Keberadaan Geisha Pada jaman Showa Yang Tercermin Dalam Film Geisha House(おもちゃ).

(1)

昭和時代

芸者

生活

0142022

タキ

教大学

本語文学学科

バン


(2)

映画 昭和時代 芸者 関 分析 序論

芸者 いう言葉 知 い人 い い う 芸者 いう

文字通 芸 人 あ 現在 芸者 言え 人 特 外 国人 売春 いうイメー 結 多い

いう映画 昭和時代 芸者 テーマ 上 あ 映画 芸者 生 方 い 描写し い

本論分 いう映画 通し 芸者 い 生

方 し い 分析 あ アプロ- 濃 理論 現象学 いう 使う

Universitas Kristen Marantha


(3)

本論

現在 芸者 言え マイ イメー 頭 浮

あ 女性 手入 身 売 い

うイメー あ し し 時代 溯 芸者 何 あ わ

芸者 簡単 い あ 芸者 う 女性

職業学校 入 そ 舞踊 茶 湯 学ぶ あ

さ う 楽器 い そ

う 学校 五年間学習し 舞子 あ 舞子 芸者見習 い う あ 芸者 本 伝統的 御茶屋 働 彼女

そ 客 踊 見 話し柤手 歌

あ 誰 性 渉 いうイメー う あ 彼 女 性 渉 自分 邦あ い 生活費 出し

生活 さ 男性 あ そ う 男性

芸者 本得 得 寝

芸者 過 本妻 い 補充し あ

いう映画 主人公 芸者

毎朝職業学校 舞踊 歌 さ 生 花 習い い う 給仕 し 働 彼女 先輩 芸者 給仕 あ

苦汁 彼女 頑張 生 い あ そし


(4)

結論

現象学 いうアプロー 使 いう映画

芸者 関し 分析し 結果 次 結論 引 出 ― 昭和時代 芸者 いう職業 マイ イメー い

― 芸者 さ さ 詩綶 い

― 芸者 茶屋 来 客 踊 見 君 歌 歌

し祖子 性 渉 し い

― 芸者 自分 生活 援助し 男性 性

渉柤手 場合 あ

Universitas Kristen Marantha


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……….i

DAFTAR ISI ………iii

BAB I PENDAHULUAN ………1

1.1 Latar Belakang Masalah ………..1

1.2 Pembatasan Masalah ………3

1.3 Tujuan Penelitian ……….4

1.4 Metode Penelitian ………...4

1.5 Organisasi Penelitian………10

BAB II LANDASAN TEORI ………..11

2.1 Sejarah Geisha ………..11

2.2 Penghidupan Geisha ……….18

BAB III KEBERADAAN GEISHA DI JAMAN SHOWA………26

3.1 Geisha Sebagai Pemuas Seks ………....26

3.2 Geisha Sebagai Teman Minum ……….31

3.3 Geisha Sebagai Wanita Simpanan ………....38

BAB IV KESIMPULAN ………..47

SINOPSIS ………...iv

DAFTAR PUSTAKA ………...viii


(6)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Rinaldi Sutjiadi Tempat, Tanggal lahir : Bandung, 4 Mei 1982 Nama Orang Tua : Hendrik Tjia

Hermina Halim

Alamat : Komp. Parakan Mas Jl Parakan Mas Indah no A13, Parakan Saat Bandung 40293

Telepon : 022 – 91756442

Pendidikan yang telah ditempuh penulis :

1989 – 1995………SD Gita Kirti 1995 – 1998………SMP Taruna Bhakti 1998 – 2001………SMU Taruna Bhakti 2001 – 2007………Universitas Kristen Maranatha

Universitas Kristen Maranatha


(7)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Jepang merupakan negara Asia Timur yang kemajuannya berkembang pesat. Jepang sangat maju dalam bidang teknologi dan perekonomiannya, contoh kemajuan dalam bidang teknologi adalah mampu membuat mobil dan motor produksi dalam negeri dan mampu memasarkannya ke negara-negara yang membutuhkannya. Contoh kemajuan dalam bidang ekonomi adalah mampu membuat mata uang Jepang (Yen) bersaing dengan mata uang negara lain seperti Dolar Amerika Serikat.

