PENINGKATAN KEMAMPUAN PENYESUAIAN SOSIAL MELALUI PROBLEM SOLVING TRAINING.
PENINGKATAN KEMAMPUAN PENYESUAIAN SOSIAL
MELALUI PROBLEM SOLVING TRAINING
(Studi Deskriptif terhadap Peserta Didik Kelas XI SMA Negeri 9 Bandung Tahun Ajaran 2014/2015)
SKRIPSI
diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Departemen Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
.
oleh Tina Rahmawati
NIM 1000145
DEPARTEMEN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2015
(2)
PENINGKATAN KEMAMPUAN PENYESUAIAN SOSIAL
MELALUI PROBLEM SOLVING TRAINING
(Studi Deskriptif terhadap Peserta Didik Kelas XI SMA Negeri 9 Bandung Tahun Ajaran 2014/2015)
oleh Tina Rahmawati
1000145
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Pendidikan
© Tina Rahmawati 2015 Universitas Pendidikan Indonesia
Januari 2015
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.
(3)
TINA RAHMAWATI
PENINGKATAN KEMAMPUAN PENYESUAIAN SOSIAL
MELALUI PROBLEM SOLVING TRAINING
(Studi Deskriptif terhadap Peserta Didik Kelas XI SMA Negeri 9 Bandung Tahun Ajaran 2014/2015)
disetujui dan disahkan oleh pembimbing:
Pembimbing I
Dr. Euis Farida, M. Pd. NIP. 19590110 198403 2 001
Pembimbing II
Dr. Yusi Riksa Yustiana, M. Pd. NIP. 19661115 199102 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Psikologi Pendidikan dan Bimbingan,
Dr. Nandang Rusmana, M. Pd. NIP. 19600501 198603 1 004
(4)
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
ABSTRAK
Tina Rahmawati. (2015). Peningkatan Kemampuan Penyesuaian Sosial Melalui Problem Solving Training. (Studi Deskriptif terhadap Peserta Didik Kelas XI SMA Negeri 9 Bandung Tahun Ajaran 2014/2015).
Kemampuan penyesuaian sosial merupakan tugas perkembangan yang penting bagi remaja. Ketidakmampuan penyesuaian sosial peserta didik menunjukan dampak buruk bagi pribadi yang terkait dengan aspek perkembangan sosial remaja yang bersifat dinamis. Penelitian bertujuan mengetahui gambaran kemampuan penyesuaian sosial peserta didik sebagai dasar pengembangan layanan problem solving training untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial. Pengambilan sampel dilakukan secara acak (random sampling). Sampel penelitian peserta didik kelas XI SMA Negeri 9 Bandung Tahun Ajaran 2014/2015 yang berjumlah 224 peserta didik dari 379 peserta didik. Hasil penelitian menunjukan gambaran kemampuan penyesuaian sosial peserta didik dijadikan landasan dalam penyusunan layanan problem solving training untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial. Layanan yang disusun dinyatakan layak oleh pakar dan praktisi. Rekomendasi penelitian: 1) Guru bimbingan dan konseling dapat menjadikan layanan problem solving training sebagai pedoman untuk membantu meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial peserta didik kelas XI SMA Negeri 9 Bandung, 2) Guru bimbingan dan konseling dapat menerapkan layanan problem solving
training kepada peserta didik dengan kecenderungan respon pada kategori sangat tinggi
dan tinggi sebagai upaya pengembangan untuk mempertahankan kemampuan penyesuaian sosial melalui strategi bimbingan kelompok dan perencanaan individual, 3) Peneliti berikutnya dapat melakukan uji coba layanan problem solving training untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial peserta didik.
(5)
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
ABSTRACK
Tina Rahmawati. (2015). The Social Adjustment Skill Improvment With Problem Solving Training (Descriptive Study on Students Class XI SMA Negeri 9 Bandung Academic Year 2014/2015)
The social adjustment skill is an important developmental task for adolescents. Social adjustment of students showed adverse effects related to personal social aspects of adolescent development is dynamic. The research aims to know the description of social adjustment skill of student as a basis for the development of problem solving training services to improve the social adjustment skill. Sampling was done at random sampling. The research sample of students of class XI SMA Negeri 9 Bandung School Year 2014/2015, amounting to 224 students from 379 students. The results showed the social adjustment skill of student are used as a basis in the preparation of problem solving training services to improve the social adjustment skill. This compiled services declared eligible by experts and practitioners. Recommendations of the study: 1) School counselor services is able to make problem solving training as a guide to help improving social adjustment skill of student class XI SMA Negeri 9 Bandung, 2) School counselor is able to implement problem solving training services to students with a tendency in the category of very high response and high as development efforts to maintain the social adjustment skill through individual student planning and group counseling, 3) Subsequent researchers is able to implement problem solving training service to improve the social adjustment skill of students.
(6)
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
UCAPAN TERIMAKASIH ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1Latar Belakang Penelitian ... 1
1.2Rumusan Masalah Penelitian ... 6
1.3Tujuan Penelitian ... 7
1.4Metode Penelitian ... 7
1.5Manfaat Penelitian ... 8
1.6Sistematika Penulisan ... 8
BAB II PENYESUAIAN SOSIAL DAN PROBLEM SOLVING TRAINING ... 9
2.1Penyesuaian Sosial ... 9
2.1.1 Pengertian Remaja ... 9
2.1.2 Tugas Perkembangan Remaja ... 13
2.1.3 Pengertian Penyesuaian Sosial ... 13
2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial ... 15
2.1.5 Karakterisitik Penyesuaian Sosial ... 17
2.1.6 Penyesuaian Sosial Remaja di Sekolah ... 17
2.1.7 Individu dengan Kemampuan Penyesuaian Sosial ... 19
2.1.8 Individu dengan Ketidakmampuan Penyesuaian Sosial ... 21
2.2Problem Solving Training ... 22
2.2.1 Konsep Bimbingan dan Konseling ... 22
2.2.2 Konsep Problem Solving Training ... 28
2.3Program Hipotetik Problem Solving Training untuk Mengembangkan Kemampuan Penyesuaian Sosial Peserta Didik ... 35
(7)
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
2.3.2 Tujuan ... 37
2.3.3 Lingkup Masalah ... 37
2.3.4 Tahap Problem Solving Training ... 38
2.3.5 Syarat Konselor dalam Penggunaan Problem Solving Training.. 38
2.3.6 Evaluasi ... 39
2.4Kerangka Pemikiran ... 39
BAB III METODE PENELITIAN ... 41
3.1Desain Penelitian ... 41
3.2Partisipan ... 41
3.3Populasi dan Sampel ... 41
3.4Definisi Operasional Variabel ... 42
3.4.1 Program Hipotetik Problem Solving Training ... 42
3.4.2 Penyesuaian Sosial Peserta didik ... 43
3.5Instrumen Penelitian ... 44
3.5.1 Penyusunan Instrumen ... 44
3.5.2 Uji Validitas Butir Item ... 45
3.5.3 Uji Reliabilitas Instrumen ... 46
3.6Teknik Analisis ... 49
3.6.1 Verifikasi Data ... 49
3.6.2 Penyekoran Data Hasil Penelitian ... 49
3.6.3 Pengolahan Data ... 50
3.7Analisis Pengembangan Program Problem Solving Training ... 53
3.8Prosedur Penelitian ... 53
3.8.1 Tahap Persiapan ... 53
3.8.2 Tahap Pelaksanaan ... 53
3.8.3 Tahap Pelaporan ... 54
3.9Penyusunan Rancangan Layanan Problem Solving Training untuk Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Sosial Sebelum Validitas ... 54
3.9.1 Rasional ... 54
3.9.2 Visi dan Misi ... 57
(8)
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
3.9.4 Tujuan Program ... 64
3.9.5 Sasaran Program ... 64
3.9.6 Komponen Program ... 64
3.9.7 Rencana Operasional ... 66
3.9.8 Pengembangan Tema dan Implementasi Program ... 70
3.9.9 Pengembangan Rancangan Layanan (RPLKK) ... 72
3.9.10 Evaluasi ... 72
BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN 4.1Deskripsi Temuan Penelitian ... 77
4.1.1 Layanan Problem Solving Training untuk Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Sosial ... 77
4.1.2 Layanan Problem Solving Training untuk Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Sosial ... 102
4.2Pembahasan Penelitian ... 115
4.2.1 Rumusan Program Hipotetik Problem Solving Training untuk Mengembangkan Kemampuan Penyesuaian Sosial Peserta Didik .115 4.3 Keterbatasan Penelitian ... 123
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 5.1Simpulan ... 124
5.2Implikasi ... 124
5.3Rekomendasi ... 127
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(9)
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Ciri-ciri Seks Sekunder ... 10
Tabel 2.2 Modul Problem Solving Training ... 32
Tabel 3.1 Kisi-Kisi dan Butir Pernyataan Instrumen Penyesuaian Sosial Peserta didik ... 44
Tabel 3.2 Kriteria Keterandalan (Reliabilitas) Instrumen ... 47
Tabel 3.3 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Kemampuan Penyesuaian Sosial Peserta Didik ... 47
Tabel 3.4 Kisi-kisi Instrumen Kemampuan Penyesuaian Sosial Peserta Didik (Setelah Uji Coba) ... 48
Tabel 3.5 Kategori Pemberian Skor Alternatif Jawaban ... 49
Tabel 3.6 Pengkategorian Kemampuan Penyesuaian Sosial Peserta Didik ... 50
Tabel 3.7 Interpretasi Skala Kategori Kemampuan Penyesuaian Sosial ... 50
Tabel 3.8 Gambaran Umum Kemampuan Penyesuaian Sosial Peserta Didik Kelas XI SMA Negeri 9 Bandung Tahun Ajaran 2014/2015 ... 56
Tabel 3.9 Kecenderungan Respon Peserta Didik Aspek Bersikap Respek dan Bersedia Menerima Peraturan Sekolah ... 58
Tabel 3.10 Kecenderungan Respon Peserta Didik Aspek Berpartisipasi dalam Kegiatan-Kegiatan di Sekolah ... 59
Tabel 3.11 Kecenderungan Respon Peserta Didik Aspek Menjalin Persahabatan dengan Teman-Teman di Sekolah ... 59
Tabel 3.12 Kecenderungan Respon Peserta Didik Aspek Bersikap Hormat Terhadap Guru, Pemimpin Sekolah dan Staf Lainnya ... 60
Tabel 3.13 Kecenderungan Respon Peserta Didik Aspek Membantu Sekolah dalam Merealisasikan Tujuan-Tujuannya ... 61
Tabel 3.14 Deskripsi Kebutuhan Program Hipotetik Problem Solving Training untuk Mengembangkan Kemampuan Penyesuaian Sosial Peserta Didik... 62
Tabel 3.15 Pengembangan Tema Kemampuan Penyesuaian Sosial ... 65
Tabel 3.16 Rencana Operasional Program Hipotetik Bimbingan dan Konseling untuk Mengembangkan Kemampuan Penyesuaian Sosial Peserta Didik kelas XI SMA Negeri 9 Bandung ... 67
(10)
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Tabel 3.17 Pengembangan Tema dan Implementasi Program Hipotetik Bimbingan dan Konseling untuk Mengembangkan Kemampuan Penyesuaian Sosial melalui Problem Solving Training... 70 Tabel 3.18 Instrumen Evaluasi Program Hipotetik Bimbingan dan Konseling
untuk mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training ... 74 Tabel 4.1 Deskripsi Kebutuhan Program Hipotetik Problem Solving Training
untuk Mengembangkan Kemampuan Penyesuaian Sosial Peserta Didik .... 83 Tabel 4.6 Deskripsi Kebutuhan Rancangan Layanan Problem Solving Training
untuk Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Sosial ... 102 Tabel 4.8 Rencana Operasional Rancangan Layanan Problem Solving Training
untuk Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Sosial Peserta Didik kelas XI SMA Negeri 9 Bandung ... 112
(11)
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Proses Problem Solving ... 31 Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran ... 40
(12)
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
DAFTAR LAMPIRAN 1. Pedoman Pelaksanaan
2. Validitas dan Reliabilitas 3. Instrumen Setelah Uji Coba
4. Satuan Layanan Sebelum Validitas 5. Satuan Layanan Setelah Validitas 6. Contoh Lembar Kerja Konseli
7. Surat Keputusan Pengangkatan Dosen Pembimbing 8. Surat Permohonan Penelitian
9. Surat Keterangan Sudah Penelitian 10. Lembar Penilaian Validasi Program 11. Riwayat Hidup
(13)
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Penelitian
Remaja merupakan salah satu periode penting dalam rentang kehidupan manusia yang berada diantara tahap anak dan tahap dewasa. Menurut Santrock (2003, hlm. 26) tahap remaja merupakan masa transisi antara tahap anak dan tahap dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Rentang usia remaja menurut Konopka (Yusuf, 2007, hlm. 184) meliputi (1) remaja awal: 12-15 tahun; (2) remaja madya: 15-18 tahun, dan (3) remaja akhir: 19-22 tahun.
