Studi Deskriptif Mengenai Tingkat Psychological Well-Being Karyawan Pria yang Memasuki Masa Persiapan Pensiun di PT "X" (Persero) Kota Bandung.

(1)

ABSTRACT

The purpose of this research is to identify the level of Psychological Well-Being (PWB) in male employee who enters in a Period of Retirement Process at PT. "X" (Persero) in Bandung. Characteristics of the population in this research is the male employee who has remaining working period at least 12 months before the normal retirement age (55 years old) and participated in the Retirement Preparation Period program by PT. "X" (Persero) in Bandung and the total subject of research of are 16 people.

Measuring instrument that used in the research is a questionnaire prepared by the researchers based on a adapted Bahasa translation of the Ryff Scales of Psychological Well-Being (SPWB, 1989). In this research the validity of the measuring instrument is measured by the construct validity using Product Moment Pearson formula. The reliability of this measure is processed using alpha cronbach, and the results obtained 0.936. The data were analyzed using frequency distribution techniques.

Research results obtained from male employees who entered the Retirement Preparation Period at PT. "X" (Persero) has the majority of the level of Psychological Well-Being (PWB) high, and each dimension of PWB that employees are almost entirely men are at a high level, only on the dimension of Positive Relationship With Others which shows the level of male employees low PWB has a larger percentage.

Based on this research, the researchers gave suggestions for further research to conduct qualitative research. It is also recommended to do the correlation research between the level of PWB and religiosity factors (religion). It should be considered that the measuring devices of the Ryff PWB adapted to the context of the research carried out and doing research on the contribution of the factors that affect the PWB. The research subjects also suggested more focused in determining retirement planning, raising awareness of the importance of personal hygiene even before the employee enters the Retirement Preparation Period, and improving the ability to relate positively with others, to develop a hobby, expand insight into the various opportunities, and build confidence and courage.

Keywords : psychological well-being, male employee, period of retirement process


(2)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat Psychological Well-Being (PWB) karyawan pria yang memasuki Masa Persiapan Pensiun di PT. “X” (Persero) Kota Bandung. Karakteristik populasi pada penelitian ini adalah karyawan yang berjenis kelamin pria memiliki sisa masa kerja sekurang-kurangnya 12 bulan sebelum memasuki usia pensiun normal (berusia 55 tahun) dan mengikuti progam Masa Persiapan Pensiun yang ditetapkan PT. “X” (Persero) Kota Bandung sehingga didapatkan subyek penelitian berjumlah 16 orang.

Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner yang disusun oleh peneliti berdasarkan adaptasi terjemahan Bahasa Indonesia dari The Ryff Scales of Psychological Well-Being (SPWB, 1989). Dalam penelitian ini validitas alat ukur diukur dengan construct validity menggunakan rumus Product Moment Pearson. Adapun reliabilitas dari alat ukur ini diolah menggunakan alpha cronbach, dan didapatkan hasil 0,936. Data hasil penelitian diolah dengan menggunakan teknik distribusi frekuensi.

Dari hasil penelitian didapat karyawan pria yang memasuki MPP di PT. “X” (Persero) mayoritas memiliki tingkat Psychological Well-Being (PWB) yang tinggi, dan setiap dimensi dari PWB yang dimiliki karyawan pria tersebut hampir seluruhnya berada pada tingkat yang tinggi, hanya pada dimensi Positive Relationship With Others yang menunjukkan karyawan pria dengan tingkat PWB rendah memiliki persentase lebih besar.

Berdasarkan penelitian ini, maka peneliti memberikan saran bagi penelitian selanjutnya untuk melakukan penelitian secara kualitatif. Disarankan juga untuk melakukan penelitian korelasi antar tingkat PWB dan faktor religiusitas (agama). Perlu dipertimbangkan agar alat ukur PWB dari Ryff disesuaikan dengan konteks penelitian yang dilaksanakan dan melakukan penelitian mengenai kontribusi faktor-faktor yang memengaruhi terhadap PWB. Subyek penelitian juga disarankan lebih terarah dalam menentukan perencanaan di masa pensiunnya, meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan diri bahkan sebelum karyawan memasuki MPP, meningkatkan kemampuan untuk berhubungan positif dengan orang lain, melakukan pengembangan hobi, memperluas wawasan mengenai berbagai peluang, dan membangun kepercayaan diri dan keberaniannya.

Kata kunci : psychological well-being, karyawan pria, masa persiapan pensiun


(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR ORISINALITAS ... iii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRACT ... viii

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR BAGAN ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah Penelitian ... 10

1. Perumusan Masalah Penelitian ... 10

1.4 Kegunaan Penelitian... 11

1.5 Kerangka Pemikiran ... 12

1.6 Asumsi ... 19

BAB II LANDASAN TEORI ... 20

2.1 Psychological Well-Being ... 20


(4)

2.3 Masa Pensiun ... 32

BAB III METODE PENELITIAN ... 39

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 39

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 40

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 40

3.4 Alat Ukur ... 42

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 46

3.6 Teknik Analisis Data ... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 48

4.1. Gambaran Subjek Penelitian ... 48

4.2 Hasil Penelitian ... 50

4.3 Pembahasan ... 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

5.1 Kesimpulan ... 59

5.2 Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 63

DAFTAR RUJUKAN ... 64 LAMPIRAN


(5)

DAFTAR BAGAN

Bagan 3.1 Kerangka Pemikiran ... 18 Bagan 3.1 Rancangan Penelitian ... 40


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Distribusi Item Tiap Dimensi Psychological Well-Being ... 43

Tabel 3.2 Tabel Sistem Penilaian Alat Ukur PWB ... 43

Tabel 3.3 Kriteria Validitas ... 45

Tabel 4.1 Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Budaya ... 48

Tabel 4.2 Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Pendidikan ... 49

Tabel 4.3 Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Jabatan ... 49

Tabel 4.4 Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Penghasilan Tambahan ... 50

Tabel 4.5 Tingkat Psychological Well-Being (PWB) ... 50


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Kisi-kisi Alat Ukur

Lampiran 2: Kuesioner Psychological Well-Being Lampiran 3: Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas Lampiran 4: Hasil Perhitungan Tabulasi Silang

Lampiran 5: Profil PT. “X” (Persero) Kota Bandung

Lampiran 6: Peraturan Program Masa Persiapan Pensiun (MPP) Lampiran 7: Letter of Consent


(8)

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, mengisi waktu luang, dan sebagainya. Apapun alasan mereka bekerja pada dasarnya adalah untuk memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan materi maupun psikologis.

