Konsep Khalifah Menurut M. Quraish Shihab Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)

Jenjang Pendidikan Strata Satu (S-1)

Disusun oleh:

Khoirunnisa Fadliah

109011000079

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

Skripsi ini aku persembahkan untuk kedua orang tuaku tercinta

(Ayahanda Drs. H. Baihaki, M.Pd.I dan Ibunda Hj. Nurlaili) dan

seluruh keluargaku yang tak pernah lelah dalam memberikan kasih

sayangnya kepadaku

serta tulus dalam mendo’akanku hingga

tercapainya sebuah kesuksesan dalam penyusunan sekripsi di UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan

umumnya bagi semua orang yang membacanya.. Aamiin.


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

iv

This thesis examines and identifies the concept of the caliphate by M. Quraish Shihab, and implications for Islamic education.

The purpose of this study is intended to determine M. Quraish Shihab thinking about the concept of the caliphate .

The method used in this paper is the literature ( library research ) , by searching , collecting , reading , and analyzing books . While the data collection was done by using a literature review by making books by M. Quraish Shihab as the primary data , and literature pertaining to the object of this study ( such as supporting books , articles , journals , theses ) as secondary data . Then the data were analyzed using content analysis which , by way of sifting through data collected and analyzed in accordance with the required contents so that a conclusion can be drawn .

The results showed that include : 1 ) The word caliph by M. Quraish Shihab roots of the word Khulafa ' which originally meant " behind " , and from here the word caliph is often interpreted as a "replacement " ( because it has always been that replaces or comes back , after which it replaces ) . So that the caliph was functioning as a fiduciary to replace God in His will enforce and implement the provisions of his to manage the earth with all its potential . 2 ) Within the meaning of the caliphate in the singular , contained in QS . Al - Baqarah verse 30 and verse . Shad paragraph 26 . In QS . Al - Baqarah verse 30 indicates that the Caliphate is composed of the authority granted by Allah SWT to Adam along with his descendants to manage the whole earth at the beginning of the history of humanity . The QS . Shad paragraph 26 , that the caliphate is bestowed upon David aces. related to power manage a particular area ( Palestine ) , which deals with political power , which is where the people involved with the appointment . 3 ) Islamic Education related to the concept of the caliphate , which must pay more attention to a system and a curriculum that emphasizes the values of the Divine , which is rooted in the Qur'an and Sunnah as guidance in implementing Islamic education . So that will achieve the objectives of Islamic education , the perfect man ( Insan Kamil ) .


(8)

v

Skripsi ini mengkaji sekaligus menjelaskan konsep khalifah menurut M. Quraish Shihab, dan implikasinya terhadap pendidikan Islam.

Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pemikiran M. Quraish Shihab tentang konsep khalifah.

Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

kepustakaan (library reserach), dengan cara mencari, mengumpulkan, membaca,

dan menganalisa buku-buku. Sedangkan pengumpulan datanya dilakukan dengan menggunakan teknik kajian literatur dengan menjadikan buku-buku karya M. Quraish Shihab sebagai data primer, dan literatur-literatur yang berkaitan dengan obyek penelitian ini (seperti buku penunjang, artikel, jurnal, skripsi) sebagai data sekundernya. Kemudian data-data yang terkumpul dianalisa dengan menggunakan content analysis yakni, dengan cara memilah-milah data yang terkumpul untuk dianalisa isinya sesuai dengan yang dibutuhkan sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa diantaranya : 1) Kata khalifah

menurut M. Quraish Shihab berakar dari kata khulafa’ yang pada mulanya berarti

“di belakang”, dan dari sini kata khalifah seringkali diartikan sebagai “pengganti”

(karena yang menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang digantikannya). Sehingga khalifah itu berfungsi sebagai pemegang amanah untuk menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya untuk mengelola bumi dengan segenap potensi yang dimilikinya. 2) Dalam pemaknaan khalifah dalam bentuk tunggal, terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 30 dan QS. Shad ayat 26. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 30 ini menunjukkan bahwa kekhalifahan terdiri dari wewenang yang dianugerahkan Allah SWT untuk Adam beserta anak cucunya untuk mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan. Adapun QS. Shad ayat 26, bahwa kekhalifahan yang dianugerahkan kepada Daud As. bertalian dengan kekuasaan mengelola wilayah tertentu (Palestina), yang berkaitan dengan kekuasaan politik, yang di mana yang terlibat dengan masyarakat dalam pengangkatannya. 3) Pendidikan Islam yang terkait dengan konsep khalifah ini, yaitu harus lebih memperhatikan suatu sistem dan kurikulum yang menekankan

kepada nilai-nilai Ilahiah, yang bersumber pada al-Qur‟an dan As-Sunnah sebagai

pedoman dalam melaksanakan pendidikan Islam. Sehingga akan tercapainya


(9)

vi

KATA PENGANTAR

ِمْيِح َرلا ِنََْْرلا ِها ِمْسِب

Penulis, memulai skripsi ini dengan menyebut Asma Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala puji dan sanjung selayaknya kami persembahkan ke hadirat Allah SWT Zat yang menciptakan, mengatur, memelihara dan menguasai alam. Kepada-Nya segala puji disanjungkan dan kepada-Nya pula kita meminta. Dialah tempat menggantungkan segala harapan dan dialah muara dari segala permohonan. Tidak ada keberhasilan melainkan atas kehendak-Nya, tak ada kebaikan melainkan atas kuasa-Nya, dan juga yang telah melimpahkan berbagai nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai syarat akhir dalam menyelesaikan program sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tidak terlimpahkan Shalawat dan Salam semoga tercurahkan kepada penyelamat umat di dunia, yaitu baginda Nabi Besar Muhammad SAW, juga bagi keluarga dan para sahabatnya serta siapa saja yang beriman dari zaman ke zaman. Melalui segenap usaha, doa dan penantian panjang, Alhamdulillah, penulis telah dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang sederhana ini berkat bantuan dari berbagai pihak, baik materil maupun moril, penulis berterima kasih kepada semua pihak pada saat penulis menyelesaikan studi maupun saat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Untuk itu penulis sampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA. Sebagai Rektor yang senantiasa

berjuang dengan penuh ketulusan dan tanpa kenal lelah demi kemajuan Universitas Islam Negeri Jakarta.

2. Nurlena Rifa‟I Ph.D. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. H. Abd. Madjid Khon, MA. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam


(10)

vii

4. Marhamah Saleh, Lc. MA. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Drs. Ahmad Basuni, MA. Sebagai dosen pembimbing yang dengan penuh

keikhlasan dan kesabaran telah memberikan arahan serta bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Pimpinan Perpustakaan dan staf perpustakaan Universitas Islam Negeri

Jakarta Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Utama dan Perpustakaan

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Perpustakaan Iman Jama‟,

Perpustakaan Pusat Studi al-Qur‟an dan perpustakaan lainnya di Jakarta,

yang telah membantu dalam pelayanan fasilitas buku-buku demi selesainya skripsi ini.

7. Segenap dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, yang semoga ilmu tersebut dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin.

8. Kedua orang tuaku, ayahanda tercinta bapak Drs. H. Baihaki M.Pdi.

Beserta ibunda tersayang Hj. Nurlaili yang telah banyak berjasa mendidik, membimbing, mengasuh, memberikan kasih sayang yang tak pernah putus dalam membesarkan putrinya, adik-adikku tersayang (Syawalia

Turrohmah, Abdul Halim, Abdul Kafi), nenekku (Hj. Ma‟anih), serta para

encang dan encingku yang tercinta (Neneng Husnah, Mujahid Amrillah,

DAI Asyiik Tashil Amani‟), yang senantiasa memberikan kasih sayang dan dorongan berupa moril maupun materiil kepada penulis sehingga meraih gelar Sarjana S1 di UIN Syarif Hidayatullah.

9. Kepada semua sahabat baikku kelas B PAI angkatan 2009 Jurusan

Pendidikan Agama Islam (Cintia, Sinta, Mufliha, Mimin, Dhowi, Adnan, Rachmat, Yoga, Safrul), terima kasih atas segala masukan, motivasi dan dukungan kalian semua.

