Kehidupan Para Geisha Di Zaman Showa.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah 1.2Pembatasan Masalah 1.3Tujuan Penelitian
1.4Metodologi Penelitian dan Pendekatan 1.5Organisasi Penulisan
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian dan Sejarah Geisha 2.2 Pengertian Feminisme
2.3 Feminisme Marxis
BAB III ANALISIS
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA
(2)
序論
日 い い 文化 特徴 あ 例え 美術や祭
文化 あ
日 世紀 芸者 いう 始 芸者 踊
歌 茶屋 客 慰 知
い
芸者 男性 慰 世話 人 考え い 人 多
い 実 芸者 いう 芸術家 男性 前 踊 歌
男性 慰 人 あ
芸者
料亭や旅館 酒席 舞い踊
音曲 芸 酌 客 楽 職業
女性
類語例辞典: -
論文 筆者 昭和時代 芸者 い マルクシス女性解 論
観点 通 析 マルクシス女性解 論 理論 芸者思考形
式 関連
女性解 論 治 経済 社会 面 い 男性 女性 等
権利 持 い いう理論 あ 意味 女性 権利 生活
く 闘う組織的 動 あ
(3)
マルクシス女性解 論 男性 女性 生活 べ 搾
根 原 因 資 主 義 あ 男 性 女 性 社 会 的 関 係
金 ジェンダー 関係 悪化 い いう あ
(4)
論
芸者 茶屋 伝統的 日 芸術 客 見 女性 芸能人
あ 芸者 い女 子 踊 歌 演奏
う い い 伝統的 芸術 学ぶ 芸者見習い 舞子
い ぶ 芸者 着 着 い 白く化粧
い
昭和時代 芸者 料金 非常 高く 料金 一人当 ,
円 あ
マルクシス 女性解 論 概念 社会 階
資 主義 いう あ 女性自身 家族
友達 尊敬 いう あ
昭和 西洋人 文化 入
芸者 近代化 生活 近代化 進 国民
芸者 芸術 認 芸者 近代化 女給 名付
カフェ ウェイトレス う
昭和時代 国民 中 芸者 対 人 多 実
際 芸者 生活 選 あ
売春 最 古い職業 称さ
芸 者 履 歴 数 世 紀 後 伸 び 多 く
人々 芸者 う 売春婦 対 日 語 あ
仮定 間 あ 彼 歴史 考慮 さえ
わ い いくぶ ロマンチック 語
(5)
布 多 ニュアンス う 語芸者自体
文学通 芸術 人 意味
(www.japan-zone.com)
伝統 従 芸者 結婚 禁 独身 暮 さ
い 結婚 芸者 辞 い
結婚 く 子供 産
芸者 社会 あ いう儀式 あ あ 処
女式 いう意味 あ 儀式 芸者 処女 競 売 さ 一
番高く買え 男性 芸者 処女
若い女 世紀中頃 彼 家族 芸者生
売 彼 処女性 最 高い入 者 売
あ 儀式 や
(www.japan-zone.com)
芸者 処女 買 男性 言わ
芸者 生活 面倒 見
確立 芸者 後援者 連 行く 一
般的 裕福 男性 時々結婚 い
人 芸者 伝統的 トレーニング 経
費 関連 非常 大 出費 支持 手段 あ
(www.japan-zone.com)
(6)
第 次世界大戦前 芸者 多く 大将 選 大
将 給料 あ 多く 戦争 起 時
大将 職務 権力 あ 芸者 大将 多く選 あ
第 次世界大戦 前 府 花街 置 屋 営業許可
消 戦後 芸者 置 屋 戻 あ
う 芸術 第 次世界大戦 後 根絶さ
芸者職業 安定 低 状態 今
日 芸者 社会 外 個人的 党 楽
雇わ 彼女 最 慣 ベテラン あ う
(www.japan-zone.com)
マルクシス女性解 論 筆者 マルクシス あ
儀式 対 賛成 思う 芸者 あ 儀式
い 選択 余地 あ あ
儀式 あ 芸者 金銭 利益 得 生活
舞子 時 借金 返
時代 芸者 い 女性 悪い人 い 芸者
い 女性 農民 い 女性 給料 多
(7)
結論
マルクシス 女性解 論 社会 階 資 主義
いう あ 各々 階 目標 あ 権
力 階 置 屋 所有者 間接的 芸者 金
搾
筆者 資 主義 関係 い 芸者 対 金 搾
思う 女性 芸者 経済的 理由 あ あ
芸者 女優 いう 多く 入 得
マルクシス 女性解 論 概念 女性自身 家族 友達 尊敬
いう あ 芸者 女性 人々 尊敬さ 必要
あ 親 尊敬さ
マルクシス 女性解 論 概念 考え 芸者 生活
能力 持 い 思う
芸者 ぶ料金 非常 高く 芸者 金 くさ
え あ 第 次世界大戦 後 芸者 高
(8)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Jepang memiliki kekayaan kebudayaan yang turun menurun, ada yang berupa kesenian, perayaan pada tanggal-tanggal tertentu sebagai penghormatan bagi arwah-arwah leluhur serta upacara-upacara untuk menghilangkan hal-hal buruk, sampai kepada kebudayaan yang telah menjadi ciri khas seperti pakaian, makanan, dan lain-lain.