(http://id.wikipedia.org/wiki/japan)

Di samping itu, Jepang, mempunyai kebudayaan atau tradisi yang unik, misalnya Kabuki (

歌舞伎

), Sumo

相撲

, dan juga yang tidak kalah uniknya

adalah Geisha (

芸者

)

(http://id.wikipedia.org/wiki/japan)

Geisha adalah wanita yang mahir dalam seni. Bertugas untuk

menghibur dengan memainkan alat musik Samisen (alat musik Jepang) dan bernyanyi sekaligus menari.

(http://id.wikipedia.org/wiki/geisha)

Geisha sudah ada sejak jaman Edo , dahulu mereka bertugas untuk

menghibur pejabat-pejabat dengan cara menemani minum sake, dan menari. Tetapi lama-kelamaan fungsi Geisha berubah dan semakin menjurus ke arah


(8)

Latar belakang masalah prostitusi. Gadis yang menjadi Geisha adalah gadis yang berasal dari keluarga miskin dan mereka direkrut oleh senior Geisha yang biasa dipanggil Okamisan みさん) Di dalam rumah Geisha yang disebut Okiya (

), gadis yang akan menjadi Geisha dididik selama 5 tahun oleh

ibu Geisha atau biasa disebut Okaasan (

さん

) yaitu yang mengelola rumah Geisha.Gadis tersebut yang dalam masa latihan disebut Maiko (舞子).

Masyarakat Jepang tahun 1980-an pada umumnya terutama pemerintah Jepang menentang keberadaan Geisha. Karena Geisha selalu berkaitan dengan seks bebas sehingga Geisha dianggap merusak kebudayaan tradisional Jepang.

(http://en.wikipedia.org/wiki/geisha)

Keberadaan Geisha pada jaman Showa digambarkan dalam film

ち . Film ini dibuat oleh Kinji Fukasaku yang bertindak pula selaku sutradara.

Film berdurasi 2 jam 28 menit ini menceritakan tentang seorang Maiko yang bernama Tokiko yang diperankan oleh Maki Miyamoto yang bekerja pada seorang Geisha senior yang sering dipanggil Okamisan (

み さ ん

). Okamisan juga mendidik Geisha lain yang sekaligus bekerja sebagai anak

buahnya. Di tempat ini Tokiko bekerja untuk melayani senior-seniornya mulai dari membersihkan rumah, mempersiapkan makanan, mempersiapkan perlengkapan bekerja Geisha sampai membangunkan senior-seniornya di pagi hari. Ia juga tidak lupa untuk belajar menari dan merangkai bunga (生け花) di

Universitas Kristen Maranatha


(9)

sebuah tempat kursus menari. Sampai pada suatu waktu Okaasan merasa Tokiko sudah siap untuk menjadi Geisha yang sesungguhnya, dan mencarikan laki-laki yang mau memakai jasa Tokiko laki-laki yang memakai Geisha biasa dipanggil Danna. Dan laki-laki yang menjadi Danna Tokiko. bernama Tamura yang sudah berumur 55 tahun. Tokiko dijanjikan akan dibayar tiga juta yen setiap bulannya. Dengan begitu Tokiko sudah menjadi Geisha.

Dalam film ini terlihat keberadaan Geisha yang cukup terorganisir. Yang masing-masing kelompok Geisha diatur oleh Okiya-Okiya yang ada dalam film tersebut.

1.2 PEMBATASAN MASALAH

Masalah yang akan dibahas dalam karya tulis ini dibatasi pada hal yang keberadaan Geisha pada jaman Showa yang terdapat pada film

mengenai keberadaan Geisha.