10.Kepada kakandaku tercinta Ali Umar, yang sangat baik, sabar untuk

membantu, dan menemani penulis dalam segala hal serta memotivasi penulis untuk terus maju.


(11)

viii

11.Kepada kakak-kakakku (Ka Zainurrahman, Ka Iswahyudi, Ka Shiuby)

yang telah memberikan masukan-masukan dan nasehat-nasehatnya.

12.Teman-teman seperjuangan khususnya yang di PAI Kelas B angkatan

2009 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

13.Kepada Kepala Sekolah, Guru-guru dan Siswa-siswi SDN KLU 01 Pagi

Keb. Lama, yang selalu memberikan semangat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

14.Kepada para murid-muridku di TPQ Usratun Nisa‟, yang selalu

memberikan keceriaan dan semangat kepada penulis.

Semoga Allah SWT., yang Maha Pengasih dan Penyayang berkenan membalas semua amal ibadah mereka. Amin.

Jakarta, 25 Februari 2014


(12)

ix

LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASAH ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C.Pembatasan dan Perumusan Masalah... 8

D.Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Kajian Teori ... 10

1. Konsep Khalifatullah ... 10

a. Pengertian Khalifah ... 10

b. Manusia dalam Perspektif Kekhalifahan ... 12

c. Peran dan Fungsi Kekhalifahan Manusia di Bumi ... 18

2. Pendidikan Islam ... 23

a. Pengertian Pendidikan Islam ... 23

b. Dasar-dasar Pendidikan Islam ... 27

c. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam ... 33


(13)

x

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 43

D. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data ... 44

E. Analisi Data ... 44

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data ... 46

1. Riwayat Hidup dan Karier M. Quraish Shihab ... 46

2. Karya-karya M. Quraish Shihab ... 49

B. Pembahasan ... 52

1. Konsep Khalifatullah Menurut M. Quraish Shihab ... 52

a Pengertian Khalifatullah ... 52

b Makna Kekhalifahan Manusia di Bumi ... 58

c Karakteristik Khalifatullah Menurut M. Quraish Shihab ... 64

d Tugas-tugas Khalifah Menurut M. Quraish Shihab ... 69

2. Implikasi Konsep Khalifatullah Terhadap Pendidikan Islam ... 70

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 79

B. Implikasi ... 80

C. Saran-saran ... 81


(14)

1

A.

Latar Belakang Masalah

Secara kategorial, al-Qur‟an mendudukkan manusia ke dalam dua fungsi

pokok, yaitu sebagai hamba (‘abd) Allah (QS. 51: 56) dan khalifatullah (QS. 2:

30).1





Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”(QS. Adz Dzariyat : 56)2

























Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah : 30)3

Dengan penyebutan kedua fungsi ini, al-Qur‟an ingin menekankan muatan

fungsional yang harus diemban oleh manusia dalam melaksanakan tugas-tugas kesejarahan dalam kehidupannya di muka bumi.

Pertama, manusia sebagai hamba (‘abd), dituntut untuk sukses menjalin

hubungan secara vertikal dengan Tuhan. Konsep ‘abd mengacu pada tugas-tugas

1 Tedi Priatna, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy,

2004), h. 89.

2 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur‟an Dept. Agama RI, 1982), h. 862.


(15)

individual manusia sebagai hamba Allah dan tugas ini diwujudkan dalam bentuk

pangabdian ritual kepada Allah SWT4; Kedua, manusia sebagai khalifah, dituntut

untuk sukses menjalin hubungan secara horizontal dengan sesama makhluk. Tidak sukses sebagai hamba, jika seseorang gagal dalam menjalani tugasnya sebagai khalifatullah. Begitu sebaliknya, tidak sukses sebagai khalifah, jika seseorang gagal menjalin hubungan sebagai hamba dengan Tuhan. Manusia yang paripurna

atau manusia seutuhnya (insan kamil) adalah orang yang sukses sebagai hamba

juga sebagai khalifah.

Dalam pembahasan mengenai manusia kita dapat menemukan kajian yang membahas tentang kedudukan manusia di alam semesta ini, selalu bahasan itu dihubungkan dengan konsep kekhalifahan manusia di muka bumi, dan konsep ibadah sebagai bentuk manifestasi tugas kekhalifahannya.

Secara filosofis kata khalifahditafsirkan ke dalam tiga definisi, yaitu :

a. Manusia sebagai species telah menggantikan species lain yang sejak itu

manusia bertempat tinggal di muka bumi. Karena diakui, bahwa jin mendahului manusia, maka manusia sebagai pengganti jin.

b. Kata khalifah secara sederhana menunjuk kepada sekelompok masyarakat

yang menggantikan kelompok lainnya. Yang termuat dalam QS. An-Naml

: 62 yang artinya : “Dia menjadikan engkau pewaris-pewaris di muka

bumi”.

c. Dinyatakan bahwa khalifah tidak secara sederhana menggantikan yang

lainnya, yang secara nyata memang benar-benar khalifah Allah. Allah

pertama kali menjadikan khalifah yang berjalan dan bertingkah laku mengikuti ajaran Allah.

Dari uraian penafsiran di atas, penekanan kata khalifah yang dimaksudkan khalifah Allah adalah hubungan yang dibangun antara manusia dengan Allah, bukannya secara sederhana antara manusia dengan sesamanya atau hubungan antara manusia dengan jin, tetapi khalifah yang disebutkan itu ialah sebagai

khalifah Allah. Dimana seorang khalifah Allah tidak hanya memikirkan

4 Al-Rasyidin, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005), Cet. II, h. 19.


(16)

kepentingan diri sendiri, kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja. Akan tetapi manusia sebagai khalifatullah itu harus berpikir dan bersikap demi kemaslahatan semua pihak sesuai dengan kehendak Allah.

Sedangkan menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi, kata khalifah memiliki

dua makna. Pertama, adalah pengganti, yaitu pengganti Allah SWT untuk

melaksanakan titah-Nya di muka bumi. Kedua, manusia adalah pemimpin yang

kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan makhluk lainnya serta memakmurkan dan mendayagunakan alam semesta bagi kepentingan manusia

secara keseluruhan.5

Dari gambaran di atas, dapat dipahami bahwa tugas manusia di muka bumi ini adalah sebagai khalifah yang diartikan sebagai pengganti Allah dan juga diartikan sebagai pemimpin.

Manusia dikatakan pengganti Allah adalah dimana manusia diberi tangung jawab pengelolaan alam semesta untuk kesejahteraan umat manusia itu sendiri, karena alam semesta memang diciptakan Allah untuk manusia. Pada dasarnya,

akhlak yang diajarkan al-Qur‟an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi

manusia sebagai khalifah, yang sebagaimana Allah SWT telah memberikan mandat kepada manusia menjadi penguasa untuk mengatur bumi dan segala

isinya. Kesemua ini merupakan “kekuasaan” dan wewenang yang bersifat umum

yang diberikan Allah kepadanya sebagai khalifah untuk memakmurkan kehidupan di bumi. Oleh karenanya, tanggung jawab moral manusia untuk mengolah dan memanfaatkan seluruh sumber-sumber yang tersedia di alam ini guna memenuhi keperluan hidupnya. Namun, kewenangan manusia untuk memanfaatkan alam semesta harus didasarkan kepada garis yang telah ditetapkan Allah SWT dan tidak

boleh menyalahinya.6

Sedangkan kata khalifah yang diartikan sebagai pemimpin, dituntut

adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya, dan jika kita menyadari diri

kita sebagai khalifah Allah, sebenarnya tidak ada satu manusia pun di atas dunia

ini yang tidak mempunyai “kedudukan” ataupun “jabatan”. Jabatan-jabatan lain

5 Al-Rasyidin, Samsul Nizar, op. cit., h. 18. 6Ibid.


(17)

yang bersifat keduniaan sebenarnya merupakan penjabaran dari jabatan pokok sebagai khalifatullah. Jika seseorang menyadari bahwa jabatan keduniawiannya itu merupakan penjabaran dari jabatannya sebagai khalifatullah, maka tidak ada satu manusia pun yang akan menyelewengkan jabatannya. Sehingga tidak ada satu manusia pun yang akan melakukan penyimpangan-penyimpangan selama dia

menjabat. Karena kekhalifahan yang dimaksud, yaitu yang mengandung arti

pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Dan manusia juga diberi otoritas ketuhanan; menyebarkan rahmat Tuhan, menegakkan kebenaran, membasmi kebatilan, dan menegakkan keadilan. Karena, manusia sebagai (hamba) adalah kecil dihadapan Allah SWT, tetapi sebagai (khalifah Allah) manusia memiliki fungsi yang sangat besar dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan di muka bumi.

