PERILAKU POLITIK ELIT PARTAI GOLKAR DI MEDAN DALAM PILPRES 2014.

(1)

PERILAKU POLITIK ELIT

PARTAI GOLKAR DI MEDAN

DALAM PILPRES 2014

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Magister Sains pada

Program Studi Antropologi Sosial

Oleh: YOPI RACHMAD

NIM: 8126152017

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

MEDAN 2015


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Yopi Rachmad, Perilaku Politik Elit Partai Golkar di Medan dalam Pilpres 2014. Program Studi Antropologi Sosial Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Perilaku Politik Elit Partai Golkar di Medan dalam Pilpres 2014, 2. Akibat keputusan Partai Golkar dalam Pilpres 2014 di tingkat lokal, 3. Potensi Konflik Partai Golkar di Medan dalam Pilpres 2014. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan langkah kerja penelitian etnografi atas dasar pendekatan paradigma prosesual. Untuk memperoleh informasi dan data-data digunakan teknik pengumpulan data berupa studi pustaka, observasi, wawancara dan dokumentasi, dengan 8 alur penelitian maju bertahap yang dimodifikasi oleh peneliti sendiri. Dari analisis Teori Konflik dan Teori Agensi, penelitian ini menggambarkan bahwa 1.Konflik yang terjadi di tingkat pusat merupakan perilaku pragmatisme politik para elit yang menuntut Elit di tingkat lokal untuk melakukan berbagai upaya mencegah konflik berkembang dan muncul ke permukaan di tingkat lokal. Hal ini dimungkinkan dengan memunculkan perasaan bahwa Partai Golkar mengalami intervensi dari luar sehingga menghadirkan semangat untuk menjaga marwah partai, dan perbedaan yang terjadi di tingkat elit pusat merupakan peristiwa biasa yang dilatarbelakangi oleh kepentingan pribadi dari beberapa elit partai yang tidak mengikuti arah koalisi partai, 2. Konflik yang terjadi di tingkat pusat dieliminasi ketika sampai di tingkat lokal karena faktor elit di tingkat lokal yang bergerak sebagai agen, di mana elit partai Golkar di Kota Medan mampu meredam konflik dengan melakukan berbagai aktivitas dan perilaku dialektika terhadap struktur yang dapat mengeliminasi setiap konflik. Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa: (1) Perilaku politik elit Partai Golkar Kota Medan memiliki dasar yang berakar dari pengalaman masa kecil, mendapat pengaruh dari pendidikan informal dalam keluarga dan dari pengalaman organisasi di mana mereka berkecimpung di dalamnya. Elit Partai Golkar Kota Medan melakukan berbagai hal untuk melakukan proses pemenangan calon yang diusung Partai Golkar seperti menggunakan organisasi tempatnya bernaung di luar Partai, dengan mengoptimalkan setiap jaringan dan momen yang ada di dalam setiap organisasi mereka, mulai dari melakukan penyisipan kampanye dalam setiap acara Pelantikan, Hari Ulang tahun, Baksos, Acara-acara yayasan yang mereka naungi, fogging gratis, pemeriksaan kesehatan gratis, mengadakan acara berbuka bersama di bulan Ramadhan hingga memiliki anak asuh yang diharapkan dapat menyumbang suara, sehingga fungsi partai politik seperti artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, sosialisasi politik dan rekruitmen politik serta komunikasi politik dilakukan. (2) Keputusan Partai Golkar yang mengusung Prabowo-Hatta dalam pemilihan Presiden tahun 2014 memiliki akibat perbedaan pendapat di kalangan elit pusat Partai Golkar, namun tidak banyak berpengaruh di tingkat lokal (Kota Medan). (3) Pemilihan Presiden tahun 2014 menyisakan potensi konflik yang jika tidak dapat diantisipasi akan berujung perpecahan. Potensi konflik di tataran elit Partai Golkar Kota Medan bisa jadi ada, namun faktor kepemimpinan menjadi alasan kuat terciptanya harmonisasi. Sosok Ajib Shah yang merupakan Ketua Golkar Sumatera Utara menjadi alasan hal itu, karena pola kepemimpinan Ajib Shah adalah pola kepemimpinan yang lebih terbuka secara komunikasi sehingga konflik yang terjadi tidak muncul ke permukaan.


(6)

ABSTRACT

Yopi Rachmad, Political Behavior Elite Golkar Party in the 2014 presidential election in Medan Social Anthropology Studies Program Graduate University of Medan.

