Analisis Kehidupan Geisha Di Jepang Melalui Novel “Snow Contry (Yukiguni)” Karya Yasunari Kawabata Kawabata Yasunari No Shousetsu “Yukiguni” O Toujite Nihon No Geisha No Seikatsu No Bunkeshi

(1)

ANALISIS KEHIDUPAN GEISHA DI JEPANG MELALUI NOVEL “SNOW CONTRY (YUKIGUNI)” KARYA YASUNARI KAWABATA KAWABATA YASUNARI NO SHOUSETSU “YUKIGUNI” O TOUJITE

NIHON NO GEISHA NO SEIKATSU NO BUNKESHI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana

dalam bidang Ilmu Satra Jepang

Oleh

HARTATI SINAMBELA NIM: 060708026

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS SATRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2 0 1 1


(2)

ANALISIS KEHIDUPAN GEISHA DI JEPANG MELALUI NOVEL “SNOW CONTRY (YUKIGUNI)” KARYA YASUNARI KAWABATA KAWABATA YASUNARI NO SHOUSETSU “YUKIGUNI” O TOUJITE

NIHON NO GEISHA NO SEIKATSU NO BUNKESHI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana

dalam bidang Ilmu Satra Jepang

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Drs. Hamzon Situmorang,M.S.Ph.D

NIP. 195807041984121001 NIP.196009191988031001 Drs.Eman Kusdiyana,M.Hum

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS SATRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2 0 1 1


(3)

Disetujui Oleh Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Departemen Sastra Jepang Ketua,

NIP. 196009191988031001 Drs.Eman Kusdiyana,M.Hum


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rakhmat, karunia, kasih sayangNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Usaha dan diiringi oleh doa merupakan dua hal yang membuat penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi yang berjudul ” Analisis Kehidupan Geisha di Jepang Melalui novel “Snow Country ( Yukiguni )” Karya Yasunari Kawabata” ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai kesarjanaan di Fakultas Sastra Program Studi Strata-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis banyak mengalami kesulitan yang sedikit banyak mempengaruhi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, namun penulis banyak menerima bantuan dan bimbingan moril dan material dari berbagai pihak. Maka untuk itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Drs.Eman Kusdiyana,M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan., yang juga selaku Dosen Pembimbing II, yang telah menyisihkan waktunya untuk memeriksa dan memberikan saran dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.

3. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang,M.S.Ph.D, selaku Dosen Pembimbing I, yang dalam kesibukannya sebagai pengajar telah


(5)

menyediakan banyak waktu, pikiran, dan tenaga dalam membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini dari awal hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Bapak/ Ibu Dosen Program Studi Sastra Jepang S-1 Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu dan pendidikan kepada penulis.

5. Kedua Orang Tua penulis, Bapak A. Sinambela dan Ibunda H. Nainggolan, atas semua kasih sayang, kesabaran, doa untuk kebahagiaan dan keberhasilan anak-anaknya, keringat dan air mata serta dukungan materil yang tak terhingga untuk pendidikan anak-anaknya dan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dan menyelesaikan perkuliahan dan mendapat gelar sarjana seperti yang telah dicita-citakan mereka. Tanpa kedua Orang Tua penulis, penulis tidak akan mampu menjadi seperti sekarang ini. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan mereka. 6. Kepada saudaraku, A. Jimmy Sinambela, A.Salomo Sinambela, Mayesta

Sinambela, Rumiris Sinambela, Romiduk Sinambela, terima kasih atas segala dukungannya.

7. Untuk teman-teman penulis di Sastra Jepang Stambuk 2006, Surya Ningrum, Farah Adibah, Friska, Dewi, Elisabeth, Fadiah, Musfa, Wulan, Wilma, Suci, Andar, Hary, Andi, Febri, Irwan, Teddy, Rizal, Randy, Hady, Viktor, Ferdian, Fredy, Hyantes, Asti, Nova, Ivana, Oktora, Jessi, Okky, Sari, Siska, Christiani, Zulvi, Frida. Senang dan bangga bisa mengenal kalian semua.


(6)

8. Kepada Senior dan Junior di Departemen Sastra Jepang yang mendukung penyelesaian skripsi ini.

9. Dan, kepada semua pihak yang telah membantu hingga selesainya skripsi ini.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun agar dapat memperbaiki kesalahan di masa yang akan mendatang.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya mahasiswa sastra Jepang.

Penulis


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………. i

DAFTAR ISI ………..………iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………1

1.2 Perumusan Masalah ……….…………..………... 5

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ………..………... 6

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ………..……… 7

1.5 Tujauan dan Manfaat Penelitian ……….……….. 9

1.6 Metodologi Penelitian ……….………….10

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL YUKIGUNI DAN BUDAYA GEISHA DI JEPANG 2.1.Novel Yukigu……….11

2.1.1. Novel Sebagai Cerita Fiksi ………..………..11

2.1.2. Unsur–Unsur dalam Novel ………..…………..13

2.1.3. Novel Yukiguni ………....……….18

2.2. Biografi Pengarang ………..…….20

2.3. Sinopsis Novel Yukiguni ………..………25

2.4. Setting Novel Yukiguni ………...…….31


(8)

BAB III. ANALISA KEHIDUPAN GEISHA MELALUI TOKOH DALAM NOVELYUKIGUNI

3.1 Penampilan Geisha ………..……….………….. 36 3.2 Sistem Kerja Geisha ………...…… 39 3.3 Hubungan Antara Geisha dengan Laki-Laki ( Pelanggannya)...44

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ……… .……….………...49 4.2 Saran ………... 50 DAFTAR PUSTAKA


(9)

ABSTRAK

Sastra dan kehidupan masyarakat memiliki kaitan yang sangat erat, artinya bahwa sastra merupakan tulisan yang memakai bahasa tersendiri dengan bahasa yang ekspresif, dengan isi lingkup kehidupan manusia. Karya sastra merupakan media untuk mentransfer informasi mengenai gejolak batin, sosial, dan budaya dari suatu masyarakat yang diceritakan dalam novel terjemahan tersebut. Novel sebagai salah satu karya sastra merupakan suatu bentuk kebudayaan. Di dalam karya sastra terdapat nilai-nilai kebudayaan yang memiliki nilai yang sangat tinggi.

Yukiguni merupakan novel asli Jepang berbahasa karya Yasunari Kawabata yang diterjemahkan 190 halaman ke dalam bahasa Indonesia, yaitu Daerah Salju oleh A.S. Laksana. Dalam novel ini dikisahkan mengenai kegagalan hubungan cinta terlarang antara seorang geisha bernama Komako dan seorang pria yang sudah berkeluarga bernama Shimamura. Disini digambarkan sebuah cerita yang mengandung unsur pengungkapan cinta dengan mengambil latar belakang cerita yang menarik dengan menggunakan alur maju mundur sehingga para pembaca seolah-olah ikut terlibat di dalamnya.

Yang menjadi sorotan utama adalah geisha. Dalam novel ini dapat dilihat bagaimana kehidupan geisha di jepang melalui tokoh seorang geisha bernama Komako. Geisha bukanlah seorang pelacur atau prostitusi, sebagaimana layaknya yang terkesan dibenak orang selama ini Secara harafiah geisha berasal dari dua kata, yaitu: gei yang berarti seni dan sha yang berarti pribadi. Maka dapat dikatakan bahwa geisha itu adalah seseorang yang mempunyai pribadi atau berjiwa seni yang digunakan untuk menghibur, terutama kaum pria.


(10)

Berdasarkan pemikiran tersebut, penulis melakukan analisis terhadap novel Yukiguni dengan judul “Analisis Kehidupan Geisha di Jepang Melalui novel “Snow Country ( Yukiguni )” Karya Yasunari Kawabata. Ruang lingkup penelitian dibatasi pada pembahasan masalah mengenai kehidupan geisha di Jepang melalui kehidupan tokoh wanita dalam novel Yukiguni.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kehidupan sehari-hari geisha di Jepang dan pengaruh yang mereka dapatkan setelah berada dalam dunia geisha tersebut. Kemudian dilakukan analisis tentang kehidupan tokoh sebagai seorang geisha dan akan dikaitkan dengan diskriminasi gender antara pria dan wanita di Jepang yang terjadi dalam kehidupan para tokoh. Dalam melakukan analisis digunakan beberapa metode penelitian dan penulisan, yaitu metode kualitatif, metode deskriptif analisis, dan metode analisis isi, serta beberapa pendekatan, yaitu pendekatan sosiologis, psikologis dan antropologis.

Dari hasil analisis disimpulkan bahwa kehidupan sebagai seorang geisha dalam hubungannya dengan laki-laki yang tanpa ada ikatan dianggap syah-syah saja dan dianggap wajar. Seperti yang digambarkan oleh Shimamura dan Komako. Sehingga dari hal tersebut dapat terlihat bahwa adanya diskriminasi gender antara pria dan wanita yang merupakan sebuah fenomena dari generasi ke generasi, yang tidak mungkin akan berubah dengan mudah, yang dapat membawa pengaruh buruk dalam bidang berbagai segi, terutama psikologis .


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di dunia ini tidak ada negara yang tidak memiliki kebudayaan. Jepang adalah salah satu negara di dunia yang mempunyai beragam jenis kebudayaan. Banyak hal yang dapat dilihat dalam kebudayaan, khususnya dalam bidang seni, dimana seni itu meliputi berbagai bidang, contohnya seni sastra, seni tari, seni musik, festival, dan yang lainnya.

Seni merupakan tiruan dari suatu kenyataan hidup, dimana cerita diambil dari kehidupan masyarakat itu sendiri. Misalnya dalam seni tari, musik dan sastra dapat ditemukan cerita yang mengambil kisah dari kehidupan masyarakat sekitarnya.

Hubungan antara seni dan kenyataan bukanlah hubungan yang searah atau sederhana. Hubungan itu merupakan interaksi yang kompleks dan tidak langsung. Ditentukan oleh konvensi bahasa, konvensi sosio budaya, dan konvensi sastra. (Teeuw, 1984: 224-229).

Sastra adalah karya seni, sama seperti seni suara, seni lukis, seni pahat, dan lain- lain (Aminuddin, 2000:39). Menurut Zainuddin (1992 : 99), bahwa sastra adalah karya seni yang dikarang menurut standar bahasa kesusastraan, standar kesusastraan yang dimaksud adalah penggunaan kata-kata yang indah, gaya bahasa serta gaya cerita yang menarik. Dapat diartikan bahwa sastra adalah semacam penggunaan bahasa dimana bahasa khas ini tidak dapat dipahami dengan sebaik-baiknya tanpa pengertian konsepsi bahasa yang tepat. Sastra menjadi urusan si pembaca secara individualis, dinikmati dan dinilai sendiri oleh si pembaca.


(12)

Sastra dan kehidupan masyarakat memiliki kaitan yang sangat erat, artinya bahwa sastra merupakan tulisan yang memakai bahasa tersendiri dengan bahasa yang ekspresif, dengan isi lingkup kehidupan manusia. Bila isinya berupa konsentrasi kehidupan pada suatu saat dalam krisisnya yang menentukan, maka tulisan itu dinamai novel. Dari sini nyatalah eratnya sastra dengan kehidupan manusia, yaitu pengalaman-pengalaman hidupnya (Mudji Sutrisno, 2006: 164)

Dalam penelitian ini yang dibahas adalah salah satu karya sastra, yaitu novel. Pengertian novel dalam pandangan H.B. Jassin (1997:64) menyebutkan bahwa novel sebagai karangan prosa yang berifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang. Novel merupakan suatu bentuk kebudayaan yang dibuat dalam bentuk karya sastra. Di dalam karya sastra terdapat nilai-nilai kebudayaan yang memiliki nilai yang sangat tinggi. Artinya, sebuah karya sastra dapat mengungkapkan suatu kebudayaan dengan cara mneginterpretasikan makna yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Begitu juga halnya dengan novel. Novel adalah salah satu karya sastra yang dapat mengungkapkan nilai-nilai kebudayaan.