Yusuf (2007, hlm. 193) berpendapat remaja memiliki karakteristik perkembangan: (1) fisik, (2) kognitif, (3) emosi, (4) sosial, (5) moral, (6) kepribadian, dan (7) kesadaran beragama. Lebih lanjut Yusuf (2007, hlm. 122) menyatakan perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial, atau dapat diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi untuk melebur diri menjadi suatu kesatuan, saling berkomunikasi serta bekerja sama.
Kemampuan penyesuaian merupakan kemampuan yang berlangsung secara terus menerus sepanjang rentang kehidupan manusia, dan dapat mempengaruhi kebahagiaan manusia (Hurlock, 1980, hlm. 20). Pendapat lain dikemukan Schneiders (1964, hlm. 51) kehidupan yang terus berjalan menuntut manusia memiliki kemampuan penyesuaian untuk dapat menghasilkan hubungan yang harmonis antara kebutuhan diri dengan norma atau tuntutan lingkungan dimana individu hidup. Berdasarkan pernyataan Hurlock dan Schneiders dapat disimpulkan kemampuan penyesuaian sosial merupakan kemampuan yang harus dicapai dalam tugas perkembangan remaja karena dapat mempengaruhi kebahagiaan dan dapat menghasilkan hubungan yang harmonis antara kebutuhan diri dengan norma atau tuntutan lingkungan dimana individu hidup.
Pembahasan mengenai penyesuaian sosial tidak terlepas dari konsep penyesuaian diri, karena penyesuaian sosial merupakan bagian dari penyesuaian diri. Penyesuaian diri merupakan hal terpenting pada masa remaja karena akan
(14)
2
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
berpengaruh pada peningkatan pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, serta nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin (Hurlock, 1980, hlm. 287).
Hurlock (1980, hlm. 287) menjelaskan penyesuaian sosial merupakan keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya. Schneiders (1964, hlm. 460) berpendapat penyesuaian sosial adalah ”the capacity to react efectively and wholesomely to social realities, situation, and relation”. Berdasarkan pengertian dari Hurlock dan Schneider, dapat disimpulkan penyesuaian sosial merupakan usaha untuk dapat memenuhi kebutuhan sosial dalam berinteraksi di lingkungan sosial yang luas, efektif dan wajar. Remaja memerlukan keterampilan sosial untuk menciptakan kemampuan penyesuaian yang baru sehingga mendapatkan pola sosialisasi yang baik.
Kemampuan penyesuaian sosial dapat menghasilkan hubungan yang harmonis antara kebutuhan diri dengan norma atau tuntutan lingkungan dimana individu hidup (Schneiders, 1964, hlm. 51). Kemampuan penyesuaian sosial individu dapat memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalahnya secara wajar, tidak merugikan diri sendiri dan lingkungan, serta sesuai dengan norma agama (Yusuf, 2009a, hlm. 29). Kemampuan penyesuaian sosial merupakan kemampuan yang penting dimiliki oleh setiap manusia sebagai cara dalam memenuhi kebutuhan sosial.
Penyesuaian sosial peserta didik di sekolah diartikan sebagai kemampuan peserta didik mereaksi secara tepat terhadap realitas sosial, situasi, dan relasi sosial, sehingga mampu berinteraksi secara wajar dan sehat, serta dapat memberikan kepuasan bagi diri dan lingkungannya (Schneiders, 1964, hlm. 454). Sekolah tidak hanya memberikan pendidikan secara akademis, akan tetapi membantu peserta didik meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial. Pendapat Schneiders diperkuat oleh penjelasan Mukhlison (http://www.balinter.net diakses pada 25-02-2014) mengenai fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan diantaranya: mempersiapkan peserta didik untuk suatu pekerjaan, memberikan
(15)
3
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
keterampilan dasar, membuka kesempatan memperbaiki nasib, menyediakan tenaga pembangunan serta membentuk manusia sosial.
Penyesuaian sosial peserta didik di sekolah merupakan penyesuaian diri terhadap guru, mata pelajaran, teman sebaya, dan lingkungan sekolah (Willis, 2010, hlm. 60). Terdapat lima aspek dalam penyesuaian sosial di sekolah menurut Schneiders (1964, hlm.454), yakni: (1) bersikap respek dan bersedia menerima peraturan sekolah; (2) berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di sekolah; (3) menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah; (4) bersikap hormat terhadap guru, pemimpin sekolah dan staf lainnya; dan (5) membantu sekolah dalam merealisasikan tujuan-tujuannya. Dimilikinya kemampuan penyesuaian sosial membuat peserta didik bersedia mematuhi tata tertib yang berlaku di sekolah, memiliki minat untuk berpartisipasi pada kegiatan ekstrakurikuler atau kelompok belajar, mampu berinteraksi dengan teman, guru mata pelajaran, dan staf sekolah lainnya serta mampu mendukung kegiatan belajar dan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.
Hasil penelitian Wardani dan Apolo (2010, hlm. 100) mengungkapkan penyesuaian sosial remaja memiliki hubungan positif dengan kompetensi sosial. Setianingsih, dkk (2006, hlm. 32) mengungkapkan terdapat hubungan yang sangat signifikan antara penyesuaian sosial dan kemampuan menyelesaikan masalah dengan kecenderungan perilaku delinkuen pada peserta didik. Disimpulkan kemampuan penyesuaian sosial penting dimiliki karena mempengaruhi kompetensi sosial serta kemampuan menyelesaikan masalah dengan kecenderungan perilaku delinkuen pada peserta didik.
Ketidakmampuan penyesuaian sosial akan mengakibatkan peserta didik tidak puas pada diri sendiri dan mempunyai sikap-sikap menolak diri (Hurlock, 1980, hlm. 239). Yusuf (2009a, hlm. 31-88) mengemukakan ketidakmampuan penyesuaian sosial ditandai dengan reaksi bertahan, reaksi menyerang, reaksi melarikan diri dari kenyataan, penyesuaian dengan patologis, tingkah laku anti sosial, kecanduan dan ketergantungan alkohol dan obat terlarang, serta penyimpangan seksual dan AIDS.
(16)
4
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Perilaku anti sosial merupakan salah satu ciri ketidakmampuan penyesuaian sosial. Menurut Morton G. Harmatz (Yusuf, 2009a, hlm. 55) perilaku anti sosial terbagi menjadi tiga kategori, yaitu: anti social personality (psychopathy), criminal (dyssocial behavior), dan juvenile delinquency. Menurut Yusuf (2009a, hlm. 61) juvenille delinquency merupakan penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh remaja seperti mencuri, membolos dari sekolah, free sex, vandalisme (perusakan), serangan yang agresif yang mengarah pada kematian, mengkonsumsi minuman keras atau obat-obat terlarang, berpakaian tidak senonoh dan tawuran (kekerasan berkelompok/geng).
