Model Pertumbuhan Tegakan Kayu Bawang (Protium javanicum Burm F.) pada Berbagai Pola Tanam dan Kerapatan Tegakan

(1)

MODEL PERTUMBUHAN TEGAKAN KAYU BAWANG

(

Protium javanicum

Burm F.) PADA BERBAGAI

POLA TANAM DAN KERAPATAN TEGAKAN

HENGKI SIAHAAN

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Model Pertumbuhan Tegakan Kayu Bawang (Protium Javanicum Burm F.) pada Berbagai Pola Tanam dan Kerapatan Tegakan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Hengki Siahaan NIM E151070294


(3)

HENGKI SIAHAAN. Growth Model of Kayu Bawang (Protium javanicum Burm F.) at Several Planting Pattern and Stand Density. Under direction of ENDANG SUHENDANG and TEDDY RUSOLONO.

Kayu bawang has been developed as farm forestry in Bengkulu Province, but until now, information concerning growth and yield for this species is not available, and it has hindered the effective management of these resources. This reserch is aimed to construct growth model for kayu bawang at several planting pattern and stand density. Growth model was constructed based on permanent sample plots data colected from kayu bawang farm forestry. The result based on weighted least square (WLS) regression analisys is that growth model for planting pattern agroforestry kayu bawang + coffee are D = 44,71013 A0,44807 N-0,28443, H = 30,41087 A0,39637 N-0,22306, Ho = 9,4839 A0,39528 N-0,00389, Ln B = 3,8051 – 5,2604/A – 159,31/N, and Ln V = 6,2236 – 6,8892/A – 133,85/N respectively for diameter, height, dominant height, basal area and volume stand variabel. For planting pattern agroforestry multispecies the models are Ln D = 2,64378 – 1,290/A + 111,37/N, H = 8,4351 A0,48802 N-0,03989, Ho = 8,6784 A0,50573 N-0,01082, Ln B = 0,5051 – 3,1301/A + 0,38864 ln N, and Ln V = 4,0009 – 4,7611/A + 0,21867 ln N. For both planting pattern, predictor variabel, stand density have significant effect for diameter, basal area, and volume growth but not for height and dominant height growth. The model also give information that for planting pattern agroforestry kayu bawang + coffee, optimum rotation is 7 years and for agroforestry multispecies is 5 years.


(4)

RINGKASAN

HENGKI SIAHAAN. Model Pertumbuhan Tegakan Kayu Bawang (Protium Javanicum Burm F.) pada Berbagai Pola Tanam dan Kerapatan Tegakan. Dibimbing oleh ENDANG SUHENDANG dan TEDDY RUSOLONO.

Hutan rakyat merupakan salah satu bentuk hutan yang ditanam di tanah milik masyarakat. Kontribusi hutan rakyat dalam memenuhi kebutuhan kayu akan nyata apabila dikelola dengan baik dan berkembang di masyarakat. Salah satu contoh hutan rakyat yang cukup berkembang di masyarakat adalah hutan rakyat kayu bawang (Protium javanicum Burm F.) di Propinsi Bengkulu yang telah ditetapkan sebagai jenis andalan di daerah ini. Kayu bawang merupakan jenis lokal yang mempunyai pertumbuhan cepat (daur 10-15 tahun) dan kualitas kayu yang baik, terutama untuk kayu pertukangan.

Pengembangan kayu bawang dalam bentuk hutan rakyat dimulai pada tahun 1990-an dengan teknik budidaya yang sederhana. Penanaman dilakukan dengan pola tumpangsari atau pola agroforestry. Pada pola tumpangsari, kayu bawang ditanam dengan jenis tanaman semusim seperti cabe dan kacang tanah, namun pola ini tidak banyak dijumpai. Sedangkan pola agroforestry dapat dijumpai dalam bentuk kombinasi antara kayu bawang dan kopi atau dalam bentuk kombinasi multijenis dengan kopi, karet, jengkol dan kayu manis.

Upaya peningkatan produktivitas hutan rakyat memerlukan sistem pengelolaan yang baik dan terencana. Sistem pengelolaan yang baik membutuhkan berbagai perangkat pengelolaan seperti model penduga volume, model kualitas tempat tumbuh, dan model pertumbuhan dan hasil tegakan. Perangkat pengelolaan ini akan bermanfaat untuk memberikan prediksi pertumbuhan dan hasil yang dapat diperoleh dan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan manajemen. Namun hingga saat ini, berkembangnya hutan rakyat kayu bawang tidak disertai dengan tersedianya perangkat pengelolaan tersebut sehingga pengelolaan yang dilakukan belum optimal. Demikian pula informasi tentang riap, daur optimal, waktu panen, dan perlakuan silvikultur yang diperlukan belum diketahui.

Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi salah satu perangkat pengelolaan hutan rakyat kayu bawang di Propinsi Bengkulu, yaitu model pertumbuhan tegakan. Model disusun dengan menggunakan variabel umur dan kerapatan tegakan pada dua pola tanam kayu bawang yang banyak dijumpai di daerah tersebut, yaitu pola agroforestry kayu bawang + kopi dan agroforestry multijenis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model pertumbuhan tegakan kayu bawang pada berbagai pola tanam dan kerapatan serta untuk mengetahui riap dan daur volume (maksimum) dalam pengelolaan hutan rakyat kayu bawang di Propinsi Bengkulu.

Penelitian dilaksanakan di hutan rakyat kayu bawang yang terdapat di 3 desa pada 3 kecamatan di Kabupaten Bengkulu Utara, desa Pasar Pedati, Kec. Pekik Nyaring, desa Sawang Lebar, Kec. Air Napal, dan desa Curup, Kec. Air Besi, Kab. Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu. Kegiatan penelitian diawali dengan pembuatan petak ukur permanen (PUP) pada tahun 2005 (6 PUP) dan 2006 (11 PUP) berukuran 30 m x 30 m (0,09 ha) dan 40 m x 40 m (0,16 ha). Pengamatan


(5)

Penyusunan model dilakukan dengan analisis regresi berganda dengan variabel bebas umur dan kerapatan tegakan. Variabel yang diduga adalah diameter, tinggi, peninggi, luas bidang dasar, dan volume tegakan. Metode analisis regresi yang dilakukan adalah metode regresi biasa (Ordinary Least Square = OLS) dan metode regresi terboboti (Weighted Least Square = WLS). Penggunaan WLS dilakukan karena data yang diperoleh merupakan kombinasi data serial dan cross sectional. Model yang digunakan adalah model Schumacher (1939) dan model Wiroatmojo (1984). Model terbaik dipilih berdasarkan kriteria-kriteria uji statistik, yaitu uji tingkat kepentingan peubah bebas (nilai-p), koefisien determinasi (R2), simpangan rata-rata (SR), simpangan agregat (SA), bias (mean error = ME), dan akar rata-rata kuadrat simpangan (root mean squared error = RMSE).

Berdasarkan hasil penelitian, metode OLS dan WLS memberikan nilai-nilai parameter model yang relatif sama, sehingga metode OLS dapat digunakan untuk menduga model pertumbuhan tegakan dengan menggunakan kombinasi data serial dan cross sectional secara efisien.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa model pertumbuhan tegakan kayu bawang berbeda pada pola tanam yang berbeda. Model pertumbuhan tegakan kayu bawang pada pola tanam agroforestry kayu bawang + kopi adalah D = 44,71013 A0,44807 N-0,28443, H = 30,41087 A0,39637 N-0,22306, Ho = 9,4839 A0,39528 N

-0,00389

, Ln B = 3,8051 – 5,2604/A – 159,31/N, dan Ln V = 6,2236 – 6,8892/A – 133,85/N masing-masing untuk variabel diameter, tinggi, peninggi, luas bidang dasar, dan volume tegakan perhektar. Model pertumbuhan tegakan kayu bawang untuk pola agroforestry multi jenis adalah Ln D = 2,64378 – 1,290/A + 111,37/N, H = 8,4351 A0,48802 N-0,03989, Ho = 8,6784 A0,50573 N-0,01082, Ln B = 0,5051 – 3,1301/A + 0,38864 ln N, dan Ln V = 4,0009 – 4,7611/A + 0,21867 ln N.

Pada model pertumbuhan tegakan tersebut, berdasarkan uji tingkat kepentingan peubah bebas, kerapatan tegakan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap variabel diameter, luas bidang dasar, dan volume/ha pada kedua pola tanam, tetapi tidak berpengaruh nyata pada variabel tinggi dan peninggi tegakan. Pertumbuhan diameter akan semakin rendah dengan semakin tingginya kerapatan, sedangkan luas bidang dasar dan volume akan semakin besar dengan semakin tingginya kerapatan.

Berdasarkan perpotongan kurva CAI dan MAI, diperoleh bahwa daur volume kayu bawang di propinsi Bengkulu berbeda pada pola tanam yang berbeda. Pada pola tanam kayu bawang + kopi, daur volume adalah 7 tahun dan pola agroforestry multijenis adalah 5 tahun. Namun demikian, ukuran diameter yang diperoleh pada daur ini harus disesuaikan dengan penggunaannya, sehingga diperlukan pengaturan kerapatan ataupun penambahan daur untuk memenuhi persyaratan teknis tersebut.


(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

(

Protium javanicum

Burm F.) PADA BERBAGAI

POLA TANAM DAN KERAPATAN TEGAKAN

HENGKI SIAHAAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

(9)

Nama : Hengki Siahaan

NIM : E151070294

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, M.S. Dr. Ir. Teddy Rusolono, M.S.

Ketua Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan

Dr. Ir. Hariadi Kartodiharjo, M.S.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala karuniaNya, penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis berjudul ”Model Pertumbuhan Kayu Bawang (Protium javanicum Burm F.) pada Berbagai Pola Tanam dan Kerapatan Tegakan” merupakan hasil penelitian yang dilakukan penulis di tiga desa pada tiga kecamatan di Kabupaten Bengkulu Utara, yaitu desa Pasar Pedati, Kec. Pekik Nyaring, desa Sawang Lebar, Kec. Air Napal, dan desa Curup, Kec. Air Besi, Propinsi Bengkulu. Penelitian bertujuan untuk mengetahui model pertumbuhan tegakan kayu bawang pada berbagai pola tanam dan kerapatan serta untuk mengetahui riap dan daur volume dalam pengelolaan hutan rakyat kayu bawang di Propinsi Bengkulu.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, M.S. dan Bapak Dr. Ir. Teddy Rusolono, M.S. selaku pembimbing yang telah mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada rekan peneliti dan teknisi yang telah membantu dalam pelaksanaan kegiatan penelitian, sehingga penelitian dapat diselesaikan tepat waktu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan, namun demikian penulis mengharapkan tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam perkembangan ilmu pengelolaan hutan.

Bogor, Agustus 2009 Hengki Siahaan


(11)

Penulis dilahirkan di desa Aek Bolon, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir pada tanggal 22 Agustus 1973 dari Bapak B. Siahaan dan Ibu T. Batubara. Penulis merupakan anak kedua dari sepuluh bersaudara.

Pendidikan penulis dimulai di SD Negeri No. 173537 Aekbolon, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir (1980-1986), dilanjutkan ke SMP Negeri Kembang Seri, Kecamatan Talang IV, Kabupaten Bengkulu Utara (1986-1989), dan SMA Negeri 2 Bengkulu (1989-1992). Penulis kemudian melanjutkan pendidikan pada Program Studi Budidaya Hutan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu (1992-1998).