Negara Jepang sejak awal abad-18 telah mengenal seniman yang biasa disebut Geisha, yaitu penghibur atau para pekerja seni yang menyuguhkan berbagai seni tradisional Jepang, seperti: menari, memainkan alat musik, melukis, berdandan, hingga menyajikan teh. Pekerjaan utama Geisha adalah menghibur tamu-tamu yang ada di rumah-rumah minum teh, ataupun tempat perkumpulan aristokrat1 lainnya.
Namun kesan Geisha sebagai sosok penghibur dan pelayan syahwat kaum laki-laki lebih kentara kesannya bila dibandingkan sebagai penari dan penyanyi. Padahal sebenarnya mereka berkiprah sebagai sosok seniman, yaitu menghibur tamu melalui nyanyian dan tarian. (Harian Pikiran Rakyat, Minggu 8 Januari 2006:3) ______________________________________
(9)
“Geisha menghibur dengan cara menyanyi, menari, berbincang-bincang, bermain game, dan meladeni tamu-tamu di rumah makan tertentu.
(Danandjaja, 1997:391)
芸者
げい
料 亭
ょう い
旅館
ょ
の酒席
せ
舞
ま
い踊
音 曲
ょ
の芸
げい
た 酌 客 楽
たの
ませ の 職 業
ょ ょう
女性
ょせい
類語例辞典
い ご い
:503-24
Geisha
Ryõtei ya ryokan nado no shuseki de, maiodoru.
Ongyoku nado no gei wo shitari shaku wo shite kyaku wo tanoshimaseru no wo shokugyo to suru josei.
(Ruigoreijiten: 503-24) Geisha
Menari di tempat makan, penginapan, juga di pesta-pesta. Profesi yang dilakukan para perempuan untuk menghibur tamu sambil berakting, menyanyi serta menuangkan sake.
(Ruigoreijiten: 503-24)
Tidak semua perempuan bisa menjadi Geisha, banyak persyaratan khusus lainnya, juga harus cerdas, dan sebelum menjadi Geisha mereka harus melewati beberapa pendidikan terlebih dahulu. Geisha tidak pernah menikah, bagi para pria Jepang, Geisha berperan sebagai pelengkap istri, para suami mencari hiburan yang tidak mereka dapatkan di rumah dari istrinya tetapi mereka dapatkan dari Geisha.
Para Geisha juga dituntut untuk selalu berpenampilan cantik, bersih, feminin, menarik, bahkan seksi. Banyak hal yang dapat mendefinisikan kata “seksi”, maksudnya adalah Geisha harus seksi dalam berperilaku sehingga orang lain tertarik melihat mereka. Misalnya, dalam hal menuangkan sake, geisha harus melakukan
(10)
dengan gerakan yang tidak terlalu cepat atau tidak terlalu lambat, dan dengan memperlihatkan kulit tangannya sedikit dibalik kimono, maka itu akan menimbulkan kesan seksi namun tidak senonoh.
Peranan Geisha pada zaman Showa kurang lebih sama dengan Geisha pada masa kini, hanya saja pada zaman Showa, Geisha tidak menjadi model seperti yang banyak dijumpai saat ini, seperti model majalah, model kalender, atau lainnya.