Ditinjau dari sikap anti sosial sebagai ciri penyesuaian yang menyimpang terdapat fenomena-fenomena perilaku anti sosial yang ditunjukan peserta didik seperti kasus tawuran. Komnas Perlindungan Anak mencatat sepanjang 2013 terdapat 255 kasus tawuran antar-pelajar di Indonesia. Angka 255 kasus pada tahun 2013 meningkat tajam dibanding tahun sebelumnya yang hanya 147 kasus. Dari 255 kasus pada 2013, terdapat 20 pelajar meninggal dunia saat terlibat atau usai aksi tawuran, sisanya mengalami luka berat dan ringan (http://www.tribunnews.com diakses pada 23-06-2014). Fenomena lain, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) mengungkapkan terdapat kasus perkosaan yang dilakukan oleh kalangan pelajar. Terhitung bulan Januari 2013 terjadi lima kasus perkosaan masal, tiga di antaranya dilakukan sejumlah pelajar terhadap gadis teman sekolahnya. Sebagian besar korban perkosaan berusia 1-16 tahun sebanyak 23 orang dan usia 17-30 tahun sebanyak 6 orang. Sedangkan pelaku perkosaan berusia 14-39 tahun sebanyak 32 orang dan berusia 40-70 tahun sebanyak 12 orang (http://jakarta.okezone.com diakses pada 23-06-2014). Fenomena ketidakmampuan penyesuaian sosial remaja yang semakin marak terjadi, menunjukan pentingnya penanganan untuk membentuk kualitas mental yang sehat.
Berkaitan dengan fenomena penyesuaian sosial, pemberian layanan bimbingan dan konseling untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial perlu diberikan kepada peserta didik (remaja). Yusuf (2009b, hlm. 49) menyatakan tujuan pemberian layanan bimbingan dan konseling yaitu agar
(17)
5
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
peserta didik dapat menyesuaikan diri, mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat serta lingkungan kerjanya.
Kemampuan penyesuaian sosial merupakan aspek dari perkembangan sosial, maka layanan yang dapat diberikan yakni bidang layanan pribadi-sosial. Menurut Yusuf dan Nurihsan (2008, hlm. 14) tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial yaitu:
memiliki komitmen, memiliki sikap toleransi, memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif, memiliki sifat positif, memiliki kemampuan melakukan pilihan secara sehat, bersikap respek terhadap orang lain, memiliki rasa tanggung jawab, memiliki kemampuan berinteraksi sosial, memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik, dan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.
Upaya bantuan yang dapat diberikan untuk membantu peserta didik meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial dilakukan melalui teknik sosiodrama (Mutiara, 2013, hlm. 92), solution brief therapy (Saffarpoor, S et all, 2011, hlm. 24), hardiness training (Tarkhan et all, 2012, hlm. 94), bermain (Putri, 2013, hlm 8), anger management training (Mohammadi et all, 2010, hlm. 1962), self regulated training (O’Donohue & Fisher, 2012, hlm. 201), social skill training (O’Donohue & Fisher, 2012, hlm. 261) dan problem solving training
(D’Zurrila et all; 2004, hlm. 251).
Problem solving training sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial merupakan salah satu bagian dari pendekatan Cognitive Behavior Therapy. Mahoney dan Arnkoff (Dobson, 2010, hlm. 11) menyatakan CBT dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu: (1) Restrukturisasi Kognitif, (2) Coping Skills, (3) Problem Solving. Restrukturisasi kognitif berasumsi tekanan emosional merupakan hasil dari pikiran yang maladaptif sehingga tujuan dari restrukturisasi kognitif adalah menguji dan menantang pola pikir yang maladaptif, dan membuat pola pikir yang lebih adaptif. Berbeda dengan coping skills, memiliki fokus pada pengembangan daftar kemampuan yang didesain untuk membantu konseli menyelesaikan beberapa situasi yang membuat stres. Problem solving merupakan metode yang menggabungkan
(18)
6
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
restrukturisasi kognitif dan coping skills. Problem solving menekankan pengembangan strategi untuk menghadapi berbagai macam masalah pribadi dan stres serta menekankan pada kolaborasi aktif antara konseli dan konselor dalam merencakanan program intervensi.
Menurut D'Zurilla dan Goldfried (Dobson, 2010, hlm. 21) problem solving mengacu pada proses kognitif yang membuat berbagai respon alternatif sehingga efektif untuk mengatasi situasi masalah dan meningkatkan kemungkinan memilih respon yang paling efektif. Proses kognitif yang dimaksud dalam problem solving yakni (a) membuat beberapa solusi efektif untuk masalah tertentu dan (b) meningkatkan kemungkinan memilih solusi yang paling efektif diantara berbagai alternatif (D’Zurilla et al 2004, hlm. 12).
Hasil akhir yang diharapkan dari problem solving training adalah meningkatkan adaptive situational coping dan positive psychological, social, dan physical well-being, serta mereduksi dan mencegah dampak negatif dari stress on well-being dan penyesuaian (Dobson, 2010, hlm. 206). Hasil penelitian menunjukan problem solving training dapat meningkatkan kemampuan dalam memecahkan masalah sosial, mengurangi masalah penyesuaian sosial, dan meningkatkan well-being secara emosi dan fisik (Frauenknecht & Black, 2004; Malouff, Thorsteinsson, & Schutte, 2007; Nezu, 2004; Ciarrochi, Leeson, Heaven, 2009, hlm. 441). Penelitian Ahadi et all (Roodbari et all, 2013, hlm. 383) menunjukkan social problem solving training dapat meningkatkan penyesuaian sosial dan prestasi akademik siswa pemalu.
Upaya memfasilitasi peserta didik untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial dapat dilakukan melalui layanan problem solving training. Peneliti terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul penelitian
“Peningkatan Kemampuan Penyesuaian Sosial melalui Problem Solving Training”.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Tugas perkembangan remaja yang tersulit yaitu berhubungan dengan penyesuaian sosial, untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi orang dewasa
(19)
7
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
remaja harus melakukan penyesuaian baru (Hurlock, 1980, hlm. 213). Ketidakmampuan penyesuaian sosial peserta didik (remaja) mengakibatkan peserta didik tidak puas pada diri sendiri dan mempunyai sikap-sikap menolak diri (Hurlock, 1980, hlm. 239). Peserta didik dengan kemampuan penyesuaian sosial dapat menghasilkan hubungan yang harmonis antara kebutuhan diri dengan norma atau tuntutan lingkungan dimana individu hidup (Schneiders, 1964, hlm. 51).
Fenomena penyesuaian sosial merupakan tantangan perkembangan bagi remaja. Peserta didik perlu mendapatkan bantuan untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial. Bantuan yang dapat diberikan untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial peserta didik melalui layanan problem solving training. Problem solving training dipilih sebagai metode untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial peserta didik. Penerapan problem solving training berdasarkan pernyataan Chang, D'Zurilla & Sanna (2004, hlm. 251) problem solving training efektif sebagai metode pencegahan untuk berbagai masalah penyesuaian.
Layanan problem solving training untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial secara khusus bertujuan agar dapat meningkatkan kesadaran peserta didik untuk mematuhi tata tertib yang berlaku di sekolah, meningkatkan minat untuk berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan di sekolah, meningkatkan sikap saling menghargai, menerima, dan bekerjasama dengan baik bersama teman-teman di sekolah, meningkatkan sikap hormat dan mampu berinteraksi dengan teman, guru mata pelajaran, dan staf sekolah lainnya, serta mendukung kegiatan belajar di kelas dan kegiatan ekstrakurikuler.
Rumusan masalah dituangkan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimana rancangan layanan problem solving training untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial?
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian tersusunnya layanan problem solving training untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial.
(20)
8
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh data mengenai tingkat kemampuan penyesuaian sosial. Metode penelitian menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif dimaksudkan agar dapat menggambarkan kemampuan penyesuaian sosial peserta didik kelas XI SMA Negeri 9 Bandung sebagai dasar penyusunan layanan problem solving training untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial.
1.5Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan menjadi rujukan bagi guru bimbingan dan konseling dalam meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training.
1.6Sistematika Organisasi Skripsi
Bab I membahas pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, metode penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi skripsi. Bab II memaparkan kajian teoritis mengenai konsep problem solving training dan penyesuaian sosial serta kerangka pemikiran. Bab III menjabarkan metode penelitian yang mencakup desain penelitian, partisipan, populasi dan sampel, definisi operasional variabel, instrumen penelitian, teknik analisis data, dan prosedur penelitian. Bab IV menguraikan temuan dan pembahasan. Bab V merupakan penutup yang terdiri dari simpulan, implikasi serta rekomendasi hasil penelitian.
(21)
(22)
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif menurut Creswell (2012, hlm. 1-2) merupakan sebuah penyelidikan tentang masalah sosial berdasarkan pada pengujiannya sebuah teori yang terdiri dari variabel-variabel, diukur dengan angka, dan dianalisis dengan prosedur secara statistik untuk menentukan apakah generalisasi prediktif teori benar. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh data mengenai kemampuan penyesuaian sosial peserta didik kelas XI SMA Negeri 9 Bandung Tahun Ajaran 2014/2015.
Metode yang digunakan dalam penelitian metode deskriptif. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan, menganalisis dan mengambil suatu generalisasi mengenai kemampuan penyesuaian sosial peserta didik. Berdasarkan hasil temuan dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan layanan problem solving training untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial peserta didik.
3.2 Partisipan
Partisipan dalam penelitian merupakan peserta didik SMA Negeri 9 Bandung Tahun Ajaran 2014/2015. Partisipan penelitian dipilih karena adanya fenomena yang menunjukan ketidakmampuan penyesuaian sosial dengan ditandai adanya pelanggaran tata tertib sekolah seperti terlambat datang ke sekolah, keluar pada waktu jam pelajaran, ke kantin sebelum waktunya, adanya peserta didik yang tidak mau mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, dan kurang memiliki rasa bertanggung jawab seperti mengabaikan tugas sekolah dan mengabaikan piket kelas.
(23)
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Populasi merupakan keseluruhan subjek penelitian (Sugiyono, 2010, hlm. 173). Populasi dalam penelitian adalah peserta didik kelas XI SMA Negeri 9 Bandung Tahun Ajaran 2014/2015. Jumlah peserta didik kelas XI di SMA Negeri
(24)
42
9 Bandung adalah 374 orang. Pengambilan sampel dilakukan secara acak (random sampling), dengan kata lain semua populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Menurut Arikunto (2010, hlm. 177) random sampling artinya, semua subjek dalam populasi berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi sampel penelitian. Sampel penelitian 60% dari jumlah populasi.