Dalam kehidupan nyata aktivitas bekerja dapat dilakukan oleh individu pria dan wanita. Meskipun demikian aktivitas bekerja lebih sering dikaitkan dengan kehidupan para pria. Selain itu pentingnya bekerja bagi pria juga terkait dengan paham gender tradisional. Peran gender tradisional menurut Gutmann, berkembang untuk memastikan kesejahteraan anak-anak yang sedang tumbuh. Sang ibu harus jadi pengasuh, ayah menjadi penyedia (pencari nafkah). Paham gender tradisional lebih menuntut pria untuk bekerja di luar rumah demi memenuhi kebutuhan keluarga juga berlaku di Indonesia. Masyarakat Indonesia pada umumnya masih memandang bahwa keluarga yang ideal terdiri dari suami yang bekerja di luar rumah mencari nafkah dan istri yang hanya melakukan pekerjaan rumah tangga (http://www.rahima.or.id, 2006).

Terdapat beragam jenis pekerjaan di Indonesia dan salah satu pekerjaan yang dimaksud adalah bekerja sebagai karyawan di BUMN (Badan Usaha Milik


(9)

Negara). Pengertian karyawan menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah orang yang bekerja pada suatu lembaga (kantor, perusahaan, dsb) dengan mendapat gaji (upah) dan dia bekerja untuk digaji. BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang dimaksud adalah PT “X” (Persero) yang sahamnya dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah. PT “X” (Persero) adalah satu-satunya produsen vaksin bagi manusia di Indonesia dan terbesar di Asia Tenggara yang selama ini telah mendedikasikan dirinya dalam rangka memproduksi vaksin dan anti sera berkualitas internasional. Saat ini karyawan tetap yang bekerja di PT “X” (Persero) berjumlah 949 orang, sedangkan karyawan yang berada dalam masa kontrak berjumlah 385 orang.

Sebelum tahun 2005, Divisi SDM hanya berfungsi sebagai bagian Personalia, yang cenderung hanya memperhatikan kesalahan dan memberikan potongan pada penghasilan karyawan, karena pada masa itu memang Divisi SDM berada dibawah Divisi Keuangan. Pada tahun 2005-2010, PT “X” (Persero) mulai mengembangkan divisi SDM dengan membaginya menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu Bagian Administrasi SDM, Bagian Pelatihan, dan Bagian Pengembangan SDM. Divisi SDM terus berkembang hingga saat ini dan berada dibawah Direksi SDM dan Umum. Saat ini Divisi SDM berganti nama menjadi Human Capital Division yang dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu Talent Management, Knowledge Management, Performance and Reward Management, dan Organization Development and Information System.

Aktifitas bekerja tersebut tidak akan berlangsung sepanjang masa kehidupan. Seiring dengan bertambahnya usia, tentunya kondisi fisik dan kognitif


(10)

akan mengalami penurunan yang akhirnya dapat menurunkan produktifitas kerja individu. Pada waktunya individu akan diminta untuk berhenti bekerja, yang biasa dikenal dengan istilah pensiun. Pensiun adalah suatu masa dimana seorang karyawan mengalami pemutusan hubungan kerja dengan lembaga atau instansi dimana ia bekerja karena faktor usia sudah lanjut (Irmawati Siahaan, 1997).

Pada kenyataannya, sembilan dari sepuluh orang di Indonesia belum siap menghadapi pensiun (TRIBUN-timur, 2011). Salah satu hal yang penting di dalam mempelajari masa pensiun adalah pentingnya perencanaan sebelum memasuki masa pensiun. Individu dihadapkan pada berbagai perubahan yang terjadi secara tiba-tiba, seperti perubahan keadaan ekonomi, gaya hidup, yang bila tidak dipersiapkan dengan baik maka akan mempengaruhi penyesuaian diri individu pada masa pensiunnya. Karyawan yang tidak siap menghadapi pensiun, tentu akan sulit untuk menyesuaikan diri dengan keadaan dan situasi yang dihadapi pada masa pensiun, mereka juga dapat merasa tidak puas dengan hidupnya di masa itu. Sedangkan karyawan yang merasa siap dalam menghadapi pensiun, cenderung lebih mudah untuk menyesuaikan diri dengan semua perubahan yang terjadi pada masa itu, sehingga mereka pun merasa puas dengan hidup mereka dan dapat menjalani peran mereka dengan optimal. Maka dari itu sangat diperlukan Masa Persiapan Pensiun, untuk membantu para calon pensiunan menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru.

Melalui kerjasama dari divisi Knowledge Management dan Performance and Reward Management, PT “X” (Persero) saat ini sudah memiliki Program Masa Persiapan Pensiun (MPP) yang mulai diberlakukan terhitung bulan Januari


(11)

2014. Jumlah peserta MPP pada angkatan pertama adalah 21 karyawan, yang terdiri dari 16 karyawan pria dan 5 karyawan wanita. Mereka juga berasal dari level jabatan yang berbeda-beda, yakni bagian administratif dan fungsional. Berdasarkan hasil wawancara dengan Manajer Performance and Reward Management, sebelum adanya program MPP terdapat beragam keluhan dari pihak karyawan, khususnya karyawan yang menjelang pensiun, berkenaan kebijakan perusahaan yang dinilai kurang memperhatikan kesejahteraan karyawan. Sehari sebelum pensiun, karyawan masih bekerja seperti biasanya di perusahaan, dan perusahaan memberikan pembekalan yang minim kepada karyawan tersebut. Karyawan biasanya hanya diberikan pelatihan mengenai “Second Carrier” dan “Financial Management”, saat 2 (dua) bulan sebelum pensiun. Waktu 2 (dua) bulan dianggap tidak cukup untuk para calon pensiunan menyesuaikan diri dan mempersiapkan dirinya menghadapi masa pensiun, sehingga berujung pada rendahnya kesejahteraan para calon pensiunan di PT “X” (Persero). Manajer Performance and Reward Management tersebut berharap dengan adanya Program MPP maka akan lebih meningkatkan kesejahteraan para karyawannya.

