukum (Skripsi) 2011.

Penelitian Hukum ini bertujuan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan terhadap tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandung dan hambatan-hambatan yang dihadapi hakim dalam kasus pembunuhan bayi oleh ibu kandung. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : jenis penelitian hukum sosiologis atau empiris, sifat penelitian deskriptif, pendekatan penelitian menggunakan pendekatan sosiologis, jenis data adalah data primer dan data sekunder, sumber data adalah sumber data primer dan sumber data sekunder, sumber data primer yaitu data hasil penelitian atau riset dengan wawancara terhadap hakim Bunga Lilly S.H di lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Karanganyar, sumber data sekunder yaitu putusan pengadilan, buku literatur, peraturan perundang-undangan, jurnal-jurnal hukum, dan laporan penelitian, teknik pengumpulan data melalui studi lapangan dan studi kepustakaan, teknik analisis data menggunakan teknik analisis data kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim pada setiap kasus berbeda berdasarkan fakta di persidangan namun tetap pada aturan hukum yang berlaku. Dalam kasus pembunuhan bayi oleh ibu kandung dengan putusan No.75/Pid.B/2010/PN.Kray memakai Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Pertimbangan hakim selain mempertimbangkan faktor yuridis juga

mempertimbangkan faktor non yuridis dimana dalam kasus seperti akan terlihat lebih menonjol karena adanya hubungan istimewa antara korban dengan terdakwa.Hambatan yang di hadapi oleh majelis hakim akan sangat berbeda dalam setiap kasusnya namun tidak akan jauh berbeda antara satu dengan lainnya,dan dapat di selesaikan dengan adanya kerjasama masing-masing unsur dalam persidangan tersebut( Hakim, Jaksa, Pengacara, Terdakwa).

Impilikasi teoritis adalah dapat memberi gambaran tentang hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusannya terhadap terdakwa tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya sehingga tercipta suatu keadilan sedangkan implikasi praktisnya adalah dapat dipakai sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pihak-pihak atau instansi terkait dalam rangka menangani tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya khususnya di Pengadilan Negeri Karanganyar.

Kata Kunci :Pembunuhan,Pertimbangan Hakim,Pembunuhan Bayi Oleh Ibu Kandung.


(8)

commit to user

SRY HANDAYANI NAINGGOLAN, E1107215, CONSIDERATION

OF JUDGE GIVES VERDICT IN MURDER OF BABIES BY CRIME

biological mother IN KARANGANYAR JUSTICE COURT . Law Faculty of Sebelas Maret University. Thesis 2011.

Legal Research aims to find out the basic considerations in giving the verdict the judge to criminal infanticide by the mother and the obstacles faced by the judge in the case of infanticide by the mother. The research method used in the writing of this law are asfollows: type of sociological or empirical legal research, the nature of descriptive research, the research approach using asociological approach the type of data is primary data and secondary data, data source is a sourceof primary data and secondary data sources, sources primary data is data or research findings with interviews of judges Bunga Lilly SH at research sites in the District Court Karanganyar, secondary data sources are court decisions, books of literature, legislation, law journals, and research reports, data collection techniques through field studies and literature studies, data analysis techniques using qualitative data analysis techniques.

The results show that consideration of the judge in each case is different based on the facts at the trial but still the rule of law. cases infanticide by the mother with the decision No.75/Pid.B/2010/PN.Kray using Article 44 paragraph (3 ) Law Number 23 Year 2004 on Elimination of Domestic Violence. Judges consider factors other than juridical also consider non-juridical factors which in such cases would appear more prominent because of the special relationship between the victim with defendant. faced by the judges ach would be very different in his case but will not be much different between with others, and can be resolved with the cooperation of each element in the trial (judge , prosecutor, lawyer, defendant).

Implication theoretical description is able member of the matter to consideration the judge in giving its verdict against defendant's criminal infanticide by the mother so as to create a justice while the practical implication is that it can be used as an input and consideration for the parties or related institutions in order handle criminal infanticide by the mother, especially in the District Court Karanganyar.

Keywords: Murder, Considerations Justice, Infaticide


(9)

commit to user

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

hukum (Skripsi) yang berjudul “PERTIMBANGAN HAKIM DALAM

MEMBERIKAN PUTUSAN TERHADAP TINDAK PIDANA

PEMBUNUHAN BAYI OLEH IBU KANDUNG DI PENGADILAN NEGERI KARANGANYAR”.

Penulisan hukum ini membahas mengenai pertimbangan hakim dalam memutus pada kasus pembunuhan bayi oleh ibu kandung dan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh hakim dalam memberikan putusan dalam tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandung di Pengadilan Negeri Karanganyar.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, maka saran serta kritik dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk memperkaya karya tulis ini.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran, dan dorongan bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikanterutama kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini. 2. Bapak R. Ginting S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini.

4. Bapak Sabar Slamet, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang senantiasa memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini.

5. Ibu Zeni Lutfiah, S.Ag., M.Ag., selaku Pembimbing Akademik yang senantiasa membimbing penulis untuk lebih berprestasi.


(10)

commit to user

telah bersedia meluangkan waktu untuk wawancara, sehingga penulis dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam penulisan hukum ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan hukum ini.

8. Papa dan mama tercinta di rumah, yang telah membesarkan penulis, selalu memberikan kasih sayang, dan semangat, serta mengajarkan banyak kebaikan dan kesabaran kepada penulis.

9. Abang Harrys Andi Nainggolan dan adik Herixson Stephanus Nainggolan tersayang yang selalu memberi masukan dan dukungan dalam segala hal. 10. Semua pihak yang membantu terselesaikannya penulisan hukum ini, yang

tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga penulisan hukum ini dapat berguna bagi kita semua, terutama untuk penulisan, kalangan akademisi, praktisi serta masyarakat umum.

Surakarta, Juli 2011


(11)

commit to user

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... . viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... . 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Metode Penelitian ... 7

F. Sistematika Penulisan Hukum ... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………. . 15

A. Kerangka Teori ... 15

1. Pengertian Hakim….. ... 15

2. Putusan Pengadilan ………... ... 21

3. Tindak Pidana………... 26

4. Tindak Pidana Pembunuhan Bayi ………... 29

B. Kerangka Pemikiran ... 34

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 37

A. Hasil Penelitian ... 37

1. Posisi Kasus……….. .. ... 37


(12)

commit to user

4. Analisis Kasus………. 61

B. Pembahasan ……… 63

1. Faktor Yuridis dan Faktor Non Yuridis ……… 65

2. Hambatan-Hambatan Yang Di Hadapi Hakim ………… 68

BAB IV PENUTUP ... 71 A. Simpulan ... 71 B. Saran ... 72 DAFTAR PUSTAKA


(13)

commit to user


(14)

commit to user Lampiran I. Putusan Nomor 75/Pid.B/2010/PN.Kray.

Lampiran II.Surat Ijin Penelitian dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Lampiran III. Surat Ijin Penelitian dari Pengadilan Negeri Karanganyar.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini Indonesia memasuki suatu era baru dimana semua hal dapat dilakukan dengan sangat mudah. Semua itu dilakukan karena adanya perkembangan-perkembangan baru yang ada di dalam masyarakat dalam berbagai hal. Misalnya saja di bidang teknologi informasi, banyaknya penemuan teknologi baru khususnya di bidang telekomunikasi mempertinggi kemampuan seseorang dalam berkirim informasi satu sama lain. Setiap negara di dunia berlomba-lomba dalam hal pembangunan fisik dan seringkali pembangunan mental spiritual terlupakan, yang sebenarnya sangat penting agar suatu negara tidak kehilangan identitasnya sebagai suatu negara yang bermoral dan berbudaya.

Pembangunan nasional yang diselenggarakan oleh bangsa Indonesia merupakan suatu proses yang memerlukan perencanaan dan terarah dalam setiap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Suatu pembangunan harus menciptakan keseimbangan kemajuan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dan IMTAK (Iman dan Takwa ). Hal ini berati pembangunan tersebut melingkupi pembangunan lahiriah dan pembangunan mental masyarakat sehingga kedua hal tersebut dapat saling melengkapi satu sama lain dalam perjalanan pembangunan nasional. Tujuan pembangunan nasional tersebut tentunya tidak dapat terwujud dengan mulus melainkan harus berhadapan dengan hambatan-hambatan yang akan dihadapi dalam pembangunan. Kerjasama dan dukungan dari berbagai aktor pendukung pembangunan sangat diperlukan antara lain peran masyarakat.

Masalah sosial yang sering terjadi saat ini adalah mengenai pornografi dan pornoaksi sehingga jika tidak diatasi maka akan merusak moral bangsa. Hal ini ditunjang peranan media massa dewasa ini, dalam mempengaruhi masyarakat baik


(16)

media cetak maupun elektronik. Informasi-informasi dari internet yang tidak bisa di kontrol oleh pihak yang berwajib bisa menjadi salah satu sumbernya. Dalam suatu masyarakat yang tidak mengetahui dengan jelas batasan pornografi kebanyakan wanitanya telah kehilangan perasaan malu. Pola hidup mewah kebanyakan dambaan para wanita. Pornografi bermasalah karena pada dasarnya pornografi dan pornoaksi adalah suatu bentuk kejahatan terhadap nilai-nilai sosial. Pornografi secara sengaja merendahkan dan melecehkan kaum perempuan menjadi sekedar objek seks yang tidak bermartabat dan pantas di ekspolitasi. Pornografi juga sangat mungkin mendorong keinginan seks yang pada gilirannya menyebabkan setumpuk penyakit seperti AIDS.