Pada zaman Showa, Geisha hanya bertugas untuk menemani tamu-tamu yang ada di Ochaya2. Umumnya tradisi Geisha sejak zaman dulu hingga sekarang tetaplah sama, karena telah terjadi turun-menurunnya kebudayaan dan tradisi yang masih dilestarikan hingga saat ini. Namun hal menarik dari Geisha di zaman Showa adalah mereka menemani para jendral-jendral militer karena sedang berlangsungnya Perang Dunia II, bahkan dari para jendral itu ada yang merupakan danna, yaitu pria yang membiayai seluruh kebutuhan Geisha yang telah dipilihnya.
Sampai saat ini banyak sekali orang-orang yang tidak mengerti apa arti Geisha yang sebenarnya, dan juga tidak mengerti tentang pekerjaan seorang Geisha, sehingga mendorong penulis untuk mengkaji lebih dalam kehidupan Geisha khususnya di zaman Showa.
Pada penelitian kali ini penulis akan menganalisis Geisha zaman Showa melalui sudut pandang feminisme yang beraliran Marxis, penulis akan mengimplementasikan pola pikir Geisha pada teori-teori feminisme khususnya feminisme Marxis.
_____________________________________________ 2. Rumah tempat minum teh.
(11)
Menurut kamus Webster, feminisme adalah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang politik, ekonomi dan sosial atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. (via Djajanegara, 1995:16)
1.2Pembatasan Masalah
Pada penelitian kali ini penulis ingin membatasi ruang lingkup penelitian hanya dengan menganalisis Geisha di zaman Showa melalui tindakan–tindakan yang mereka ambil dalam menghadapi situasi tertentu sehingga pada akhirnya dapat terlihat status sosial mereka di masyarakat, yang dilihat dari sudut pandang feminisme yang beraliran Marxis.
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah untuk melihat permasalahan yang mengupas tentang kehidupan Geisha khususnya pada zaman Showa melalui sudut pandang feminisme Marxis dengan menelaah tindakan-tindakan yang diambil oleh Geisha dalam mengambil langkah-langkah keputusan saat menghadapi situasi tertentu untuk meneruskan perjalanan hidupnya.
1.4Metode Penelitian dan Pendekatan
Pada penelitian ini penulis akan menggunakan metodologi penelitian yang menggunakan pendekatan feminisme, yaitu kajian yang mengungkapkan citra wanita
(12)
sebagai pusat penelitian, dengan cara menguji sebuah kasus dari sudut pandang perempuan.
Feminisme sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu femina yang artinya memiliki sifat kewanitaan.
Feminisme adalah sekumpulan koleksi tentang teori sosial, gerakan politik, dan filosofi moral, sebagian besar termotivasi karena perduli akan pengalaman wanita, terutama dalam situasi sosial, politik, dan ekonomi. Sebagai gerakan sosial, feminisme sebagian besar fokus dalam bidang kesetaraan gender, serta mengkampanyekan hak-hak wanita yang menindas wanita karena ketidaksetaraan gender.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh J.S Badudu dan Sutan Mohammad Zain (1994:), feminisme mengandung arti gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum pria dan wanita.
Sedangkan menurut kamus Webster (via Djajanegara, 1995:20), feminisme adalah teori tentang persamaan antara pria dan wanita di bidang politik, ekonomi, sosial, atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita.
Pendekatan feminisme sendiri merupakan cara baru para feminis, mereka berusaha untuk mendapatkan hak yang sama dalam mengungkapkan makna-makna baru, mendapatkan hak untuk menentukan ciri-ciri apa saja yang terdapat dalam suatu masalah dengan pandangan baru.
Masalah feminisme di dunia Barat sudah dimulai sejak akhir 1800-an, yang diprakarsai oleh para feminis Inggris dan menyebar ke negara-negara sekitarnya,
(13)
hingga ke Amerika. Di Amerika Serikat kajian wanita muncul sebagai akibat gerakan pembebasan wanita di awal tahun 1960-an. Di Jepang sendiri feminisme dimulai saat Restorasi Meiji pada tahun 1868, tetapi baru mencuat setelah berakhirnya Perang Dunia II yang menyebabkan standar hidup meningkat dan terjadi perubahan besar-besaran dalam segala bidang seperti misalnya: pendidikan, perbaikan dalam kesejahteraan kehidupan wanita, dan perbaikan gizi wanita. Kesejajaran ini pada gilirannya menawarkan berbagai peluang kepada wanita, seperti kemandirian mental, sosial, dan ekonomi, tujuan inilah yang pada dasarnya ingin dicapai gerakan wanita. (Djajanegara, 1995)
Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet yang merupakan pemenang Wanita Edukasi, menyatakan bahwa feminisme sebagai filosofi dan juga gerakan sosial akan sangat berguna sebagai pencerahan bagi wanita. Teori sosial wanita disinggung pertama kali di Middelburg, kota di bagian selatan Belanda. Feminisme dijadikan sebagai gerakan organisasi dimulai pada abad ke 19, diiringi dengan berkembangnya orang-orang yang mempercayai bahwa wanita telah diperlakukan secara tidak adil. Gerakan feminisme ini melakukan pertemuan pertama di Seneca Falls, New York, pada tahun 1848 yang membahas tentang hak-hak wanita.
