Konsep Pendidikan Islam Menurut H.A. Mukti Ali - Test Repository

  

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

MENURUT

H.A. MUKTI ALI

SKRIPSI

Diajukan untuk memperoleh gelar

Sarjana Pendidikan(S.Pd)

  

Oleh

AHMAD ZAMRONI

NIM 111-11-169

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

2016

  MOTTO  Ilmu itu laksana harta karun di dalam sebuah peti, jika ingin membuka peti dan membuat sebuah ilmu itu bermanfaat, tak lain tak bukan adalah dengan kunci, dan kunci tersebuat adalah amal

   Manusia itu bukanlah seperti hewan yang hanya mengikuti kehidupan, pasrah pada nasib dan tidak mau mengubah takdir. Tapi kita adalah manusia, yang diberi akal. Dan kita adalah manusia, sebagai Khalifah fil Ardhi.

HALAMAN PERSEMBAHAN

  Skripsi ini penulis persembahkan kepada: 1.

  Ayahanda (Supeno), ibunda (Kumakadah), adik ku (Sari dan Yumna) dan semua keluarga

  2. Almamaterku IAIN Salatiga 3.

  Ketua Takmir dan segenap pengurus takmir masjid al-Muhajirin perum Domas Salatiga 4. Kawan-kawan Apel Ijo IAIN Salatiga 5. Sahabat-sahabati PMII Komisariat Salatiga 6. Rekan-rekan kerja beserta pemilik usaha di Wisma Agra 7. Semua kawan dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu

  8. Kekasih tercinta One Emi Nasitoh

KATA PENGANTAR

  Segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan dan pertolongan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa sholawat serta salam penulis haturkan kepangkuan baginda Rasulallah Muhammad SAW yang kita nantikan sy afa’atnya kelak di yaumul qiyamah.

  Tanpa bantuan dari berbagai pihak, tentunya skripsi ini tidak akan bisa selesai, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.

  Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

  2. Suwardi, M.Pd, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.

  3. Siti Ruhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.

  4. Dra.Sri Suparwi, M.A selaku dosen pembimbing akademik.

  5. Mohammad Ali Zamroni M,A. Selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan dukungan kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini berjalan lancar sampai selesai

  6. Bapak dan Ibu, serta adik-adikku yang memberikan perhatian, kasih sayang, dukunga n, semangat dan do’a serta pengorbanan siang dan malam tanpa mengenal lelah

  7. Semua teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu

  

ABSTRAK

Zamroni, Ahmad. 2016. Konsep Pendidikan Islam Menurut H.A. Mukti Ali.

  Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam.Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Mohammad Ali Zamroni M,A Kata Kunci : Konsep Pendidikan Islam, Relevansi.

  Arus globalisasi sungguh memberikan dampak ke semua aspek kehidupan, salah satunya adalah dalam aspek pendidikan. Negara dapat dikatakan maju apabila memiliki sistem pendidikan yang baik. Pendidikan di Indonesia sempat ramai dengan perubahan kurikulum 2013, yang mana menimbulkan banyak perdebatan kepada para tokoh pendidikan yang dinilai bagus, namun lingkup pendidikan di Indonesia belum siap untuk menerapkan dengan berbagai alasan. Kembali ke masa lalu yaitu pada masa Orde Baru, menyimak kembali seorang tokoh Pluralis Indonesia yang juga manjabat sebagai Menteri Agama, yaitu Mukti Ali. Beliau adalah salah satu pemikir pendidikan Islam yang juga menjadi Dosen Kehormatan Perbandingan Agama di IAIN Yoryakarta pada masa itu. Tentu beliau memiliki sudut pandang pendidikan yang berbeda dengan tokoh lainnya.

  Penelitian ini merupakan upaya untuk mencari tahu bagaimana peran Mukti Ali dalam dunia Pendidikan Islam di Indonesia. Beberapa pertanyaan penting dalam pembahasan skripsi ini adalah (1) Bagaimana konsep pendidikan menurut Mukti Ali. (2) Bagaimana relevansinya terhadap pendidikan di Indonesia. (3) bagaimana implikasi konsep pendidikan Mukti Ali terhadap pendidikan Islam Indonesia.

  Hasil dari penelitian ini menurut penulis adalah tentang konsep pendidikan Islam menurut Mukti Ali yang terbagi menjadi tiga poin penting, yaitu (1) Menurut al-

  Qur’an dan hadis yang telah mengedepankan kedisiplinan dalam beribadah. (2) Menurut UUD Republik Indonesia, dimana sistem pendidikan dan proses pendidikan harus berjalan secara sistematis dan terarah (3) Menurut kearifan lokal yang tertuju pada kehidupan remaja Mukti Ali di pondok pesantren. Dalam penelitian tersebut, juga membahas mengenai sumbangsih dan kebijakan Mukti Ali, salah satunya adalah SKB Tiga Menteri yang membahas secara detail mengenai kesetaraan lulusan Sekolah Umum dengan Madrasah. Dimana Ijazah Madrasah dapat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi umum maupun ke sekolah Umum tanpa mengikuti ujian kesetaraan terlebih dahulu. Dengan syarat jumlah atau porsi pembelajaran di madrasah adalah 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama Islam. Dan ini masih relevan sampai saat ini.

  

DAFTAR ISI

  Sampul .........................................................................................................I Lembar Berlogo ............................................................................................II Persetujuan Pembimbing ...............................................................................III Lembar Pengesahan ...........................................................................................IV Surat Pernyataan Keaslian ................................................................................V Motto ..................................................................................................................VI Halaman Persembahan ............................................................................VII Kata pengantar .......................................................................................VIII Abstrak .......................................................................................................X Daftar Isi .....................................................................................................XI Daftar Lampiran ......................................................................................XIII

  BAB I : Pendahuluan ............................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1 B. Rumusan Masalah ....................................................................9 C. Tujuan Penelitian ....................................................................9 D. Kegunaan Penelitian .......................................................10 E. Penegasan Istilah ...................................................................10 F. Metode Penelitian ...................................................................11 G.