Tahun ini penderita HIV atau AIDS di Indonesia terus bertambah jumlahnya mencapai 22.000 kasus positif. Di Sumatera terdapat 485 orang positif HIV atau AIDS dengan jumlah kematian mencapai 93 orang meninggal dunia. Penderita terbanyak berada di DKI Jakarta sebanyak 3.740 penderita dan 552 penderita telah meninggal dunia. Dilanjutkan Jawa Barat dengan 3710 penderita dan 663 telah meninggal, Jawa Timur dengan 3.540 penderita dan 732 meninggal, Papua dengan 2.585 penderita dan 373 meninggal. Di peringkat kelima ditempati Bali dengan 1.747 penderita dengan 311 telah meninggal. Selanjutnya Jawa Tengah dengan 819 penderita dan 265 meninggal. Diperingkat 7 ada Kalimantan Barat dengan 794 penderita dan 107 meninggal. Kedelapan ada Sulawesi Selatan dengan 591 menderita dan 62 meninggal. Kesembilan ada Sumatera Utara dengan 485 penderita dan 93 meninggal disusul Riau dengan 477 penderita dan 132 meninggal. Yang memperhatinkan dari jumlah itu lebih dari separuhnya adalah remaja usia 18-25 tahun. Hal ini menandakan semakin banyak generasi muda yang harus mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi di rumah dan di sekolah (Kementrian

Pendidikan Nasional. Penderita HIV atau AIDS Terus Bertambah.

http://bkkbn.go.id/ artikel.html>( 23 Desember 2010 pukul 13.00 ). Selain ada penyakit menular seksual lainnya pemerkosaan, kehamilan remaja, aborsi, perselingkuhan, perceraian, hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, pelacuran dan


(17)

homo seksual atau lesbian dan sebagainya. Pornografi dan pornoaksi di media massa telah merebak dan menjadi masalah yang meresahkan masyarakat karena mempengaruhi perkembangan moral dan mengarah kepada norma agama dan norma yang berlaku di masyarakat.

Pornografi tidak akan menjadi masalah apabila tidak membawa dampak negatif bagi masyarakat. Terlebih bagi masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan dan moral agama. Pornografi berpengaruh nyata terhadap rusaknya moral masyarakat. Kondisi masyarakat Indonesia mengakibatkan terjadinya pergeseran-pergeseran nilai negatif. Dimana masyarakat hanya mementingkan kepentingan pribadinya sendiri tanpa mementingkan kepentingan yang ada di masyarakat itu sendiri, sehingga memunculkan tindak kriminalitas. Seseorang tidak dapat membedakan baik dan buruk yang pada akhirnya akan muncul suatu masyarakat yang hanya memikirkan kesenangan dunia seperti free sex (seks bebas), pelacuran, pembunuhan, perjudian, pemerkosaan, kenakalan remaja. Kerusakan moral mengakibatkan seseorang tidak mengindahkan norma-norma kesusilaan yang ada di masyarakat yang mengakibatkan tingkat kriminalitas menjadi meningkat.

Suatu tindakan pembunuhan bayi oleh ibu kandung ( infanticide ) yang sering terjadi adalah karena pemerkosaan atau seks bebas. Dalam pemerkosaan maka jelas pihak perempuan yang dirugikan baik lahir maupun batin karena mengandung bayi yang sebenarnya tidak ia inginkan dan tidak menikmati hubungan badan antara dirinya dengan pemerkosa. Sedangkan pada seks bebas kedua belah pihak laki-laki maupun perempuan melakukannya atas dasar suka sama suka dan bayi yang dikandung pihak perempuan suka atau tidak suka merupakan akibat dari hubungannya tersebut ( kehamilan di luar nikah ). “Berbeda dengan abortus yang dari segi hukum mempunyai arti setiap keluarnya janin sebelum berakhirnya masa kehamilannya yang lengkap atau viable” ( Sofwan Dahlan,1989:118). Sedangkan pada pembunuhan bayi sendiri ( infanticide ) mempunyai arti setiap janin setelah masa kehamilannya lengkap dimana bayi tersebut lahir dalam keadaan hidup, dan perbuatan yang dapat di hukum unsur-unsur diterangkan dalam Pasal 341 KUHP.


(18)

Infanticide atau pembunuhan bayi sendiri adalah dimana seorang wanita dengan sengaja atau karena kelalaiannya mengakibatkan kematian atas anaknya yang berumur di bawah 12 bulan. Namun pada saat tindakan ataupun kelalaiannya tersebut terjadi, didapatkan gangguan mental dikarenakan oleh alasan belum pulihnya efek dari kelahiran anaknya, atau efek dari menyusui sebagai konsekuensi melahirkan bayi tanpa perkecualian. Hal tersebut dapat dinyatakan sebagai pembunuhan, dan dinyatakan bersalah sebagai infanticide.

Kesan yang didapat dari beberapa definisi tentang infanticide atau pembunuhan bayi sendiri adalah merujuk kepada pelaku adalah ibu dari korban, dengan korban adalah anak-anak yang dititik beratkan pada bayi, yaitu dengan usia dibawah 12 bulan. Secara umum infanticide juga bisa dilakukan oleh orang tua secara umum, yang di dunia barat dikenal dengan filicide. Filicide adalah pembunuhan terrhadap seorang anak oleh orang tua nya sendiri. Filicide sendiri lebih spesifik menggambarkan adanya pembunuhan bayi dibawah 12 bulan, pada saat 24 jam setelah kelahiran, kurang dari pada itu disebut neonaticide.

Motif takut ketahuan ia melahirkan anak ( bayi ). Motif ini dikaitkan dengan kultur didalam masyarakat Indonesia yang menanggap tabu melahirkan anak tanpa suami. Andaikata seseorang wanita membunuh bayinya sendiri yang baru dilahirkan dari perkawinan yang sah, maka pembunuhan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pembunuhan bayi sendiri (infanticide) sebab ia tidak mempunyai alasan yang kuat untuk takut ketahuan bahwa ia melahirkan anak ( Sofwan Dahlan,1989:125 ).

Alasan dari timbulnya motif yang demikian tidaklah merupakan syarat dalam kejahatan Pasal 341 KUHP, asal motif takut diketahui bahwa ia melahirkan sudah ada alasan dari sebab takutnya itu tidaklah merupakan hal yang penting benar. Biasanya hal ini dilakukan karena sang ibu merasa malu dan takut diketahui oleh masyarakat umum dan atau keluarga dengan kelahiran bayi tersebut. Pihak perempuan juga harus menerima hukuman moral dari masyarakat sekitar seperti dikucilkan. Tindak pidana ini menggoyahkan keseimbangan sosial dalam masyarakat, karena masyarakat


(19)

menganggap kejadian ini selain tidak ada rasa kemanusiaan, dimana seorang ibu kandung tega membunuh bayinya sendiri, juga tidak ada rasa kesusilaan pada pelaku yang tidak mengindahkan norma agama dan budaya timur. Tidak seharusnya jika bayi yang lahir dari perbuatan asusila pelaku membunuh, hanya untuk menutupi rasa malu dan menghilangkan jejak perbuatan yang tidak bertanggung jawab.

Dalam penetapan berat ringannya pidana, pengadilan harus

rnempertimbangkan untung rugi (dari pidana tersebut kepada pelaku). Hal yang turut dipertimbangkan adalah motivasi dan maksud serta tujuan dari pelaku. Keadaan kesehatan jiwa, niatan yang tercermin dari perbuatannya, latar belakang pelaku, situasi ekonomi pelaku dan sikapnya sekarang terhadap tindak pidana yang ia lakukan (apakah ada penyesalan atau tidak).

“Namun ada hal pokok, pembedaan hukuman pembunuhan bayi sendiri (infanticide) yaitu lebih ringan dari pembunuhan (murder) disebabkan karena dilihat dari sudut keseimbangan, bahwa pelaku telah mendapat hukuman moril yaitu timbulnya rasa bersalah dan menyesal mengakibatkan telah menjalani hukuman lebih berat dari hukuman penjara” (Adami Chazawi, 2001: 96).

Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana ini harus mempertimbangkan faktor sosiologis dari masyarakat yang mengganggap bahwa perbuatan ini tidak seharusnya dilakukan oleh seorang ibu dan mengingat adanya hubungan batin antara korban dan pelaku. Tindak pidana pembunuhan bayi sendiri ini pada dasarnya penanganannya sama dengan tindak pembunuhan lainnya hanya saja ada suatu perbedaan yaitu adanya hubungan emosional antara ibu sebagai pelaku dan anak sebagai korban, juga adanya suatu yang bertentangan, karena dalam tindak pidana ini pelaku sekaligus sebagai korban juga, dikarenakan yang dibunuh adalah anaknya, sehingga menjadikan tindak pidana ini menarik untuk diteliti.

Berdasarkan latar belakang inilah penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana tersebut. untuk itu penulis dalam penyusunan skripsi ini mengangkat Judul PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMBERIKAN PUTUSAN


(20)

TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BAYI OLEH IBU KANDUNG ( Studi Di Pengadilan Karanganyar ).

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan bagian yang sangat penting didalam suatu penelitian, karena dengan perumusan masalah tersebut berati seorang peneliti telah mengidentifikasi persoalan yang akan diteliti sehingga sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, tegas, terarah dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan. Bertolak dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memberikan putusan terhadap perkara tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya di Pengadilan Negeri Karanganyar?