Ada berbagai jenis aliran feminisme di dunia namun pada dasarnya mereka berpegang pada acuan yang sama, yaitu untuk mendapatkan kesetaraan antara kaum pria dan wanita. Keragaman aliran feminisme itu adalah: Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Sosialis, Feminisme Marxis, Feminisme Psikoanalisis dan Gender, Feminisme Eksistensialis, Feminisme Multikultural dan Global, serta Ekofeminisme.
(14)
Inti dari semua teori feminisme adalah bahwa pria dan wanita harus sama derajatnya dalam bidang politik, ekonomi dan juga sosial. Secara tidak langsung seseorang dapat menjadi feminis apabila dia meyakini bahwa pria dan wanita harus sejajar posisinya dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial sehingga dia mencari ide-ide agar persamaan derajat itu terwujud.
Walaupun kebanyakan pemimpin feminisme adalah wanita, tidak semua feminis adalah wanita. Sebagian besar feminis percaya bahwa pria tidak diperkenankan untuk menduduki posisi dalam gerakan ini, karena pria akan melaksanakan kepemimpinan dengan semena-mena sehingga pada akhirnya akan membuat para wanita tertekan, tetapi sebagian feminis juga mempercayai bahwa pria bisa diterima menjadi salah satu pemimpin mereka mengacu pada teori kemanusiaan.
(15)
1.5Organisasi Penulisan
Penulisan skripsi ini terbagi menjadi lima bab dan di dalam setiap bab-nya terdapat beberapa sub bab. Bab satu adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian dan yang meliputi pendekatan yang digunakan untuk menganalisis masalah, serta organisasi penulisan.
Bab dua merupakan landasan teori yang berisi tentang teori-teori dari feminisme Marxis.
Bab tiga merupakan landasan teori yang membahas tentang Geisha.
Bab empat merupakan Analisis Kehidupan Geisha di zaman Showa melalui sudut pandang Feminisme Marxis.
(16)
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan fakta-fakta yang telah penulis dapatkan untuk mendukung penelitian skripsi tentang “Kehidupan Geisha di Zaman Showa” yang dilihat melalui sudut pandang feminisme Marxis dan meng-implementasikannya ke dalam kehidupan Geisha, penulis melihat memang telah terbentuk kelas-kelas dimana setiap kelompok memiliki tujuan masing-masing yang pada akhirnya kelas yang lebih berkuasa, dalam hal ini okamisan—pemilik okiya— dan juga danna—patron finansial—melakukan tindakan yang secara tidak langsung telah mengopresi Geisha.
Namun penulis berpendapat walaupun memang terjadi hubungan kapitalisme yang dapat mengeksploitasi Geisha, penulis tidak melihat adanya tindakan eksploitasi terhadap Geisha karena hal tersebut terjadi didorong oleh keadaan ekonomi Geisha yang memang mengharuskan mereka memilih pekerjaan ini.