This study aims to determine: 1. Political Behavior Golkar Party Elites in Medan in the 2014 presidential election, 2. As a result of the decision of the Golkar Party in the 2014 presidential election at the local level, 3. Potential Conflicts of Golkar Party in the 2014 presidential election in Medan This study used a descriptive research method qualitatively using ethnographic research work steps on the basis of procedural paradigm approach. To obtain information and data in the form of data collection techniques used in the literature study, observation, interviews and documentation, with 8 lines of inquiry developed gradually modified by the researchers themselves. From the analysis of conflict theory and agency theory, this study illustrates that 1.Konflik that occurred at the central level is the behavior of political pragmatism elites demanding elite at the local level to take measures to prevent conflicts evolve and rise to the surface at the local level. It is possible to create a feeling that the Golkar Party suffered outside intervention that brings the spirit to keep the dignity of the party, and the differences that occur at the elite level of the center is a regular event that has been overshadowed by the personal interests of some party elite who do not follow the direction of the coalition parties, 2. The conflict at the national level are eliminated when he arrived at the local level because of the elite at the local level which operates as an agent, where the elite of the Golkar party in Medan able to reduce conflicts by doing various activities and behaviors on the structure dialectic which can eliminate any conflict. From the study it can be concluded that: (1) The behavior of the political elite of the Golkar Party Medan has a foundation rooted in childhood experiences, under the influence of informal education in the family and of the experience of the organization in which they are dealing. Golkar Party elite Medan do things to make the process of winning candidates who carried the Golkar Party as using the organization's shelter place outside the Party, by optimizing each network and the moment that is in each of their organizations, ranging from inserting a campaign in every Inaugural event, Day Birthdays, Social Service, Events foundations that they naungi, fogging free, free health checks, held a joint breaking in Ramadan to have foster children who are expected to contribute a voice, so that the function of political parties such as interest articulation, interest aggregation, socialization politics and political recruitment and political communication is done. (2) The decision of the Golkar Party that carries Prabowo-Hatta in the Presidential election in 2014 had as a result of a difference of opinion among the elite center of the Golkar Party, but does not have much effect on the local level (Medan). (3) Election of the President in 2014, leaving a potential conflict if it can not be anticipated will lead to discord. Potential conflicts in the elite level of the Golkar Party Medan can be there, but the leadership factor and a major reason the creation of harmonization. Ajib figure Shah who is Chairman of Golkar North Sumatra is the reason that, since the pattern Ajib Shah leadership is leadership that is more open pattern in communication so that the conflict does not come to the surface.


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

1. Tujuan Penelitian ... 8

2. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II Tinjauan Pustaka ... 9

2.1. Sejarah Partai Golkar ... 9

2.2. Paradigma Baru Partai Golkar ... 17

2.3. Arah Kebijakan Umum Partai Golkar ... 21

1. Visi Partai Golkar ... 21

2. Misi Partai Golkar ... 21

3. Tujuan Partai Golkar ... 21

4. Pokok-pokok Program Partai Golkar ... 22

2.4. Partai Golkar di Kota Medan ... 23

2.5. Perilaku Politik ... 24

2.6. Partai Politik ... 26

2.7. Teori Agensi ... 28

2.8. Teori Konflik ... 30

BAB III Metodologi Penelitian ... 36

3.1. Metode Penelitian ... 36

3.2. Subjek Penelitian ... 38

3.3. Teknik Pengumpul Data ... 38

3.4. Analisis Data ... 44

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 46

4.1. Paparan Data ... 46


(8)

4.1.2. Perilaku Politik Elit Partai Golkar Kota Medan ... 55

4.1.3. Akibat Keputusan Partai Golkar dalam Pilpres 2014 ... 67

4.1.4. Potensi Konflik Partai Golkar Kota Medan dalam Pilpres ... 70

4.2. Analisis Data dalam Perspektif Teori Konflik dan Teori Agensi ... 71

4.2.1 Perilaku Politik Elit Partai Golkar Kota Medan dalam Pilpres 2014 ... 71

4.2.2. Akibat Keputusan Partai Golkar dalam Pilpres 2014 ... 85

4.2.3. Potensi Konflik Partai Golkar Kota Medan dalam Pilpres 2014 ... 88

BAB III Simpulan dan Saran ... 101

3.1. Simpulan ... 101

3.2. Saran ... 103


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Reformasi 1998 menghadirkan perubahan proses demokrasi di Indonesia. Pemilihan Presiden/ Wakil Presiden hingga Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung, sehingga menghasilkan Presiden/ Wakil

Presiden dan kepala daerah “Pilihan Rakyat”. Pilihan ini diambil sebagai

bagian dari trauma sejarah di masa orde baru yang dianggap mengekang demokrasi. Demokratisasi atas dasar desentralisasi menjadi pilihan untuk menunjukkan eksistensi sebagai individu yang merdeka.