Banyak karya-karya sastra yang mengungkapkan perasaan masyarakat. Hubungan sastra dengan masyarakat lebih bersifat deskriptif, simbolik, dan bermakna. Adapun judul penelitian ini adalah Analisis Kehidupan Geisha di Jepang Melalui Novel “Snow Country ( Yukiguni )” Karya Yasunari Kawabata. Novel ini adalah salah satu novel terjemahan yang sangat menarik dan luar biasa. Terdiri dari 190 halaman dalam Bahasa Indonesia. Pengarangnya merupakan salah satu sastrawan terkenal dari Jepang peraih nobel sastra.


(13)

Dalam novel ini dikisahkan mengenai hubungan cinta terlarang antara seorang geisha bernama Komako dan seorang pria yang sudah berkeluarga bernama Shimamura, dimana pria ini kerap berkunjung ke daerah salju untuk menenangkan diri dari kehidupan perkotaan. Pada awalnya hubungan mereka hanya sebatas pertemanan, namun Komako yang selama ini merasa kesepian merasa bahwa kedatangan Shimamura bagaikan angin penyejuk dalam kehidupannya. Ketulusan dan kebaikan hati Shimamura membuat Komako jatuh cinta kepadanya. Namun Komako kerap menyangkal perasaanya karena ketakutan akan berbagai hal yang sebenarnya hanya ada dalam pikirannya saja. Walaupun pada akhirnya Komako mau mengakui perasaanya, namun hal tersebut terbentur dengan kenyataan bahwa Komako dan Shimamura tidak mungkin bersatu. Komako yang polos, lugu, dan suka berterus terang mengalami kesulitan dalam mengatasi perasaanya sendiri. Setiap saat ia harus bertarung dalam hatinya untuk memilih mendahulukan keinginan nalurinya atau mempertahankan akal sehat.

Disini digambarkan sebuah cerita yang mengandung unsur pengungkapan cinta dengan mengambil latar belakang cerita yang menarik dengan menggunakan alur maju mundur sehingga para pembaca seolah-olah ikut terlibat di dalamnya.

Dalam novel ini yang menjadi sasaran utama yang dibahas adalah seorang geisha bernama Komako. Perlu diketahui bahwa yang menjadi kunci sukses seorang geisha adalah seni. Sehingga seorang geisha menganggap dirinya sebagai seniman sejati. Berbicara mengenai hal tersebut perlu diketahui bahwa kata geisha berasal dari dua kata, yaitu: gei yang berarti seni dan sha yang berarti pribadi. Maka dapat dikatakan bahwa geisha itu adalah seseorang yang mempunyai pribadi atau berjiwa seni yang digunakan untuk menghibur, terutama kaum pria. Di dalamnya terkandung


(14)

seni musik, tari, dan puisi, dimana puisi diutarakan dengan nyanyian yang diiringi dengan musik dan tarian. Dalam masyarakat Jepang geisha merupakan salah satu kelas paling bawah yang tidak mungkin sama dengan kelas atas.

Dalam novel ini dapat dilihat bagaimana kehidupan geisha di jepang melalui tokoh seorang geisha bernama Komako. Seorang geisha harus bisa menghibur para tamu yang menyewanya secra professional, khususnya yang berkaitan dengan seni tradisional Jepang. Para geisha dituntut harus bisa menari tarian tradisonal, merangkai bunga, mengenakan kimono, makeup tebal, dan dandanan rambut yang rumit, menuang sake dengan cara sesensual mungkin, mengerti tata cara seremonial minum teh secara formal, serta melayani tamu dengan cara-cara yang sangat sopan dan beretiket, bahkan bersaing dengan sesama geisha memperebutkan pria-pria dan kekayaan mereka. Seorang geisha mempunyai tarif yang mahal dengan hitungan per satu jam atau per dua jam. Kesemuanya itu merupakan tuntutan yang harus dipenuhi jika ingin menjadi seorang geisha yang sukses.

Di dalam novel dapat terlihat bahwa seorang geisha tidak harus di bayar dalam jumlah tarif yang mahal atau dalam bentuk uang. Seorang geisha bernama Komako ini tidak menuntut bayaran yang mahal terhadap seorang pelanggannya yang bernama Shimamura.

Tetapi Komako sudah merasa cukup atas kedekatan, kenyamanan, dan cinta dari Shimamura, walaupun pada akhirnya keduanya tidak berhasil menemukan pembenaran atas cinta mereka karena sudah menyerah dan menyadari bahwa cinta mereka sudah gagal sejak pertama kali bertemu, dimana keduanya sudah mempunyai ikatan hidup masing-masing dengan orang lain.


(15)

budaya berupa seni dan sastra yang ada di masyarakat Jepang yang unik dan menarik untuk dibahas. Oleh karena itu ada rasa ketertarikan dan ingin tahu mengenai seni-seni dan budaya di Jepang guna menambah wawasan dan pengetahuan yang bermanfaat serta dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama masa perkuliahan.

Untuk menganalisis hal tersebut, penulis menggunakan pendekatan sosiologis sastra dan historis pengarang dalam memperbincangkan hubungan kehidupan sosial terutama kehidupan geisha dalam novel ini.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan penjelasan yang sudah diutarakan tersebut di atas, bahwa cerita ini mengangkat tema tentang hubungan cinta terlarang antara seorang geisha dengan seorang pelanggannya, dimana hubungan itu sangat rumit yang digambarkan secara halus dengan berbagai konflik yang ada.

Novel ini menarik untuk dibahas karena dalam novel ini menceritakan tentang adanya kisah hubungan terlarang seorang tokoh pria yang sudah berkeluarga bernama Shimamura dengan geisha wanita bernama Komako yang berasal dari daerah salju, dimana wanita bernama Komako tersebut berprofesi sebagai geisha. Pada awalnya hubungan mereka hanya sebatas berteman saja, namun tanpa disadari Shimamura mengetahui bahwa Komako jatuh cinta kepadanya, dan begitu juga sebaliknya. Keduanya berusaha menemukan pembenaran atas cinta mereka, hingga akhirnya menyerah dan menyadari cinta mereka telah gagal sejak pertama kali bertemu. Cinta mereka tidak dapat disatukan.


(16)

Maka untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dalam pembahasan topik yang dapat menimbulkan permasalahan–permasalahan baru yang tidak sesuai dan tidak berhubungan dengan topik yang akan dibahas dalam tulisan ini, maka akan dibatasi pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yang akan menjadi acuan dalam melanjutkan penelitian.

Masalah-masalah tersebut akan diuraikan dalam pertanyaaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah gambaran penampilan seorang geisha dalam novel Yukiguni karya yasunari Kawabata?

2. Bagaimanakah tata kerja geisha dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang geisha ?

3. Bagaimanakah hubungan dan perilaku antara seorang geisha dengan laki-laki terutama pelanggannya?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Agar masalah dalam penelitian ini tidak terlalu luas cakupannya, maka penulis membatasi permasalahan. Permasalahannya, yaitu penulis membahas mengenai masalah kehidupan geisha melalui tokoh Komako dalam novel Yukiguni karya Yasunari Kawabata.

Penulis menganalisis kehidupan tokoh Komako sebagai seorang geisha melalui interaksi tokoh komako dengan tokoh lainnya yang terlihat dalam cuplikan-cuplikan dialog para tokoh lain dengan Komako. Sebelumnya penulis mendefenisikan terlebih dahulu mengenai konsep novel maupun arti geisha itu sendiri.


(17)

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Sebuah penelitian agar mempunyai orisinilitas perlu adanya tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka berfungsi untuk memberikan pemaparan tentang penelitian dan analisis sebelumnya yang telah dilakukan. Tinjauan terhadap hasil penelitian dan analisis sebelumnya ini akan dipaparkan yang berkaitan dengan novel Yukiguni karya Yasunari Kawabata.

Hasil penelitian ini menggambarkan tokoh Komako dengan mendeskripsikan tema besar yakni kegagalan cinta seorang geisha. Hasil analisis menyatakan bagaimana sebenarnya kehidupan dan perilaku tokoh. Faktor yang membentuk kehidupan tokoh utama antara lain faktor ekonomi, lingkungan, sosial, dan psikologis sang tokoh.

Maka faktor tersebut dapat dikaikan dengan konsep gender. Konsep gender dapat didefenisikan sebagai perbedaan-perbedaan antara pria dan wanita yang dikonstruksi oleh kebudayaan (Basow 1992: Fakih 2004). Konsep gender dibedakan dari konsep jenis kelamin (sex), karena jenis kelamin mengacu kepada perbedaan-perbedaan biologis antara pria dan wanita.

1.4.2 Kerangka Teori

Penelitian merupakan sarana bagi ilmu pengetahuan untuk mengembangkan ilmu yang bersangkutan. Dalam penelitian ini yang dianalisis adalah mengenai kehidupan geisha melalui tokoh utama bernama Komako dalam novel Yukiguni karya Yasunari Kawabata.


(18)

sebuah karya sastra. Nilai-nilai kebudayaan yang tinggi dikeluarkan oleh pengarang melalui imajinasinya. Sastra dipandang sebagai suatu gejala sosial yang ditullis dalam kurun waktu tertentu yang langsung berkaitan dengan norma dan pada zaman tersebut. Sastra juga mencerminkan kenyataan dalam masyarakat dan merupakan sarana untuk memahaminya. (Luxemburg, 1986:26).

Dalam menganalisis novel ini, penulis menggunakan konsep gender. Secara teoritis, ada dua konsep gender yang perlu diperhatikan. Pertama, gender merupakan konsep relasional. Seperti yang dikatakan oleh Melani Budianta (1998:6) gender sebagai konsep relasional artinya gagasan tentang pria tidak bisa dipisahkan dari gagasan tentang wanita. Pendekatan yang berwawasan gender akhirnya mengoreksi kecenderungan sementara kaum feminis menfokuskan perhatian pada masalah wanita saja.

Kedua, seperti dikatakan oleh Tamanoi (1990:17), gender sebagai konsep relasional mencakup hubungan antara pria dan wanita dalam setiap lapisan maupun kelompok masyarakat. Maksudnya, hubungan antara pria dan wanita bisa saja berbeda pada lapisan masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Artinya, bahwa hubungan gender bisa berbeda-beda tergantung pada kelas, kelompok atau pun lapisan masyarakat yang bersangkutan

Maka yang perlu diperhatikan mengenai konsep gender ini adalah bahwa gender dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda, tapi tidak terpisah satu dengan yang lainnya yaitu sebagai kebudayaan dan sebagai peran sosial.


(19)

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sesuai dengan pokok masalah sebagaimana telah dikemukakan di atas, yaitu:

1. Untuk mengetahui bagaimanakah penampilan seorang geisha dalam novel Yukiguni karya Yasunari Kawabata.

2. Untuk mengetahui bagaimanakah tata kerja geisha melalui gambaran kehidupan tokoh Komako sebagai seorang geisha.

3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara seorang geisha dengan laki-laki dalam menjalankan aktivitasnya sebagai seorang geisha.

1.5.2 Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan pembaca tentang sastrawan Jepang dan karya-karyanya, sehingga dapat meningkatkan kemampuan pembelajaran sastra dalam mengapresiasikan novel-novel Jepang.

2. Untuk memunculkan kembali karya-karya sastra yang merupakan suatu bagian dari kekayaan budaya, sehingga penciptaan-penciptaan karya sastra terus semakin meningkat.

3. Sebagai ajang untuk menambah pengetahuan dan mengaplikasikan ilmu terutama mengenai sastra yang diperoleh selama masa perkuliahan.

