Pengaruh Model Pembela jaran Creative Problem Solving (CPS) Terhadap Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa

(1)

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE

PROBLEM SOLVING (CPS) TERHADAP KEMAMPUAN

PENALARAN ANALOGI MATEMATIK SISWA

Di SMA Negeri 66 Jakarta

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

oleh

Anis Kurniasari

(1110017000071)

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015


(2)

(3)

(4)

Nama

NIM

Jurusan

AngkatanTahun

Alamat

: Anis Kurniasari

:1110017000071

: PendidikanMatematika

:

2010

:

Jalan Andara Gg. Masjid No.

45,

RT.006/01, Kel.

Pangkalan Jati Baru, Kec. Cinere, Kota Depok.

: Dr, Gelar Dwirahavu. M.Pd :19790601 2006042004

: Pendidikan Matematika

: Dra. Afidah Mas'ud

:19610926196603 2 004 : Pendidikan Matematika

MENYATAKAN DENGAN

SESUNGGUHNYA

Bahwa skripsi yang berjudul Pengaruh Model Pembela jaran Creative

Problem

Solving (CPS)

Terhadap

Kemampuan Penalaran Analogi

Matematik Siswa adalah benar hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen:

1.

Nama NIP

Dosen Jurusan

2.

Nama

NIP

Dosen Jurusan

Demikian surat pemyataan

ini

saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa kripsi ini bukan hasil karya sendiri.


(5)

i

ABSTRAK

Anis Kurniasari (1110017000071), Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) terhadap Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa, Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Januari 2015. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis; (1) kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang diajarkan dengan model Creative Problem Solving (CPS); (2) kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang diajarkaan dengan model konvensioonal; dan (3) perbandingan antara kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang diajarkan dengan model Creative Problem Solving (CPS) dengan siswa yang diajarkan dengan model konvensional. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 66 Jakarta pada kelas X MIA 1 dan X MIA 3 semester ganjil tahun ajaran 2014/2015. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode quasi eksperimental dengan rancangan penelitian randomized post-test only control group design. Subjek penelitian ini adalah 68 siswa yang terdiri dari 34 siswa untuk masing-masing kelas eksperimen dan kelas control. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik cluster random sampling pada siswa kelas X MIA. Pengumpulan data setelah perlakuan dilakukan dengan menggunakan tes kemampuan penalaran analogi matematik siswa.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang diajar dengan model Creative Problem Solving (CPS) lebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan model konvensional. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata tes kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang diajar dengan model Creative Problem Solving (CPS) sebesar 74,62 dan nilai rata-rata hasil tes penalaran analogi matematik siswa yang diajar dengan model konvensional sebesar 67,62 (thitung = 1,76 dan ttabel = 1,67). Kesimpulan hasil

penelitian ini adalah bahwa pembelajaran matematika pada pokok bahasan Barisan dan Deret dengan menggunakan model Creative Problem Solving (CPS) berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan penalaran analogi matematik siswa dibandingkan dengan yang menggunakan model konvensional.

Kata kunci: model Creative Problem Solving (CPS), kemampuan penalaran analogi matematik siswa.


(6)

ii

Model to The Analogical Reasoning Ability of Mathematics of Student, Thesis of Department of Mathematics Education, Faculty of Tarbiya and Teachers Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, January 2015. The study aims to analyze; (1) The analogical reasoning ability of mathematics of students who taught with models of Creative Problem Solving; (2) The analogical reasoning ability of mathematics of students who taught with models conventional; and (3) A comparison between the analogical reasoning ability of mathematics of students who taught with models of Creative Problem Solving with students who taught with conventional models. The research conducted at SMAN 66 Jakarta in class X MIA 1 and X MIA 3 of the odd semester for academic year 2014/2015. The method used in this research is quasi experimental method with Randomized Subjects Post-test Only Control Group Design. Subjects for this research are 68 students consist of 34 students for each class of experimental group and control group. To determine sample used cluster random sampling technique in X MIA class. The data collection after the treatment is done by using test of mathematical analogical reasoning ability students.

Result of the research revealed that the analogical reasoning ability of mathematics students who is taught with models of Creative Problem Solving is higher than students who is taught with conventional models. This matter visible from the mean score of mathematical analogical reasoning ability test students who taught with models of Creative Problem Solving is at 74,62 and the average value of mathematical analogical reasoning ability test students who taught with conventional model is at 67,62 (tcount = 1,76 and ttable = 1,67). The conclusion of

this research is that learning mathematics on the subjects of Sequences and Series by using the model of Creative Problem Solving are significantly affect students mathematical analogical reasoning abilities compared with the conventional model.

Keywords: Creative Problem Solving, The analogical reasoning ability of mathematics.


(7)

KATA PENGANTAR

ﻳﺤﺭﻟﺍﻦ ﺤﺭﻟﺍﷲﺍ ﺳﺑ

Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala karunia, nikmat iman, nikmat islam, dan nikmat kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam tak lupa senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Gelar Dwirahayu, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing I yang selalu memberikan bimbingan, kesabaran, arahan, waktu, nasihat, dan semangat dalam penulisan skripsi ini.

2. Ibu Afidah Mas’ud, Dra., selaku Dosen Pembimbing II sekaligus Dosen Penasehat Akademik yang dengan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan, arahan, waktu, nasihat, dan semangat dalam membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan dan penulisan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Kadir, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Abdul Muin, S.Si, M.Pd., Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan, semoga ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.

6. Ibu Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2011-2015.


(8)

Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam pembuatan surat-surat serta sertifikat.

9. Bapak Drs. H. Suhari, kepala SMA Negeri 66 Jakarta yang telah mengijinkan penulis melakukan penelitian di sekolah tersebut.

10.Bapak Drs. Dedi S, M.Pd, selaku guru pamong yang telah banyak membantu penulis selama penelitian berlangsung.

11.Siswa dan siswi kelas X SMA Negeri 66 Jakarta tahun ajaran 2014/2015, khususnya kelas X MIA 1 dan X MIA 3 yang telah bersikap kooperatif selama penulis mengadakan penelitian.

12.Keluarga besar tercinta, terutama kedua orang tua dan kakak adik yang selalu memberikan kasih sayang, do’a, dukungan dan semangat kepada penulis. 13.Sahabat seperjuangan selama perkuliahan, Siti Heni Hanifah, Ida Fauziah

Syam, Zahra Sa’adatun Nisa, Rahmadiyah, Diana Martiana, Siti Fatur Rohmah, Devi Yulianti, Dewanti Mustika Sari dan Fajriani yang sudah memberi semangat, nasihat dan bantuan kepada penulis selama kuliah maupun selama penyusunan skripsi ini. Semangat kawan, Together We Can.

14.Teman-teman terbaik Siti Anisya Nurantih dan Kartika Syskya Widya yang sudah membantu penulis ketika mengalami kesulitan serta memberi motivasi penuh selama proses penyusunan skrispsi.

15.Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Matematika Angkatan ’10, Sparta, Wasabi dan terutama Cuspid. Terima kasih atas kebersamaan dan bantuannya selama ini baik langsung maupun tidak langsung.

16.Kakak-kakak kelas jurusan Pendidikan Matematika terutama Kak Icha, Kak Wulan, Kak Imut, Kak Vierra, Kak Indah, Kak Eva, Kak Ulfah, Kak Azizah dan kakak kelas angkatan ’09 maupun ’08 dan adik kelas angkatan ’11 yang sudah membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.


(9)

17.Sahabat tersayang Indira Gandhi, Difianti Dyas Putri, Rizki Nurhidayah dan Rizqo Yansyah yang tidak henti-hentinya memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga ditunjukan kepada semua pihak yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis hanya dapat memohon dan berdoa mudah-mudahan bantuan, bimbingan, dukungan, semangat, masukan dan doa yang telah diberikan menjadi pintu datangnya ridho dan kasih sayang Allah SWT di dunia dan akhirat. Aamiin yaa robbal’alamin.

Demikianlah, betapapun penulis telah berusaha dengan segenap kemampuan yang ada untuk menyusun karya tulis yang sebaik-baiknya, namun di atas lembaran-lembaran skripsi ini masih saja dirasakan dan ditemui berbagai macam kekurangan dan kelemahan. Karena itu, kritik dan saran dari siapa saja yang membaca skripsi ini akan penulis terima dengan hati terbuka.

Penulis berharap semoga skripsi ini akan membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi penulis khususnya dan bagi pembaca sekalian umumnya.

Jakarta, Januari 2015


(10)

vi

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 6

C.Pembatasan Masalah ... 7

D.Perumusan Masalah... 7

E. Tujuan Penelitian... 8

F. Manfaat Penelitian... 8

BAB II DESKRIPSI TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 9

A.Landasan Teoritis ... 9

1. Kemampuan Penalaran Analogi Matematik ... 9

a. Pengertian Penalaran Matematik... 9

b. Pengertian Penalaran Analogi Matematik ... 12

2. Model Pembelajaran Creative Problem Solving ... 15

a. Model Creative Problem Solving ... 15

3. Model Konvensional ... 21

B.Hasil Penelitian yang Relevan ... 22

C.Kerangka Berpikir ... 23

D.Hipotesis Penelitian ... 27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 28

A.Tempat dan Waktu Penelitian ... 28


(11)

vii

C.Populasi dan Sampel ... 29

D.Teknik Pengumpulan Data ... 30

E. Instrumen Penelitian ... 30

F. Analisis Instrumen... 32

1. Validitas Instrumen ... 33

2. Reliabilitas Instrumen ... 35

3. Taraf Kesukaran dan Daya Pembeda ... 36

G.Teknik Analisis Data ... 39

1. Uji Prasyarat ... 39

a. Uji Normalitas ... 39

b. Uji Homogenitas Varians ... 40

2. Uji Hipotesis ... 41

H. Hipotesis Statistik ... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 44

A. Deskripsi Data ... 44

1. Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa Kelas Eksperimen ... 44

2. Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa Kelas Kontrol ... 45

3. Perbandingan Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol... 46

B.Hasil Pengujian Persyaratan Analisis ... 51

1. Uji Normalitas Tes Penalaran Analogi Matematik Siswa ... 51

a. Uji Normalitas Kelas Eksperimen ... 51

b. Uji Normalitas Kelas Kontrol ... 51

2. Uji Homogenitas Tes Penalaran Analogi Matematik Siswa ... 52

C.Pengujian Hipotesis ... 53

D.Pembahasan ... 54

1. Proses Pembelajaran di Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 54

2. Hasil Posttest Kemampuan Penalaran Analogi Matematik ... 60


(12)

viii

DAFTAR PUSTAKA ... 71 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(13)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Rancangan Penelitian ... 29