Di dalam masyarakat akan terbentuk kelas-kelas yang mempunyai tingkat berbeda, jika kondisi Geisha dilihat dalam suatu hubungan masyarakat maka okamisan dan juga danna merupakan kelas yang lebih tinggi dari Geisha, namun melihat hubungan okamisan dengan danna terlihat bahwa danna memiliki kelas yang lebih tinggi dari okamisan. Kelas-kelas yang terbentuk ini pada akhirnya saling
(17)
melengkapi satu dengan yang lain sehingga terjadilah sebuah simbiosis mutualisme yang merupakan sebuah hubungan yang saling menguntungkan. Misalnya, hubungan
Geisha dengan dannanya, dimana pria ini akan menjamin hidup Geisha agar tetap
elegan dan sebagai gantinya Geisha akan memberi layanan seksual hanya untuk si danna. Seperti halnya hubungan Geisha dengan okamisan yang telah menyekolahkan mereka dan juga merawat serta mendandani Geisha agar Geisha magang dapat berhasil menjadi seorang Geisha profesional. Meskipun itu dijadikan sebagai hutang-hutang Geisha yang harus dibayar kelak ketika mereka menjadi Geisha profesional, tetapi okamisan setidaknya telah memberikan jalan kepada mereka yang berasal dari keluarga tak berada untuk memperbaiki keadaan ekonominya. Dan setelah hutang-hutang Geisha dilunasi maka mereka dapat meninggalkan okiya, untuk tinggal di tempat lain atau bahkan membuka okiyanya sendiri.
Konsep feminisme Marxis atas kemasyarakatan menekankan bahwa rasa percaya diri perempuan sepenuhnya bergantung pada penghargaan dari keluarga dan teman-temannya, sehingga seorang Geisha yang adalah seorang perempuan pun membutuhkan penghargaan dari orang-orang di sekelilingnya dan dia mendapatkan hal itu terutama dari dannanya yang sangat memperhatikan mereka.
Feminisme Marxis pun mengungkapkan dalam konsepnya atas sifat manusia bahwa manusia diberi kelebihan agar dapat membuat dirinya tetap hidup, dan berarti jika ada seorang wanita yang memutuskan untuk menjadi seorang Geisha adalah karena mereka ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Dapat kita lihat berdasarkan konsep feminisme Marxis yang mengatakan bahwa penindasan terhadap perempuan bukanlah hasil tindakan sengaja dari satu
(18)
individu, melainkan produk dari struktur politik, sosial, dan ekonomi tempat individu itu hidup mendukung fakta yag terjadi terhadap kehidupan Geisha di zaman Showa yang sebagian besar disebabkan karena terjadinya kelas dan bukan karena ketidaksetaraan gender.
Konsep-konsep dari feminisme Marxis pun melihat pekerjaan Geisha adalah merupakan pekerjaan yang nyata serta produktif. Dikatakan produktif adalah karena penghasilannya dapat memenuhi kebutuhan mereka, dengan semakin eksklusifnya mereka karena bersaing dengan pramuria Barat/waitrees, membuat Geisha yang notabene adalah artis memiliki status sosial yang cukup tinggi di masyarakat.
(19)
DAFTAR PUSTAKA
Cassese, Antonio. 2005, Hak-hak Asasi Manusia di Dunia Yang Berubah, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Darsono P, Dr., SE., SF., MA., MM., 2006, Karl Marx – Ekonomi, Politik, dan Aksi Revolusi, Jakarta: Diadit Media.
Ebenstein, William. 2006, Isme-isme Yang Mengguncang Dunia, Yogyakarta: Narasi. Engels, Friedrich. 1972, The Origin of the Family, Private Property and the State,
New York: Internasional Publishers
Foreman, Ann. 1997, Feminity as Alienation: Women and the Family in Marxism and Psychoanalysis, London: Pluto Press
Golden, Arthur. 1999, Memoirs of a Geisha, United States of America: Vintages Books
Golden, Arthur. 2002, Memoar Seorang Geisha, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Harian Umum KOMPAS, Minggu 20 November 2005: halaman 23. Harian Umum Pikiran Rakyat, Minggu 8 Januari 2006: halaman 3. Kokugo Jiten, 1989.
Koujien, 1991.
(20)
Kuhn, Annette dan Ann Marie Wolpe, ed. 1978, Feminism and Materialism: Women and Modes of Production, Boston: Routledge & Kegan Paul.
Mandah, et. al, 1992, Pengantar Kesusastraan Jepang, Jakarta: PT. Gramedia Widyasarana Indonesia.
Mandel, Ernest. 1980, An Introduction to Marxist Economic Theory, New York: W.W. Norton.
Mustafa, Marni Emmy, SH., MH., 15 Mei 2004, Pornografi, Pornoaksi, Kekerasan Seksual dan Perdagangan Manusia untuk Prostitusi (Trafficking) dalam Perkembangannya Dewasa Ini. Bandung: (diktat seminar).