Hal ini dapat kita telusuri dari berbagai peraturan yang dibuat untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah dan berbagai peraturan pelaksananya. Semua peraturan yang mengatur tentang pemerintahan daerah pada prinsipnya selalu menekankan desentralisasi sebagai pilihan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perbedaannya hanya terletak pada sistem penyerahan dan besarnya kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah serta implikasinya.

Daerah diberikan kesempatan dan keleluasaan untuk

menyelenggarakan Otonomi Daerah seluas-luasnya sebagaimana

dimaksud pada Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Implementasi dari ketentuan ini, penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan


(10)

pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Diundangkannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, maka terjadi paradigma baru dalam

penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini dikarenakan kedua Undang-Undang tersebut telah memberi kewenangan yang luas kepada Daerah dan didukung penyediaan dana perimbangan keuangan yang

mengandung konsekuensi perubahan sistem penyelenggaraan

pemerintahan yang mendasar baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Propinsi dan Kabupaten / Kota (Sihite. M. dan Gunawan Suswantoro, 1999).

Sebagai konsekuensi, daerah harus mendapatkan otonomi yang kuat dalam arti kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah setempat berdasarkan aspirasi masyarakat dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia, sehingga pembangunan daerah dapat selalu dipahami sebagai pembangunan dalam semangat desentralisasi. Otonomi daerah dalam pandangan seperti ini sangat menggarisbawahi keberadaan dan kepentingan masyarakat daerah untuk menjadi sumber inspirasi utama dalam setiap langkah kegiatan pemerintah daerah baik dari aspek pengaturan maupun pelayanan masyarakat.


(11)

Menurut Josep Riwu Kaho (2001:63), beberapa faktor yang menjadi penentu keberhasilan otonomi daerah yaitu :

a. Manusia pelaksana harus baik. b. Keuangan harus cukup dan baik. c. Peralatannya harus cukup dan baik. d. Organisasi dan manajemennya harus baik.

Dari berbagai faktor tersebut di atas, tentunya faktor manusia yang menjadi faktor utama dan esensial, karena manusia di samping menjadi objek juga sebagai subjek dalam segala aktivitas pemerintahan. Faktor manusia bisa menentukan berapa besar keuangan yang diperlukan dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan, selanjutnya faktor manusia juga menentukan peralatan apa yang yang diperlukan guna mendukung semua kegiatan pemerintahan dan seterusnya.

Oleh karena itu, faktor manusia menjadi penggerak sekaligus pelaku dalam proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Kaitannya dengan Golkar adalah bahwa otonomi menjadi sarana untuk menampilkan kader-kader Golkar yang memiliki kapasitas dalam menggerakkan pembangunan di era otonomi daerah, melalui praktek pemilu yang dilakoni partai Golkar.

Sesuai dengan amandemen UUD 1945, Pemilihan Presiden/ Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung dan demokratis. Partai politik atau gabungan partai politik dapat mengajukan calon pasangan Presiden dan Wakil Presiden dengan syarat memperoleh 20% kursi DPR,


(12)

atau diajukan oleh gabungan partai poltik dengan 25% perolehan suara sah secara kumulatif .

Kehadiran partai politik dengan fungsi rekrutmennya menjadikan partai-partai politik secara leluasa menjaring berbagai kalangan masyarakat untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden. Sebut saja Partai Demokrat yang menciptakan instrument konvensi, walaupun pada prakteknya, partai Golkar sudah lebih dahulu melakukannya. Aktivis partai politik sering menyebutnya sebagai perahu atau kendaraan politik bagi calon Presiden dan Wakil Presiden.

Sebenarnya, mekanisme penjaringan calon dibuat sedemikian rupa secara transparan dan demokratis serta memperhatikan respon yang berkembang di masyarakat lewat survey-survey yang dibuat oleh berbagai lembaga, termasuk partai politik.