2. Hambatan-hambatan apakah yang dihadapi hakim dalam memberikan putusan dalam perkara tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandung?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memberikan putusan terhadap perkara tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya di PN Karanganyar.

b. Untuk mengetahui hambatan - hambatan yang dihadapi oleh hakim dalam memberikan putusan perkara tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis mengenai hukum acara pidana, khususnya yang menyangkut mengenai tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya.


(21)

b. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar akademik sarjana dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Mamfaat Penelitian

Dari setiap penelitian diharapkan memberikan suatu mamfaat dan kegunaan yang dapat ditarik dari penelitian tersebut.

1. Mamfaat Teoritis.

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan mamfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum dan bidang Hukum Pidana pada khususnya.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan masukan bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya.

c. Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusannya terhadap terdakwa tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya. 2. Manfaat Praktis

a. Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang akan diteliti. b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi untuk

penelitian-penelitian serupa di masa yang akan datang.

c. Membantu dan memberi masukan dan pemahaman tentang

pertimbangan hakim dalam memberikan suatu putusan kepada masyarakat banyak.

E. Metode Penelitian

Berdasarkan pada masalah yang diajukan penulis tentang pembunuhan bayi oleh ibu kandung , maka penulis di dalam penulisan hukum ini menggunakan jenis penelitian dalam bentuk penulisan hukum yang bersifat empiris yaitu penelitian hukum yang menggunakan data primer dan data sekunder. Penelitian hukum adalah suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan


(22)

jalan menganalisanya. Selain itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut dan mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.

Suatu penelitian dapat berjalan dengan baik apabila menggunakan suatu metode penelitian yang baik dan tepat. “Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman tentang cara-cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisa, dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi” (Soerjono Soekanto,2006:6). Maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

1. Jenis Penelitian.

Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum sosiologis atau empiris. “Penelitian hukum sosiologis atau empiris yaitu penelitian yang pada awalnya yang diteliti adalah data sekunder yang kemudian dilanjutkan dengan penelitian data primer di lapangan atau terhadap masyarakat” (Soerjono Soekanto,2006:52). Data sekunder diperoleh melalui literatur-literatur kepustakaan, himpunan-himpunan perundang-undangan yang berlaku, jurnal-jurnal hukum, dan hasil penelitian berupa putusan hakim. Selanjutnya data primer dalam penelitian ini berupa wawancara yang dilakukan penulis terhadap hakim yang menangani perkara tindak pembunuhan bayi yang dilakukan oleh ibu kandung di Pengadilan Negeri Karanganyar.

2. Sifat Penelitian.

“Penulisan hukum ini bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu dalam memperkuat teori lama atau dalam kerangka menyusun teori baru” (Soerjono Soekanto,2006:10). Berkaitan dengan penulisan hukum ini, penulis melakukan penelitian untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam


(23)

memutus perkara tindak pidana pembunuhan bayi yang dilakukan oleh ibu kandung serta hambatan-hambatan yang dihadapi hakim dalam memeriksa dan mengadili dalam kasus pembunuhan bayi oleh ibu kandung dengan putusan No.75/Pid.B/2010/Pn.Kray.

3. Pendekatan Penelitian.

Pendekatan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah pendekatan sosiologis sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan. Pendekatan sosiologis dilakukan dengan penelitian secara langsung ke lapangan. Penulis melakukan wawancara langsung terhadap hakim yang menangani perkara tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandung di Pengadilan Negeri Karanganyar.

4. Jenis Data.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah data primer dan data sekunder.

a. Data primer.

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya. Data primer ini berupa fakta atau keterangan yang diperoleh secara langsung dari sumber data untuk tujuan penelitian sehingga diharapkan nantinya penulis dapat memperoleh hasil yang sebenarnya dari objek yang diteliti. Adapun data tentang penelitian ini berupa wawancara yang dilakukan oleh penulis terhadap hakim yang menangani tidak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandung di Pengadilan Negeri Karanganyar yaitu Hakim Bunga Lilly, S.H.

b. Data sekunder.

Data sekunder yaitu data yang diperoleh untuk mendukung data primer. Data sekunder meliputi data yang diperoleh dengan cara penelitian pendapat hukum melalui literatur-literatur kepustakaan, himpunan perundangan yang berlaku, dan hasil penelitian berwujud


(24)

putusan hakim maupun laporan dalam bentuk lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

5. Sumber Data.

Sumber data merupakan tempat data suatu penelitian dapat diperoleh. Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder.

a. Sumber Data Primer.

Sumber data primer yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung dari lapangan. Dalam hal ini data yang digunakan adalah data hasil penelitian atau riset dengan wawancara terhadap hakim yang menangani perkara tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandung di lokasi penelitian yaitu di Pengadilan Negeri Karanganyar.

b. Sumber Data Sekunder.

Sumber data sekunder yaitu sumber data yang dipergunakan sebagai bahan penunjang data primer. Dalam penelitian hukum ini data sekunder yaitu putusan pengadilan, buku literatur, peraturan perundang-undangan, dan laporan penelitian.

6. Teknik Pengumpulan Data.

Untuk memperoleh data yang sesuai dan mencakup permasalahan yang penulis teliti, maka teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah melalui studi lapangan dan studi kepustakaan.

a. Studi Lapangan.

Studi lapangan merupakan suatu penelitian melalui penelitian secara langsung ke lapangan untuk mendapat data-data dan keterangan-keterangan yang diperlukan. Teknik yang dipakai dalam pengumpulan data melalui penelitian lapangan adalah wawancara. Wawancara merupakan teknik pengumpulan data keterangan yang diperoleh dengan mengadakan tanya jawab memakai daftar pertanyaan kepada objek yang diteliti.


(25)

Jenis wawancara yang penulis gunakan adalah wawancara yang telah ditentukan pelaksanaannya, telah diatur catatan-catatan dan keterangan-keterangan pertanyaan yang telah ditentukan pokok permasalahannya serta membatasi aspek-aspek dari masalah yang diperiksa.

7. Studi Kepustakaan.

Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data dengan cara menginventariskan dan mempelajari bahan-bahan yang berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, tulisan-tulisan, dan dokumen-dokumen lainnya yang berhubungan dengan objek penelitian. Dalam setiap penelitian disamping metode yang tepat dan alat pengumpulan data yang relevan, kecermatan dalam memilih dan menyusun teknik serta alat pengumpulan data sangat berpengaruh objektifitas hasil penelitian.

8. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif. “ Analisis data dengan metode kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh” (Soerjono Soekanto, 2006:250).

“Model analisis data kualitatif yang digunakan adalah model analisis interaktif yaitu proses analisis dengan menggunakan tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data, dan kemudian penarikan kesimpulan” ( H.B.Soetopo, 2002:91-95 ).


(26)

Adapun model analisis interaktif dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:

Untuk lebih jelasnya, masing-masing tahap dapat dijabarkan secara singkat sebagai berikut :

a. Pengumpulan data.

Pengumpulan data merupakan proses pencarian data dari berbagai sumber, yang mana data-data tersebut relevan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian, guna memperoleh hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam penulisan hukum ini pengumpulan data dilakukan dengan wawancara di lapangan yaitu terhadap hakim yang menangani perkara tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandung di Pengadilan Negeri Karanganyar yaitu hakim Bunga Lilly, S.H., guna mendapatkan data primer dan mengumpulkan buku-buku, himpunan perundang-undangan, jurnal-jurnal hukum, putusan pengadilan, serta laporan penelitian yang relavan dengan penulisan hukum ini guna mendapatkan data sekunder.

Pengumpulan data

Penyajian data Reduksi data


(27)

b. Reduksi data.

Reduksi data yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data yang kasar yang muncul dari catatan tertulis dilapangan. Setelah data-data diperoleh dari hasil wawancara terhadap hakim yang menangani tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandung yaitu Bunga Lilly, S.H., putusan pengadilan, himpunan perundang-undangan, jurnal-jurnal hukum maupun buku-buku terkumpul, maka penulis melakukan pemilihan dan pemusatan perhatian terhadap data-data yang dianggap penulis dapat digunakan dalam penulisan hukum ini sesuia dengan perumusan masalah yang akan dibahas.

c. Penyajian data.

Penyajian data yaitu sekumpulan informasi tersusun yang

memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan. Data-data yang telah diperoleh dan telah melalui proses reduksi data dapat disusun oleh penulis untuk disajikan sebagai hasil penelitian dalam penulisan hukum ini.

d. Penarikan simpulan/Verifikasi.

Penarikan simpulan yaitu mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat dan proposisi. Makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya yakni yang merupakan validitasnya.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi penulisan hukum ini dapat dikategorisasikan menjadi empat bab dengan sistimatika sebagai berikut :


(28)

Bab Satu Pendahuluan, dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

Bab Dua Tinjauan Pustaka, dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai dua hal yaitu, yang pertama adalah kerangka teori yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini, yang meliputi: Pertama mengenai tinjauan umum tentang hakim meliputi, pengertian, kewajiban dan tanggung jawab hakim, wewenang hakim, dan kebebasan hakim. Kedua, tinjauan umum tentang putusan pengadilan meliputi pengertian putusan pengadilan, dasar hukum putusan pengadilan, macam-macam putusan, jenis-jenis putusan pengadilan, sifat putusan pengadilan dan syarat putusan pengadilan. Ketiga, tinjauan umum tentang tindak pidana yang meliputi pengertian, unsur-unsur dan jenis tindak pidana, dan pengertian, unsur-unsur tindak pidana pembunuhan bayi. Selain itu, untuk memudahkan pemahaman alur berfikir, maka di dalam bab ini juga disertai dengan kerangka pemikiran.