PT. “X” (Persero) memiliki ketentuan untuk pensiun (Lampiran 6), yaitu pada saat karyawan berusia 56 (lima puluh enam) tahun. Progam Masa Persiapan Pensiun yang ditetapkan PT. “X” (Persero) diperuntukkan bagi karyawan yang memiliki sisa masa kerja sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan sebelum memasuki usia pensiun normal. Ketika menjadi peserta Program MPP tersebut, karyawan yang bersangkutan tidak perlu bekerja selama satu tahun sebelum pensiun, namun tetap menerima penghasilan seperti biasanya, sama seperti ketika


(12)

masih bekerja. Ditambah dengan pemberian Tunjangan Jabatan sebelum menjalani Program MPP. Jika diperlukan, PT “X” (Persero) dapat meminta peserta Program MPP untuk melaksanakan tugas-tugas seperti; melakukan kaderisasi kepada calon penggantinya, melaksanakan supervisi untuk tugas tertentu, melaksanakan coaching dan mentoring kepada personil tertentu, dan mengikuti Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Setelah Program MPP berakhir, para pensiunan akan menerima Upah Jasa Pengabdian yang sudah dihitung berdasarkan perkiraan inflasi dan suku bunga selama 4 (empat) tahun ke depan; uang pesangon dikali masa kerja; Dana Pensiun (DPLK); Jamsostek; dan ditambah dengan kebijakan baru yang masih dalam proses, yaitu Program Kesehatan Pensiun (Prokespen) yang berlaku seumur hidup.

Melalui wawancara singkat pada karyawan pria yang menjadi peserta MPP, setelah program MPP tersebut dijalankan, mereka merasa bahwa waktu satu tahun ternyata masih kurang untuk mempersiapkan masa pensiun. Mereka merasa akan lebih baik apabila program MPP diadakan 5 (lima) tahun sebelum mereka pensiun. Mereka berharap memiliki usaha setelah pensiun nanti dengan resiko yang kecil, tetapi ada juga yang mau diam saja menikmati, karena sepertinya tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Seringkali mereka mengeluarkan ungkapan yang merendahkan diri dan saling membandingkan dengan keadaan peserta lain. Diantaranya juga sudah merasa kehilangan hobi karena sudah lama di kantor dan otomatis wawasan pun menjadi lebih terbatas, sehingga mereka membutuhkan binaan dan bimbingan lebih lagi hingga sukses di masa pensiun. Pada saat


(13)

pembekalan, mereka merasa lebih tertarik dengan materi yang berhubungan dengan pengelolaan uang.

Apabila ditinjau dari tahap perkembangannya, para karyawan pria yang berada pada MPP pada PT “X” (Persero), berada di usia 55 tahun, dan bila dilihat dari perkembangan psikososialnya, Erikson (1968) percaya bahwa individu dengan usia antara 40 – 60 tahun menghadapi persoalan hidup yang signifikan, yaitu generativitas vs stagnasi. Generativitas mencakup rencana-rencana orang dewasa yang mereka harap dapat dikerjakan guna meninggalkan warisan dirinya sendiri pada generasi selanjutnya. Sebaliknya, stagnasi ketika individu tidak melakukan apa-apa untuk generasi berikutnya, tidak memberikan asuhan, atau bimbingan pada anak-anak. Individu generatif adalah seseorang yang mempelajari keahlian, mengembangkan warisan diri yang positif dan membimbing orang yang lebih muda. Jika dewasa tengah gagal mencapai generatifitas akan terjadi stagnasi. Melalui generativitas, orang dewasa mempromosikan dan membimbing generasi berikutnya melalui aspek-aspek penting kehidupan seperti menjadi orang tua (parenting), memimpin, mengajar dan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat (Mc Adams, 1990). Dengan banyaknya kegiatan produktif yang seharusnya masih dilakukan oleh karyawan pria yang berada pada Masa Persiapan Pensiun di PT “X” (Persero), dapat menyebabkan karyawan merasakan konsekuensi negatif, misalnya stress karena harus mulai terputus dari dunia kerja yang telah memberinya banyak kepuasan berupa jabatan, harga diri, dan sebagainya.


(14)

Meskipun karyawan banyak mengalami perubahan pada Masa Persiapan Pensiun dan tidak sesuai dengan tahap perkembangan, namun setiap karyawan memiliki penghayatan yang berbeda-beda terhadap setiap perubahan di Masa Persiapan Pensiun ini, seperti yang terjadi pada PT “X” (Persero). Berdasarkan hasil wawancara dengan 4 (empat) orang karyawan pria di PT “X” (Persero), hanya 25% karyawan yang menilai perubahan pada masa pensiun sebagai sesuatu yang positif, yaitu Ketua Divisi Keuangan. Beliau merasa bahwa segala sesuatu pasti ada akhirnya, dan kini sudah waktunya dirinya digantikan oleh generasi muda (self acceptance). Beliau memang mengaku terkadang masih memiliki kekhawatiran akan masa depan, namun dengan perencanaan dan persiapan yang matang, dapat membuat dirinya merasa lebih percaya diri untuk menghadapi masa pensiun (purpose in life). Beliau saat ini sudah memiliki usaha perkebunan (environmental mastery) dan seringkali menyibukkan dirinya dengan kegiatan keagamaan (personal growth), seperti mengasuh anak di panti asuhan miliknya, mempersiapkan lebih banyak materi untuk ceramah di mesjid, serta beramal (autonomy). Beliau juga berusaha mendiskusikan keadaannya dengan keluarga dan meminta untuk bersama-sama secara perlahan untuk merubah gaya hidupnya (positive relation with others). Harapannya untuk Program MPP yang baru diadakan di PT “X” (Persero) adalah semoga program MPP ini berhasil dan bisa bermanfaat untuk setiap pensiunan. Ia juga berharap para pensiunan pada akhirnya bisa lebih mendekatkan diri pada Tuhan dan menjadi lebih beriman. Beliau memiliki keinginan supaya generasi muda menjadi lebih eksis dan mulai menggantikan karyawan yang sudah lanjut usia.