Tetapi, partai politik sering lupa untuk mengajukan calon dari kadernya sendiri dengan alasan keterbatasan sumber daya manusianya, dan minimnya dana untuk kampanye dan pemenangan Presiden dan Wakil Presiden, walaupun syarat paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR juga menjadi ganjalan utama, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008. Bahkan calon dari internal partai mengalami kekalahan pada mekanisme dan rekrutmen yang dilakukan Pimpinan partai politik, misalkan yang teranyar adalah terpilihnya calon presiden dari partai demokrat yang bukan berasal dari kader partai melalui


(13)

Demikian juga halnya dengan pemilihan kepala daerah. Akibatnya, banyak Kepala Daerah setelah menduduki jabatan Kepala daerah pindah partai sesuai dengan kepentingan politiknya. Namun, fenomena ini tidak terjadi pada Partai Golkar di Sumatera Utara. Bahkan, kader partai yang ikut pemilihan kepala daerah yang bukan memakai perahu Golkar, diawal-awal pencalonannya langsung dipecat dari partai golkar, tetapi ketika terpilih sebagai kepala daerah malah diangkat sebagai Ketua Umum atau Ketua Badan Pertimbangan Partai Golkar Sumatera Utara. Apakah ini merupakan perilaku pragmatisme politik?

Dalam era otonomi daerah, dominasi partai politik dan gabungan partai politik dalam mengajukan pasangan calon kepala daerah semakin kentara. Dominasi partai tersebut bukan saja dilakukan oleh Pimpinan partai politik di tingkat lokal seperti DPW, DPC atau DPD, tetapi ada juga campur tangan dalam kebijakan partai yang dilakukan oleh Pimpinan partai politik di tingkat pusat DPP. Karena pada umumnya petunjuk pelaksanaan dan aturan main tentang Pilkada, setelah pimpinan partai di tingkat lokal telah menjaring pasangan calon Kepala daerah kemudian dikonsultasikan untuk mendapatkan restu pimpinan pusat partai politik.

Dalam arus besar demokrasi yang desentralisasi tersebut, di mana peran dan fungsi sebuah partai politik begitu besar, dinamika politik sebuah partai layak untuk diamati lebih dalam pada penyelenggaraan otonomi daerah. Fungsi yang dimiliki sebuah partai idealnya menjadi penentu dan berpengaruh terhadap pilihan kebijakan yang akan diperjuangkan, karena kandidat dan partai akan menerapkan kebijakan


(14)

sesuai dengan platform yang mereka bangun (Ibrahim Z. Fahmy Badoh dan Abdullah Dahlan,2010).

Hal ini menjadikan studi tentang perilaku politik sebuah partai dan aktivitasnya penting untuk ditelusuri lebih jauh. Dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas, saya tertarik untuk melihat lebih dalam Partai Golkar yang secara pengalaman politik, telah lama mengitari alam dunia perpolitikan Indonesia, sehingga secara organisasi dan orang-orang yang bergabung di dalamnya dapat diduga sangat berbeda dengan partai politik yang masih berusia seumur jagung, mengingat di Sumatera Utara, rekam jejak Partai Golkar sangat kentara, sehingga bisa lebih memudahkan saya dalam melakukan penelitian lebih dalam lagi.

Ditambah lagi ‘Intrik-intrik’ politik juga menjadi fragmen yang bersambung layaknya sebuah episode sinetron di partai yang awal berdirinya sejak 1964, enggan menyebut dirinya sebagai sebuah partai, ketika masih merupakan Sekber di masa Soekarno dan Golongan Karya pada masa Orde Baru. Partai yang sudah berkuasa selama 32 tahun di masa orde baru, tetap melakoni politik dengan paradigma Golkar Baru sampai saat ini, di mana posisi kadernya menjadi orang nomor dua saat ini, dan sebelumnya menjadi gubernur di Sumatera Utara, tentunya menarik untuk diamati bagaimana dinamika politik di Partai Golkar pada era otonomi daerah ini, khususnya dalam mencermati pertarungan Pilpres 2014 yang memunculkan dinamika di tubuh partai “pohon beringin” ini.


(15)

Diawali dengan bermunculannya partai-partai baru yang dibentuk oleh kader-kader terbaik Golkar di Era otonomi daerah, ditambah lagi dengan dinamika dalam pencalonan Abu Rizal Bakrie alias Ical sebagai Capres Golkar. Pertanyaannya, apa yang sesungguhnya terjadi di partai Golkar saat ini?Apakah dinamika di lingkaran pusat kekuasaan partai Golkar yang terkait dengan pilpres juga berdampak luas sampai kepada tingkat politik lokal, khususnya di Kota Medan?Walaupun secara kasat mata di berbagai media, belum ditemukan terbelahnya Partai Golkar Kota Medan saat ini, terkait dengan pencalonan ARB sebagai calon Presiden. Mungkin juga karena ada sebuah kalimat yang senantiasa dipegang oleh

kader-kader Golkar sejak lama bahwa “Lebih baik pecah di perut daripada

pecah di mulut”?

Hal inilah yang menjadi pertanyaan mendasar dan juga menjadi alasan bagi peneliti untuk mencoba menelusuri Perilaku Politik Elit Partai Golkar di Medan dalam Pilpres 2014.