Disini keberadaan Geisha sangat menarik karena geisha dipandang sebagai suatu pekerjaan halal atau dengan kata lain seperti pekerjaan pada umumnya misalnya di perkantoran atau wiraswasta meskipun bertentangan dengan norma-norma masyarakat Jepang. Geisha begitu dihormati layaknya artis. Penulis ingin melihat Geisha di mata masyarakat Jepang melalui buku-buku yang sudah beredar atau film-film sebagai referensi terutama dari film ち .


(10)

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana status / fungsi Geisha menurut pandangan masyarakat Jepang jaman Showa yang terdapat dalam film ち .

.2. Untuk mengetahui apakah keberadaan Geisha yang sebenarnya sesuai dengan yang ada dalam film

.

1.4 METODE PENELITIAN

Dalam penyusunan skripsi penulis menggunakan pendekatan metode

Fenomenologi. Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “phainomenon”,

yang berarti apa yang terlihat atau yang menampakkan diri. Menampakkan diri itu macam-macam, misalnya perasaan, benda, peristiwa, pikiran, lembaga sosial dan seterusnya.

Kita cenderung menafsirkan fenomen yang kita lihat, maka fenomen tidak selalu menampakkan diri apa adanya. Bukan hanya itu, fenomen yang kita lihat, misalnya operasi jantung, sering sudah dimuati anggapan-anggapan masyarakat sehingga operasi jantung tidak tampak adanya. Maksudnya disini adalah operasi jantung menurut anggapan masyarakat itu mengerikan karena jantung yang ada di tubuh kita di otak-atik memakai pisau bedah dan alat lainnya. Padahal kenyataannya tidak nampak mengerikan karena kita sebagai pasien operasi jantung akan dibius sehingga tidak akan merasa kesakitan ketika dioperasi.

Fenomenologi tidak puas dengan cara mendekati fenomen seperti yang kita lakukan sehari-hari. Pendekatan ini menyingkap fenomen asli sebelum

Universitas Kristen Maranatha


(11)

ditafsirkan oleh masyarakat atau kebudayaan, yakni fenomen apa adanya. Operasi jantung, misalnya jangan pertama-tama dilihat sebagai aktivitas merubah fisik manusia, yakni sebagai sesuatu yang netral dari penilaian-penilaian. Sebab itu, Fenomenologi adalah suatu pendekatan deskriptif murni, bukan normatif.

(Martin Heidegger dan Mistik Keseharian. F Budi Hardiman, 2003, hal 21)

Fenomenologi adalah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Maksudnya pengalaman manusia itu dihubungkan dengan yang ada di luar benda itu sendiri, tanpa perlu bergantung pada teori, logika ataupun pendapat subyektif dari aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya seperti, ilmu alam dan menyingkirkan segala prasangka untuk mencapai pengetahuan yang jernih atau tidak ternoda oleh prasangka itu sendiri tentang kenyataan yang sebenarnya. Kita bisa melihat pengalaman kita sebagai sesuatu fenomena yang terjadi di depan mata kita. Pada saat itu kita melihat sebagai kejadian biasa tanpa mengaitkan dengan berbagai macam teori, logika ataupun pendapat orang lain yang bersifat subjektif atau sepihak.

(http://id.wikipedia.org/wiki/fenomenologi)

Edmund Husserl merupakan ilmuwan Jerman yang pertama kali menemukan Fenomenologi dipertengahan tahun 1890-an. Hurssel menyebutkan bahwa memulai karyanya dengan dua metode, satu positif dan satu negatif. Metode positif disebut dengan zu den Sachen selbst (kembali ke halnya sendiri). Metode ini dimaksudkan untuk melepaskan jalan pikiran dari apa saja yang dianggap ideal tetapi tidak mendasarkan diri pada realitas. Yang terpenting