  Sistematika Penulisan .......................................................13

  BAB II : Biografi Mukti Ali ...................................................................16 A. Silsilah Keluarga Mukti Ali ...........................................16

  B.

  Riwayat Pendidikan Mukti Ali ...........................................18 C. Karier Politik Mukti Ali .......................................................25 D.

  Karya Ilmiah Mukti Ali .......................................................29

  BAB III : Pemikiran Mukti Ali ...................................................................31 A. Konsep Pendidikan Mukti Ali ...........................................31 B.

  ...............................44 Metodologi Studi Islam Mukti Ali C.

  .......48 Kebijakan Mukti Ali dalam Dunia Pendidikan Islam

  BAB IV : Pembahasan ...............................................................................54 A. Relevansi Konsep Pendidikan Islam Mukti Ali terhadap Pendidikan Islam di Indonesia ...........................................54 B. Relevansi Metodologi Studi Islam Mukti Ali..........................58 C. Relevansi Kebijakan Mukti Ali ...........................................60 D.

  .......65 Signifikansi Konsep Pendidikan Islam Mukti Ali E.

  Implikasi Konsep Pendidikan Islam H.A. Mukti Ali Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia

  …………………………...67

  BAB V : Penutup ...............................................................................72 A. ...................................................................72 Kesimpulan B. ...................................................................73 Saran-saran Daftar Pustaka ...................................................................74

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran 1 Surat Pembimbing Lampiran 2 Lembar Konsultasi Lampiran 3 Nilai SKK

Lampiran 4 Daftar Riwayat Hidup

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arus globalisasi menimbulkan dampak menyeluruh ke dalam

  aspek kehidupan, termasuk dalam ranah pendidikan, dimana semua negara berkompetisi untuk menghasilkan generasi muda yang unggul dan berprestasi. Pendidikan juga menjadi sebuah potensi utama dari suatu negara, karena dapat dipastikan jika sebuah negara memiliki manajemen pendidikan yang bagus, maka negara tersebut pasti termasuk dalam kategori negara maju.

  Menurut Oemar Malik (2011: 3), pendidikan mengajarkan manusia untuk memiliki moral, sebagai pengontrol kehidupanya, terutama ketika mereka hidup bermasyarakat. Karena Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikandiri sebaik mungkin dengan lingkungannya, dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkannya untuk berfungsi secara memadai dalam kehidupan masyarakat.

  Sedangkan menurut George F. Kneller (1967: 63), pendidikan memiliki arti luas dan sempit. Dalam arti luas, pendidikan diartikan sebagai tindakan atau pengalaman yang mempengaruhi perkembangan jiwa, watak, ataupun kemauan fisik individu. Sedangkan dalam arti sempit, pendidikan adalah suatu proses untuk mentransformasikan pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan dari generasi ke generasi, yang dilakukan oleh masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan tinggi atau lembaga-lembaga lain.

  Siti Meichati (1975: 5) ber pendapat “Banyak memang yang berlainan pendapat tentang pendidikan. Walaupun demikian, pendidikan berjalan terus tanpa menunggu keseragaman arti. Salah satu diantaranya mengatakan bahwa pendidikan adalah hasil peradaban suatu bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa yang berfungsi sebagai filsafat pendidikannya, yaitu suatu cita-cita atau tujuan yang menjadi motif cara suatu bangsa berfikir dan berkelakuan, yang dilangsungkan turun temurun dari generasi ke generasi”.

  Para era globalisasi ini pula terdapat dua dampak yang akan secara otomatis kita terima, seolah menjadi satu paket kemajuan zaman. Dalam sisi positif kita dapat dengan mudah berhubungan dengan teknologi yang menjanjikan kita sebuah informasi instan dan mudah kita cari di internet. Namun dalam sisi negatif dapat menimbulkan sikap ketergantungan terhadap sesuatu yang belum pasti faktanya. Seolah terdoktrin oleh faham-faham sesat yang belum jelas referensinya.

  Dari semua realita megenai pendidikan, sesungguhnya negara memiliki andil yang besar dalam mengatur sistem pendidikannya. Di dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, memberikan pengertian mengenai pendidikan, yaitu sebuah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

  Setiap bangsa tentu akan menyatakan tujuan pendidikannya sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang sedang diperjuangkan untuk kemajuan bangsanya. Walaupun masing-masing bangsa memiliki tujuan hidup berbeda, namun secara garis besar, ada beberapa kesamaan dalam berbagai aspeknya. Pendidikan bagi setiap individu merupakan pengaruh dinamis dalam perkembangan jasmani, jiwa, rasa sosial, susila, dan sebagainya.

  Dalam buku Wiji Sumarno (2006: 22), dirumuskan bahwa pendidikan bisa diartikan sebagai berikut: (1)Pendidikan mengandung pembinaan kepribadian, pengembangan kemampuan, atau potensi yang perlu dikembangkan, peningkatan pengetahuan dari tidak tahu menjadi tahu, serta tujuan ke arah mana peserta didik dapat mengaktualisasikan dirinya seoptimal mungkin. (2)Dalam pendidikan, terdapat hubungan antara pendidik dan peserta didik. Di dalam hubungan itu, mereka memiliki kedudukan dan perasaan yang berbeda. Tetapi, keduanya memiliki daya yang sama, yaitu saling memengaruhi guna terlaksananya proses pendidikan (transformasi pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan yang tertuju kepada tujuan yang diinginkan). (3)Pendidikan adalah proses sepanjang hayat sebagai perwujudan pembentukan diri secara utuh. Maksudnya, pengembangan segenap potensi dalam rangka penentuan semua komitmen manusia sebagai individu, sekaligus sebagai makhluk sosial dan makhluk Tuhan. (4)Aktivitas pendidikan berlangsung di dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. (5)Pendidikan merupakan suatu proses pengalaman yang sedang dialami yang memberikan pengertian, pandangan (insight), dan penyesuaian bagi seseorang yang menyebabkannya berkembang.