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Analogi Matematik ... 31

Tabel 3.3 Kriteria Penilaian Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Analogi Matematik ... 31

Tabel 3.4 Nilai Minimal CVR ... 34

Tabel 3.5 Rekapitulasi Analisis Butir Soal ... 38

Tabel 4.1 Perbandingan Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 47

Tabel 4.2 Perbandingan Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Berdasarkan Indikator Penalaran Analogi ... 51

Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Uji Normalitas ... 52

Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Uji Homogenitas ... 52


(14)

x

Gambar 2.2 Contoh Analogi Deklaratif ... 14 Gambar 2.3 Skema Creative Problem Solving Osborn-Parnes ... 18 Gambar 2.4 Peta Konsep Kerangka Berpikir ... 26 Gambar 4.1 Grafik Ogive Distribusi Frekuensi Kumulatif Kelas

Eksperimen ... 45 Gambar 4.2 Grafik Ogive Distribusi Frekuensi Kumulatif Kelas

Kontrol ... 46 Gambar 4.3 Kurva Perbandingan Skor Kemampuan Penalaran Analogi

Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas

Kontrol ... 48 Gambar 4.4 Perbandingan Indikator Nilai Rata-rata Kemampuan

Penalaran Analogi Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Berdasarkan Indikator Penalaran

Analogi ... 50 Gambar 4.5 Kurva Uji Hipotesis Statistik ... 53 Gambar 4.6 Siswa Berdiskusi dalam Menyelesaikan LKS dengan

Model CPS... 55 Gambar 4.7 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa Pada LKS 3 Tahap

Menemukan Informasi... 56 Gambar 4.8 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa Pada LKS 3 Tahap Menemukan

Masalah... 57 Gambar 4.9 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa Pada LKS 3 Tahap Menemukan

Gagasan ... 57 Gambar 4.10 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa Pada LKS 3 Tahap Menemukan

Solusi ... 58 Gambar 4.11 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa Pada LKS 3 Tahap Menemukan

Penerimaan ... 59 Gambar 4.12 Siswa Mempresentasikan Hasil Diskusi Kelompoknya ... 59


(15)

xi

Gambar 4.13 (a) Siswa Memperhatikan Guru Menerangkan Materi, dan (b) Siswa Mengerjakan LKS dan Latihan Soal Secara

Berkelompok ... 60 Gambar 4.14 Cara Menjawab Siswa Kelompok Eksperimen Pada

Nomor 1 ... 61 Gambar 4.15 Cara Menjawab Siswa Kelompok Kontrol Pada Nomor 1 .. 61 Gambar 4.16 Cara Menjawab Siswa Kelompok Eksperimen Pada

Nomor 3 ... 62 Gambar 4.17 Cara Menjawab Siswa Kelompok Kontrol Pada Nomor 3 .. 63 Gambar 4.18 Cara Menjawab Siswa Kelompok Eksperimen yang

Nilainya Dibawah Rata-rata ... 65 Gambar 4.19 Cara Menjawab Siswa Kelompok Kontrol yang Nilainya


(16)

xii

Matematik Tahap Pra Penelitian ... 76

Lampiran 2 Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Tahap Pra Penelitian ... 78

Lampiran 3 Kunci Jawaban Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa Tahap Pra Penelitian ... 80

Lampiran 4 Hasil Tes Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa Tahap Pra Penelitian ... 84

Lampiran 5 Lembar Wawancara Tahap Pra Penelitian ... 86

Lampiran 6 RPP Kelas Eksperimen ... 88

Lampiran 7 RPP Kelas Kontrol ... 116

Lampiran 8 LKS Kelas Eksperimen ... 145

Lampiran 9 LKS Kelas Kontrol ... 182

Lampiran 10 Kisi-Kisi Uji Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Analogi Matematik ... 211

Lampiran 11 Soal Uji Coba Tes Kemampuan Penalaran Analogi Matematik ... 214

Lampiran 12 Kunci Jawaban Soal Uji Coba Tes Kemampuan Penalaran Analogi Matematik ... 219

Lampiran 13 Kriteria Penilaian Instrumen Kemampuan Penalaran Analogi Matematik ... 228

Lampiran 14 Uji Validitas Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Analogi Matematik dengan Metode CVR ... 229

Lampiran 15 Rekapitulasi Hasil Penilaian Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Analogi Matematik dengan Metode CVR ... 235

Lampiran 16 Hasil Uji Validitas Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Analogi Matematik dengan Metode CVR ... 236

Lampiran 17 Hasil Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Analogi Matematik ... 237


(17)

xiii

Lampiran 18 Perhitungan Uji Validitas ... 238

Lampiran 19 Validitas Instrumen Tes ... 239

Lampiran 20 Perhitungan Uji Realibilitas ... 240

Lampiran 21 Reliabilitas Instrumen Tes ... 241

Lampiran 22 Perhitungan Taraf Kesukaran ... 242

Lampiran 23 Taraf Kesukaran Instrumen Tes ... 243

Lampiran 24 Perhitungan Daya Pembeda ... 245

Lampiran 25 Daya Pembeda Instrumen Tes ... 246

Lampiran 26 Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Analogi Matematik ... 247

Lampiran 27 Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Analogi Matematik ... 250

Lampiran 28 Kunci Jawaban Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Analogi Matematik ... 255

Lampiran 29 Hasil Tes Kemampuan Penalaran Analogi Kelas Eksperimen ... 263

Lampiran 30 Hasil Tes Kemampuan Penalaran Analogi Kelas Kontrol .. 264

Lampiran 31 Perhitungan Daftar Distribusi Kelas Eksperimen ... 265

Lampiran 32 Perhitungan Daftar Distribusi Kelas Kontrol ... 268

Lampiran 33 Perhitungan Data Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa Kelas Eksperimen ... 271

Lampiran 34 Perhitungan Data Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa Kelas Kontrol ... 273

Lampiran 35 Perhitungan Uji Normalitas Kelas Eksperimen ... 275

Lampiran 36 Perhitungan Uji Normalitas Kelas Kontrol ... 277

Lampiran 37 Perhitungan Uji Homogenitas ... 279

Lampiran 38 Perhitungan Uji Hipotesis Statistik ... 281

Lampiran 39 Tabel Nilai Koefisien Korelasi “r” Product Momen ... 283

Lampiran 40 Tabel Luas Kurva Di Bawah Normal ... 284

Lampiran 41 Nilai Kritis Distribusi Kai Kuadrat (Chi Square) ... 285


(18)

(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan hal penting dalam proses pembentukan sumber daya manusia. Melalui pendidikan, manusia memperoleh ilmu pengetahuan dan pengalaman empirik yang sangat berguna bagi kehidupannya, serta dapat mengembangkan diri manusia sesuai dengan potensinya masing-masing. Hal ini sebagaimana tertuang dalam UU RI tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 no. 20 tahun 2003.

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.1

Berdasarkan uraian diatas bahwa dunia pendidikan bertanggung jawab terhadap kemajuan peradaban dan kecerdasan bangsa. Dan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, salah satu upaya pemerintah yaitu menyempurnakan kurikulum. Hal tersebut dikarenakan kurikulum memegang kedudukan kunci dalam pendidikan, menentukan arah, isi dan proses pendidikan, yang pada akhirnya menentukan macam dan kualifikasi lulusan suatu lembaga pendidikan.

Pada setiap kurikulum pendidikan nasional, mata pelajaran matematika selalu diajarkan di setiap jenjang pendidikan dan tingkatan kelas dengan proporsi waktu yang lebih banyak daripada mata pelajaran lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa mata pelajaran matematika diharapkan mampu mengembangkan kemampuan dan potensi peserta didik.

Pembelajaran matematika di tingkat SMP dan SMA harus lebih banyak berorientasi pada bagaimana cara mengembangkan kemampuan

1

Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003, TentangSistem Pendidikan


(20)

penalaran siswa dalam menyelesaikan persoalan-persoalan matematika dan tidak banyak menekankan pada algoritma atau aturan-aturan tertentu, supaya matematika lebih bermanfaat dalam kehidupan siswa.2 Maka dapat dikatakan bahwa matematika merupakan kegiatan yang menggunakan penalaran.

Pentingnya penalaran dalam matematika dapat dilihat dari salah satu kompetensi inti pada kurikulum 2013, yakni pada kompetensi inti-4 untuk kompetensi inti keterampilan. Pada KI-4 ini siswa diharapkan mampu mengolah, menalar dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.3 Ini artinya kurikulum 2013 memberi penekanan pada penguasaan kompetensi penalaran matematik dalam pembelajaran matematika di sekolah.

Pendapat tentang pentingnya bernalar dikemukakan oleh Nasoetion yang dikutip Tatag menyatakan bahwa salah satu manfaat penalaran dalam pembelajaran matematika adalah membantu siswa meningkatkan kemampuan pemahaman, lebih dari yang hanya sekedar mengingat fakta, aturan, dan prosedur.4 Dengan demikian kemampuan penalaran perlu dimiliki siswa karena tidak hanya memperkuat konsep matematika tetapi penalaran juga dapat meningkatkan kemampuan pemahaman siswa terhadap matematika.

Bila kemampuan penalaran tidak dikembangkan pada siswa, maka bagi siswa akan menjadi materi yang mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa mengetahui maknanya. Selain itu, penalaran membantu siswa mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep sehingga siswa memiliki fondasi kokoh bagi pemahaman matematika mereka pada masa mendatang.