(15)

Tetapi terdapat 75% karyawan yang masih memandang perubahan pada masa pensiun sebagai sesuatu yang negatif, seperti mereka merasa resah karena statusnya sebagai pensiun (self acceptance) atau merasa kebingungan untuk memilih kegiatan yang harus mereka kerjakan di masa pensiun. Mereka yang beranggapan dirinya menjadi tidak berarti lagi, karena bagi dirinya, dalam sebuah keluarga suami harus menjadi pencari nafkah yang utama (positive relation with others). Mereka juga yang mengkhawatirkan masalah kesehatannya saat pensiun nanti, menurut karyawan tersebut semakin bertambahnya usia otomatis kesehatan juga akan semakin menurun (environmental mastery). Melihat kebijakan pensiun di tahun sebelumnya, pensiunan di PT “X” (Persero) tidak mendapatkan jaminan kesehatan setelah masa kerja berakhir, sedangkan biaya kesehatan kian hari semakin meningkat. Jadi mereka berharap, untuk ke depannya PT “X” (Persero) memberikan fasilitas tunjangan kesehatan setelah pensiun (autonomy) dan mempertimbangkan kewajiban peserta MPP untuk tetap datang 2 (dua) atau 3 (tiga) kali dalam seminggu ke PT “X” (Persero) (personal growth). Mereka merasa takut jika ada kata wajib dalam peraturan MPP, yang berarti akan menerima sanksi apabila tidak dilaksanakan. Salah satu dari karyawan tersebut merasa cemas juga karena dirinya selama ini merasa tidak pandai berbisnis (purpose in life) dan memutuskan untuk diam saja setelah pensiun (personal growth).

Masa persiapan pensiun seharusnya tidak menjadi penghalang bagi karyawan untuk dapat merealisasikan seluruh potensi yang dimilikinya. untuk mencapai potensi tersebut diperlukan psychological well-being agar karyawan


(16)

merasa puas dalam hidupnya, bisa mengembangkan dan merealisasikan dirinya (Ryff, 1989).

Penilaian positif dan negatif dalam menghadapi Masa Persiapan Pensiun tersebut berkaitan dengan tingkat hasil evaluasi karyawan terhadap kualitas diri dan hidupnya, yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis mereka, yang biasa disebut dengan Psychological Well-Being (PWB). Psychological Well-Being adalah keadaan di mana karyawan melihat dan mengevaluasi kualitas diri dan hidupnya (Ryff, 1989). Hal tersebut memang bergantung dari sisi mana karyawan memandang masa pensiun itu sendiri. Ryff dan Keyes (1995) menyatakan, skala PWB yang dibuatnya merupakan model multidimensional karena terdiri dari enam dimensi yang mengungkapkan fungsi psikologis positif (positive psychological functioning) tiap-tiap karyawan, yaitu dimensi kemampuan karyawan dalam menerima diri apa adanya (self-acceptance), membina hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), otonomi atau mampu mengarahkan dirinya sendiri (autonomy), mampu mengatur dan menguasai lingkungan (environmental mastery), mampu merumuskan tujuan hidup (purpose in life), dan mampu menumbuhkan serta mengembangkan potensi pribadi (personal growth). Keenam dimensi tersebut merupakan bentuk pengungkapan penghayatan karyawan terhadap diri dan hidupnya (Ryff & Schmutte, 1997).

PWB menjadi penting bagi para karyawan pria yang sedang dalam Masa Persiapan Pensiun karena dengan memiliki PWB tinggi, mereka mampu untuk mengembangkan potensi didalam diri, mampu menerima seluruh aspek dalam dirinya, mampu menciptakan situasi yang sesuai dengan nilai dan keinginannya,


(17)

mampu membuat keputusan secara mandiri, memiliki arah dan tujuan dalam hidupnya, dan mereka dapat berempati saat berelasi, sehingga karyawan pria tersebut dapat dikatakan menilai dirinya sejahtera secara psikologis. Berbeda dengan karyawan pria yang dalam Masa Persiapan Pensiunnya memiliki PWB rendah, mereka tidak tertarik untuk mengembangkan dirinya, tidak merasa puas dengan hidupnya, hanya dapat pasrah dalam menghadapi keadaan, menjadi lebih mudah terpengaruh dengan pendapat orang lain, tidak terlalu memikirkan masa depannya, jarang mengalami hubungan yang hangat, dan seringkali merasa kesepian, sehingga dapat dikatakan bahwa karyawan pria tersebut menilai bahwa mereka kurang sejahtera secara psikologis.

1.2Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui gambaran tingkat Psychological Well-Being (PWB) Karyawan Pria yang Memasuki Masa Persiapan Pensiun di PT. “X” (Persero) Kota Bandung.

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1Maksud Penelitian

Memperoleh gambaran mengenai Psychological Well-Being (PWB) pada karyawan pria yang memasuki Masa Persiapan Pensiun di PT. “X” (Persero) Kota Bandung.


(18)

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk menggambarkan tingkat Psychological Well-Being (PWB) karyawan pria yang memasuki Masa Persiapan Pensiun di PT. “X” (Persero) Kota Bandung melalui dimensi-dimensinya dan faktor-faktor yang terkait dengan keadaan PWB mereka.

1.4Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

1. Memperkaya ruang lingkup penelitian mengenai Psikologi Industri Organisasi, terutama aspek Psychological Well-Being para karyawan pria yang memasuki Masa Persiapan Pensiun.

2. Sebagai masukan kepada peneliti lain yang mendalami kasus para karyawan yang memasuki Masa Persiapan Pensiun dengan bidang kajian serupa.

1.4.2 Kegunaaan Praktis

1. Memberikan informasi yang dapat dijadikan sebagai salah satu landasan untuk membuat suatu kegiatan atau program intervensi yang dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis para karyawan yang memasuki Masa Persiapan Pensiun kepada Manajer Performance & Reward Management PT. “X” (Persero) Kota Bandung yang sedang mempersiapkan Program Masa Persiapan Pensiun.

2. Sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas PT. “X” (Persero) Kota Bandung dengan lebih mengenali kebutuhan pemenuhan


(19)

kesejahteraan dari karyawan, baik yang masih bekerja maupun yang sedang dalam Masa Persiapan Pensiun. Diharapkan dengan adanya pemenuhan kesejahteraan dari para karyawan akan meningkatkan kinerjanya.