Bab Tiga Hasil Penelitian dan Pembahasan, dalam bab ini akan diuraikan hasil penelitian dan pembahasan tentang dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan No.75/Pid.B/2010/PN.Kray pada kasus pembunuhan bayi yang dilakukan oleh ibu kandung dan hambatan-hambatan yang dihadapi hakim dalam memberikan putusan pada kasus pembunuhan bayi oleh ibu kandung.

Bab Empat Penutup, dalam bab ini menguraikan secara singkat tentang simpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan atas permasalahan yang diteliti.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Mengenai Hakim

a. Pengertian Hakim

Pengertian hakim mengandung beberapa pengertian, antara lain :

1) Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim adalah pejabat peradilan negara yang di beri wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili, kemudian didalam Pasal 1 butir 9 KUHAP ditentukan bahwa yang dimaksud mengadili adalah serangkaian tindakan hakim dalam menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.

2) Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Hakim Pengadilan yaitu pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.

3) Pasal 3l Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.

4) Kamus besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa hakim adalah : (a) Orang yang mengadili perkara

(b) Pengadilan (c) Juri; penilai

Syarat yang senantiasa harus dipenuhi oleh hakim yaitu jujur, merdeka, berani mengambil keputusan, dan bebas dari pengaruh baik dari dalam maupun dari luar. Selain syarat-syarat yang pengaturannya diatur dalam bentuk Undang-Undang, maka sebagai syarat batiniah kepada para


(30)

hakim dalam menjalankan keadilan, oleh Undang-Undang diletakan suatu tanggung jawab yang lebih berat dan mendalam dengan menginsafkan kepadanya dengan sumpah jabatan itu, bahwa hakim bertanggung jawab kepada hukum, kepada diri sendiri, kepada rakyat, kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b. Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim

Kewajiban hakim yang terutama sebagai organ pengadilan yaitu tidak boleh menolak untuk memutuskan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili ( Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman).

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dijelaskan bahwa kewajiban hakim adalah sebagai berikut :

1) Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));

2) Hakim wajib memperhatikan sifat baik dan jahat dari tertuduh pada waktu mempertimbangkan berat ringannya pidana (Pasal 28 ayat (2));

3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera. (Pasal 29 ayat (3));

4) Ketua Majelis, Hakim anggota dan bahkan jaksa atau panitera yang masih terikat dalam hubungan keluarga sedarah sampai derajat tiga atau semenda, wajib pula mengundurkan diri dari pemeriksaan (Pasal 29 ayat (4));


(31)

5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara (Pasal 29 ayat (5));

6) Hakim wajib bersumpah menurut agamanya sebelum memangku jabatan (Pasal 30));

7) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya hakim wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 33)).

c. Wewenang Hakim

Wewenang hakim diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986. Hakim merupakan pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili ( Pasal 1 butir (8) KUHAP ) Selanjutnya dalam Pasal 1 butir (9) KUHAP ditentukan bahwa yang dimaksud mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Pasal 50 disebutkan bahwa Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata ditingkat pertama Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 16 ayat (1) berbunyi: Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa mengadili dan memutus suatu petkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya dan Pasal l7 ayat (1) berbunyi: Semua pengadilan memeriksa, mengadili dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim kecuali undang-undang menentukan lain merupakan landasan hukum wewenang


(32)

hakim dalam memeriksa memutus dan menyelesaikan perkara perdata dan pidana.

d. Kebebasan Hakim

Undang-Undang Dasar melarang campur tangan pihak eksekutif maupun pihak legislatif terhadap hukum bahkan pihak atasan langsung dari hakim yang bersangkutan tidak mempunyai kewenangan untuk mempengaruhi ataupun mendiktekan kehendaknya kepada hakim bawahan. Namun kebebasan hakim tidak harus diartikan bahwa hakim dapat melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap suatu perkara yang diperiksanya akan tetapi hakirn tetap terikat pada hukum yang berlaku. Didukung dengan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Hakim merupakan salah satu faktor pembentuk hukum, dalam pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman menjelaskan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa tidak ada atau kurang jelas hukumnya, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Pasal ini mengisyaratkan kepada hakim bahwa hakim dapat bertindak berdasar inisiatif sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara bila Undang-Undang belum jelas atau tidak mengatur. Ada yang beranggapan bahwa Undang-Undang adalah lengkap, bahwa tertib hukum merupakan suatu sistem yang lengkap ataupun anggapan bahwa semua telah diatur oleh aturan-aturan hukum positif. Ada beberapa aspek hukum dimana hukum positif tidak mengaturnya secara tegas bahkan tidak ada sama sekali. Sehingga diperlukan peranan hakim untuk menemukan pemecahannya didalam Undang-Undang, dengan mempergunakan logikanya penemuan hukum secara bebas (Martiman Prodjohamidjojo,1984:2-3).

Penemuan hukum oleh hakim merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim dalam menyelesaikan perkara yang konkret. Penemuan hukum ini ada dua bentuk:


(33)

1) Penemuan Hukum Otonom

Hakim dalam menyelesaikan masalah jika perlu melakukan pencarian hukum dengan pandangan pribadi, pikiran atau apresiasi sendiri tanpa ada bantuan dari hukum yang ada. Pandangan maupun apresiasi dari hakim dalam menemukan hukum didasarkan atas pengalaman, penilaian yuridis ataupun asas-asas hukum material.

2) Penemuan Hukum Heteronom

Ketentuan yang ada dalam Undang-Undang jadi dasar pokok bagi hakim dalam memutus perkara. Keputusan ini tidak dapat menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku yang mendasarkan pada hukum tersebut. Disini hakim tidak mandiri karena harus tunduk pada Undang-Undang (Premis Mayor) peristiwa yang konkret merupakan premis minor sedangkan keputusan merupakan konklusi atau kesimpulan (Sudikno Mertokusumo, 1993 :12-13).

Di lndonesia, putusan hakim atas dasar peraturan perundang-undangan yang terkait, ada kalanya peraturan tersebut tidak lengkap sehingga hakim perlu menafsirkan dan menemukan sendiri atas dasar pengetahuan yang dimilikinya. Peraturan perundang-undangan yang rupanya jelas, jika diterapkan pada hal-hal konkret seringkali membutuhkan penjelasan. Doktrin dan yurisprudensi mengajarkan kepada kita, bahwa hakim dapat menggunakan berbagai cara penafsiran untuk mencari arti Undang-Undang :

1) Penafsiran menurut tata bahasa (gramatikal) yaitu penafsiran dengan menetapkan perkataan menurut tata bahasa. Cara penafsiran ini tidak selalu dapat dipakai, sebab perkataan-perkataan tersebut mempunyai lebih dari satu pengertian, terbukti bahwa perkataan itu harus diartikan lain daripada tata bahasa. 2) Penafsiran sistematis atau logis yaitu keseluruhan sistem

perundang-undangan jadi dasar dalam menafsirkan Undang terhadap masalah dengan menghubungkan satu Undang-Undang dengan Undang-Undang-Undang-Undang yang lain. Misalnya, pengertian pegawai negeri dalam Pasal 92 KUHP diberikan pengertian yang luas dengan Pasal-Pasal Undang-Undang korupsi.

3) Penafsiran ekstensif (meluas) yaitu cara penafsiran dengan memberikan perluasan dari perkataan Undang-Undang. Misalnya penafsiran yang meluaskan ialah putusan tentang pencurian aliran listrik; aliran listrik diartikan sebagai barang.


(34)

4) Penafsiran restriktif (menyempitkan) yaitu dengan membatasi ketentuan suatu unsur peraturan (restriktif).

5) Penafsiran Historis (sejarah) yaitu cara penafsiran ini menurut maksud dari pembentuk Undang-Undang, apa yang dikehendaki oleh pembentuk Undang-Undang. Dan penyelidikan ini selalu kembali pada waktu atau zaman ketika dipersiapkan, antara lain dipergunakan memori penjelasan perslag sementara memori jawaban.

6) Penafsiran analogis yaitu cara penafsiran dengan cara memperlakukan suatu peraturan yang berpokok pangkal pada satu azas hukum pada suatu hal tertentu, yang tidak diatur dalam Undang-Undang. Dalam hukum pidana penafsiran analogis tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan asas legalitas yang ditentukan dalam Pasal 1 KUHP, bahwa seseorang tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, kecuali apabila berdasarkan satu ketentuan Undang-Undang. Dalam hukum perdata diperbolehkan. 7) Penafsiran Teleologis yaitu berdasarkan tujuan kemasyarakatan,

perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang sesuai dengan masyarakat.

8) Penafsiran a-contrario yaitu cara penafsiran kebalikan dari penafsiran analogis.

9) Penafsiran Autentik yaitu cara penafsiran yang didasarkan kepada pengertian-pengertian yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang itu sendiri (Martiman Prodjohamidjojo, 1983 : 9-11 ).

Dalam Pasal 28 ayat (l) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004, kewajiban hakim sebagai penegak hukum dan keadilan ialah hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, yang didalam penjelasan atas pasal tersebut dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat, agar hal itu tercapai maka hakim harus terjun ketengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. selain penafsiran undang-undang, hakim dalam menentukan seseorang bersalah atau tidak, harus berdasar pembuktian yang sah. Dalam sistem pembuktian dikenal beberapa teori, antara lain:


(35)

1) Conviction Raisonee

Sistem pembuktian atas dasar keyakinan hakim dan harus dilandasi alasan-alasan logis dan dapat diterima akal.