1.6 Metode Penelitian


(20)

dapat terselesaikan. [Koentjaraningrat (1997) menyatakan bahwa metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan].

Surakhmad (1968: 131) mengungkapkan bahwa metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan, cara utama tersebut disesuaikan dengan situasi penelitian. Dalam penelitian ini digunakan metode deskriptif, yaitu yang menuturkan dan memecahkan masalah yang ada melalui cara mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasikan, menganalisis serta menginterpretasikan data tersebut.

Metode ini sesuai dengan sifat dan wujud data yang ditelaah serta tujuan penelitian yang akan dicapai. Data akan dideskripsikan untuk mendefinisikan hal-hal tertentu yang terdapat dalam tulisan ini secara luas, bukan secara sempit. Sedangkan dalam penyajian hasil penelitian digunakan metode deskriptif yang memaparkan data secara apa adanya

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka. Teknik studi pustaka adalah keterangan teoritis yang berkaitan dengan masalah penelitian baik dari buku-buku,surat kabar, internet, majalah, buletin, dan bahan-bahan lainnya yang menunjang dalam penelitian.


(21)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL YUKIGUNI DAN BUDAYA GEISHA DI JEPANG

2.1 Novel Yukiguni

2.1.1 Novel Sebagai Cerita Fiksi

Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sastra tulisan timbul setelah manusia mengenal tulisan. Orang Mesir mengenal hytograf, orang Jepang dengan kanji-nya. (Mukarovsky, 1978 dalam Media Kerja Budaya, 2004: 2).

Novel berasal dari bahasa Italia novella, yang dalam bahasa jerman Novelle, dan dalam bahasa Yunani novellus. Kemudian masuk ke Indonesia menjadi novel. Dewasa ini istilah novella dan novella mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette (Inggris: novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjang cakupannya tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus (Nurgiyantoro, 1995: 9)

Novel merupakan jenis dan genre prosa dalam karya sastra. Dalam pengertian kesusastraan juga disebut sebagai fiksi. Sastra dan sejarah sastra diklasifikasikan tidak berdasarkan waktu dan tempat, tetapi berdasarkan tipe struktur atau susunan sastra tertentu. Genre sastra yang umum dikenal adalah puisi, prosa dan drama. Bentuk karya fiksi yang berupa prosa adalah novel dan cerpen. Kehadiran novel sebagai bentuk cerita fiksi yang baru sangat digemari oleh masyarakat.


(22)

Sebuah novel menceritakan kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang. Luar biasa karena dari kejadian ini terlahir konflik, suatu pertikaian, yang mengalir mengambil jurusan nasib mereka (Jassin, 1985: 78). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995 : 694) Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Novel termasuk cerita fiksi yang kajiannya bukan cerita pentas, yang artinya lebih tepat dipahami dan dinikmati melalui kegiatan apresiatif. Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang menggambarkan kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui unsur-unsur instrinsik, yaitu peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain, yang kesemuannya tentu bersifat naratif.

Menurut Nurgiyantoro (1994: 2) istilah fiksi dalam pengertiannya berarti cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal ini disebabkan karena fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak mengarah pada kebenaran sejarah. Dengan demikian karya fiksi merupakan suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan atau khayalan. Sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata.

Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Begitu juga halnya dengan novel. Novel mengandung nilai-nilai keindahan dan kehidupan yang dapat memberikan kenikmatan bagi para pembacanya serta mengandung nilai-nilai kehidupan yang dapat bermanfaat bagi pembacanya.


(23)

2.1.2 Unsur –Unsur dalam Novel

Novel adalah jenis cerita fiksi yang isinya mengungkapkan kembali permasalahan kehidupan yang luas melalui unsur -unsur yang saling berkaitan dan pesan-pesan kemanusiaan yang tidak berkesan menggurui sebab sangat halus dan mendalam. Novel dibentuk oleh berbagai unsur yang saling berkaitan dan saling menentukan yang kesemuanya membentuk novel tersebut menjadi sebuah karya yang bermakna.

Unsur-unsur pembentuk novel terdiri dari unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik (unsur luar) adalah segala macam unsur yang berada di luar karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran sebuah karya sastra (Atar Semi, 1993: 35). Misalnya biografi pengarang, psikolog, keadaan di linkungan pengarang, faktor sosial ekonomi, faktor sosial budaya dan sebagainya. Sedangkan unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri yang menyebabkan karya itu hadir (Nurgiyantoro, 1994: 23)

Nurgiyantoro (2005: 23) menyebutkan ada tujuh unsur dalam novel, yaitu plot/ alur cerita, tema, penokohan, latar/setting, sudut pandang, gaya bahasa dan suasana cerita. Ketujuh unsur instrinsik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1). Alur

Alur atau plot merupakan urutan atau rangkaian kejadian atau peristiwa dalam suatu karya fiksi yang memiliki tahapan -tahapan tertentu secara kronologis. Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dari keseluruhan fiksi (Semi, 1988: 43).


(24)

Luxemburg (dalam Fananie 2002:93) menyebut alur/plot adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan diakibatkan atau dialami oleh para pelaku. Plot berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain.

Nurgiyantoro (2000: 135), membedakan alur menjadi dua, yaitu (1) alur lurus, maju, atau dapat dinamakan alur progresif. Alur sebuah novel dapat dikatakan progresif jika peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologi, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti peristiwa-peristiwa oleh yang kemudian. (2) alur sorot balik, mundur, flash back, atau dapat disebut regresif, yaitu urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang bepelot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dilaksanakan. Karya yang berplot jenis ini dengan demikian langsung menyuguhkan adegan -adegan konflik, bahkan konflik yang beruncing.

2). Tema

Menurut Fananie (2002: 84) tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Lebih lanjut Stanton dan Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005:67) menyatakan bahwa tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.

Tema merupakan gagasan pokok yang membangun dan membentuk sebuah cerita dalam suatu karya sastra. Menurut Semi (1988: 42) kata tema seringkali disamakan dengan pengertian topik: padahal kedua istilah itu mengandung


(25)

pengertian yang berbeda. Kata topik berasal dari bahasa Yunani topoi yang berarti tempat. Topik dalam suatu tulisan atau karangan berarti pokok pembicaraan, sedangkan tema merupakan tulisan atau karya fiksi. Jadi tema tidak lain dari suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tersebut.

3). Penokohan dan perwatakan

Karakter atau penokohan merupakan penentuan tokoh-tokoh dalam suatu cerita yang terlibat dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Fananie (2002: 87) menyatakan bahwa kemampuan pengarang dalam mendeskrisikan karakter tokoh cerita yang yang diciptakan sesuai dengan tuntutan cerita dapat pula dipakai sebagai indikator kekuatan sebuah cerita fiksi. Maka dapat juga dikatakan bahwa tokoh cerita ialah individu orang -orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca di tafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

4). Latar/Setting

Pada hakikatnya setting tidak hanya sekadar menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan berkaitan juga dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis. Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, yang berarti tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang akan diceritakan. Lattar/setting adalah keseluruhan lingkungan dalam cerita dan peristiwa dalam suatu karya fiksi baik itu di lingkungan tempat, waktu, dan sosial.


(26)

Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan sebuah karya fiksi.

Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan . Masing-masing tempat tentu saja memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakan dengan tempat lain.

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan waktu sejarah. Latar waktu menjadi amat koheren dengan unsur cerita yang lain.

Latar sosial mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan delam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah yang cukup kompleks. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan.

5). Sudut pandang

Sudut pandang adalah cara atau pandangan yang digunakan oleh pengarang untuk menyajikan tokoh dalam berbagai peristiwa dalam suatu cerita fiksi. Sudut pandang, point of view, mengarah pada cara sebuah cerita dikisahkan. Hal ini merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk


(27)

menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. (Nurgiyantoro, 2 005: 248)

6). Gaya

Gaya adalah cara atau teknik yang digunakan oleh pengarang untuk memilih serta menyusun ungkapan bahasa dalam suatu karya fiksi.

Stile (style, gaya bahasa) adalah cara mengucapkan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro mengungkapakan bahwa pada hakikatnya gaya merupakan teknik dimana teknik yang dimaksud adalah pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan (Nurgiyantoro, 2005: 276).

7). Suasana Cerita

Suasana cerita adalah cara yang digunakan pengarang untuk menggambarkan keseluruhan cerita dalam suatu karya fiksi berdasarkan urutan waktu. ( Nurgiyantoro, 2005: 91) mengartikan cerita sebagai sebuah cerita narasi berbagai kejadian yang sengaja disusun berdasarkan urutan waktu. Cerita merupakan hal yang fundamental dalam karya fiksi. Tanpa unsur cerita, eksistensi sebuah fiksi tak mungkin terwujud, sebab cerita merupakan inti dalam sebuah karya fiksi itu sendiri. Baik tidaknya cerita yang disajikan, disamping akan memotivasi seseorang untuk membacanya, juga akan mempengaruhi unsur-unsur pembangun yang lain.


(28)

2.1.3 Novel Yukiguni

Ada dua orang tokoh penting dalam novel ini, yaitu Shimamura dan Komako. Yukiguni. (Daerah Salju) adalah satu novel Yasunari Kawabata yang paling terkenal dan kerap dibicarakan sebagai karya sastra klasik yang indah sepanjang masa. Novel Daerah Salju (Yukiguni) dianggap salah satu karya puncak dari Kawabata Yasunari yang telah memenangkan hadiah nobel sastra tahun 1968. Novel ini terdiri dari potongan-potongan cerita pendek penulis yang ditulis beberapa tahun sebelumnya, sejak 1935 hingga 1941. Lalu digabung dan dikembangkan oleh penulisnya menjadi novel tahun 1947 dengan berbagai revisi dari penulisnya. Yasunari kawabata memiliki suatu keunggulan dalam novel–novelnya. Kualitas cerita disusun dengan awal yang begitu rumit. Tokoh–tokoh yang pada awalnya dirasa tidak saling berkepentingan ternyata memiliki ujung-ujung kail yang mampu memancing pikiran pembaca untuk menerka dan menghubungkannya dengan tokoh lain. Yasunari Kawabata juga mampu menjelmakan keindahan kebudayaan dan mitologi dalam novel ini.

Novel yang melukiskan hubungan antara seorang lelaki dari kota besar Tokyo yaitu Shimamura dengan Komako seorang geisha yang dikunjunginya di Daerah Salju di bagian utara Pulau Honshu. Shimamura lelaki setengah baya, gemar sekali mengembara, mendaki gunung dan menulis tentang tarian-tarian yang belum pernah dilihat. Shimamura mempunyai pekerjaan yang tidak mengikat dan hidup dari warisan orang tuanya. Shimamura juga mempunyai anak dan istri. Oleh karena itu tidak mungkin menjalin hubungan dengan wanita lain dalam ikatan resmi. Akan tetapi Shimamura lama menginap di Daerah Salju seolah-olah lupa akan anak-istrinya. Bukan karena dia tidak bisa melepaskan diri dan juga buka karena tidak mau


(29)

berpisah dari Komako, akan tetapi sudah menjadi kebiasaan Shimamura menunggu Komako dan sebaliknya meskipun Komako seorang geisha, namun kerap kali Komako juga sering datang mengunjungi Shimamura.

Dan semakin Komako menyerahkan diri dengan kemesraan, semakin kuat juga perasaannya menyalahkan diri sendiri seolah-olah dia tidak berjiwa. Boleh dikatakan Komako tetap merenung, menukik ke dalam kesepiannya. Shimamura tidak bisa mengerti mengapa Komako semakin mengeratkan diri kepadanya. Segala sesuatu dari Komako dapat dipahaminya, tetapi tidak ada satu pun yang dapat dipahami Komako dari diri Shimamura. Hingga pada akhirnya mereka menyadari kalau ternyata cinta mereka memang sudah gagal sejak pertama kali bertemu .