(12)

adalah masalahnya sendiri, bukan gagasan tentang hal tersebut. Maksudnya bagi Hurssel yang terpenting adalah hasil dari proses yang terjadi bukan proses yang terjadi. Metode yang negatif disebut Voraussetzungslosigkeit yang mutlak (terjemahan bebas: kekurangan pengandaian yang mutlak). Dalam kaitan ini, Hurssel mendekatkan diri pada metode yang dikemukakan oleh Descartes, walaupun terdapat perbedaannya juga. Descartes mulai dengan sikap ragu-ragu, ia menyangkal segala sesuatu dan ingin memulai proses pemikirannya dari titik yang benar-benar nol. Hurssel ingin memberikan tanda petik pada keragu-raguannya atau memberikan kualitas dipertanyakan pada objek-objek. Sebagai contoh misalnya: eksistensi objek adalah tidak esensial bagi objek itu sendiri, atau sebuah segitiga akan tetap merupakan segitiga. Melalui dua metode yang diketengahkan di atas, “yaitu kembali kepada halnya itu sendiri” dan “kekurangan pengandaian yang mutlak”, ia boleh dikatakan memulai karyanya dengan tepat. Ketika ia membicarakan tentang tiga tingkatan kesadaran, terutama pada tingkatan ketiga dimana orang memperhitungkan phenomenologisches

Residuum atau ‘objek murni’ atau ‘esensi murni’, Hurssel mengemukakan

pendapatnya tentang tiga tingkatan kesadaran yang dapat dihubungkan dengan tiga jenis objek, yaitu :

1. Tingkatan pertama atau tingkatan yang dangkal adalah kesadaran alamiah. Kesadaran ini berhubungan dengan objek-objek alamiah.

2. Tingkatan kedua adalah tingkat kesadaran refleksi, yaitu kesadaran yang muncul setelah memberi ‘tanda petik’ pada tingkat yang dangkal. Bila seseorang memusatkan perhatiannya pada sebuah objek saja tanpa mempedulikan hal-hal

Universitas Kristen Maranatha


(13)

lain, ia sebenarnya sudah meningkat pada kesadaran yang lebih dalam. Di sini objek muncul lebih jelas dan lebih tajam.

3. Tingkatan ketiga atau tingkat ‘kedalaman ego’, bila perhatian seseorang difokuskan lebih jauh lagi pada objek, ia akan mencapai tingkat kesadaran jauh lebih dalam lagi. Dalam keadaan kesadaran pada tingkat ini objek yang murni atau yang sejati mengejawantah. Jadi sebenarnya setiap kesadaran itu bersifat

correlatum atau “diperhubungkan” (dengan sesuatu yang lain). Kiranya inilah

yang dimaksudkan Hurssel dengan istilah Bewusstsein von Etwas atau “kesadaran tentang sesuatu”.

Kesadaran memang tidak pernah dalam keadaan ‘kosong’, selalu ada isinya. Hurssel menyatakan bahwa kepastian atau ketentuan kita temukan bukan pada tingkatan kesadaran pertama atau yang kedua, melainkan pada tingkat ketiga di mana ‘yang individual’ telah memberi tanda petik pada ‘yang tidak esensial’ dan ‘yang individual’ itu berhadapan muka dengan Wesenchau atau esensi objek. Pada tingkatan kesadaran yang ketiga ini, yaitu tingkat kedalaman ego, kita dalam keadaan lepas dari kerengka ruang dan waktu. Dimensi ruang dan waktu ini ‘ditinggal’ pada tingkatan kesadaran pertama dan kedua, sekarang yang tinggal hanyalah objek murni.

Fenomenologi mencoba untuk memahami bahwa masih ada objek-objek yang yang berada didunia ini yang menjadikan hidup lebih jelas dan nyata. (www.phenomenologycenter.org/phenom.htm)

Seorang filsuf sekaligus kritikus terkenal yang berasal dari Jerman, Martin Heidegger, menjelaskan bahwa Fenomenologi harus dapat menjelaskan