1.2. Rumusan Masalah

Ada beberapa pertanyaan yang akan diungkap atau digali dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana Perilaku Politik Elit Partai Golkar di Medan dalam

Pilpres 2014?

2. Bagaimana Akibat Keputusan Partai Golkar dalam Pilpres 2014 di

Tingkat Lokal?

3. Bagaimana Potensi Konflik Partai Golkar di Medan dalam Pilpres


(16)

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Perilaku Politik Elit Partai Golkar di Medan

dalam Pilpres 2014

2. Untuk mengetahui Akibat Keputusan Partai Golkar dalam Pilpres

2014 di Tingkat Lokal

3. Untuk mengetahui Potensi Konflik Partai Golkar di Medan dalam

Pilpres 2014

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menambah referensi yang berkaitan dengan pengembangan

ilmu antropologi politik khususnya tentang managemen partai politik dan politik lokal.

2. Memberikan masukan agar lebih profesional bagi pengurus partai

politik dalam memutuskan masalah-masalah kepartaian umumnya dan khususnya dalam bingkai politik lokal.

3. Memberikan gambaran perilaku politik elit partai lokal dalam


(17)

BAB V

Simpulan dan Saran

5.1. Simpulan

Dari uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, ada beberapa simpulan yang dapat ditarik di dalam penelitian ini. Adapun simpulan-simpulan tersebut adalah:

1. Perilaku politik elit Partai Golkar Kota Medan memiliki dasar yang

berakar dari pengalaman masa kecil, mendapat pengaruh dari pendidikan informal dalam keluarga dan dari pengalaman organisasi di mana mereka berkecimpung di dalamnya. Elit Partai Golkar Kota Medan melakukan berbagai hal untuk melakukan proses pemenangan calon yang diusung Partai Golkar seperti menggunakan organisasi tempatnya bernaung di luar Partai dengan mengoptimalkan setiap jaringan dan momen yang ada di dalam setiap organisasi mereka, mulai dari melakukan penyisipan kampanye dalam setiap acara Pelantikan, Hari Ulang tahun, Baksos, Acara-acara yayasan yang mereka naungi, fogging gratis, pemeriksaan kesehatan gratis, mengadakan acara berbuka bersama di bulan Ramadhan hingga memiliki anak asuh yang diharapkan dapat menyumbang suara, sehingga fungsi partai politik seperti artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, sosialisasi politik dan rekruitmen politik serta komunikasi politik dilakukan. Hal ini menggambarkan bahwa Perilaku Politik Partai Golkar di Medan dalam Pilpres 2014 adalah perilaku


(18)

yang pragmatis, di mana kepentingan melatari setiap tindakan yang diambil.

2. Keputusan Partai Golkar yang mengusung Prabowo-Hatta dalam

pemilihan Presiden 2014 memiliki akibat perbedaan pendapat di kalangan elit pusat Partai Golkar. Konflik (Perbedaan pendapat) yang terjadi merupakan akibat dari kepentingan-kepentingan elit yang saling bertentangan di tingkat pusat, namun tidak banyak berpengaruh di tingkat lokal. Hal ini dimungkinkan juga karena faktor dinamisnya proses yang berlangsung di tingkat lokal.

3. Pemilihan Presiden 2014 menyisakan potensi konflik yang jika tidak

dapat diantisipasi akan berujung perpecahan. Faksi-faksi yang muncul dan berkembang di tingkat pusat harus dapat dikelola dengan komunikasi yang lebih terbuka sehingga tidak sampai berpengaruh terbelahnya partai ke arah yang destruktif. Potensi konflik yang terjadi di tingkat pusat direduksi oleh elit Partai Golkar di tingkat lokal dengan melakukan berbagai aktivitas sosialisasi dan konsolidasi menyeluruh. Pola kepemimpinan yang demokratis menjadi praktek politik yang dimainkan oleh elit Partai Golkar di Medan untuk mereduksi potensi konflik yang berkembang. Sosok Ajib Shah yang merupakan Ketua Golkar Sumatera Utara menjadi alasan hal itu, karena pola kepemimpinan Ajib Shah adalah pola yang lebih terbuka. Hal ini dapat kita lihat dalam setiap proses pengambilan keputusan dan sosialisasi keputusan DPP, dilakukan dalam proses yang lebih


(19)

yang lebih informal. Satu hal yang menjadi catatan, bahwa konflik yang terjadi tidak muncul ke permukaan sehingga terlihat mengerucut hanya di kalangan elit di tingkat pusat saja.