Persoalan cinta dalam novel Daerah Salju ibarat salju di gunung es yang putih bersih dan bila tertimpa cahaya matahari memantulkan cahaya kristal cemerlang namun menyimpan misteri dan dugaan di dalamnya. Novel ini menampilkan sensasi jiwa para tokoh yang terlibat di dalamnya dalam persoalan psikologi cinta yang tidak berakhir, namun ada pantulan gerak-gerik jiwa yang amat peka pada persoalan tersebut dan muncul pada keadaan yang tak terduga.

Bahasa mencerminkan secara langsung pikiran dan perasaan. Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu memahami bahasa akan memungkinkan peneliti untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek,


(30)

meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya (Surya Sumantri, 1998).

Begitu juga dengan AS. Laksana yang menerjemahkan cerita ini dengan sangat baik dan terdiri dari 190 halaman. Bahasanya terlihat indah meskipun terdapat kalimat-kalimat bermakna ganda sebagaimana puisi, namun dapat terdengar seolah-olah tidak ada yang kelihatan janggal, semuanya terucap mengalir dengan wajar dan enak. Nuansa adegan, perasaan dan pikiran masing-masing tokoh serta situasi yang sedang terjadi tidak ada yang luput. Begitu tenang dan pelan sehingga dapat terlihat jelas alur yang dibentuk oleh potongan-potongan cerita di dalamnya. Bahasa seperti itu dapat membuat jarak antara pembaca dengan novel tersebut semakin dekat, seolah-olah ikut terlibat langsung dalam cerita. Dengan demikian pembaca memperoleh gambar yg lengkap tentang tokoh, latar dan lingkungan..

2.2. Biografi Pengarang

Yasunari Kawabata (1899-1972) adalah seorang novelis Jepang terkemuka yang memenangkan Hadiah Nobel dalam sastra untuk mencontohkan pikiran Jepang dalam tulisan-tulisannya. Novel Yukiguni karya Yasunari Kawabata ini mampu menjelmakan keindahan kebudayaan dan mitologi di Jepang, sehingga selayaknyalah novel ini mampu meraih penghargan Nobel Sastra karena dianggap sebagai master piece.

Yasunari Kawabata lahir pada tanggal 14 Juni 1899 di daerah Konohana, Osaka. Dilahirkan dalam sebuah keluarga yang sejahtera. Merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Ayahnya adalah seorang dokter terkemuka tetapi sangat


(31)

mencintai kesusastraan, yang bernama Eikichi. Minat ayahnya akan sastra turun kepada Kawabata.

Pada saat usia dua tahun, Kawabata kehilangan ayahnya. Ayahnya meninggal karena mengidap penyakit TBC. Setahun kemudian Kawabata menjadi anak yatim piatu karena disusul dengan kematian ibunya. Hal ini mengakibatkan Kawabata harus tinggal bersama kakek dan neneknya di daerah Mishima tepatnya di desa Toyohana, Osaka. Namun malang tak bisa dihindari, pada 1906 ketika kawabata berusia 7 tahun, kakek dan nenek Kawabata juga meninggal dunia.

Maka kemudian Kawabata kini tinggal bersama kakek dari ibunya. Kakeknya tuna netra sehingga kawabata melewati masa kanak-kanak dengan mengalami kesulitan dan tidak selayaknya dilalui oleh anak seusia dirinya. Kawabata mempunyai seorang kakak perempuan yang diasuh oleh seorang bibinya. Akan tetapi kakak perempuannya itu yang hanya sekali dijumpainya setelah kematian orang tua mereka, meninggal dunia ketika Kawabata berusia 10 tahun (Juli 1909), dan disusul dengan kematian kakeknya ketika ia berusia 15 tahun (Mei 1914).

Kematian kelurga Kawabata mengurangi masa kecilnya yang normal. Kawabata sering mengatakan bahwa dia belajar kesepian tanpa akar sejak awal. Sehingga dalam kehidupannya Kawabata menggambarkan dirinya sebagai anak tanpa rumah atau keluarga.

Setelah kehilangan semua sanak keluarga dekatnya, ia pindah dengan keluarga ibunya (Keluarga Kuroda). Namun, pada Januari 1916, ia pindah ke sebuah asrama dekat SMP yang hingga saat itu harus didatanginya bolak-balik dengan kereta


(32)

api. Setelah lulus dari SMP pada Mei 1917, persis sebelum ulang tahunnya yang ke-18, ia pindah ke Tokyo, dan berharap untuk lulus ujian masuk Dai-ichi Koto-gakko' (Sekolah Menengah Atas Nomor Satu), yang berada di bawah asuhan langsung Universitas Kekaisaran Tokyo. Kawabata berhasil lulus dalam ujian itu pada tahun yang sama dan kemudian masuk ke Fakultas Sastra Inggris. Pada Juli 1920 Kawabata lulus dari Sekolah Menengah Atas dan memulai pendidikannya di Universitas Kekaisaran Tokyo pada bulan yang sama.

Kemudian Kawabata melanjutkan kuliah di jurusan Sastra Inggris dan minatnya pada dunia sastra juga semakin besar. Sementara masih menjadi mahasiswa, Kawabata menghidupkan kembali majalah sastra Universitas Tokyo, "Shin-shicho" (Arus Pemikiran Baru) yang telah mati lebih dari empat tahun. Di situ ia menerbitkan cerita pendeknya yang pertama, "Shokonsai Ikkei" ("Suasana pada suatu pemanggilan arwah"), sebuah karya yang hingga kini masih diakui nilai sastranya.

Lalu Kawabata pindah jurusan ke Sastra Jepang. Bersama teman-temann kuliahnya, Kawabata sering mendiskusikan karya-karya pengarang besar seperti Kikushikan Akutagawa Ryunosuke dan sastrawan besar lainnya. Ketika kuliah, ia beralih jurusan ke Sastra Jepang dan menulis skripsi yang berjudul, "Sejarah singkat novel-novel Jepang". Hingga pada akhirnya Kawabata lulus pada Maret tahun 1924.

Pada Oktober 1924, bersama Kataoka Teeppei, Yokomitshu Riichi, dan sejumlah penulis muda lainnya memulai sebuah jurnal sastra baru Bungei Jidai (Zaman Artistik). Jurnal ini adalah reaksi terhadap aliran sastra Jepang yang lama dan


(33)

mapan, khususnya aliran naturalis, sementara pada saat yang sama juga bertentangan dengan sastra kaum buruh atau aliran komunis atau sosialis. Ini adalah gerakan seni untuk seni, yang dipengaruhi oleh Kubuisme Eropa, eksperionisme, dan gaya modernis lainnya, yang disebut dengan Shinkankaku-ha, namun sering kali keliru karena ditafsirkan sebagai neo-imperionisme. Istilah Shinkankakuha yang digunakan Kawabata dan Yokomitsu untuk menggambarkan filsafatnya, tidak dimaksudkan sebagai versi baru atau pemulihan dari Imperionisme, dimana gerakan mereka dipusatkan pada upaya memberikan impresi baru atau, lebih tepatnya sensasi baru dalam penulisan sastra.

Kawabata mulai mendapatkan pengakuan dengan sejumlah cerita pendek tidak lama setelah ia lulus, dan memperoleh kemasyhuran dengan Izu no Odoriko (Gadis Penari dari Izu) pada 1926, yaitu sebuah cerita yang menjelajahi erotisisme orang muda yang sedang berkembang. Kebanyakan karyanya di kemudian hari menjelajahi tema-tema serupa. Kemudian setelah berakhirnya Perang Dunia II, suksesnya berlanjut dengan novel-novel seperti Seribu Bangau (sebuah cerita tentang cinta yang bernasib malang), Suara Gunung, Rumah Perawan, Kecantikan dan Kesedihan dan Ibu Kota Lama.

Buku yang ia sendiri anggap sebagai karyanya yang terbaik adalah Empu Go (1951), yaitu sebuah kontras yang tajam dengan karya-karyanya yang lainnya. Yang mengisahkan setengah fiksi tentang sebuah pertandingan besar Go pada tahun 1938. Karya ini benar-benar dilaporkannya dalam kelompok surat kabar Mainichi. Ini adalah permainan terakhir dari karier Empu Shusai, dan ia dikalahkan oleh penantang mudanya, dan meninggal sekitar setahun kemudian. Meskipun pada


(34)

permukaannya cerita ini mengharukan, sebagai penceritaan kembali mengenai sebuah perjuangan puncak oleh sejumlah pembaca kisah ini dianggap sebagai paralel simbolis dari kekalahan Jepang pada Perang Duania II. Sehingga Kawabata merupakan kekuatan pendorong di balik penerjemahan sastra Jepang ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa barat lainnya.

Salah satu novelnya yang paling terkenal adalah Yukiguni ( Daerah Salju )yang dimulai pada 1934, dan pertama kali diterbitkan secara bertahap sejak 1935 hingga 1937. Daerah Salju adalah sebuah cerita yang gamblang mengenai sebuah hubungan cinta antara seorang penulis amatir dari Tokyo dengan seorang geisha desa, yang berlangsung di sebuah kota dengan sumber air panas yang jauh di sebelah barat dari pegunungan Alpen Jepang. Novel ini memantapkan Kawabata sebagai salah satu pengarang terkemuka Jepang dan langsung menjadi sebuah klasik, yang digambarkan oleh Edward G. Seindensticker, yang merupakan adikarya Kawabata.

Pada tahun 1968 Kawabata pergi ke Stockholm untuk menerima hadiah nobel bidang kesusastraan atas hasil karyanya yang utama, yaitu Yukiguni ( Daerah Salju ). Di dalam pidatonya ketika menerima nobel tersebut, Kawabata mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang yang menerjemahkan bukunya ke dalam bahasa Inggris sehingga ia bisa mendapatkan hadiah nobel tersebut. Kawabata juga mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap tindakan bunuh diri walaupun dalam karya-karyanya ada juga yang menceritakan mengenai orang yang bunuh diri karena masalah yang berat dan persaan yang bersalah. Akan tetapi hadiah nobel diterimanya justru ketika ia sudah lama tidak menulis karya kreatif yang baru.


(35)

Namun pada kenyataannya Kawabata tidak memegang setia perkataannya tersebut, karena Kawabata sendiri juga meninggal akibat bunuh diri tepatnya pada tanggal 16 April 1972 dengan meracuni dirinya dengan gas. Banyak anggapan yang muncul mengenai kematian Kawabata karena tidak meninggalkan catatan apapun, dan karena ia tidak pernah membahasnya secara sungguh-sungguh dalam tulisan-tulisannya, sehinnga apa yang menjai motif bunuh dirinya tetap tidak jelas. Seperti pohon pisang, setelah berbuah harus ditebang, daripada pembusukan, begitulah Kawabata mengakhiri nyawanya sendiri.

2.3 Sinopsis Novel Yukiguni

Novel Yukiguni ini menceritakan tentang liku-liku kehidupan yang ada di Jepang khususnya di penginapan di daerah pegunungan yang terdapat geisha atau wanita penghiburnya. Cerita ini berawal dari sebuah perjalanan seorang pria dari Tokyo bernama Shimamura. Shimamura adalah seorang pelancong dari kota besar Tokyo yang sering mengunjungi tempat-tempat favoritnya. Shimamura meninggalkan anak dan istrinya yang sebenarnya tidak tahu maksud perjalanan suaminya, yaitu untuk menemui seorang wanita, geisha yang bernama Komako yang dulu pernah mengisi hari-hari Shimamura di Daerah Salju di bagian utara Pulau Honshu. Cerita ini berawal dari perjalanan Shimamura ketika menuju ke penginapan di daerah pegunungan untuk menemui seorang geisha amatir bernama Komako.