2) Conviction In time

Sistem pembuktian berdasar atas keyakinan hakim. Keyakinan hakim dapat diambil dan disimpulkan dari alat-alat bukti yang diperiksa dalam pengadilan atau dapat pula pemeriksaan alat-alat bukti ini diabaikan hakim untuk kemudian langsung menarik keyakinan dari keterangan pengakuan terdakwa. Jadi walaupun terdakwa bersalah menurut alat bukti tetapi hakim tidak menganggap bersalah, maka ia tidak dapat dijatuhi hukuman. 3) Pembuktian menurut Undang-Undang positif.

Sistem pembuktian ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang. Hakim dapat menghukum terdakwa berdasarkan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

4) Pembuktian menurut Undang-Undang negatif.

Seorang terdakwa dapat dijatuhi hukuman jika ada dua komponen: (a) Pembuktian harus dilakukan menurut ketentuan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

(b) Keyakinan dari hakim yang didasarkan atas ketentuan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Sistem ini merupakan perpaduan antara sistem pembuktian positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (Martiman Prodjohamidjojo, 1983 : 14-17).

2. Tinjauan Umum mengenai Putusan Pengadilan a. Pengertian Putusan Pengadilan

Istilah putusan pengadilan mengandung beberapa pengertian :

1) Putusan pengadilan menurut Pasal 1 butir l1 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka berupa pemidanaan, bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal dan cara menurut Undang-Undang.


(36)

2) “Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya bisa berupa tulisan ataupun lisan” ( Martiman Prodjohamidjojo:1983:78).

b. Dasar Hukum Putusan Pengadilan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986, Hakim merupakan pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (Pasal 1 butir (8) KUHAP). Selanjutnya dalam Pasal 1 butir (9) KUHAP ditentukan bahwa yang dimaksud mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur Undang- Undang.

Hakim adalah satu-satunya pejabat negara yang oleh Undang-Undang diberi wewenang untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan tindak pidana dan wewenang menghukumnya. Menurut Pasal 183 KUHAP seseorang dapat dijatuhi hukuman bila :

1) Kesalahan yang dilakukan terbukti bersalah minimal dengan dua alat bukti yang sah menurut undang-undang.

2) Hakim mendapat keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa bersalah melakukannya.

c. Macam-Macam Putusan

Menurut Pasal 191 KUHAP, terdapat tiga macam putusan, yaitu: 1) Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa.

Pasal 191 ayat (1) KUHAP berbunyi : jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas. Dakwaan tidak terbukti berarti apa yang dipersyaratkan oleh Pasal 183 KUHAP tidak terpenuhi, yaitu :


(37)

(a) Tiadanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yang disebut oleh Pasal 184 KUHAP.

(b) Meskipun terdapat dua alat bukti yang sah, akan tetapi hakim tidak mempunyai keyakinan atas kesalahan terdakwa.

(c) Jika salah satu atau lebih unsur tidak terbukti dalam hal ini makna keyakinan hakim berdasarkan atas alat bukti yang sah menurut Undang-Undang bukan atas perasaan hakim sebagai seorang pribadi. Setelah hakim mengeluarkan putusan maka saat itu juga terdakwa bebas, dan untuk terdakwa yang berada dalam tahanan maka jaksa dapat segera memerintahkan untuk membebaskannya ( Pasal 192 ayat (1) KUHAP).

2) Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum.

Pasal 191 ayat (2) KUHAP berbunyi : Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Hal ini terjadi jika :

(a) Terdapat kesalahan dalam merumuskan atau melukiskan perbuatan yang dilakukan terdakwa kedalam surat dakwaan, sehingga tidak mencocoki dengan rumusan ketentuan peraturan hukum pidana yang didakwakan. (b) Terdakwa dalam keadaan:

(i) Sakit jiwa, atau cacat jiwanya, Pasal 44 KUHP; (ii)Keadaan memaksa (overmacht) Pasal43 KUHP; (iii) Membela diri (noodweer) Pasal 49 KUHP;

(iv)Melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan Undang-Undang, Pasal 50 KUHP;


(38)

(v) Melakukan perintah yang diberikan oleh atasan yang sah, Pasal 51 KUHP;

(vi)Baik pada putusan yang mengandung pembebasan maupun mengandung pelepasan dari segala tuntutan hukum, menurut Pasal 67 KUHAP tidak dapat dimintakan pemeriksaan tingkat banding.

3) Putusan yang mengandung penghukuman terdakwa.

Pasal 193 ayat (l) KUHAP berbunyi, jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Terdakwa bersalah, berarti dakwaan itu terbukti, dan syarat untuk menjatuhkan pidana telah dipenuhi. Hakim wajib memberitahukan kepada terdakwa akan hak-haknya segera setelah hakim mengucapkan putusannya (Pasal 196 ayat (3) KUHAP), yaitu:

(a) Hak untuk menerima atau menolak putusan;

(b) Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang;

(c) Hak meminta menangguhkan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang untuk mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan; (d) Hak meminta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding

dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang, dalam hal ia menolak putusan;

(e) Hak mencabut pemyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang ini.


(39)

d. Jenis Putusan Pengadilan

Menurut KUHAP putusan pengadilan ada dua macam yaitu putusan sela dan putusan akhir. Putusan sela dijatuhkan bila perkara di periksa tetapi belum memasuki materinya, sedangkan putusan akhir dijatuhkan bila pemeriksaan suatu perkara telah selesai dengan materi perkaranya. Jadi perbedaannya pada sejauh mana perkara pidana dapat diperiksa. Dasar hukum putusan sela pada perkara pidana yaitu Pasal 156 ayat 1 KUHAP sedangkan putusan akhir diatur dalam Pasal 182 ayat 3 dan 8 KUHAP.

e. Sifat Putusan Pengadilan

Menurut Pasal 191 KUHAP dapat disimpulkan ada dua macam sifat putusan yaitu :

(1) Putusan Pemidanaan, yaitu putusan yang bersifat menghukum terdakwa karena yang bersangkutan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana.

(2) Putusan yang Bukan Pemidanaan ada dua yaitu : Putusan yang bebas dari segala dakwaan yaitu bila dakwaan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sesuai dengan dakwaan penuntut umum dan putusan lepas dari segala tuntutan yaitu bila persidangan terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana tetapi hukum yang bersangkutan tidak dapat dipidana karena dua alasan yaitu alasan pemaaf (Pasal 44 KUHP) dan alasan pembenar (Pasal 49 KUHP).

f. Syarat-Syarat putusan pengadilan

Dalam KUHAP diatur syarat sahnya suatu putusan pengadilan yaitu bila diucapkan pada sidang terbuka (Pasal 195 KUHAP). Jadi syarat sahnya suatu putusan pengadilan memenuhi syarat-syarat :

(1) Memuat Hal-Hal Yang Diwajibkan ( Pasal 197 ayat 1 dan 2 KUHAP). Dalam KUHAP tidak diatur mengenai bentuk dari putusan pengadilan,


(40)

sedangkan isi dari suatu putusan pengadilan secara terperinci diatur dalam Pasal 197 ayat 1 KUHAP adapun formalitas yang diwajibkan untuk dipenuhi di dalam putusan hakim sebagaimana diatur dalam pasai 197 (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yaitu:

(a) Kepala putusam yang dituliskan berbunyi: " DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".

(b) Nama lengkap, tempat lahir, umur, atau tanggal lahir jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa;

(c) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

(d) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; (e) Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; (f) Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum

dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa;

(g) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

(h) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah dipenuhinya semua unsur dalam tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

(i) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebut jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

(j) Keterangan bahwa seluruh surat temyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu jika terdapat surat otentik dianggap palsu;


(41)

(k) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan:

(l) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum,nama hakim yang memutus dan nama panitera.

3. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana

a. Pengertian, Unsur-Unsur dan Jenis Tindak Pidana.

Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. “Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu; maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkret: pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu”( Moeljatno,2002:54).

Istilah tindak pidana sering dipakai oleh pihak menteri kehakiman, khususnya dalam perundang-undangan. Menurut Moeljatno, meskipun kata "tindak" lebih pendek daripada "perbuatan" tapi "tindak" tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan suatu keadaan yang konkrit. Kita sering mendengar bahwa istilah, strafbaarfeit sering diartikan dengan tindak pidana, namun sebelumnya kita lihat dulu arti dari strafbaarfeit dari beberapa pakar hukum, antara lain :

Simons rnenerangkan bahwa strabaarfeit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Van Hamel merumuskan strabaatfeit adalah kelakuan orang (menseliike gedraging) yang dirumuskan dalam ret, yang bersifat melawan


(42)

hukum, yang patut dipidana ktrafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.