3.4 Definisi Operasional Variabel 3.4.1 Layanan Problem Solving Training
Layanan problem solving training dalam penelitian yaitu rancangan kegiatan layanan konseling yang disusun secara sistematis untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial peserta didik. Problem solving training menurut Bedell dan Lennox (1997, hlm. 161) merupakan suatu proses yang dapat membantu jalan keluar yang konseli inginkan dan bagaimana memperoleh keinginannya dengan menggunakan cara yang efektif. Menurut Mahoney dan Arnkoff (Dobson, 2010, hlm. 11) problem solving menekankan pada pengembangan strategi untuk menghadapi berbagai macam masalah pribadi dan stres serta menekankan pada kolaborasi aktif antara konseli dan konselor dalam merencanakan layanan.
Problem solving training secara operasional pada penelitian dimaknai sebagai suatu bantuan konseling kelompok yang diberikan konselor kepada konseli dengan cara mengembangkan strategi untuk menemukan dan mengimplementasikan solusi efektif dalam meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial melalui kolaborasi aktif antara konselor dan konseli. Proses menemukan dan mengimplementasikan solusi efektif dalam konteks penelitian meliputi (a) pengenalan konsep problem solving training oleh konselor kepada konseli; (b) menggambarkan ketidakmampuan penyesuaian sosial dan membuat tujuan yang mungkin dicapai sebagai upaya untuk meningkatkan penyesuaian sosial; (c) merumuskan beberapa alternatif solusi yang dapat digunakan untuk meningkatkan penyesuaian sosial; (d) membuat analisis dari setiap alternatif solusi dan menimbang konsekuensi positif dan negatif yang akan dihadapi serta memilih solusi yang paling efektif untuk meningkatkan penyesuaian sosial; (e)
(25)
43
melaksanakan solusi yang telah direncanakan, memonitor, mengevaluasi keefektifan solusinya, dan segera memperbaikinya jika solusi yang dilaksanakan tidak efektif; (f) memaksimalkan kecakapan aplikasi sikap dan keterampilan problem solving terhadap beberapa permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
3.4.2 Penyesuaian Sosial Peserta didik
Schneiders (1964, hlm. 460) mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai ”the capacity to react efectively and wholesomely to social realities, situation, and relation” (suatu kapasitas atau kemampuan yang dapat bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas, situasi dan relasi sosial). Menurut Derlega dan Janda (1978, hlm. 27) penyesuaian sosial merupakan kemampuan untuk mengatasi lingkungan yang terus menerus berubah dan menantang sehingga mampu beradaptasi dan menguasai lingkungan.
Penyesuaian sosial secara operasional dalam penelitian dimaknai sebagai kemampuan untuk dapat bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas, situasi dan relasi sosial peserta didik yang dilihat berdasarkan karakteristik aspek-aspek penyesuaian sosial peserta didik di sekolah. Karakteristik aspek-aspek-aspek-aspek penyesuaian sosial di sekolah menurut Schneiders (1964, hlm. 454):
1) bersikap respek dan bersedia menerima peraturan sekolah a) memiliki rasa hormat pada peraturan di sekolah b) mematuhi peraturan yang berlaku di sekolah 2) berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sekolah
a) memiliki minat dan partisipasi untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM)
b) memiliki minat dan partisipasi untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler 3) menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah
a) menerima keadaan teman apa adanya b) memiliki kemampuan pengendalian diri
c) melakukan pertimbangan rasional dalam mengambil keputusan dan tindakan
(26)
44
4) bersikap hormat terhadap guru, pemimpin sekolah, dan staf lainnya
a) memiliki kemampuan menjaga sikap ketika bertemu dengan guru, konselor, pemimpin sekolah, dan staf sekolah lainnya
b) memiliki kemampuan bertuturkata dengan sopan dan santun ketika berkomunikasi kepada guru, konselor, pemimpin sekolah, dan staf sekolah lainnya
c) menjalin hubungan yang baik dengan guru, konselor, pemimpin sekolah dan staf lainnya
5) membantu sekolah dalam merealisasikan tujuan-tujuannya a) mendukung kegiatan belajar mengajar (KBM)
b) melaksanakan kewajiban sebagai peserta didik. 3.5 Instrumen Penelitian
3.5.1 Penyusunan Instrumen
Instrumen yang digunakan dalam mengukur kemampuan penyesuaian sosial peserta didik adalah angket (kuesioner). Menurut Sugiyono (2010, hlm.172) angket digunakan atas dasar jumlah responden besar, dapat membaca dengan baik dan dapat mengungkap hal-hal yang sifatnya rahasia. Butir-butir pernyataan dalam instrumen merupakan karakteristik dari aspek penyesuaian sosial peserta didik di sekolah yang diungkapkan oleh Schneiders. Angket yang digunakan merupakan angket yang dikonstruksi oleh Mutiara (2013) dengan tingkat reliabilitas 0.849, artinya tingkat korelasi dan derajat keterandalan instrumen berada pada kategori sangat tinggi. Angket yang digunakan menerapkan skala empat yang terdiri dari “Selalu”, “Sering”, “Jarang”, dan “Tidak Pernah”.
Tabel 3.1
Kisi-Kisi dan Butir Pernyataan Instrumen Penyesuaian Sosial Peserta didik
Aspek Indikator Pernyataan
(+) (-) ∑
1.Bersikap respek dan bersedia menerima
peraturan sekolah
a.Memiliki rasa hormat pada peraturan sekolah
1,2,3 4 4
b.Mematuhi peraturan yang berlaku di sekolah
5,6 7 3
(27)
45
Aspek Indikator Pernyataan
(+) (-) ∑
dalam kegiatan-kegiatan di sekolah
dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM)
b.Memiliki minat dan partisipasi untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler
13,14 15,16,17 5
3. Menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah
a.Menerima keadaan teman apa adanya
18 19 2
b.Pengendalian diri 20 21 2
c. Melakukan pertimbangan rasional dalam mengambil keputusan dan tindakan
22 23 2
d.Mempertahankan hubungan persahabatan
24 25 2
4.Bersikap hormat terhadap guru, pemimpin sekolah dan staf lainnya
a.Memiliki kemampuan menjaga sikap ketika bertemu dengan guru, konselor, pemimpin sekolah, dan staf lainnya
26 27 2
b.Memiliki kemampuan bertuturkata dengan sopan dan santun ketika berkomunikasi dengan guru, konselor, pemimpin sekolah, dan staf sekolah lainnya
28,29 30 3
c.Menjalin hubungan yang baik dengan guru, konselor, pemimpin sekolah, dan staf lainnya
31 32 2
5.Membantu sekolah dalam merealisasikan tujuan-tujuannya
a.Mendukung kegiatan belajar mengajar (KBM)
33,34 35,36 4 b.Melaksanakan kewajiban sebagai
peserta didik
37,38, 39
40 4
TOTAL 23 17 40
3.5.2 Uji Validitas Butir Item
Uji validitas dimaksudkan untuk mengetahui alat ukur (instrumen) yang digunakan mendapatkan data valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2010, hlm. 121). Secara spesifik, semakin tinggi nilai validasi soal menunjukan semakin valid instrumen yang akan digunakan. Tujuan dari pengukuran validitas butir item untuk mengetahui apakah instrumen yang digunakan mampu mengukur apa yang diinginkan.
(28)
46
Pengujian validitas item dalam penelitian menggunakan bantuan SPSS 16 for windows. Validitas dilakukan dengan prosedur pengujian Spearman’s rho atau rank difference correlation coefficient. Rumus rank difference correlation coefficient digunakan berdasarkan data yang dihasilkan pada penelitian. Data menunjukan adanya angka sama pada variabel yang sama, sehingga dipergunakan suatu faktor koreksi dalam perhitungan r2. Akibat adanya ranking berangka sama maka rumus yang akan dihasilkan adalah sebagai berikut.
r2=1 -
dimana
x
2=
-
T
xdan
y
2=
-
T
y (Siegel, 1994, hlm. 256; Mutmainah, 2009)Keterangan:
r2 = Koefisien korelasi tata jenjang
d = Beda urutan sekor pada variabel I dan II 2 = Bilangan konstan (tidak boleh diubah) Tx = Faktor koreksi x
Ty = Faktor koreksi y
Kemudian mencari nilai rtabeluntuk α = 0,05 (tingkat kepercayaan 95%) dan rtabel untuk jumlah responden 224 adalah 1,973. Hasil uji validitas instrumen kemampuan penyesuaian sosial yang terdiri dari 40 item pernyataan menunjukkan keseluruhan item pernyataan valid.
3.5.3 Uji Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas instrumen merupakan penunjuk sejauh mana hasil pengukuran dengan menggunakan instrumen tersebut dapat dipercaya. Reliabilitas suatu instrumen penelitian menunjukan instrumen yang digunakan dapat dipercaya sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut dapat dikatakan baik apabila memberikan data dengan ajeg sesuai dengan kenyataan (Arikunto, 2010, hlm. 86).
(29)
47
Untuk mengetahui tingkat reliabilitas instrumen menggunakan rumus Alpha. Arikunto (2010, hlm. 196) menyatakan untuk uji reliabilitas skornya merupakan rentangan antara beberapa nilai atau berbentuk skala digunakan rumus Alpha. Uji reliabilitas instrumen dilakukan dengan menggunakan bantuan SPSS 16 for windows dengan metode Cronbach's Alpha, melalui rumus sebagai berikut:
( ) ( )
Keterangan
r11 = Reliabilitas instrumen k = Banyaknya butir soal
∑S1 = Jumlah varians butir St = Varians skor total
Kriteria untuk mengetahui tingkat reliabilitas, digunakan kriteria keterandalan instrumen yang tersaji pada tabel 3.2.
Tabel. 3.2
Kriteria Keterandalan (Reliabilitas) Instrumen
0.00 – 0.199 Derajat keterandalan sangat rendah 0.20 – 0.399 Derajat keterandalan rendah 0.40 – 0.599 Derajat keterandalan sedang 0.60 – 0.799 Derajat keterandalan tinggi
0.80 – 1.00 Derajat keterandalan sangat tinggi
(Arikunto, 2010, hlm. 75)
Hasil pengolahan uji reliabilitas instrumen kemampuan penyesuaian sosial dapat dilihat pada tabel 3.3 sebagai berikut.