2

Gelar Dwirahayu, “Pengaruh Pendekatan Analogi Terhadap Peningkatan Kemampuan

Penalaran Matematika Siswa SMP”, Algoritma Vol. 1 No.1, 2006, h. 55 3

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kerangka Dasar

dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan, 2013, h. 8 4

Tatag Yuli Eko Siswono, dan Suwidiyanti, ”Proses Berpikir Analogi Siswa Dalam

Memecahkan Masalah Matematika Siswa”, Surabaya: FMIPA UNESA, dari

http://www.academia.edu/4069250/PROSES_BERPIKIR_ANALOGI_SISWA_DALAM_MEME CAHKAN_MASALAH_MATEMATIKA_UNEJ_28_Pebruri_2009_) [20 Januari 2014, pkl.10.10 WIB], h.2


(21)

3

Penalaran merupakan bagian terpenting dalam matematika. Menurut Gelar, “Penalaran merupakan proses berfikir yang dilakukan untuk menarik kesimpulan berdasarkan fakta dan sumber yang relevan”.5 Secara garis besar ada dua jenis penalaran yaitu penalaran deduktif dan penalaran induktif. Penalaran deduktif merupakan penalaran dari hal umum kemudian ditarik ke hal-hal yang bersifat khusus. Sedangkan penalaran induktif merupakan proses penarikan kesimpulan yang bersifat umum dari hal-hal yang bersifat khusus. Penalaran induktif terdiri dari tiga jenis yaitu: generalisasi, analogi dan hubungan kausal (sebab-akibat).

Analogi dapat membantu siswa memahami materi melalui perbandingan dengan materi lain dengan cara mencari keserupaan sifat diantara materi yang dibandingkan. Penalaran analogi pun sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kemampuan penalaran analogi siswa sangat penting untuk dikembangkan.

Namun, kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan penalaran analogi matematik siswa di salah satu sekolah menengah atas di daerah Jakarta Selatan, yakni SMA Negeri 66 Jakarta masih tergolong rendah. Siswa mendapat kesulitan ketika dihadapkan pada soal-soal matematika yang berbentuk tes penalaran khususnya tes penalaran analogi. Dari hasil tes pra penelitian yang peneliti lakukan, hampir 95% siswa yang tidak memenuhi KKM. Siswa masih belum mampu menyelesaikan soal-soal yang berbeda dengan contoh yang telah diberikan. Selama ini siswa hanya menghafal rumus, mencatat contoh soal tanpa berlatih mengerjakan soal-soal yang bervariasi. Hal ini menyebabkan siswa kurang berpikir kreatif dan kemampuan penalaran analogi matematiknya kurang berkembang.

Sedangkan dari hasil wawancara dengan guru, guru mengasumsikan bahwa terdapat sekitar 15% siswa yang tergolong memiliki kemampuan analogi matematik tinggi. Dari hasil tes penalaran analogi yang peneliti lakukan diperoleh hanya sekitar 8,5% siswa yang memiliki kemampuan penalaran analogi matematik tinggi. Guru mengakui bahwa kemampuan

5


(22)

penalaran analogi merupakan suatu aspek yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Oleh karena itu, beliau menyatakan bahwa kemampuan penalaran analogi perlu ditingkatkan dengan cara menggunakan model pembelajaran yang beragam. Karena selama ini guru sudah menggunakan beberapa model pembelajaran namun dirasa kurang untuk meningkatkan kemampuan penalaran analogi matematik siswa.

Dalam pembelajaran di kelas, guru lebih sering menggunakan model pembelajaran ekspositori. Meskipun guru mengakui sedang berusaha menerapkan pendekatan scientific yang diusung oleh kurikulum 2013, namun kenyataannya pembelajaran di kelas tetap bersumber pada guru. Siswa hanya mendapatkan informasi dari guru tanpa mengembangkan kreativitasnya. Siswa tidak dilatih untuk menyelesaikan masalah secara kreatif yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Hal tersebut mengakibatkan siswa kurang aktif serta mudah merasa jenuh dalam proses pembelajaran.

Menurut Suryosubroto, “Dalam proses pembelajaran yang sangat perlu mendapat perhatian oleh guru adalah sumbang saran (brainstorming) siswa dalam memecahkan masalah”.6 Oleh karena itu, guru memegang peranan penting dalam proses pembelajaran di kelas. Guru harus mampu mengundang pemikiran dan daya kreasi siswanya. Guru harus mampu merancang dan melaksanakan kegiatan belajar bermakna dan dapat mengelola sumber belajar yang diperlukan. Di sisi lain, siswa harus terlibat dalam proses belajar, mereka dilatih untuk menjelajah, mencari, mempertanyakan sesuatu, menyelidiki jawaban atas pertanyaan, mengelola dan menyampaikan hasil perolehannya secara komunikatif. Mereka dibimbing agar mampu menentukan kebutuhannya, menganalisis informasi yang diterima, serta menyeleksi dan memberi arti pada informasi baru.

Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa kemampuan penalaran analogi matematik siswa masih rendah. Hal tersebut dapat disebabkan karena pembelajaran konsep dan prosedur yang diterapkan selama ini di sekolah

6

B. Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), h.197.


(23)

5

kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir dalam menemukan menemukan berbagai strategi pemecahan masalah sehingga siswa hanya menghafalkan saja semua rumus atau konsep tanpa memahami maknanya dan tidak mampu menerapkannya dalam problem solving. Selain itu, guru dianggap sebagai satu-satunya sumber belajar. Siswa belum diarahkan untuk aktif dalam pembelajaran sehingga kreativitasnya pun belum mampu dikembangkan.

Model problem solving merupakan suatu alternatif yang dapat meningkatkan kemampuan penalaran analogi matematik siswa. Model

problem solving dinilai sebagai proses pemerolehan atau pembentukan pengetahuan. Dengan model problem solving, siswa dilatih bagaimana ia mampu menyelesaikan suatu masalah dengan menggunakan konsep yang telah ia miliki. Siswa akan berlatih menyelesaikan berbagai masalah dengan mengkaitkan suatu materi dengan materi yang lain, menarik keserupaan antara materi yang telah ia pelajari sebelumnya dan mengkaitkannya dengan materi yang sedang dipelajarinya saat ini. Dengan demikian, siswa akan terbiasa pula untuk menggunakan penalarannya, terutama penalaran analogi matematiknya.

Proses pemecahan masalah atau problem solving perlu mengembangkan berpikir kreatif ketika menganalisis atau mengidentifikasi masalah, memandang masalah dari berbagai perspektif, mengeksplorasi ide-ide atau metode penyelesaian masalah dan mengide-identifikasi kemungkinan solusi dari masalah tersebut. Model pemecahan masalah yang melibatkan proses kreatif disebut model Creative Problem Solving. Dalam penelitian ini, model pembelajaran yang dipilih adalah model Creative Problem Solving.

Model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) merupakan suatu model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan pemecahan masalah yang diikuti dengan penguatan keterampilan. Dalam Suryosubroto dijelaskan bahwa pembelajaran yang menerapkan Creative Problem Solving, peran pendidik lebih menempatkan diri sebagai fasilitator, motivator dan dinamisator belajar, baik secara


(24)

individual maupun kelompok.7 Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber belajar dan siswa akan lebih berperan aktif dalam pembentukan pemahamannya dengan konteks pemecahan masalah kreatif.

Model Creative Problem Solving melatih siswa untuk berpikir kreatif dalam pemecahan masalah. Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan, siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya menghafal tanpa dipikir, keterampilan memecahkan masalah memperluas proses berpikir.8 Pada pembelajaran siswa akan dihadapkan suatu masalah yang harus diselesaikan. Pada model ini siswa akan dilatih untuk berpikir divergen dan konvergen untuk mendapatkan pemecahan masalah yang paling tepat.

Model pembelajaran Creative Problem Solving memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif dalam proses pemecahan masalah. Dengan aktivitas tersebut, diharapkan siswa akan terlatih untuk bernalar serta kreatif dalam memecahkan masalah. Dengan masalah matematika yang beragam dan menekankan kreativitas maka siswa akan terlatih untuk menggunakan penalaran analoginya secara baik.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti bermaksud mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) Terhadap Kemampuan Penalaran Analogi Matematik

Siswa”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:

1. Rendahnya penalaran analogi matematik siswa.

2. Siswa belum mampu menyelesaikan soal-soal berbeda dengan contoh yang telah diberikan.

7

Suryosubroto, op.cit., h. 201 8


(25)

7

3. Siswa tidak dilatih untuk menyelesaikan masalah secara kreatif yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

4. Guru dianggap sebagai satu-satunya sumber belajar.

5. Siswa belum diarahkan untuk aktif dalam pembelajaran sehingga kreativitasnya belum mampu dikembangkan.

C. Pembatasan Masalah

Agar penelitian lebih terarah dan mengingat permasalahan yang cukup luas, maka perlu dilakukan pembatasan masalah. Masalah akan dibatasi pada:

1. Model pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran

“Creative Problem Solving” yaitu suatu model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan kreativitas.

2. Kemampuan penalaran analogi yang dimaksud yaitu kemampuan dalam menarik sebuah kesimpulan dari dua hal yang berbeda berdasarkan keserupaan data atau proses.

3. Pokok bahasan yang akan dijadikan penelitian adalah Barisan dan Deret

D. Perumusan Masalah

Dari hasil identifikasi masalah, maka masalah dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang memperoleh model pembelajaran Creative Problem Solving?

2. Bagaimana kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang memperoleh model pembelajaran konvensional?

3. Apakah kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang diajar dengan model pembelajaran Creative Problem Solving lebih tinggi dari siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional?


(26)

E. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menjelaskan penalaran analogi matematik siswa dengan menggunakan

model pembelajaran Creative Problem Solving.