Pada tahun 1999 penulis diterima sebagai peneliti pada Balai Teknologi Reboisasi Palembang (sekarang: Balai Penelitian Kehutanan Palembang), Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Pada tahun 2007 penulis diberi kesempatan melanjutkan pendidikan melalui program Research School pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 2

Tujuan ... 2

Hipotesis ... 3

Manfaat Hasil penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Pertumbuhan dan Hasil Tegakan... 4

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan ... 5

Jenis tanaman (pohon) ... 6

Kualitas tapak ... 7

Kepadatan tegakan ... 9

Perlakuan silvikultur ... 10

Model Pertumbuhan Tegakan ... 11

Klasifikasi model pertumbuhan ... 11

Model tegakan keseluruhan... 12

Model pertumbuhan pada hutan tanaman di Indonesia 14

Pola Tanam Hutan Rakyat ………. 17

Kayu Bawang (Protium javanicum Burm F.) ……… 18

Taksonomi dan sebaran kayu bawang ………... 18

Model penduga volume kayu bawang ……… 19

Model pertumbuhan tegakan kayu bawang ……… 20

BAHAN DAN METODE ………. 21

Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 21

Bahan dan Peralatan………... 22

Metode Penelitian ……….. 23

Pengumpulan data ……… 23

Pengolahan data ……… 23

Penyusunan model pertumbuhan ……….………. 24

Pemilihan model terbaik ……….. 25

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ………. 27

Penyebaran Letak Obyek Penelitian ………. 27

Topografi ……….. 28

Tanah dan Penutupan Lahan ……… 28

Iklim ………. 29


(13)

Halaman

HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 30

Model Pertumbuhan pada Masing-masing PUP ……… 30

Model pertumbuhan diameter tegakan ……….. 30

Model pertumbuhan tinggi tegakan ……….. 31

Model pertumbuhan luas bidang dasar tegakan ……… 32

Model pertumbuhan volume tegakan ……… 32

Pertumbuhan Kayu Bawang pada Berbagai Pola Tanam ……. 33

Pola tanam hutan rakyat kayu bawang ………. 33

Model pertumbuhan tegakan pada masing-masing pola tanam ... 35

Proyeksi pertumbuhan tegakan pada masing-masing pola tanam ... 44

Riap tegakan dan penentuan daur volume ... 49

KESIMPULAN DAN SARAN ………. 51

Kesimpulan ……… 51

Saran ……….. 51

DAFTAR PUSTAKA ………... 52

LAMPIRAN ……….. 55


(14)

3

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Pandangan dan metode penilaian kualitas tapak ... 8 2 Beberapa persamaan pertumbuhan tegakan jenis hutan tanaman di

Indonesia ... 16 3 Lokasi, ukuran, tahun pembuatan, dan tahun pengukuran PUP kayu

bawang di Propinsi Bengkulu ... 21 4 Lokasi, letak geografis, ketinggian tempat, dan kelerengan PUP hutan

rakyat kayu bawang di Propinsi Bengkulu ………... 27 5 Luas dan persentase kelas lereng pada DAS Lais dan DAS Lemau

Bengkulu ……….. 28

6 Distribusi curah hujan bulanan pada pos pengamatan Baturoto (Kerkap) dan Argamakmur selama 30 tahun (1971-2000) ………. 29 7 Deskripsi pola tanam kayu bawang (Protium javanicum Burm F.) di

Propinsi Bengkulu ……… 34 8 Rekapitulasi hasil analisis regresi model pertumbuhan diameter tegakan

pada dua pola kayu bawang di Propinsi Bengkulu ……….. 36 9 Nilai uji statistik model pertumbuhan diameter tegakan dua pola tanam

kayu bawang di Propinsi Bengkulu dengan metode OLS dan WLS …… 37 10 Rekapitulasi hasil analisis regresi model pertumbuhan tinggi tegakan

pada dua pola kayu bawang di Propinsi Bengkulu ……….. 38 11 Nilai uji statistik model pertumbuhan tinggi tegakan dua pola tanam

kayu bawang di Propinsi Bengkulu dengan metode OLS dan WLS …… 38 12 Rekapitulasi hasil analisis regresi model pertumbuhan peninggi tegakan

pada dua pola kayu bawang di Propinsi Bengkulu ……….. 40 13 Nilai uji statistik model pertumbuhan peninggi tegakan dua pola tanam

kayu bawang di Propinsi Bengkulu dengan metode OLS dan WLS …… 40 14 Rekapitulasi hasil analisis regresi model pertumbuhan luas bidang dasar

tegakan pada dua pola kayu bawang di Propinsi Bengkulu ……… 41 15 Nilai uji statistik model pertumbuhan luas bidang dasar tegakan dua

pola tanam kayu bawang di Propinsi Bengkulu dengan metode OLS dan

WLS ……….. 42

16 Rekapitulasi hasil analisis regresi model pertumbuhan volume tegakan pada dua pola kayu bawang di Propinsi Bengkulu ……….. 43 17 Nilai uji statistik model pertumbuhan volume tegakan dua pola tanam

kayu bawang di Propinsi Bengkulu dengan metode OLS dan WLS …… 43


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Kurva pertumbuhan, CAI dan MAI ... 5 2 Skema interaksi faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

pohon ...

6 3 Grafik hasil Dipterocarpaceae setelah penebangan di Philipina pada

indeks tapak 25 ………..

13 4 Pertumbuhan luas bidang dasar tegakan Cypress pine (Callistris spp)

di South Eastern Queensland ...

14 5 Lokasi PUP hutan rakyat kayu bawang di Provinsi Bengkulu …... 22 6 Kurva pertumbuhan diameter tegakan pada pola agroforestry kayu

bawang + kopi dan multijenis ………... 45 7 Kurva pertumbuhan tinggi tegakan pada pola agroforestry kayu

bawang + kopi dan multijenis ………... 46 8 Kurva pertumbuhan peninggi tegakan pada pola agroforestry kayu

bawang + kopi dan multijenis ……….. 46 9 Kurva pertumbuhan luas bidang dasar tegakan pada pola agroforestry

kayu bawang + kopi dan multijenis ……….. 48 10 Kurva pertumbuhan volume tegakan pada pola agroforestry kayu

bawang + kopi dan multijenis ………..

48 11 Kurva CAI dan MAI pada pola agroforestry kayu bawang + kopi dan

multijenis ………..

49


(16)

5

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Rekapitulasi hasil pengukuran variabel tegakan pada masing-masing

PUP ...

55 2 Rekapitulasi hasil pengukuran variabel tegakan pada pola tanam

agroforestry kayu bawang + kopi ...

58 3 Rekapitulasi hasil pengukuran variabel tegakan pada pola tanam

agroforestry multijenis ………...

59 4 Model pertumbuhan diameter terbaik pada masing-masing PUP

dengan koefisien determinasi dan nilai uji statistiknya ………. 60 5 Model pertumbuhan tinggi terbaik pada masing-masing PUP dengan

koefisien determinasi dan nilai uji statistiknya ……….. 61 6 Model pertumbuhan luas bidang dasar terbaik pada masing-masing

PUP dengan koefisien determinasi dan nilai uji statistiknya …………. 62 7 Model pertumbuhan volume terbaik pada masing-masing PUP dengan

koefisien determinasi dan nilai uji statistiknya ……….. 63 8 Peta pohon pada masing-masing PUP ………... 64


(17)

Latar Belakang

Hutan rakyat merupakan salah satu bentuk hutan yang ditanam di tanah milik masyarakat. Kontribusi hutan rakyat dalam memenuhi kebutuhan kayu akan nyata apabila dikelola dengan baik dan berkembang di masyarakat. Salah satu contoh hutan rakyat yang cukup berkembang di masyarakat adalah hutan rakyat kayu bawang (Protium javanicum Burm F.) di Propinsi Bengkulu yang telah ditetapkan sebagai jenis andalan dan akan dikembangkan hingga mencapai luas 10.000 ha hingga tahun 2008 (Apriyanto 2003). Kayu bawang merupakan jenis lokal yang mempunyai pertumbuhan cepat (daur 10-15 tahun) dan kualitas kayu yang baik, terutama untuk kayu pertukangan. Kayu ini dapat tumbuh pada berbagai bentuk lahan, baik datar, miring maupun curam (kelerengan > 40%), pada ketinggian 0 – 1000 m dpl, dengan curah hujan 500 - 3500 mm/tahun (Sub RLKT Ketahun dalam Ulfa et al. 2003).

Pengembangan kayu bawang dalam bentuk hutan rakyat dimulai pada tahun 1990-an. Teknik budidaya yang dilakukan masih sederhana dengan input yang minimal. Pengaturan jarak tanam belum dilakukan sehingga petak penanaman yang dijumpai mempunyai kerapatan yang sangat beragam, yaitu berkisar antara 150-1250 pohon/hektar. Penanaman dilakukan dengan pola tumpangsari atau pola agroforestry. Pada pola tumpangsari, kayu bawang ditanam dengan jenis tanaman semusim seperti cabe dan kacang tanah, namun pola ini tidak banyak dijumpai. Sedangkan pola agroforestry dapat dijumpai dalam bentuk kombinasi antara kayu bawang dan kopi atau dalam bentuk kombinasi multijenis dengan kopi, karet, dan kayu manis. Pada pola agroforestry kayu bawang dengan tanaman kopi, kayu bawang sekaligus berfungsi sebagai pelindung.

Upaya peningkatan produktivitas hutan rakyat memerlukan sistem pengelolaan yang baik dan terencana. Sistem pengelolaan yang baik membutuhkan berbagai perangkat pengelolaan seperti model penduga volume, model kualitas tempat tumbuh, dan model pertumbuhan dan hasil tegakan. Perangkat pengelolaan ini akan bermanfaat untuk memberikan prediksi pertumbuhan dan hasil yang dapat diperoleh dan sebagai dasar dalam


(18)

2

pengambilan keputusan manajemen. Namun hingga saat ini, berkembangnya hutan rakyat kayu bawang tidak disertai dengan tersedianya perangkat pengelolaan tersebut sehingga pengelolaan yang dilakukan belum optimal. Demikian pula informasi tentang riap, daur optimal, waktu panen, dan perlakuan silvikultur yang diperlukan belum diketahui.

Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi salah satu perangkat pengelolaan hutan rakyat kayu bawang di Propinsi Bengkulu, yaitu model pertumbuhan tegakan. Model disusun dengan menggunakan variabel umur dan kerapatan tegakan pada dua pola tanam kayu bawang yang banyak dijumpai di daerah tersebut, yaitu pola agroforestry kayu bawang + kopi dan agroforestry multijenis.

Rumusan Masalah

Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah a) bagaimana model pertumbuhan yang paling tepat untuk menggambarkan pertumbuhan tegakan kayu bawang, b) apakah kerapatan merupakan variabel penting dalam model pertumbuhan tegakan kayu bawang, dan c) apakah model pertumbuhan kayu bawang berbeda pada pola tanam yang berbeda.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model pertumbuhan tegakan kayu bawang pada berbagai pola tanam dan kerapatan serta untuk mengetahui riap dan daur volume dalam pengelolaan hutan rakyat kayu bawang di Propinsi Bengkulu.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Kerapatan tegakan berperan dalam model pertumbuhan diameter, tinggi, luas bidang dasar, dan volume, tetapi tidak berperan dalam model pertumbuhan peninggi tegakan kayu bawang.

2. Model pertumbuhan tegakan kayu bawang akan berbeda pada pola tanam yang berbeda.


(19)

Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian bermanfaat sebagai perangkat pengelolaan hutan rakyat kayu bawang di Propinsi Bengkulu, yang memberikan informasi model pertumbuhan, riap, dan daur volume tegakan kayu bawang dan bagaimana pertumbuhannya pada berbagai pola tanam. Manfaat jangka panjang dari hasil penelitian ini adalah tercapainya pengelolaan hutan rakyat kayu bawang yang lestari di Propinsi Bengkulu.


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Pertumbuhan dan Hasil Tegakan

Tegakan merupakan gabungan dari pohon-pohon atau tumbuhan lain yang terdapat dalam suatu daerah tertentu dan cukup seragam dalam komposisi jenisnya, susunan umur, dan keadaannya yang dapat dibedakan dengan tumbuhan lain yang terdapat di sekitarnya (Davis 1966 dalam Suhendang 1990). Sedangkan Daniel et al. (1987) mendefinisikan tegakan sebagai unit yang agak homogen yang dapat dibedakan dengan jelas dari tegakan di sekitarnya oleh umur, komposisi, struktur, tempat tumbuh, atau geografi. Suhendang (1990) menyatakan bahwa wujud dari tegakan di lapangan adalah berupa anak petak (sub-compartment) yang dibentuk atas dasar kepentingan silvikultur yang diperlukan dalam areal tersebut, sehingga pada seluruh areal dalam anak petak ini diterapkan perlakuan silvikultur yang sama.

Pertumbuhan tegakan dapat dinyatakan dalam laju pertumbuhan atau level pertumbuhan. Laju pertumbuhan didefinisikan sebagai peningkatan dimensi tegakan pada periode waktu tertentu. Sedangkan level pertumbuhan didefinisikan sebagai jumlah dimensi yang dapat diperoleh pada akhir periode tertentu. Informasi pertumbuhan tegakan mempunyai peranan penting dalam pengambilan keputusan manajemen, karena informasi ini memberikan gambaran mengenai pola dan titik-titik optimum pertumbuhan yang berkaitan dengan keputusan perlakuan silvikultur yang akan diterapkan, penentuan daur, dan prediksi hasil (Avery dan Burkhart 1994).