Tabel 3.3
Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Kemampuan Penyesuaian Sosial Peserta Didik
ronbach's Alpha
N of Items
,813 40
Pengujian reliabilitas instrumen kemampuan penyesuaian sosial menunjukan hasil sebesar 0,813, artinya tingkat korelasi atau derajat
(30)
48
keterandalannya sangat tinggi. Instrumen kemampuan penyesuaian sosial yang digunakan baik dan dapat dipercaya untuk dijadikan alat pengumpul data.
Kisi-kisi instrumen setelah uji coba, sebagai berikut. Tabel 3.4
Kisi-kisi Instrumen Kemampuan Penyesuaian Sosial Peserta Didik (Setelah Uji Coba)
Aspek Indikator Pernyataan
(+) (-) ∑
1.Bersikap respek dan bersedia menerima
peraturan sekolah
a.Memiliki rasa hormat pada peraturan sekolah
1,2,3 4 4
b.Mematuhi peraturan yang berlaku di sekolah
5,6 7 3
2. Berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di sekolah
a.Memiliki minat dan partisipasi dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM)
8,9,10 11,12 5
b.Memiliki minat dan partisipasi untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler
13,14 15,16,17 5
c. Menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah
a.Menerima keadaan teman apa adanya
18 19 2
b.Pengendalian diri 20 21 2
c.Melakukan pertimbangan rasional dalam mengambil keputusan dan tindakan
22 23 2
d.Mempertahankan hubungan persahabatan
24 25 2
e.Bersikap hormat terhadap guru, pemimpin sekolah dan staf lainnya
a.Memiliki kemampuan menjaga sikap ketika bertemu dengan guru, konselor, pemimpin sekolah, dan staf lainnya
26 27 2
b.Memiliki kemampuan bertuturkata dengan sopan dan santun ketika berkomunikasi dengan guru, konselor, pemimpin sekolah, dan staf sekolah lainnya
28,29 30 3
c.Menjalin hubungan yang baik dengan guru, konselor, pemimpin sekolah, dan staf lainnya
31 32 2
(31)
49
Aspek Indikator Pernyataan
(+) (-) ∑
dalam
merealisasikan tujuan-tujuannya
mengajar (KBM)
b.Melaksanakan kewajiban sebagai peserta didik
37,38, 39
40 4
TOTAL 23 17 40
3.6 Teknik Analisis 3.6.1 Verifikasi Data
Verifikasi data dilakukan untuk pemeriksaan terhadap data yang diperoleh, yang bertujuan untuk menyeleksi data yang layak diolah dan data yang tidak layak untuk di olah. Langkah-langkah verifikasi data yang dilakukan, sebagai berikut:
1) mengecek jumlah instrumen yang akan disebar, jumlah instrumen yang terkumpul harus sesuai dengan jumlah instrumen yang disebarkan kepada responden,
2) merekap data yang diperoleh dari hasil pengisian responden dengan memberikan penyekoran data sesuai dengan tahapan penyekoran yang telah ditentukan.
3.6.2 Penyekoran Data Hasil Penelitian
Instrumen kemampuan penyesuaian sosial menggunakan skala empat yang
menyediakan empat pilihan jawaban, yakni “Selalu”, “Sering”, “Jarang”, dan
“Tidak Pernah”. Masing-masing pilihan jawaban memiliki skor tertentu, yang
tersaji pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5
Kategori Pemberian Skor Alternatif Jawaban Alternatif Jawaban Skor Jawaban
+ -
Selalu 4 1
Sering 3 2
Jarang 2 3
(32)
50
3.6.3 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mengukur gambaran umum kemampuan penyesuaian sosial peserta didik yang selanjutnya akan dikembangkan menjadi rancangan layanan problem solving training untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial peserta didik.
Pengolahan data melalui penyajian data mentah yang berbentuk distribusi frekuensi melalui ukuran pemusatan modus. Modus digunakan untuk menunjukan frekuensi terbesar pada perangkat data melalui pengurutan dan penyusunan data kedalam tabel distribusi frekuensi dan mencari nilai yang paling tinggi hingga terendah. Pengelompokkan data dibagi menjadi empat kategori, yaitu: sangat tinggi, tinggi, rendah dan sangat rendah, tersaji pada tabel 3.6 sebagai berikut:
Tabel 3.6
Pengkategorian Kemampuan Penyesuaian Sosial Peserta Didik
Skala Kategori
4 Sangat Tinggi
3 Tinggi
2 Rendah
1 Sangat Rendah
Interpretasi dari setiap kategori kemampuan penyesuaian sosial tersaji pada tabel 3.7 sebagai berikut.
Tabel 3.7
Interpretasi Skala Kategori Kemampuan Penyesuaian Sosial Kategori
Kemampuan Penyesuaian
Sosial
Skala Interpretasi
Sangat Tinggi
4 Peserta didik menunjukan kemampuan penyesuaian sosial atas kesadaran sendiri dan merupakan bagian dari karakter yang dimiliki peserta didik yang meliputi kemampuan menghormati dan bersedia menerima peraturan sekolah, seperti memiliki rasa hormat pada peraturan sekolah, dan mematuhi peraturan sekolah; kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di sekolah, seperti memiliki minat dan partisipasi untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM), dan memiliki minat dan partisipasi untuk
(33)
51
mengikuti kegiatan ekstrakurikuler; kemampuan menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah, seperti menerima keadaan teman apa adanya, kemampuan pengendalian diri, melakukan pertimbangan rasional dalam mengambil keputusan dan tindakan, serta mempertahankan hubungan persahabatan; kemampuan menghormati guru, pemimpin sekolah dan staf lainnya, seperti kemampuan menjaga sikap ketika bertemu dengan guru, pemimpin sekolah dan staf sekolah lainnya, kemampuan bertutur kata dengan sopan dan santun ketika berkomunikasi dengan guru, pemimpin sekolah dan staf sekolah lainnya, dan menjalin hubungan yang baik dengan guru bidang studi, guru bimbingan dan konseling, pemimpin sekolah dan staf lainnya; serta kemampuan membantu sekolah merealisasikan tujuan-tujuannya, seperti mendukung kegiatan belajar mengajar (KBM), dan melaksanakan kewajiban sebagai peserta didik.
Tinggi 3 Peserta didik menunjukan kemampuan penyesuaian sosial atas dasar alasan dan tujuan tertentu, yang meliputi kemampuan menghormati dan bersedia menerima peraturan sekolah, seperti memiliki rasa hormat pada peraturan sekolah, dan mematuhi peraturan sekolah; kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di sekolah, seperti memiliki minat dan partisipasi untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM), dan memiliki minat dan partisipasi untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler; kemampuan menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah, seperti menerima keadaan teman apa adanya, kemampuan pengendalian diri, melakukan pertimbangan rasional dalam mengambil keputusan dan tindakan, serta mempertahankan hubungan persahabatan; kemampuan menghormati guru, pemimpin sekolah dan staf lainnya, seperti kemampuan menjaga sikap ketika bertemu dengan guru, pemimpin sekolah dan staf sekolah lainnya, kemampuan bertutur kata dengan sopan dan santun ketika berkomunikasi dengan guru, pemimpin sekolah dan staf sekolah lainnya, dan menjalin hubungan yang baik dengan guru bidang studi, guru bimbingan dan konseling, pemimpin sekolah dan staf lainnya; serta kemampuan membantu sekolah merealisasikan tujuan-tujuannya, seperti mendukung kegiatan belajar mengajar (KBM), dan melaksanakan kewajiban sebagai peserta didik.
Rendah 2 Peserta didik hanya menunjukan kemampuan penyesuaian sosial pada keadaan terdesak saja yang meliputi kemampuan menghormati dan bersedia menerima peraturan sekolah, seperti memiliki rasa hormat pada
(34)
52
peraturan sekolah, dan mematuhi peraturan sekolah; kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di sekolah, seperti memiliki minat dan partisipasi untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM), dan memiliki minat dan partisipasi untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler; kemampuan menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah, seperti menerima keadaan teman apa adanya, kemampuan pengendalian diri, melakukan pertimbangan rasional dalam mengambil keputusan dan tindakan, serta mempertahankan hubungan persahabatan; kemampuan menghormati guru, pemimpin sekolah dan staf lainnya, seperti kemampuan menjaga sikap ketika bertemu dengan guru, pemimpin sekolah dan staf sekolah lainnya, kemampuan bertutur kata dengan sopan dan santun ketika berkomunikasi dengan guru, pemimpin sekolah dan staf sekolah lainnya, dan menjalin hubungan yang baik dengan guru bidang studi, guru bimbingan dan konseling, pemimpin sekolah dan staf lainnya; serta kemampuan membantu sekolah merealisasikan tujuan-tujuannya, seperti mendukung kegiatan belajar mengajar (KBM), dan melaksanakan kewajiban sebagai peserta didik.
Sangat Rendah
1 Peserta didik tidak menunjukan kemampuan penyesuaian sosial yang meliputi kemampuan menghormati dan bersedia menerima peraturan sekolah, seperti memiliki rasa hormat pada peraturan sekolah, dan mematuhi peraturan sekolah; kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di sekolah, seperti memiliki minat dan partisipasi untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM), dan memiliki minat dan partisipasi untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler; kemampuan menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah, seperti menerima keadaan teman apa adanya, kemampuan pengendalian diri, melakukan pertimbangan rasional dalam mengambil keputusan dan tindakan, serta mempertahankan hubungan persahabatan; kemampuan menghormati guru, pemimpin sekolah dan staf lainnya, seperti kemampuan menjaga sikap ketika bertemu dengan guru, pemimpin sekolah dan staf sekolah lainnya, kemampuan bertutur kata dengan sopan dan santun ketika berkomunikasi dengan guru, pemimpin sekolah dan staf sekolah lainnya, dan menjalin hubungan yang baik dengan guru bidang studi, guru bimbingan dan konseling, pemimpin sekolah dan staf lainnya; serta kemampuan membantu sekolah merealisasikan tujuan-tujuannya, seperti mendukung kegiatan belajar mengajar (KBM), dan melaksanakan kewajiban sebagai peserta didik.