Jika melihat pengertian-pengertian ini maka disitu diatur dalam pokoknya ternyata:

(1) Bahwa feit dalam strabaarfeit berati handeling, kelakuan atau tingkah laku;

(2) Bahwa pengertian strabaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi ( Moeljatno,2002:56 ). Istilah ini kemudian berkembang menjadi sangat luas dan melahirkan berbagai istilah, sehingga dikatakan bahwa dari strabaarfeit ini menyebabkan penafsiran dan pengertian yang berbeda dari setiap ahli sejarah hukum. Tindak pidana merupakan istirah yang sering dipakai dalam tindak pidana. Istilah tindak pidana dimaksudkan sebagai terjemahan dari istilah bahasa belanda, yaitu strabaafeit. Tindak pidana (strabaarfeit) sendiri sering diartikan sebagai:

(a) Peristiwa pidana; (b) Perbuatan pidana; (c) Pelanggaran pidana;

(d) Perbuatan yang dapat dihukum; (e) Perbuatan yang boleh dihukum

Menurut Mezger, bahwa untuk menyimpulkan suatu hal masuk sebagai perbuatan pidana, maka ada beberapa unsur yang harus ada didalamnya yaitu :

(a) Kelakuan dan akibat;

(b) Hal ikhwal atau keadaan yang meyertai perbuatan; (c) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; (d) Unsur melawan hukum obyektif;

(e) Unsur melawan hukum yang subyektif ( Moeljatno, 2002:63). Unsur-unsur tindak pidana sendiri dapat dibedakan menjadi dua segi yaitu:

1) Unsur Subyektif

Yaitu hal-hal yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang bersangkutan dengan batinnya. Unsur subyektif tindak pidana meliputi:


(43)

(i) Kesengajaan (Dolus) atau Kealpaan (Culpa); (ii) Niat atau maksud dengan segala bentuknya; (iii) Ada atau tidaknya perencanaan;

(iv) Adanya perasaan takut;

(v) Adanya kemampuan bertanggung jawab.

2) Unsur Obyektif

Yaitu hal-hal yang berhubungan dengan keadaan lahiriah, yaitu dalam keadaan mana tindak pelaku itu dilakukan dan berada diluar batin si pelaku unsur-unsumya meriputi Sifat melanggar hukum, Kualitas pelaku, Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab yaitu tindakan dengan akibatnya.

Mengenai jenis-jenis tindak pidana berhubungan antara penyebab yaitu tindakan dengan akibatnya. Macam-macam delik antara lain :

(a) Delik menerus dan tidak menerus

Delik menerus adalah perbuatan yang dilarang menimbulkan keadaan yang berlangsung terus. Delik tidak menerus adalah delik yang selesai setelah timbul akibat yang dilarang.

(b) Delik Comissionis dan Delik Omissionis

Delik comissionis adalah delik yang berupa berbuat sesuatu, sedangkan delik omissionis adalah delik yang tidak berbuat sesuatu.

(c) Delik Dolus dan Delik Culpa

Delik dolus yaitu delik yang dilakukan dengan sengaja sedangkan, delik culpa yaitu delik yang dilakukan dengan alpa. (d) Delik biasa dan delik yang dikualifisir

Delik yang belakangan adalah delik biasa ditambah dengan unsur-unsur lain yang memberatkan ancaman pidananya.

Mengenai jenis-jenis tindak pidana dikelompokkan menjadi kejahatan dan pelanggaran, yang perbandingannya sebagai berikut:

(a) Kejahatan diatur dalam buku II KUHP, sedangkan

pelanggaran diatur dalam buku III KUHP.

(b) Kejahatan dimengerti sebagai delik hukum karena kejahatan dipandang mutlak bertentangan dengan tertib hukum. Pelanggaran menurut Undang-Undang disebut sebagai wetsdelicten atau politienrechts, suatu perbuatan dipandang melanggar hukum atas dasar kekuatan undang-undang, jadi semata-mata pelanggaran hukum formil.

(c) Kejahatan lazimnya diancam dengan hukuman penjara sedang pelanggaran lazim tidak diancam pidana penjara.


(44)

(d) Pengaduan sebagai syarat bagi penuntutan tidak kita ketemukan dalam hal pelanggaran.

(e) Perbarengan tindak pidana kejahatan sepanjang berkenaan

dengan pidana penjara atau penahanan hanya

memperkenankan kumulasi terbatas, sedangkan dalam hal perbarengan tindak pidana berupa pelanggaran pidana dapat diakumulasikan secara tidak terbatas sepanjang merupakan pidana denda.

(f) Jangka waktu kadaluarsanya pelanggaran lebih singkat, namun tidak dengan kadaluarsa dalam kejahatan yang biasanya lebih lama tergantung dari hukuman maksimum yang diterima (Moeljatno. 2002:74-77).

b. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pembunuhan Bayi

Tindak pidana atau dalam KUHP sering disebut sebagai tindak pidana atau kejahatan terhadap nyawa. Perkataan nyawa sering disinonimkan dengan Roh. Kata nyawa dalam kamus besar bahasa Indonesia, diartikan sebagai pemberi hidup, jiwa, roh. Roh manusia adalah apa yang ada dalam tubuh dan menyebabkan hidup dan seluruh kehidupan manusia. Nyawa dimaksudkan sebagai apa yang menyebabkan kehidupan pada batin manusia, apa yang menyebabkan kehidupan pada manusia menghilangnya nyawa berarti menghilangkan kehidupan pada manusia yang secara umum disebut sebagai pembunuhan (Leden Marpaung,2000 : 4).

Dalam KUHP kejahatan terhadap nyawa orang terdapat dalam buku II bab XIX yang terdiri dari 13 Pasal yakni dari Pasal 338 sampai dengan Pasal 350 KUHP. Sedangkan Pasal-Pasal yang ada hubungannya dengan pembunuhan bayi juga diterapkan ialah Pasal 305 KUHP yaitu: Barang siapa menempatkan anak yang umurnya belum tujuh tahun untuk ditemu, atau meninggalkan anak itu, dengan maksud untuk melepaskan diri dari padanya diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

Pasal 306 KUHP ayat 1 berbunyi jika salah satu perbuatan tersebut dalam Pasal 304 dan 305 mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara tujuh tahun enam bulan (2). Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.


(45)

Pasal 307 KUHP berbuyi Jika yang melakukan kejahatan kejahatan tersebut Pasal 305 bapak atau ibu dari anak itu, maka pidana yang ditentukan dalam Pasal 305 dan 306 dapat ditambah dengan sepertiga.

Pasal 308 KUHP Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahiran anaknya, tidak lama setelah melahirkan, menempatkan anaknya untuk ditemu atau meninggalkannya, dengan maksud untuk melepaskan diri dari padanya, maka maksimum pidana tersebut dalam Pasal 305 dan 306 dikurangi separuh.

Kalau dicermati rumusan Pasal 305 sampai dengan Pasal 308 sudah jelas bukan mengenai pembunuhan bayi, tetapi mengatur mengenai menempatkan anak dan meninggalkan anak. Dalam Pasal 308 ancaman dikurangi separuh dengan alasan saat dilakukannya kejahatan tersebut dikaitkan dengan keadaan mental emosional dari si ibu dimana selain rasa malu , takut, benci, bingung serta rasa nyeri bercampur aduk menjadi satu sehingga perbuatannya itu dianggap dilakukan tidak dalam keadaan mental yang tenang, sadar serta dengan perhitungan yang matang Inilah yang menjelaskan mengapa ancaman hukuman pada kasus pembunuhan bayi lebih ringan bila dibandingkan dengan kasus-kasus pembunuhan lainnya (R.Soesilo.1983.88 ).

Dalam tindak pidana pembunuhan bayi diatur oleh KUHP pada Pasal 341 dan Pasal 342. Pasal 431 KUHP berbunyi:Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena membunuh anaknya sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Sedangkan Pasal 342 KUHP berbunyi: Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam, karena membunuh anaknya sendiri, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.


(46)

Motif takut ketahuan bahwa ia melahirkan anak (bayi). Motif ini dikaitkan dengan kultur didalam masyarakat Indonesia yang menganggap tabu melahirkan anak tanpa suami. Andaikata seorang wanita membunuh bayinya sendiri yang baru dilahirkan dari perkawinan yang sah, maka pembunuhan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pembunuhan bayi sendiri (infanticide), sebab ia tidak mempunyai alasan yang kuat untuk takut ketahuan bahwa ia melahirkan anak (Sofwan Dahlan1989 : 125).

Melahirkan bayi dari hasil hubungan dengan laki-laki lain diluar perkawinan yang sah adalah suatu peristiwa yang memalukan suatu peristiwa yang selalu dihindari oleh setiap perempuan oleh sebab itu patut dirahasiakan. Dari sifat tercelanya peristiwa kelahiran seperti itulah motif takut diketahui melahirkan bayinya itu berakar. Alasan dari timbulnya motif yang demikian tidaklah merupakan syarat dalam kejahatan Pasal 341 KUHP, “asal motif takut diketahui bahwa ia melahirkan sudah ada, alasan dari sebab takutnya itu tidaklah merupakan hal yang penting benar” (Adami Chazawi, 2001 : 88).

Jika pembunuhan anak tersebut dilakukan secara spontan oleh ibu kandungnya pada saat dilahirkan atau beberapa saat sesudah dilahirkan maka kejahatan ini dikatakan “membunuh anak biasa” atau kinderdoodslag (Pasal 341 KUHP ) pembunuhan anak yang dilakukan dengan perencanaan lebih dahulu maka kejahatan ini dikatakan kindermoord dan diancam dengan Pasal 342 KUHP.

Objek kejahatan pembunuhan, termasuk pembunuhan bayi adalah nyawa orang lain. Karena objeknya nyawa maka, pada pembunuhan bayi wujud perbuatan menghilangkan nyawa harus dilakukan pada bayi yang terbukti hidup, namun jika pada saat perbuatan tersebut dilakukan si bayi sudah mati tetapi menurut pengetahuannya adalah bayi hidup, si ibu tidak dapat dipidana karena tidak ada pembunuhan bayi.Dalam pasal 341 KUHP disyaratkan secara obyektif bayi hidup (Adami Chazawi, 2001 : 90).