1.5Kerangka Pemikiran

Aktivitas bekerja atau mencari nafkah memang dapat dilakukan oleh individu pria dan wanita, namun adanya peran gender tradisional yang beranggapan bahwa ibu harus jadi pengasuh dan ayah menjadi penyedia (pencari nafkah), menuntut pria untuk bekerja di luar rumah demi memenuhi kebutuhan keluarga khususnya di Indonesia.

Salah satu pekerjaan yang ada di Indonesia adalah bekerja sebagai karyawan di BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Badan Usaha Milik Negara yang dimaksud adalah PT “X” (Persero). Namun pada waktunya karyawan akan menghadapi pensiun. Kesiapan karyawan untuk menghadapi masa pensiun akan mempengaruhi kesejahteraannya di masa pensiun. Maka dari itu sangat diperlukan Masa Persiapan Pensiun, untuk membantu para calon pensiunan menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru.

Apabila ditinjau dari tahap perkembangannya, para karyawan pria yang memasuki MPP di PT “X” (Persero), berada pada usia 55 tahun, dan bila dilihat dari perkembangan psikososialnya, Erikson (1968) percaya bahwa individu dengan usia antara 40 – 60 tahun menghadapi persoalan hidup yang signifikan, yaitu generativitas vs stagnasi, Pada fase tersebut karyawan pria yang seharusnya


(20)

masih dapat melakukan kegiatan yang produktif, harus mulai mengikuti program MPP yang berarti karyawan yang bersangkutan tidak perlu bekerja selama satu tahun sebelum pensiun, sehingga dapat menyebabkan karyawan merasakan konsekuensi negatif.

Meskipun karyawan banyak mengalami perubahan pada Masa Persiapan Pensiun dan tidak sesuai dengan tahap perkembangan, namun setiap karyawan memiliki penghayatan yang berbeda-beda terhadap setiap perubahan di Masa Persiapan Pensiun ini, seperti yang terjadi pada PT “X” (Persero). Berdasarkan hasil wawancara dengan 4 (empat) orang karyawan pria di PT “X” (Persero), hanya 25% karyawan yang menilai perubahan pada masa pensiun sebagai sesuatu yang positif sedangkan 75% karyawan lainnya yang masih memandang perubahan pada masa pensiun sebagai sesuatu yang negatif. Penilaian positif dan negatif tersebut berkaitan dengan tingkat hasil evaluasi karyawan terhadap kualitas diri dan hidupnya, yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis mereka, yang biasa disebut dengan Psychological Well-Being (PWB).

Ryff dan Keyes (1995) menyatakan, skala PWB yang dibuatnya merupakan model multidimensional karena terdiri dari 6 dimensi yang mengungkapkan fungsi psikologis positif (positive psychological functioning) tiap-tiap karyawan, yaitu dimensi kemampuan karyawan dalam menerima diri apa adanya (self-acceptance), membina hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), otonomi atau mampu mengarahkan dirinya sendiri (autonomy), mampu mengatur dan menguasai lingkungan (environmental mastery), mampu merumuskan tujuan hidup (purpose in life), dan mampu


(21)

menumbuhkan serta mengembangkan potensi pribadi (personal growth). Keenam dimensi tersebut merupakan bentuk pengungkapan penghayatan karyawan terhadap diri dan hidupnya (Ryff & Schmutte, 1997).

Penerimaan diri (self-acceptance) merupakan sikap positif karyawan pria yang memasuki MPP di PT “X” (Persero) terhadap diri mereka. Karyawan yang memiliki self-acceptance yang tinggi mau mengakui dan menerima kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya serta dapat merasakan hal yang positif dari kehidupannya, termasuk kondisinya di Masa Persiapan Pensiun. Sedangkan karyawan yang memiliki self-acceptance yang rendah biasanya mereka tidak bisa menerima dirinya, kecewa dengan hidupnya dan mengalami kesukaran dalam menjalani hidupnya karena memasuki MPP.

Hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others) adalah kemampuan karyawan pria yang memasuki MPP di PT “X” (Persero) dalam membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Karyawan yang memiliki positive relationship with others yang tinggi mampu membina hubungan yang hangat dengan orang lain meskipun sudah memasuki MPP yang berbeda dengan keadaan sebelumnya. Karyawan masih dapat berempati, mempercayai orang lain, dan memperhatikan kesejahteraan orang lain. Sedangkan karyawan memiliki positive relationship with others yang rendah hanya memiliki sedikit hubungan yang dekat dan saling percaya dengan orang lain terutama rekan kerja. Mereka menjaga jarak dan tertutup dengan orang lain karena kondisinya yang sudah memasuki MPP.


(22)

Otonomi (autonomy) adalah kemampuan karyawan pria yang memasuki MPP di PT “X” (Persero) untuk menentukan tindakan sendiri. Karyawan dengan autonomy yang tinggi mampu membuat keputusan sendiri tanpa bergantung pada penilaian orang lain. Sedangkan karyawan dengan autonomy yang rendah biasanya masih mengharapkan orang lain dalam memutuskan suatu hal yang khususnya berkaitan dengan Masa Persiapan Pensiunnya.

Penguasaan lingkungan (environmental mastery) adalah kemampuan karyawan pria yang memasuki MPP di PT “X” (Persero) untuk memilih atau mengubah lingkungan sehingga sesuai dengan kebutuhannya. Karyawan dengan environmental mastery yang tinggi mampu mengatur aktivitasnya sehari-hari walaupun dirinya sudah memasuki MPP. Sedangkan karyawan dengan environmental mastery yang rendah mengalami kesulitan dalam mengatur aktivitasnya sehari-hari, mereka tidak menggunakan kesempatan yang ada di lingkungannya untuk mengembangkan diri dan hanya terfokus pada kondisinya saat mempersiapkan masa pensiun.

Keyakinan memiliki tujuan hidup (purpose in life) adalah kemampuan pemahaman karyawan pria yang memasuki MPP di PT “X” (Persero) akan tujuan dan arah hidupnya. Karyawan dengan purpose in life yang tinggi sudah memiliki tujuan dan arah hidupnya. Sebaliknya, karyawan dengan purpose in life yang rendah belum mempunyai tujuan hidup dan arah hidup yang jelas berkaitan dengan kehidupannya menjelang masa pensiun.