  Pendidikan merupakan sebuah produk penyuplai SDM yang baik dan bermoral, sebab dengan pendidikan, manusia diajarkan menjadi manusia yang sempurna, dan dalam istilah agama Islam, manusia dapat disebut sebagai Insan Kamil.Ketika kita membahas mengenai pendidikan di Indonesia, sungguh akan berkaitan erat dengan pendidikan Islam di Indonesia, sebab mayoritas warga Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Menurut (Achmadi, 1992: 20) Pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya, menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.

  Secara garis besar, pendidikan Islam memiliki ruang lingkup yang luas. Disebutkan dalam beberapa poin diantaranya adalah (1).Setiap proses perubahan menuju ke arah kemajuan dan perkembangan berdasarkan pada ruh ajaran Islam. (2).Perpaduan antara pendidikan jasmani, akal (intelektual), mental, perasaan (emosi), dan rohani (spiritual). (3).Keseimbangan antara jasmani-rohani, keimanan-ketakwaan, pikir-dzikir, ilmiah-amaliah, material-spiritual, individual-sosial, dan dunia-akherat. (4).Realisasi dwi fungsi manusia, yaitu peribadatan sebagai Hamba Allah (Abdullah) untuk menghambakan diri semata-mata kepada Allah dan fungsi kekhalifahan sebagai khalifah Allah (khalifatullah) yang diberi tugas untuk menguasai, memelihara, memanfaatkan, melestarikan, dan memakmurkan alam semesta (rahmatallil’alamin) (M.Rokib, 2009: 22).

  Namun jika kita melihat realita pendidikan Islam saat ini, sungguh jauh dari kejayaan pada masa lampau. Dimana pendidikan Islam sempat menjadi puncak peradaban pada masa khalifah Harun Ar-Rasyid. Mampu menjadikan Baghdad sebagai kota pendidikan dunia yang terdapat sebuah perpustakaan yang menjadi referensi pengetahuan dunia pada masa itu.

  Sejarah masa lalu yang silau akan kejayaan pendidikan Islam sebenarnya bukan menjadi beban bagi para tokoh pendidikan Islam saat ini. Akan tetapi harus dijadikan acuan dan pembelajaran untuk melangkah ke depan dan terus membenahi pendidikan Islam ke arah yang lebih baik. Dengan mempelajari metode-metode pendidikan pada masa lampau, sesungguhnya dapat menjadikan sebuah wacana dan referensi para pemikir pendidikan Islam.

  Musthofa Rahman dalam bukunya (2001: 2), memahami pendidikan Islam, tidak semudah mengurai kata “Islam” dari kata “pendidikan”. Karena selain sebagai predikat, Islam juga merupakan subtansi dan subjek penting yang cukup komplek. Karenanya, untuk memahami pendidikan Islam berarti kita harus melihat aspek utama missi agama Islam yang diturunkan kepada umat manusia dari sisi Pedagogis. Islam sebagai ajaran yang datang dari Allah, sesungguhnya merefleksikan nilai-nilai pendidikan yang mampu membimbing dan mengarahkan manusia sehingga menjadi manusia sempurna. Islam sebagai agama universal telah memberikan pedoman hidup bagi manusia menuju kehidupan bahagia yang pencapaiannya bergantung pada pendidikan. Pendidikan merupakan kunci penting untuk membuka jalan kehidupan manusia.

  Menelusuri salah seorang tokoh pendidikan Islam di era orde baru, yang memiliki banyak peranan penting di dunia pendidikan Indonesia, terutama masalah pluralisme, modernisasi politik keagamaan, faham islam timur tengah dan lain sebagainya. Yang intinya beliau adalah pemikir pendidikan islam dengan gagasan yang filosofis pula. Beliau adalah Mukti Ali.

  Dalam sebuah pemikirannya, Mukti Ali memberikan perombakan dalam dunia pendidikan Islam, yaitu dengan memprakarsai pendidikan Pesantren, Madrasah Ibtidaiyyah, Tsanawiyyah dan Aliyyah serta sekolah agama lainnya untuk bernaung dalam lembaga Departemen Agama. Meskipun sudah masuk dalam lembaga Departemen Agama pada masa itu, akan tetapi terkadang terjadi sebuah perbedaan pendapat, dimana Departemen Agama seolah berdiri sendiri dan bersaing dengan Departemen Pendidikan Nasional. Seolah ada Dualisme Pendidikan di dalam satu negara pada saat itu.

  Mukti Ali juga merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia, beliau juga penggagas pluralisme di Indonesia. Pluralisme sebenarnya bukan berarti kita mempercayai kepercayaan agama lain, akan tetapi kita menghargai penganut dan mencaricara bagaimana untuk bisa hidup bersama di dalam satu negara Indonesia.

  Beliau juga termasuk salah satu tokoh yang sangat mengunggulkan model pendidikan di pesantren. Karena menurutnya sistem weton dan sorogan merupakan sebuah pembelajaran yang efektif. Di pesantren juga sangat diwajibkan kepada semua santri untuk memiliki sikap tawadhu’ kepada kyai dan para ustadz. Karena dalam sebuah pembelajaran, menghormati seorang guru menjadi sebuah kewajiban.

  Dewasa ini lahirlah sebuah kurikulum baru yang diharapkan dapat merubah wajah pendidikan indonesia, yang sebelumnya terlalu fokus pada materi dan teori belaka, lalu dengan disusunnya kurikulum baru ini bertujuan untuk mengembangkan kompetensi yang utuh antara sikap, keterampilan dan pengetahuan. Kurikulum ini adalah kurikulum 2013.