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Oey Han Djoen, 2006, Karl Marx – Brumaire XVIII Louis Bonaparte, Jakarta: Hasta Mitra.
Osborn, Reuben. 2005, Marxisme dan Psikoanalisis, Jakarta: Alinea. Rahmanto, 1998, Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta: Kanisius.
Schimitt, Richard. 1987, Introduction to Marx and Engels, Westview Press: Boulder, CO.
Semi, Atar. M., Prof. Drs., 1990, Metode Penelitian Sastra, Bandung: Angkasa. Soepardjo, Djodjok, 1999, Budaya Jepang Masa Kini, Surabaya: CV. Bintang.
Suchting, Wallis Arthur. 1983, Marx: An Introduction, New York: New York University Press.
Tayangan Dunia Kita, Bandung TV, 13 Mei 2006, 12:30.
(21)
Tong, Rosemary Putnam, 1998, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, Bandung: Jalasutra.
Warren, Austin & Welleck, 1990, Teori Kesusastraan, Jakarta: PT. Gramedia. Wood, Alien W. 1981, Karl Marx, London: Routledge & Kegan Paul.
www.immortalgeisha.com//http:honyaku.yahoo.fs.jp/url_result, 16 Mei 2006 www.japan-zone.com//http:honyaku.fs.jp/url_result, 16 Mei 2006
www.yahoo.com/user-search/geisha_result, 21 September 2005
(1)
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan fakta-fakta yang telah penulis dapatkan untuk mendukung penelitian skripsi tentang “Kehidupan Geisha di Zaman Showa” yang dilihat melalui sudut pandang feminisme Marxis dan meng-implementasikannya ke dalam kehidupan Geisha, penulis melihat memang telah terbentuk kelas-kelas dimana setiap kelompok memiliki tujuan masing-masing yang pada akhirnya kelas yang lebih berkuasa, dalam hal ini okamisan—pemilik okiya— dan juga danna—patron finansial—melakukan tindakan yang secara tidak langsung telah mengopresi Geisha.
Namun penulis berpendapat walaupun memang terjadi hubungan kapitalisme yang dapat mengeksploitasi Geisha, penulis tidak melihat adanya tindakan eksploitasi terhadap Geisha karena hal tersebut terjadi didorong oleh keadaan ekonomi Geisha yang memang mengharuskan mereka memilih pekerjaan ini.
Di dalam masyarakat akan terbentuk kelas-kelas yang mempunyai tingkat berbeda, jika kondisi Geisha dilihat dalam suatu hubungan masyarakat maka okamisan dan juga danna merupakan kelas yang lebih tinggi dari Geisha, namun melihat hubungan okamisan dengan danna terlihat bahwa danna memiliki kelas yang lebih tinggi dari okamisan. Kelas-kelas yang terbentuk ini pada akhirnya saling
(2)
melengkapi satu dengan yang lain sehingga terjadilah sebuah simbiosis mutualisme yang merupakan sebuah hubungan yang saling menguntungkan. Misalnya, hubungan Geisha dengan dannanya, dimana pria ini akan menjamin hidup Geisha agar tetap elegan dan sebagai gantinya Geisha akan memberi layanan seksual hanya untuk si danna. Seperti halnya hubungan Geisha dengan okamisan yang telah menyekolahkan mereka dan juga merawat serta mendandani Geisha agar Geisha magang dapat berhasil menjadi seorang Geisha profesional. Meskipun itu dijadikan sebagai hutang-hutang Geisha yang harus dibayar kelak ketika mereka menjadi Geisha profesional, tetapi okamisan setidaknya telah memberikan jalan kepada mereka yang berasal dari keluarga tak berada untuk memperbaiki keadaan ekonominya. Dan setelah hutang-hutang Geisha dilunasi maka mereka dapat meninggalkan okiya, untuk tinggal di tempat lain atau bahkan membuka okiyanya sendiri.
Konsep feminisme Marxis atas kemasyarakatan menekankan bahwa rasa percaya diri perempuan sepenuhnya bergantung pada penghargaan dari keluarga dan teman-temannya, sehingga seorang Geisha yang adalah seorang perempuan pun membutuhkan penghargaan dari orang-orang di sekelilingnya dan dia mendapatkan hal itu terutama dari dannanya yang sangat memperhatikan mereka.