Dalam kereta api Shimamura bertemu dengan sesosok wanita yang sedang bersama pria yang sedang sakit. Akhirnya setengah jam kemudian mereka tiba di


(36)

stasiun yang sama. Setelah itu Shimamura langsung menuju ke penginapan, dan di sana ia disambut oleh geisha. Dan ternyata Shimamura sudah akrab dengan keadaan di sana dan sudah mengenal beberapa geisha yang ada di sana.

Keesokan harinya, datanglah seorang wanita ke kamar Shimamura. Mereka bercerita-cerita dan mulai merasakan adanya rasa persahabatan di antara keduanya. Mereka membicarakan tentang tarian-tarian barat, sampai membicarakan seorang wanita geisha. Shimamura juga sambil menyesuaikan diri dengan warna terhadap sifat penduduk daerah yang dikunjunginya tersebut. Wanita itu sering ke kamar Shimamura dan mulai membicarakan banyak hal. Wanita itu mengatakan tentang hubungan mereka yang tidak bisa lebih dari sahabat. Dan Shimamura pun bingung dengan maksud wanita tersebut. Wanita itu menangis karena merasa penjelasannya tersebut ditertawakan oleh Shimamura.

Dan tiba-tiba wanita itu bercerita tentang catatan hariannya kepada Shimamura. Betapa terkejutnya Shimamura karena ia tahu bahwa ternyata wanita itu mencatat semua roman yang dibacanya sejak berumur lima belas atau enam belas tahun dan buku catatannya sudah mencapai sepuluh jilid. Kemudian Komako membacakan roman-romannya tersebut pada Shimamura dengan riangnya. Cerita wanita itu mengenai roman, tidak menyangkut sama sekali dengan istilah kesusastraan yang dipakai sehari-hari. Itu karena ia hanya menulis cerita tentang kehidupannya dari pertukaran majalah dengan penduduk kampung, sehingga ia membaca sendirian saja.

Wanita itu adalah seorang Geisha yang barnama Komako. Ia sering pergi ke acara perjamuan, tetapi tidak lupa untuk selalu menyempatkan diri ke kamar Shimamura. Wanita itu sering ke kamar Shimamura dan mandi di sana. Shimamura


(37)

merasakan bahwa Komako berbeda dengan wanita geisha yang lain. Ada sesuatu yang membuat Shimamura tertarik degan Komako. Seperti sebelumnya, setelah pulang dari pejamuan dengan keadaan mabuk, Komako datang terhuyung-huyung menuju ke kamar Shimamura. Disana, mereka bercerita tentang gadis yang ditemui Shimamura ketika dalam perjalanan didalam kereta, dan Komako minta pamit pulang begitu saja setelah mereka selesai bercerita. Ia pulang ke rumah guru tarinya yang dulunya juga tempat bekas memelihara ulat sutera. Dan keadaan bilik tersebut sangat menyedihkan dan tidak layak untuk ditempati.

Suatu hari Shimamura diajak melihat keadaan tempat tinggal Komako tersebut dan juga diajak ke kamar tempat si sakit anak dari guru tarinya. Kemudian Komako bercerita sedikit tentang anak guru tari tersebut. Dan di saat itu terdengar suara gadis yang suaranya tidak asing bagi Shimamura. Ternyata suara itu adalah suara gadis yang dilihatnya di dalam kereta yang merawat laki-laki yang sedang sakit, gadis itu adalah Yoko. Walaupun sudah keluar dari bilik, tetapi ingatan Shimamura tidak bisa lepas dari Yoko, gadis yang ditemuinya di dalam kereta yang diam-diam pernah diamatinya. Ia berjalan semakin cepat sambil memandangi gunung-gunung yang berderet dan pemandangan disekitarnya. Sampai di puncak pendakian ia bertemu dengan seorang wanita tukang pijit. Sambil dipijit, ia berbincang-bincang dengan wanita itu. Mereka membicarakan tentang geisha yang ahli dalam memainkan shamisen, yaitu alat musik yang seperti gitar tapi lebih kecil dengan tiga buah senar. Mereka juga bercerita tentang Komako yang kabarnya menjadi geisha karena kepentingan tunangannya. Pemijatan sudah selesai dan akhirnya mereka menghentikan pembicaraan, setelah itu mereka saling berpamitan dan melanjutkan aktifitasnya masing-masing.


(38)

Di rumah penginapan itu diselenggarakan pertemuan untuk merundingkan persiapan menyambut para tamu pemain ski. Sementara itu Shimamura merasa hampa dan sedih karena Komako nantinya juga akan ada di situ untuk melakukan perjamuan. Tetapi sepulang dari perjamuan Komako mendatangi bilik Shimamura dengan keadaan mabuk. Ia berbaring dan mulai bercerita tentang sepanjang bulan Agustus. Komako hanya menghabiskan waktunya tanpa melakukan apa-apa karena menderita kelemahan saraf. Komako merasa kawatir kalau nanti ia sampai gila.

Keesokan harinya ketika mereka terjaga dari tidur, tiba-tiba Shimamura teringat akan perkataan tukang pijit wanita yang menganjurkan Komako untuk balajar pada wanita itu saja. Komako bangkit dan menelepon supaya buku latihan nagauta (nyanyian tradisional khas Jepang yang ketika dinyanyikan diiringi oleh shamisen) dan pakaian untuk salin diantarkan ke penginapan. Mengingat adanya telepon di rumah yang baru saja dikunjungi kemarin, Shimamura tiba-tiba teringat pada Yoko. Dan seketika itu juga Shimamura bertanya tentang kebenaran berita pertunangan Komako. Komako yang mendengarnya kemudian membatah berita tersebut, kemudian menceritakan cerita yang sebenarnya kepada Shimamura. Setelah itu Yoko datang mengantarkan pakaian salin Komako kemudian langsung pulang dan tidak mengatakan apa-apa.

Sejak saat itu walaupun Komako menginap, Komako tidak memaksakan diri untuk pulang sebelum fajar menyingsing. Terkadang ia bermain dengan memeluk anak gadis kecil di dalam kotatsu (alat pemanas bagian bawah tubuh). Kemudian Shimamura melihat Komako dan anak gadis tersebut, nampaklah juga orang yang berpakaian ski sedang bermai di ladang yang berada di ujung kaki gunung. Keesokan harinya Shimamura akan pulang, berangkat dengan kereta jam tiga sore. Sebelum


(39)

meninggalkan penginapan itu, Shimamura membayar uang penginapan. Komako mengantarkan Shimamura ke stasiun. Sambil menunggu kereta datang, tiba-tiba Yoko datang dengan tergopoh-gopoh dan langsung memeluk Komako. Yoko menyuruh Komako cepat kembali ke rumah karena anak guru tari tempat Komako tinggal, karena tunangannya dalam keadaan sekarat. Tetapi Komako tidak menghiraukannya. Komako malah ingin ikut Shimamura pulang dan tidak mau memnemui laki-laki yamg sakit itu. Dengan berdalih ia tidak mau melihat orang meninggal. Mereka terdiam dan tidak bisa mengucapkan apa-apa. Kemudian kereta datang, Komako mengucapkan selamat jalan pada Shimamura.

Tiba saatnya musim serangga bertelur. Sehingga banyak serangga yang masuk ke dalam rumah-rumah. Shimamura datang ke penginapan lagi. Ketika Shimamura sampai di tempat penerimaan tamu, ia diajak istri pemilik penginapan. Disana Shimamura bertemu dengan Komako lagi. Mereka berdebat sejenak tentang perpisahan mereka di waktu lalu. Komako sedikit protes pada Shimamura yang ingkar janji untuk datang pada tanggal yang dikatakan pada Komako. Dan Shimamura merasa bersalah karena ketidakdatangannya membuat Komako tidak menerima untuk marawat guru tarinya yang yang sakit paru-paru itu. Karena pada tanggal mereka janjian, kemudian di hari berikutnya Komako mendapat telegram dan akhirnya ia mau merawat guru tarinya tersebut dan akhirnya guru tarinya tersebut meninggal. Shimamura merasa bersalah dan meminta maaf pada Komako. Tiba-tiba Komako mengeluh sakit lambung dan meniarap ke pangkuan Shimamura. Semenjak Guru tarinya meninggal, Komako pindah rumah dan ia benar-benar menjadi wanita geisha.


(40)

Pembicaraan tentang guru tari itu berakhir, mereka berpindah membicarakan tentang Komako yang apabila ia sudah menikah nanti. Tiba-tiba Komako mengalihkan pembicaraan, ia Mengharap Shimamura akan tetap datang ke penginapan itu walaupun hanya setahun sekali. Komako mengatakan ia mungkin tidak akan bisa mempunyai anak. Komako pernah ingin dinikahi oleh orang yang berasal dari pelabuhan, tetapi ia tidak mau dan mengelak dengan beberapa cara. Keesokan harinya Komako bangun pagi dan segera pulang meninggalkan bilik Shimamura. Setelah Komako pulang, Shimamura berjalan-jalan ke kampung. Ia juga melihat aktifitas para penduduk saat itu. Sebelum berangkat, Shimamura membeli buku petunjuk tentang gunung-gunung di sekitar penginapan.

Sepulang dari jalan-jalan, ketika turun dari mobil, Shimamura disambut oleh Komako dan dihujani oleh rasa penasaran Komako dari manakah Shimamura pergi. Tiba-tiba mereka berdua melihat asap tebal dan nyala api membumbung di tengah kampung bawah. Rupanya yang terbakar adalah gudang ulat sutra. Komako ketakutan dan memeluk Shimamura. Kemudian mereka bergegas menuju tempat kebakaran itu. Pemadam kebakaran berdatangan berusaha memadamkan api yang berkobar. Di dalam api yang membara itu terlempak sesosok wanita, dan tubuhnya terhempas ke tanah. Semua orang terkejut dan memjerit. Ternyata tubuh itu adalah milik Yoko. Komako dan Shimamura terpaku dan merasa tidak percaya bahwa gadis itu adalah Yoko. Komako langsung berlari dan merangkul tubuh Yoko sambil menangis. Shimamura hanya bisa melihat keduanya dalam lingkaran para penduduk tanpa mengucap sepatah kata pun.


(41)

2.4 Setting Novel Yukiguni

Yasunari Kawabata banyak menggunakan bahasa kias simile atau perbandingan dalam menunjukkan setting dalam novel ini. Hal ini selain dimaksudkan untuk memudahkan penggambaran musim salju (latar atau setting) yang jelas, juga untuk membuat variasi dalam berbahasa serta mencapai efek estetis tertentu.

Yukiguni membawa kita pada sebuah daerah bersalju di Jepang sana dengan gunung-gunungnya. Bagaimana serangga berwarna kuning melesat-lesat di pintu masuk hutan pohon suji. Suasana di desa wisata itu dengan atap-atap rumah yang tertimbun salju. Yukiguni menggambarkan kehidupan masyarakat yang berada di daerah terpencil, desa. Hal ini digambarkan bahwa di Daerah Salju terdapat suatu kehidupan masyarakat Jepang di daerah terpencil, yaitu daerah salju yang berada di wilayah Jepang bagian barat. Daerah salju digambarkan sebagai tempat terpencil sehingga ketika hendak mengunjungi daerah tersebut, seseorang harus menempuh perjalanan yang jauh dengan mengendarai kereta api penumpang yang sudah usang, harus melewati terowongan baru sampai di daerah salju yang disekitarnya penuh dengan salju yang dingin.

Efek estetis yang didapatkan dengan penggunaan bahasa kias dan pilihan kata atau pilihan leksikal adalah memberi nuansa seni yang indah pada pembaca dalam membayangkan (mengimajinasikan) apa yang ditulis oleh pengarang untuk memberikan gambaran yang jelas tentang keadaan pada waktu musim salju di Daerah Salju.