2. Menjelaskan penalaran analogi matematik siswa dengan menggunakan model pembelajaran konvensional.

3. Membandingkan penalaran analogi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model Creative Problem Solving dengan siswa yang memperoleh model pembelajaran konvensional.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan ini adalah:

1. Bagi Peneliti, dapat melihat pengaruh kemampuan penalaran analogi matematik siswa setelah pembelajaran matematika dengan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS).

2. Memberikan alternatif pada guru tentang pembelajaran matematika melalui model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS).

3. Dapat melatih kemampuan bernalar siswa yaitu pada penalaran analogi matematik.


(27)

9 BAB II

LANDASAN TEORETIS, KERANGKA BERPIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Landasan Teoretis

1. Kemampuan Penalaran Analogi Matematik a. Pengertian Penalaran Matematik

Penalaran merupakan terjemahan dari reasoning. Penalaran merupakan salah satu dari empat kompetensi dasar matematik lainnya yaitu koneksi, representasi, komunikasi dan pemecahan masalah. Penalaran adalah proses berpikir yang dilakukan dengan cara menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat khusus ataupun sebaliknya, dari hal yang bersifat umum kemudian ditarik hal-hal yang bersifat khusus.

Menurut Shadiq, “Penalaran merupakan suatu kegiatan, suatu proses atau suatu aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang benar berdasar pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya.”1 Dengan kata lain penalaran merupakan cara berbikir logis yang merupakan penjelasan dalam upaya memperlihatkan hubungan antara dua hal atau lebih berdasarkan sifat-sifat atau hokum-hukum tertentu yang diakui kebenarannya, dengan menggunakan langkah-langkah tertentu yang berakhir dengan sebuah kesimpulan.

Bagian dari berpikir yang berada di atas level memanggil (retensi) disebut juga penalaran, yakni meliputi: basic thinking, critical thinking, dan creative thinking. Kemampuan memahami konsep termasuk di dalam basic thinking. Kemampuan-kemampuan critical thinking antara lain menguji, menghubungkan dan mengevaluasi aspek-aspek yang fokus pada masalah, mengumpulkan dan mengorganisasi informasi, memvalidasi dan menganalisis informasi, mengingat dan mengasosiasikan informasi yang dipelajari sebelumnya, menentukan jawaban yang rasional, melukiskan kesimpulan yang valid dan melakukan analisis dan

1

Fajar Shadiq, Pemecahan Masalah, Penalaran, dan Komunikasi, (Yogyakarta:


(28)

refleksi. Sedangkan kemampuan-kemampuan creative thinking yakni menghasilkan produk orisinil, efektif, kompleks, inventif, pensintesis, pembangkit dan penerap ide.2

Salah satu tujuan pelajaran matematika di sekolah adalah agar siswa mampu menggunakan penalaran. Penalaran matematik merupakan kemampuan siswa untuk mengembangkan dan mengekspresikan berbagai informasi yang didapati siswa, kemampuan menyusun pembuktian atau menjelaskan gagasan dari pernyataan matematika kemudian menarik kesimpulannya, serta melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi. Bila kemampuan bernalar tidak dikembangkan pada siswa, maka bagi siswa matematika hanya akan menjadi materi yang mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa mengetahui maknanya.

Menurut Utari dalam Sumadi, orang yang menalar secara analitik cenderung untuk mencatat pola-pola, struktur-struktur atau kebiasaan-kebiasaan dalam situasi dunia real dan objek simbol, mereka bertanya jika pola-pola ini adalah sesuatu kejadian atau jika terjadi untuk suatu alasan.3 Kemampuan memberikan alasan adalah suatu yang esensial untuk mengerti matematika. Penalaran secara matematika adalah suatu kebiasaan dalam pikiran, dan seperti kebiasaan lainnya, ini harus dikembangkan melalui penggunaan yang konsisten dalam banyak konteks.

Beberapa kemampuan yang tergolong dalam penalaran matematik diantaranya adalah: menarik kesimpulan logis, memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan atau pola, memperkirakan jawaban dan proses solusi, menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi, atau membuat analogi, generalisasi dan menyusun konjektur, mengajukan lawan contoh, mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argumen, membuktikan dan menyusun argumen yang valid, dan menyusun pembuktian langsung, pembuktian

2

I Wayan Santyasa, “Model Pembelajaran Inovatif”, Penataran Guru-Guru SMP-SMA

se-Kabupaten Jembrana, Jembrana, Juni-Juli 2005, h. 10. 3

I Made Sumadi, “Pengaruh Penerapan Pendekatan Kontekstual Terhadap Kemampuan

Penalaran Dan Komunikasi Matematika Siswa Kelas II SLTP Negeri 6 Singaraja”, Jurnal


(29)

11

tak langsung dan pembuktian dengan induksi matematika.4 Begitu pula pandangan Wardhani bahwa siswa dikatakan mampu melakukan penalaran bila ia mampu menggunakan penalaran pada pola sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.5

Secara garis besar ada dua jenis penalaran yaitu penalaran deduktif dan penalaran induktif. Penalaran deduktif merupakan penalaran dari hal umum kemudian ditarik ke hal-hal yang bersifat khusus. Sedangkan penalaran induktif merupakan proses penarikan kesimpulan yang bersifat umum dari hal-hal yang bersifat khusus.

Penalaran induktif diartikan sebagai penarikan kesimpulan yang bersifat umum atau khusus berdasarkan data yang teramati. Nilai kebenaran dalam penalaran induktif dapat bersifat benar atau salah. Beberapa kegiatan yang tergolong pada penalaran induktif diantaranya adalah:

a) Transduktif: menarik kesimpulan dari satu kasus atau sifat khusus yang satu diterapkan pada kasus khusus yang lainnya.

b) Analogi: penarikan kesimpulan berdasarkan keserupaan data atau proses. c) Generalisasi: penarikan kesimpulan umum berdasarkan sejumlah data yang

teramati.

d) Memperkirakan jawaban, solusi atau kecenderungan: interpolasi dan ekstrapolasi.

e) Memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan atau pola yang ada.

f) Menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi dan menyusun konjektur. 6

4

Utari Sumarmo dkk, Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan, (Bandung: UPI

Press, 2008), h. 683. 5

Sri Wardhani, Paket Fasilitasi Pemberdayaan KKG/ MGMP Matematika: Analisis SI dan

SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/ MTs untuk Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika, (Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika, 2008), h.12

6

Utari Sumarmo, “Berfikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana


(30)

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kemampuan penalaran adalah suatu proses atau aktivitas menarik kesimpulan atau membuat pernyataan yang benar berdasarkan pada pernyataan yang telah dibuktikan kebenarannya.

Dengan demikian, penalaran matematik merupakan kemampuan siswa untuk mengembangkan dan mengekspresikan berbagai informasi yang didapati siswa, kemampuan menyusun pembuktian atau menjelaskan gagasan dari pernyataan matematika kemudian menarik kesimpulannya, serta melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi.

b. Pengertian Penalaran Analogi Matematik

Kata “Analogi” dalam bahasa Indonesia adalah “persamaan atau persesuaian antara dua benda atau hal yang berlainan disebut juga dengan kias”. Sedangkan dalam bahasa Arab adalah “qasa” yaitu mengukur atau membandingkan.

Sastrosudirjo mengungkapkan bahwa analogi merupakan kemampuan melihat hubungan-hubungan, tidak hanya hubungan benda-benda tetapi juga hubungan antara ide-ide, dan kemudian mempergunakan hubungan itu untuk memperoleh benda-benda atau ide-ide lain. Sedangkan menurut Soekadijo analogi adalah berbicara tentang dua hal yang berlainan, yang satu bukan yang lain, tetapi dua hal yang berbeda itu dibandingkan satu dengan yang lain. Dalam analogi yang dicari adalah keserupaan dari dua hal yang berbeda, menarik kesimpulan atas dasar keserupaan itu. Dengan demikian analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelas atau sebagai dasar penalaran.7

Menurut Schwartz dalam Dwirahayu, “Penalaran analogi didasarkan pada kesamaan dengan memahami aturan.”8 Penggunaan model dalam penalaran analogi akan menolong siswa memahami secara menyeluruh bagaimana kerja dari penalaran analogi. Tujuan utama dari penggunaan model dalam konteks penalaran

7

Herdian,“Pengaruh Metode Discovery terhadap kemampuan Analogi dan Generalisasi

Matematis Siswa SMP, Tesis pada Universitas Pendidikan Indonesia, (Bandung : Perpustakaan

Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, 2010), h. 24, tidak dipublikasikan. 8

Gelar Dwirahayu, Pengaruh Pendekatan Analogi Terhadap Peningkatan Kemampuan


(31)

13

analogi adalah bahwa model sebagai suatu bentuk yang dibuat-buat untuk membantu siswa mempelajari ciri-ciri benda yang dimodelkan. Selain model, siswa juga dituntut untuk mempunyai kemampuan untuk mengkorespondensikan dua hal yang berlainan yaitu antara hal yang ingin kita buktikan dan sesuatu yang mirip atau serupa dalam pikirannya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa analogi adalah kesamaan sifat dari suatu hal yang baru dengan suatu hal yang telah diketahui sebelumnya yang pada dasarnya berbeda.

Menurut Mundiri dalam Harry, analogi dibagi menjadi dua macam, yaitu analogi induktif dan analogi deklaratif.9 Analogi induktif adalah analogi yang disusun berdasarkan persamaan prinsip yang berbeda pada fenomena, selanjutnya ditarik kesimpulan bahwa apa yang terdapat pada fenomena pertama terdapat pula pada fenomena kedua. Sebagai contoh, persegi panjang pada bidang datar mempunyai kesamaan dengan balok pada bangun ruang. Sisi-sisi persegi panjang (berupa ruas garis) memiliki sifat yang mirip atau sama dengan sisi-sisi pada balok (berupa bidang) yakni panjang sisi yang berhadapan pada persegi panjang adalah sama, begitu juga dengan luas sisi yang berhadapan pada balok adalah sama.10

Gambar 2.1 Contoh Analogi Induktif

9

Harry Dwi Putra, “Pembelajaran Geometri Dengan Pendekatan SAVI Berbantuan

WINGEOM Untuk Meningkatkan Kemampuan Analogi Matematis Siswa SMP”, Prosiding

Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Bandung, Volume 1, Tahun 2011, h.296.