Pertumbuhan tegakan dapat digambarkan dalam bentuk kurva pertumbuhan. Kurva pertumbuhan adalah kurva yang menghubungkan antara ukuran suatu organisme seperti volume, berat, diameter, atau tinggi dengan umurnya. Bentuk kurva pertumbuhan organisme yang ideal akan menyerupai huruf S atau berbentuk kurva sigmoid. Kurva ini menunjukkan akumulasi ukuran pada setiap tingkat umur, sehingga kurva ini disebut sebagi kurva pertumbuhan kumulatif (Gambar 1a). Walaupun bentuk pasti kurva hasil akan berubah jika dimensi pohon diganti, namun kurva ini tetap mempunyai karakteristik yang sama


(21)

pada setiap dimensi tersebut. Kurva ini dapat diturunkan untuk mengetahui laju pertumbuhan atau dikenal dengan riap (Husch at al. 2003). Selanjutnya Prodan (1968) membedakan riap ke dalam riap tahunan berjalan (Current Annual Increament, disingkat CAI) dan riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increament, disingkat MAI). CAI adalah riap dalam satu tahun berjalan sedangkan MAI adalah riap rata-rata (per tahun) yang terjadi sampai periode waktu tertentu. Daur optimal suatu tegakan diperoleh pada saat terjadi perpotongan antara kurva CAI dan MAI, yaitu pada saat MAI mencapai titik maksimum (Gambar 1b).

Gambar 1 Kurva pertumbuhan (a) MAI dan CAI (b) (Avery dan Burkhart 1994; Loetsch dan Haller 1973)

Dalam tegakan seumur, persamaan laju pertumbuhan dapat digunakan untuk menduga pertumbuhan diameter, luas bidang dasar, dan volume dalam suatu tegakan dalam satu satuan per tahun sebagai fungsi dari umur atau karakteristik lainnya, sedangkan persamaan level pertumbuhan digunakan untuk menduga diameter, basal area dan volume tegakan yang telah dicapai pada umur tertentu. Pada tegakan tidak seumur, level pertumbuhan merupakan total produksi pada suatu periode tertentu, sedangkan laju pertumbuhan merupakan kecepatan produksi (Avery dan Burkhart 1994).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan

Pertumbuhan pohon dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Kramer dan Kozlowski (1960) menyatakan bahwa faktor internal yang

Dimensi tegakan

Umur Level pertumbuhan

Dimensi tegakan

Umur MAI

a b

CAI


(22)

6

mempengaruhi pertumbuhan pohon adalah zat pertumbuhan, keseimbangan air, dan interaksi antara berbagai organ pohon. Selanjutnya faktor eksternal adalah cahaya, suhu, kelembaban tanah, dan praktek silvikultur yang diterapkan. Faktor-faktor tersebut kemudian berinteraksi dan menentukan proses fisiologis internal untuk menghasilkan pertumbuhan pohon (Gambar 2).

Gambar 2 Skema interaksi faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pohon (Kramer dan Kozlowski 1960)

Clutter et al. (1990) dan Daniel et al. (1987) kemudian mengelompokkan faktor-faktor tersebut ke dalam lima faktor yaitu: jenis tanaman (pohon), kualitas tapak (produktivitas lahan), umur atau distribusi tegakan pada tegakan tidak seumur, tingkat pemanfaatan potensi tapak (kerapatan tegakan), dan perlakuan silvikultur (penjarangan, pemupukan, kontrol persaingan vegetasi). Selanjutnya Daniel et al. (1987) mengatakan bahwa faktor-faktor tersebut saling berinteraksi sehingga prinsip-prinsip pertumbuhan tegakan biasanya harus dikembangkan dengan mengamati interaksi faktor-faktor tersebut.

Jenis tanaman (pohon)

Berdasarkan jangka hidup atau daurnya, Lambers et al. (1998) membedakan jenis-jenis tumbuhan atau pohon ke dalam jenis cepat tumbuh (fast growing species) dan jenis lambat tumbuh (slow growing species). Selanjutnya Meijer dalam Mindawati dan Tiryana (2002) mengklasifikasikan kecepatan tumbuh suatu jenis pohon ke dalam lima kelas berdasarkan riap diameter batang. Kelima kelas tersebut adalah sangat cepat (riap > 1,4 cm/tahun), cepat (riap = 1,19 – 1,4 cm/tahun), normal (riap = 0,79 – 1,19 cm/tahun), agak lambat (riap =

Potensi Keturunan Pohon

Faktor Lingkungan Dan Silvikultur

Proses Fisiologis Internal

Pertumbuhan Pohon


(23)

0,36 – 0,79 cm/tahun), dan lambat (riap < 0,36 cm/tahun). Sifat kecepatan tumbuh ini penting diketahui terutama pada tahap pemilihan jenis yang disesuaikan dengan tujuan pengelolaan.

Jenis cepat tumbuh dengan rotasi pendek merupakan jenis yang tepat untuk digunakan dalam membangun hutan tanaman yang berbeda secara mendasar dalam hal struktur, fungsi dan tujuannya dengan hutan alam. Hutan tanaman daur pendek dikelola secara monokultur atau campuran secara intensif dengan tujuan utama untuk menghasilkan kayu atau kadang-kadang hasil hutan non kayu dengan daur yang pendek atau periode produksi yang berkisar antara 15-25 tahun (Bruenig 1996).

Selanjutnya Bruenig (1996) menyatakan bahwa produksi yang tinggi (di atas 15m3/ha/tahun), hanya dapat dicapai dengan menanam jenis-jenis pionir cepat tumbuh dan dengan melakukan peningkatan mutu genetiknya. Dikatakan pula bahwa penanaman jenis rotasi pendek biasanya diintegrasikan dengan industri pengolahan kayu menjadi pulp, papan atau kayu gergajian lainnya.

Kualitas tapak

Clutter et al. (1983) mendefinisikan kualitas tapak sebagai potensi produksi kayu dari sutu tapak untuk jenis atau tipe hutan tertentu. Davis at al. (2001) menyatakan bahwa kualitas tapak merupakan integrasi dari cahaya, kelembaban, nutrisi, dan sifat-sifat tanah dari suatu lahan hutan dan mencirikan tingkat fotosintesis potensial. Demikian pula Vanclay (1992) menyatakan bahwa kualitas tapak pada tegakan seumur dan sejenis dapat dinyatakan dalam suatu indeks yang merangkum berbagai faktor lingkungan seperti tanah (kesuburan, drainase), iklim (suhu, curah hujan), topografi (ketinggian tempat, aspek) dan faktor lain.

Evaluasi tapak kemudian digunakan untuk menduga seberapa besar kayu, serat, atau biomassa yang dapat dihasilkan oleh sebidang lahan pada suatu preskripsi manajemen tertentu. Kualitas tapak dianggap sebagai sifat internal dari suatu lahan yang ditumbuhi ataupun tidak ditumbuhi oleh pepohonan. Untuk tujuan produksi kayu, kualitas tapak umumnya dinyatakan dalam hubungan spesifik dengan jenis tertentu yang disebut indeks tapak (site index). Indeks tapak menyatakan seberapa cepat pertumbuhan tinggi, diameter, dan tajuk pepohonan


(24)

8

dan seberapa besar kecepatan tegakan suatu jenis tumbuh dan menghasilkan kayu (Davis et al. 2001).

Dalam penilaian kualitas tapak, Leary (1985) dalam Vanclay (1992) menyatakan bahwa terdapat dua pandangan yang berbeda, yaitu pandangan phytocentric dan geocentric. Pandangan phytocentric berasumsi bahwa total produksi volume tegakan atau produksi biomas merupakan ukuran pokok produktivitas suatu tapak, sementara pandangan geocentric menegaskan ketergantungan produktivitas tapak terhadap faktor tanah dan iklim. Masing-masing pandangan tersebut mempunyai metode penilaian kualitas tapak baik secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Pandangan dan metode penilaian kualitas tapak (Leary 1985 dalam

Vanclay 1992)

Pandangan Metode

Langsung Tidak langsung

Phytocentric Volume kayu Tinggi pohon Geocentric Kelembaban tanah dan status

nutrisi

Radiasi aktif fotositesis

Iklim

Bentuk lahan Physiografi Indikator jenis

Dari berbagai metode penentuan kualitas tapak secara tidak langsung yang telah diuji, diperoleh bahwa laju pertumbuhan tinggi merupakan indikator paling praktis dan konsisten. Selanjutnya diperoleh bahwa peninggi (tinggi dari jenis dominan) merupakan variabel yang sangat berkorelasi dengan pertumbuhan volume dan tidak terpengaruh oleh kerapatan tegakan dan komposisi jenis (Davis et al. 2001). Secara numerik, indeks tapak didefinisikan sebagai peninggi tanaman pada umur indeks. Umur indeks yang digunakan disesuaikan dengan tujuan pengelolaan (daur tanaman), misalnya untuk tujuan menghasilkan kayu pertukangan atau kayu serat. Untuk jenis Eucalyptus deglupta misalnya, jika diusahakan sebagai penghasil kayu pertukangan, maka umur indeks yang digunakan adalah 20 tahun, tetapi jika digunakan untuk kayu serat, maka umur indeks yang digunakan adalah 12 tahun (Harbagung 1991).


(25)

Kepadatan tegakan

Hasil yang dapat diperoleh dari suatu tapak ditentukan oleh jumlah, jenis, dan distribusi pohon yang ada pada tapak tersebut. Pengaturan berbagai karakter ini merupakan prinsip penting dalam melakukan manipulasi pertumbuhan dan hasil suatu tegakan. Pengaturan kepadatan sendiri merupakan unsur penting dalam preskripsi silvikultur pembangunan hutan tanaman. Strategi yang digunakan adalah bagaimana memanfaatkan potensi suatu tapak secara optimal sesuai dengan tujuan pengelolaan (Davis et al. 2001). Selanjutnya Davis et al. (2001) menyatakan bahwa ukuran kepadatan tegakan adalah fungsi statistik dasar suatu tegakan seperti jumlah pohon per satuan luas (kerapatan tegakan), luas bidang dasar, kompetisi tajuk, dan berbagai indeks kepadatan berdasarkan statistik dasar tersebut. Dikatakan pula bahwa ukuran kepadatan mempunyai dua fungsi. Pertama untuk menyatakan tegakan dalam suatu model yang digunakan untuk memprediksi pertumbuhan dan hasil pada masa yang akan datang, dan kedua untuk menentukan bagaimana suatu tegakan diperlakukan jika dibandingkan dengan suatu kriteria berkaitan dengan tujuan pengelolaan.

Berkaitan dengan kepadatan tegakan, dikenal juga istilah stock atau kepadatan bidang dasar yaitu rasio antara kepadatan suatu tegakan dengan suatu tegakan ideal atau disebut dengan tegakan referensi. Suatu tegakan dapat dikatakan melebihi kepadatan bidang dasar atau berada di bawah kepadatan bidang dasar jika dibandingkan dengan tegakan referensi tersebut. Tegakan referensi sendiri mengacu pada tabel tegakan normal atau tegakan pada tapak yang mempunyai produktivitas yang sama (Clutter et al. 1983; Davis et al. 2001).

Pada tingkat kepadatan yang lebih tinggi pertumbuhan individu pohon akan semakin menurun tetapi total pertumbuhan per satuan luas akan meningkat. Pada tingkat kepadatan yang lebih rendah, total pertumbuhan per satuan luas akan menurun namun demikian pertumbuhan individu tegakan akan meningkat sehingga kemungkinan dapat menghasilkan kayu yang lebih berharga (Davis et al. 2001). Karakter pertumbuhan individu pohon yang secara konsisten menunjukkan peningkatan apabila ditanam dengan kerapatan yang lebih renggang adalah diameter. Pertumbuhan diameter dipengaruhi oleh kompetisi antar pohon sehingga pemberian ruang tumbuh yang semakin luas akan mengakibatkan


(26)

10

pertumbuhannya semakin meningkat. Tegakan yang mempunyai kerapatan yang lebih renggang atau tegakan yang sebelumnya dijarangi akan mempunyai rata-rata diameter tegakan yang lebih tinggi dibandingkan tegakan yang rapat atau yang tidak dijarangi (Clutter et al. 1983).