Pertumbuhanan pribadi (personal growth) adalah kemampuan karyawan pria yang memasuki MPP di PT “X” (Persero) untuk mengembangkan potensi


(23)

diri secara berkelanjutan. Karyawan yang memiliki personal growth yang tinggi dapat menyadari potensi yang ada dalam dirinya serta mencoba pengalaman baru yang berguna untuk mengembangkan dirinya. Kondisi bekerja di saat MPP yang mengalami banyak perubahan dari kondisi sebelumnya, tidak menghambat karyawan untuk tetap mengembangkan diri. Sedangkan karyawan yang memiliki personal growth yang rendah merasa jenuh dan tidak tertarik dalam menjalani kehidupan, serta tidak mampu mengembangkan dirinya.

Ryff dan Singer (1996) mengungkapkan bahwa psychological well being dipengaruhi oleh faktor sosiodemografis seperti usia, jenis kelamin, budaya, dan status sosial ekonomi dapat mempengaruhi profil PWB individu. Namun faktor usia dan jenis kelamin tidak dijaring lebih lanjut lagi karena sampel yang digunakan sudah homogen pada kedua faktor tersebut.

Sistem nilai individualistik dan kolektivistik yang dianut oleh suatu masyarakat akan memberi dampak terhadap perkembangan PWB setiap karyawan. Masyarakat yang menganut sistem nilai individualistik akan tinggi dalam dimensi self-acceptance dan autonomy, sedangkan masyarakat yang menganut sistem kolektivistik akan tinggi dalam dimensi positive relation with others.

Faktor status sosial ekonomi turut mempengaruhi pertumbuhan PWB karyawan, yaitu dalam dimensi self-acceptance, purpose in life, environmental mastery, dan personal growth (Ryff, et al dalam Ryan & Deci, 2001). Faktor yang tercakup di dalamnya meliputi pendidikan, pendapatan dan pekerjaan. Tingkat PWB karyawan akan lebih baik bila mempunyai status pendidikan dan pekerjaan


(24)

yang tinggi. Selain itu, pekerjaan yang dibayar (paid work) yang selama ini lebih terlihat sebagai pusat well-being pada pria, sekarang ini juga terlihat pada wanita (Papila. Olds, & Fieldman, 2003).

Pada akhirnya karyawan yang memiliki tingkat PWB yang tinggi akan menunjukkan perilaku puas pada dirinya, mengakui dan menerima berbagai aspek diri, mampu untuk melihat kemajuan diri dari waktu ke waktu, menyadari potensi yang dimiliki, keterbukaan terhadap berbagai pengalaman baru, memiliki tujuan dan arah hidup, memiliki keyakinan hidup, mampu mengatur lingkungannya, mampu untuk memanfaatkan kesempatan secara efektif, mampu mengarahkan diri sendiri, mampu melawan atau menghadapi tekanan sosial, memiliki empati, dan memikirkan kesejahteraan orang lain.

Sedangkan karyawan dengan tingkat PWB yang rendah akan menunjukkan kekecewaan pada dirinya, merasa dirinya penuh kekurangan, memiliki pandangan negatif terhadap kehidupan yang telah dijalani, tidak memiliki tujuan dan arah hidup, kurang memiliki keyakinan hidup, tidak merasa adanya arti dalam hidup masa kini dan masa lalu, kurang mampu mengatur lingkungan, kurang mampu untuk memanfaatkan kesempatan yang ada, kurang mampu mengarahkan diri sendiri, tingkah lakunya kurang teratur, kurang dapat menghadapi tekanan sosial, kurang peduli dengan lingkungannya, dan jarang memikirkan kesejahteraan orang lain.


(25)

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran Karyawan Pria

yang Memasuki

Masa Persiapan Pensiun di PT “X” (Persero) Kota Bandung Psychological well-being (PWB) Faktor-faktor yang Mempengaruhi PWB: 1. Budaya

2. Status Sosial-Ekonomi

Dimensi Psychological Well-Being:

1. Penerimaan Diri (Self Acceptance)

2. Pertumbuhan Diri (Personal Growth)

3. Tujuan Hidup (Purpose in Life)

4. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery) 5. Otonomi (Autonomy) 6. Hubungan Positif dengan

Orang Lain (Positive Relations with Others)

Tinggi


(26)

1.6 Asumsi

1. Tingkat Psychological Well-Being dapat ditentukan berdasarkan dimensi self-acceptance, personal growth, purpose in life, environmental mastery, autonomy dan positive relations with others.

2. Tingkat Psychological Well-Being karyawan pria yang memasuki Masa Persiapan Pensiun di PT. “X” (Persero) Kota Bandung dipengaruhi oleh bebagai faktor sosiodemografis; yaitu budaya dan status sosial ekonomi. 3. Psychological Well-Being karyawan pria yang memasuki Masa Persiapan

Pensiun di PT. “X” (Persero) Kota Bandung dapat menunjukkan tingkat yang berbeda-beda.


(27)

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai tingkat Psychological Well-Being (PWB) yang dilakukan pada karyawan pria yang memasuki MPP di PT. “X” (Persero), diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Karyawan pria yang memasuki MPP di PT. “X” (Persero) mayoritas memiliki tingkat Psychological Well-Being (PWB) yang tinggi.

2. Setiap dimensi dari PWB yang dimiliki karyawan pria yang memasuki MPP di PT. “X” (Persero) hampir seluruhnya berada pada tingkat yang tinggi. Namun pada dimensi Positive Relationship With Others, persentase karyawan pria yang memiliki tingkat yang rendah lebih besar.

3. Faktor budaya dan faktor sosial ekonomi dinilai tidak menunjang tingkat Psychological Well-Being (PWB) pada penelitian ini. Namun terdapat faktor yang menunjang tingginya tingkat PWB pada penelitian ini yakni faktor religiusitas (agama).


(28)

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

1. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan penelitian korelasi antar tingkat PWB dan faktor religiusitas (agama). Hal ini dikarenakan, faktor tersebut berkaitan dengan tingginya tingkat PWB pada penelitian ini.