Feminisme Marxis pun mengungkapkan dalam konsepnya atas sifat manusia bahwa manusia diberi kelebihan agar dapat membuat dirinya tetap hidup, dan berarti jika ada seorang wanita yang memutuskan untuk menjadi seorang Geisha adalah karena mereka ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Dapat kita lihat berdasarkan konsep feminisme Marxis yang mengatakan bahwa penindasan terhadap perempuan bukanlah hasil tindakan sengaja dari satu
(3)
individu, melainkan produk dari struktur politik, sosial, dan ekonomi tempat individu itu hidup mendukung fakta yag terjadi terhadap kehidupan Geisha di zaman Showa yang sebagian besar disebabkan karena terjadinya kelas dan bukan karena ketidaksetaraan gender.
Konsep-konsep dari feminisme Marxis pun melihat pekerjaan Geisha adalah merupakan pekerjaan yang nyata serta produktif. Dikatakan produktif adalah karena penghasilannya dapat memenuhi kebutuhan mereka, dengan semakin eksklusifnya mereka karena bersaing dengan pramuria Barat/waitrees, membuat Geisha yang notabene adalah artis memiliki status sosial yang cukup tinggi di masyarakat.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Cassese, Antonio. 2005, Hak-hak Asasi Manusia di Dunia Yang Berubah, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Darsono P, Dr., SE., SF., MA., MM., 2006, Karl Marx – Ekonomi, Politik, dan Aksi Revolusi, Jakarta: Diadit Media.
Ebenstein, William. 2006, Isme-isme Yang Mengguncang Dunia, Yogyakarta: Narasi. Engels, Friedrich. 1972, The Origin of the Family, Private Property and the State,
New York: Internasional Publishers
Foreman, Ann. 1997, Feminity as Alienation: Women and the Family in Marxism and Psychoanalysis, London: Pluto Press
Golden, Arthur. 1999, Memoirs of a Geisha, United States of America: Vintages Books
Golden, Arthur. 2002, Memoar Seorang Geisha, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Harian Umum KOMPAS, Minggu 20 November 2005: halaman 23. Harian Umum Pikiran Rakyat, Minggu 8 Januari 2006: halaman 3. Kokugo Jiten, 1989.
Koujien, 1991.
(5)
Kuhn, Annette dan Ann Marie Wolpe, ed. 1978, Feminism and Materialism: Women and Modes of Production, Boston: Routledge & Kegan Paul.
Mandah, et. al, 1992, Pengantar Kesusastraan Jepang, Jakarta: PT. Gramedia Widyasarana Indonesia.
Mandel, Ernest. 1980, An Introduction to Marxist Economic Theory, New York: W.W. Norton.
Mustafa, Marni Emmy, SH., MH., 15 Mei 2004, Pornografi, Pornoaksi, Kekerasan Seksual dan Perdagangan Manusia untuk Prostitusi (Trafficking) dalam Perkembangannya Dewasa Ini. Bandung: (diktat seminar).
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Oey Han Djoen, 2006, Karl Marx – Brumaire XVIII Louis Bonaparte, Jakarta: Hasta Mitra.
Osborn, Reuben. 2005, Marxisme dan Psikoanalisis, Jakarta: Alinea. Rahmanto, 1998, Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta: Kanisius.
Schimitt, Richard. 1987, Introduction to Marx and Engels, Westview Press: Boulder, CO.
Semi, Atar. M., Prof. Drs., 1990, Metode Penelitian Sastra, Bandung: Angkasa. Soepardjo, Djodjok, 1999, Budaya Jepang Masa Kini, Surabaya: CV. Bintang.
Suchting, Wallis Arthur. 1983, Marx: An Introduction, New York: New York University Press.
Tayangan Dunia Kita, Bandung TV, 13 Mei 2006, 12:30.
(6)
Tong, Rosemary Putnam, 1998, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, Bandung: Jalasutra.
Warren, Austin & Welleck, 1990, Teori Kesusastraan, Jakarta: PT. Gramedia. Wood, Alien W. 1981, Karl Marx, London: Routledge & Kegan Paul.
www.immortalgeisha.com//http:honyaku.yahoo.fs.jp/url_result, 16 Mei 2006 www.japan-zone.com//http:honyaku.fs.jp/url_result, 16 Mei 2006
www.yahoo.com/user-search/geisha_result, 21 September 2005