Pengaruh kepadatan pada pertumbuhan volume per hektar dan luas bidang dasar tergantung pada jenis, umur, dan batas diameter ekonomis. Pengaturan kepadatan dalam hal ini tergantung pada tujuan pengelolaan. Jika kayu berukuran besar mempunyai nilai ekonomi per satuan volume yang lebih tinggi, maka kepadatan yang lebih renggang akan menjadi pilihan sekalipun meghasilkan volume per hektar yang lebih sedikit (Davis et al. 2001).

Beberapa ukuran kepadatan tegakan yang sering digunakan dalam model pertumbuhan adalah jumlah pohon per hektar (kerapatan), volume, luas bidang dasar, indeks kepadatan tegakan, kepadatan tegakan relatif, dan kompetisi tajuk. Pada tegakan seumur yang umurnya diketahui, kerapatan tegakan merupakan ukuran kepadatan tegakan yang sangat bermanfaat. Ukuran ini banyak digunakan pada model pertumbuhan tegakan di hutan tanaman (Davis et al. 2001).

Perlakuan silvikultur

Terdapat tiga fase silvikultur untuk mencapai kelestarian hasil yaitu fase regenerasi, fase pemeliharaan, dan fase pemanenan yang dilakukan secara terus-menerus. Regenerasi dapat dilakukan secara alami atau buatan. Fase pemeliharaan terdiri atas kegiatan pembebasan, pemangkasan, penjarangan, dan penebangan antara. Sementara fase pemanenan dapat dilakukan dengan metode tebang habis, shelterwood, seleksi, atau juga dapat dilakukan melalui penjarangan dan tebangan antara (Nyland 1996). Daniel et al. (1987) mengidentikkan perlakuan silvikultur dengan manipulasi hutan yang dibedakannya menjadi empat bagian besar yaitu pemuliaan pohon, regenerasi, perlakuan antara dan metode reproduksi.

Di Indonesia saat ini sedang dikembangkan silvikultur intensif yaitu teknik silvikultur yang memadukan tiga pilar utama silvikultur, yaitu pemuliaan pohon, manipulasi lingkungan, dan pengendalian hama terpadu dalam satu tindakan silvikultur secara utuh (Soekotjo dan Na’iem 2007). Selanjutnya dikatakan bahwa silvikultur intensif bertujuan untuk meningkatkan produktivitas hutan atau hutan tanaman sehingga dapat menjamin kebutuhan kayu nasional.


(27)

Model Pertumbuhan Tegakan

Model adalah suatu bentuk abstraksi atau penyederhanaan suatu aspek tertentu yang diselidiki dari keadaan sebenarnya (Vanclay 1994). Model dapat dinyatakan dalam bentuk verbal (misal: suatu deskripsi) atau dalam bentuk material (model skala). Model matematik merupakan suatu model verbal, yang dapat menyatakan hubungan antar variabel secara ringkas dan jelas. Model pertumbuhan merupakan suatu abstraksi dari dinamika alami suatu tegakan yang meliputi pertumbuhan, mortalitas, atau perubahan lainnya dalam suatu struktur dan komposisi tegakan. Model ini terdiri dari satu sistem persamaan yang dapat digunakan untuk menduga pertumbuhan suatu tegakan dalam berbagai kondisi (Vanclay 1994). Sedangkan Davis et al. (2001) menyatakan bahwa model pertumbuhan tegakan adalah hubungan antara jumlah hasil atau pertumbuhan dengan berbagai faktor yang menjelaskan atau menduga pertumbuhan tersebut.

Klasifikasi model pertumbuhan tegakan

Berdasarkan tingkat detail data yang dibutuhkan, Vanclay (1994); Davis et al. (2001) membedakan model pertumbuhan tegakan atas tiga model, yaitu:

1) Model tegakan keseluruhan (whole stand model) 2) Model kelas diameter (size class model)

3) Model pohon tunggal (singe tree model)

Model tegakan keseluruhan merupakan model yang menggunakan parameter populasi seperti luas bidang dasar, stok, dan volume tegakan sebagai satuan dasar. Model ini relatif sedikit membutuhkan data pertumbuhan individu pohon, sehingga sebagai konsekuensinya, model ini akan memberikan informasi yang bersifat umum. Model kelas diameter menggunakan kelas diameter sebagai satuan dasar penyusunan model. Pendekatan ini merupakan bentuk kompromi antara model tegakan keseluruhan dan model pohon tunggal. Jika kelas diameter cukup besar dan hanya satu kelas diameter, maka modelnya disebut model tegakan keseluruhan, tetapi jika kelas diameter sangat sempit dan setiap individu pohon dianggap sebagai satu kelas diameter, maka model ini disebut sebagai model pohon tunggal. Model pohon tunggal merupakan model yang membutuhkan data paling detail, yang menggunakan individu pohon sebagi


(28)

12

satuan dasar. Input minimum yang dibutuhkan adalah data setiap individu pohon dalam tegakan, seperti kelas tajuk, tinggi, dan posisi spasial (Vanclay 1994).

Selanjutnya Vanclay (1994) menyatakan bahwa tingkat detailnya data yang dibutuhkan tidak didasarkan pada banyaknya pohon yang diukur tetapi pada penentuan komponen-komponen pertumbuhan, agar model yang dibuat seefektif mungkin. Sifat-sifat komponen dibedakan berdasarkan tipe hutan dan pendekatan yang digunakan. Misalnya, pada hutan tanaman yang dikelola secara intensif, rekrutmen dan mortalitas umumnya dapat diabaikan, tetapi pada hutan alam, komponen ini justru merupakan aspek penting yang mempengaruhi dinamika tegakan dan volume yang dihasilkan.

Model tegakan keseluruhan

Model tegakan keseluruhan merupakan model yang menggunakan parameter tegakan seperti kepadatan bidang dasar dan volume tegakan sebagai satuan dasar. Model ini relatif sedikit membutuhkan data untuk mensimulasikan pertumbuhan tegakan, sehingga sebagai konsekuensinya, model ini akan memberikan informasi yang bersifat umum tentang kondisi tegakan di masa yang akan datang. Model tegakan keseluruhan yang paling awal dinyatakan dalam bentuk tabel pertumbuhan dan hasil (Vanclay 1994).

Tabel hasil tegakan dapat dapat disusun berdasarkan kurva yang dibentuk secara grafis dan dapat pula disusun berdasarkan model matematika hasil analisis secara statistik. Penyusunan tabel hasil berdasarkan analisis statistika dipandang lebih maju karena lebih sesuai dengan data yang digunakan. (Barnes 1962 dalam Wiroatmodjo 1984). Perkembangan selanjutnya berusaha untuk menambah variabel lain dalam tabel hasil, dan variabel yang paling logis adalah variabel kerapatan tegakan, seperti dipublikasikan oleh Edward dan Cristie (1981) dalam Vanclay (1994). Tabel ini menyajikan data tinggi, stem/ha, rata-rata diameter, luas bidang dasar, stem volume, produksi volume tahunan, dan komulatif volume setiap interval 5 tahun pada berbagai kondisi manajemen tapak.

Secara konseptual, perbedaan antara tabel dan persamaan tidak terlalu penting, karena persamaan dapat diolah dan dijadikan dalam bentuk tabel. Namun demikian hal sebaliknya tidak dapat dilakukan, dan persamaan merupakan cara paling ringkas dan nyaman untuk menyajikan hubungan antara hasil dan


(29)

pertumbuhan. Persamaan pertumbuhan dan hasil tegakan dapat dikembangkan dari data perbedaan volume atau basal area pada plot-plot dengan melakukan pengukuran berulang (Vanclay 1994). Metode ini kemudian berkembang dan digunakan oleh Mendoza dan Gumpal (1987) yang memprediksi hasil dipterocarpaceae dari hutan alam di Philipina (Vt) sebagai fungsi empirik basal area (Go), kualitas tapak (Sh), dan waktu (t) setelah penebangan (gambar 3)

dengan persamaan sebagai berikut:

Gambar 3 Grafik hasil dipterocarpaceae setelah penebangan di Philipina pada indeks tapak 25 (Mendoza dan Gumpal 1987 dalam Vanclay 1994) Mac Kinney & Chaiken (1939) dalam Vanclay (1994) menyusun persamaan hasil pertama yang diperoleh melalui metode regresi linier. Persamaan tersebut diperoleh berdasarkan hipotesis bahwa kecepatan pertumbuhan relatif berbanding terbalik dengan kuadrat umur (∂V/V ∞ t-2), sehingga ln V = βo – β1t-1.

Pada persamaan ini terdapat dua parameter, yaitu βo yang disebut sebagai upper asimptot (yaitu volume pada akhir rotasi) dan β1 menyatakan kecepatan

pertumbuhan. Mereka memproyeksikan bahwa paramater tersebut merupakan fungsi linier sederhana dari indeks kualitas tapak dan kerapatan tegakan.

Vt m3/ha

Umur (tahun) 8 6 4 2 10

20

10 20

Residual basal area (m2/ha)

1 0 0,346ln 0,00275

ln 394 , 0 34 , 1


(30)

14

Vanclay (1988) merumuskan persamaan pertumbuhan basal area untuk tegakan Pinus Cypress (Calliatris spp) tak seumur di Queensland dengan persamaan:

Dimana ΔG adalah pertumbuhan basal area (m2/ha/th), G adalah basal area (m2/ha), Sht adalah indeks tapak yang dibangun berdasarkan hubungan

tinggi-diameter. Bentuk grafis persamaan ini disajikan pada gambar 4.

Gambar 4 Pertumbuhan luas bidang dasar tegakan Cypress pine (Callitris spp) di South-Eastern Queensland (Vanclay 1988)

Model pertumbuhan pada hutan tanaman di Indonesia

Model pertumbuhan pada hutan tanaman di Indonesia umumnya dikembangkan pada ”jenis-jenis baru” (jenis-jenis yang umum dikembangkan dalam pembangunan HTI di luar Pulau Jawa). Model yang telah berhasil disusun adalah model pertumbuhan diameter dan tinggi tegakan (sebagian dengan model perkembangan volume) sebagaimana tertera pada Tabel 2. Sebagian besar dari model-model yang telah tersusun hanya menggunakan umur tegakan sebagai peubah. Untuk dijadikan dasar penyusunan tabel hasil seyogyanya penyusunan model juga memasukkan variabel tempat tumbuh (misal: indeks tempat tumbuh) dan kerapatan tegakan (misal: jumlah batang per hektar) sebagai peubah penduga (Harbagung et al. 2007).

ΔG (m2/ha/th)

0,1 0,2

10 20

G (m2/ha) 11 m

14 m 17 m

20 m Site form

G GS

G

G 3,071 1,094ln 0,007402 hd 0,2258


(31)

Aspek-aspek penelitian pertumbuhan dan hasil hutan tanaman merupakan penelitian berjangka panjang. Namun demikian, secara bertahap dapat dihasilkan data, informasi, model dan teknik yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk menyusun kebijakan teknis dalam rangka pengelolaan hutan tanaman. Sampai dengan tahun 2007, penelitian pertumbuhan dan hasil hutan tanaman di Indonesia telah dihasilkan data dan informasi teknik pendugaan volume pohon hutan tanaman, teknik inventarisasi terestris teknik inventarisasi hutan rakyat, pembonitaan, model pertumbuhan tegakan dan pembangunan Growth & Yield Database (Harbagung et al. 2007).

Selanjutnya Harbagung et al. (2007) menyebutkan bahwa penelitian tentang pendugaan volume pohon di hutan tanaman telah banyak dilakukan. Secara umum model pendugaan volume pohon yang dihasilkan cukup praktis dan akurat, sehingga dapat digunakan sebagai dasar penyusunan tabel volume pohon yang dapat digunakan sebagai alat bantu kegiatan inventarisasi potensi massa tegakan. Namun demikian, model-model penduga volume yang dihasilkan tersebut masih terbatas pada model penduga volume pohon total; sehingga belum memberikan informasi mengenai volume kayu aktual yang dapat dihasilkan sesuai dengan standar pemanfaatan, misalnya, berapa volume kayu pertukangan dan volume kayu pulp yang dapat dihasilkan dari sebatang pohon. Sejalan dengan perkembangan teknologi perkayuan, limit diameter bahan baku kayu yang diperlukan oleh industri perkayuan akan mengalami perubahan. Berdasarkan hal tersebut, maka data yang telah terkumpul perlu dianalisis untuk menghasilkan model volume pohon yang lebih fleksibel, dalam arti dapat digunakan untuk menduga volume batang pohon sampai diameter ujung tertentu atau ketinggian batang tertentu.

Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam penyusunan model penduga volume pohon, adalah perlunya tahapan validasi model. Tahapan ini sangat penting dilakukan karena kualitas dari model fitting (berdasarkan data yang digunakan untuk menyusun model) belum tentu mencerminkan kualitas hasil prediksi model (berdasarkan independent data yang tidak digunakan untuk menyusun model) (Huang et al. 2003). Oleh karena itu, validasi model berdasarkan independent data sangat diperlukan.


(32)

16

Tabel 2 Beberapa persamaan pertumbuhan tegakan jenis Hutan Tanaman di Indonesia (Harbagung et al. 2007)

Jenis Lokasi Model

Gmelina arborea

Simalungun, Sumut

Ln D = 2,1585 – 1,743/A + 0,2258 Ln Si + 0,12639Sm Ln H = 0,0143 + 0,8164 Ln A + 0,3341 Ln Si

Pinus merkusii Tapanuli Utara,

Sumut

Ln D = 1,9782 – 1,6923/A + 0,2561 Ln Si + 0,1496Sm Ln H = 0,0486 + 0,975 Ln A + 0,4183 Ln Si

Acacia mangium

Padanglawas, Sumut

Ln D = 3,1216 – 3,1732/A Ln V = 6,338 – 10,624/A Labuhan Batu,

Sumut

Ln D = 3,02337 – 1,23115/A Ln H = 3,30244 – 1,97469/A Ln V = 5,59348 – 4,26213/A Perawang,

Riau

Ln D = 2,90268 – 1,41789/A Ln H = 3,15975 – 1,82186/A Ln V = 5,15447 – 4,12600/A Tungkal Ulu,

Jambi (Harbagung, 2004b)

⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ −

= Na eA

N 41756 , 1 48050 , 0 1 18 , 1 A e N N D 02343 , 1 2 6 10 52502 , 10 00738 , 0 − ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ −

= 2,97264 1,36999 1,059371

A H

Ln

Ln B = -9,19139 + 0,96827 Ln N + 2,00716 LnD Ln V = -5,84266 + 1,46391 Ln B + 2,43310 Ln H

Majalengka, Jabar

Ln D = 3,18908 – 3,78310/A Ln H = 3,01231 – 3,46965/A Semaras,

Pulau Laut, Kalsel (Harbagung, 2004a)

N = Na.exp(0,07959 – 0,06416 A)

D = 2,38963 + 7,32155 (Ln A)1,18374

H = 3,42891 + 5,28962 (Ln A)1,56050

Ln B = -7,88416 + 0,89910 Ln N + 1,70307 Ln D

Ln V = -1,67757 + 2,05943 Ln B + 0,15047 Ln H Eucalyptus

grandis

Taput, Tobasa, Sumut

D = 2,76812 – 1,17974/A Ln V = 5,6622 – 3,6324/A Mahoni

(Swietenia sp.)

Rangkasbitung, Banten

Ln D = 3,42883 – 5,78506/A Ln H = 3,00546 – 5,42304/A Sengon (P.

falcataria)

Kediri, Jatim Ln D = 3,56510 – 2,66578/A Ln H = 3,65668 – 3,32118/A

Agathis lorantifolia

Sukabumi, Jabar

Ln D = 2,71149 – 4,86955/A Ln H = 2,47697 – 4,40127/A Jati (Tectona

grandis)

Saradan, Jatim Ln D = 4,21472 – 26,81630/A Ln H = 3,61402 – 19,79700/A

Ket.: D dan H = diameter (cm) dan tinggi (m) rata-rata tegakan, V = volume tegakan per hektar (m3/ha), A = umur tegakan (tahun), Si = site indeks, Sm= jarak rata-rata antar pohon, N = jumlah pohon/ha, Na = jumlah pohon/ha sesuai jarak tanam awal dan B = luas basal area (m2/ha).


(33)

Pola Tanam Hutan Rakyat

Menurut SK Menhut No. 49/Kpts-II/1997 tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik dengan ketentuan luas minimal 0,25 ha dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan minimal 50% dan atau pada tahun pertama jumlah batang minimal 500 batang/ha. Hutan rakyat merupakan bagian dari perhutanan sosial atau kehutanan masyarakat yaitu bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaannya (Lindayati 2003). Blair (1986) membedakan perhutanan sosial ke dalam dua komponen, yaitu community forestry (dalam Bahasa Indonesia dipadankan dengan kehutanan masyarakat atau hutan kemasyarakatan) yang merupakan penumbuhan pohon-pohon oleh organisasi lokal (yang mungkin diprakarsi pemerintah) pada bidang-bidang lahan umum (village commons, lahan negara untuk beragam kegunaan/serbaguna). Kedua, farm forestry (dipadankan dalam Bahasa Indonesia sebagai hutan rakyat) terdiri dari pemilik-pemilik lahan yang menanam pohon-pohon di lahan milik mereka.

Sejalan dengan semakin menurunnya potensi hutan alam dalam menyediakan kebutuhan kayu, maka keberadaan hutan rakyat menjadi semakin penting. Oleh karena itu pada periode tahun 2005-2009, pemerintah menargetkan untuk membangun hutan rakyat seluas 2 juta hektar dan hingga bulan April 2006 telah mencapai 1.272.505,61 hektar (Dirjen RLPS 2006).

Hutan rakyat pada umumnya ditanam pada lahan yang sempit dengan teknik silvikultur yang sederhana. Kayu yang ditanam tidak dijadikan sebagai andalan pendapatan rumah tangga, tetapi dianggap sebagai “tabungan” yang sewaktu-waktu dapat segera dijual apabila dibutuhkan. Namun demikian di beberapa daerah, hutan rakyat telah diusahakan dalam skala luas untuk memenuhi kebutuhan kayu di daerah tersebut, misalnya hutan rakyat Kayu Bawang di Propinsi Bengkulu dan hutan rakyat Bambang Lanang di Propinsi Sumatera Selatan (Winarno & Waluyo 2007).

Winarno & Waluyo (2007) selanjutnya menjelaskan bahwa pola tanam yang dikembangkan di hutan rakyat disesuaikan dengan kondisi dan luas lahan


(34)

18

yang tersedia serta kondisi pasar dan kebutuhan masyarakat. Pola tanam yang dikembangkan pada umumnya adalah sebagai berikut:

1. Pola tanam monokultur

Hutan rakyat dengan pola tanam monokultur hanya menanam satu jenis tanaman kehutanan. Pola ini umumnya dilakukan oleh masyarakat yang mempunyai lahan yang cukup luas dan mempunyai modal yang cukup besar dengan menerapkan teknik silvikultur yang lebih intensif. Kelebihan dari pola tanam ini adalah lebih mudah dalam pembuatan dan pengelolaannya, tetapi dari segi ekonomi kurang fleksibel karena tidak memberikan hasil musiman yang sangat dibutuhkan oleh petani.

2. Pola tanam campuran

Berdasarkan jenis tanaman yang ditanam secara bersama-sama, pola tanam campuran umumnya dapat dibedakan atas tiga bagian. Pertama adalah pola tanam campuran antara dua atau lebih tanaman hutan. Kedua, campuran antara tanaman kehutanan dengan tanaman perkebunan atau tanaman pertanian yang disebut juga sebagai pola agroforestry.

Kayu Bawang (Protium javanicum Burm F.) Taxonomi dan sebaran kayu bawang

Kayu bawang termasuk pada suku Burseraceae, ordo Sapindales, sub kelas Dikotil, kelas Angiospermae, philum Spermatophyta. Genus Protium, terdiri atas 85 jenis yang tersebar di Amerika tropis, Madagaskar, India, Indo-China, Thailand Philipina, dan 3 jenis terdapat di Indonesia (Sosef at al. 1998). Jenis Protium javanicum tumbuh baik pada kondisi tanah masam yaitu pada jenis tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) dan jenis tanah alluvial. Secara alami jenis kayu bawang tumbuh pada ketinggian 0-1000 meter di atas permukaan laut pada topografi yang datar maupun miring. Curah hujan tahunan daerah sebaran alami ± 3500 mm/tahun dengan curah hujan bulanan 150-500 mm (Sub Balai RLKT dalam Ulfa dkk, 2003).

Batang kayu bawang bulat lurus dengan tinggi mencapai 30-40 meter dan diameter 100-120 cm. Kulit batang berwarna abu-abu sampai coklat muda dengan tekstur agak licin. Daunnya majemuk tunggal, berbentuk elips, ujungnya


(35)

meruncing dengan tulang daun menyirip. Buah bulat atau gepeng dan mempunyai daging buah. Bijinya berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 2 cm dan diameter 1 cm serta mempunyai kulit luar yang keras (Dinas Kehutanan Propinsi Bengkulu 2003). Tajuknya ringan dengan diameter sempit dan persentase tajuk yang rendah (<30%) (Apriyanto, 2003). Batang umumnya belum bercabang hingga umur tiga tahun sehingga dapat dikembangkan dengan pola tanam campuran.

Kayu bawang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Di Propinsi Bengkulu, kayunya digunakan sebagai bahan bangunan, kerajinan, dan meubel. Sifat kayunya yang mempunyai aroma bawang dan rasa pahit mengakibatkan kayu ini tahan terhadap serangan rayap (Dinas Kehutanan Propinsi Bengkulu 2003). Di Jawa, daun dan kulit buah jenis ini digunakan juga sebagai bahan obat-obatan sedangkan pada saat penanaman dapat digunakan sebagai penaung tanaman jati (Sosef at al. 1998).

Model penduga volume kayu bawang

Model penduga volume kayu bawang pada hutan rakyat di propinsi Bengkulu telah disusun berdasarkan 60 pohon sampel oleh Sumadi et al. 2007 yang mencakup umur pohon dari 2 sampai 15 tahun. Persamaan regresi model penduga volume pohon tersebut dibangun berdasarkan dua peubah bebas yaitu diameter setinggi dada dan tinggi pohon. Persamaan regresi model penduga volume pohon kayu bawang yang diperoleh adalah sebagai berikut :

Vdk = 0.0000501 D2,13 H0,769

dengan Vdk adalah volume pohon dengan kulit (m3), D, diameter setinggi

dada/Dbh (cm), dan H adalah tinggi total (m). Volume pohon adalah volume hingga diameter ujung 10 cm.

Persamaan regresi ini memiliki nilai R2 sebesar 99,00%, Se sebesar 4,78%, SR sebesar 2,28% dan SA sebesar 1,08%. Hasil ini menunjukkan bahwa persamaan regresi yang terbangun cukup valid dalam menduga volume pohon kayu bawang di hutan rakyat Bengkulu Utara. Persamaan regresi model penduga volume pohon tersebut dapat dijadikan dasar dalam penyusunan tabel volume


(36)

20

tegakan kayu bawang yang bermanfaat dalam menentukan volume tegakan kayu bawang yang sedang dibudidayakan.

Model pertumbuhan tegakan kayu bawang

Model pertumbuhan kayu bawang pada tegakan monokultur di Bengkulu Utara telah disusun oleh Apriyanto (2003). Model persamaan terbaik yang menunjukkan hubungan regresi pertumbuhan diameter, tinggi dan volume pohon. dengan umur tanaman adalah sebagai berikut:

a. Model persamaan regresi pertumbuhan diameter Dbh = 1,6455 + 1,6431 U (R2 = 93,05%)

dengan Dbh = diameter pohon setinggi dada (cm) dan U = umur tegakan (tahun).

b. Model persamaan regresi pertumbuhan tinggi T = 1,8714 + 1,8349U (R2 = 97,30%)

dengan T= tinggi pohon total (m) dan U = umur tegakan (tahun) c. Model persamaan regresi pertumbuhan volume kayu bawang

V = 0,92470 U2,37 (R2 = 95,4%)

dengan V = volume tegakan (m3/ha) dan U = umur tegakan (tahun).

Persamaan-persamaan tersebut belum dapat menggambarkan pertumbuhan kayu bawang yang sebenarnya, misalnya persamaan pertumbuhan diameter dan tinggi yang berbentuk linear. Hal ini terjadi karena persamaan tersebut peroleh dari data yang sangat terbatas, yaitu 6 petak ukur umur 1, 2, 3, 4, 6, dan 9 tahun dengan sekali pengamatan.