  Sempat menjadi perbincangan hangat di dunia pendidikan Indonesia, dimana terdapat perbedaan yang signifikan. Perbedaan ini menuntut para pengajar untuk lebih kreatif dalam menyampaikan materi, para guru juga harus bisa menjadi teladan atau contoh bagi para muridnya, karena kurikulum 2013 ini juga mendapat sebutan sebagai kurikulum pengembangan karakter.

  Sempat dipraktikkan oleh sebagian sekolah-sekolah, namun implikasi kurikulum ini tidak hanya membutuhkan tenaga pengajar yang memahami kurikulum ini saja, akan tetapi juga membutuhkan banyak sarana dan fasilitas penunjang pembelajaran yang harus disediakan pihak sekolah, supaya mudah dalam penyampaiannya. Dan tahun 2015 kemarin kurikulum ini ditarik kembli oleh Menteri Pendidikan karena di nilai banyak sekolah belum mumpuni untuk menerapkannya.

  Namun di tahun ajaran 2015/2016 kurikulum ini mulai diresmikan kembali dan secara perlahan mulai diimplikasikan pada pembelajaran di sekolah-sekolah. Karena dinilai kurikulum ini sangat berpotensi untuk mengembangkan peserta didik menjadi generasi yang tak hanya pintar masalah pengetahuan, namun juga santun dalam perilaku, seolah menggambarkan karakter Bangsa Indonesia.

  Berangkat dari problematika tersebut di atas, penulis termotivasi untuk mengangkat Skripsi dengan tema “KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT H.A. MUKTI ALI".

B. Rumusan Masalah 1.

  Bagaimanakah konsep pendidikan Islam menurut H.A. Mukti Ali? 2. Bagaimanakah metodologi studi Islam H.A. Mukti Ali? 3. Bagaimanakah relevansi konsep pendidikan menurut H.A. Mukti

  Ali? 4. Bagaimanakah implikasi konsep pendidikan Islam menurut H.A

  Mukti Ali terhadap pendidikan Islam di Indonesia? C.

   Tujuan Penelitian 1.

  Mengetahui konsep pendidikan Islam menurut H.A. Mukti Ali 2. Mengetahui metodologi studi Islam H.A. Mukti Ali 3. Mengetahui relevansinya terhadap pendidikan di Indonesia saat ini

4. Mengetahui implikasi konsep pendidikan Islam menurut H.A.

  Mukti Ali terhadap pendidikan Islam di Indonesia

  D. Kegunaan Penelitian

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu

  1. Manfaat Teoritisyang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah menambah wawasan kita mengenai pendidikan Islam dari pemikiran Mukti Ali 2. Manfaat Praktis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah dapat mendorong para pembaca untuk dapat merelevansikan pemikiran pendidikan Islam Mukti Ali dalam kehidupan sehari- hari.

  E. Penegasan Istilah

  Untuk menghindari kesalah pahaman dan kekaburan dalam penafsiran judul, maka perlu dikemukakan maksud dari kata-kata dan istilah yang dipakai dalam judul skripsi ini agar dapat dipahami secara konkrit dan lebih operasional. Adapun batasan istilah tersebut adalah :

1. Konsep

  Konsep berarti “rancangan, ide atau pengertian diabstrasikan dari peristiwa konkrit (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998: 205) 2.

  Pendidikan Islam Istilah pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Yunani, yaitu Paedagogie.

  Paedagogie asal katanya adalah pais yang artinya “anak”, dan again yang terjemahannya “membimbing”. Dengan demikian Paedagogie berarti “bimbingan yang diberikan anak” (Sudirman, 1989: 4).

  Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik agar dapat berperan aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang (Tirtaraharjo, 2008: 263).

  Islam adalah ketundukan seorang hamba kepada wahyu Ilahi yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW guna dijadikan pedoman hidup dan juga sebagai hukum Allah SWT yang dapat membimbing umat manusia ke jalan yang lurus menuju kebahagiaan dunia akhirat (http://duniaislam.org/08/08/2016/pengertian-islam diakses pada 16 Februari 2016 pukul 13:08).

  Pendidikan Islam ialah “Segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam” (Achmadi, 1992: 20).

F. Metode Penelitian

   Ada tiga model metode penelitian yang akan penulis gunakan

  dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu: 1.

  Pendekatan Penelitian Skripsi ini menggunakan pendekatan metode Library

  Research , yaitu penelitian yang dilakukan diperpustakaan yang objek penelitiannya dicari melalui beragam informasi kepustakaan (buku, ensiklopedia, jurnal ilmiah, koran/artikel majalah, dokumen) dan lain sebagainya.

2. Sumber Data

  Sumber data yang penulis gunakan pada penelitian ini adalah studi kepustakaan yakni pengumpulan data-data dengan cara mempelajari, mengutip teori-teori dan konsep-konsep dari sejumlah literatur, baik buku, artikel ataupun karya tulis lainnya yang relevan dengan topik penelitian. Dengan data primernya adalah buku yang berjudul Lima tokoh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang ditulis oleh Muhammad Damami dan buku yang berjudul “Beberapa persoalan Agama Dewasa Ini” karya Mukti Aliserta data sekundernya adalah buku-buku yang relevan dengan bahan penelitian, misalnya Ilmu Pendidikan, Modernisasi politik keagamaan masa orde baru, ilmu perbandingan agama di Indonesia dan masih banyak buku lainnya.

3. Teknik Pengumpulan Data

  Dalam menganalisi data yang telah dikumpulkan menggunakan beberapa metode, antara lain: a.

  Metode Deduktif. Digunakan untuk menganalisis pada bab II tentang landasan teori, yaitu analisis suatu permasalahan yang berasal dari generalisasi yang bersifat umum kemudian ditarik pada fakta yang bersifat khusus atau yang kongkrit terjadi.

  Pada bab II penulis membahas tentang konsep pendidikan Islam yang secara umum kemudian penulis khususkan lagi pada nilai-nilai pendidikan Islam menurut Mukti Ali b.