5.2. Saran

1. Elit Partai Politik harus memiliki kesadaran kolektif terhadap

kepentingan yang lebih luas dari hanya sekedar kepentingan pribadi yaitu kepentingan partai yang notabene adalah merupakan pengejawantahan kepentingan bangsa dan Negara.

2. Partai politik harus menjadi sarana pendidikan politik yang lebih

bermartabat daripada hanya sekedar sabagai sarana merebut kekuasaan, karena partai politik merupakan instrumen vital dalam demokrasi.

3. Diperlukan penelitian lanjutan terhadap akibat yang ditimbulkan

Pemilihan Presiden bagi Partai Golkar karena saat ditulisnya penelitian ini, Partai Golkar di tingkat pusat masih dalam kondisi terbelah.

4. Pengalaman Partai Golkar yang telah lama mengitari alam perpolitikan

Indonesia memberikan tantangan tersendiri bagi siapa saja yang ingin melakukan penelitian dalam pendekatan antropologi sosial karena dinamisnya partai ini.

5. Pimpinan partai di tingkat pusat maupun di tingkat lokal harus lebih

mengedepankan cara-cara yang lebih humanis, keterbukaan


(20)

bukan menjadi dasar perpecahan tetapi kekuatan untuk saling menguatkan.

6. Partai Golkar harus mengkaji ulang batas-batas demokratisasi yang

berkembang di dalam tubuh Partai Golkar sehingga konflik dapat direduksi sedemikian rupa. Hal ini patut dikaji karena konflik telah berlangsung sejak reformasi di dalam Partai Golkar hingga saat ini merugikan Partai Golkar dalam setiap pemilu di mana Partai Golkar semakin mengecil, baik secara kualitas maupun kuantitas.Rekruitmen melalui jalur ABG harus tetap dipertahankan karena merupakan sarana efektif untuk mempertahankan hegemoni Partai Golkar di dalam setiap pemilu.


(21)

DAFTAR PUSTAKA

Alkhatab, Umar. 2009. Dari Beringin ke Beringin: Sejarah, Kemelut,

Resistensi dan Daya Tahan Partai Golkar. Yogyakarta: Ombak.

Anna M. Grzmala-Busse. 2002. Redeeming The Communist Past: The

Regeration of Communist Parties in East Central Europe.

Cambridge University Press:Cambridge.

Bayo, Andre Ala. 1985. Hakekat Politik Siapa Melakukan Apa untuk

memperoleh Apa. Akademika:Yoyakarta.

Beilharz, Peter. 2005. Karl Marx. Dalam Peter Beiharz (ed) Teori-

teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filsuf

Terkemuka. Terjemahan:Sigit Jatmiko. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Bohannan, Paul and Mark Glazer. 1988. High Point in Antrhopology. Alffred A. Knopf: New York.

Borman, E.G. 1969. Discussion and Group Methods: Theory and

Practice. New York: Harper and Row

Budiarjo, Miriam, Prof. 2008. Dasar- Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama)

Bryan S Turner. 2000. Teori-teori Sosiologi Modernitas- Postmodernitas. Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Causey, Andrew. 2006. Danau Toba Pertemuan Wisatawan dengan

Batak Toba di Pasar Suvenir. Bina Media Perintis: Medan

Coser, Lewis A. 1957. Social Conflict and The Theory of Social

Change. The British Journal of Sociology, Vol. 8, No. 3.

Dahrendorf , Ralf. 1959. Class and Class Conflict in Industrial

Society. California: Stanford University press

Foster G.M. 1969. Applied Anthropology. Boston:Little Brown

Francois-Robert Zakot. 2008. Orang Bajo:Suku Pengembara Laut


(22)

Gaffar, Afan. 1992. Javanese Voters: A Case Study of Election Under a

Hegemonic Party System. Yogyakarta: UGM Press.

Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Glencoe : The Free Press. Giddens, Anhony. 2010. Teori Strukturasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Haryanto, Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial Dari Klasik hingga

Postmodern.Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.

Jenkins, Richard (1992) (Terjemahan Nurhadi). 2004. Membaca Pikiran

Pierre Bourdie, Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Johnson, Doyle Paul. 2008. Contemporary Sociological Theory: An

Integrated Multi-Level Approach. Texas Tech University:Springer

Johnson, Doyle Paul. 1986.Teori-teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta : P.T. Gramedia.

Kurtz, Donald V.2001. Political Anthropology (Paradigm and Power). Westview Press: Oxford.

Moleong. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya: Bandung.

Mcgee R. Jon and Richard L. Warms. 1955. Anthropological Theory: An Introductory. San Marcos: History. Texas State University

Murtopo, Ali. 1981. Strategi Pembangunan Nasional. Jakarta: CSIS.