(35)
53
3.7 Analisis Pengembangan Layanan Problem Solving Training
1) Menggunakan data kemampuan penyesuaian sosial peserta didik kelas XI SMA Negeri 9 Bandung sebagai need assesment untuk menyusun layanan problem solving training untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial peserta didik.
2) Penyusunan draft layanan problem solving training.
3) Melaksanakan validasi layanan problem solving training kepada pakar bimbingan dan konseling serta guru bimbingan dan konseling SMA Negeri 9 Bandung.
4) Penyusunan layanan problem solving training untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial peserta didik.
3.8 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian terdiri dari tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan dan pelaporan.
3.8.1 Tahap Persiapan
1) Menyusun proposal penelitian yang diseminarkan di depan dosen mata kuliah metode riset. Setelah diseminarkan, proposal direvisi menjadi proposal yang disahkan oleh Dewan Skripsi dan Ketua Departemen Psikologi Pendidikan dan Bimbingan.
2) Mengajukan permohonan pengangkatan dosen pembimbing pada tingkat fakultas.
3) Mengajukan permohonan izin penelitian dari Universitas untuk disampaikan kepada Badan Dinas Kesatuan Bangsa, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat, Dinas Pendidikan, Departemen Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, Fakultas Ilmu Pendidikan, serta SMA Negeri 9 Bandung.
3.8.2 Tahap Pelaksanaan
1) Melakukan studi pendahuluan ke SMA Negeri 9 Bandung, untuk mengungkap fenomena kemampuan penyesuaian sosial peserta didik.
2) Melakukan perizinan penggunaan instrumen kemampuan penyesuaian sosial.
(36)
54
3) Melaksanakan pengumpulan data melalui penyebaran instrumen penelitian. 4) Melaksanakan pengolahan, mendeskripsikan dan penganalisisan data yang
telah terkumpul.
5) Mendeskripsikan hasil pengolahan data dengan menarik kesimpulan sebagai dasar penyusunan layanan problem solving training untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial.
6) Menyusun rancangan layanan problem solving training untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial yang kemudian ditimbang oleh tiga pakar bimbingan dan konseling dan satu orang praktisi sekolah.
3.8.3 Tahap Pelaporan
1) Hasil akhir disusun menjadi laporan akhir penelitian. 2) Penelitian diujikan pada saat ujian sarjana.
3.9 Penyusunan Rancangan Layanan Problem Solving Training untuk Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Sosial Sebelum Validitas 3.9.1 Rasional
Peserta didik Sekolah Menengah Atas berada pada masa remaja, hal ini berkaitan dengan masa berkembangnya “social cognition” yaitu kemampuan untuk memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat, nilai-nilai maupun perasaannya (Yusuf, 2007, hlm. 198). Tugas perkembangan remaja yang tersulit yaitu berhubungan dengan penyesuaian sosial, untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi orang dewasa remaja harus melakukan penyesuaian baru (Hurlock, 1980, hlm. 213).
Penyesuaian sosial peserta didik di sekolah diartikan sebagai kemampuan peserta didik mereaksi secara tepat realitas sosial, situasi, dan relasi sosial, sehingga mampu berinteraksi secara wajar dan sehat, serta dapat memberikan kepuasan bagi diri dan lingkungannya (Schneiders, 1964, hlm. 454). Lingkungan sekolah juga memberikan pengaruh kuat pada kehidupan intelektual, sosial, dan moral peserta didik sehingga suasana di sekolah baik sosial maupun psikologis menentukan proses dan pola penyesuaian sosial.
(37)
55
Penyesuaian sosial peserta didik di sekolah merupakan penyesuaian diri terhadap guru, mata pelajaran, teman sebaya, dan lingkungan sekolah (Willis, 2010, hlm. 60). Terdapat lima aspek dalam penyesuaian sosial di sekolah menurut Schneiders (1964, hlm. 454), yakni: (1) bersikap respek dan bersedia menerima peraturan sekolah; (2) berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di sekolah; (3) menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah; (4) bersikap hormat terhadap guru, pemimpin sekolah dan staf lainnya; dan (5) membantu sekolah dalam merealisasikan tujuan-tujuannya. Dimilikinya kemampuan penyesuaian sosial membuat peserta didik dapat mematuhi tata tertib yang berlaku, memiliki minat untuk berpartisipasi pada kegiatan belajar dan kegiatan ekstrakurikuler, mampu berinteraksi dengan teman, guru mata pelajaran, dan staf sekolah lainnya, mampu menerima dan menghargai orang yang dihormati di sekolah, serta mampu mendukung kegiatan belajar dan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.
Ketidakmampuan dalam penyesuaian sosial akan mengakibatkan peserta didik tidak puas pada diri sendiri dan mempunyai sikap-sikap menolak diri (Hurlock, 1980, hlm. 239). Yusuf (2009a, hlm. 61) mengemukakan ketidakmampuan penyesuaian sosial remaja ditandai dengan perilaku anti sosial yakni (juvenile diliquency) seperti mencuri, membolos dari sekolah, free sex, vandalisme (perusakan), serangan yang agresif yang mengarah pada kematian, mengkonsumsi minuman keras atau obat-obat terlarang, berpakaian tidak senonoh dan tawuran (kekerasan berkelompok/geng).
Program bimbingan dan konseling untuk mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training berdasarkan hasil penelitian di SMA Negeri 9 Bandung mengenai kemampuan penyesuaian sosial yang disajikan pada tabel 3.8 berikut.
(38)
56
Tabel 3.8
Gambaran Umum Kemampuan Penyesuaian Sosial Peserta Didik Kelas XI SMA Negeri 9 Bandung Tahun Ajaran 2014/2015
Kategori Skala f %
Sangat Tinggi 4 79 35
Tinggi 3 128 57
Rendah 2 17 8
Sangat Rendah 1 0 0
Jumlah 224 100
Tabel 3.8 menunjukkan gambaran umum kemampuan penyesuaian sosial peserta didik. Berdasarkan jumlah populasi sebanyak 224 peserta didik, sebagian besar peserta didik memiliki kemampuan penyesuaian sosial pada kategori tinggi yaitu 128 peserta didik atau sekitar 57%, 79 peserta didik atau sekitar 35% memiliki kemampuan penyesuaian sosial pada kategori sangat tinggi, 17 peserta didik atau sekitar 8% peserta didik memiliki kemampuan penyesuaian sosial berada pada kategori rendah, dan tidak terdapat peserta didik (0%) memiliki kemampuan penyesuaian sosial pada kategori sangat rendah.
Fokus penanganan untuk mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial peserta didik melalui problem solving training diambil dari kecenderungan respon pada aspek kemampuan penyesuaian sosial peserta didik yang berada pada kategori rendah yakni sejumlah 17 orang peserta didik. Diperlukan bantuan yang bersifat responsif dalam rangka mengentaskan masalah ketidakmampuan penyesuaian sosial peserta didik. Pelayanan responsif merupakan pemberian bantuan kepada konseli yang menghadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan segera, sebab jika tidak dapat menimbulkan gangguan dalam proses pencapaian tugas-tugas perkembangan (Depdiknas, 2008. hlm. 209). Problem solving training dipilih sebagai metode untuk mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial peserta didik. Berdasarkan hasil penelitian Dzurilla & Olivares (1995, hlm. 409) problem solving merupakan faktor penting dalam penyesuaian, dan problem solving training merupakan metode yang menjanjikan untuk meningkatkan fungsi adaptif individu, mengurangi dan mencegah gangguan psikologis dan perilaku.
(39)
57
3.9.2 Visi dan Misi 1) Visi
Visi bimbingan dan konseling SMA Negeri 9 Bandung yaitu “Melalui
kegiatan bimbingan dan konseling membantu tercapainya visi SMA Negeri 9 Bandung, yaitu mewujudkan siswa yang disiplin, berprestasi, menguasai IPTEK, berbudaya sehat dengan berlandaskan iman dan takwa”.
Visi program bimbingan dan konseling untuk mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial peserta didik adalah “Memiliki kemampuan penyesuaian sosial untuk mendukung perkembangan sosial dalam mencapai kehidupan yang bahagia”.
2) Misi
Misi bimbingan dan konseling SMA Negeri 9 Bandung yaitu:
a) Membantu peserta didik memahami potensi dirinya baik potensi akademik, sosial, karir serta bakat-bakat khusus lainnya.
b) Membantu peserta didik agar mampu menyesuaikan potensi dirinya dengan cita-cita, harapan, dan tuntutan hidup dengan melihat kondisi lingkungan baik lingkungan sekolah maupun masyarakat.
c) Membantu peserta didik untuk mencapai prestasi belajar yang tinggi.
d) Membantu peserta didik memahami pentingnya disiplin dalam segala hal khususnya belajar, serta membiasakan hidup sehat.
e) Membantu peserta didik memahami pentingnya penguasaan IPTEK untuk menunjang keberhasilan belajar dan karir.
f) Membantu peserta didik agar mampu memilih dan mengambil keputusan bagi kehidupan secara positif.
g) Membantu peserta didik mengatasi dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang mungkin dihadapi dalam kehidupannya sehari-hari, baik masalah yang berhubungan dengan belajar, sosial, karir atau masalah pribadi lainnya. h) Membantu peserta didik dalam menentukan pilihan dan penempatan
(40)
58
i) Membantu peserta didik memahami bahwa dirinya sebagai makhluk Tuhan yang berkewajiban melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
Misi program bimbingan dan konseling untuk mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial peserta didik yaitu:
a) Membantu peserta didik untuk dapat mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial peserta didik
b) Membantu peserta didik untuk mengembangkan sikap respek dan bersedia menerima peraturan sekolah, dalam kegiatan-kegiatan sekolah, menjalin persahabatan dengan teman-teman sekolah, bersikap hormat terhadap guru, pemimpin sekolah dan staf lainnya, dan membantu sekolah dalam merealisasikan tujuan-tujuannya.