(14)

dan menunjukkan yang tersembunyi dari hal-hal yang biasa, pengalaman kehidupan sehari-hari. Ia juga menambahkan untuk dapat mengerti konsep dari Fenomenologi, kita perlu menelusuri masalah dari konsep Fenomenologi itu. Karena konsep Fenomenologi itu memiliki konsep yang bermacam-macam. Tetapi, untuk membatasi masalah tersebut secara konkrit, kita tidak perlu memotong habis dan mengerti sepenuhnya dari konsep Fenomenologi. Maksudnya untuk dapat mengambil inti dari faham Fenomenologi, kita harus mengikuti dan mengerti permasalahan dari masalah Fenomenologi itu sendiri. Tetapi kita jangan mementingkan masalah itu, karena kita tidak akan bisa mengambil inti permasalahannya, kita cukup mengerti setengahnya saja.

(http://phenomenologyonline.com/inquiry/49.htm)

Fenomenologi mempunyai slogan: “kembali pada kenyataan itu sendiri!”. Dengan kata lain tunda dulu semua keputusanmu tentang kenyataan. Biarlah kenyataan, atau istilah filosofisnya, fenomen, mewujudkan kebenarannya sendiri.

Misalnya fenomen-fenomen seperti keadilan, cinta, dan simpati. Ketiganya jangan diukur berdasarkan utilitarianime dan hedonisme (faham yang meagung-agungkan kebebasan). Diukur berdasarkan untung-rugi, nikmat-sakit, dan lain sebagainya. Persahabatan yang tulus tetap sebuah kemungkinan terbuka

(Martin Heidegger. Donny Gahral Adian terj., 2002, hal 13)

Disini Fenomenologi lebih mengutamakan kenyataan yang terlihat daripada prasangka-prasangka yang dibuat dari pemikiran yang sudah ada. Dan menjelaskannya masalah tersebut secara rasional.

Para ahli fenomenologi terus mengembangkan Fenomenologi tersebut hingga dapat dipakai untuk meneliti masalah-masalah yang ada. Contohnya, Edith Stein meneliti filosofi tentang hak asasi manusia yang menggunakan

Universitas Kristen Maranatha


(15)

berbagai macam sumber (pengalaman hidup, ilmu bahasa, batasan arti). Dalam penelitian ini penulis memilih metode Fenomenologi yang digunakan oleh Martin Heidegger.

Hubungan antara Geisha dan metode penelitian Fenomenologi adalah penulis mengharapkan keberadaan Geisha di Jepang dapat dilihat sebagai suatu

fenomen yang terjadi di masyarakat Jepang. Fenomena Geisha tersebut dapat

mengundang pendapat negatif dan positif. Dalam hal ini penulis ingin melihat

fenomen Geisha tersebut dilihat secara negatif. Yang disorot hanya yang negatif,

karena setelah melihat data-data yang didapatkan ternyata keberadaan Geisha dipandang sebagai suatu pekerjaan yang halal meskipun itu bertentangan dengan norma-norma masyarakat Jepang. Geisha begitu dihormati layaknya artis. Penulis ingin melihat apakah ada sisi gelap atau negatifnya dari keberadaan

Geisha dan apakah pandangan negatif masyarakat Jepang dari Geisha dan

membuat mereka menentangnya atau menganggap sebagai suatu fenomen biasa yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Karena setiap masalah yang ada di dunia ini pasti ada positif dan negatifnya. Dalam penelitian ini melalui metode penelitian Fenomenologi, penulis berharap dapat menemukan inti dari permasalahan Geisha tersebut. Penulis memakai metode Fenomenologi Hurssel.

Dalam skripsi ini tehnik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah studi pustaka, yaitu untuk mendapatkan penjelasan mengenai teori dan metode yang digunakan dan data-data yang diperlukan.


(16)

1.5 ORGANISASI PENULISAN BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah mengenai referensi film

dan sedikit

penjelasan mengenai Geisha.

1.2. Pembatasan masalah, yaitu Jepang mengenai keberadaan Geisha pada Jaman Showa yang tercermin dalam film

.