  Metode Induktif. Berpikir induktif berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang konkret, kemudian dari fakta-fakta/peristiwa khusus itu ditarik ke faktayang bersifat umum (Sutrisno,2002:42). Metode induktif digunakan untuk menganalisis pada bab III tentang permasalahan yang akan diteliti yaitu analisis masalah yang bersifat khusus, kemudian diarahkan pada penarikan kesimpulan yang bersifat umum. Pada bab III penulis membahas tentang konseppendidikan Islam menurut Mukti Ali kemudian penulis menyimpulkan bahwa konsep pendidikan tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

G. Sistematika Penulisan

  Untuk mengetahui secara keseluruhan isi atau materi-materi skripsi ini secara global, maka penulis perlu merumuskan skripsi ini ke dalam beberapa bab, yaitu:

BAB I : Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian

  D.

  Kegunaan Penelitian E. Penegasan Istilah F. Metode Penelitian G.

  Sistematika Penulisan

BAB II : Biografi H.A. Mukti Ali A. Silsilah Keluarga H.A. Mukti Ali B. Riwayat Pendidikan H.A. Mukti Ali C. Karier Politik H.A. Mukti Ali D. Karya-karya H.A. Mukti Ali BAB III : Deskripsi Pemikiran H.A. Mukti Ali Dalam Bidang Pendidikan A. Konsep Pendidikan Islam H.A. Mukti Ali B. Metodologi Studi Islam H.A. Mukti Ali C. Kebijakan H.A. Mukti Ali Dalam Bidang Pendidikan Islam BAB IV : Relevansi Pemikiran H.A. Mukti Ali Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia A. Relevansi Konsep Pendidikan Islam H.A. Mukti Ali B. Relevansi Metodologi Studi Islam H.A. Mukti Ali C. Relevansi Kebijakan H.A. Mukti Ali dalam Bidang Pendidikan Islam D. Signifikansi Konsep Pendidikan Islam H.A. Mukti Ali

  E.

  Implikasi Konsep Pendidikan Islam H.A. Mukti Ali Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia

BAB V : Penutup A. Kesimpulan B. Saran-saran

BAB II BIOGRAFI H.A. MUKTI ALI A. SILSILAH KELUARGA H.A. MUKTI ALI Di ujung timur dataran tinggi kapur utara yang tandus, ada

  sebuah kota kecil yang bernama Cepu. Kota yang ditengahnya membentang sungai Bengawan Solo ini menjadi pembatas bagian tengah dari Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selama masa pemerintahan colonial, setidaknya hingga awal abad ke-20, Cepu pernah terkenal karena lading minyaknya yang banyak dan produktif. Meskipun dewasa ini pemerintah masih mengelola beberapa sumur minyak yang masih bisa ditemukan di sana-sini, tingkat produktifitasnya sangat rendah. Tak heran, banyak lading minyak yang terlantar dan akhirnya dikelola penduduk setempat secara kecil- kecilan. Membutuhkan waktu sekitar 3-4 jam perjalanan darat kea rah barat dari Surabaya, atau sekitar 30 menit kea rah timur dari kota Blora, Cepu menandai suatu titik wilayah areal hutan jati yang luas, kering, disekellingi sawah-sawah tanpa pengairan (Muhanif, 1998: 271)

  Abdul Mukti Ali lahir di Cepu, Blora, Jawa Tengah pada 23 Agustus 1923. Meninggal di Yogyakarta, 5 Mei 2004 pada umur 80 tahun. Adalah mantan Menteri Agama Republik Indonesia pada Kabinet Pembangunan Jilid II. Ia juga terkenal sebagai ulama’ ahli perbandingan Agama yang meletakkan kerangka krukunan antar umat beragama di Indonesia sesuai dengan sikap Bhineka Tunggal Ika atau istilah yang sering dipakai “setuju dalam perbedaan”. Ia juga terkenal sebagai cendekiawan muslim yang menonjol sebagai pembaharu pemikiran Islam(https:id.m.wikipedia.org/wiki/Mukti_Ali?.html diakses pada 23 Maret 2016)

  Dengan nama kecil Boedjono, iaadalah anak kelima dari tujuh saudara. Ayahnya Idris atau Haji Abu Ali, nama yang digunakan setelah menunaikan haji, adalah seorang pedagang tembakau yang cukup sukses. Ia dikenal sebagai orang tua santri yang saleh dan dermawan, khususnya untuk mendanai kegiatan-kegiatan keagamaan di kota Cepu. Dengan demikian, Islam dalam pengertian santri, merupakan tradisi yang turun temurun telah diwarisi keluarga Mukti Ali (Munhanif, 1998: 272)

  Patut dicatat pula di sini, bahwa orang tua H. Abu Ali (kakek Prof.Dr. H.A. Mukti Ali, M.A.) adalah Lurah (Kepala Desa untuk zaman sekarang). Memang banyak keluarga H. Abu Ali yang menjadi Lurah. Oleh sebab itu, tidak ada yang bercita-cita ingin menjadi pegawai negeri. Yang didambakan, kalau dapat, adalah menjadi Lurah.

  Sebab, rupa-rupanya, Lurah dianggap sebagai salah satu kedudukan yang tinggi pada waktu itu dari segi status social, disamping, tentu jaminan hidup cukup terjaga. Cita-cita umum waktu itu adalah minimal menjadi pedagang yang sukses. Itu sudah dianggap cukup.

  Sementara itu, keluarga H. Abu Ali semuanya asli Cepu (Damami, 1998: 221-222)

  Melihat sejenak kehidupan beliau, Mukti Ali adalah tokoh yang mengalami masa kehidupan pra-kemerdekaan Republik Indonesia, sampai masa Reformasi. Sungguh cendekiawan Islam yang hidup pada zaman yang lengkap. Sempat menjadi Menteri Agama, memberikan pengalaman yang mumpuni untuk melakukan pembeharuan pendidikan Islam, terutama pola piker mengenai agama.