2. Untuk penelitian selanjutnya, sampel diharapkan lebih bervariasi dan jumlahnya lebih banyak.

3. Dalam penelitian selanjutnya, diharapkan memiliki data mengenai jabatan secara lebih spesifik.

4. Disarankan untuk melakukan penelitian mengenai kontribusi faktor-faktor yang memengaruhi PWB.

5. Disarankan untuk penelitian lanjutan yang dilakukan secara kualitatif agar hasil yang didapatkan lebih mendalam dan dapat lebih menjelaskan dinamika dari keenam dimensi.

5.2.2 Saran Praktis

1. Memperpanjang waktu pelaksanaan program MPP untuk memberikan waktu yang lebih panjang untuk mengubah paradigma mereka. Karena bukan hal yang mudah untuk mengubah paradigma yang rata-rata sudah ±30 tahun terbentuk. Jadi akan lebih baik jika MPP dimulai sekurang-kurangnya 5 tahun sebelum masa pensiun. Sehingga diharapkan mereka


(29)

menjadi lebih terarah dalam menentukan perencanaan di masa pensiunnya (Purpose In Life).

2. Memfasilitasi karyawan peserta MPP dengan pengembangan hobi. Karena sudah lama bekerja di perusahaan sehingga sebagian besar kehilangan waktu untuk melakukan hobi. Sedangkan yang menjadi pertimbangan adalah ketika mereka pensiun nanti, mereka akan menemukan kegiatan baru atau karir baru, dan yang akan membuat mereka bertahan adalah melakukan kegiatan atau pekerjaan yang sesuai dengan minatnya (Environmental Mastery). Dapat dibekali juga dengan memperluas wawasan mengenai peluang baik ke arah bisnis dan non-bisnis yang dapat mereka masuki secara lebih detail (Personal Growth). Penting untuk melakukan kegiatan yang mereka sukai dan sesuai dengan minat-bakat mereka, supaya mereka merasa puas dengan hidup yang dijalaninya (Self Acceptance).

3. Setelah diberikan pengarahan mengenai peluang bisnis, akan lebih baik apabila diadakan juga follow-up hingga usaha yang baru berjalan dengan baik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membuat perkumpulan peserta MPP berdasarkan angkatannya dan difasilitasi mentor berpengalaman. Selain menambah wawasan para karyawan pria yang memasuki MPP di PT. “X” (Persero) (Personal Growth), hal ini juga dapat meningkatkan kebersamaan dan hubungan yang hangat antar peserta MPP (Positive Relationship With Others).


(30)

4. Membangun kepercayaan diri dan keberanian (Autonomy) pada karyawan pria yang memasuki MPP di PT. “X” (Persero), yang selama ini bekerja pada perusahaan yang memberikan banyak kenyamanan.


(31)

DAFTAR PUSTAKA

Hurlock, Elizabeth. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga, 1980 Dinsil, Valentino, dkk. 2006. Ketika Pensiun Tiba. Wijawiyata Media Utama Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Grasindo

Havighurst, 1969. Adjustment to Retirement. Assen, Van Gorcum Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia

Papalia, Diane E.,dkk. 2008. Human Development. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Ryff, Carol D. 2007. Scales Of Psychological Well-Being

Ryff, Carol D. 1989. Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on The Meaning of Psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology Vol. 57, 1069-1081

Ryff, Carol D., & Singer, B. 1996. Psychological Well-Being : Meaning, Measurrment, and Implication for Psychotherapy Research. Psychotherapy and Psychosomatics, 65, 14-23

Ryff, Carol D. 1995. The Structure of Psychological Well Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology Vol. 69, 719-727

Santrock, John W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5, Jilid II. Jakarta: Erlangga

Sugiyono. 2005. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3, Cetakan 2. Jakarta: Balai Pustaka

Trankle. (2009). Adolsance religiosity and psychological well being. http://www.charis.wk.edu/publications/charis5-3/Trankle.pdf. Diakses pada tanggal 1 Juni, 2011.


(32)

DAFTAR RUJUKAN

2007. Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Antrof, Adrian. Masa Perkembangan Dewasa Akhir (Lansia). (Online). (http://www.psycholovegy.com/2012/05/masa-perkembangan-manusia-dewasa-akhir.html, diakses 5 Juni 2013).

Aprilianti, Putri. 2012. Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well Being pada Pensiunan Bank “X” Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Aryani, Neysa Valeria Tri. 2011. Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well Being pada Single Mothers di Komunitas “X“. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Go_NiceBlog. 2009. Teori-Teori Fase Dewasa. (http://blogq-ta2.blogspot.com/2009/11/teori-teori-fase-dewasa.html, diakses 20 November 2013).

Harmoni Hidup. Pensiun, Stres dan Bahagia. (http://harmonihidup.com/pensiun-stres-dan-bahagia/, 2001, diakses 7 Oktober 2013).

Maulina, Septy Indah. 2007. Hubungan antara Religiusitas dengan Psychological Well Being pada Lansia. Jurnal. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.

Purnamawati, Novianthi Dian. 2007. Gambaran Psychological Well Being pada Pegawai Negeri Sipil Pria yang Mengalami Pensiun di Usia Dewasa Madya. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

RAHIMA. 2006. Harta Gono-gini Mencari Formula yang Adil untuk Perempuan. (http://www.rahima.or.id, diakses 25 September 2013).

Satiningsih, Ritma Trisusanti. 2012. Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya. Gambaran Psychological Well-Being pada Pria Pensiunan Pegawai Negeri Sipil Struktural yang Menjadi Tulang Punggung Keluarga. (Online).

(http://www.scribd.com/doc/189897805/GAMBARAN- PSYCHOLOGICAL-WELL-BEING-PADA-PRIA-PENSIUNAN- PEGAWAI-NEGERI-SIPIL-STRUKTURAL-YANG-MENJADI-TULANG-PUNGGUNG-KELUARGA, diakses 9 Desember 2013).


(33)

TRIBUN. 2011. 9 dari 10 Orang Belum Siap Pensiun. (http://makassar.tribunnews.com/mobile/index.php//2011/03/28/9-dari-10orang-belum-siap-pensiun, diakses 17 September 2013).