Sehingga pengertian abdullah apabila dihubungkan dengan khalifah,

diperoleh pemahaman bahwa kedudukan sebagai khalifah adalah sebagai pengganti, ia menjadi pemegang kepemimpinan dan kekuasaan yang ada. Oleh karena itu, esensi seorang khalifah adalah kreativitas. Sedangkan kedudukan

seorang „abd adalah pengabdi, yang pengabdiannya itu hanya layak diberikan

pada Tuhan. Oleh karena itu, esensi seorang hamba adalah ketaatan dan kepatuhan. Dengan demikian, kedudukan manusia di alam raya ini di samping sebagai khalifah yang memiliki kekuasan untuk mengolah alam dengan menggunakan segenap daya potensi yang dimilikinya, juga sekaligus sebagai hamba yang keseluruhan usaha dan kreativitasnya itu harus dilaksanakan dalam rangka ibadah kepada Allah.

Agar manusia mampu menjadi khalifah atau sebagai ‘abd Allah terhadap

alam semesta, maka Allah telah menciptakan manusia dan menyiapkannya serta memberinya kelengkapan dan sarana yang diperlukan dengan sebaik-baiknya. Allah telah menciptakan manusia dengan struktur yang sebaik-baiknya. Sesuai

dengan firman Allah:7

7 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. III, h. 28.


(18)









Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik baiknya . (QS. At-Tin : 4).8

Menurut HAMKA, pada diri setiap anak (manusia), terdapat tiga unsur utama

yang dapat menopang tugasnya sebagai khalifah fi al-ardh maupun „abd

Allah. Ketiga unsur utama tersebut adalah akal, hati atau qalbu (roh), dan pancaindra (penglihatan dan pendengaran) yang terdapat pada jasadnya. Akal kreatif manusia (potensi akal) dan rasa ekspresinya (potensi qalbu) yang menjadikan dia mampu mempertahankan eksistensinya sebagai pembawa

amanat “ibadah” dan sekaligus “khilafah” di tengah-tengah posisinya yang

menonjol dalam hubungannya dengan Tuhan.9

Dan dalam usaha manusia menyiapkan dirinya dan mengembangkan

potensinya agar sampai pada kedudukan sebagai “pembawa amanah” yang

berhasil, tidak dapat bekerja sendiri tanpa memanfaatkan bimbingan Tuhan, mencari hidayah-Nya, menggapai rahmat-Nya memegang teguh fitrah yang

diberikannya, baik “fitrah mukhalaqoh” (fitrah yang dibekalkan kepada manusia

sejak diciptakan) maupun “fitrah munazzalah” (doktrin kehidupan yang diberikan

oleh Allah sebagai acuan bagi manusia dalam menyusuri perjalanan hidupnya

yang penuh tantangan).10 Sehingga perpaduan tiga unsur tersebut membantu

manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan membangun peradabannya, memahami fungsi kekhalifahannya, serta menangkap tanda-tanda kebesaran Allah. Dan manusia yang telah diberi kelengkapan kemampuan jasmaniah (fisiologis) dan rohaniah (mental psikologis) tersebut dapat ditumbuhkembangkan seoptimal mungkin, sehingga menjadi alat yang berdaya guna dalam ikhtiar kemanusiaannya untuk melaksanakan tugas pokok kehidupannya di dunia.

Untuk mengembangkan atau menumbuhkan kemampuan dasar jasmaniah dan rohaniah itu, pendidikan merupakan sarana (alat) yang menentukan sampai di mana titik optimal kemampuan-kemampuan tersebut dapat dicapai. Melalui pendidikan, manusia akan memperoleh ilmu pengetahuan yang dapat

8 Departemen Agama RI, op. cit., h. 1076.

9 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 121.

10 Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Lantabora Press, 2004), Cet. III , h. 84.


(19)

dipergunakannya memilah nilai baik dan buruk, serta menciptakan berbagai kebudayaan yang berfungsi mempermudah dan memperindah kehidupannya.

Pendidikan merupakan proses menumbuhkembangkan eksistensi manusia yang bermasyarakat dan berbudaya dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal,

nasional, dan global. Dan penidikan juga bukan sekedar proses transfer of

knowledge, akan tetapi merupakan petunjuk dan penangkal berbagai fenomena

sosial, berikut ekses yang dibawanya.11 Dalam pandangan Ibnu Khaldun

bahwasannya pendidikan berusaha untuk melahirkan masyarakat yang berkebudayaan serta berusaha untuk melestarikan eksistensi masyarakat selanjutnya. Pendidikan diarahkan kepada pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.

Konsepsi pendidikan menurut pandangan Ibnu Khaldun untuk menghadapi masa depan yang lebih baik, yaitu untuk melahirkan masyarakat yang berkebudayaan serta berusaha untuk melestarikan, meningkatkan, dan mempertahankan eksistensinya. Tujuan pendidikan diarahkan untuk membantu individu agar dapat hidup lebih baik dalam masyarakat yang berkualitas, yang dapat hidup layak dalam dunia yang sedang maju, dan mampu mempertahankan

eksistensinya dalam masyarakat modern.12

Dan apabila berbicara tentang Pendidikan Islam, kita tidak bisa melepaskan dari struktur bangunan Islam dilandaskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam

kitab suci al-Qur‟an. Karena al-Qur‟an mampu mengantar dan mengarahkan

manusia bersifat dinamis dan kreatif, serta mampu mencapai esensi nilai-nilai

‘ubudiyah pada Khaliqnya.13

Karena pada dasarnya, pendidikan Islam merupakan proses mentransfer sejumlah ilmu dan sekaligus membentuk watak pribadi manusia, sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Melalui ilmu yang dibalut dengan akhlak, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk kebudayaan (teknologi) yang bermanfaat bagi seluruh alam semesta. Di sinilah letak fungsi kekhalifahan manusia sebagai

11 Samsul Nizar, op. cit., h. 127.

12 Nurhamzah, “Media Pendidikan; Nilai-nilai Tujuan Pendidikan Islam Menurut Ibnu

Khaldun”, Jurnal Pendidikan Keagamaan, Vol. XXIV, 2009, h. 47.


(20)

rahmatan li al-‘alamin. Dengan pendidikan manusia dapat menata kebudayaannya secara proporsional. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Gazalba memberikan batasan, bahwa maju mundurnya peradaban manusia, sangat ditentukan oleh dinamika manusia untuk mengembangkannya. Tumbuhnya dinamika intelektual umat manusia, sangat tergantung pada pola pendidikan yang ditawarkannya. Di sini terlihat, bagaimana sesungguhnya pendidikan memiliki

hubungan simbiosis mutualis dengan berbagai aspek kemanusiaan.14 Pendidikan

Islam dijadikan sebagai sarana yang kondusif bagi proses transformasi ilmu

pengetahuan dan budaya Islam dari satu generasi kepada generasi berikutnya.15

Maka pendidikan Islam harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah pengembangan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal, sehingga dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit, dalam arti berkemampuan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi diri, masyarakat dan lingkungannya sebagai realisasi fungsi

dan tujuan penciptaannya, baik sebagai khalifah maupun ‘abd.

Dengan mencermati secara mendalam urgensi konsep khalifatullah yang

dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, memberikan inspirasi penulis untuk lebih jauh mengungkap konsep khalifah dan implikasinya terhadap pendidikan Islam menurut M. Quraish Shihab, yang sebagai salah seorang ilmuan yang menjadikan Al-Quran sebagai obyek kajiannya. Sehingga penulis memberi judul

penulisan ini dengan judul “Konsep Khalifah Menurut M. Quraish Shihab dan

Implikasinya terhadap Pendidikan Islam”.