  Yang memang tugas dari Menteri Agama bukan hanya mengayomi agama Islam saja, akan tetapi, peran Mukti Ali dalam keagamaan sangatlah vital, dimana beliau sangat setuju dengan pluralisme dan menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama. Sungguh pemahaman yang dewasa jika kita melihat sudut pandang bangsa Indonesia yang beraneka ragam.

B. RIWAYAT PENDIDIKAN H.A. MUKTI ALI

  Meskipun tingkat pendidikan Abu Ali sangat rendah, diperolehnya hanya dari mengaji kitab di Pesantren di Cepu, ia adalah orang tua yang keras menyuruh anaknya untuk sekolah. Abu Ali mendatangkan ngaji untuk anak-anaknya ke rumah mengajarkan al- Qur’an dan ibadah. Disinilah, Boedjono memperlihatkan sikap yang sungguh-sungguh untuk belajar. Pada usia 7 atau 8 tahun, Boedjono didaftarkan pada sekolah milik Belanda yang belakangan pada 1941 menjadi HIS. Pada usia yang sama, ia juga terdaftar sebagai siswa Madrasah Diniyyah di Cepu, yang kegiatan belajarnya berlangsung siang hari. Di kedua sekolah ini, Boedjono dikenal sebagai seorang siswa yang berprestasi dan bersahaja. Menurut teman-temannya waktu itu, selain ia memperlihatkan nilai mata pelajaran yang gemilang, Boedjono juga dipandang sebagai anak dari sebuah keluarga kaya yang bersikap biasa saja.

  Delapan tahun kemudian, Boedjono menamatkan sekolah HIS dan mendapatkan sertifikast pegawai pemerintah Belanda (Klein

  

Ambtenar ) di Cepu. Pada pertengahan 1940, Boedjono laludikirim

  ayahnya belajar di pondok pesantren Termas, Kediri, sekitar 170 km dari rumahnya. Tidak jelas mengapa Abu Ali lebih mengutamakan memasukkan anaknya ke pondok dari pada meneruskannya ke sekolah Belanda (Munhanif, 1998: 273)

  Pondok pesantren Termas didirikan oleh seorang ulama’ bernama K.H. Abdul Manan (1830-1862). Pondok ini terletak jauh di pelosok desa, yang ketika itu sukar sekali dicapai dengan kendaraan bendi sekalipun. Umumnya untuk sampai ke pondok pesantren itu harus berjalan kaki beberapa lama. Sejak tahun 1930-an, bahkan sebelumnya, pondok pesantren tersebut sudah sangat popular, sebanding dengan popularitas pondok pesantren Lasem di bawah pimpinan K.H. Ma’sum (ayah K.H. Ali Ma’sum) dan K.H. Cholil, pondok pesantren Tebuireng di bawah pimpinan K.H. Hasyim Asy’ari dan pondok pesantren Pademangan Bangkalan, Madura, dibawah pimpinan K.H. Moh. Cholil. Pondok pesantren Termas terkenal dengan ilmu alatnya. Di sini kitab-kitab ahlul bait pondok pesantren ini adalah karena keberhasilan salah seorang putra K.H. Abdul Manan, bernama Muhammad Mahfudh. Menjadi putra Indonesia yang mengajar di Masjidil Haram, Mekkah, dengan sebutan Syaikh Mahmudh al-Turmusi. Syaikh ini juga telah berhasil menampilkan diri sebagai pengarang berbagai kitab yang menjadi acuan dibebrapa Negara Arab dan pesantren-pesantren di Nusantara. Dengan begitu popularitas pondok pesantren Termas semakin meluas. Di pondok pesantren seperti inilah, Boedjono mulai belajar mengaji (Damami, 1998: 226-227)

  Dari pondok pesantren Termas inilah, tahap lain dari perjalanan hidup Boedjono muda bermula. Ia diterima belajar di tingkat menengah di pondok pesantren ini, yang metode belajarnya menggunakan system madrasah, yaitu sistem sekolah yang menggunakan kelas yang menyerupai sistem pendidikan Belanda. Saat itu, tidak banyak pesantren di Jawa yang menggunakan sistem belajar seperti itu. Kendatipun demikian, Boedjono tidak hanya belajar di sekolah pesantren, tetapi diwajibkan mengikuti kegiatan ngaji kitab, dengan sistem sorogan (bacaan) atau bandongan (diskusi). Materinya terdiri dari Fiqih, hadis, tasawuf dan akhlak. Di masa-masa kemudian, Boedjono merenungkan bahwa, lewat pendidikan di pondok inilah ia kemudian hari bisa mengapresiasi khazanah intelektual Islam klasik dn akhirnya membentuk luasnya pandangan keagamaan. Tetapi, pesantren Termas bukan satu-satunya tempat pendidikan agamanya. Beberapa pesantren lain turut membentuk wawasan kegamaannya adalah Tebuireng, Rembang (yang secara khusus mengajarkan kitab- kitab yang berkaitan dengan ilmu hadis), Pesantren Lasem dan Padnangan, Jawa Timur. Boedjono melewatkan belajarnya di pesantren-pesantren itu biasanya dalam bentuk mondok beberapa bulan, yang diadakan pada bulan Ramadhan dan Syawal (Muhannif, 1998: 274)

  Selama nyantri di pondok Termas itu ada beberapa peristiwa yang dirasakannya tidak dapat terhapus selama hidupnya. Peristiwa yang dimaksud antara lain soal penggantian namanya. Suatu saat, salah seorang kyai di Termas, yaitu Kyai Abdul Hamid Pasuruan, yang nama kecilnya sebelum menjadi kyai adalah Abdul Mukti, berbincang-bincang dengan Boedjono, dan waktu itu Kyai tersebut menyuruh Boedjono mengganti namanya dengan Abdul Mukti. Perintah penggantian nama itu oleh Boedjono dirasakan sebagai suatu kehormatan, sekaligus tantangan dan tanggungjawab moral untuk menjaga “nama” tersebut. Sejak itulah, dia mengubah namanya menjadi Abdul Mukti Ali, nama “Abdul Mukti” diambilnya untuk memenuhi perintah gurunya dan nama “Ali” diambil dari potongan nama ayahnya, H.Abu Ali (Damami, 1998: 228-229).