(1)

60

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

1. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan penelitian korelasi antar tingkat PWB dan faktor religiusitas (agama). Hal ini dikarenakan, faktor tersebut berkaitan dengan tingginya tingkat PWB pada penelitian ini.

2. Untuk penelitian selanjutnya, sampel diharapkan lebih bervariasi dan jumlahnya lebih banyak.

3. Dalam penelitian selanjutnya, diharapkan memiliki data mengenai jabatan secara lebih spesifik.

4. Disarankan untuk melakukan penelitian mengenai kontribusi faktor-faktor yang memengaruhi PWB.

5. Disarankan untuk penelitian lanjutan yang dilakukan secara kualitatif agar hasil yang didapatkan lebih mendalam dan dapat lebih menjelaskan dinamika dari keenam dimensi.

5.2.2 Saran Praktis

1. Memperpanjang waktu pelaksanaan program MPP untuk memberikan waktu yang lebih panjang untuk mengubah paradigma mereka. Karena bukan hal yang mudah untuk mengubah paradigma yang rata-rata sudah ±30 tahun terbentuk. Jadi akan lebih baik jika MPP dimulai sekurang-kurangnya 5 tahun sebelum masa pensiun. Sehingga diharapkan mereka


(2)

61

menjadi lebih terarah dalam menentukan perencanaan di masa pensiunnya (Purpose In Life).

2. Memfasilitasi karyawan peserta MPP dengan pengembangan hobi. Karena sudah lama bekerja di perusahaan sehingga sebagian besar kehilangan waktu untuk melakukan hobi. Sedangkan yang menjadi pertimbangan adalah ketika mereka pensiun nanti, mereka akan menemukan kegiatan baru atau karir baru, dan yang akan membuat mereka bertahan adalah melakukan kegiatan atau pekerjaan yang sesuai dengan minatnya (Environmental Mastery). Dapat dibekali juga dengan memperluas wawasan mengenai peluang baik ke arah bisnis dan non-bisnis yang dapat mereka masuki secara lebih detail (Personal Growth). Penting untuk melakukan kegiatan yang mereka sukai dan sesuai dengan minat-bakat mereka, supaya mereka merasa puas dengan hidup yang dijalaninya (Self Acceptance).

3. Setelah diberikan pengarahan mengenai peluang bisnis, akan lebih baik apabila diadakan juga follow-up hingga usaha yang baru berjalan dengan baik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membuat perkumpulan peserta MPP berdasarkan angkatannya dan difasilitasi mentor berpengalaman. Selain menambah wawasan para karyawan pria yang memasuki MPP di PT. “X” (Persero) (Personal Growth), hal ini juga dapat meningkatkan kebersamaan dan hubungan yang hangat antar peserta MPP (Positive Relationship With Others).


(3)

62

4. Membangun kepercayaan diri dan keberanian (Autonomy) pada karyawan pria yang memasuki MPP di PT. “X” (Persero), yang selama ini bekerja pada perusahaan yang memberikan banyak kenyamanan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Hurlock, Elizabeth. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga, 1980 Dinsil, Valentino, dkk. 2006. Ketika Pensiun Tiba. Wijawiyata Media Utama Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Grasindo

Havighurst, 1969. Adjustment to Retirement. Assen, Van Gorcum Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia

Papalia, Diane E.,dkk. 2008. Human Development. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Ryff, Carol D. 2007. Scales Of Psychological Well-Being

Ryff, Carol D. 1989. Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on The Meaning of Psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology Vol. 57, 1069-1081

Ryff, Carol D., & Singer, B. 1996. Psychological Well-Being : Meaning, Measurrment, and Implication for Psychotherapy Research. Psychotherapy and Psychosomatics, 65, 14-23

Ryff, Carol D. 1995. The Structure of Psychological Well Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology Vol. 69, 719-727

Santrock, John W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5, Jilid II. Jakarta: Erlangga

Sugiyono. 2005. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3, Cetakan 2. Jakarta: Balai Pustaka

Trankle. (2009). Adolsance religiosity and psychological well being. http://www.charis.wk.edu/publications/charis5-3/Trankle.pdf. Diakses pada tanggal 1 Juni, 2011.


(5)

DAFTAR RUJUKAN

2007. Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Antrof, Adrian. Masa Perkembangan Dewasa Akhir (Lansia). (Online). (http://www.psycholovegy.com/2012/05/masa-perkembangan-manusia-dewasa-akhir.html, diakses 5 Juni 2013).

Aprilianti, Putri. 2012. Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well Being pada Pensiunan Bank “X” Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Aryani, Neysa Valeria Tri. 2011. Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well Being pada Single Mothers di Komunitas “X“. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Go_NiceBlog. 2009. Teori-Teori Fase Dewasa. (http://blogq-ta2.blogspot.com/2009/11/teori-teori-fase-dewasa.html, diakses 20 November 2013).

Harmoni Hidup. Pensiun, Stres dan Bahagia. (http://harmonihidup.com/pensiun-stres-dan-bahagia/, 2001, diakses 7 Oktober 2013).

Maulina, Septy Indah. 2007. Hubungan antara Religiusitas dengan Psychological Well Being pada Lansia. Jurnal. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.

Purnamawati, Novianthi Dian. 2007. Gambaran Psychological Well Being pada Pegawai Negeri Sipil Pria yang Mengalami Pensiun di Usia Dewasa Madya. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

RAHIMA. 2006. Harta Gono-gini Mencari Formula yang Adil untuk Perempuan. (http://www.rahima.or.id, diakses 25 September 2013).

Satiningsih, Ritma Trisusanti. 2012. Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya. Gambaran Psychological Well-Being pada Pria Pensiunan Pegawai Negeri Sipil Struktural yang Menjadi Tulang Punggung Keluarga. (Online).

(http://www.scribd.com/doc/189897805/GAMBARAN- PSYCHOLOGICAL-WELL-BEING-PADA-PRIA-PENSIUNAN-


(6)

PEGAWAI-NEGERI-SIPIL-STRUKTURAL-YANG-MENJADI-65

TRIBUN. 2011. 9 dari 10 Orang Belum Siap Pensiun. (http://makassar.tribunnews.com/mobile/index.php//2011/03/28/9-dari-10orang-belum-siap-pensiun, diakses 17 September 2013).