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu :

1. Kurangnya pemahaman manusia (sebagai pemimpin) terhadap makna

kekhalifahan manusia di bumi.

14 Samsul Nizar, op. cit,. h. 133.


(21)

2. Belum maksimalnya peran manusia dalam melaksanakan amanat sebagai khalifah di muka bumi

3. Kurang diperhatikannya pendidikan Islam oleh manusia sebagai alat untuk

menunjang potensi manusia sebagai khalifah

C.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian identifikasi masalah diatas, untuk lebih memperjelas dan memberi arah yang tepat dalam pembahasan skripsi ini, maka diberikan batasan yang berkaitan dan sesuai judul yang ada. Penulis hanya akan membahas fokus masalah yang diteliti sebagai berikut :

1. Pendapat M. Quraish Shihab tentang konsep khalifah di bumi

2. Implikasi konsep khalifah menurut M. Quraish Shihab terhadap

pendidikan Islam

Bertolak dari pembatasan di atas, maka masalah penelitian dapat di rumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pendapat M.Quraish Shihab tentang konsep khalifah ?

2. Bagaimana implikasi konsep khalifah menurut M. Quraish Shihab

terhadap pendidikan Islam ?

D.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah :

a) Untuk mengetahui konsep khalifah menurut M. Quraish Shihab.

b) Untuk mengetahui konsep pendidikan Islam.

c) Untuk mengetahui konsep khalifah menurut M. Quraish Shihab dan

implikasinya terhadap pendidikan Islam.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penulis berkaitan dengan penulisan skripsi ini, antara lain adalah :


(22)

1. Kajian di dalam skripsi ini bermaksud memberikan sumbangsih pemikiran dan dapat memperkaya wawasan dan khazanah pengetahuan kita tentang bagaimana konsep Khalifah menurut M. Quraish Shihab dan implikasinya terhadap pendidikan Islam

2. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat luas, khususnya para

pendidik dan perguruan tinggi bahwa konsep khalifah mempunyai implikasi terhadap pendidikan Islam.

3. Sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya yang sesuai dengan


(23)

10

A. Kajian Teori

1. Konsep Khalifah a. Pengertian Khalifah

Kata khalifah berasal dari kata kholafa-yakhlifu/yakhlufu-khalfan-wa

khilafatan yang berarti menggantikan, menempati tempatnya. Sedangkan

kata khalafu diartikan orang yang datang kemudian atau ganti, pengganti.

Dan kata al khaalifatu mempunyai pengertian umat pengganti, yang

berbeda pengertiannya dengan alkhaliifatu yang bentuk jama’nya khulafa’

dan Khalaaif yang berarti khalifah.1

Ibrahim al-Quraibi mengartikan kata khalifah sebagaimana

disebutkan dalam al-Qamus artinya adalah “umat yang melanjutkan

generasi umat terdahulu”. Sedangkan al-khalaif artinya “orang yang duduk

setelahmu”.2

Adapun Dawam Raharjo memberikan pengertian khalifah dalam

al-Quran diantaranya: “mereka yang datang kemudian, sesudah kamu, yang

diperselisihkan, silih berganti, berselisih dan pengganti”.3

Sedangkan menurut terminologi, para ahli tafsir dan para ilmuan lain memberikan definisinya tentang khalifah. Seperti yang diartikan oleh

Musthafa al-Maraghi bahwa khalifah adalah “makhluk yang diciptakan

oleh Allah sebagai pengganti dari makhluk sebelumnya untuk

melaksanakan perintah Allah terhadap umat manusia”.4 Sedangkan Ibnu

Katsir mengartikan khalifah sebagai “orang yang dapat memutuskan

berbagai masalah pertengkaran yang terjadi dan membela orang yang

1 Ahmad Warson Munawwir, Al munawwir, Kamus Arab - Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Cet. XIV, h. 361-363.

2 Ibrahim al-Quraibi, Tarikh Khulafa, (Jakarta: Qisthi Press, 2009), Cet. I, h. 13.

3 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedia Al-Quran (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 353.

4 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Terj), Juz XVII, (Semarang: Thoha Putra, 1989), , h. 130-131.


(24)

beraniaya dan menegakkan hukum segala perbuatan yang keji dan

munkar”.5

Sayyid Qutb mendefinisikan khalifah dengan: “makhluk yang

diciptakan oleh Allah untuk mengendalikan bumi dan memberikannya banyak potensi untuk mengelola bumi dan potensi tersebut harmonis antara undang-undang yang mengatur bumi dengan undang-undang yang

mengatur makhluk (manusia) dengan segala kekuatan potensinya.”6

Adapun Hasan Langgulung membagi pengertian khalifah berdasarkan siapa menggantikan siapa dalam kata khalifah menjadi

tiga pendapat. Pertama, mengatakan bahwa umat manusia sebagai

makhluk yang menggantikan makhluk yang lain yang telah menepati

bumi ini. Dipercayai bahwa makhluk itu adalah jin. Kedua, khalifah

hanya bermakna mana-mana kumpulan manusia menggantikan yang

lain. Ketiga, Khalifah tidak sekadar seorang menggantikan orang

lain, tapi ia (manusia) adalah pengganti Allah. Allah datang dulu,

khalifah bertindak dan berbuat sesuai dengan perintah Allah.7

Pengertian khalifah adalah kedudukan manusia sebagai pengganti Allah. Yang mana kedudukan manusia sebagai pengganti Allah itu mempunyai tiga makna sebagaimana yang yang dikemukakan oleh Dawam Raharjo, yaitu :

1. Khalifah adalah Adam. Karena Adam simbol bagi seluruh manusia,

maka manusia adalah khalifah.

2. Khalifah adalah suatu generasi penerus atau pengganti, yaitu khalifah

diemban secara kolektif oleh suatu generasi.

3. Khalifah adalah kepala negara atau kepala pemerintahan.8

Sehingga secara umum khalifah didefinisikan sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah sebagai pengganti Allah yang diberikan amanat untuk menjaga dan mengatur seisi alam dengan berbagai potensi yang dianugerahi oleh Allah dengan sebaik mungkin, sehingga akan terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan di bumi maupun di akhirat kelak.

5 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 369.

6 Sayyid Quthb, Tafsir Fizilali Qur’an, Di Bawah Naungan Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), Cet. III, h. 95.

7 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan

(Jakarta: Pustaka Al Husna, 1989), hlm. 75. 8 M. Dawam Raharjo, op. cit., h. 357.


(25)

b. Manusia dalam Perspektif Kekhalifahan

Awal mula penciptaan manusia merupakan pengetahuan pertama yang diperoleh Adam a.s. sehingga ia mendapatkan keistimewaan

dibanding dengan semua Makhluk ciptaan Allah.9 Keistimewaan ini bisa

dilihat dari sisi penciptaan fisik maupun personalitas karakternya. Karena keistimewaannya itu, manusia memiliki tugas dan kewajiban yang berbeda dengan makhluk yang lain. Keistimewaan dan kelebihan manusia, diantaranya berbentuk daya dan bakat sebagai potensi yang memiliki peluang begitu besar untuk dikembangkan. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan fisiknya, manusia dilengkapi dengan potensi berupa kekuatan fisik, fungsi organ tubuh dan panca indera. Kemudian dari aspek mental, manusia dilengkapi dengan potensi akal, bakat, fantasi maupun gagasan. Di luar itu manusia juga dilengkapi unsur lain, yaitu kalbu. Dengan kalbunya ini terbuka kemungkinan manusia untuk menjadi dirinya sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman

dan kehadiran Ilahi secara spiritual.10

Dalam paham dualisme, bahwa manusia sebagai makhluk adalah integritas antara unsur jasmaniah dan rohaniah. Manusia ditempatkan sebagai makhuk yang memiliki peluang untuk dikembangkan pada kedua unsur tersebut. Seperti Al-Ghazali dan Al-Farabi menyatakan, bahwa manusia terdiri atas unsur jasad (badan) dan roh atau jiwa. Dengan jasad manusia dapat bergerak dan merasa, sedangkan dengan roh manusia dapat berpikir mengetahui dan sebagainya. Dalam pandangan ini tercermin akan adanya hubungan yang terintegrasi antara kedua unsur dimaksud.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh M. Qutb bahwa dalam perspektif Islam eksistensi manusia yang merupakan perpaduan antara ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang terpadu dan saling berkaitan, badan yang bersifat materi tidak bisa dipisahkan dengan akal dan ruh yang bersifat immateri. Masing-masing dari ketiga unsur tersebut