  Peristiwa yang kedua berkaitan dengan keputusannya untuk mengubur keinginannya aktif di perkumpulan tarekat. Tampaknya keluarga Mukti Ali yang mempunyai tradisi keagamaan yang dekat- dekat dengan tasawuf (ayahnya dan kakak tertuanya adalah pengikut jama’ah tarekat Qoddariyah di Cepu) berpengaruh padanya untuk ikut aktif di pengajian tarekat Naqsabandiyyah, yang dipimpin K.H.

  Hamid Dimyati, di pondok Termas. Setelah sekian lama mengamalkan ajaran tarekat itu, Kyai Dimyati tiba-tiba menasehatkan agar Mukti Ali meninggalkan amalan kegiatan tarekat (Muhannif, 1998: 275)

  Sesungguhnya ada hal lain yang mengesankan Abdul Mukti Ali adalah hubungannya dengan K.H. Abdul Hamid Pasuruan dan K.H. Hamid Dimyati. Ketika itu Abdul Mukti Ali ingin sekali menjadi hafidh (penghafal) al-

  Qur’an. Sudah biasa dia menamatkan al-Qur’an yang tiga puluh juz itu hanya dalam jangka waktu 6 sampai 7 jam.

  Tetapi K.H. Abdul Hamid melarangnya. Kyai itu menasehatkan agar Abdul Mukti Ali menjadikan al-Qu r’an sebagai wiridannya, bukan harus dihafalkannya. Maksud wiridan di sini adalah keharusan membacanya secara rutin, terus menerus dan ajeg, walaupun sedikit, Nabi memang pernah bersabda: “Para sahabat bertanya kepada Nabi: “Amal apa yang disukai Allah? Nabi menjawab: Amal yang ajeg walaupun kadarnya sedikit”. Nasehat K.H. Hamid Pasuruan, yang banyak orang menganggapnya setengah wali, ini tetap dipegang teguh sampai sekarang. Abdul Mukti Ali tetap disiplin membaca al-

  Qur’an setelah salat Maghrib. Seluruh anggota keluarganya (Isteri, anak dan menantu) setiap lepas salat maghrib diajarinya membaca al- Qur’an dengan betul, dijelaskan arti dan tafsirannya kalau dirasakan perlu dan sebagainya, rutin tiap hari. Kebiasaan membaca al-

  Qur’an setelah salat maghrib ini dimaksudkan untuk mengumpulkan seluruh anggota keluarganya. Membaca al-

  Qur’an ini sampai sekarang tetap dijadikan wiridannya, termasuk menjadi wiridan istri, anak dan menantunya, bahkan insya Allah sampai anak cucunya (Damami, 1998: 230)

  Setelah menuntaskan pendidikan agamanya di berbagai pesantren, Mukti Ali pergi ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Islam (STI) yang saat itu baru saja berdiri. Ia memutuskan Fakulas Agama sebagai pilihannya. Dan di STI inilah yang kelak dikenal sebagai Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (http:www.academia.edu:Mengubah_dan Membentuk_IAIN:Profil_Mukti_Ali diakses pada 7 Februari 2016 pukul 08:41)

  Pada masa kuliah inilah beliau bertemu dan akhirnya tertarik pada K. H. Mas Mansur, seorang tokoh Muhammadiyah dan dosen yang paling dikaguminya di STI. Mukti Ali kagum dengan cara mengajar Kiyai Mas Mansur yang lebih banyak memberikan pemahaman dan penafsiran baru mengenai wawasan keagamaan. Keasyikannya belajar di STI terhenti akibat kedatangan Belanda ke Yogyakarta yang dalam perkembangan selanjutnya berujung pada terjadinya pertempuran antara pada tahun 1949. Jiwa patriotismenya terpanggil untuk ikut terjun dalam medan pertempuran sebagai anggota pasukan tentara Angkatan Perang Sabil (APS) di bawah pimpinan K. H. Abdurrahman dari Kedungbanteng

  Setelah kedaulatan negara Republik Indonesia kembali diakui, Mukti Ali menerimana tawaran orang tuanya untuk naik haji dengan syarat beliau diizinkan untuk tinggal belajar di Mekkah dan Madinah.Tiba di Mekkah tahun 1950, namun karena kondisi masyarakat Mekkah pada saat itu dari segi pendidikan tidak lebih baik dari umumnya masyarakat Indonesia. Beliau memutuskan untuk hijrah ke negara lain. Atas saran H. Imron Rosyadi, SH. Konsul Haji Indonesia waktu itu. Beliau mengatakan bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dari belajar di Mekkah karena situasi politik yang ditimbulkan oleh kerasnya gerakan Wahabi di Arab. Mukti Ali lantas mempertimbangkan untuk ke Mesir.

  Tetapi akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke Karachi, Pakistan.Mukti Ali dengan kemampuan yang baik dalam bahasa Arab, Belanda, dan Inggris menyebabkan beliau diterima pada program sarjana muda di Fakultas Sastra Arab,Universitas Karachi. Ia mengambil program sejarah Islam sebagai spesialisasinya. Setelah menamatkan program tingkat sarjana muda, beliau melanjutkannya pada program Ph.D. di Universitas yang sama.Beberapa saat setelah itu, beliau diminta oleh Anwar Harjono; mantan sekjen Masyumi untuk meneruskan studinya ke McGill Universitas Montreal, Kanada tahun 1955.

  Di Universitas McGill, beliau mengambil spesialisasi ilmu perbandingan agama. Pemahaman beliau tentang Islam berubah secara fundamental. Perkenalannya dengan metode studi agama-agama dan professor- professor studi Islam, khususnya Wilfred Cantwell Smith adalah awal dari semua itu.