1.3. Tujuan penelitian.

1.4. Metode penelitian yang akan dipakai. 1.5. Organisasi Penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI

2.1. Sejarah Geisha pertama kali muncul di Jepang dan asal-usulnya Geisha. 2.2. Penghidupan Geisha

BAB III ANALISIS

Menganalisis keberadaan Geisha pada Jaman Showa dan yang tercermin dalam

Geisha House (

).

BAB IV KESIMPULAN

Bab ini berisi tentang kesimpulan dari bab satu sampai bab tiga.

Universitas Kristen Maranatha


(17)

BAB IV

KESIMPULAN

Dalam film Omocha (Geisha House), Geisha pada jaman Showa memperlihatkan bahwa profesinya itu tidak seperti anggapan orang-orang awam pada umumnya. Geisha tidak berkaitan dengan prostitusi. Begitu pula dengan Geisha yang ada di Jepang sekarang.

Geisha merupakan wanita yang mahir dalam bidang seni dalam hal

yang berhubungan dengan dunia seni. Ia mempunyai profesi menghibur laki-laki yang datang padanya di rumah minum teh atau yang disebut dengan

Ochaya. Geisha biasanya sebelum menjalankan profesinya diminta

kehadirannya ke Okiya melalui telepon. Karena profesi inilah masyarakat khususnya masyarakat di luar negara Jepang menganggap Geisha sama dengan pelacur yang menghibur laki-laki dengan berbagai cara seperti berhubungan seks atau minum-minum bersama. Padahal profesi yang sebenarnya tidak seperti apa yang dianggap oleh masyarakat Jepang dan masyarakat di luar Jepang itu.

Geisha dalam melayani laki-laki tamunya tersebut bukan dengan

berhubungan seks tetapi hanya mengobrol biasa sambil minum-minum layaknya seorang teman. Geisha tidak pernah berhubungan seks dengan sembarang laki-laki. Geisha hanya mau berhubungan seks dengan Danna nya atau laki-laki yang bersedia menanggung biaya penghidupannya dengan layak. Peran Geisha bagi Danna sama seperti istri. Bagi laki-laki yang belum


(18)

menikah Geisha bisa dianggap sebagai istri yang menggantikan peran istri. Dan bagi laki-laki yang sudah menikah, Geisha hanya melengkapi kebutuhan suami yang tidak didapati dari istri dan hanya ada di dalam diri Geisha. Seperti membicarakan hal-hal atau kejadian yang terjadi di kantor yang riskan untuk diceritakan pada istri, bisa dibicarakan dengan Geisha tanpa takut kejadian-kejadian tersebar luas itu karena Geisha dituntut untuk menjaga rahasia setiap laki-laki yang datang padanya

Geisha mempunyai tiga fungsi yaitu pemuas seks bagi Danna atau

penyokong Geisha, teman minum-minum bagi laki-laki yang datang padanya, dan wanita simpanan bagi Danna. Pemuas seks bagi Danna ini maksudnya adalah balasan dari Geisha atas sikap Danna yang telah memberinya penghidupan yang layak dan nyaman dengan memberinya kepuasan seks secara batiniah dan lahiriah yang mungkin tidak didapati dari istrinya bagi yang sudah menikah. Teman minum-minum maksudnya adalah Geisha menjadi teman mengobrol sekaligus minum sake di Ochaya bagi laki-laki yang memintanya datang. Ia di sana berusaha menghibur dengan nyanyian, tarian ataupun menceritakan lelucon-lelucon yang lucu dan menjadi teman untuk tempat curahan hati. Sebagai wanita simpanan, Geisha menjadi wanita yang mempunyai fungsi yang sama seperti istri dan melengkapi kebutuhan suami yang tidak didapati dari istrinya. Geisha tidak dinikahi karena itu merupakan salah satu hukum tradisi Geisha.

Universitas Kristen Maranatha


(19)

Dalam film Omocha (Geisha House), Geisha memperlihatkan tiga fungsi statusnya dengan jelas. Geisha yang bisa menjadi teman minum-minum, wanita simpanan, dan pemuas seks laki-laki bagi Danna.