9 Abbas Mahmud Al-Aqqad, Manusia Diungkap Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), Cet. III, h. 13.


(26)

memiliki daya atau potensi yang saling mendukung dan melengkapi dalam

perjalanan hidup manusia.11

Menurut Harun Nasution, “unsur materi manusia mempunyai daya

fisik seperti mendengar, melihat, merasa, meraba, mencium dan daya

gerak”. Sementara itu unsur immateri mempunyai dua daya, yaitu daya

berfikir yang disebut akal dan daya rasa yang berpusat di kalbu. Untuk membangun daya fisik perlu dibina melalui latihan-latihan ketrampilan dan panca indera. Sedangkan untuk melatih daya akal dapat dipertajam melalui proses penalaran dan berfikir. Sedangkan untuk mengembangkan daya rasa dapat dipertajam melalui ibadah seperti shalat, puasa dan

lain-lain, karena intisari ibadah dalam Islam adalah taqarrub ilallah,

mendekatkan diri kepada Allah. Yang Maha Suci hanya dapat didekati melalui ruh yang suci dan ibadah adalah sarana latihan strategis untuk

mensucikan ruh atau jiwa.12

Uraian di atas memberi gambaran bahwa Islam memiliki cara pandang yang utuh terhadap diri atau eksistensi manusia, yang mana dalam pandangan Islam eksistensi manusia itu ada tiga unsur penting, diantaranya yaitu ruh, akal dan badan. Islam menolak pandangan yang parsial sebagaimana yang telah dilakukan materialisme dan spiritualisme yang hanya menonjolkan satu aspek unsur manusia.

Sehingga dapat kita lihat dalam surat al-Baqarah ayat 30-33 yang memaparkan proses kejadian manusia dan pengangkatannya sebagai khalifah.



















11 M. Qutb, Sistem Pendidikan Islam (terj. Salman Harun), (Bandung: Al-Maarif, 1993), h. 127.


(27)































































Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (30). Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (31). Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana" (32). Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (33). (Q.S. Al-Baqarah ayat 30-33).13

13 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an Dept. Agama RI, 1982), h. 14.


(28)

Proses kejadian inilah yang dapat memberikan pengertian kedudukan manusia sebagai khalaifatullah dalam alam semesta. Sebagaimana diungkapkan beberapa penafsir berikut:

1) Musthafa Al-Maraghi

Menurut Musthafa Al-Maraghi Q.S. Al-Baqarah ayat 30-33 menceritakan tentang kisah kejadian umat manusia. Menurutnya dalam kisah penciptaan Adam yang terdapat dalam ayat tersebut mengandung hikmah dan rahasia yang oleh Allah diungkap dalam bentuk dialog antara Allah dengan malaikat.

Berdasarkan tersebut, maka ayat di atas merupakan tamsil atau

perumpamaan dari Allah agar mudah dipahami oleh manusia, khususnya mengenai proses kejadian Adam dan keistimewaannya. Untuk maksud tersebut Allah memberi tahu kepada malaikat tentang akan diciptakannya seorang khalifah di bumi. Mendengar keputusan ini para malaikat terkejut kemudian mereka bertanya kepada Allah dengan cara dialog. Pernyataan malaikat tersebut seakan-akan mengatakan kenapa Tuhan menciptakan

makhluk jenis ini dengan bekal iradah dan ikhtiyar yang tak terbatas.

Sebab dalam pengertian malaikat, sangat mungkin manusia dengan potensi tersebut ia akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi.

Untuk menjawab pertanyaan para malaikat ini, Allah memberi pengertian kepada mereka dengan cara ilham agar mereka tunduk dan taat kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Jawaban seperti ini sudah cukup jelas dan tegas, bahwa ada rahasia dan hikmah yang tidak diketahui oleh para malaikat yang terkandung dalam penciptaan Adam (manusia) sebagai khalifah di bumi.

Dijelaskan ayat di atas bahwa Allah mengajarkan nama-nama kepada Adam, kemudian nama-nama itu ditunjukkan Adam kepada malaikat atas perintah Allah, akan tetapi malaikat tidak bisa menyebutkan kembali nama-nama yang telah ditunjukkan Adam kepada mereka.


(29)

Kejadian itu menyadarkan malaikat bahwa secara fitrah manusia

mempunyai isti’dad (bakat) untuk mengetahui hal-hal yang belum mereka

ketahui. Ringkasnya manusia dengan kekuatan akal, ilmu dan daya tangkap, ia bisa berbuat mengelola alam semesta dengan penuh kebebasan. Manusia dapat berkreasi, mengolah pertambangan dan tumbuh-tumbuhan, dapat menyelidiki lautan, daratan dan udara serta dapat merubah wajah bumi, yang tandus bisa menjadi subur, dan bukit-bukit terjal bisa menjadi dataran atau lembah yang sangat subur. Dengan kemampuan akalnya manusia dapat pula merubah jenis tanaman baru sebagai hasil cangkok sehingga tumbuh pohon yang sebelumnya belum pernah ada. Semuanya ini diciptakan Allah untuk kepentingan manusia. Hal di atas merupakan bukti yang jelas hikmah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Dengan kemampuan yang ia miliki ia dapat mengungkapkan keajaiban-keajaiban ciptaan Allah dan rahasia-rahasia makhluknya. Al-Maraghi menambahkan, dalam ayat di atas memberikan gambaran bahwa Allah telah melebihkan manusia dari makhluk yang lain. Karena pada diri

manusia telah disediakan “alat” yang dengannya manusia bisa meraih

kematangan secara sempurna di bidang ilmu pengetahuan, lebih jauh jangkauannya dibanding makhluk lain termasuk malaikat. Berdasarkan inilah manusia lebih diutamakan menjadi khalifah di bumi di banding

malaikat.14

2) Ibnu Katsir

Berikut ini penjelasan beliau terhadap Q.S. Al-Baqarah ayat 30-33: Dalam ayat Allah memberitahukan karunia-Nya yang besar kepada anak Adam, sebab menyebut keadaan mereka sebelum diciptanya di hadapan para Malaikat.

Di sini Allah menyebut kemuliaan kedudukan Nabi Adam a.s. karena Allah memberinya ilmu nama dari segala benda dan itu terjadi sesudah sujudnya para Malikat kepada Adam, dan didahului pasal ini


(30)

sesuai dengan pertanyaan para malaikat tentang hikmat pengangkatan khalifah di bumi yang langsung bahwa Allah mengetahui apa yang tidak mereka ketahui. Juga untuk menerangkan kelebihan Adam dengan ilmunya itu.

Para malaikat telah mengetahui bahwa mereka akan melakukan

kerusakan di muka bumi, maka mereka bertanya, “Mengapa Engkau

hendak menjadikan (khalifah) di bumi ini orang yang akan membuat

kerusakan padanya dan menumpahkan darah.” Pertanyaan itu hanya

dimaksudkan untuk meminta penjelasan dan keterangan tentang hikmah yang terdapat di dalamnya. Maka untuk memberikan jawaban atas

pertanyaan para malaikat itu, Allah berfirman “Sesungguhnya Aku

mengethui apa yang tidak kamu ketahui.” Artinya, Aku (Allah) menetahui dalam penciptaan golongan ini (manusia) terdapat kemaslahatan yang lebih besar daripada kerusakan yang kalian khawatirkan, dan kalian tidak mengetahui, bahwa Aku akan menjadikan di antara mereka para Nabi dan Rasul yang diutus ke tengah-tengah mereka. Dan di antara mereka juga

terdapat para shiddiqun, syuhada’, orang-orang shalih, orang-orang yang

ulama, orang-orang yang khusyu’, dan orang-orang yang cinta

kepada-Nya, serta orang-orang yang mengikuti para Rasul-Nya.