  Beberapa tahun setelah kembalinya ke Indonesia, beliau bergumul dalam wilayah pendidikan dengan merintis dan memperkenalkan disipilin ilmu perbandingan agama hingga berhasil menjadikannya sebagai jurusan baru dikalangan mahasiswa IAIN; Jakarta dan Yogyakarta pada tahun 1960. Dan pada tahun 1971 beliau ditunjuk menjadi Menteri Agama menggantikan K. H. Muhammad Dachlan; tokoh NU, yang belum habis masa jabatannya.

  diakses pada 7 Februari 2016 pukul 08:47 ) C.

KARIER POLITIK H.A. MUKTI ALI

  Karier politiknya justru tidak diawali dari kegiatan berpolitik, tetapi dalam dunia akademik. Sekembalinya dari belajar di Institute of Islamic Studies, McGill University, Monreal, Kanada pada tahun 1957, Mukti Ali dipercaya untuk mengajar di Akademik Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta dan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri

  (PTAIN), di Yogyakarta, yang keduanya kemudian menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Ini semua berkat pertemuannya dengan K.H. Faqih Usman, yang baru saja mengakhiri jabatan sebagai Menteri Agama, lalu ditugasi memimpin Biro Administrasi Departemen (Munhanif, 1998: 284-285)

  Sejak awal mengajar di IAIN, Mukti Ali sendiri memilih mengajarkan Ilmu Perbandingan Agama. Bagi masyarakat muslim di Indonesia hingga tahun 1950an, mempelajari ilmu ini adalah suatu fenomena baru, bahkan dilingkungan masyarakat yang mempunyai latar belakang pendidikan yang tinggi sekalipun. Sehingga tugas utama bukan sekedar mengajarkan suatu disiplin, tetapi sekaligus memperkenalkannya.

  Pada awal 1963, ia mulai menetap di Yogyakarta, karena minatnya pada dunia akademik ini pula, dia berjumpa, berkenalan dan merelakan rumahnya dijadikan tempat berkumpul bagi sekelompok anak muda dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang ingin membawa angin segar dalam pemikiran keagamaan Islam.

  Anak-anak muda itu menobatkan Mukti Ali sebaga i “Bapak Pelindung” bagi gerakan mereka yang kelak pada awal tahun 1971 muncul sebagai Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam.

  Setiap jum’at malam, anak muda itu berkumpul, berdiskusi dan berdialog masalah keagamaan. Beberapa orang yang terlibat dalam gerakan pembaharuan ini adalah Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, Djohan Efendi, Wajiz Anwar dan Syu’bah Asa. Merka mengundang Nurcholis Majid, Utomo Dananjaya atau WS. Rendra, tak jarang pula orang-orang non- Muslim untuk berdiskusi di rumah Mukti Ali (Ahmad Wahid, 1983: 37)

  Pergumulan di dunia akademik juga menempatkan Mukti Ali pada posisi lain di lingkungan pendidikan tinggi. Sebelum menduduki kursi Menteri Agama, Ia adalah dosen di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga. Di lembaga pendidikan agama tinggi itu ia pernah memangku jabatan Pembantu Rektor III bidang urusan public tahun 1964, dari situ ia dipercaya menjabat sebagai Menteri pada Oktober 1971 (Muhanif, 1998: 286)

  Ketika Mukti Ali menjabat sebagai Menteri Agama, terdapat beberapa masalah dalam lingkup kenegaraan, diantara permasalahan tersebut adalah 1.

  Pembangunan atau konsep pemangunan Selama ini, apa yang disebut pembangunan itu sering dipahami dengan pembangunan ekonomi saja. Kalau hal itu yang terjadi, maka hal itu akan mengulangi kesalahan pembangunan di Barat yang akhirnya berdampak negatif terhadap kehidupan orang Barat sendiri. Misalnya saja, banyak orang Barat yang merasa teralienasi oleh kemajuan yang mereka capai secara ekonomis yang di dukung oleh kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.

2. Kerukunan hidup beragama

  Sebenarnya usaha untuk menuju kerukunan ini sudah dirintis pada zaman K.H.M. Dachlan saat menjadi Menteri Agama. Waktu itu dipertemukan para tokoh agama untuk membicarakan kemungkinan menciptakan kerukunan hidup beragama di Indonesia.

  Kalangan tokoh Islam merasa keberatan terhadap kemungkinan penyebaran agama di tengah orang yang telah Islam, sedangkan dari kalangan Protestan dan Katholik merasa bahwa menyebarkan agama itu merupakan panggilan agamanya, karena agamanya memang mengajarkan demikian. Akhirnya pendapat merek tidak bisa bertemu. Singkatnya, macetlah usaha itu.

  Apa yang telah di rintis Menteri Agama sebelumnya ini telah dilanjutkan oleh Mukti Ali, namun dengan warna pertemuan yang berbeda, kalau dahulu yang di undang adalah tokoh-tokoh agama, sekarang yang dianjurkan berdialog adalah para ahli agama (akademisi di perguruan tinggi, semacam IAIN, Seminari, Sekolah Tinggi Teologi dan semacamnya).

3. Masalah Intern umat Islam, yaitu Pendidikan Islam

  Selama ini dirasakan ada saluran macet yang menyebabkan lulusan sekolah-sekolah agama Islam tidak dapat tersalurkan ke perguruan tinggi bukan agama. Misalnya lulusan Pendidika Guru Agama Atas (PGAA) tidak dapat melanjutkan ke Fakultas Sosial Politik atau Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Karena apa? Karena memang aturannya tidak begitu jelas, tambahan pula kekayaan ilmu pengetahuan umum para siswa relatif tidak mencukupi untuk ikut ujian saringan masuk fakultas-fakultas umum tersebut (Damami, 1998: 269-262) D.