3.9.3 Deskripsi Kebutuhan
Hasil penelitian berupa gambaran umum pencapaian kemampuan penyesuaian sosial peserta didik kelas XI SMA Negeri 9 Bandung merupakan penilaian kebutuhan (need assessment) yang dijadikan dasar untuk menentukan deskripsi kebutuhan program hipotetik bimbingan dan konseling untuk mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial peserta didik
Fokus layanan diambil dari peserta didik dengan kemampuan penyesuaian sosial yang rendah yakni 17 orang peserta didik. Berikut akan digambarkan kecenderungan respon peserta didik pada aspek kemampuan penyesuaian sosial peserta didik yang berada di kategori rendah.
Tabel 3.9
Kecenderungan Respon Peserta Didik Aspek Bersikap Respek dan Bersedia Menerima Peraturan Sekolah
Kategori Skala f
Sangat Tinggi 4 3
Tinggi 3 5
Rendah 2 9
Sangat Rendah 1 0
(41)
59
Tabel 3.9 menunjukan kecenderungan respon peserta didik pada aspek bersikap respek dan bersedia menerima peraturan sekolah. Secara umum aspek bersikap respek dan bersedia menerima peraturan sekolah menunjukan kecenderungan respon peserta didik pada kategori rendah, yakni sebanyak sembilan peserta didik. Artinya peserta didik membutuhkan bantuan untuk mengembangkan kemampuan bersikap respek dan bersedia menerima peraturan sekolah, seperti kemampuan menghormati peraturan di sekolah dan kemampuan mematuhi peraturan yang berlaku di sekolah
Tabel 3.10
Kecenderungan Respon Peserta Didik Aspek Berpartisipasi dalam Kegiatan-Kegiatan di Sekolah
Kategori Skala f
Sangat Tinggi 4 2
Tinggi 3 3
Rendah 2 11
Sangat Rendah 1 1
Jumlah 17
Tabel 3.10 menunjukan kecenderungan respon peserta didik pada aspek berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di sekolah. Secara umum aspek berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di sekolah menunjukan kecenderungan respon peserta didik pada kategori rendah. Artinya peserta didik membutuhkan bantuan untuk mengembangkan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di sekolah, seperti minat dan partisipasi untuk mengikuti kegiatan-kegiatan belajar mengajar (KBM), dan minat dan partisipasi untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.
Tabel 3.11
Kecenderungan Respon Peserta Didik Aspek Menjalin Persahabatan dengan Teman-Teman di Sekolah
Kategori Skala f
Sangat Tinggi 4 3
Tinggi 3 5
Rendah 2 9
Sangat Rendah 1 0
(42)
60
Tabel 3.11 menunjukan kecenderungan respon peserta didik pada aspek menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah. Secara umum aspek menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah menunjukan kecenderungan respon peserta didik pada kategori rendah. Artinya peserta didik membutuhkan bantuan untuk mengembangkan kemampuan menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah, seperti kemampuan menerima keadaan teman apa adanya, kemampuan pengendalian diri, kemampuan untuk melakukan pertimbangan rasional dalam mengambil keputusan dan tindakan, serta kemampuan mempertahankan hubungan persahabatan.
Tabel 3.12
Kecenderungan Respon Peserta Didik Aspek Bersikap Hormat Terhadap Guru, Pemimpin Sekolah dan Staf Lainnya
Kategori Skala f
Sangat Tinggi 4 4
Tinggi 3 3
Rendah 2 10
Sangat Rendah 1 0
Jumlah 17
Tabel 3.12 menunjukan kecenderungan respon peserta didik pada aspek bersikap hormat terhadap guru, pemimpin sekolah dan staf lainnya. Secara umum aspek bersikap hormat terhadap guru, pemimpin sekolah dan staf lainnya menunjukan kecenderungan respon peserta didik pada kategori rendah. Artinya peserta didik membutuhkan bantuan untuk mengembangkan kemampuan bersikap hormat terhadap guru, pemimpin sekolah, dan staf lainnya, seperti kemampuan menjaga sikap ketika bertemu dengan guru, konselor, pemimpin sekolah, dan staf sekolah lainnya, kemampuan bertuturkata dengan sopan dan santun ketika berkomunikasi kepada guru, konselor, pemimpin sekolah, dan staf sekolah lainnya, serta kemampuan menjalin hubungan yang baik dengan guru, konselor, pemimpin sekolah dan staf lainnya.
(43)
61
Tabel 3.13
Kecenderungan Respon Peserta Didik Aspek Membantu Sekolah dalam Merealisasikan Tujuan-Tujuannya
Kategori Skala f
Sangat Tinggi 4 2
Tinggi 3 7
Rendah 2 7
Sangat Rendah 1 1
Jumlah 17
Tabel 3.13 menunjukan kecenderungan respon peserta didik pada aspek membantu sekolah merealisasikan tujuan-tujuannya. Secara umum aspek membantu sekolah merealisasikan tujuan-tujuannya menunjukan kecenderungan respon peserta didik pada kategori tinggi dan rendah. Kategori tinggi pada kecenderungan respon aspek kelima merupakan kategori tinggi dalam lingkup kategori rendah secara umum. Artinya peserta didik membutuhkan bantuan untuk mengembangkan kemampuan membantu sekolah dalam merealisasikan tujuan-tujuannya, seperti kemampuan mendukung kegiatan belajar mengajar (KBM), dan kemampuan melaksanakan kewajiban sebagai peserta didik.
Berdasarkan kecenderungan respon setiap aspek pada peserta didik yang berada pada kategori rendah menunjukan peserta didik membutuhkan bantuan untuk mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial. Deskripsi kebutuhan program disajikan pada tabel 3.14 berikut.
(44)
62
Tabel 3.14
Deskripsi Kebutuhan Program Bimbingan dan Konseling untuk Mengembangkan Kemampuan Penyesuaian Sosial melalui
Problem Solving Training
No Kategori Kemampuan
Penyesuaian Sosial
Aspek Kondisi Penyesuaian Sosial Deskripsi Kebutuhan Layanan
Bantuan
1. Rendah Bersikap respek dan bersedia menerima peraturan sekolah
Peserta didik hanya menunjukan kemampuan bersikap respek dan bersedia menerima peraturan sekolah pada keadaan terdesak saja, seperti kemampuan menghormati pada peraturan sekolah dan kemampuan mematuhi peraturan yang berlaku di sekolah.
Peserta didik membutuhkan bantuan untuk mengembangkan kemampuan bersikap respek dan bersedia menerima peraturan sekolah terutama kemampuan menghormati pada peraturan sekolah dan kemampuan mematuhi peraturan yang berlaku di
sekolah. Layanan
Responsif melalui Problem Solving Training 2. Rendah Berpartisipasi
dalam kegiatan-kegiatan di sekolah
Peserta didik hanya menunjukan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di sekolah pada keadaan terdesak saja, seperti minat dan partisipasi untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM), serta minat dan partisipasi untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.
Peserta didik membutuhkan bantuan untuk mengembangkan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di sekolah, terutama mengembangkan minat dan partisipasi untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM), serta mengembangkan minat dan partisipasi untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.
3. Rendah Menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah
Peserta didik hanya menunjukan kemampuan menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah pada keadaan terdesak saja, seperti
Peserta didik membutuhkan bantuan untuk mengembangkan kemampuan menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah terutama kemampuan menerima
(45)
63
kemampuan menerima keadaan teman apa adanya, kemampuan mengendalikan diri, kemampuan untuk melakukan pertimbangan rasional dalam mengambil keputusan dan tindakan, dan kemampuan mempertahankan hubungan persahabatan.
keadaan teman apa adanya, kemampuan mengendalikan diri, kemampuan untuk melakukan pertimbangan rasional dalam mengambil keputusan dan tindakan, dan kemampuan mempertahankan hubungan persahabatan. Layanan Responsif melalui Problem Solving Training 4. Rendah Bersikap hormat
terhadap guru, pemimpin sekolah dan staf lainnya
Peserta didik hanya menunjukan kemampuan bersikap hormat terhadap guru, pemimpin sekolah dan staf lainnya pada keadaan terdesak saja, seperti kemampuan menjaga sikap ketika bertemu dengan guru, konselor, pemimpin sekolah dan staf sekolah lainnya, kemampuan bertuturkata dengan sopan dan santun ketika berkomunikasi dengan guru, konselor, pemimpin sekolah, dan staf sekolah lainnya, dan kemampuan menjalin hubungan yang baik dengan guru, konselor, pemimpin sekolah dan staf lainnya.
Peserta didik membutuhkan bantuan untuk mengembangkan kemampuan bersikap hormat terhadap guru, pemimpin sekolah dan staf lainnya, terutama kemampuan menjaga sikap ketika bertemu dengan guru, konselor, pemimpin sekolah, dan staf sekolah lainnya, kemampuan bertuturkata dengan sopan dan santun ketika berkomunikasi dengan guru, konselor, pemimpin sekolah, dan staf sekolah lainnya, dan kemampuan menjalin hubungan yang baik dengan guru, konselor, pemimpin sekolah dan staf lainnya.
5. Rendah Membantu
sekolah
merealisasikan tujuan-tujuannya
Peserta didik hanya menunjukan kemampuan membantu sekolah merealisasikan tujuan-tujuannya pada keadaan terdesak saja, seperti mendukung kegiatan belajar mengajar (KBM) dan kemampuan melaksanakan kewajiban sebagai peserta didik
Peserta didik membutuhkan bantuan untuk mengembangkan kemampuan membantu sekolah merealisasikan tujuan-tujuannya, seperti kemampuan mendukung kegiatan belajar mengajar (KBM) dan kemampuan melaksanakan kewajiban sebagai peserta didik
(46)
64
3.9.4 Tujuan Program
Secara umum tujuan program bimbingan dan konseling adalah untuk mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial pada peserta didik kelas XI SMA Negeri 9 Bandung. Secara khusus tujuan program bimbingan dan konseling melalui problem solving training adalah:
1) membantu peserta didik mengembangkan kemampuan bersikap respek dan bersedia menerima peraturan sekolah
2) membantu peserta didik mengembangkan minat untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di sekolah
3) membantu peserta didik mengembangkan kemampuan menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah
4) membantu peserta didik mengembangkan kemampuan bersikap hormat terhadap guru, pemimpin sekolah dan staf lainnya
5) membantu peserta didik mengembangkan kemampuan untuk membantu sekolah merealisasikan tujuan-tujuannya.