(42)

2.5 Kehidupan Geisha Dalam Masyarakat Jepang

Novel Yukiguni ini memiliki beberapa peniruan atas kehidupan nyata tentang kehidupan geisha yang terjadi di dalam masyarakat Jepang. Geisha adalah seorang wanita penghibur profesional. Geisha bukanlah seorang pelacur atau prostitusi, sebagaimana layaknya yang terkesan dibenak orang selama ini Secara harafiah geisha berasal dari dua kata, yaitu: gei yang berarti seni dan sha yang berarti pribadi. Maka dapat dikatakan bahwa geisha itu adalah seseorang yang mempunyai pribadi atau berjiwa seni yang digunakan untuk menghibur, terutama kaum pria.

Seorang geisha harus mempunyai wawasan yang luas pada saat mereka masih dalam tahap pendidikan, yang disebut dengan maiko. Pada waktu senggang di sore hari mereka akan pergi ke toko buku, perpustakaan atau museum untuk menambah wawasan mereka, karena pada dasarnya mereka diwajibkan untuk banyak belajar. Para geisha akan diberi informasi tentang asal dan latar belakang tamu mereka dan juga banyak mencari hal menarik dari tamunya sehingga dapat membentuk percakapan yang cukup menarik dengan para tamunya, sehingga tamu tersebut bisa betah berada di sisinya.

Selama bertahun-tahun seorang calon geisha dididik untuk memiliki keterampilan tinggi dalam menari, memainkan tsutsumi (gendang kecil), memetik shamisen, memiliki keahlian kaligrafi, dan mengetahui seluk-beluk upacara minum teh. Masa-masa pendidikan itu ibarat kepompong yang menyiapkan ulat menjadi kupu-kupu. Sehingga bagi mereka yang tak berbakat akan terpental.

Untuk bisa menjadi geisha memerlukan pelatihan khusus dan memakan waktu yang tak singkat. Para wanita yang masih belajar manjadi geisha (disebut


(43)

maiko) akan dididik di sekolah khusus (O-chaya). Umumnya maiko ini berusia antara 15-20 tahun. Seorang maiko biasanya menjadi pendamping geisha sekaligus belajar seluk-beluk geisha. Setelah lulus, maiko bisa melanjutkan menjadi geisha ataukah berhenti.

Semakin tinggi kemampuannya, semakin sang geisha menjaga image dirinya dan mereka tidak mudah dibeli begitu saja. Geisha senior akan membimbing sang geisha magang agar ia selalu menjaga dunia penampilannya. Bagai seorang kakak, geisha senior membawa geisha junior keliling berbagai acara perjamuan, pesta, menonton drama kabuki, tamasya, agar wajahnya dapat dikenal oleh para pelanggan kaya. Di situlah ia belajar saling berkompetisi dengan geisha lain. Sebuah kehidupan keras tempat sesama geisha bisa saling menjatuhkan.

Erotisisme memang tidak terelakkan menjadi bagian yang melekat pada dunia geisha. Pada zaman Edo atau zaman Tokugawa (1600-1868), saat Jepang tertutup dari dunia luar, dunia kesenian tumbuh berkembang. Gulat dan geisha sering menjadi obyek gambar Ukiyo-e (kerajinan cetak atau cukil kayu yang sangat popular). Imajinasi erotik dunia hasrat yang paling liar dari geisha sering diungkap dalam seni kerajinan massal. Geisha juga adalah wakil terdepan dari dunia cita rasa di Jepang. Dalam hidupnya, seorang geisha akan mencari seorang danna (laki-laki yang nanti akan membiayai hidup dan kemewahannya). Para geisha terpandang memiliki danna dari kalangan pengusaha berpengaruh sampai jenderal-jenderal. Saat peralihan politik dari zaman Tokugawa ke Meiji, banyak geisha dekat dengan para tokoh. Saat itu berbagai rencana revolusi atau kerusuhan selalu disusun di rumah geisha.


(44)

Geisha dihargai karena dianggap bisa menyimpan rahasia pembicara-an-pembicaraan penting itu. Geisha, karena itu, bisa banyak memiliki kedekatan dengan para tokoh. Sebagai seorang penghibur yang profesional, geisha akan terlibat hubungan emosional dan ekonomi dalam memberikan pelayanan prima kepada tamu. Pada akhirnya keterlibatan fisik antara seorang pengibur dan tamunya, kembali terserah pada geisha itu sendiri.

Namun, dunia geisha pada saat ini menjadi berkurang kegiatannya dalam bidang seks. Pada saat ini lebih mengarah kepada pelestarian budaya, sehingga geisha pada saat ini pada umumnya merupakan para wanita yang terpelajar dan terampil dalam semua bidang terutama kesenian Negara Jepang, karena mereka adalah salah satu daya tarik bagi turis yang berkunjung ke Jepang.

Di Jepang kimono menjadi satu-satunya gaun perempuan, sehingga gaya berpakaian geisha adalah pelopor tren. Pada geisha terlihat seluruh keanggunan, keeleganan. Dapat terlihat dalam cara berbusana para geisha, akan dapat disaksikan bagaimana dari konde sampai kimono geisha berbeda dengan perempuan biasa. Motifnya, warna-warnanya lebih cerah, obi (kat pinggang kimono) yang agak tebal dan mempunyai ujung menggantung nyaris menyentuh lantai.

Lambat laun terjadi perubahan besar. Citra geisha pun semakin mengalami kemunduran kejayaan. Setelah perang banyak geisha kehilangan pamor, terusir dari rumah-rumah mewah. Banyak pelacur atau hostes di bar menyamar sebagai geisha. Para tentara Amerika yang menduduki di Jepang sedikit banyaknya memberi andil pada perubahan cara pandang ini, karena mereka semata-mata menempatkan geisha sebagai obyek seksual. Mereka membayangkan geisha sebagai semacam hiburan semata.


(45)

(dalamhttp://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2006/01/09/LYR/mbm.20060109. LYR117834.id.html)


(46)

BAB III

ANALISA KEHIDUPAN GEISHA MELALUI TOKOH DALAM NOVEL YUKIGUNI

3.1 Penampilan Geisha

Berikut adalah gambaran tetang penampilan geisha di Jepang yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut.

Cuplikan 1

Di ujung gang, pada tikungan tempat penerimaan tamu, dilihatnya seorang perempuan berperawakan tinggi, ujung gaunya menyapu lantai papan yang hitam berkilau.

Ia tertegun menyaksikan kimono itu-apakah gadis itu akhirnya menjadi geisha? Perempuan itu tidak mendekat ke arahnya, tidak menunjukkan sedikit pun gelagat penyambutan. Dari tempatnya berdiri, Shimamura menangkap sesuatu yang penuh kesungguhan pada sosok yang tegang mematung itu. Ia bergegas mendekatinya, tetapi mereka tidak saling menyapa bahkan ketika Shimamura sudah berada di sebelahnya. Perempuan itu mencoba tersenyum dengan bedak tebal pada wajahnya, namun ia malah menangis dan mereka berdua melangkah tanpa bicara menuju kamar Shimamura. (Yukiguni : 13)


(47)

Cara gadis itu mengenakan kimono agak mirip geisha , tetapi gadis itu tidak menyeret ujung kimononya. Sebalikknya, ia mengenakan kimononya dengan sangat rapi, kimono musim panas yang tipis dan tanpa kain pelapis. Namun obi-nya tampak mahal dan tidak sesuai dengan kimononya, hal ini membuat Shimamura tertegun dan agak sedih. (Yukiguni : 17)

Analisa Cuplikan 1 dan 2

Make-up putih, rumit kimono dan rambut Maiko adalah ciri populer yang diselenggarakan geisha Pakaian adat Jepang yang selalu digunakan geisha dalam melakukan acara yang bersifat penting. Geisha juga adalah wakil terdepan dari dunia cita rasa. Di Jepang kimono menjadi satu-satunya gaun perempuan, gaya berpakaian geisha adalah pelopor tren. Pada geisha terletak seluruh keanggunan, keeleganan geisha memakai kimono dengan obi berwarna-warni yang sangat mewah. Obi berwarna terang terang daripada warna kimono untuk memberikan keseimbangan eksotis tertentu.

Warna, pola, dan gaya kimono yang tergantung pada musim dan peristiwa geisha adalah hadir. Bagaimana cara berbusana para geisha, akan dapat terlihat berbeda dengan perempuan biasa. Motifnya, warna-warnanya lebih cerah. Obi (ikat pinggang kimono) yang agak tebal milik para geisha magang, misalnya, mempunyai ujung menggantung nyaris menyentuh lantai.


(48)

Rambut perempuan itu sesungguhnya tidaklah tebal, hanya saja setiap helainya kakau seperti rambut laki-laki. Dengan potongan model tinngi dan cukuran yang licin, rapi, tanpa helai-helai rambut yangmencuat keluar, rambut itu tampak berkilau seperti bongkahan batu hitam. (Yukiguni : 40-41)

Analisa Cuplikan 3

Gaya rambut geisha telah bervariasi sepanjang sejarah. Para geisha mulai meningkatkan model rambut mereka lagi. Dan itu adalah saat saat ini bahwa, jenis sanggul tradisional yang dikenakan oleh geisha paling mapan yang dikembangkan yang disebut shimada.

Ada empat jenis utama dari Shimada. Pertama Shimada taka, yaitu: sebuah sanggul tinggi biasanya dipakai oleh muda, wanita lajang. Kedua Shimada tsubushi, yaitu: sebuah sanggul lebih rata umumnya dikenakan oleh wanita yang lebih tua. Ketiga uiwata, yaitu: sebuah sanggul yang biasanya terikat dengan crepe sepotong kapas berwarna, dan gaya yang menyerupai

persik dibagi. Keempat Ofukum, yaitu.

Ini gaya rambut yang dihiasi dengan sisir rambut yang rumit-dan jepit rambut.

Pada abad ketujuh belas dan setelah masa Restorasi Meiji, sisir rambut yang besar dan mencolok, umumnya lebih berhias bagi perempuan-kelas yang lebih tinggi. Setelah Restorasi Meiji dan masuk ke era modern, lebih kecil dan kurang mencolok sisir rambut menjadi lebih populer.

Geisha tidur dengan leher mereka pada alat bantu kecil (takamakura), bukan bantal, sehingga mereka bisa menjaga gaya rambut mereka sempurna.


(49)

Untuk memperkuat kebiasaan ini, mentor mereka akan menuangkan nasi di sekitar dasar mendukung. Jika kepala geisha berguling dari dukungan saat dia tidur, beras akan tetap pada minyak rambut di rambutnya. Geisha akan memerlukan gaya rambutnya setiap minggu. Namun sekarang banyak geisha yang menggunakan wig pada masa modern dalam kehidupan profesional mereka. Akan tetapi, jarang laki-laki mengambil posisi kontingen seperti penata rambut, meja rias. Laki-laki memiliki peran yang terbatas dalam kegiatan aktivitas geisha.

3.2 Sistem Kerja Geisha

Berikut adalah gambaran tentang tata kerja geisha di Jepang yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut.

Cuplikan 1

“Jangan bohong!”

“Saya tidak bohong.” Perempuan itu berpaling ke arah Shimamura dan kemudian duduk di amang jendela. “tak seorang pun bias memaksa geisha untuk melakukan apa yang ia tidak mau. Semaunya tergantung pada geisha itu sendiri. Rumah-rumah penginapan pun tidak bisa menyediakan hal itu untuk tuan. Jika tuan mau, silahkan tuan coba sendiri memanggil seorang geisha dan menyampaikan maksud tuan kepadanya.” (Yukiguni : 19 )

Analisa Cuplikan 1

Sebagai seorang penghibur yang profesional, geisha akan terlibat hubungan emosional dan ekonomi dalam memberikan pelayanan prima


(50)

kepada tamu. Pada akhirnya keterlibatan fisik antara seorang pengibur dan tamunya, kembali terserah pada geisha itu sendiri.