Sehingga yang benar, Allah mengajari Adam nama segala macam

benda itu, baik dzat, sifat, maupun af’al (perbuatannya) yang besar dan

yang kecil.15

3) H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)

Dalam menafsirkan Q.S. Al-Baqarah ayat 30-33, Hamka mengambil kesimpulan bahwa dalam penciptaan manusia sebagai khalifah, Allah telah melengkapinya dengan potensi yang dapat digunakan untuk menunjang fungsi kekhalifahannya itu. Adapun potensi yang dimaksud dalam ayat ini adalah potensi yang berupa ilmu atau pengetahuan.

15Ibnu Katsir, op. cit., h. 80-86.


(31)

Menurut penjelasannya, manusia di samping diberi potensi-potensi sebagaimana makhluk lain, ia telah dianugerahi potensi yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, yaitu akal. Akal inilah yang menjadi pembeda manusia dari makhluk lain termasuk malaikat.

Dengan akalnya itu manusia bisa mengembangkan ilmunya dan menciptakan teknologi bahkan dengan akalnya itu manusia bisa menguak rahasia-rahasia alam dengan seizin Allah.

Sebagai bukti bahwa manusia memiliki potensi akal dalam konteks ayat ini bisa dilihat ketika Adam mampu menyebutkan kembali nama-nama yang telah diajarkan oleh Allah kepadanya. Hal ini menunjukkan bahwa Adam (manusia) memang memiliki kelebihan atau keistimewaan yang tidak diberikan kepada makhluk yang lain termasuk malaikat.

Keistimewaan yang diberikan Allah kepada manusia itu merupakan cara Allah memuliakan manusia. Sehinga dalam kata penutupnya Hamka mengatakan bahwa manusia dengan kelebihan yang diberikan kepadanya, tidak layak manakala ia mengabaikan karunia itu.

Sebaliknya dia harus senantiasa mensyukurinya dengan cara menggunakan potensinya seoptimal mungkin dalam kerangka kebaikan

dan kemanfaatan.16

c. Peran dan Fungsi Kekhalifahan Manusia di Bumi

Manusia dipilih sebagai khalifatullah, sebagaimana diuraikan di atas, karena kelebihan yang dianugerahkan Allah kepada manusia berupa ilmu pengetahuan, yang tidak diberikan kepada makhluk Allah yang lain termasuk malaikat.

Ayat-ayat di atas yang menyampaikan tentang pengajaran Allah kepada manusia memberikan pengertian bahwa untuk dapat menjalankan fungsi dan peran kekhalifahan diperlukan modal atau syarat yaitu ilmu.

Para ahli tafsir menafsirkan kelebihan daripada makhluk lainnya ialah kelebihan akal pada manusia sehingga ia disebut hewan berakal


(32)

(hayawan an-nathiq). Anugerah akal dan keindahan fisik dalam rangka untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia dipersiapkan untuk

menerima amanat menjadi khalifah dan sekaligus sebagai mukallaf

(penerima agama, nilai, dan beban hukum).

Sejak awal pembaiatan kepada Nabi Adam a.s. yang mengemban tugas sebagai khalifah pertama di muka bumi, langsung diberikan beban mengemban tugas atas kekhalifahannya untuk mengenali dan menghafal

seluruh (kullaha) nama-nama komponen alam sebagai ekosistemnya.

Kewajiban berikutnya ia harus mengajarkan kepada para malaikat tentang

apa yang pernah diperolehnya dari Allah.17

Kemudian kemampuan Adam menyebutkan nama-nama menurut Ali

dalam The Glorias Qur’an sebagaimana telah dikutip oleh Machasin,

dapat diartikan sebagai kemampuan untuk berinisiatif. Dalam hal ini manusia diberi kemampuan untuk memberikan nama-nama benda, yakni membentuk konsep-konsep tentang benda-benda itu. Membentuk konsep berarti menguasainya. Jadi sifat pengetahuan manusia adalah konseptual. Berinisiatif menurutnya juga berarti bahwa manusia di samping memiliki potensi merusak ia juga memiliki potensi untuk berbuat baik. Menurutnya ini menunjukkan sifat kreatif manusia. Potensi kreatif ini hanya dianugerahkan kepada manusia, dan tidak kepada malaikat maupun makhluk yang lain. Menurut Machasin, Adam atau manusia yang mempunyai kemampuan untuk berbuat patuh dan durhaka, di dalamnya

terkandung unsur kreativitas.18

Senada dengan pendapat di atas, Abdur Rahman Shalih Abdullah menyatakan bahwa kemampuan manusia menyebutkan nama dapat diartikan sebagai kemampuan merumuskan konsep. Dalam penjelasan selanjutnya, ia menuturkan bahwa rumusan konsep memiliki dua faedah.

17 Sofyan Anwar Mufid, Islam dan Ekologi Manusia: Paradigma Baru, Komitmen dan Integritas Manusia dalam Ekosistemnya, Refleksi Jawaban atas Tantangan Pemanasan Global (Dimensi Intelektual, Emosional dan Spiritual), (Bandung: NUANSA, 2010), Cet. I, h. 112-113. 18 Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, (Yogyakarta: INHIS-Pustaka Pelajar, 1996), h. 8-10.


(33)

Pertama, ia memberikan fasilitas berfikir. Mengapa demikian? Menurutnya konsep memungkinkan manusia melakukan analisa dan sintesa terhadap apa yang dipikirkan. Berbeda dengan binatang maka manusia memiliki kemampuan merumuskan pengetahuan konseptualnya

ketika menghadapi permasalahan. Faedah kedua, dari pengetahuan

konseptual adalah bahwa ia memungkinkan manusia ingat terhadap peristiwa-peristiwa lampau. Manusia mencatat sejarahnya, kemampuan untuk membaca sejarah menjadikan manusia mempunyai kemampuan tertinggi pada aspek-aspek tertentu. Binatang tidak dapat mengingat peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya. Tidak mengherankan, al-Quran menganggap sejarah sebagai ayat-ayat-Nya, yang merangsang praktek berfikir. Kenyataan-kenyataan sejarah tidak disebut sebagai

memorisasi, namun kontemplasi.19

Selanjutnya Ali Syari’ati juga memberikan rumusan tentang filsafat

manusia sebagai berikut: Pertama, manusia tidak saja sama, tetapi

bersaudara. Perbedaan antara persamaan dan persaudaraan adalah jelas. Persamaan menunjuk pada istilah hukum, sedang persaudaraan menunjuk pada esensi yang identik dalam diri seluruh umat manusia terlepas dari latar belakang ras, jenis kelamin dan warna kulit. Persaudaraan berarti

seluruh umat manusia berasal dari asal usul yang sama. Kedua, terdapat

persamaan antara pria dan wanita, karena mereka berasal dari sumber asal yang sama, yakni dari Tuhan, kendatipun dalam beberapa aspek terdapat perbedaan-perbedaan (karena kodratnya atau karena bawaan sejak lahir). Ketiga, manusia mempunyai derajat lebih tinggi dengan malaikat karena pengetahuan yang dimilikinya. Yang dimaksud adalah pengetahuannya dengan nama-nama pada manusia, dan dengan demikian manusia memberi nama pada (benda) di dunianya menyebutkan segala sesuatu dengan tepat. Tuhanlah yang menjadi guru pertama manusia, dan pendidikan manusia pertama bermula dengan menyebutkan nama-nama. Dengan kemampuan

19 Abdur Rahman Shalih Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan menurut Al Quran serta Implementasinya, (Bandung: Diponegoro, 1991), h. 132-133.