10

Fajar Shadiq, Penalaran dengan Analogi? Pengertiannya dan Mengapa Penting?,

dari:http://p4tkmatematika.org/file/ARTIKEL/Artikel%20Matematika/Penalaran%20dengan%20a nalogi_fadjar%20shadiq.pdf(7 September 2014, 20.06 WIB), h.4

balok persegi panjang


(32)

Analogi deklaratif atau penjelas yaitu metode untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang abstrak atau belum dikenal atau masih samar, dengan menggunakan hal yang sudah dikenal sebelumnya. Sebagai contoh, angka 24 dijelaskan dengan cara mengambil manik-manik menunjukkan satu bilangan, kemudian manik-manik tersebut disusun berdasarkan nilai tempat, kemudian meletakkan 20 buah manik-manik dengan cara menyusunnya menjadi 2 kolom tiap kolom terdiri dari 10 buah manik-manik yang menunjukkan puluhan, dan disusun lagi 4 buah manik-manik yang menunjukkan 4 satuan, jadi 24 itu diperoleh dari 20 dan 4.11

Gambar 2.2

Contoh Analogi Deklaratif

Lawson dalam Herdian mengungkapkan keuntungan analogi dalam pengajaran antara lain:12

1) Dapat memudahkan siswa dalam memperoleh pengetahuan baru dengan cara mengaitkan atau membandingkan pengetahuan analogi yang dimiliki siswa; 2) Pengaitan tersebut akan membantu mengintregasikan struktur-struktur

pengetahuan yang terpisah agar terorganisasi menjadi struktur kognitif yang lebih utuh. Dengan organisasi yang lebih utuh akan mempermudah proses pengungkapan kembali pengetahuan baru;

3) Dapat dimanfaatkan dalam menanggulagi salah konsep.

11

Tatag Yuli Eko Siswono, Model pelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan

Pemecahan MasalahUntuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif, ( Surabaya: Unesa University Press, 2008) ,h.2

12

Herdian, Pengaruh Metode Discovery terhadap kemampuan Analogi dan Generalisasi

Matematis Siswa SMP, Tesis Universitas Pendidikan Indonesia, (Bandung : Perpustakaan Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, 2010), h. 25.


(33)

15

Penalaran analogi matematik yang dimaksudkan dalam penelitan ini adalah penalaran analogi yang berasal dari penalaran induktif Utari Sumarmo yaitu menarik sebuah kesimpulan berdasarkan keserupaan data atau proses pada suatu permasalahan matematika.

Contoh butir tes yang mengukur kemampuan penalaran analogi matematik siswa di SMA pada materi barisan dan deret adalah sebagai berikut:

1. Pada hari pertama di kelas X, Amir menabung sebanyak Rp. 20.000 dan setiap hari ia menabung dengan besarnya selalu bertambah sebanyak Rp. 5.000. Dan pada suatu hari Amir menabung uang sebanyak Rp 65.000.

Barisan bilangan 2, 7, 12, 17, …dan bilangan …

A. 42 C. 57

B. 47 D. 62

Jawaban untuk pertanyaan diatas adalah hubungan antara uang yang diterima amir sebanyak 65.000 serupa dengan bilangan 47. Sebab Rp 65.000 merupakan suku ke-10 pada soal pertama. Dengan demikian dapat diketahui bahwa suku ke-10 pada soal kedua adalah 47.

2. Model Pembelajaran Creative Problem Solving a. Model Creative Problem Solving

Creative Problem Solving (CPS) pertama kali dikembangkan pada tahun 1950 oleh Alex Osborn, pendiri The Creative Foundation. Sidney Parnes bekerjasama dengan Alex Osborn membuat penelitian untuk melakukan penyempurnaan dari model CPS sehingga model CPS dikenal dengan nama The Osborn-Parnes Creative Problem Solving. Pada tahun 1980, Creative Problem Solving atau Pemecahan Masalah Kreatif mulai diterapkan oleh Utari Munandar di Indonesia. Sebelumnya beliau mengikuti pelatihan Creative Problem Solving

dari tokoh kreativitas Sidney Parnes yang bertempat di University of Buffalo.

Pepkin mengatakan bahwa model Creative Problem Solving adalah suatu model pembelajaraan yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan

Serupa dengan


(34)

keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan keterampilan.13 Siswa akan memperkaya ide-ide dan mengidentifikasi berbagai kemungkinan solusi dari masalah tersebut. Sehingga ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan, siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. Setiap siswa akan diberi kesempatan untuk mencurahkan ide-ide kreatifnya dalam pemevahan suatu masalah.

Model Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada proses pembelajaran pemecahan masalah dilengkapi dengan kreativitas. Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan, siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa dipikir, keterampilan memecahkan masalah memperluas proses berpikir.

Pembelajaran dengan model Creative Problem Solving mengenalkan pada masalah terbuka. Siswa dihadapkan dengan masalah terbuka yang membutuhkan jawaban dengan banyak cara penyelesaian. Variasi dan aneka jawaban tersebut akan memberikan pengalaman siswa dalam memecahkan masalah. Dengan cara ini, diharapkan siswa dapat mengembangkan potensi intelektualitas dan memberikan pengalaman belajar kepada siswa.

Model Creative Problem Solving termasuk dalam model pemecahan masalah yang berpusat pada siswa. Guru hanya berperan sebagai fasilitator dan dinamisator belajar siswa. Sedangkan siswa di arahkan untuk berkretivitas dalam mempelajari materi pelajaran dengan cara mengkonstruksi dan menemukan sendiri materi pelajaran melalui pengalaman langsung. Siswa di arahkan untuk berperan aktif, sehingga diharapkan tujuan pembelajaran akan tercapai.

Terdapat banyak versi CPS yang dikembangkan oleh para ahli. Pada awalnya, Osborn menyatakan bahwa model pembelajaran CPS memiliki tiga tahap, yaitu:

13

Pepkin, Karel L, Creative Problem Solving in Math, dari: http://m2s-

conf.uh.edu/honors/honors-and-the-schools/houston-teachers-institute/curriculum-units/pdfs/2000/articulating-the-creative-experience/pepkin-00-creativity.pdf (8 Februari 2014, pukul 12.38 WIB), h.2.


(35)

17

1) Menemukan fakta, meliputi penggambaran masalah, mengumpulkan dan meneliti data dan informasi yang bersangkutan.

2) Menemukan gagasan, yakni dengan memunculkan dan memodifikasi gagasan dalam rangka pemecahan masalah.

3) Menemukan solusi, merupakan proses evaluatif sebagai puncak dalam mencari solusi akhir.14

Kemudian Osborn bekerja sama dengan Parnes mengembangkan model

Creative Problem Solving yang telah diciptakan Osborn sebelumnya. Tahap-tahap model pemecahan masalah Osborn-Parnes adalah sebagai berikut:

1) Menemukan Situasi (Mess-finding); tahap ini merupakan suatu usaha untuk mengidentifikasi suatu situasi yang disajikan.

2) Menemukan Fakta (Fact-finding); tahap menemukan fakta dilakukan dengan mengidentifikasi semua fakta yang diketahui dan berhubungan dengan situasi yang disajikan. Hal ini bertujuan untuk menemukan informasi yang tidak diketahui tetapi penting untuk dicari.

3) Menemukan Masalah (Problem-finding); tahap menemukan masala, siswa diupayakan agar dapat mengidentifikasi semua kemungkinan pernyataan masalah dan kemudian memilih masalah yang paling penting atau apa yang mendasari masalah.

4) Menemukan Gagasan (Idea-finding); tahap ini merupakan upaya untuk menemukan sejumlah ide atau gagasan yang mungkin dapat digunakan untuk memecahkan masalah.

5) Menemukan Solusi (Solution-finding); pada tahap penemuan solusi, ide dan gagasan yang telah diperoleh pada tahap idea-finding diseleksi untuk menemukan ide paling tepat dalam memecahkan masalah.

6) Menemukan Penerimaan (Acceptance-finding); tahap ini merupakan usaha untuk memperoleh penerimaan atas solusi masalah, menyusun rencana tindakan dan mengimplementasikan solusi tersebut.15

14

Donald J. Traffinger, Scott G. Isaksen, & K. Brian Dorval, Creative Problem Solving (CPS Version 6.1 TM) A Contemporary Framework for Managing Change. Center for Creative Learning, Inc. and Creative Problem Solving Group, Inc. 2010, h. 2


(36)

Tetapi Gary Davis dalam Creativity is Forever menyatakan bahwa biasanya tahapan CPS menurut Osborn-Parnes disajikan dalam lima langkah, yaitu fact-finding, problem-fact-finding, idea-fact-finding, solution-finding dan acceptance-finding.

Gambar 2.3 Skema Creative Problem Solving Osborn-Parnes

Sementara Roger Von Oech menyatakan bahwa proses pemecahan masalah secara kreatif senantiasa melalui dua fase, yaitu fase imaginatif dan fase pelaksanaan. Pada fase imaginatif, gagasan mengenai pemecahan masalah dimunculkan, sedangkan pada fase pelaksanaan, gagasan tersebut kemudian dievaluasi dan diimplementasikan.16

Pendapat lain dikemukakan oleh Pepkin yang menjelaskan terdapat empat tahap dalam model pembelajaran CPS. Tahapan model CPS menurut Pepkin ini merupakan hasil gabungan dari prosedur Osborn dan Van Oech. Adapun tahapannya sebagai berikut:

1) Clarification Of The Problem (Klarifikasi Masalah)

Klarifikasi masalah meliputi pemberian penjelasan kepada siswa agar siswa dapat memahami tentang penyelesaian apa yang diminta dari suatu masalah yang disajikan. Dari penjelasan guru, siswa berusaha untuk menemukan dan memahami situasi dan kondisi dari suatu permasalahan.