Masih ada beberapa kebingungan tentang sifat profesi geisha. Geisha dianggap sebagai pelacur oleh banyak non-Jepang . Geisha adalah seorang wanita penghibur profesional. Geisha bukanlah seorang pelacur atau prostitusi, sebagaimana layaknya yang terkesan dibenak orang selama ini. Bahkan beberapa warga Jepang yang melihat geisha di jalan karena geisha kelas bawah yang menjual tubuh mereka dan bekerja sebagai pelacur.

Namun, geisha yang sah tidak terlibat dalam membayar seks dengan klien. Tujuan mereka adalah untuk menghibur pelanggan mereka, baik itu dengan menari, membaca ayat, bermain alat musik, atau terlibat dalam percakapan ringan.

Sebagai seorang artis penghibur, ia harus bisa menghibur para tamu yang menyewanya dengan sebuah pelayanan profesional. Geisha yang sukses dapat masuk pelanggan laki-lakinya dengan musik, tari, dan percakapan. Geisha tidak tunduk dan patuh, namun sebenarnya mereka adalah beberapa yang paling sukses secara finansial dan emosional dan perempuan terkuat di Jepang, dan secara tradisional telah begitu".

Khususnya yang berkaitan dengan seni tradisional Jepang. Para geisha dituntut bisa menari tarian tradisional (tachikata), bernyanyi (jikata), memainkan shamisen atau alat musik petik seperti kecapi khas jepang, merangkai bunga, mengenakan kimono, mengerti tata cara seremonial minum teh secara formal, serta melayani tamu dengan cara-cara yang sangat sopan


(51)

dan beretiket. Kesemuanya itu merupakan tuntutan yang harus dipenuhi kalau ingin menjadi seorang geisha yang sukses.

Cuplikan 2

Saat Shimamura berganti pakaian untuk meninggalkan tempat itu dengan kereta pukul tiga besok siangnya, kepala pelayan rumah penginpan itu memberi isyarat kepada Komako di lorong. “ya sudah. Hitung saja kira-kira sebelas jam,’ kata Komako. Mereka rupanya sedang membicarakan upah pelayan perempuan itu sebagai geisha , dan kepala pelayan mungkin tidak sepakat jika hitungannya enam belas jam.

Rekening tagihan ternyata dihitung sesuai jam-“keluar pukul lima’ atau ‘keluar pukul dua belas’ tanpa memasukkan biaya pelayanan jika menginap. (yukiguni : 84)

Analisa Cuplikan 2

Seorang geisha profesional mempunyai tarif yang sangat mahal. Dengan perhitungan per satu atau dua jam, tarifnya bisa mencapai ratusan dolar US. Geisha sejati tidak akan pernah mengotori reputasinya dengan membuat dirinya bisa disewa laki-laki dengan tarif per malam Biasanya hanya perusahaan-perusahaan kelas kakap seperti Toyota yang mampu menyewa seorang geisha profesional. Sedangkan untuk yang dibawah itu, tarifnya juga masih tergolong mahal meskipun dihitung dengan mata uang domestik, yen.


(52)

“Buruk sekali sekarang ini. Dulu, kami selalu bermufakat; sekarang setiap geisha memikirkan dirinya sendiri. Tempat ini sudah berubah. Geisha-geisha baru dating dan mereka tidak saling membaur. Aku akan kesepian tanpa Kikuyu. Ia selalu menjadi penengah dalam segala hal. Dan, ia selalu mendapatkan uang paling banyak. Orang-orang yang berhubungan dengannya sangat memperhatikan dia.” ( Yukiguni :104)

Analisa Cuplikan 3

Gabungan cita rasa dan keahlian seni ini yang membedakan mana geisha top dan murahan. Semakin tinggi kemampuannya, semakin sang geisha menjaga image dirinya dan mereka tak mudah dibeli begitu saja. Geisha senior akan membimbing sang geisha magang agar ia selalu menjaga dunia penampilannya. Bagai seorang kakak, ia membawa sang yunior keliling berbagai perjamuan, pesta, menonton drama kabuki, tamasya, agar wajahnya dapat dikenal oleh para pelanggan kaya. Di situlah ia belajar saling berkompetisi dengan geisha lain. Sebuah kehidupan keras tempat sesama geisha bisa saling menjatuhkan.

Cuplikan 4

Ia lahir di daerah salju ini, tetapi ia pernah menjalani kontrak sebagai geisha di Tokyo. Selanjutnya, ia dipiara oleh seorang tuan yang melunasi utang-utangnya dan memberinya kesempatan untuk berlatih menjadi guru tari. Namun sial, satu setengah tahun kemudian, lelaki itu meninggal. Ketika harus menceritakan apa yang terjadi sejak itu, cerita yang paling dekat


(53)

dengan dirinya sendiri, perempuan itu tampak enggan mengungkapkannya. Ia mengatakan umurnya sembilan belas. Shimamura menduga dua puluh dua. Dan karma merasa perempuan itu tidak berbohong, fakta bahwa perempuan itu lebih matang dibandingkan umurnya yang telah memberi Shimamura, untuk pertma kalinya, perasaan nyaman yanag ia harapkan dalam pertemuan dengan geisha.

(Yukiguni : 18)

Analisa Cuplikan 4

Dalam hidupnya, seorang geisha akan mencari seorang danna, yaitu laki-laki yang nanti akan membiayai hidup dan kemewahannya. Saat itu tradisional di masa lalu untuk geisha dibentuk untuk mengambil danna. Biasanya seorang pria kaya, kadang-kadang menikah, yang memiliki sarana untuk mendukung biaya sangat besar terkait.

Para geisha terpandang memiliki danna dari kalangan pengusaha berpengaruh sampai jenderal-jenderal. Saat peralihan politik dari zaman Tokugawa ke Meiji, banyak geisha dekat dengan para tokoh. Saat itu berbagai rencana revolusi atau kerusuhan selalu disusun di tea house. Geisha dihargai karena dianggap bisa menyimpan rahasia pembicaraan-pembicaraan penting itu. Geisha, karena itu, bisa banyak memiliki kedekatan dengan para tokoh.

Sangat jarang terjadi, akan tetapi keintiman tidak pernah dilihat sebagai imbalan atas dukungan keuangan danna nya. Konvensi tradisional


(54)

dan nilai-nilai dalam hubungan seperti itu sangat rumit dan tidak dipahami, bahkan oleh banyak orang Jepang.

Meskipun benar bahwa geisha adalah bebas mengejar hubungan pribadi dengan pria dia bertemu dengan pekerjaannya, hubungan tersebut dengan hati-hati dipilih dan tidak mungkin santai. Sebuah kecenderungan menjadi komunitas yang sangat ketat-merajut dan reputasi baik geisha tidak dianggap enteng.

3.3 Hubungan Antara Geisha Dengan Laki-Laki ( Pelanggannya )

Berikut adalah gambaran tentang hubungan antara geisha dengan laki-laki (Pelanggannya) yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut

Cuplikan 1

“Kapan kau pertama keluar sebagai geisha?” “Juni. Sempat terpikir untuk pergi ke Hamamatsu.”

Komako mengangguk.Seorang laki-laki mengajaknya menikah, tetapi ia tidak menyukai laki-laki itu. Ia bimbang sekali memutuskan apa yang harus dilakukan.

‘kalau kau tidak menyukainya, kenapa kau begitu bimbang?’ “tak sesederhana itu.”

“kau tertarik sekali untuk menikah?”

“jangan usil. Yang lebih penting adalah melihat segala hal di sekitarku beres lebih dulu.”


(55)

“kau tak mudah percaya rupanya.”

“kau menaruh perasaan kepada laki-laki Hamamtsu itu?”

“Kalau ada, apakah aku harus bimbang?’ cetus Komako.” Hanya saja ia pernah bilang bahwa selama aku tinggal disini, ia takkan membiarkan aku menikah dengan orang lain. Ia bilang akan melakukan apa saja untuk menghalangiku. (Yukiguni : 67)

Analisa Cuplikan 1

Seorang geisha tak pernah menikah. Dalam hidupnya, Seorang geisha tak pernah menyerah sukarela kepada laki-laki yang dianggapnya menarik. Geisha juga punya kerinduan seperti halnya manusia biasa. Geisha yang mengambil risiko semacam itu hanya bisa berharap dia tidak akan ketahuan

Menjadi geisha adalah cara bagi perempuan untuk menghidupi diri sendiri tanpa mengajukan untuk menjadi seorang istri. Para wanita geisha tinggal di sebuah masyarakat matriarkal ketat. Wanita mendominasi. Perempuan menjalankan rumah-rumah geisha, mereka adalah guru, mereka menjalankan rumah minum teh, mereka merekrut calon geisha, dan mereka melacak keuangan geisha. Orang-orang hanya memainkan peran utama dalam masyarakat geisha adalah bahwa dari tamu, meskipun kadang-kadang perempuan mengambil peran itu juga.

Cuplikan 2

“Hanya hubungan sesaat, tidak lebih. Tak ada indanya. Ku tahu itu-hubungan semacam itu tak akan berlangsung lama.”


(56)

‘Itu benar. Itu yang terjadi dengan semua orang yang datang kemari. Ini tempat pemandian air panas, dan orang dating kemari satu-dua hari, lalu pergi.” Sikapnya benar-benar terbuka-sebuah peralihan yang begitu mendadak. “kebanyakan tamu disini pelancong. Saya sendiri hanya anak kemarin sore, tetapi saya telah mendengar semua omongan orang. Ada orang-orang yang meninggalkan kenangan indah kepada kami-yaitu mereka tidak mengungkapkan isi hati mereka kepada kami, tetapi kami bisa merasakannya. Kau tak akan melupakannya bahkan setelah lama meninggalkanmu, begitu kata orang. Dan orang-orang seperti itu akan menulis surat untuk kami. (Yukiguni:22 )

Analisa Cuplikan 2

Hubungan antara laki-laki dengan seorang geisha tanpa ada ikatan dianggap syah-syah saja dan dianggap wajar. Daya tarik geisha tingkat tinggi untuk tamu khas laki-lakinya secara historis sangat berbeda dari istrinya. Geisha ideal menunjukkan keahliannya, sedangkan istri yang ideal itu sederhana. Geisha ideal tampak riang, istri yang ideal muram dan bertanggung jawab.

Geisha mungkin anggun menggoda (sering tergila-gila) mereka tamu, tetapi mereka selalu akan tetap mengendalikan keramahan. Selama bertahun-tahun mereka magang mereka belajar untuk beradaptasi dengan situasi yang berbeda dan kepribadian, menguasai seni nyonya rumah. Dengan keahlian itu dapat meninggalkan kesan yang indah kepada tamunya sehingga akan tetap dapat menjalin komunikasi sperti surat-menyurat.


(57)

Cuplikan 3

Mendengar kabar angin tentang seorang geisha dari seorang tukang pijat pemandian air panas adalah hal yang terlalu biasa dan tidak mengejutkan sama sekali; Komako menjadi geisha demi menolong tunangannya, itu adalah sebentuk melowdrama yang terlalu biasa dan Shimamura merasa tidak bisa menerimanya. Mungkin karena itu bertentangan dengan asas kesusilaan yang ada dalam benaknya. Shimamura berniat untuk mengorek lebih dalam cerita itu, tetapi tukang pijat itu justru diam.

Jika benar Komako tunangan dengan lelaki itu, dan Yoko adalah kekasih barunya, dan lelaki itu sebentar lagi mati-ungkapan “sia-sia’ muncul lagi dalam benak Shimamura. Upaya Komako untuk setia selamanya, bahkan sampai ia harus menjual diri menjadi geisha demi membayar biaya dokter-apalagi kalau bukan upaya yang sia-sia?