Rakhmat, Jalaluddin. 2013. Psikologi Komunikasi. Bandung:PT Remaja Rosdakarya.

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. (Terjemahan Nurhadi). 2010.

Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai

Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmoder, Yogyakarta:

Kreasi Wacana.


(23)

Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Spradley, James P. (terj). 2007. Metode Etnografi. Tiara Wacana. Yogyakarta.

Tandjung, Akbar. 1998. Menuju Kelahiran Partai Golongan Karya:

Pokok-Pokok Paradigma Baru. Jakarta: DPP Partai Golkar.

Tandjung, Akbar. 2007. The Golkar Way: Survival Partai Golkar di

Tengah Turbulensi Politik Era Transisi. Jakarta: Gramedia.

Tandjung, Akbar. 2007. Partai Golkar dalam Pergolakan Politik Era Reformasi Tantangan dan Respons (Ringkasan Disertasi). Universitas Gadjah Mada:Yogyakarta.

Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang pemerintahan daerah. Undang-Undang RI No. 31 tahun 2002

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008

Varma, SP.2001. Teori Politik Modern. Raja Grafindo:Jakarta

Surat Kabar, Majalah dan Jurnal:

”Deliar Noer: Dosa Orde Baru Tidak Termaafkan”. 2001. April 12.

Kompas. 4.

”DPD Partai Golkar di Jakarta Jadi Sasaran Demo Kelompok

Mahasiswa”. 2001. Februari 14. Kompas. 4.

Mauluddin Anwar. 1998. Juni. ”Pohon Beringin Bergoyang: Munas

Golkar Dipercepat Sejumlah Nama Beredar sebagai Calon Ketua Umum”. Gatra. 4-7.

Analisis Sejarah, Volume 5, No. 1, 2014 © Labor Sejarah, Universitas


(24)

Internet:

www.antaranews.com (13 Juli 2009) www.kompas.com (29 Juni 2012) www.tempo.com ( 17 September 2013) www.tribunnews.com (17 April 2014)


(1)

yang lebih informal. Satu hal yang menjadi catatan, bahwa konflik

yang terjadi tidak muncul ke permukaan sehingga terlihat mengerucut

hanya di kalangan elit di tingkat pusat saja.

5.2. Saran

1. Elit Partai Politik harus memiliki kesadaran kolektif terhadap

kepentingan yang lebih luas dari hanya sekedar kepentingan pribadi

yaitu kepentingan partai yang notabene adalah merupakan

pengejawantahan kepentingan bangsa dan Negara.

2. Partai politik harus menjadi sarana pendidikan politik yang lebih

bermartabat daripada hanya sekedar sabagai sarana merebut

kekuasaan, karena partai politik merupakan instrumen vital dalam

demokrasi.

3. Diperlukan penelitian lanjutan terhadap akibat yang ditimbulkan

Pemilihan Presiden bagi Partai Golkar karena saat ditulisnya penelitian

ini, Partai Golkar di tingkat pusat masih dalam kondisi terbelah.

4. Pengalaman Partai Golkar yang telah lama mengitari alam perpolitikan

Indonesia memberikan tantangan tersendiri bagi siapa saja yang ingin

melakukan penelitian dalam pendekatan antropologi sosial karena

dinamisnya partai ini.

5. Pimpinan partai di tingkat pusat maupun di tingkat lokal harus lebih

mengedepankan cara-cara yang lebih humanis, keterbukaan


(2)

bukan menjadi dasar perpecahan tetapi kekuatan untuk saling

menguatkan.

6. Partai Golkar harus mengkaji ulang batas-batas demokratisasi yang

berkembang di dalam tubuh Partai Golkar sehingga konflik dapat

direduksi sedemikian rupa. Hal ini patut dikaji karena konflik telah

berlangsung sejak reformasi di dalam Partai Golkar hingga saat ini

merugikan Partai Golkar dalam setiap pemilu di mana Partai Golkar

semakin mengecil, baik secara kualitas maupun kuantitas.Rekruitmen

melalui jalur ABG harus tetap dipertahankan karena merupakan sarana

efektif untuk mempertahankan hegemoni Partai Golkar di dalam setiap


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Alkhatab, Umar. 2009. Dari Beringin ke Beringin: Sejarah, Kemelut, Resistensi dan Daya Tahan Partai Golkar. Yogyakarta: Ombak. Anna M. Grzmala-Busse. 2002. Redeeming The Communist Past: The

Regeration of Communist Parties in East Central Europe. Cambridge University Press:Cambridge.