2) Brainstorming (Curah Gagasan)

Pada tahap ini siswa dibebaskan untuk mengungkapkan pendapat tentang berbagai macam strategi penyelesaian masalah. Dari setiap ide yang diungkapkan, siswa mampu untuk memberikan alasan.

3) Evaluation/Selection (Evaluasi dan Pemilihan)

15

William E. Mitchell dan Thomas F. Kowalik, Creative Problem Solving, (Genigraphics Inc: 1999), cet ke-3, h. 4

16

Karen L. Pepkin, Creative Problem Solving in Math, 2013, h.2,

(www.uh.edu/honors/honors-and-the-schools/houston-teachers-institute/curriculum-units/pdfs/2000/articulating-the-creative-experience/pepkin-00-creativity.pdf)

fact-finding

problem-finding

idea-finding

solution-finding

acceptanc e-finding


(37)

19

Pada tahap evaluasi dan pemilihan ini, setiap kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi-strategi mana yang cocok untuk menyelesaikan masalah.

4) Implementation (Implementasi)

Pada tahap ini siswa menentukan strategi mana yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian menerapkannya sampai menemukan penyelesaian dari masalah tersebut.17

Sedangkan Treffinger, Isaksen dan Dorval mengemukakan terdapat tiga komponen utama yang terdiri dari enam langkah dalam proses Creative Problem Solving sebagai berikut:

1) Tahap Memahami Masalah (Understanding Challenge)

Pada tahap ini siswa dituntut untuk bekerja sesuai dengan tujuan, mengajukan pertanyaan yang tepat atau menyatakan masalah dengan cara yang akan membantu untuk menemukan beberapa jawaban yang efektif.

Berikut langkah-langkah pada tahap memahami masalah:

a) Menciptakan kemungkinan, yaitu dalam mengidentifikasi dan memilih tujuan umum, tantangan atau kesempatan dalam memecahkan masalah. b) Mengembangkan data, yaitu menemukan beberapa kemungkinan masalah

yang timbul dan memilih sebuah masalah yang difokuskan untuk diselesaikan.

2) Tahap Menciptakan Ide (Generating Ideas)

Jika masalah yang harus diselesaikan sudah jelas, perlu untuk menghasilkan ide-ide yang memiliki kemungkinan sebagai solusi pemecahan masalah. Pada tahap ini siswa diharapkan menghasilkan banyak ide-ide baru dan tidak biasa atau bervariasi untuk menanggapi masalah, kemudian mengidentifikasi kemungkinan ide yang paling baik untuk dijadikan solusi.

3) Tahap Merencanakan Penyelesaian (Preparing for Action)

Pada tahap ini siswa perlu menganalisis, memperbaiki atau mengembangkan ide-ide yang diciptakan agar menjadi solusi yang berguna. Tahap ini terdiri dari dua langkah, yaitu:

17


(38)

a) Membangun solusi, yaitu mengkaji ide-ide yang paling mungkin untuk dijadikan solusi dan membentuk ide-ide tersebut me8njadi solusi potensial.

b) Membangun penerimaan, yaitu mengeksplorasi solusi yang sudah didapatkan dengan mencari sumber lainnya yang mendukung kemudian menyusun rencana tindakan, memantau tindakan, merevisi seperlunya dan mengimplementasikan solusi tersebut.18

Tahapan-tahapan CPS yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gabungan antara tahapan-tahapan CPS yang telah dipaparkan diatas, yaitu:

a) Menemukan informasi

Tahap ini merupakan tahapan dimana siswa menemukan atau mengidentifikasi fakta-fakta atau informasi yang berkaitan dengan masalah yang akan dihadapi. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui informasi yang tidak diketahui tetapi penting untuk dicari.

b) Menemukan masalah

Pada tahap ini, siswa diharapkan mampu untuk menemukan masalah apa yang sedang dihadapi, sehingga siswa dapat menyelesaikan masalah sesuai dengan tujuan. Tahap ini juga mengharapkan siswa agar lebih fokus terhadap masalah apa yang ingin diselesaikan. Sehingga siswa memperkirakan bagaimana cara menyesaikan masalah tersebut.

c) Menemukan ide

Pada tahap ini, siswa akan berupaya untuk menemukan sejumlah ide atau gagasan yang mungkin dapat digunakan untuk memecahkan masalah.

d) Menemukan solusi

Pada tahap penemuan solusi, ide dan gagasan yang telah diperoleh pada tahap menemukan ide diseleksi untuk menemukan ide paling tepat dalam memecahkan masalah.

18

Donald J. Treffinger, Scott G. Isaksen dan K. Brian Stead-Dorval. Creative Problem


(39)

21

e) Menemukan penerimaan

Tahap ini merupakan tahap dimana siswa melakukan usaha untuk memperoleh penerimaan atas solusi masalah. Kemudian siswa akan menyusun rencana tindakan dan mengimplementasikan solusi tersebut.

3. Model Konvensional

Model pembelajaran konvensional merupakan salah satu model pembelajaran yang masih berlaku dan banyak digunakan oleh guru-guru di sekolah. Pembelajaran konvensional yang dilaksanakan di sekolah tempat dilaksanakan penelitian ini adalah pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran ekspositori. Menurut Sanjaya, “Pembelajaran ekspositori adalah pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal.”19

Dalam pembelajaran ekspositori, materi pelajaran yang disampaikan merupakan materi pelajaran yang sudah jadi seperti fakta atau konsep tertentu sehingga tidak menuntut siswa untuk mengkonstruk pikirannya dan tidak menuntut siswa untuk berpikir ulang. Sehingga pembelajaran seperti ini lebih mengutamakan hafalan dari pada pemahaman dan lebih mengutamakan hasil dari pada proses.

Pembelajaran ekspositori merupakan pembelajaran yang terpusat kepada guru, tetapi dominasi guru dalan pembelajaran ini masih lebih sedikit dibandingkan dengan metode ceramah. Guru tidak terus menerus bicara, melainkan hanya pada awal pelajaran, saat menerangkan materi dan contoh soal dan pada waktu-waktu yang diperlukan saja. murid mengerjakan latihan soal sendiri, mungkin juga saling bertanya dan mengerjakan bersama temannya, atau disuruh membuatnya di papan tulis.

Dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika, pembelajaran ini cenderung menekankan kepada hafalan siswa terhadap rumus-rumus yang

19

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta Kencana 2010), h.179


(40)

diberikan karena guru akan memberikan rumus-rumus kepada siswa bukan melatih siswa untuk mencari tahu dari mana rumus tersebut berasal. Hal ini berakibat pada penguasaan siswa terhadap konsep matematika cenderung bersumber dari hafalan bukan pemahaman.

Langkah-langkah pembelajaran ekspositori dapat dirinci sebagai berikut: a) Persiapan, dalam tahap ini berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk

menerima pelajaran.

b) Penyajian, dalam tahap ini guru menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan. Guru berusaha semaksimal mungkin agar materi pelajaran dapat dengan mudah ditangkap dan dipahami oleh siswa. c) Korelasi, dalam tahap ini guru menghubungkan materi pelajaran dengan

pengalaman siswa untuk memberikan makna terhadap materi pembelajaran. d) Menyimpulkan, adalah tahapan memahami inti dari materi pembelajaran yang

disajikan.

e) Mengaplikasikan, merupakan tahapan unjuk kemampuan siswa setelah menyimak penjelasan dari guru. 20

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai referensi penelitian terkait dengan implementasi Creative Problem Solving untuk meningkatkan kemampuan penalaran analogi matematik siswa adalah sebagai berikut:

1. Penelitian I Nym. Budiana, Dw. Nym. Sudana dan Ign. I Wyn. Suwatra tentang pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)

terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran IPA siswa kelas V SD. Temuan penelitian ini, melaporkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang dibelajarkan dengan model CPS lebih baik daripada siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional pada mata pelajaran IPA kelas V di SD Negeri Gugus VI Kecamatan Bajarangkan Kabupaten Klungkung tahun pelajaran 2012/2913. Hal ini ditunjukkan oleh , , dan

20


(41)

23

didukung oleh perbedaan skor rata-rata yang dicapai oleh kelompok siswa yang belajar menggunakan model CPS lebih tinggi jika dibandingkan dengan skor rata-rata yang dicapai oleh kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional .

2. Penelitian Kadir dan Siti Mariam Juwaeni Ulfah tentang pengaruh penerapan strategi pemecahan masalah “look for a pattern” terhadap kemampuan penalaran analogi matematik siswa SMP yang mengemukakan bahwa kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang diajar dengan strategi pemecahan masalah look for a pattern lebih tinggi dari pada siswa yang diajar dengan strategi konvensional. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata hasil tes kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang diajar dengan strategi pemecahan masalah look for a pattern adalah sebesar 62,10 dan nilai rata-rata hasil tes kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang diajar dengan strategi konvensional adalah sebesar 36,83 (thitung = 4,32 dan ttabel = 2,00).

C. Kerangka Berpikir

Salah satu ciri khusus matematika adalah sifatnya yang menekankan pada proses deduktif yang memerlukan penalaran logis dan aksiomatik. Demikian pula matematika sebagai proses yang aktif, dinamik dan generative. Melalui kegiatan matematik (doing math) memberikan sumbangan yang penting kepada siswa dalam pengembangan nalar, berpikir logis, sistematis, kritis, cermat dan bersikap obyektif serta terbuka dalam menghadapi permasalahan.