Kesimpulannya, Geisha pada jaman Showa yang ada di film Omocha

(Geisha House) dengan Geisha yang ada sekarang mempunyai kesamaan

dalam statusnya. Mereka bekerja sebagai penghibur bagi laki-laki yang datang padanya sekaligus sebagai wanita simpanan bagi laki-laki yang membiayai penghidupannya.


(20)

DAFTAR PUSTAKA

Gahral Adian, Donny. 2002, Martin Heidegger (terjemahan), Kanisius: Yogyakarta

Hardiman, F.Budi. 2003, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia): Jakarta.

Golden, Arthur. 2002, Memoars Seorang Geisha, PT.Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

E. Sumaryono. 1999, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Kanisius: Yogyakarta.

Film Omocha (Geisha House) Film Secret Life of Geisha

http://id.wikipedia.org/wiki/fenomenologi, 28 Mei 2006

www.phenomenologycenter.org/phenom.htm, 28 Mei 2006

Http://en.wikipedia.org/wiki/Geisha, 2 Juli 2006

www.japan-zone.com, Http://honyaku.yahoo.jp, 2 Juli 2006

www.immortalgeisha.com, 2 Juli 2006

Universitas Kristen Maranatha


(1)

penelitian ini penulis memilih metode Fenomenologi yang digunakan oleh Martin Heidegger.

Hubungan antara Geisha dan metode penelitian Fenomenologi adalah penulis mengharapkan keberadaan Geisha di Jepang dapat dilihat sebagai suatu fenomen yang terjadi di masyarakat Jepang. Fenomena Geisha tersebut dapat mengundang pendapat negatif dan positif. Dalam hal ini penulis ingin melihat fenomen Geisha tersebut dilihat secara negatif. Yang disorot hanya yang negatif, karena setelah melihat data-data yang didapatkan ternyata keberadaan Geisha dipandang sebagai suatu pekerjaan yang halal meskipun itu bertentangan dengan norma-norma masyarakat Jepang. Geisha begitu dihormati layaknya artis. Penulis ingin melihat apakah ada sisi gelap atau negatifnya dari keberadaan Geisha dan apakah pandangan negatif masyarakat Jepang dari Geisha dan membuat mereka menentangnya atau menganggap sebagai suatu fenomen biasa yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Karena setiap masalah yang ada di dunia ini pasti ada positif dan negatifnya. Dalam penelitian ini melalui metode penelitian Fenomenologi, penulis berharap dapat menemukan inti dari permasalahan Geisha tersebut. Penulis memakai metode Fenomenologi Hurssel.

Dalam skripsi ini tehnik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah studi pustaka, yaitu untuk mendapatkan penjelasan mengenai teori dan metode yang digunakan dan data-data yang diperlukan.


(2)

1.5 ORGANISASI PENULISAN BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah mengenai referensi film ち dan sedikit penjelasan mengenai Geisha.

1.2. Pembatasan masalah, yaitu Jepang mengenai keberadaan Geisha pada Jaman Showa yang tercermin dalam film ち .

1.3. Tujuan penelitian.

1.4. Metode penelitian yang akan dipakai. 1.5. Organisasi Penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI

2.1. Sejarah Geisha pertama kali muncul di Jepang dan asal-usulnya Geisha. 2.2. Penghidupan Geisha

BAB III ANALISIS

Menganalisis keberadaan Geisha pada Jaman Showa dan yang tercermin dalam Geisha House ().

BAB IV KESIMPULAN


(3)

KESIMPULAN

Dalam film Omocha (Geisha House), Geisha pada jaman Showa memperlihatkan bahwa profesinya itu tidak seperti anggapan orang-orang awam pada umumnya. Geisha tidak berkaitan dengan prostitusi. Begitu pula dengan Geisha yang ada di Jepang sekarang.