(37)

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di hutan rakyat kayu bawang yang terdapat di 3 kecamatan di Kabupaten Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu (Tabel 3, Gambar 5). Pembuatan PUP dilakukan pada tahun 2005 untuk PUP 1-6 dan tahun 2006, untuk PUP 7-17. Pengukuran dimulai pada September 2005 untuk PUP 1-6 dan bulan September 2006 untuk PUP 7-17. Pengukuran selanjutnya dilakukan pada bulan September 2007 dan Maret 2009 untuk semua PUP.

Tabel 3 Lokasi, ukuran, tahun pembuatan, dan tahun pengukuran PUP Kayu Bawang di Propinsi Bengkulu.

Lokasi No. PUP

Tahun tanam

Ukuran (m x m)

Jumlah

pengukuran Pemilik Desa Pasar Pedati, Kec.

Pekik Nyaring, Bengkulu Utara.

1 2002 30 x 30 4 kali Sukemi 2 2002 30 x 30 4 kali Sukemi Desa Sawang Lebar,

Kec. Air Napal, Bengkulu Utara.

3 2001 30 x 30 4 kali Kardi 4 2003 30 x 30 4 kali Kardi 5 1997 30 x 30 4 kali Hatimun 6 1998 30 x 30 4 kali Hatimun Desa Curup, Kec. Air

Besi, Bengkulu Utara.

7 2003 30 x 30 3 kali Evi Suhardi 8 2003 40 x 40 3 kali Jumirah 9 2003 30 x 30 3 kali Nuril 10 2001 30 x 30 3 kali Syahril 11 2003 30 x 30 3 kali Anwar 12 2003 30 x 30 3 kali Anwar 13 2003 30 x 30 3 kali Anwar 14 2004 30 x 30 3 kali Hamdi 15 2004 30 x 30 3 kali Hamdi 16 1997 40 x 40 2 kali Johan 17 1997 40 x 40 2 kali Johan


(38)

22

Gambar 5 Lokasi PUP hutan rakyat kayu bawang di Propinsi Bengkulu

Bahan dan Peralatan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan kayu bawang pada 17 petak ukur permanen (PUP) berukuran 30 m x 30 m (0,09 ha) dan 40 m x 40 m (0,16 ha) yang dibuat pada tahun 2005 sebanyak 6 PUP dan tahun 2006 sebanyak 11 PUP (Tabel 3). Pengamatan dilakukan setiap tahun untuk memperoleh data pertumbuhan tegakan pada masing-masing PUP.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning System), pita ukur, haga meter, kompas, meteran gulung 50 meter, tambang plastik, tally sheet dan alat-alat tulis serta seperangkat komputer dengan program-program pengolah data seperti Excel dan Minitab.


(39)

Metode Penelitian Pengumpulan data

1. Pengumpulan data tegakan

Pengumpulan data tegakan dilakukan dengan pengukuran berulang terhadap variabel keliling dan tinggi pohon masing-masing dengan menggunakan pita ukur dan hagameter. Data ini kemudian diolah untuk memperoleh nilai diameter, peninggi, luas bidang dasar, dan volume tegakan.

2. Pengumpulan data kondisi tapak

Data kondisi tapak yang dikumpulkan berupa data sekunder maupun data primer hasil pengukuran. Data sekunder mencakup adalah data curah hujan, suhu, kelembaban udara, dan jenis tanah yang diperoleh dari Stasiun Klimatologi Pulau Baai Bengkulu dan BPDAS Ketahun. Sedangkan data primer berupa topografi, kelerengan, aspek, letak geografis, dan ketinggian di atas permukaan laut pada setiap PUP yang dibuat dengan menggunakan hagameter dan GPS.

Pengolahan data

1. Jumlah pohon per hektar

Jumlah pohon per hektar merupakan jumlah pohon per PUP dibagi dengan luas PUP dengan rumus:

2. Diameter, tinggi tegakan dan peninggi tegakan

Diameter individu pohon merupakan keliling pohon dibagi dengan phi (π). Diameter dan tinggi tegakan merupakan rata-rata diameter dan tinggi dari pohon-pohon penyusun tegakan (PUP), sedangkan peninggi adalah rata-rata 10 pohon-pohon tertinggi dalam PUP. Ketiga variabel ini dinyatakan dengan rumus:

dan

3. Luas bidang dasar tegakan

Luas bidang dasar tegakan diperoleh dari jumlah luas bidang dasar individu pohon dalam PUP dibagi dengan luas PUP dengan rumus:

dan p

L n N = /

= = n i i D n D 1 / 1

= = n i i H n H 1 / 1

= = n i p i L B B 1 / 10000 4 / 2 i i D B

=

= 10

1

0 1/10

i i Hd H


(40)

24

4. Volume tegakan

Volume tegakan diperoleh dari jumlah volume individu pohon dalam PUP dibagi dengan luas PUP dengan rumus:

Volume individu pohon dalam PUP diperoleh dengan persamaan penduga volume kayu bawang yang disusun oleh Sumadi et al. (2007) sebagai berikut:

Keterangan:

D = diameter tegakan (cm) Di = diameter pohon ke-i (cm)

H = tinggi total tegakan (m) Hi = tinggi total pohon ke-i (m)

Ho = peninggi Hdi = tinggi dominan ke-i

V = volume tegakan (m3/ha)

Vi = volume pohon ke-i hingga diameter ujung 10 cm dengan kulit (m3)

B = luas bidang dasar tegakan (m2/ha) Bi = luas bidang dasar pohon ke-i

n = jumlah pohon dalam PUP N = jumlah pohon per hektar Lp = luas PUP (hektar)

Penyusunan model pertumbuhan

Penyusunan model dilakukan dengan analisis regresi berganda dengan metode regresi biasa (Ordinary Least Square = OLS) dan metode regresi terboboti (Weighted Least Square = WLS) (Draper and Smith 1992; Gujarati 1978; Chatterjee and Price 1938). Pemilihan model pertumbuhan didasarkan pada beberapa pertimbangan sebagaimana disebutkan Wiroatmodjo (1984); Vanclay (1994); Burkhart (2003), yaitu:

• membuat model sesederhana mungkin sehingga mudah dianalisis

• disesuaikan dengan ketersediaan data

• bentuk kurva mendekati bentuk sigmoid.

• mempergunakan peubah tegakan yang mudah diukur seperti umur dan kerapatan tegakan

• mempunyai ketepatan pendugaan yang tinggi p

n

i i L V

V /

1

= =

769 , 0 13 , 2

0000501 ,

0 i i

i D H


(41)

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka model pertumbuhan yang diuji dalam penelitian ini adalah model pertumbuhan dengan peubah bebas umur dan kerapatan tegakan. Model yang digunakan adalah model Schumacher (1939) dalam Van Laar & Acka (1997); Clutter at al. (1983) dan model Wiroatmojo (1984) sebagai berikut:

Model Schumacher (1939):

Model Wiroatmodjo (1968)

Keterangan:

Y : dimensi tegakan yaitu: tinggi (m), diameter (cm), luas basal area (m2/ha) dan volume (m3/ha)

A : umur tegakan (tahun)

N : kerapatan tegakan (individu/ha) a, b, c : konstanta.

e : bilangan natural

Pemilihan model terbaik

Model terbaik dipilih berdasarkan kriteria uji statistik dan kelogisan bentuk kurva. Kriteria uji statistik yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Uji tingkat kepentingan peranan peubah bebas

Uji ini bertujuan untuk mengetahui peranan peubah bebas dalam model, berdasarkan nilai-p, yaitu besarnya peluang untuk menolak Ho padahal Ho benar, berdasarkan data yang ada (Johnson & Bhattacharyya 1992). Kriteria yang digunakan adalah:

Ho : βi = 0 untuk semua i, terima jika p >

α

H1 : setidak-tidaknya ada satu βi ≠ 0, terima jika p ≤

α

) 1 ...( ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... −

=aA N W

Y b c

) 2 ...( ... ... ... ... ... ... ... ... / / + − +

=a b A c N S

LnY ) 2 ...( ... ... ... ... ... ... ... ... 1 + +

= W

ce be a

Y A N

) 3 ( ... ... ... ... ... ... ... ... ... / / + − +

=a b A b N W

Y ) 1 ...( ... ... ... ... ... ... ... ... ln / + − +

=a b A c N S


(42)

26

2. Koefisien determinasi (R2)

Koefisien determinasi merupakan proporsi variasi total di sekitar nilai tengah y yang dapat dijelaskan oleh variasi regresi (Draper & Smith 1992). Semakin tinggi nilai R2, maka semakin besar variasi yang dapat dijelaskan. R2 dihitung dengan rumus:

3. Simpangan rata-rata (SR) dan simpangan agregat (SA)

Simpangan rata-rata dan simpangan agregat digunakan untuk mengukur keakuratan suatu model yang besarnya ditentukan oleh selisih nilai hasil pendugaan dan hasil pengukuran. Semakin kecil nilai simpangan rata-rata dan simpangan agregat suatu model maka, keakuratan model tersebut semakin tinggi (Husch 1963). Nilai SR dan SA dihitung dengan rumus:

4. Bias (mean error = ME) dan akar rata-rata kuadrat simpangan (root mean squared error = RMSE)

Bias menyatakan rata-rata kesalahan tanpa melihat tandanya (negatif atau positif), sedangkan RMSE menyatakan akurasi dugaan (Huang et al. 2003) yang dinyatakan dengan rumus:

Dengan:

n : jumlah unit contoh Ỹ : rata-rata nilai pengukuran

: nilai pengukuran variabel ke-i Ŷ : nilai dugaan variabel ke-i

% 100 ˆ x n Yi Y Y SR i i

= ˆ 100%

ˆ x Y Y Y SA i i i

= n Y Y RMSE=

ii

2 ) ˆ (

(

)

= Yi Yi

n

ME 1 ˆ

i Y

− − = 2 2 2 ) ( ) ˆ ( Y Y Y Y R i


(43)

Penyebaran Letak Obyek Penelitian

Penelitian dilakukan dengan membangun petak-petak ukur permanen (PUP) di beberapa Kecamatan di Kabupaten Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu yang terletak disepanjang Pantai Barat Sumatera. Jumlah PUP yang digunakan dalam penelitian ini adalah 17 PUP, dengan rincian 2 PUP terdapat di Desa Pasar Pedati, Kecamatan Pekik Nyaring, 4 PUP di Desa Sawang Lebar, Kecamatan Air Napal, dan 11 PUP di Desa Dusun Curup, Kecamatan Air Besi. Letak geografis dan administrasi pemerintahan serta ketinggian tempat dari permukaan laut disajikan secara rinci pada Tabel 4.

Tabel 4 Lokasi, letak geografis, ketinggian tempat, dan kelerengan PUP hutan rakyat kayu bawang di Propinsi Bengkulu

Lokasi (desa, kecamatan, kabupaten)

No.

PUP Letak Geografis

Alti- tude (m)

Kemiringan lapangan

(o)

Pasar Pedati, Pekik Nyaring, Bengkulu Utara

1 102o 15’ 10” BT; 03o43’59” LS 24 0 2 102o 15’ 10” BT; 03o43’54” LS 24 0 Sawang Lebar, Air

Napal, Bengkulu Utara.

3 102o 10’ 49” BT; 03o35’07” LS 56 15 4 102o 10’ 49” BT; 03o35’07” LS 56 15 5 102o 11’ 15” BT; 03o35’36” LS 46 26 6 102o 11’ 15” BT; 03o35’36” LS 46 25 Dusun Curup, Air Besi,

Bengkulu Utara.

7 102o 11’ 53” BT; 03o31’50” LS 86 15 8 102o 10’ 50” BT; 03o31’16” LS 91 0 9 102o 11’ 01” BT; 03o31’18” LS 95 25 10 102o 11’ 16” BT; 03o31’00” LS 88 27 11 102o 11’ 20” BT; 03o30’54” LS 86 5 12 102o 11’ 20” BT; 03o30’54” LS 86 5 13 102o 11’ 20” BT; 03o30’54” LS 86 10 14 102o 12’ 07” BT; 03o31’08” LS 106 17 15 102o 12’ 20” BT; 03o31’09” LS 106 30 16 102o 12’ 10” BT; 03o31’14” LS 106 0 17 102o 12’ 11” BT; 03o31’14” LS 106 0


(44)

28

Topografi

Secara hidrologi, daerah penelitian termasuk dalam 2 daerah aliran sungai, yaitu DAS Lais dan DAS Lemau-Bengkulu. PUP 1 dan 2 termasuk pada DAS Lemau-Bengkulu, sedangkan PUP 3-17 termasuk dalam DAS Lais. DAS Lais mempunyai luas 199.476 ha dan DAS Lemau-Bengkulu seluas 112.393 ha (BPDAS Ketahun 2007). Lokasi penelitian terletak pada hilir DAS sehingga mempunyai altitude yang rendah, yaitu berkisar antara 24-106 m dpl.