Secara empirik ditemukan bahwa siswa sekolah menengah mengalami kesukaran dalam menggunakan strategi dan kekonsistenan penalaran logika. Hal ini terlihat dari hasil observasi peneliti yang menunjukkan bahwa kemampuan penalaran analogi matematik siswa di salah satu sekolah menengah atas di daerah Jakarta Selatan, yakni SMA Negeri 66 Jakarta masih tergolong rendah. Siswa mendapat kesulitan ketika dihadapkan pada soal-soal matematika yang berbentuk tes penalaran khususnya tes penalaran analogi. Dari hasil observasi yang peneliti lakukan, hampir 95% siswa yang tidak memenuhi KKM. Siswa masih belum mampu menyelesaikan soal-soal yang berbeda dengan contoh yang telah


(42)

diberikan. Selama ini siswa hanya menghafal rumus, mencatat contoh soal tanpa berlatih mengerjakan soal-soal yang bervariasi. Hal ini menyebabkan siswa kurang berpikir kreatif dan kemampuan penalaran analogi matematiknya kurang berkembang.

Sedangkan dari hasil wawancara dengan guru, guru mengasumsikan bahwa terdapat sekitar 15% siswa yang tergolong memiliki kemampuan analogi matematik tinggi. Dari hasil tes penalaran analogi yang peneliti lakukan diperoleh hanya sekitar 8,5% siswa yang memiliki kemampuan penalaran analogi matematik tinggi. Guru mengakui bahwa kemampuan penalaran analogi merupakan suatu aspek yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Oleh karena itu, beliau menyatakan bahwa kemampuan penalaran analogi perlu ditingkatkan dengan cara menggunakan model pembelajaran yang beragam. Karena selama ini guru sudah menggunakan beberapa model pembelajaran namun dirasa kurang untuk meningkatkan kemampuan penalaran analogi matematik siswa.

Analogi dapat membantu siswa memahami materi melalui perbandingan dengan materi lain dengan cara mencari keserupaan sifat diantara materi yang dibandingkan. Penalaran analogi pun sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kemampuan penalaran analogi matematik siswa sangat penting untuk dikembangkan.

Dalam proses pembelajaran yang sangat perlu mendapat perhatian oleh guru adalah sumbang saran (brainstorming) siswa dalam memecahkan masalah. Oleh karena itu, guru memegang peranan penting dalam proses pembelajaran di kelas. Guru harus mampu mengundang pemikiran dan daya kreasi siswanya. Guru harus mampu merancang dan melaksanakan kegiatan belajar bermakna dan dapat mengelola sumber belajar yang diperlukan. Di sisi lain, siswa harus terlibat dalam proses belajar, mereka dilatih untuk menjelajah, mencari, mempertanyakan sesuatu, menyelidiki jawaban atas pertanyaan, mengelola dan menyampaikan hasil perolehannya secara komunikatif. Mereka dibimbing agar mampu menentukan kebutuhannya, menganalisis informasi yang diterima, serta menyeleksi dan memberi arti pada informasi baru.


(43)

25

Selama ini pembelajaran matematika di kelas masih banyak yang menekankan pemahaman tanpa melibatkan kemampuan penalaran analogi matematik siswa. Padahal, dalam pembelajaran matematika bukanlah hanya mentransfer ide atau gagasan dan pengetahuan dari guru kepada siswa. Lebih dari itu, proses pembelajaran matematika merupakan suatu proses yang dinamis, dimana guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengamati dan memikirkan gagasan-gagasan yang diberikan. Oleh karena itu, guru harus memfasilitasi siswanya sedemikian sehingga mereka dapat mengaitkan pengetahuan yang sudah mereka miliki dengan pengetahuan yang baru agar proses pembelajaran dirasa lebih bermakna. Keterhubungan antara pengetahuan lama dan baru ini akan memudahkan siswa dalam belajar matematika.

Model pembelajaran Creative Problem Solving memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif dalam proses pemecahan masalah. Pada dasarnya model CPS merupakan sebuah proses pembelajaran yang menuntun siswa untuk membangun pengetahuannya. Proses pembelajaran dengan model CPS yang diawali dengan tahap menemukan informasi yang bertujuan untuk mngidentifikasi masalah. Siswa diberikan suatu ilustrasi soal kemudian siswa mengamati masalah yang terdapat pada ilustrasi soal yang diberikan, kemudian menuliskan apa saja informasi yang terdapat pada ilustrasi soal tersebut. Pada tahap ini, diharapkan siswa dapat bernalar analog dengan cara mengaitkan kesamaan antara pengetahuan yang sudah dimiliki dengan masalah yang dihadapi. Tahapan yang kedua yaitu menemukan masalah. Pada tahapan ini siswa diminta untuk menemukan permasalahan pada ilustrasi yang telah diberikan. Pada tahap ini, siswa diharapkan dapat mengaitkan informasi-informasi yang terdapat di dalam soal, sehingga siswa paham betul apa permasalahan yang akan dihadapi. Tahap selanjutnya yaitu menemukan gagasan. Pada tahap ini siswa diminta untuk menemukan gagasan atau ide yang terdapat pada ilustrasi yang telah diberikan. Siswa dapat bernalar analog untuk mengaitkan permasalahan yang sedang dihadapi menjadi sebuah ide matematis pada tahapan ini. Tahap berikutnya yaitu menemukan solusi. Pada tahap ini siswa menyelesaikan masalah yang diberikan dengan tahap-tahap yang jelas dan terperinci. Tahap terakhir yaitu menemukan


(44)

penerimaan. Tahapan ini bertujuan untuk melakukan pengecekan ulang terhadap solusi-solusi yang telah siswa temukan pada tahapan sebelumnya.

Uraian tersebut dapat direpresentasikan melalui bagan berikut:

Gambar 2.4 Peta Konsep Kerangka Berpikir

Meningkatnya Kemampuan Penalaran Analogi

Matematik Siswa Meningkat Penalaran

Analogi Matematik Siswa

Rendah Masalah

Ditingkat-kan dengan

Menemukan Informasi

Menemukan Masalah

Menemukan Gagasan

Menemukan Solusi

Menemukan Penerimaan Model


(45)

27

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan deskripsi teoritik yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: “Kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Creative Problem Solving lebih tinggi daripada kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan model pembelajaran konvensional.”


(46)

28 A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 66 Jakarta yang beralamat di Jalan Bango III, Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan. Penelitian berlangsung pada semester ganjil tahun ajaran 2014/2015 yaitu pada bulan November 2014.

B. Metode dan Desain Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel bebas dan varibel terikat. Variabel terikatnya adalah kemampuan penalaran analogi matematik siswa, dan variabel bebasnya adalah model pembelajaran Creative Problem Solving.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian quasi eksperimen. Metode ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen.1

Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen dengan menerapkan model Creative Problem Solving (CPS) dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan penalaran analogi matematik siswa melalui hasil belajar siswa, kemudian membandingkan hasil belajar matematika siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan model Creative Problem Solving (kelompok eksperimen) dengan siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan model konvensional (kelompok kontrol).

Desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk

two group randomized subject posttest only artinya pengkontrolan secara

1

Sugiyono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D), (Bandung: Alfabeta, 2008), h.114


(47)

29

acak dengan tes hanya diakhir perlakuan. Desain Penelitian tersebut dinyatakan sebagai berikut.2:

Tabel 3.1 Rancangan Penelitian

Keterangan : R : Random

X1: Perlakuan dengan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)

X2 : Perlakuan dengan model pembelajaran konvensional

Y1: Hasil post-test kelompok eksperimen

Y2 : Hasil post-test kelompok kontrol

C. Populasi dan Sampel

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.3 Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X MIA SMA Negeri 66 Jakarta. Teknik pengambilan sampel yaitu Cluster Random Sampling, yaitu pengambilan anggota sampel dari populasi yang dilakukan dengan merandom kelas. Teknik ini mengambil dua kelas dari tiga kelas yang tersedia yaitu X MIA 1, X MIA 2, dan X MIA 3. Kemudian dari kedua kelas tersebut diundi untuk menentukan kelas yang akan dijadikan

2

Ibid., h.112. 3

Ibid., h. 117.

Group Variabel

Terikat Postest

(R) Eksperimen X1 Y1


(48)

sebagai kelas eksperimen dan kontrol, maka terpilih kelas X MIA 1 dengan jumlah 34 orang sebagai kelas kontrol yaitu siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional, sedangkan X MIA 3 dengan jumlah siswa 34 orang sebagai kelas eksperimen yang belajar menggunakan model

Creative Problem Solving (CPS).

D. Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah skor tes kemampuan penalaran analogi matematik siswa. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik tes, yaitu tes kemampuan penalaran analogi matematik. Tes kemampuan penalaran analogi matematik diberikan kepada kelas eksperimen yaitu kelas X MIA 3 yang diterapkan dengan model pembelajaran CPS dan kelas Kontrol yaitu kelas X MIA 1 yang diterapkan dengan model konvensional. Tes kemampuan penalaran analogi matematik yang diberikan terdiri dari 8 butir soal berbentuk pilihan ganda beralasan dengan pokok bahasan Barisan dan Deret.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal tes untuk mengukur kemampuan penalaran analogi matematik berupa soal-soal uraian sebanyak 10 butir soal yang diberikan dalam bentuk post-test. Instrument tes ini diberikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol pada pokok bahasan Barisan dan Deret, dimana tes yang diberikan kepada kedua kelas tersebut adalah sama.

Adapun indikator yang akan diukur melalui tes uraian akan dijelaskan sebagaimana terdapat pada Tabel 3.2 berikut ini:


(49)

31

Tabel 3.2

Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa

Kompetensi Dasar :

3.8 Memprediksi pola barisan dan deret aritmetika dan geometri atau barisan lainnya melalui pengamatan dan memberikan alasannya.

Indikator Soal No.

Soal

Jumlah Soal

Memberikan kesimpulan dari dua hal yang berbeda berdasarkan keserupaan data atau proses (analogi) dari pola barisan bilangan.

1, 2 2

Memberikan kesimpulan dari dua hal yang berbeda berdasarkan keserupaan data atau proses (analogi) dari barisan aritmatika atau barisan geometri.

3 1

Memberikan kesimpulan dari dua hal yang berbeda berdasarkan keserupaan data atau proses (analogi) dari suku ke-n barisan aritmatika atau barisan geometri.