Analisa cuplikan 3

Sebenarnya, untuk mempromosikan kemandirian dan swasembada ekonomi perempuan. Dan itulah tujuan lain dari seorang geiha dan itu benar-benar tercapai yang cukup mengagumkan dalam masyarakat Jepang, dimana ada rute sangat sedikit bagi perempuan untuk mencapai kemerdekaan seperti itu. Perempuan dalam masyarakat geisha adalah beberapa pengusaha paling sukses di Jepang.

Dalam masyarakat geisha, perempuan menjalankan semuanya. Tanpa keterampilan bisnis tanpa cela dari pemilik warung teh perempuan, dunia geisha akan tidak ada lagi.


(58)

Geisha Jepang telah dilihat sebagai perempuan dieksploitasi tetapi beberapa geisha modern melihat diri mereka sebagai feminis dibebaskan, dapat menemukan jalan kehidupannya sendiri, tanpa melakukan tanggung jawab keluarga.. Para wanita meninggalkan keluarga mereka di usia muda untuk membenamkan diri dalam seni mereka. Mereka percaya bahwa orang dapat membuat hidup untuk dirinya sendiri, selalu di kontrol. Selain itu, mereka telah tumbuh mahir menggunakan tehniknya untuk membuat daya tarik terhadap laki-laki untuk membuat orang berpikir bahwa geisha adalah orang yang memiliki ide cemerlang.

Tidak semua geisha mengidentifikasi dirinya dengan feminisme., dan ada kekhawatiran bahwa tradisi geisha menahan kemajuan bagi perempuan Jepang.namun ada juga factor yang mempengaruhi sehingga ia menjadi seorang geisha, misalnya factor ekonomi dan balas budi.


(59)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Melihat dari uraian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Novel Yukiguni merupakan novel karya Yasunari Kawabata yang termasuk

ke dalam karya sastra klasik. Novel ini menggambarkan tentang kisah cinta antara seorang geisha dengan tamunya.

2. Novel Yukiguni mempunyai tokoh utama Komako, yaitu seorang geisha yang mengalami kisah cinta dengan seorang tamunya, seorang pelancong yang sudah berkeluarga. Sehingga keduanya berusha menemukan pembenaran cinta mereka, hingga menyadari cinta mereka sudah gagal sejak pertama bertemu.

3. Dengan membaca novel Yukiguni ini dapat dilihat tentang kehidupan geisha di Jepang, yang dapat terlihat dari gambaran kehidupan tokoh Komako yang mengawali kehidupan geisha-nya karena adanya factor balas budi kepada seorang guru musik dimana ia tinggal. Komako menjadi geisha untuk memenuhi biaya pengobatan tunangannya, yaitu anak gurumusik tersebut. 4. Dari novel Yukiguni ini dapat terlihat gambaran mengenai bagaimana

penampilan dan keahlian sebagai wanita yang berprofesi sebagai seorang geisha.

5. Novel Yukiguni memberi gambaran mengenai hubungan seorang geisha dengan laki-laki, dimana bahwa hubungan geisha dan tamunya adalah hanya


(60)

hubungan sesaat saja. Dan geisha juga tidak menikah kecuali sesudah pensiun. Sehingga dapat terlihat perbedaan gender antara pria dan wanita. 6. Novel Yukiguni adalah sebuah master piece karya pengarang roman dari

Jepang peraih penghargan nobel sastra.

4. 2 Saran

Yukiguni sebagai salah satu novel terjemahan, tetap menarik untuk diteliti dari unsur bahasa lainnya, ataupun diteliti dengan menggunakan pendekatan ilmu yang lain selain stilistika atau pendekatan yang sudah digunakan untuk meneliti novel ini, sehingga dapat lebih mengembangkan apresiasi terhadap karya sastra sebagai sebuah kajian ilmu. Selain itu, Yukiguni sebagai novel terjemahan dari novel berbahasa Jepang merupakan salah satu bentuk teknik penerjemahan yang setia pada teks aslinya, dapat memberikan gambaran bagi para penerjemah sastra dalam menyusun teks terjemahan sehingga hasil terjemahannya menjadi berbobot dan diterima oleh masyarakat.


(61)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2000. Pengantar Presiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo Atar Semi. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa UU

Atar Semi. 1993. Anatomi Sastra, Padang: Angkasa Raya

Basow, Susan. 1992. Gender Stereotype and Roles. California: Brooks/Cole Publ.co. Budianta Melani . 1998. Sastra dan Ideologi Gender. Jakarta: Indonesia Tera

Fanani ML. 2002. Bidirectional control of sphingomyelinase activity and surface topography in lipid monolayers. Biophys

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2007.Jakarta. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

Kawabata, Yasunari. 2009. Yukiguni. Jakarta: Gagas Media

Koentjaraningrat. 1997. Pedoman Penyusunan Laporan Penelitian. Jakarta: Transmedia Pustaka

Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, Williem G. Westjein, 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT Gramedia

Nurgiyantoro. Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.Yogyakarta: BPFE.

Siswanto, Wahyudi.2008.Pengantar Teori Sastra.Jakarta: Grasindo.

Sutrisno Mudji. 2006. Oase estetis: estetika dalam kata dan sketza, Yogyakarta : Kanisus


(1)

Cuplikan 3

Mendengar kabar angin tentang seorang geisha dari seorang tukang pijat pemandian air panas adalah hal yang terlalu biasa dan tidak mengejutkan sama sekali; Komako menjadi geisha demi menolong tunangannya, itu adalah sebentuk melowdrama yang terlalu biasa dan Shimamura merasa tidak bisa menerimanya. Mungkin karena itu bertentangan dengan asas kesusilaan yang ada dalam benaknya. Shimamura berniat untuk mengorek lebih dalam cerita itu, tetapi tukang pijat itu justru diam.

Jika benar Komako tunangan dengan lelaki itu, dan Yoko adalah kekasih barunya, dan lelaki itu sebentar lagi mati-ungkapan “sia-sia’ muncul lagi dalam benak Shimamura. Upaya Komako untuk setia selamanya, bahkan sampai ia harus menjual diri menjadi geisha demi membayar biaya dokter-apalagi kalau bukan upaya yang sia-sia?

Analisa cuplikan 3

Sebenarnya, untuk mempromosikan kemandirian dan swasembada ekonomi perempuan. Dan itulah tujuan lain dari seorang geiha dan itu benar-benar tercapai yang cukup mengagumkan dalam masyarakat Jepang, dimana ada rute sangat sedikit bagi perempuan untuk mencapai kemerdekaan seperti itu. Perempuan dalam masyarakat geisha adalah beberapa pengusaha paling sukses di Jepang.

Dalam masyarakat geisha, perempuan menjalankan semuanya. Tanpa keterampilan bisnis tanpa cela dari pemilik warung teh perempuan, dunia geisha akan tidak ada lagi.


(2)

Geisha Jepang telah dilihat sebagai perempuan dieksploitasi tetapi beberapa geisha modern melihat diri mereka sebagai feminis dibebaskan, dapat menemukan jalan kehidupannya sendiri, tanpa melakukan tanggung jawab keluarga.. Para wanita meninggalkan keluarga mereka di usia muda untuk membenamkan diri dalam seni mereka. Mereka percaya bahwa orang dapat membuat hidup untuk dirinya sendiri, selalu di kontrol. Selain itu, mereka telah tumbuh mahir menggunakan tehniknya untuk membuat daya tarik terhadap laki-laki untuk membuat orang berpikir bahwa geisha adalah orang yang memiliki ide cemerlang.

Tidak semua geisha mengidentifikasi dirinya dengan feminisme., dan ada kekhawatiran bahwa tradisi geisha menahan kemajuan bagi perempuan Jepang.namun ada juga factor yang mempengaruhi sehingga ia menjadi seorang geisha, misalnya factor ekonomi dan balas budi.


(3)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Melihat dari uraian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Novel Yukiguni merupakan novel karya Yasunari Kawabata yang termasuk

ke dalam karya sastra klasik. Novel ini menggambarkan tentang kisah cinta antara seorang geisha dengan tamunya.

2. Novel Yukiguni mempunyai tokoh utama Komako, yaitu seorang geisha yang mengalami kisah cinta dengan seorang tamunya, seorang pelancong yang sudah berkeluarga. Sehingga keduanya berusha menemukan pembenaran cinta mereka, hingga menyadari cinta mereka sudah gagal sejak pertama bertemu.

3. Dengan membaca novel Yukiguni ini dapat dilihat tentang kehidupan geisha di Jepang, yang dapat terlihat dari gambaran kehidupan tokoh Komako yang mengawali kehidupan geisha-nya karena adanya factor balas budi kepada seorang guru musik dimana ia tinggal. Komako menjadi geisha untuk memenuhi biaya pengobatan tunangannya, yaitu anak gurumusik tersebut. 4. Dari novel Yukiguni ini dapat terlihat gambaran mengenai bagaimana

penampilan dan keahlian sebagai wanita yang berprofesi sebagai seorang geisha.

5. Novel Yukiguni memberi gambaran mengenai hubungan seorang geisha dengan laki-laki, dimana bahwa hubungan geisha dan tamunya adalah hanya


(4)

hubungan sesaat saja. Dan geisha juga tidak menikah kecuali sesudah pensiun. Sehingga dapat terlihat perbedaan gender antara pria dan wanita. 6. Novel Yukiguni adalah sebuah master piece karya pengarang roman dari

Jepang peraih penghargan nobel sastra.

4. 2 Saran

Yukiguni sebagai salah satu novel terjemahan, tetap menarik untuk diteliti dari unsur bahasa lainnya, ataupun diteliti dengan menggunakan pendekatan ilmu yang lain selain stilistika atau pendekatan yang sudah digunakan untuk meneliti novel ini, sehingga dapat lebih mengembangkan apresiasi terhadap karya sastra sebagai sebuah kajian ilmu. Selain itu, Yukiguni sebagai novel terjemahan dari novel berbahasa Jepang merupakan salah satu bentuk teknik penerjemahan yang setia pada teks aslinya, dapat memberikan gambaran bagi para penerjemah sastra dalam menyusun teks terjemahan sehingga hasil terjemahannya menjadi berbobot dan diterima oleh masyarakat.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2000. Pengantar Presiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo Atar Semi. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa UU

Atar Semi. 1993. Anatomi Sastra, Padang: Angkasa Raya

Basow, Susan. 1992. Gender Stereotype and Roles. California: Brooks/Cole Publ.co. Budianta Melani . 1998. Sastra dan Ideologi Gender. Jakarta: Indonesia Tera

Fanani ML. 2002. Bidirectional control of sphingomyelinase activity and surface topography in lipid monolayers. Biophys

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2007.Jakarta. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

Kawabata, Yasunari. 2009. Yukiguni. Jakarta: Gagas Media

Koentjaraningrat. 1997. Pedoman Penyusunan Laporan Penelitian. Jakarta: Transmedia Pustaka

Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, Williem G. Westjein, 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT Gramedia

Nurgiyantoro. Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.Yogyakarta: BPFE.

Siswanto, Wahyudi.2008.Pengantar Teori Sastra.Jakarta: Grasindo.

Sutrisno Mudji. 2006. Oase estetis: estetika dalam kata dan sketza, Yogyakarta : Kanisus

Surakhmad. 2009. Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi ,Jakarta: Buku kompas


(6)

Tamanoi, Mariko Asano. 2009. The State and Mancchuria in Postwar Japan. Amerika: University of Hawai Press

Teeuw,A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya

Zainuddin. 1992. Materi Pokok Bahas dan Sastra Indonesia: PT. Rineka Cipta http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2006/01/09/LYR/mbm.20060109.LYR11 7834.id.htl