Bayo, Andre Ala. 1985. Hakekat Politik Siapa Melakukan Apa untuk memperoleh Apa. Akademika:Yoyakarta.

Beilharz, Peter. 2005. Karl Marx. Dalam Peter Beiharz (ed) Teori- teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filsuf

Terkemuka. Terjemahan:Sigit Jatmiko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bohannan, Paul and Mark Glazer. 1988. High Point in Antrhopology. Alffred A. Knopf: New York.

Borman, E.G. 1969. Discussion and Group Methods: Theory and Practice. New York: Harper and Row

Budiarjo, Miriam, Prof. 2008. Dasar- Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama)

Bryan S Turner. 2000. Teori-teori Sosiologi Modernitas- Postmodernitas. Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Causey, Andrew. 2006. Danau Toba Pertemuan Wisatawan dengan Batak Toba di Pasar Suvenir. Bina Media Perintis: Medan Coser, Lewis A. 1957. Social Conflict and The Theory of Social

Change. The British Journal of Sociology, Vol. 8, No. 3. Dahrendorf , Ralf. 1959. Class and Class Conflict in Industrial

Society. California: Stanford University press

Foster G.M. 1969. Applied Anthropology. Boston:Little Brown

Francois-Robert Zakot. 2008. Orang Bajo:Suku Pengembara Laut (Pengalaman Seorang Antropolog). KPG. Jakarta.


(4)

Gaffar, Afan. 1992. Javanese Voters: A Case Study of Election Under a Hegemonic Party System. Yogyakarta: UGM Press.

Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Glencoe : The Free Press.

Giddens, Anhony. 2010. Teori Strukturasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Haryanto, Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial Dari Klasik hingga Postmodern.Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.

Jenkins, Richard (1992) (Terjemahan Nurhadi). 2004. Membaca Pikiran Pierre Bourdie, Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Johnson, Doyle Paul. 2008. Contemporary Sociological Theory: An Integrated Multi-Level Approach. Texas Tech University:Springer Johnson, Doyle Paul. 1986.Teori-teori Sosiologi Klasik dan Modern.

Jakarta : P.T. Gramedia.

Kurtz, Donald V.2001. Political Anthropology (Paradigm and Power). Westview Press: Oxford.

Moleong. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya: Bandung.

Mcgee R. Jon and Richard L. Warms. 1955. Anthropological Theory: An Introductory. San Marcos: History. Texas State University

Murtopo, Ali. 1981. Strategi Pembangunan Nasional. Jakarta: CSIS.

Rakhmat, Jalaluddin. 2013. Psikologi Komunikasi. Bandung:PT Remaja Rosdakarya.

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. (Terjemahan Nurhadi). 2010. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai

Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmoder, Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Sihite, M. dan Gunawan Suswantoro. 1999. Penerapan Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam Pemberdayaan Pemerintahan Daerah dan Pembangunan Produk Hukum Daerah. Biro Hukum Depdagri:Jakarta


(5)

Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Spradley, James P. (terj). 2007. Metode Etnografi. Tiara Wacana. Yogyakarta.

Tandjung, Akbar. 1998. Menuju Kelahiran Partai Golongan Karya: Pokok-Pokok Paradigma Baru. Jakarta: DPP Partai Golkar. Tandjung, Akbar. 2007. The Golkar Way: Survival Partai Golkar di

Tengah Turbulensi Politik Era Transisi. Jakarta: Gramedia. Tandjung, Akbar. 2007. Partai Golkar dalam Pergolakan Politik Era

Reformasi Tantangan dan Respons (Ringkasan Disertasi). Universitas Gadjah Mada:Yogyakarta.

Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang pemerintahan daerah.

Undang-Undang RI No. 31 tahun 2002

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008

Varma, SP.2001. Teori Politik Modern. Raja Grafindo:Jakarta

Surat Kabar, Majalah dan Jurnal:

”Deliar Noer: Dosa Orde Baru Tidak Termaafkan”. 2001. April 12. Kompas. 4.

”DPD Partai Golkar di Jakarta Jadi Sasaran Demo Kelompok Mahasiswa”. 2001. Februari 14. Kompas. 4.

Mauluddin Anwar. 1998. Juni. ”Pohon Beringin Bergoyang: Munas Golkar Dipercepat Sejumlah Nama Beredar sebagai Calon Ketua Umum”. Gatra. 4-7.

Analisis Sejarah, Volume 5, No. 1, 2014 © Labor Sejarah, Universitas Andalas


(6)

Internet:

www.antaranews.com (13 Juli 2009) www.kompas.com (29 Juni 2012) www.tempo.com ( 17 September 2013) www.tribunnews.com (17 April 2014)