Topografi kedua DAS ini, sebagian besar mempunyai kelas lereng 25-40% dan 8-15%. Rincian dan persentase masing-masing kelas lereng pada kedua DAS disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Luas dan persentase kelas lereng pada DAS Lais dan DAS Lemau Bengkulu (BP DAS Ketahun 2007)

Kelas lereng DAS Lais DAS Lemau-Bengkulu Luas (ha) persentase Luas (ha) Persentase 0-8% 12.082 6,06 14.092 12,54 8-15% 41.235 20,67 5.728 5,10

15-25% - - - -

25-40% 141.868 71,12 92.524 82,32 > 40% 4.291 2,15 49 0,04 Jumlah 199.476 100,00 112.393 100,00

Tanah dan Penutupan Lahan

Jenis tanah di DAS Lais didominasi oleh jenis Tropudults (91.644 ha = 45,94%), Dystropepts (54.028 ha = 27,08%), dan jenis Hapludults (24.428 ha = 12,25%). Mirip dengan jenis tanah di DAS Lemau-Bengkulu yang didominasi oleh jenis Dystropepts (62.252 ha = 55,39%) dan Tropudults (34.174 ha = 30,4%) (BPDAS Ketahun 2007).

Penutupan lahan pada DAS Lais didominasi oleh pertanian lahan kering campuran seluas 127.116 ha (63,72%), hutan lahan kering sekunder seluas 40.650 ha (20,38%), dan hutan lahan kering primer seluas 22.883 ha (11,47%). Demikian pula DAS Lemau-Bengkulu didominasi oleh pertanian lahan kering campuran


(45)

seluas 94.266 ha (83,87%), perkebunan seluas 3.620 ha (3,22%), dan semak belukar 2.974 ha (2,65%) (BPDAS Ketahun 2007).

Iklim

Tipe iklim menurut Smidth-Fergusson pada lokasi penelitian tergolong pada tipe A dan menurut kriteria tipe wilayah agroklimat termasuk dalam tipe A1 yang mempunyai jumlah bulan basah > 9 bulan dan bulan kering < 2 bulan. Distribusi curah hujan per bulan selama 30 tahun (1971-2000) disajikan pada Tabel 6. Suhu udara rata-rata pada wilayah Bengkulu (tahun 2007) adalah 26,4oC dengan rata-rata maksimum 30,7 oC dan rata-rata minimum 23,7 oC. Kelembaban rata-rata (RH) pada tahun 2008 berkisar antara 81-87%.

Tabel 6 Distribusi curah hujan bulanan pada pos pengamatan Baturoto (Kerkap) dan Argamakmur selama 30 tahun (1971-2000) (Stasiun Klimatologi Pulau Baai 2009)

Bulan Pos Baturoto (Kerkap) Pos Argamakmur Kisaran (mm) Rata-rata (mm) Kisaran (mm) Rata-rata (mm) Januari 406-550 478 389-526 458 Februari 317-428 373 286-387 337

Maret 360-487 424 340-460 400

April 323-437 380 306-414 360

Mei 289-391 340 300-406 353

Juni 254-344 299 232-314 273

Juli 239-324 282 230-311 271

Agustus 273-369 321 275-372 324

September 295-399 347 309-418 364

Oktober 348-471 410 328-444 386

Nopember 386-523 455 385-521 453


(46)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Model Pertumbuhan pada Masing-Masing PUP

Model pertumbuhan pada masing-masing PUP disusun dengan analisis regresi menggunakan metode kuadrat terkecil terboboti (Weighted Least Square). Metode ini digunakan apabila ragam amatan-amatan tidak sama atau disebut dengan heteroskedastisitas atau terjadinya korelasi antar amatan (Draper and Smith 1992; Chatterjee and Price 1991). Hal ini sangat memungkinkan terjadi karena model pertumbuhan pada masing-masing PUP disusun berdasarkan data seri pengukuran PUP. Dari 17 PUP yang diamati, 6 PUP diantaranya telah diamati secara serial sebanyak 4 kali pengamatan, 9 PUP sebanyak 3 kali pengamatan dan 2 PUP sebanyak 2 kali pengamatan. Penyusunan model pertumbuhan dilakukan pada PUP yang telah diamati sebanyak 3 dan 4 kali.

Model pertumbuhan yang disusun pada masing-masing PUP adalah model pertumbuhan diameter, tinggi, luas bidang dasar dan volume per hektar. Pemilihan model terbaik dilakukan berdasarkan nilai uji statistik terhadap 5 model hipotetik yang sebelumnya telah dipilih berdasarkan kelogisan bentuk kurva (mendekati bentuk sigmoid), kesederhanaan model, kemudahan pengukuran peubah, dan ketersediaan data. Model pertumbuhan hipotetik tersebut adalah model Schumacher (S-1, S-2) dan Wiroatmojo (W-1, W-2, dan W-3).

Model pertumbuhan diameter tegakan

Diameter tegakan merupakan rata-rata diameter individu pohon penyusun tegakan, sehingga penyusunan model pertumbuhan diameter tegakan didasarkan pada rata-rata diameter pada tegakan penyusun PUP. Model pertumbuhan diameter tegakan terbaik berdasarkan nilai-nilai uji statistiknya untuk masing-masing PUP disajikan pada Lampiran 4.

Pada PUP dengan yang telah diamati sebanyak 4 kali (secara serial) dapat dibentuk model pertumbuhan dengan 3 parameter (termasuk konstanta), sehingga variabel bebas (penjelas) umur (A) dan kerapatan tegakan (N) kedua-duanya dapat dimasukkan ke dalam model. Tetapi jika hanya menggunakan 3 data pengamatan berulang, model yang dibentuk hanya dapat mengandung 2 parameter sehingga


(47)

variabel penjelas yang dapat dimasukkan ke dalam model hanya salah satu dari kedua variabel penjelas tersebut. Hal ini bisa dijelaskan karena jumlah maksimum variabel penjelas (termasuk konstanta) yang dapat dimasukkan dalam persamaan regresi adalah sebanyak derajat bebasnya (Gujarati 1978). Pada PUP dengan 4 kali pengamatan berulang (PUP 1-6), terdapat beberapa model pertumbuhan diameter yang terbentuk yaitu model logistik (W-2), model Schumacher (S-1, S2), dan model berpangkat (W-1). Sedangkan model yang dibentuk dengan 3 kali pengamatan berulang (PUP 7-15) umumnya membentuk model berpangkat (W-1) dan beberapa model Schumacher. Pada model berpangkat, koefisien A berkisar antara 0 sampai 10 sedangkan eksponennya berkisar antara 0 dan 1 yang berarti bahwa model tersebut mempunyai asimptot (Lampiran 4).

Model-model diameter yang terpilih mempunyai kemampuan tinggi untuk menjelaskan keragaman pada variabel tak bebasnya yang ditandai dengan koefisien determinasi yang tinggi (98,7-100%). Jika ditinjau dari nilai probabilitas (p-value), terlihat bahwa hanya variabel umur yang menunjukkan tingkat kepentingan yang selalu tinggi dalam model. Tidak demikian dengan variabel kerapatan yang tidak selalu berperan dalam pembentukan model, karena pada kenyataannya, variabel kerapatan (jumlah pohon per hektar) relatif tidak berubah antar pengamatan (PUP yang sama). Tingkat ketelitian semua model yang terbentuk cukup tinggi yang ditunjukkan oleh nilai simpangan rata-rata yang di bawah 4%.

Model pertumbuhan tinggi tegakan

Model pertumbuhan tinggi pada masing-masing PUP menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam menjelaskan keragaman peubah bebasnya yang ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi yang berkisar antara 89-100% sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 5. Namun demikian, hasil uji probalitas dengan p-value yang lebih dari 5% menunjukkan bahwa peranan peubah bebas pada beberapa model tidak nyata yang berarti bahwa konstanta dan koefisien dari kedua variabel tidak berbeda dengan nol pada taraf nyata 5%.

Sama halnya dengan model pertumbuhan diameter, model pertumbuhan tinggi pada masing-masing PUP umumnya adalah model berpangkat kecuali PUP 1 dan 4 memiliki model Schumacher (S-1 dan S-2). Pada model berpangkat


(48)

32

eksponen dari A dan N umumnya berada pada selang 0 dan 1 yang mempunyai grafik berbentuk garis lengkung dengan gradien positif. Namun demikian, beberapa PUP dengan model berpangkat mempunyai eksponen yang tidak berada pada selang tersebut. Jika eksponen model berpangkat >1, maka persamaan yang terbentuk akan membentuk grafik eksponensial yang tidak memiliki asimptot. Sebaliknya jika nilai eksponen < 0, maka persamaan akan membentuk garis lengkung berbentuk huruf J terbalik. Hal ini bisa dijelaskan karena model yang dibentuk pada masing-masing PUP adalah model yang disusun pada interval umur yang sempit, sehingga pada interval tersebut hubungan antara umur dan pertumbuhan dapat saja berbentuk eksponensial.

Model pertumbuhan luas bidang dasar tegakan

Luas bidang dasar tegakan menyatakan luas seluruh penampang melintang tegakan pada posisi setinggi dada dalam satu hektar. Nilai luas bidang dasar tegakan (per hektar) diperoleh dengan cara membagi jumlah luas bidang dasar dalam satu PUP dengan luas PUP tersebut (juga dalam satuan hektar).

Luas bidang dasar ini juga sering digunakan sebagai salah satu ukuran kerapatan tegakan disamping jumlah individu per hektar, sehingga secara logis kedua variabel ini akan saling mempengaruhi. Namun demikian pada Lampiran 6, p-value untuk koefisien b pada PUP 2, 4, dan 5 yang telah mengalami pengukuran berulang sebanyak 4 kali tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan nol pada taraf uji 5%. Hal ini karena pada PUP-PUP tersebut relatif tidak ada perubahan jumlah individu per hektar, dari pengukuran pertama hingga keempat. Model pertumbuhan luas bidang dasar ini umumnya memberikan tingkat pendugaan yang cukup teliti terhadap variabel tak bebasnya. Hal ini ditunjukkan oleh nilai simpangan rata-rata yang berada di bawah 10%.

Model pertumbuhan volume tegakan

Volume tegakan merupakan jumlah volume seluruh individu dalam suatu tegakan persatuan luas. Volume individu pohon dalam tegakan dihitung dengan rumus Sumadi et al. (2007) yang menghitung volume tegakan dengan kulit hingga diameter ujung 10 cm. Volume merupakan ukuran produksi yang dapat dipanen


(49)

sehingga model penduga volume merupakan model yang sangat penting dalam pengelolaan hutan tanaman.

Model pertumbuahan volume sebagaimana disajikan pada Lampiraan 7 mempunyai tingkat ketelitian yang masih rendah. Sebagian besar model yang diperoleh mempunyai nilai simpangan agregatif yang lebih besar dari 1. Demikian pula nilai probabilitas (p-value) koefisien variabel penjelas beberapa model tidak berbeda nyata dengan nol, walaupun nilai koefisien determinasi cukup tinggi.

Model pada PUP 7-15 yang dibentuk dari 3 kali pengukuran berulang semuanya adalah model berpangkat. Eksponen dari model-model tersebut umumnya lebih besar dari 1 yang berarti bahwa grafik dari model tersebut berbentuk eksponensial dan tidak memiliki garis asimptot. Hal ini menjelaskan bahwa model yang dibentuk dengan rentang umur yang sempit terutama pada pertumbuhan awal tidak dapat digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan tegakan selama daurnya.

Pertumbuhan Kayu Bawang pada Berbagai Pola Tanam Pola tanam hutan rakyat kayu bawang

Munculnya berbagai pola tanam merupakan salah satu bentuk strategi petani untuk memperoleh pendapatan yang kontinyu dari bidang lahan yang dikelolanya. Produk kayu yang ditanam sudah tentu tidak dapat dipanen dalam waktu singkat, sehingga perlu menanam tanaman lain yang dapat memberikan hasil yang dapat diperoleh dalam waktu yang lebih singkat.

Sebelum berkembangnya pengelolaan kayu bawang, petani di Propinsi Bengkulu pada umumnya mengusakan lahannya dengan jenis-jenis tanaman perkebunan seperti kopi, karet, dan kayu manis. Setelah hutan rakyat kayu bawang berkembang, bentuk pengelolaan ini tetap mereka pertahankan dengan cara mengkombinasikan pengelolaannya dalam bidang lahan yang dimilikinya.