(47)

Dalam menentukan kapan terjadinya tindak pidana ini, harus ditentukan terlebih dahulu kapan kehendak akan membunuh tersebut dimulai, sesudah bayi tersebut lahir atau sebelum bayi itu lahir, karena pasal yang dikenakan berbeda. setelah bayi lahir dan dalam keadaan hidup lalu dibunuh ibunya maka dikenakan Pasal 341 KUHP, dan Pasal 342 KUHP jika ada perencanaan. Jika bayi dibunuh dalam kandungan atau bayi lahir dalam keadaan mati maka bisa dikenakan pasal tentang aborsi. Perbuatan menghilangkan nyawa bayi pada saat proses melahirkan ini dapat dilakukan :

1) Sebelum bagian tubuh bayi tampak dari luar tubuh ibu, misalnya dengan menekan atau memijit perut ibu tepat diatas tubuh bayi. 2) Atau setelah bagian dari tubuh bayi tampak dari luar tubuh ibu,

misalnya setelah keluar kepalanya dari mulut vagina lalu mencekik lehernya, memukul kepalanya.

Apabila seluruh tubuh bayi sudah keluar terpisah dari badan ibu, dan kemudian ibu melakukan pembunuhan terhadap bayinya, maka pembunuhan ini masuk dalam pembunuhan bayi tidak lama setelah dilahirkan. Ada 2 pendapat mengenai waktu tidak lama setelah melahirkan berakhir yaitu :

1) Berakhir pada saat kerahasiaan melahirkan bayi itu sudah berakhir artinya sudah diketahui oleh orang.

2) Waktu itu berakhir pada saat setelah ibu melakukan tindakan perawatan atas bayinya itu, misalnya ia memutuskan tali pusarnya, membersihkan bayinya (Adami Chazawi, 2001:92-93).

Tindak pidana ini dijatuhi hukuman lebih ringan dari tindak pidana pembunuhan biasa yaitu tujuh tahun, karena “Bahwa dalam keadaan sedang melahirkan atau tidak lama setelah melahirkan, karena didorong oleh perasaan takut diketahui oleh orang lain yang menguasai jiwa ibu. Dalam keadaan jiwa yang demikian adalah berupa keadaan goncang jiwa yang berat. Keadaan jiwa yang demikian dinilai sebagai mengurangi kesalahan bagi ibu atas perbuatan menghilangkan nyawa bayinya itu”(Adami Chazawi, 2001:96).

“Biasanya anak yang dilahirkan tersebut sebagai hasil dari hubungan kelamin yang tidak sah atau berzinah. Seorang ibu dapat berpikir untuk membunuh bayinya tersebut dikarenakan perasaan takut yang begitu menekan


(48)

sehingga dapat mengalahkan rasa cinta seorang ibu terhadap anaknya” (M. Sudrajat Basar, 1986:126).

Dari sudut keseimbangan, bahwa pelaku telah mendapat hukuman moril yaitu timbulnya rasa bersalah dan menyesal mengakibatkan telah menjalani hukuman lebih berat dari hukuman penjara.

Kerangka Pemikiran

Tujuan Pembangunan Indonesia

Terhambat

Masalah sosial ( social problem) - Pornografi

- Pornoaksi

Kriminalitas Pembunuhan bayi oleh ibu

Dasar Pertimbangan Hakim

Hambatan-hambatan dalam Penjatuhan Putusan


(49)

Pembangunan nasional yang diselenggarakan oleh bangsa Indonesia merupakan suatu proses yang memerlukan perencanaan dan terarah dalam setiap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya dan pemerataan hasil-hasil pembangunan.Suatu pembangunan harus menciptakan keseimbangan kemajuan IPTEK( Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ) dan IMTAK ( Iman dan Takwa ).

Tujuan pembangunan nasional tersebut tentunya tidak dapat terwujud dengan mulus melainkan harus berhadapan dengan hambatan-hambatan yang akan dihadapi dalam pembangunan. Kerjasama dan dukungan dari berbagai aktor pendukung pembangunan sangat diperlukan antara lain peran masyarakat.

Masalah sosial yang sering terjadi saat ini adalah mengenai pornografi dan porno aksi sehingga jika tidak diatasi maka akan merusak moral bangsa. Hal ini ditunjang peranan media massa dewasa ini dalam mempengaruhi masyarakat, baik media cetak maupun elektronik.Informasi-informasi dari internet yang tidak bisa di kontrol oleh pihak yang berwajib bisa menjadi salah satu sumbernya.

Jika pornografi dan pornoaksi telah menyebar dan merusak moral, maka yang terjadi dalam masyarakat yaitu AIDS dan penyakit menular seks lainnya, seks bebas, kehamilan remaja, perselingkuhan, perceraian, perzinahan, dan sebagainya. Dari hal-hal tersebut akan menghasilkan tindak kriminalitas antara lain aborsi, pemerkosaan, pembunuhan bayi sendiri ( infanticide ).

Salah satu tindak kriminal yaitu pembunuhan bayi sendiri (infanticide) yang dilakukan oleh ibunya sendiri saat ini semakin marak terjadi. Hal ini dilakukan karena sang ibu merasa malu dan takut diketahui oleh masyarakat umum dan atau keluarga dengan kelahiran bayi tersebut, pihak perempuan juga harus menerima hukuman moral dari masyarakat sekitar seperti dikucilkan. Namun dengan tindakan membunuh bayinya ternyata tidak menyelesaikan masalah, malah masyarakat menganggap bahwa kejadian ini selain tidak ada rasa kemanusiaan dimana seorang ibu kandung


(50)

tega membunuh bayinya sendiri, juga tidak ada rasa kesusilaan pada pelaku yang tidak mengindahkan norrna agama dan budaya timur. Tidak seharusnya jika bayi yang lahir dari perbuatan asusila pelaku dibunuh hanya untuk menutupi rasa malu dan menghilangkan jejak perbuatan yang tidak bertanggung jawab.

Disinilah peranan hakim diperlukan untuk memberi keadilan dalam masyarakat. Hakim sebelum mengambil keputusan terlebih dahulu menyusun pertimbangan hukum yang disusun secara ringkas berdasarkan faktor yuridis, dan non yuridis (faktor sosiologis dari masyarakat yang mengganggap bahwa perbuatan ini tidak seharusnya dilakukan oleh seorang ibu dan mengingat adanya hubungan batin antara korban dan pelaku) untuk kemudian dipakai sebagai dasar penentuan kesalahan terdakwa. Walau begitu, ada beberapa hambatan yang salah satunya adalah

dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana ini hakim harus

mempertimbangkan adanya suatu pertentangan. Karena dalam tindak pidana ini pelaku merupakan korban juga, dikarenakan yang dibunuh adalah anaknya. Setelah mempertimbangkan beberapa faktor dari situlah hakim baru dapat memberikan putusan.


(51)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan Putusan Terhadap Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Bayi Oleh Ibu Kandung di PN

Karanganyar. 1. Posisi Kasus

Dalam penelitian ini ,penulis akan meneliti dan menganalisa satu putusan Pengadilan Negeri Karanganyar dalam kasus tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya.

Putusan Pengadilan Negeri Karanganyar No.75/Pid. B/ 2010/PN. Kray. Identitas Terdakwa

Nama lengkap : MARNITA Binti JUMADI

Tempat lahir : Karanganyar

Umur / Tanggal lahir : 25 tahun/16 Agustus 1984

Jenis kelamin : Perempuan

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Dk. Tromoyo Rt.01 Rw.01 Desa Tawangsari

Kecamatan Kerjo Kabupaten Karanganyar

Agama : lslam

Pekerjaan : Swasta

Pada hari senin tanggal 8 maret sekira pukul 02.00 Wib atau setidak-tidaknya pada waktu dalam tahun 2010 bertempat tinggal di Dk. Tromoyo Rt.01 Rw. 01 Desa Tawangsari, Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar atau ditempat lain yang termasuk dalam daerah hukum


(52)

Pengadilan Negeri Karanganyar. Terdakwa Ny. Marnita seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan nyawa anaknya tersebut pada waktu atau setelah anaknya dilahirkan perbuatan tersebut dilakukan terdakwa dengan cara-cara sebagai berikut:

a. Yaitu ketika terdakwa melahirkan anak di kamar mandi pada saat terdakwa rencana ingin buang air kecil, tetapi pada saa terdakwa dalam posisi buang air kecil, terdakwa malah melahirkan bayi laki-laki, karena terdakwa khawatir akan mendapat malu karena terdakwa telah melahirkan anak diluar pernikahan atau hubungan gelap dengan seseorang dan setelah terdakwa melahirkan anak bayi orok laki-laki dan mengangkat tubuh bayi yang masih hidup tersebut, kemudian dalam posisi diangkat dengan tangan kiri terdakwa, dengan posisi bayi terlentang dan dalam keadaan menangis, oleh terdakwa yang saat itu dalam posisi duduk di lantai toilet, wajah bayi yang di lahirkan terdakwa disiram oleh air sebanyak 3 (tiga) kali atau setidak-tidaknya lebih dari 1(satu) kali sampai akhirnya bayi yang dilahirkan terdakwa meninggal dunia ( sesuai hasil visum et repertum No.16/MF/III/2010 tanggal 10 maret 2010 yang di buat oleh Dr. Budiyanto,SpF selaku Dokter Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medicolegal Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang pada kesimpulannya:

1) Bayi laki-laki, lahir hidup, tidak ada kelainan bawaan , terdapat tanda-tanda kekerasan di rahang bawah. Korban meninggal 12 jam sampai 24 jam yang lalu karena terdakwa telah menyiram muka bayi nya dengan air sebanyak 3 kali dan untuk memastikan sudah meninggal dunia terdakwa menggerak-gerakan kakinya dan temyata sudah tidak bergerak. Kemudian karena takut ketahuan terdakwa memasukan mayat bayi


(53)

tersebut ke dalam kantong plastik hitam lalu oleh terdakwa di buang ke sungai atau parit tidak jauh dari rumah terdakwa. b. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum didalam surat dakwaan No. 75/Pid.B/ 2010/PN. Kray sebagai berikut:

KESATU

1) Bahwa terdakwa MARNITA Binti JUMADI pada hari Senin tanggal 8 Maret 2010 sekira pukul, 02.00 Wib atau setidak-tidaknya pada waktu waktu dalam tahun 2010, bertempat dikamar mandi atau toilet rumah yang terletak di desa Tromoyo Rt. 01 Rw. 01 Desa Tawangsari, Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar, atau setidaknya pada suatu tempat yang masih dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri Karanganyar, telah dengan sengaja melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lain dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka,perbuatan terdakwa mengakibatkan matinya korban yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:

(a) Awalnya pada waktu tersebut diatas Terdakwa yang dalam keadaan hamil rencananya akan buang air ditoilet rumahnya tersebut;

(b) Bahwa sesaat kemudian, dalam posisi akan buang air, Terdakwa justru melahirkan bayi yang dikandungnya tersebut dan bayi yang dilahirkan Terdakwa tersebut lahir dalam keadaan hidup;

(c) Bahwa sesaat kemudian Terdakwa mengangkat tubuh bayi yang masih hidup tersebut, kemudian dalam posisi diangkat dengan tangan kiri Terdakwa dengan posisi bayi terlentang dan dalam keadaan menangis tersebut, oleh Terdakwa yang saat itu


(1)

batin, seorang ibu dan anak mempunyai hubungan yang khusus

sehingga terdakwa dalam kasus ini Ny. Marnita merupakan korban

dari tindakannya sendiri.

(2)

Faktor pendidikan terdakwa berpengaruh sebagai faktor yang bisa

menyebabkan terdakwa melakukan suatu tindak pidana yang pada

akhirnya menentukan berat ringannya hukuman terdakwa. Tingkah

laku dan tindakan seseorang yang berpendidikan tinggi akan

berbeda dengan tingkah laku dari seseorang yang berpendidikan

rendah.

(3)

Faktor agama dapat dilihat sebagai pertimbangan hakim. Orang

yang mempunyai keimanan lebih seharusnya bisa menjadi teladan

bagi masyarakat sekitar dan jika melakukan kejahatan maka akan

menimbulkan akibat negaif bagi agama yang dianutnya.

B.

Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi Oleh Hakim Dalam Memberikan

Putusan Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Bayi Oleh Ibu Kandung.

Hambatan tersebut di bagi menjadi dua antara lain:

1.

Hambatan yang berdasar dari faktor internal pengadilan.

Dari pihak hakim sangat dipengaruhi pada:

a. Pengalaman hakim;

b. Pendidikan hakim;

c. Sifat dan pengetahuan hakim dan;

d. Kualitas moral hakim.

Hakim yang mempunyai pengalaman, pendidikan yang memadai, sifat

dan pengetahuan yang luas dan tidak kalah pentingnya mempunyai kualitas

moral akan sengat membantu dalam jalannya persidangan karena sebagai

pemimpin jalannya siding diharapkan mampu lebih baik dari jaksa dan

pengacara.


(2)

Syarat yang harus senantiasa di penuhi oleh hakim yaitu: jujur,

merdeka, berani mengambil keputusan, dan bebas dari pengaruh baik dari

dalam maupun dari luar. Selain syarat-syarat batiniah kepada para hakim

dalam menjalankan keadilan, oleh Undang-Undang diletakkan suatu tanggung

jawab yang lebih berat dan mendalam dengan menginsafkan kepadanya

dengan sumpah jabatan itu. Bahwa hakim bertanggung jawab kepada Tuhan

Yang Maha Esa.

Dalam kasus pembunuhan bayi oleh ibu kandung yang dilakukan oleh

Ny.Marnita, dalam memberikan keterangan didepan persidangan

berbelit-belit,berusaha untuk memungkiri perbuatannya sehingga Majelis Hakim

kesulitan untuk mencari kesesuaian antara dakwaan yang diajukan oleh Jaksa

Penuntut Umum dengan kenyataan yang terjadi dimana hal tersebut akan

digunakan oleh majelis hakim untuk mengambil pertimbangan tentang

hukuman apa yang akan dijatuhkan, oleh karenanya majelis hakim

memasukkan hal tersebut kedalam pertimbangan hakim pada hal-hal yang

memberatkan.

Pada kasus-kasus seperti ini keterangan terdakwa yang berbelit-belit

sering terjadi, karena beban psikologis yang berat dimana setelah

dikecewakan noleh pasangannya, terdakwa juga harus menanggung malu,

takut dan hukuman akan perbuatannya sehingga mereka ingin mengingkari

kenyataan telah membunuh anaknya.

2.

Hambatan yang berdasar dari faktor eksternal pengadilan.

Undang-Undang Dasar melarang campur tangan pihak eksekutif

maupun pihak legislatif terhadap hukum, bahkan pihak atasan langsung dari


(3)

melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap suatu perkara yang di

periksanya, akan tetapi hakim tetap terikat pada hukum yang berlaku. Namun

dalam beberapa kasus masih ada intimidasi, intervensi dari oknum tertentu

atau bisa juga pertentangan dengan hukum adat setempat.

Hambatan dari faktor eksternal dalam kasus ini tidak ada, baik yang

pro maupun kontra akan kasus ini. Karena dalam kasus-kasus seperti ini

jarang untuk diperhatikan oleh masyarakat karena semakin kesini masyarakat

menganggap bahwa kasus seperti ini sudah biasa. Namun sebenarnya itu

merupakan keuntungan untuk Majelis Hakim karena akan lebih mudah dalam

memberikan putusan tanpa adanya intervensi dari luar dan diharapkan dengan

begitu akan menghasilkan putusan yang benar-benar memenuhi rasa keadilan

baik bagi terdakwa dan bagi masyarakat.


(4)

BAB IV

PENUTUP

A.

Simpulan

Dari data penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan penulis pada bab

sebelumnya, berikut ini akan penulis sampaikan beberapa simpulan, antara lain:

1.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Karanganyar dalam surat putusan

No.75/Pid.B/2010/PN.Kray. Pada perkara pembunuhan bayi menggunakan

pertimbangan faktor yuridis dan faktor non yuridis. Pada pertimbangan faktor

yuridis Hakim melihat dari unsur-unsur dari Pasal yang didakwakan

dikaitkan dengan fakta-fakta yang ditemukan di muka pengadilan dan juga

alat bukti yang sah. Disini surat dakwaan yang di berikan oleh Jaksa Penuntut

Umum berbentik alternatif dimana dalam kasus ini Jaksa Penutut Umum

menuntut terdakwa dengan Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 80

ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor: 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, dan Pasal 341 KUHP. Sedangkan dari faktor non yuridis

nya Majelis Hakim melihat dari latar belakang psikologis terdakwa, yang

menjadi penyebab terdakwa melakukan perbutan tersebut adalah karena

terdakwa merasa malu pada keluarganya dan masyarakat jika ketahuan hamil

dan melahirkan dari hubungan gelap terdakwa sehingga terdakwa tega

berbuat hal seperti itu. Menurut Majelis Hakim sebagai seorang ibu, saat

terdakwa membunuh anaknya pastilah merasakan suatu tekanan batin karena

bagimanapun antara keduanya terdapat hubungan batin, seorang ibu dan anak

mempunyai hubungan yang khusus sehingga terdakwa dalam kasus ini Ny.

Marnita merupakan korban dari tindakannya sendiri.


(5)

2.

Hambatan dalam penanganan dalam kasus dengan terdakwa Marnita binti

Jumadi secara eksternal tidak ada namun ada secara internal pengadilan,

yaitu terdakwa berbelit-belit dalam memberikan keterangan dan berusaha

memungkiri perbuatannya, sehingga mengakibatkan Majalis Hakim

kesulitan untuk mencari kesesuaian antara dakwaan yang diajukan oleh

Jaksa Penuntut Umum dengan kenyataan yang terjadi di mana hal tersebut

akan di gunakan oleh majelis hakim untuk mengambil pertimbangan

tentang hukuman apa yang akan dijatuhkan.


(6)

B.

Saran

1.

Dalam kasus pembunuhan bayi oleh ibu kandung seharusnya hakim tidak

hanya memperhatikan faktor yuridisnya saja tetapi harus memperhatikan

pertimbangan hukum pada faktor non yuridis juga, karena dalam kasus

pembunuhan bayi oleh ibu kandung, seorang ibu tidak hanya menjadi

terdakwa dalam pembunuhan tersebut tetapi menjadi korban, karena

antara seorang ibu dan anak memunyai suatu hubungan yang istimewa,

sehingga diperlukan sebuah pertimbangan hukum yang adil untuk sebuah

putusan.

2.

Hakim harus meningkatkan kemampuan internalnya, seperti pengalaman,

pendidikan hakim, sifat dan pengetahuan hakim serta kualitas moral

hakim, sehingga nantinya diharapkan akan tercipta sebuah putusan yang

memenuhi rasa keadilan bukan saja bagi masyarakat namun juga bagi

terdakwa.