4 1

Memberikan sebuah kesimpulan dari dua hal yang berbeda berdasarkan keserupaan data atau proses (analogi) dari jumlah n suku pertama deret aritmatika atau deret geometri.

5, 6 2

Memberikan kesimpulan dari dua hal yang berbeda berdasarkan keserupaan data atau proses (analogi) dari sifat-sifat pada barisan untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan barisan bilangan atau deret bilangan.

7, 8 2


(50)

Untuk memperoleh data kemampuan penalaran analogi matematik siswa, diperlukan penilaian terhadap jawaban siswa untuk tiap butir soal. Kriteria penilaian dan indikator kemampuan penalaran analogi matematik yang digunakan diadaptasi dari penelitian yangdilakukan oleh Samsul Ma’arif,4seperti pada tabel 3.3 berikut ini:.

Tabel 3.3 Kriteria Penilaian Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Analogi Matematik

Skor Kriteria

4 Dapat menjawab semua aspek pertanyaan tentang analogi dan dijawab dengan benar dan jelas atau lengkap

3 Dapat menjawab hampir semua aspek pertanyaan tentang analogi dan dijawab dengan benar

2 Dapat menjawab hanya sebagian aspek pertanyaan tentang analogi dan dijawab dengan benar

1 Menjawab tidak sesuai atas aspek pertanyaan tentang analogi atau menarik kesimpulan salah

0 Tidak ada jawaban

Nilai Akhir = x SkorIdeal(100)

Skor Total

Skor Perolehan

F. Analisis Instrumen

Instrumen terlebih dahulu di uji cobakan sebelum digunakan sehingga di dapatkan instrumen yang layak atau tidak layak pakai. Uji coba ini

4

Samsul Maarif, “Meningkatkan Kemampuan analogi dan Generalisasi Matematis

Siswa SMP Menggunakan Pembelajaran Dengan Metode Discovery”, Tesis Universitas


(51)

33

dimaksudkan untuk memperoleh validitas, reliabilitas instrumen, daya pembeda, dan tingkat kesukaran.

1. Validitas Instrumen

Tes yang digunakan dalam penelitian perlu dilakukan uji validitas agar ketetapan alat penilaian terhadap konsep yang dinilai sesuai, sehingga betul-betul menilai apa yang seharusnya dinilai. Sebelum dilakukan uji coba instrumen tes penelitian ke siswa, terlebih dahulu peneliti melakukan penilaian instrumen tes penalaran analogi matematik siswa yaitu dengan memberikan form penilaian instrumen tes penelitian kepada 5 guru SMA Negeri 66 Jakarta, 3 guru matematika SMA Negeri 49 Jakarta, dan 2 guru matematika SMA Negeri 97 Jakarta.

Penilaian instrumen tes oleh para ahli dimaksudkan untuk memperoleh uji validitas isi instrumen tes kemampuan penalaran analogi matematik dengan menggunakan metode CVR (Content Validity Ratio). Rumus CVR yang digunakan adalah sebagai berikut: 5

2 N

) 2 N n ( = CVR e 

Keterangan:

CVR : Konten validitas rasio (Content Validity Ratio)

e

n : Jumlah penilai yang menyatakan item soal esensial N : Jumlah penilai

Validitas isi dengan metode CVR dilakukan pada tiap item soal. Jika nilai CVR tidak memenuhi signifikansi statistik yang ditentukan dari tabel nilai minimum CVR yang disajikan lawshe maka item soal tersebut tidak valid dan

5

C. H Lawshe, A quantitative approach to content validity, By Personnel


(52)

akan dihilangkan atau dieliminasi. Berikut akan disajikan dalam table nilai minimal dari CVR.6

Tabel 3.4 Nilai Minimal CVR

Jumlah Panelis Nilai Minimal CVR

5 0,99

6 0,99

7 0,99

8 0,78

9 0,75

10 0,62

11 0,59

12 0,56

13 0,54

14 0,51

15 0,49

20 0,42

25 0,37

30 0,33

35 0,31

40 0,29

Berdasarkan hasil perhitungan dari 10 butir soal diperoleh 10 butir soal valid. Perhitungan lengkap dapat dilihat pada lampiran.

Setelah dilakukan uji validitas isi dengan metode CVR, peneliti melakukan uji coba instrumen tes penelitian kepada 36 siswa menggunakan 10 butir soal yang memenuhi signifikasi statistik dari nilai minimum CVR, kemudian

6

C. H Lawshe, A quantitative approach to content validity, By Personnel Psychology, INC,


(53)

35

dilakukan uji validitas butir soal atau validitas item pada hasil tes kemampuan penalaran analogi matematik siswa tersebut dengan menggunakan korelasi Product Moment Pearson sebagai berikut:7

∑ ∑ ∑

√ ∑

Keterangan :

N : Jumlah responden X : Skor item

Y : Skor total

Setelah diperoleh harga , kita lakukan pengujian validitas dengan mambandingkan harga dan product moment, dengan terlebih dahulu menetapkan degrees of freedomnya atau derajat kebebasannya, dengan rumus df = n-2. Dengan diperolehnya df atau db, maka dapat dicari harga product moment pada taraf signifikansi 5%. Kriteria pengujiannya adalah jika , maka soal tersebut valid dan jika

maka soal tersebut tidak valid. Berdasarkan hasil perhitungan

validitas dari 10 butir soal diperoleh 8 butir soal tersebut valid yaitu soal no 1, 2, 4, 5, 7, 8, 9 dan 10.

2. Reliabilitas Instrumen

Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui keterpercayaan hasil tes. Suatu tes dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap. Adapun rumus yang digunakan

7

Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 87.


(54)

untuk mengukur reliabilitas suatu tes yang berbentuk uraian adalah dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach8 :

Dimana:

= reabilitas yang dicari

n = banyaknya butir soal (yang valid)

∑ = jumlah varians skor tiap-tiap item = varians total

Kriteria koefisien reliabilitas adalah sebagai berikut: 0,80 < ≤ 1,00 Derajat reliabilitas sangat baik 0,60 < ≤ 0,80 Derajat reliabilitas baik 0,40 < ≤ 0,60 Derajat reliabilitas cukup 0,20 < ≤ 0,40 Derajat reliabilitas rendah

0,00 < ≤ 0,20 Derajat reliabilitas sangat rendah

Berdasarkan hasil perhitungan reabilitas instrument, diperoleh nilai 0,552. Jika dilihat dari kriteria reabilitas, maka dapat disimpulkan bahwa instrument penelitian memiliki reabilitas yang cukup.

3. Taraf Kesukaran dan Daya Pembeda

Uji taraf kesukaran digunakan untuk mengetahui soal-soal yang sukar, sedang dan mudah. Bilangan yang menunjukkan sukar, sedang dan mudahnya suatu soal disebut indeks kesukaran.9 Uji taraf kesukaran instrumen penelitian dihitung dengan menghitung indeks besarannya dengan rumus :

8

Ibid, h. 122. 9


(55)

37

Dimana:

P = Indeks Kesukaran

B = Jumlah skor yang diperoleh responden pada item ke-i

JS =Jumlah skor maksimum item soal ke-i

Menurut ketentuan yang sering diikuti, indeks kesukaran sering diklasifikasikan sebagai berikut:10

0,00 < P ≤ 0,30 : soal sukar 0,30 < P ≤ 0,70 : soal sedang 0,70 < P ≤ 1,00 : soal mudah

Berdasarkan hasil perhitungan tingkat kesukaran, dari 8 butir soal yang valid, diperoleh hasil 8 butir soal tergolong dalam kategori soal sukar. Pengujian daya pembeda soal digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu soal dalam membedakan antara peserta tes yang berkemampuan tinggi dengan peserta tes yang berkemampuan rendah.11 Rumus yang digunakan untuk pengujian daya pembeda adalah sebagai berikut:

Dimana:

= Indeks daya pembeda suatu butir soal

= Banyaknya siswa kelompok atas yang menjawab benar = Banyaknya siswa kelompok bawah yang menjawab benar = Banyak siswa pada kelompok atas

= Banyak siswa pada kelompok bawah

Tolok ukur untuk menginterpretaikan daya pembeda tiap butir soal digunakan kriteria sebagai berikut :12

10

Ibid, h. 225. 11

Ibid, h. 226. 12


(56)

D = 0,00 : sangat jelek 0,00 < DP ≤ 0,20 : jelek

0,20 < DP ≤ 0,40 : cukup 0,40 < DP ≤ 0,70 : baik 0,70 < DP ≤ 1,00 : baik sekali

Berdasarkan hasil perhitungan daya pembeda soal, dari 8 butir soal valid yang diujikan, 1 soal dikategorikan “cukup”, dan 7 soal dikategorikan “jelek”.

Tabel 3.5

Rekapitulasi Analisis Butir Soal No.

Soal Validitas

Taraf

Kesukaran Daya Pembeda Keterangan

1 Valid Sukar Cukup Digunakan

2 Valid Sukar Buruk Digunakan

3 Tidak Valid - - Tidak Digunakan

4 Valid Sukar Buruk Digunakan

5 Valid Sukar Buruk Digunakan

6 Tidak Valid - - Tidak Digunakan

7 Valid Sukar Buruk Diperbaiki

8 Valid Sukar Buruk Digunakan

9 Valid Sukar Buruk Digunakan

10 Valid Sukar Buruk Digunakan

Reliabilitas 0,552

Berdasarkan kesimpulan hasil uji validitas tersebut penulis memutuskan hanya 8 butir soal yang akan digunakan dalam tes yang akan dilakukan di kelas eksperimen dan kontrol pada akhir penelitian yaitu butir soal nomor 1, 2, 4, 5, 7, 8, 9, dan 10.

Terdapat 7 soal yang penulis perbaiki pada butir soal nomor 2, 4, 5 , 7, 8, 9 dan 10. Pada semua soal tersebut penulis memperbaiki redaksi perintah dalam soal serta menambahkan informasi tambahan dalam soal yang diharapkan tingkat


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)