(34)

nama-nama itu dan dengan keberhasilan manusia menjawab pertanyaan Tuhan terbukti bahwa manusia lebih unggul dari malaikat dan dari ciptaan

Tuhan lainnya.20

Sehingga dapat disimpulkan manusia dalam kedudukannya sebagai khalifah pada dasarnya mengemban tugas pokok, yaitu untuk mewujudkan kemakmuran di bumi agar tercipta kondisi kehidupan yang sejahtera, aman, tenteram dan bahagia sebagi tugas rangkap. Sejalan dengan tugas pengabdian itu maka manusia diberikan status terhormat, yaitu sebagai khalifah Allah di muka bumi lengkap dengan kerangka dan program kerjanya yang secara simbolis digambarkan melalui proses penciptaan Adam As. Oleh karena itu, manusia menduduki peran yang penting dan strategis di alam raya ini. Manusia bukan hanya merupakan salah satu bagian dari alam ataupun hanya sebagai makhluk yang diberi kesempatan untuk menggunakan serta memanfaatkan alam, melainkan juga untuk memelihara dan mengayomi seluruh makhluk guna mencapai tujuan

penciptaannya masing-masing.21

Dari kutipan di atas, dapat dipahami bahwa dalam melaksanakan amanat yang diberikan Allah SWT manusia harus menggunakan akalnya bagi kemaslahatan manusia itu sendiri serta makhluk Allah lainnya secara serasi dan seimbang. Untuk itu manusia senantiasa dimotivasi untuk lebih banyak menyingkap rahasia alam semesta --dengan kekuatan akalnya-- untuk mendapatkan nilai kebaikan. Untuk merealisasikan tugas dan fungsinya itu, dapat ditempuh manusia lewat pendidikan. Dengan media ini, diharapkan manusia mampu mengembangkan akal yang diberikan Allah SWT. secara optimal, bagi kepentingan seluruh alam semesta, baik untuk jangka pendek yaitu untuk kehidupan manusia di dunia maupun jangka panjang yaitu kehidupan di akhirat.

20 Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), h. 25.


(35)

Berangkat dari uraian tersebut, Ahmad Hasan Firhat, membedakan

kedudukan kekhalifahan manusia pada dua bentuk, yaitu khalifah kauniyat

dan khalifah syar’iyat.

Pertama, khalifah kauniyat. Dimensi ini mencakup wewenang manusia --secara umum-- yang telah dianugerahkan Allah SWT. untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta isinya bagi kelangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi. Pemberian wewenang Allah SWT. kepada manusia dalam konteks ini, meliputi pemaknaan yang bersifat umum, tanpa dibatasi oleh agama apa yang mereka yakini. Artinya, lebel kekhalifahan yang dimaksud diberikan kepada semua manusia sebagai penguasa alam semesta.

Bila dimensi ini dijadikan standar dalam melihat predikat manusia

sebagai khalifah fi al-ardh, maka akan berdampak negatif bagi

kelangsungan manusia dan alam semesta. Manusia –dengan

kekuatannya—akan mempergunakan alam semesta –sebagai konsekuensi

kekhalifahannya—tanpa kontrol dan melakukan

penyimpangan-penyimpangan dari nilai Ilahiah. Akibatnya, keberadaannya di muka bumi bukan lagi sebagai pembawa kemakmuran, namun cenderung berbuat mafsadah dan cenderung merugikan makhluk Allah lainnya. Ketiadaan nilai kontrol inilah yang dikhawatirkan malaikat tatkala Allah mengutarakan keinginan-Nya menciptakan makhluk yang bernama manusia.

Kedua, khalifah syar’iyat. Dimensi ini meliputi wewenang Allah yang diberikan kepada manusia untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja, untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab ini, predikat khalifah, secara khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin. Hal ini dimaksudkan, agar dengan keimanan yang dimilikinya, mampu menjadi pilar dan kontrol dalam mengatur mekanisme alam semesta, sesuai dengan nilai-nilai Ilahiah yang telah digariskan Alllah lewat ajaran-Nya. Dengan prinsip ini, manusia akan senantiasa berbuat kebaikan dan memanfaatkan alam semesta demi kemaslahatan umat manusia.


(36)

Bila dimensi ini dikembangkan dalam kajian pendidikan Islam, maka dalam proses mempersiapkan generasi penerus estafet kekhalifahan yang sesuai dengan nilai-nilai Ilahiah, pendidikan yang ditawarkan harus mampu memberikan dan membentuk pribadi peserta didiknya dengan acuan nilai-nilai Ilaihiah. Dengan penanaman ini, akan menjadi panduan

baginya dalam melaksanakan amanat Allah di muka bumi.22

2. Pendidikan Islam

a. Pengertian Pendidikan Islam

Pendidikan sebagai salah satu usaha untuk membina dan mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia jasmani dan rohani agar menjadi manusia yang berkepribadian harus berlangsung secara bertahap. Dengan kata lain, terbentuknya kepribadian yang bulat dan utuh sebagai individu, sosial dan sebagai manusia bertuhan hanya dapat tercapai apabila berlangsung melalui proses menuju ke arah akhir pertumbuhan dan perkembangannya sampai pada titik optimal kemampuannya.

Pengertian pendidikan secara umum mengacu pada dua sumber

pendidikan Islam, yaitu al-Qur’an dan Al-Hadits yang memuat kata-kata

rabba dari kata tarbiyah, ‘alama kata kerja dari ta’lim, dan addaba dari

kata kerja ta’dib. Ketiga istilah itu mengandung makna amat mendalam

karena pendidikan adalah tindakan yang dilakukan secara sadar dengan tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya)

insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).23

Sedangkan secara terminologi istilah kegiatan ini juga telah

menghasilkan banyak definisi dari para akademisi sesuai dengan disiplin

ilmu yang mereka anut. Seperti Ngalim Purwanto, menjelaskan bahwa

“pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan

22 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), Cet. I, h. 69-70.

23 Muhammad Takdir Ilahi, Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), Cet. I, h. 25.


(37)

anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah

kedewasaan”.24Menurut Ki Hajar Dewantara “pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang

setinggi-tingginya”.25

Lebih jauh, Azumardi Azra mengemukakan “pendidikan merupakan

suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan

memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien”26

. Pendidikan lebih sekedar pengajaran yang terakhir ini dapat dikatakan sebagai suatu proses transfer ilmu belaka, bukan transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya.

Sedangkan menurut UU No. 20 Tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.27

Dengan demikian, pengajaran hanya sekedar proses pemberian materi pelajaran kepada anak didik yang hanya akan membentuk para spesialis, yang terkurung pada bidangnya saja. Sedangkan pendidikan, lebih dari itu, di samping proses transfer ilmu dan keahlian, juga lebih menekankan pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik, sehingga menjadikan mereka dapat menyongsong kehidupannya di masa yang akan datang dengan lebih efektif dan efisien.

24

Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993), Cet. VI, h. 11.

25 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 2-4.

26

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: KENCANA, 2012), Cet. I, h. 4.

27Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang


(38)

Mereka semua memiliki definisi tentang pendidikan yang berbeda-beda bahkan sebagian dari mereka ada yang mendefinisikan pendidikan dengan mengintegrasikan dalam perspektif agama yang dianut seperti Ahmad D. Marimba dalam bukunya Pengantar Filsafat Pendidikan Islam bahwa :

Pendidikan merupakan Bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian yang lain sering kali beliau mengatakan kepribadian yang memiliki nalai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.28

Pendidikan Islam menurut Prof. H. Muzayyin Arifin, M.Ed. adalah

“usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai

dengan ajaran Islam atau suatu upaya dengan ajaran Islam, memikir, memutuskan dan berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, serta bertanggung

jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.”29

Ahmad Tafsir mendefinisikan bahwa pendidikan Islam adalah

“bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia

berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam”. Dan bila

disimgkat pendidikan Islam menurutnya yaitu “bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi Muslim semaksimal mungkin”.30

Kemudian, Armai Arief mengartikan “Pendidikan Islam adalah

sebuah proses dalam membentuk manusia-manusia muslim yang mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan dan merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT baik

kepada Tuhannya, sesama manusia, dan sesama makhluk lainnnya”.31

28

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Ma’arif, 1962),

h. 23.

29 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet. VI, h. 152. 30 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1994), Cet. II, h. 32.

31

Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), Cet. I, h. 40-41.


(39)

Sedangkan Zakiah Daradjat menjelaskan bahwa “Pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian, pendidikan Islam ini telah banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan sesuai dengan petunjuk ajaran Islam, karena itu pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga bersifat praktis atau pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan

pendidikan amal”.32

Berangkat dari perbedaan definisi yang dikemukakan oleh para ilmuan dan praktisi pendidikan, dapat ditemukan sebuah kesamaan yang merupakan kesimpulan awal yang bersifat universal. Diungkapkan oleh

Muhammad Natsir dalam tulisan “ideology pendidikan Islam” bahwa yang

dinamakan pendidikan ialah “suatu pimpinan jasmani dan rohani menuju

kesempurnaan dan kelengkapan atau kemanusiaan dengan arti sesungguhnya”.33

Dari beberapa definisi tentang pendidikan Islam di atas, maka dapat diambil beberapa pengertian tentang pendidikan Islam, yaitu :

a) Pendidikan Islam sebagai usaha bimbingan ditujukan untuk

mencapai keseimbangan pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam.

b) Pendidikan Islam sebagai suatu usaha sadar untuk mengarahkan dan

mengubah tingkah laku individu untuk mencapai pertumbuhan kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam dalam proses kependidikan melalui latihan-latihan akal pikiran (kecerdasan), kejiwaan, keyakinan, kemauan dan perasaan, serta pancaindera dalam seluruh aspek kehidupan manusia.

c) Pendidikan Islam sebagai bimbingan secara sadar dan terus-menerus

yang sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan

ajarnya (pengaruh dari luar), secara individual maupun kelompok, sehingga manusia mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh dan benar.

32

M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. I, h. 150.

33


(40)

b. Dasar-dasar Pendidikan Islam

Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai landasan tempat berpijak yang baik dan

kuat.34 Agar pendidikan dapat melaksanakan fungsinya sebagai agent of

culture dan bermanfaat bagi manusia itu sendiri, maka perlu acuan pokok yang mendasarinya. Karena pendidikan merupakan bagian yang terpenting

dari kehidupan manusia, yang secara kodrati adalah insane pedagogic

maka acuan yang menjadi acuan dasar bagi pendidikan adalah nilai yang tertinggi dari acuan hidup suatu masyarakat di mana pendidikan itu dilaksanakan. Oleh karena itu, pendidikan Islam sebagai usaha membentuk manusia, harus mempunyai landasan kemana semua kegiatan dan semua perumusan tujuan pendidikan Islam itu dihubungkan.

Dalam menetapkan sumber/landasan pendidikan Islam, para pemikir Islam berbeda pendapat, diantaranya Abdul Fattah Jalal yang membagi sumber pendidikan Islam menjadi dua macam, yaitu : 1) Sumber Ilahi

(al-Qur’an) dan Al-Hadits; 2) Sumber Insaniyah, yaitu lewat proses ijtihad

manusia.35

Sedangkan menurut Zakiah Daradjat, landasan itu terdiri dari

al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang dapat dikembangkan

dengan ijtihad, al-Maslahah al-Mursalah, Istishan, Qiyas, dan

sebagainya.36

1) al-Qur’an

Penurunan al-Qur’an diawali dengan ayat-ayat yang mengandung

konsep pendidikan, dapat menunjukkan bahwa tujuan al-Qur’an yang

terpenting adalah mendidik manusia melalui metode yang bernalar serta sarat dengan kegiatan meneliti, membaca, mempelajari, dan observasi

34 Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), Cet. XII, h.19. 35 Abdul Fattah Jalal, Azaz-azaz Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Diponegoro, 1988), h. 86-87.


(41)

ilmiah terhadap manusia sejak manusia masih dalam bentuk segumpal darah dalam rahim ibu. Sebagaimana firman Allah:



.





.

.

.





.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran pena. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-„Alaq: 1-5).37

Dasar pelaksanaan pendidikan Islam, Allah berfirman:



























Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Asy-Syura: 52).

Ayat ini menjelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan kepada umat

manusia untuk memberi petunjuk ke arah jalan hidup yang lurus dalam arti memberi bimbingan dan petunjuk ke arah jalan yang diridhai Allah

SWT.38

37Departemen Agama RI, op. cit., h. 597.


(42)

Al-Qur’an adalah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung di dalamnya terdiri dari dua prinsip besar, yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut dengan akidah dan yang berhubungan dengan aktivitas manusia yang disebut

dengan syari’ah. Ajaran-ajaran yang berkenaan dengan iman dalam

al-Qur’an tidak sebanyak ajaran yang berkenaan dengan amal perbuatan. Hal

ini menunjukkan amal itulah yang paling banyak dilaksanakan, sebab semua amal perbuatan manusia dalam hubungan kepada Allah, dengan dirinya sendiri, dengan masyarakat, serta dengan alam lingkungannya termasuk dalam lingkup aktivitas manusia.

Istilah-istilah yang sering digunakan dalam membicarakan tentang

syari’ah adalah ibadah yaitu perbuatan yang berhubungan langsung

dengan Allah; muamalah yaitu perbuatan yang berhubungan langsung dengan selain Allah; dan akhlak yaitu untuk tindakan yang menyangkut etika dan budi pekerti dalam pergaulan.

Dengan demikian al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam harus

dijadikan landasan dan sumber utama pendidikan Islam. Sehingga terlihat

bahwa seluruh dimensi yang terkandung dalam al-Qur’an memiliki misi

dan implikasi kependidikan yang bergaya imperatif, motivatif, dan persuasif, dinamis, sebagai suatu sistem pendidikan yang utuh dan demokratis lewat proses manusiawi. Proses kependidikan tersebut bertumpu pada kemampuan rohaniah dan jasmaniah masing-masing peserta didik, secara bertahap dan berkesinambungan, tanpa melakukan perkembangan zaman dan nilai-nilai Ilahiah. Semua proses pendidikan Islam tersebut merupakan proses konservasi dan transformasi, serta internalisasi nilai-nilai dalam kehidupan manusia sebagaimana yang diinginkan oleh ajaran Islam. Dengan upaya ini, diharapkan peserta didik


(43)

mampu hidup secara serasi dan seimbang, baik dalam kehidupan di dunia

maupun di akhirat.39

2) Hadits (As-Sunnah)

Sunnah menurut bahasa banyak artinya, antara lain adalah: suatu

perjalanan yang diikuti, baik dinilai perjalanan baik atau perjalanan buruk.

Dan makna sunnah yang lain adalah: tradisi yang kontinu,40 misalnya

firman Allah:





Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan peubahan bagi sunnatullah itu.

(QS. Al-Fath: 23).41

Sedangkan sunnah menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, di antaranya sebagai berikut:

a. Menurut ulama ahli hadits (Muhaditsin), sunnah adalah segala

perkataan Nabi, perbuatannya, dan segala tingkah lakunya.

b. Menurut ulama Ushul Fikih (Ushuliyun), sunnah adalah segala

sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi baik yang bukan dari al-Qur’an

baik berupa segala perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang patut

dijadikan dalil hukum syara’.

c. Menurut ulama Fikih (Fuqaha), sunnah adalah sesuatu ketetapan

yang datang dari Rasulullah dan tidak termasuk kategori fardlu dan

wajib, maka ia menurut mereka adalah sifat syara’ yang menuntut

pekerjaan tapi tidak wajib dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya.

d. Menurut ulama maw’izhah (‘Ulama Al-Wa’zhi wa Al-Irsyad),

sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi dan sahabat.42

39 Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan Islam, ( Bandung: Alfabeta, 2011), Cet. I, h. 27-29. 40 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. II, h. 5.

41 Departemen Agama RI, op. cit., h. 513. 42 Abdul Majid Khon, op. cit., h. 5-8.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

TENTANG PENULIS

Nama Lengkap Khoirunnisa Fadliah. Lahir di jl. SMP 87 Rt. 001 Rw. 012 No. 20 A, Pondok Pinang Keb. Lama, Jakarta Selatan. Adalah seorang Mahasiswi pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ia anak Perempuan pertama dari pasangan suami istri, ayahnya bernama Drs. H. Baihaki Madani M. Pd.I dan ibunya bernama Hj. Nurlaili. Pekerjaan ayahnya sebagai PNS (Kepala Sekolah) di Sekolah Dasar Negeri, sedangkan ibunya sebagai ibu rumah tangga.

Ia menamatkan Sekolah Dasar pada tahun 2003 di MI Nurussalam, kemudian melanjutkan pendidikan di MTs. Nurussalam dan tamat pada tahun 2006, setelah itu melanjutkan pendidikan di MAN 4 Model Jakarta dan tamat pada tahun 2009. Kemudian melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan mendapatkan gelar S1 pada tahun 2014.