Terdapat berbagai pola tanam kayu bawang yang dijumpai di Propinsi Bengkulu, namun secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam tiga pola, yaitu pola tumpang sari, agroforestry dua jenis yaitu dengan kayu bawang dengan tanaman kopi, dan pola agroforestry multi jenis dengan jenis kopi, karet, jengkol, pinang, dan kayu manis (Tabel 7). Perbedaan yang nyata antara pola tumpang sari


(50)

34

dengan pola agroforestry adalah pertama, jenis tanaman sela pada pola tumpangsari adalah tanaman semusim seperti jenis kacang-kacangan. Kedua, pada pola tumpang sari, tanaman sela hanya diusahakan hingga umur tertentu (maksimal hingga umur 5 tahun) karena kenyataannya, setelah kayu bawang mempunyai tajuk, tanaman semusim tidak lagi dapat diusahakan. Berbeda dengan dua pola lainnya, karena kayu bawang dan tanaman sela tumbuh bersama hingga akhir daur.

Tabel 7 Deskripsi pola tanam kayu bawang (Protium javanicum Burm F.) di Propinsi Bengkulu.

No. Pola tanam Deskripsi PUP

1. Tumpang sari Kayu bawang ditanam dengan tanaman semusim hingga umur 5 tahun. Setelah itu tanaman tumbuh secara monokultur. Telah ada pengaturan jarak tanam.

Terdapat pada 2 PUP yang terdapat di desa Pasar Pedati an Sukemi.

2. Agroforestry kayu bawang + kopi

Kayu bawang ditanam bersama tanaman kopi hingga akhir daur dan kayu bawang sekaligus berfungsi sebagai tanaman penaung.

Terdapat pada 7 PUP, 3 PUP terdapat di desa Sawang Lebar an Kardi (1) dan Hatimun (2), serta 4 PUP di Dusun Curup an Evi Hendra, Nuril, Syahril dan Jumira. 3. Agroforestry

multi jenis.

Kayu bawang ditanam dengan beberapa jenis lain. Di samping kopi juga ada tanaman karet, jengkol, pinang, dan kayu manis.

Terdapat pada 7 PUP di Dusun Curup an Anwar (3), Hamdi (2) dan Johan (2).

Di antara ketiga pola tanam tersebut di atas, pola tanam agroforestry dua jenis antara kayu bawang dengan kopi dan pola agroforestry multi jenis adalah pola tanam yang paling umum dijumpai pada hutan rakyat kayu bawang di Propinsi Bengkulu. Kebiasaan masyarakat berkebun kopi dan karet sangat mempengaruhi pemilihan pola tanam masyarakat dalam menanam tanaman


(51)

kehutanan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini pembahasan difokuskan pada kedua pola tanam tersebut.

Model pertumbuhan tegakan pada masing-masing pola tanam

Model pertumbuhan tegakan kayu bawang dalam penelitian ini menggunakan dua variabel penjelas yaitu umur dan kerapatan, dengan asumsi bahwa kualitas tapak pada lokasi penelitian adalah sama. Variabel tak bebas tegakan yang diduga adalah diameter (D), tinggi (H), peninggi (Ho), luas bidang dasar (B), dan volume per hektar (V). Terdapat lima model pertumbuhan yang diuji untuk setiap variabel pertumbuhan pada dua pola tanam yang berbeda, yaitu pola tanam agroforestry kayu bawang + kopi dan agroforestry multi jenis.

Penyusunan model pertumbuhan kayu bawang dilakukan dengan analisis regresi biasa (Ordinary Least Square = OLS) dan analisis regresi terboboti (Weighted Least Square = WLS). Analisis regresi WLS dilakukan karena adanya dugaan terjadinya korelasi antar amatan atau ketidakhomogenan ragam (heteroskedastisitas) pada masing-masing pengamatan. Hal ini dapat terjadi karena model disusun berdasarkan kombinasi data yang diperoleh secara serial (time series) dan cross-sektional. Model pertumbuhan yang digunakan adalah hasil analisis regresi WLS, namun demikian hasil kedua metode analisis disajikan secara berdampingan untuk melihat perbedaan model yang diperoleh. Pemilihan model yang paling tepat didasarkan pada nilai-nilai uji statistik dan kelogisan bentuk kurva. Nilai uji statistik yang digunakan adalah koefisien determinasi (R2), nilai probabilitas (P-value) masing-masing parameter, simpangan agregat (SA), simpangan rata-rata (SR), rata-rata sisaan (mean residual disingkat ME), dan akar rata-rata kuadrat sisaan (root mean squred error, disingkat RMSE).

1. Model pertumbuhan diameter tegakan

Hasil analisis regresi dengan metode OLS dan WLS terhadap variabel diameter tegakan pada kedua pola tanam membentuk persamaan dengan parameter yang relatif sama pada semua model yang diujikan (Tabel 8). Berdasarkan hasil uji statistik (Tabel 9), model-model yang diujikan mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menerangkan keragaman dalam variabel diameter tegakan pada kedua pola tanam yang ditunjukkan oleh koefisien determinasi yang tinggi (80%-98%). Hasil analisis regresi secara OLS dan WLS memberikan


(1)

Lampiran 5 Model pertumbuhan tinggi terbaik pada masing-masing PUP dengan koefisien determinasi dan nilai uji statistiknya

No.

PUP Model terbaik

R2

(%)

P-value SR

(%)

α β1 β2

1. Ln H = 53,237 – 1,10807/A – 7,5539 ln N 100 0,013 0,007 0,014 0,35

2. H = 1,78385 . 10-15 A0,67235 N5,244 99,9 0,219 0,034 0,210 0,52

3. H = 2,87916 A0,8027 89,2 0,085 0,055 - 6,47

4. Ln H = 0,3329 – 0,99638/A – 1572,28/ N 99,9 0,259 0,026 0,038 2,82

5. H = 32500,15A0,7114 N-1,5856 100 0,066 0,063 0,066 1,10

6 H = 1,60512 A1,1322 96,2 0,308 0,019 - 3,37

7. H = 6,54682 A0,50821 99,2 0,025 0,056 - 1,25

8. H = 7,83844 A0,56204 99,6 0,016 0,041 - 1,23

9. H = 4,72941 A0,85301 99,0 0,051 0,064 - 2,94

10. H = 3,50248 A0,92651 99,9 0,033 0,024 - 0,75

11. H = 7,298 A0,40789 99,7 0,011 0,037 - 0,50

12. H = 6,71135 A0,46864 99,8 0,009 0,026 - 0,66

13. H = 7,72761 A0,36878 100 0,003 0,013 - 0,28

14. H = 7,85602 A0,28525 99,4 0,008 0,048 - 0,97

15. H = 6,57859 A0,45877 98,8 0,020 0,069 - 2,76

Keterangan: α = konstanta, β1 = koefisien variabel bebas umur (1/A, e-A atau pangkat dari A) dan β2 = koefisien variabel bebas kerapatan tegakan (1/N, e(-N /100))


(2)

Lampiran 6 Model pertumbuhan luas bidang dasar terbaik pada masing-masing PUP dengan koefisien determinasi dan nilai uji statistiknya

No.

PUP Model terbaik

R2

(%)

P-value SR

(%)

α β1 β2

1. B = 1/(0,1253 + 1,5792

e

-A– 146,6

e

-N/100) 100 0,005 0,003 0,012 4,75

2. B = 1/(0,1431 + 1,2403

e

-A

– 520

e

-N/100) 99,5 0,296 0,048 0,469 6,88

3. B = 1,14474 A1,11676 99,9 0,082 0,000 - 1,04

4. B = 1/(0,1436 + 0,4651

e

-A– 29,37

e

-N/100) 99,9 0,026 0,030 0,082 1,10

5. B = 4,35762 . 10-5 A1,20075 N1,7682 99,8 0,075 0,038 0,066 0,62

6 B = 1,28414 A1,61953 99,8 0,079 0,001 - 0,76

7. B = 0,41300 A1,6237 99,6 0,123 0,040 - 2,91

8. B = 2,54085 A0,71963 99,8 0,030 0,027 - 1,04

9. B = 2,40224 A0,88172 99,6 0,056 0,058 - 1,84

10. B = 3,22935 A0,77985 99,9 0,024 0,020 - 0,39

11. B = 5,39893 A0,66412 100 0,005 0,010 - 0,27

12. B= 17,6455-25,0411/A 100 0,001 0,005 - 0,15

13. B = 7,22979 A0,43326 98,7 0,023 0,072 - 1,75

14. Ln B= 2,40231-1,43747/A 99,9 0,005 0,022 - 0,68

15. B = 1,92570 A0,9555 100 0,014 0,009 - 0,60

Keterangan: α = konstanta, β1 = koefisien variabel bebas umur (1/A, e-A atau pangkat dari A) dan β2 = koefisien variabel bebas kerapatan tegakan (1/N, e(-N /100))


(3)

Lampiran 7 Model pertumbuhan volume tegakan (vol/ha) terbaik pada masing-masing PUP dengan koefisien determinasi dan nilai uji statistiknya

No.

PUP Model terbaik

R2

(%)

P-value SR

(%)

α β1 β2

1. V = 1/(0,0223 + 0,3501

e

-A

32,96

e

-N/100) 100 0,004 0,002 0,006 6,88

2. V = 1/(0,0285 + 0,3752

e

-A

– 82,3

e

-N/100

) 99,7 0,390 0,040 0,567 9,24

3. V = 2,01839 A1,8333 99,3 0,055 0,003 - 3,67

4. V = 1,27.107 A0.870211 N-2,07334 100 0,014 0,003 0,016 0,11

5. V = 0,232 A1,7642 N0,4352 99,8 0,726 0,070 0,536 1,53

6. V = 1,48557 A1,9861 98,7 0,375 0,006 - 3,38

7. V = 1,40917 A2,1079 99,5 0,391 0,044 - 4,16

8. V = 11,08475 A1,20012 99,7 0,024 0,034 - 2,23

9. V = 7,70447 A1,5502 99,3 0,059 0,053 - 4,58

10. V = 7,20734 A1,58321 100 0,014 0,009 - 0,51

11. V = 21,45762 A0,9087 100 0,006 0,014 - 0,73

12. V = 19,99496 A0,94074 100 0,006 0,014 - 0,67

13. V = 31,0982 A0,77425 99,3 0,018 0,054 - 2,27

14. V = 16,21862 A0,77323 100 0,000 0,000 - 0,02

15. V = 7,48836 A1,3773 99,8 0,022 0,028 - 2,76

Keterangan: α = konstanta, β1 = koefisien variabel bebas umur (1/A, e-A atau pangkat dari A) dan β2 = koefisien variabel bebas kerapatan tegakan (1/N, e(-N /100))


(4)

Lampiran 8 Peta pohon pada masing-masing PUP

PUP 1 (Sukemi 1) PUP 2 (Sukemi 2)

PUP 3 (Kardi 1) PUP 4 (Kardi 2)

PUP 5 (Hatimun 1) PUP 6 (Hatimun 2) 0

5 10 15 20 25 30

0 5 10 15 20 25 30

0 5 10 15 20 25 30

0 5 10 15 20 25 30

0 5 10 15 20 25 30

0 5 10 15 20 25 30 0 5 10 15 20 25 30

0 5 10 15 20 25 30

0 5 10 15 20 25 30

0 5 10 15 20 25 30 0 5 10 15 20 25 30


(5)

PUP 7 (Evi Suhardi) PUP 8 (Jumira)

PUP 9 (Nuril) PUP 10 (Syahril)

PUP 11 (Anwar 1) PUP 12 (Anwar 2) 0

5 10 15 20 25 30

0 5 10 15 20 25 30

0 5 10 15 20 25 30 35 40

0 5 10 15 20 25 30 35 40

0 5 10 15 20 25 30

0 5 10 15 20 25 30 0 5 10 15 20 25 30

0 5 10 15 20 25 30

0 5 10 15 20 25 30

0 5 10 15 20 25 30 0 5 10 15 20 25 30


(6)

PUP 13 (Anwar 3) PUP 14 (Hamdi 1)

PUP 15 (Hamdi 2) 0

5 10 15 20 25 30

0 5 10 15 20 25 30

0 5 10 15 20 25 30

0 5 10 15 20 25 30

0 5 10 15 20 25 30