Geisha merupakan wanita yang mahir dalam bidang seni dalam hal yang berhubungan dengan dunia seni. Ia mempunyai profesi menghibur laki-laki yang datang padanya di rumah minum teh atau yang disebut dengan Ochaya. Geisha biasanya sebelum menjalankan profesinya diminta kehadirannya ke Okiya melalui telepon. Karena profesi inilah masyarakat khususnya masyarakat di luar negara Jepang menganggap Geisha sama dengan pelacur yang menghibur laki-laki dengan berbagai cara seperti berhubungan seks atau minum-minum bersama. Padahal profesi yang sebenarnya tidak seperti apa yang dianggap oleh masyarakat Jepang dan masyarakat di luar Jepang itu.

Geisha dalam melayani laki-laki tamunya tersebut bukan dengan berhubungan seks tetapi hanya mengobrol biasa sambil minum-minum layaknya seorang teman. Geisha tidak pernah berhubungan seks dengan sembarang laki-laki. Geisha hanya mau berhubungan seks dengan Danna nya atau laki-laki yang bersedia menanggung biaya penghidupannya dengan


(4)

menikah Geisha bisa dianggap sebagai istri yang menggantikan peran istri. Dan bagi laki-laki yang sudah menikah, Geisha hanya melengkapi kebutuhan suami yang tidak didapati dari istri dan hanya ada di dalam diri Geisha. Seperti membicarakan hal-hal atau kejadian yang terjadi di kantor yang riskan untuk diceritakan pada istri, bisa dibicarakan dengan Geisha tanpa takut kejadian-kejadian tersebar luas itu karena Geisha dituntut untuk menjaga rahasia setiap laki-laki yang datang padanya

Geisha mempunyai tiga fungsi yaitu pemuas seks bagi Danna atau penyokong Geisha, teman minum-minum bagi laki-laki yang datang padanya, dan wanita simpanan bagi Danna. Pemuas seks bagi Danna ini maksudnya adalah balasan dari Geisha atas sikap Danna yang telah memberinya penghidupan yang layak dan nyaman dengan memberinya kepuasan seks secara batiniah dan lahiriah yang mungkin tidak didapati dari istrinya bagi yang sudah menikah. Teman minum-minum maksudnya adalah Geisha menjadi teman mengobrol sekaligus minum sake di Ochaya bagi laki-laki yang memintanya datang. Ia di sana berusaha menghibur dengan nyanyian, tarian ataupun menceritakan lelucon-lelucon yang lucu dan menjadi teman untuk tempat curahan hati. Sebagai wanita simpanan, Geisha menjadi wanita yang mempunyai fungsi yang sama seperti istri dan melengkapi kebutuhan suami yang tidak didapati dari istrinya. Geisha tidak dinikahi karena itu merupakan salah satu hukum tradisi Geisha.


(5)

fungsi statusnya dengan jelas. Geisha yang bisa menjadi teman minum-minum, wanita simpanan, dan pemuas seks laki-laki bagi Danna.

Kesimpulannya, Geisha pada jaman Showa yang ada di film Omocha (Geisha House) dengan Geisha yang ada sekarang mempunyai kesamaan dalam statusnya. Mereka bekerja sebagai penghibur bagi laki-laki yang datang padanya sekaligus sebagai wanita simpanan bagi laki-laki yang membiayai penghidupannya.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Gahral Adian, Donny. 2002, Martin Heidegger (terjemahan), Kanisius: Yogyakarta

Hardiman, F.Budi. 2003, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia): Jakarta.

Golden, Arthur. 2002, Memoars Seorang Geisha, PT.Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

E. Sumaryono. 1999, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Kanisius: Yogyakarta.

Film Omocha (Geisha House) Film Secret Life of Geisha

http://id.wikipedia.org/wiki/fenomenologi, 28 Mei 2006 www.phenomenologycenter.org/phenom.htm, 28 Mei 2006 Http://en.wikipedia.org/wiki/Geisha, 2 Juli 2006

www.japan-zone.com, Http://honyaku.yahoo.jp, 2 Juli 2006 www.immortalgeisha.com, 2 Juli 2006