3.9.5 Sasaran Program
Sasaran program hipotetik problem solving training adalah 17 peserta didik kelas XI SMA Negeri 9 Bandung Tahun Ajaran 2014/2015 yang memiliki kecenderungan respon kemampuan penyesuaian sosial pada kategori rendah.
3.9.6 Komponen Program
Program bimbingan dan konseling untuk mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training dirancang untuk membantu peserta didik dengan kemampuan penyesuaian sosial di kategori rendah. Program bimbingan dan konseling difokuskan menggunakan problem solving training sebagai strategi layanan responsif untuk mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial peserta didik.
1) Layanan Responsif
Layanan responsif pada program bimbingan dan konseling merupakan bantuan kepada peserta didik berdasarkan kebutuhan dan masalah yang
(1)
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
DAFTAR PUSTAKA
Adhiputra, A. A. N. (2013). Bimbingan dan konseling aplikasi di sekolah dasar dan taman kanak-kanak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Admin. (2009). Peran sekolah di dalam pendidikan. [Online]. Diakses dari http://www.balinter.net/news_226_Peranan_sekolah_di_dalam_Pendidikan. html.
Admin. (2013). Tahun ini 20 pelajar indonesia tewas karena tawuran. [Online]. Diakses dari http://www.tribunnews.com/nasional/2013/12/21/tahun-ini-20-pelajar-indonesia-tewas-karena-tawuran.htm
Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian: suatu pendekatan praktik (edisi revisi V). Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Bedell, Jeffrey. R & Lennox, Shelly. S. (1997). Handbook for communication and problem solving skill training: a cognitive-behavioral approach. New York: Jhon Wiley & Sons.
Chang, E.J., D’Zurilla, T.J., & Sanna, L.J. (2004). Social problem solving: theory, research, and training. Washington: American Psychological Association. Chaplin, J.P. (1981). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Chinaveh, Mohabbeh. (2010). Training problem-solving to enhance quality of
life: implication towards diverse learners. Journal of Procedia Social and Behavioral Sciences. 7(C) (2010) 302–310.
Ciarrochi, Leeson, Heaven,. (2009). A longitudinal study into the interplay between problem orientation and adolescent well-being. Journal of American Psychological Association Vol. 56, No. 3, 441–449.
Creswell, J. W. (2012). Educational research (4th Edition). Boston: Pearson.
D’Zurilla & Nezu. (2010). Problem solving therapy, dalam Handbook of cognitive behavioral therapy. New York: The Guilford Press.
D’Zurilla T.J., Nezu, A.M,. Olivares, A.M,. (2004). Social problem solving: theory and assesment, dalam Social problem solving: theory, research, and training. Washington: American Psychological Association.
(2)
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
D’Zurilla, Thomas J & Olivares, Albert Maydeu. (1995). Conceptual and methodological issues in social problem solving assesment. Journal of Behavior Therapy. 26, 409-432.
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Penataan pendidikan professional konselor dan layanan bimbingan dan konseling dalam pendidikan formal. Jakarta: Depdiknas.
Derlega & Janda. (1978). The psychology of everiday life. London: Scott Forestman and Company.
Desmita. (2010). Psikologi perkembangan. Bandung: Rosdakarya
Dobson, K.S. (2010). Handbook cognitive behavior therapy. New York: The Guilford Press.
Eremie, M et all. (2012). Effects of individual counseling on social adjustment of registered widows in rivers state of nigeria. Journal of national forum journal of counseling and addiction Vol 1, No. 1, 2012.
Fahmy, Musthafa. (1992). Penyesuaian diri. Jakarta: Bulan Bintang Furqon. (2009). Statistika terapan untuk penelitian. Bandung: Alfabeta. Gerungan, W.A. (1996). Psikologi sosial. Jakarta: Eresco.
Hurlock, E.B. (1980). Alih Bahasa: Istiwidayanti dan Soedjarwo. Psikologi perkembangan: suatu perkembangan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Kartono, Kartini. (2000). Mental hygiene. Bandung: Mandar Maju.
Lazarus, R.S. (1976). Patterns of adjustment (3rd edition). New York: McGraw-Hill.
McGuire, J. (2005). “The think first programme”, dalam Social problem solving and offending: evidence, evaluation, and evolution. West Sussex. John Wily & Sons, Ltd.
(3)
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
McGuire, J. (2000). Cognitive-behavioural approaches (an introduction to theory and research). University of Liverpool: Brownlow Hill
McLeod. (2010). Alih Bahasa: A. K. Anwar. Pengantar konseling teori dan studi kasus edisi ketiga. Jakarta: Kencana.
Mohammadi, A., Kahnamouei, S. B,. Allahvirdiyan, K., Habibzadeh, S. (2010). The effect of anger management training on aggression and social adjustment of male students aged 12-15 of shabestar schools in 2008. Journal of Science Direct 5 (2010) 1690–1693.
Monks, F. J. (2006). Psikologi perkembangan: pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Mutiara, M. (2013). Efektivitas sosiodrama untuk meningkatkan penyesuaian sosial siswa. (Skripsi). Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Mutmainah. (2009). Kajian korelasi tata jenjang. (Skripsi). Jurusan Matematika. UIN Maulana Malik Ibrahim. Malang.
Natawidjaja, R.(1987). Pendekatan-pendekatan dalam penyuluhan kelompok I. Bandung: CV. Diponegoro.
Nezu, Arthur M. (2004). Problem solving and behavior therapy revisited. Journal of Behavior Therapy. 35, 1-33.
Nurihsan, Achmad Juntika. (2005). Strategi layanan bimbingan dan konseling. Bandung: Refika Aditama
O’Donohue, W., Fisher, J.E. (2012). Cognitive behavior therapy: core principles for practice. Canada: John Wiley & Sons, Inc.
Oemarjoedi, A. Kasandra. (2003). Pendekatan cognitive behavior dalam psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media.
Prayitno, A dan Amti, E. (2008). Dasar-dasar bimbingan dan konseling. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.
(4)
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Popov, L. K., dkk. (1997). The family virutes guide. Plume: United States of America.
Putri, A.R.N. (2013). Efektivitas permainan tradisional jawa dalam meningkatkan penyesuaian sosial pada anak usia 4-5 tahun di kecamatan suruh. Jurnal Unnes Vol 2 (1) (2013).
Roodbari et all. (2013). Indian journal of fundamental and applied life sciences. Online International Journal Vol. 3 (3) July-September, pp.382-390.
Rusmana, Nandang. (2009). Bimbingan dan konseling kelompok di sekolah (metode, teknik dan aplikasi). Rizqi Press. Bandung
Saffarpoor, S et all. (2011). The effectiveness of solution-focused brief therapy on increasing social adjustment of female students residing in Tehran University Dormitories. International Journal of Psychology and Counselling Vol. 3 (2), PP. 24-28 (2011).
Santrock, J.W. (2003). Alih Bahasa: Shinto B. Adelar dan Sherly Saragih. Perkembangan remaja. Jakarta: Erlangga.
Sarwono, S.W. (2008). Psikologi remaja. Jakarta : Balai Pustaka.
Schneiders, A. (1964). Personal adjustment and mental health. New York: Rinehart & Winston.
Setianingsih dkk. (2006). Hubungan antara penyesuaian sosial dan kemampuan menyelesaikan masalah dengan kecenderungan perilaku delinkuen pada remaja. Jurnal. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Vol 3 No. 1, Juni 2006.
Sugiyono. (2010). Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Suherman, Uman. (2011). Manajemen bimbingan dan konseling. Bandung: Rizqi Press.
Supriatna, Mamat. (2010). Model konseling aktualisasi diri untuk mengembangkan kecakapan pribadi mahasiswa. (Disertasi). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
(5)
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Supriatna, Mamat. (2011). Bimbingan dan konseling berbasis kompetensi. Jakarta: Rajawali Press.
Tarkhan et all. (2012). The effect of hardiness training of self-esteem and social adjustment among addicted men in rudsar of Iran. Indian Journal of Fundamental and Applied Life Sciences Vol. 2, 2012.
Tohirin. (2007). Bimbingan dan konseling di sekolah dan madrasah. Jakarta: Rajawali Press.
Wahyuni, Nur H. C. (2013). Efektivitas layanan konseling kelompok terhadap peningkatan penyesuaian diri remaja dalam pendidikan pada siswa kelas VII SMP PGRI Pancur Kabupaten Rembang Tahun Pelajaran 2012/2013. (Skripsi). IKIP PGRI, Semarang.
Wardani dan Apolo. (2010). Hubungan antara kompetensi sosial dengan penyesuaian sosial pada remaja. Jurnal. Universitas Widya Mandala Madium. Vol No. 1 januari 2010.
Willis, S. S. (2004). Konseling individual (teori dan praktek). Bandung: Alfabeta. Willis, S.S. (2010). Remaja dan permasalahannya. Bandung: Alfabeta.
Winkel, J.W. (1996). Psikologi pengajaran (edisi revisi). Jakarta: PT. Grasindo Yudhistira, Angkasa. (2013). Perkosaan massal marak di kalangan pelajar.
[Online]. Diakses dari
http://jakarta.okezone.com/read/2013/01/28/500/752482/pemerkosaan-massal-marak-di-kalangan-pelajar
Yusuf, S dan Nurihsan, J. (2008). Landasan bimbingan dan konseling. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
Yusuf, Syamsu. (2007). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Yusuf, Syamsu. (2009a). Mental hygiene: terapi psiko-spiritual untuk hidup sehat. Bandung: Maestro.
Yusuf, Syamsu. (2009b). Program bimbingan dan konseling di sekolah. Bandung: Rosdakarya.
(6)
Tina Rahmawati, 2015
Peningkatan kemampuan penyesuaian sosial melalui problem solving training. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu