Pembaharuan Metode Pendidikan Islam Menurut K.H. Ahmad Dahlan

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh

NUR LAILA NIM. 1810011000069

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014


(2)

(3)

(4)

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Nurlaila

NIM : 1810011000069

Jurusan : Pendidikan Agama Islam

Alamat : Kp. Kebon RT. 01 RW 06, Cinangka, Sawangan-Depok

MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA

Bahwa skripsi yag berjudul Pembaharuan Metode Pendidikan Islam Menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah benar hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen: Nama Pembimbing : A. Basuni, Drs, MA

NIP. : 194911261979011001

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya sendiri.

Jakarta, 18 September 2014 Yang Menyatakan


(5)

i

mengungkapkan permasalahan yang ada maka peneliti menggunakan pendekatan secara kualitatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang dapat diartikan sebagai prosedur atau cara memecahkan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan obyek yang diselidiki, berdasarkan fakta-fakta aktual pada saat sekarang.

Pembaharuan Pendidikan Islam Menurut KH. Ahmad Dahlan yaitu : Merubah cara mengajar dan belajar dari sistem sorogan ke sistem klasikal. Bahan pelajaran yang diberikan tidak hanya pelajaran agama tapi juga pelajaran umum. Beliau memperkenalkan rencana pembelajaran yang teratur. Pendidikan diluar waktu belajar diselenggarakan di dalam asrama yang terpimpin secara teratur.

Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dalam memajukan pendidikan Islam di Indonesia yaitu dengan mencita-citakan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.


(6)

ii Bismilahirrohmannirrohim

Tiada kata yag lebih terpuji selain menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. karena dengan ridho-Nya penulis dapat rampungkan skripsi ini. Sholawat dan salam yag ditetapkan Allah SWT atas junjungan alam Nabi Muhammad SAW sebagai penghulu Arab yang telah membawa kedamaian dan rahmat bagi semesta alam, para sahabat, keluarga, dan pengikutnya sampai akhir zaman.

Penulisan skripsi ini di susun guna memenuhi persyaratan yag harus ditempuh dalam menyelesaikan program studi sarjana pendidikan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penulisan skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu untuk terwujudnya skripsi ini, ucapan terimakasih penulis tak lupa tujukan kepada:

1. Direktur Pendidikan Agama Islam (DIPTAIS), Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementrian Agama Republik Indonesia yang telah memberikan bantuan dan beasiswa sampai penulis menyelesaikan studi; 2. Nurlena Rifai PhD, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh jajarannya, baik Bapak/Ibu dosen yang telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan, maupun staf yang telah membantu kelancaran administrasi;

3. A. Basuni, MA dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya, pikiran dan kesabaran yang teramat tulus disela-sela kesibukannya yag luar biasa untuk memberikan bimbingan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi. Terima kasih Bapak.

4. Para Dosen yang telah memberikan pengalaman dan ilmunya kepada penulis dengan ikhlas dan sabar selama masa kuliah.

5. Kepada kedua orang tua saya Bapak Abd. Rahman dan Ibu Sarifah yang sangat saya cintai. terlalu banyak pengorbanan yang diberikan dari sejak lahir sampai sekarang, rasanya ananda tidak bisa membalasnya. Ananda


(7)

iii

6. Pemimpin dan staf perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

7. Bapak Mawardi, Spd selaku kepala sekolah SD Muhammadiyah 08 Depok yang telah memberi motivasi kepada saya.

8. Seluruh guru, staff dan siswa SD Muhammadiyah 08 Depok

9. Suami tercinta dan anak-anak yang merupakan sumber insfirasi dan motivasi sehingga proses penulisan skripsi ini dapat selesai.

I0. Bapak Drs. Endang Surahman, MA dan Bapak Abd. Hadi, Spd yag juga banyak mendukung penulis, sehingga proses penulisan skripsi ini dapat selesai.

Hanya kepada Allah jua lah penulis mengucapkan syukur atas semua karunia-Nya. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikannya, sehingga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 18 September 2014

Nurlaila

NIM:1810011000069


(8)

iv HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI SURAT PERNYATAAN KARYA

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasandan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penilitian ... 8

E. Metodologi Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II KAJIAN TEORI PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA A.Pengertian Pendidikan Islam ... 12

B.Pembaharuan Pendidikan Islam ... 17

C.Pola-Pola Pembaruan Pendidikan Islam ... 21

D.Pendidik dan Peserta Didik Dalam PendidikanIslam ... 25

E. Kurikulum Pendidikan Islam ... 26


(9)

v AHMAD DAHLAN

A. Riwayat Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan ... .... 29

B. Riwayat Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan ... ...30

C. Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan ... ...33

D. Dasar Pendidikan Islam ... ...42

E. Pembaharuan-Pembaharuan KH. Ahmad Dahlan ... ...46

BAB IV HASIL PENELITIAN : ANALISA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN MENURUT K.H. AHMAD DAHLAN A. Periode Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia ... 62

1. Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Fase Pertama (1900-1915) ... 63

2. Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Fase Kedua (1915-1930) ... 63

3. Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Fase Kedua (1915-1930) ... 65

B. Pembaharuan Pendidikan Islam Menurut K.H. Ahmad Dahlan ... 66

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN ... 70

B. SARAN ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan Islam senantiasa menjadi sebuah kajian yang menarik yang bukan hanya karena memiliki kekhasan tersendiri, namun juga karena kaya akan konsep-konsep yang tidak kalah bermutu dibandingkan dengan pendidikan modern. Dalam lingkup pemikiran pendidikan Islam kita temukan tokoh besar dengan ide-idenya yag cerdas dan kreatif yang menjadi inspirasi dan kontribusi yang besar bagi dinamika pendidikan Islamdi Indonesia.

Salah satu peran ulama sebagai tokoh Islam yang patut dicatat adalah posisi mereka sebagai kelompok terpelajar yang membawa pencerahan kepada masyarakat sekitarnya. Berbagai lembaga pendidikan telah dilahirkan oleh mereka baik dalam bentuk sekolah maupun pondok pesantren. Semua itu adalah lembaga yang ikut mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan berpendidikan. Mereka telah berperan dalam memajukan ilmu pengetahuan, khususnya Islam lewat karya-karya yang telah ditulis atau melalui jalur dakwah mereka.

Manusia sebagai makhluk Tuhan, telah dikaruniai Allah kemampuan-kemampuan dasar yang bersifat rohaniah dan jasmaniah, agar dengannya manusia mampu mempertahankan hidup serta memajukan kesejahteraannya.1Kemampuan dasar manusia tersebut dalam sepanjang sejarah pertumbuhannya merupakan modal dasar untuk mengembangkan kehidupannya di segala bidang.

Sarana utama yang dibutuhkan untuk pengembangan kehidupan manusia tidak lain adalah pendidikan.2 yang dari segi bahasa pendidikan dapat diartikan perbuatan (hal, cara dan sebagainya) mendidik; dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik atau pemeliharaan (latihan-latihan dan sebagainya) badan, batin dan sebagainya.3Pendidikan merupakan kunci dari segala bentuk kemajuan hidup

1

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h.2

2

Ibid, h.2

3

H. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,(Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2001), h. 285


(11)

umat manusia sepanjang sejarah. Dengan demikian antara pendidikan dan masyarakat terjadi perpacuan (kompetisi) untuk maju. Itulah salah satu ciridari masyarakat yang dinamis dimana pendidikan menjadi tumpuan kemajuan perkembangan hidupnya.4

Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang menentukan eksistensi dan perkembangan masyarakat tersebut, oleh karena pendidikan merupakan usaha melestarikan, dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspeknya dan jenisnya kepadagenerasi penerus.5 Pendidikan dapat difungsikan untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia (sebagai mahluk pribadi dan sosial), kepada titik optimal kemampuannya untuk memperoleh kesejahteraan hidup didunia dan kebahagiaan hidupnya diakhirat.6

Masyarakat Islam yang berkembang sejak zaman Nabi Muhammad SAW melaksanakan misi sucinya menyebarkan agamanya, pendidikan juga merupakan kunci kemajuan,7karena Islam sebagai agama universal mengajarkan kepada umat manusia berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrowi, salah satu ajaran Islam tersebut adalah mewajibkan kepada umat Islam melaksanakan pendidikan.8Sumber-sumber pokok ajaran Islam yang berupa Quran dan Al-Hadist, banyak mendorong pemeluknya untuk menciptakan pola kemajuan hidup yang dapat menyejahterakan pribadi dalam masyarakat, sehingga dengan kesejahteraan yang berhasil diciptakannya, manusia secara individual dan sosial, mampu meningkatkan derajat dan martabatnya, baik bagi kehidupannya di dunia maupun di akhirat nanti. Derajat dan martabatnya sebagai “Khalifah” di muka bumi dapat diraih berkat usaha pendidikan yang bercorak Islami.9Pendidikan menurut pandangan Islam merupakan bagian dari tugas kekahlifahan manusia yang harus dilaksanakan secara bertanggungjawab, kemudian pertanggungjawaban itu baru bisa dituntut kalau ada aturan dan pedoman

4

Ibid, h.3

5

Ibid, h.11

6

Ibid. h.12

7

Ibid, h.4

8

Zuhairini, et.al, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 98 9


(12)

pelaksanaan. Oleh karenanya, Islam tentunya memberikan garis-garis besar tentang pelaksanaan pendidikan tersebut. Islam memberikan konsep-konsep yang mendasar tentang pendidikan, dan menjadi tanggungjawab manusia untuk menjabarkan dengan mengaplikasikan konsep-konsep dasar tersebut dalam praktek pendidikan.10

Nama K.H. Ahmad Dahlan bukanlah nama yang asing dalam dunia pendidikan, ia lebih banyak dikenal orang sebagai pendakwah atau pembaharu sosial budaya di Indonesia. Namun satu hal yang tidak dapat dipungkiri, ia telah memberikan nilai-nilai yang berharga pada pendidikan Islam agar dapat selangkah lebih maju dengan orang-orang Eropah. Pembaruan yang di lakukan K.H. Ahmad Dahlan antara lain adalah dalam pembaharuan pendidikan Islam.

K. H. Ahmad Dahlan merupakan salah satu tokoh pembaharu dalam Islam sekaligus sebagai pendiri persyarikatan Muhammadiyah. K. H. Ahmad Dahlan mulai melakukan ide pembaharuan sekembalinya dari haji pertama yaitu pada tahun 1883, melihat keadaan masyarakat Islam di Indonesia yang mengalami kemerosotan disebabkan oleh keterbelakangan pengetahuan akibat tekanan penjajahan pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda menginginkan rakyat pribumi sebagai buruh kasar dengan upah rendah sehinga tidak lagi memikirkan pendidikan. Adanya perbedaan dalam pendidikan menyebabkan berkembangnya dualisme pendidikan yakni sistem pendidikan kolonial Belanda dan sistem pendidikan Islam tradisional yang berpusatkan di pondok pesantren. Melihat perbedaan pendidikan yang terjadi pada saat itu maka timbulah ide dari K. H. Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan.11

KH.Ahmad Dahlan yang waktu mudanya bernama Muhammad Darwis adalah seorang ulama,sekaligus sebagai cendikiawan. Beliau seorang tokoh yang dikenal memiliki kemauan keras, bersungguh-sungguh, tidak mengenal lelah dalam mengusahakan terwujudnya cita-cita, bersikap terbuka, pemberani, dan supel dalam pergaulan.12 Sebagai cendikiawan yang memiliki wawasan berfikir

10

Zuhairini, et al, op cit, h. 148

11 http/tmsi-smangat.org-kyai-haji-ahmad-dahlan/diakses pada tanggal 22 Oktober 2014

12

M. Musfiqon, Pendidikan Kemuhammadiyahan, (Surabaya: Majelis Dikdasmen PWM Jatim, 2012), h.48


(13)

yang mendalam dan luas, KH. Ahmad Dahlan membangun persyarikatan yang bercirikan sebagai gerakan pembaharuan dengan dua sasaran utama, yaitu gerakan pembaharuan dalam bidang pemikiran dengan titik tumpu pemurnian (purifikasi) pemahaman keagamaan, serta pembaharuan (reformasi) dalam bidang sosial pendidikan.

Cita-cita KH. Ahmad Dahlan sebagai seorang ulama tegas, beliau ingin memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita agama Islam. Keyakinan beliau ialah bahwa untuk membangun masyarakat haruslah terlebih dahulu dibangun semangat bangsa. Kalau sarekat Islam usaha-usahanya ditekankan kepada bidang politik yang berlandaskan cita-cita agama. Muhammadiyah menekankan usahanya pada perbaikan hidup beragama dengan amal-amal pendidikan dan sosial.

Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pelaksanaan pendidikan menurut KH. Ahmad Dahlan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (khaliq) maupunhorizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai „abdAllah dan khalifah fi al-ardh. Dalam proses kejadiannya, manusia diberikan Allah dengan al-ruh dan al-‘aql. Maka dari itu pendidikan hendaknya menjadi media yang dapat mengembangkan potensi al-ruh. Supaya manusia itu tunduk dan patuh kepada Khaliknya.

Pendidikan yang dimaksud oleh K.H. Ahmad Dahlan adalah pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan menggunakan sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini, ia menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisional. 13

13

Maksum, Madrasah Sejarah Dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet.Ke-1, h. 96


(14)

K.H. Ahmad Dahlan berpandangan bahwa untuk melahirkan individu yang berkualitas harus menguasai ilmu umum dan agama, material dan spiritual serta dunia dan akhirat. Baginya kedua hal tersebut (ilmu umum dan agama, material dan spiritual serta dunia dan akhirat) merupakan hal yang tidak dipisahkan satu sama lain. Gagasan ini direalisasikan dengan membentuk lembaga pendidikan yang memadukan pendidikan Barat-Islam (sekolah umum dan pesantren). 14

Upaya mewujudkan visi, misi dan tujuan pendidikan tersebut dilaksanakan lebih lanjut oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, pada tahun 1912 H KH. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Madrasah yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kaum muslimin terhadap pendidikan agama dan pada saat yang sama dapat memberikan mata pelajaran umum.15 Kemudian pada tahun 1912, untuk melaksanakan cita-cita di Nusantara KH. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah organisasi yang bernama Muhammadiyah.16 Salah satu sebab didirikannya Muhammadiyah ialah karena lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia sudah tidak memenuhi lagi kebutuhan tuntutan zaman. tidak saja isi dan metode pengajarannya yang tidak sesuai, bahkan sistem pendidikannya pun harus diadakan perombakan yang mendasar.17 Menurut Sholihin Salam, sebab-sebab yang mendorong K.H Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah itu ada dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor extern. Adapun faktor intern itu diantaranya adalah lemah dan gagalnya sistem pendidikan pondok pesantren Islam yang kurang mencerminkan perkembangan dan kemajuan, zaman dan adanya kehidupan pendidikan yang mengisolir diri. Sedangkan faktor extern itu diantaranya ialah merajalelanya imperialis Belanda di Indonesia yang harus dihadapi. 18

14

Abdul Mut’i,Konsep Pendidikan Kiyayi Haji Ahmad Dahlan, Dalam Buku Karya Abdul Khaliq, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik Dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999),h. 203

15

Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah, (Yogyakarta: Tarawang, 2000), h. 13

16

Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran KH. Ahmad Dahlan Dan Muhammadiyah Dalam perspektif Perubahan Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h. 31

17

M. Yunan Yusuf, Kemuhamadiyahan Kajian Pemgantar (Jakarta: Yayasan Pembaharu, 1988), h. 43

18

Margono Poespo Suwarno, Gerakan Islam Muhammadiyah (Yogyakarta: Penerbit Persatuan Baru, 2005), h. 27-28


(15)

Pada awalnya, K.H Dahlan dengan organisasi Muhammadiyah yang mengadopsi sistem pendidikan Barat (Belanda) dianggap sebagai tokoh kontroversial karena jalan pikirannya yang menentang arus, tidak sejalan dengan sistem pendidikan Islam tradisional. Namun sebenarnya disitulah letak gagasan

“pembaharuan? KH. Dahlan dalam dunia pendidikan Islam Indonesia. Ia

mengambil alih sistem pengajaran Barat dengan ilmu pengetahuan umum sekaligus mengajarkan ilmu-ilmu keislaman.19

Melihat pembaharuan KH. Ahmad Dahlan ini, beliaulah ulama Islam pertama atau salah satu ulama Islam di Indonesia yang melakukan pendidikan dan perbaikan kehidupan umat, tidak dengan pesantren dan tidak dengan kitab kuning, melainkan dengan organisasi. Kini Muhammadiyah yang ia dirikan merupakan ormas di Indonesia yang memiliki amal usaha terbesar di berbagai bidang, baik pendidikan, kesehatan, sosial kebudayaan, perekonomian, dan sebagainya.

Salah satu ciri khas yang di miliki oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah adanya kurikulum tambahan dalam bidang keIslaman. Taman kanak-kanak, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah diberi pelajaran keIslaman dengan muatan yang cukup banyak, misalnya mata pelajaran aqidah

akhlaq, ibadah/mu’amalah, al-Qur;an hadits, Sejarah Kebudayaan Islam dan Kemuhammadiyahan. 20

Dalam melakukan pembaruan K. H. Ahmad Dahlan tidak hanya mendirikan sekolah, tetapi ikut membantu mengajar ilmu keagamaan di sekolah lain seperti di Kweekschool Gubernamen Jetis. K. H. Ahmad Dahlan juga melakukan pembaharuan lain seperti mendirikan masjid, menerbitkan surat kabar yang memuat tentang ilmu-ilmu agama Islam.

Karena jasa-jasanya dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui pembaruan Islam dan pendidikan, KH Ahmad Dahlan dianugrahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional (SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tanggal 27 Desember 1961). Cita-cita KH. Ahmad Dahlan sebagai seorang ulama adalah tegas, ialah hendak memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita

19

Arbiyah Lubis, op.cit., h. 103

20


(16)

agama Islam.21 Dengan organisasi Muhammadiyah yang di dirikannya telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa dengan jiwa ajaran Islam.

Berdasarkan permasalahan di atas penulis memilih judul

PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT KH. AHMAD

DAHLAN”

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang pemikiran tersebut dapat di identifikasi permasalahan sebagai berikut:

a) Alasan yang melatarbelakangi KH. Ahmad Dahlandalam meningkatkan pendidikan Islam

b) Konsep pemikiran pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan dalam pendidikan Islam c) Tantangan dan hambatan apa saja yang dihadapi K.H. Ahmad Dahlan dalam

meningkatkan dan memajukan pendidikan Islam

d) Respon masyarakat terhadap gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam meningkatkan Pendidikan Islam

e) Keberhasilan apa saja yang dicapai K.H. Ahmad Dahlan dalam meningkatkanpendidikan Islam

2. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, sangat diperlukan adanya ruang lingkup pembatasan masalah di dalamnya, sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas dan terarah, serta diharapkan dapat memudahkan pembaca untuk memahaminya. Ranah pemikiran pembaharuan KH. Ahmad Dahlan yang sangat luas maka penulis membatasi penelitian mengenai bagaimana pembaharuan pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan?.

21


(17)

3. Perumusan Masalah

Setelah diuraikan secara umum masalah penelitian ini dalam latar belakang masalah, maka penulis menganggap perlu untuk merumuskannya. Guna untuk mengerucutkan permasalahan yang akan dibahas, perlu adanya suatu perumusan masalah agar memudahkan dalam pembahasan skripsi.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka diperoleh rumusan masalahnya adalah bagaimana “ Pembaharuan Metode Pendidikan Islam menurut KH. Ahmad Dahlan? “

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penulis ini dalam menyusun karya ilmiah ini, bertujuan antara lain sebagai berikut:

a) Untuk mengetahui Pembaharuan Pendidikan Islam menurut KH. Ahmad Dahlan.

b) Hasil apa yang dicapai oleh KH. Ahmad Dahlan dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dalam menyusun karya ilmiah ini di antaranya sebagai berikut:

a) Menambah wacana kajian sejarah pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia

b) Meningkatkan kualitas pendidikan Islam di era globalisasi

c) Sebagai bahan referensi untuk meningkatkan mutu pendidikan Islam sekaligus sumber daya manusia.

E. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Dalam upaya mengungkapkan permasalahan yang ada maka peniliti menggunakan pendekatan secara kualitatif, bogdan dan tayor mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data


(18)

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisandariorang-orang yang perilaku diamati. 22 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang dapat diartikan sebagai prosedur/cara memecahkan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan obyek yang diselidiki (seseorang, masyarakat, lembaga dan lain-lain) sebagaimana adanya berdasarkan fakta-fakta aktual pada saat sekarang. 23

Adapun jenis penelitian yang dilakukan penulis terhadap penilitian ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu permasalahan serta pengumpulan data berasal dari kajian pustaka. Data-data yang dikumpulkan berasal dari tulisan KH. Ahmad Dahlan sebagai data Primer dan sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan pembahasan sebagai data sekunder, baik itu berupa buku, majalah, hasil-hasil penelitian ataupun buletin yang ada kaitannya dengan penulisan skripsi ini.

2. Teknik Pengumpulan Data

Sebagaimana karya ilmiah secara umum, setiap pembahasan suatu karya ilmiah tentunya menggunakan metode untuk menganalisa dan mendeskripsikan suatu masalah. Metode itu sendiri berfungsi sebagai landasan dalam mengelaborasi suatu masalah, sehingga suatu masalah dapat diuraikan dan dijelaskan dengan gamblang dan mudah dipahami.

Teknik pengumpulan data berasal dari data dokumen, yang artinya barang-barang yang tertulis dan mempunyai relevansi dengan tujuan penelitian. Di dalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku, majalah, artikel, makalah, hasil-hasil penelitian ataupun buletin yang ada kaitannya dengan penelitian skripsi ini. Hanya data yang betul-betul terkait dengan topik penelitian yang penulis cantumkan dalam skripsi ini. 24 Atau bisa juga dengan dokumentasi yaitu dengan meneliti bahan dokumentasi yang ada dan

22

Nuraida dan Halid Alkaf, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: Islamic Research Publishing, 2009), Cet.Ke-1, h. 35

23

Hadari Nawawi dan Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajdah Mada University Press, 1992), h. 67

24

Lexi J. Moelang, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997) Cet. Ke-8, h. 10


(19)

mempunyai relevansi dengan tujuan penelitian.25Untuk sumber data sekunder berupa penelitian kepustakaan itu dilakukan terhadap berbagai macam sumber bahan hukum yang dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu (1) Bahan primer yaitu data yang langsung berasal dari sumbernya, dalam hal ini adalah buku-buku yang berkaitan langsung dengan permasalahan di atas. (2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, sepertimajalah, makalah, jurnal, artikel surat kabar, data melalui jaringan internet dan hasil penelitian terkait.

3. Teknik Penulisan

Teknik penulisan skripsi ini didasarkan pada pedoman yang berlaku di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman terhadap isi tulisan ini, maka penulis menyusunnya secara sistematis. Penulisan ini terdiri dari lima bab yang akan akan diuraikan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN, meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodelogi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA, berisi pengertian pendidikan Islam, Pembaharuan Pendidikan Islam, pendidikan dan peserta didik dalam pendidikan Islam, kurikulum pendidikan dan aspek-aspek yang terkandung dalam kurikulum.

25

Anas Sudjiono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 1987), h.30


(20)

BAB III : PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM MENURUT KH. AHMAD DAHLAN, berisi K.H. Ahmad Dahlan dan latar belakang keluarga, K.H. Ahmad Dahlan dan latar belakang pendidikan, pemikiran pendidikan Islam dan model pendidikan Islam.

BAB IV : ANALISA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT KH. AHMAD DAHLAN, berisikonsep pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam, model pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan dan perspektif pemikiran pembaharuan pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan.


(21)

BAB II

KAJIAN TEORI

PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

A. Pengertian Pendidikan Islam

Pendidikan merupakan hal yang penting bagi manusia untuk menghadapi kelangsungan hidupnya hingga masa depan. Pendidikan dituntut untuk dapat mengantarkan manusia pada kehidupan yang sesungguhnya. Pendidikan yang dikenal dewasa ini tidak hanya mencakup secara umum tetapi juga spesifik kepada pendidikan Islam.

Pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh seseorang (pendidik) terhadap seseorang (anak didik) agar tercapai perkembangan maksimal yang positif. Usaha itu banyak macamnya, satu diantaranya ialah dengan cara mengajarnya yaitu mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya. Selain itu ditempuh juga usaha lain yakni memberikan contoh (teladan) agar ditiru, memberikan pujian dan hadiah, mendidik dengan cara membiasakan dan lain-lain yang tidak terbatas jumlahnya.1 Dalam Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 2 Th 1989) dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Selanjutnya Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelect) dan tubuh anak yang antara satu dan lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya2 Adapun pengertian Islam berasal dari bahasa Arab aslama, yuslimu islaman yang berarti berserah diri, patuh dan tunduk. Kata aslama tersebut pada mulanya

1

Dewi Istiana, Pengertian dan Tujuan Pendidikan Islam, (Semarang: Makalah, Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo,2009), h. 2

2

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 290


(22)

berasal dari salima, yang berarti selamat, sentosa dan damai. Dari pengertian demikian secara harfiah Islam dapat diartikan patuh, tunduk, berserah diri (kepada Allah) untuk mencapai keselamatan. 3 Kata Islam dalam pendidikan Islam menunjukan warna pendidikan tertentu, yaitu pendidikan yang berwarna Islam, pendidikan yang Islami, yaitu pendidikan yang berdasarkan Islam.4

Dalam sebuah buku “Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an Integrasi

Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani” karangan M. Suyudi disebutkan

beberapa definisi pendidikan Islam menurut beberapa tokoh, yakni:

1. Muhammad Fadlil Al-Jamali. Pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarnya.

2. Omar Mohammad Al-Toumy. Pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku dalam kehidupan, baik individu atau bermasyarakat serta berinteraksi dengan alam sekitar melalui proses kependidikan berlandaskan Islam.

3. Muhammad Munir Mursyi. Pendidikan Islam adalah pendidikan fitrah manusia, karena Islam adalah agama fitrah, maka segala perintah, larangan dan kepatuhannya dapat mengantarkan mengetahui fitrah ini.5

Secara bahasa pengertian pendidikan menurut Islam ialah keseluruhan pengertian yang terkandung di dalam istilah ta’dib, ta’lim dan tarbiyah. 6 Dari ketiga istilah tersebut term yang populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam ialah term tarbiyah. Sedangkan term ta’dib dan ta’lim jarang sekali digunakan. Padahal kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam. Secara esensial ketiga term ini mempunyai perbedaan secara signifikan baik secara tekstual maupun kontekstual. 7 Untuk itu perlu dikemukakan uraian dan analisa terhadap ketiga term pendidikan Islam tersebut, antara lain:

3

Abuddin Nata, Op.Cit, h. 290

4

Dewi Istiana,Op. Cit h. 3

5

M. Suyudi, Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an Integrasi Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani (Yogyakarta: Mikraj, 2005), h. 55

6

Dewi Istiana, Op. Cit, h. 4 7

Soimun Endarto, Tipologi Pemikiran dan Aplikasi Pendidikan Islam Menurut KH. Ahmad Dahlan (Ponorogo: Skripsi, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo, 2006), h. 17


(23)

a. Ta’dib

Menurut Syed Muhammad al-Naquib al-Attas istilah yang paling tepat untuk menunjukan pendidikan Islam adalah ta’dib. Ta’dib merupakan masdar kata kerja addaba yang berarti pendidikan. Dari kata addaba ini diturunkan juga kata addabun. Menurut al-Attas, addabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual maupun rohaniah seseorang. Berdasarkan pengertian

addaba seperti itu, al-Attas mendefinisikan pendidikan (menurut Islam) sebagai

pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kedalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud tersebut. 8

Menurut Samsul Nizar, ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam peserta didik, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Lebih banyak ia ungkapkan bahwa, penggunaan istilah tarbiyah terlalu luas untuk mengungkap hakikat dan operasionalisasi pendidikan Islam. Sebab kata tarbiyah memiliki arti pengasuhan, pemeliharaan, dan kasih sayang tidak hanya digunakan untuk manusia, tapi juga digunakan untuk melatih dan memelihara binatang atau mahluk Allah lainnya. Timbulnya istilah tarbiyah dalam dunia Islam merupakan

terjemahan dari bahasa Inggris “education”yang dalam batasan pendidikan Barat lebih menekankan pada asfek fisik dan material. Sedangkan pendidikan Islam penekanannya tidak hanya aspek tersebut tapi juga pada aspek psikis dan immateril.9

Sebagai alternatif yang di ajukan al-Attas sebagaimana di kutif oleh Miftahul Ulum dan Basuki untuk istilah pendidikan Islam harus dibangun dari

8

Khoirun Rosyadi, Pendidikan Profetik, h. 140-141

9

Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 30


(24)

berbagai istilah yang secara substansial mengacu pada pemberian pengetahuan, pengalaman, kepribadian dan sebagainya. Pendidikan Islam harus dibangun dari perpaduan istilah ilm atau allama (ilmu, pengajaran), adl (keadilan), amal (tindakan), haqq (nalar), nafs (jiwa), qalb (hati), aql (pikiran), tafsir dan ta’wil (penjelasan dan penerangan) yag secara keseluruhan istilah tersebut terkandung dalam istilah adab.10

b. Ta’lim

Istilah ta’lim telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Menurut Abdul Fatah Jalal ta’lim sebagaimana di kutif Khoirun Rosyadi menurutnya lebih relevan. Argumentasinya di dasarkan dengan merujuk pada Surah al-Baqarah ayat 15 yaitu:























Artinya: “Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami telah mengutus kepada mu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-kitab dan al-hikmah (as-sunnah) serta mengantarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui (QS.

al-Baqarah : I5).11

Berdasarkan ayat di atas proses ta’lim justeru lebih universal dibandingkan proses tarbiyah. Jalal menjelaskan bahwa ta’lim tidak berhenti pada pengetahuan yang lahiriyah, juga tidak hanya sampai pada pengetahuan taklid.

Ta’lim mencakup pula pengetahuan teoritis, mengulang kaji secara lisan dan

menyuruh melaksanakan pengetahuan itu. Ta’lim mencakup pula aspek-aspek pengetahuan lainnya serta keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan serta berpedoman perilaku. Jadi, berdasarkan analisis itu Abdul Fattah Jalal menyimpulkan menurut al-Qur’an tal’lim lebih luas dari pada tarbiyah.

10

Miftahul Ulum dan Basuki, Pengantar Ilmu Pendidikan: Konseptualisasi Pendidikan dalam Islam (Ponorogo: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo, 2006), h. 1-4

11

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: PT. Sari Agung, 2000), h. 32


(25)

c. Tarbiyah

Menurut Abdurrahman an-Nahlawi sebagaimana di kutif Dewi Istiana

kata tarbiyah dari segi bahasa berasal dari tiga kata yaitu pertama kata raba yarbu yang artinya bertambah dan berkembang. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang artinya “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah (Qs al-Rum, 30:39). Kedua rabiya yarba yang dibandingkan dengan

khafiya-yakhfa yang berati tumbuh dan berkembang. Ketiga, rabba-yarubbu yang

dibandingkan dengan madda yamuddu yang berarti memperbaiki, mengurusi kepentingan, mengatur, menjaga dan memperhatikan.12 Menurut Imam al-Baidlawi di dalam tafsirnya arti asal al-rabb adalah tarbiyah yaitu menyampaikan sesuatu sedikit demi sedikit sehingga sempurna.13

Berdasarkan ketiga kata itu Abdurrahman an- Nahlawi menyimpulkan bahwa pendidikan (tarbiyah) terdiri atas empat unsur yaitu pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang dewasa (baligh), kedua mengembangkan seluruh potensi, ketiga mengarahkan seluruh fitrah dan fotensi menuju kesempurnaan, ke empat di laksanakan secara bertahap.14 Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menurut ajaran Islam.

Dengan demikian ke-tiga istilah tersebut di atas memberi kesan yang berbeda. Istilah ta’dib mengesankan proses pembinaan terhadap sikap moral dan etika dalam kehidupan, istilah ta’lim mengesankan proses transformation of

knowledge, sedangkan istilah tarbiyah mengesankan proses pembinaan,

pengarahan bagi pembentukan kepribadian dan sikap mental.

Menurut Zakiah Darajat sebagaimana di kutif oleh Soimun Endarto pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian, pendidikan Islam ini telah banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan sesuai dengan petunjuk ajaran Islam, karena itu pendidikan Islam tidak

12

Abuddin Nata, Op.Cit, h. 289 13

Dewi Istiana,Op.Cit h. 3

14


(26)

hanya bersifat teoritis tetapi juga bersifat praktis atau pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal.15 Azyumardi Azra sebagaimana di kutif Dewi Istiana mengatakan bahwa pendidikan Islam ialah penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah swt. Sedangkan menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly pendidikan Islam ialah sebagai upaya mengembangkan, mendorong, serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia.16

Dari beberapa pengertian pendidikan yang dikemukakan di atas oleh para ahli tersebut maka dapat di ambil beberapa pengertian tentang pendidikan Islam yaitu:

1) Sebagai usaha bimbingan ditujukan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam;

2) Suatu usaha sadar untuk mengarahkan dan mengubah tingkah laku individu untuk mencapai pertumbuhan kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam dalam proses pendidikan melalui latihan-latihan akal pikiran indera dalam seluruh aspek kehidupan manusia.

3) Bimbingan secara sadar dan terus menerus yang sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarnya. (pengaruh dari luar), secara individual maupun kelompok sehingga manusia mampu menghayati, memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh dan benar.

B. Pembaharuan Pendidikan Islam

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pembaruan berasal dari kata „Baru” yang artinya proses, cara, perbuatan membarui dan proses mengembangkan kebudayaan terutama dilapangan teknologi dan ekonomi17. Dalam bahasa Arab, yang memiliki kesepadanan makna dengan kata pembaruan adalah tajdid,

15

Soimun Endarto, Op.Cit h. 5

16

Dewi Istiana, Op. Cit, h. 23

17Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 109


(27)

maknanya antara lain: renewal, innovation, reorganization, reform, dan

modernization. 18 yaitu memperbarui atau memodernkan.

Menurut Harun Nasution pembaruan atau modernisasi dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh perubahan dan keadaan, terutama oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.19 Dilihat dari pendapat tersebut, pembaruan identik dengan dengan modernisasi dan reformasi.

M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa di dalam pembaruan terdapat syarat pokok tertentu. Pembaruan dapat terlaksana akibat pemahaman dan penghayatan nilai-nilai al-Qur’an, serta kemampuan memanpaatkan dan menyesuaikan diri dengan hukum-hukum sejarah (lihat: Q.S. 36:62; 35:43). Dari ayat-ayat al-Qur’an tersebut dipahami bahwa pembaruan baru dapat terlaksana bila dipenuhi dua syarat pokok: (a). adanya nilai atau ide, dan (b). adanya pelaku yang menyesuikan diri dengan nilai-nilai tersebut20

Jika dilihat dari definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pembaruan adalah suatu proses perubahan ke arah perbaikan dalam rangka memperbaiki tatanan atau sistem lama yang dianggap tidak relevan lagi agar dapat disesuaikan dengan perkembangan jaman sekarang ini. Kaitannya dengan pengertian pembaruan pendidikan Islam berarti upaya untuk melakukan perubahan dengan pembaruan dalam pendidikan Islam ke arah yang lebih berkualitas sesuai dengan tuntunan jaman dengan tetap berpedoman pada

al-Qur’an dan Sunnah.

Berbicara tentang pembaruan tidak akan terlepas dari orang yang melakukan pembaruan itu sendiri. Pembaru adalah sebutan bagi orang yang akan melakukan pembaruan. Seorang pembaharu menurut Abdul Hakim Abdat haruslah seorang yang berilmu dan memahami betul ilmu agama secara zahir

18

J. Milten Cowan, A Dictionary of Modern Written Arabic, (New York: t.t. 1971), h. 114

19

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 11

20 M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam


(28)

maupun batin. Selain itu, dia juga harus senantiasa menghidupkan dan mengajak umat kepada al-Qur’an dan sunnah. Dan dalam amaliyahnya bersih dari syirik dan

bid’ah. 21

Sementara itu Dr. Taufik Abdullah menyatakan bahwa kaum pembaharu bukanlah kedudukan yang diangkat dan juga bukan berdasarkan pilihan banyak orang . Pembaru adalah bagaimana seseorang yang mau menghubungkan dirinya dengan cita-cita dan nilai. Karena nya pembaru pemikiran dibimbing oleh suatu misi tertentu. Seseorang kaum modernis dituntut untuk dapat menganalisis permasalahan masyarakat secara jujur dan objektif, apa adanya tanpa dipengaruhi oleh hal-hal lain. Penilaian yang jujur dan objektif itu diharapkan akan lahir analisis-analisis yang bermanfaat bagi masyarakat. 22

Timbulnya pembaruan pemikiran Islam di Indonesia baik dalam bidang agama, sosial dan pendidikan di awali dan dilatarbelakangi oleh pembaruan pemikiran Islam yang timbul dibelahan dunia Islam lainnya, terutama oleh pembaruan pemikiran Islam yang timbul di Mesir, Turki dan India. Latar belakang pembaruan yag timbul di Mesir dimulai sejak kedatangan Napoleon ke Mesir.

Mesir yang mempunyai Kairo sebagai ibukota dengan Universitas Al-Azhar yang didirikan pada 358 H (969 M), merupakan pusat peradaban Islam dan kekuatan politik yang besar pengaruhnya di dunia Islam pada masa lampau. Turki sendiri merupakan salah satu dari tiga negara besar di dunia Islam abad ke enam belas dan abad kedelapan belas, ketika Eropah, Inggris dan Perancis belum muncul sebagai negara yang berpengaruh dalam politik internasional. Bahkan kerajaan Utsmani menguasai daratan Eropah dan Istanbul sampai ke pintu gerbang kota Wina. Adapun India dengan berdirinya kerajaan Mughal merupakan negara kedua dari tiga negara besar tersebut di atas. Delhi merupakan pusat kekuasaan dan kebudayaan Islam di dunia Islam bagian Timur.23

21

Abdul Hakim Abdat, al-Masail; Masalah-Masalah Agama (Jakarta: Darul Qalam, 2001), h.171

22

Taufik Abdullah, Misi Intelektual, dalam Panji Masyarakat, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, I981), h. 13

23

Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran , (Bandung: Mizan. 1996), h. 151


(29)

Steenbrink sebagaimana dikutip oleh Haidar Putra Daulay menyebutkan ada beberapa faktor pendorong bagi pembaruan pendidikan Islam di Indonesia pada permulaan abad kedua puluh, yaitu:

1 Sejak tahun 1900 telah banyak pemikiran untuk kembali ke al-Qur’an dan Sunah yang dijadikan titik tolak untuk menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yag ada. Tema sentralnya adalah menolak taklid. dengan kembali ke Al-Qur’an dan sunah mengakibatkan perubahan dalam bermacam-macam kebiasaan agama

2 Dorongan kedua, adalah sifat perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda

3 Dorongan ketiga, adalah upaya adanya usaha-usaha dari umat Islam untuk memperkuat organisasinya di bidang sosial ekonomi

4 Dorongan keempat, berasal dari pembaruan pendidikan Islam. Dalam bidang ini cukup banyak orang dan organisasi Islam, tidak puas dengan

metode tradisional dalam mempelajari Qur’an dan studi agama.24

Gagasan tentang pembaruan pendidikan Islam mempunyai akar historis dalam gagasan tentang pembaruan pendidikan Islam dan institusi Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain, pembaruan pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dengan kebangkitan gagasan dan program pembaruan Islam. Kerangka dasar yang berada dibalik pembaruan Islam secara kesluruhan adalah bahwa pembaruan pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan prasyarat bagi kebangkitan umat Islam di masa modern. Oleh karena itu pemikiran dan kelembagaan Islam termasuk pendidikan haruslah diperbarui. Mempertahankan pemikiran dan

kelembagaan Islam “tradisional” hanya akan memperpanjang nestapa ketidak berdayaan umat Muslim dalam berhadapan dengan kemajuan dan modern. 25 Gagasan pembaruan yang menemukan momentumnya sejak awal abad ke-20 telah mengalami beberapa perubahan baik dalam bentuk kebangkitan agama, perubahan, maupun pencerahan dengan munculnya beberapa tokoh-tokoh

24

H. Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 44

25

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 31


(30)

pembaru pemikiran Islam di Indonesia. Para pembaru itu banyak bergerak dibidang organisasi sosial, pendidikan dan politik. Diantaranya Syekh Muhammad Jamil Jambek, Haji Karim Amirullah dan Zainudin Labai Yunusi, yang kesemuanya dari Minangkabau.

Bila diklasifikasikan bentuk dan jenis lembaga pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda pada awal dan pertengahan abad ke-20, adalah:

1. Lembaga pendidikan pesantren yang masih berpegang secara utuh kepada budaya dan tradisi pesantren, yakni mengajarkan kitab-kitab klasik semata-mata

2. Lembaga pendidikan sekolah-sekolah Islam, di lembaga ini di samping mengajarkan ilmu-ilmu umum sebagai materi pokoknya, juga mengajarkan ilmu-ilmu agama.

3. Lembaga pendidikan madrasah, lembaga ini adalah mencoba mengadopsi sistem pesantren dan sekolah, dengan menampilkan sistem baru. Ada unsur-unsur yang diambil dari pesantren dan ada pula unsur-unsur-unsur-unsur yang diambil dari sekolah. 26

Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia ini dimulai dengan munculmya sekolah Adabiyah. Sekolah ini adalah setara dengan sekolah HIS, yang di

dalamnya agama dan Qur’an di ajarkan secara wajib. Dalam tahun 1915, sekolah

ini menerima subsidi dari pemerintah dan mengganti namanya menjadi

Hollandsch Maleische School Adabiyah27 Menurut Mahmud Yunus sekolah

Adabiyah ini adalah sekolah (agama) yang pertama memakai sistem klasikal, berbeda dengan pendidikan di surau-surau yang tidak berkelas-kelas, tidak memakai bangku, meja, papan tulis, hanya duduk bersila saja.28

C. Pola-pola Pembaruan Pendidikan Islam

Dengan memperhatikan berbagai macam sebab kelemahan dan kemunduran umat Islam sebagaimana nampak pada masa sebelumnya dan dengan

26

H. Haidar Putra Daulay,Op.Cit, h. 36

27

Ibid, h. 44

28

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidayakarya Agung, 1979), h. 63


(31)

memperhatikan sebab-sebab kemajuan dan kekuatan yang di alami oleh bangsa-bangsa Eropa maka pada garis besarnya terjadi tiga pola pemikiran pembaharuan pendidikan Islam. Di antaranya:

1. Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern

Golongan yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Barat, pada dasarnya mereka berpandangan bahwa sumber kekuatan dan kesejahteraan hidup yang di alami oleh orang Barat adalah sebagai hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang mereka capai. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dicapai oleh bangsa-bangsa Barat sekarang tidak lain adalah merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang pernah berkembang di dunia Islam. Atas dasar demikian maka untuk mengembalikan kekuatan dan dan kejayaan umat Islam, sumber kekuatan dan kesejahteraan tersebut harus dikuasai kembali.

Dalam hal ini usaha pembaharuan pendidikan Islam adalah dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah dengan pola sekolah Barat, baik sistem maupun isi pendidikannya. Disamping itu pengiriman pelajar-pelajar ke dunia Barat terutama ke Perancis untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern tersebut banyak dilakukan oleh penguasa-penguasa diberbagai negeri Islam.

Pembaharuan pendidikan Islam dengan pola Barat ini mulanya timbul di Turki Usmani pada akhir abad ke 11 H/17 M setelah mengalami kalah perang dengan berbagai Negara Eropa Timur pada masa itu, yang merupakan benih bagi timbulnya usaha sekularisasi Turki yang berkembang kemudian dan membentuk Turki modern Sultan Mahmud II (yang memerintah Turki Usmani 1807-1839 M) adalah pelopor pembaharuan pendidikan di Turki.

Sultan Mahmud II sadar bahwa pendidikan madrasah tradisional ini tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman abad kesembilan belas. Sultan Mahmud II mengeluarkan perintah supaya anak sampai umur dewasa jangan dihalangi masuk madrasah. Selain itu Sultan Mahmud II juga mengirimkan siswa-siswa ke Eropah untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan teknologi lansung dari sumber pengembangan. Setelah mereka pulang ke tanah air mereka banyak berpengaruh


(32)

terhadap usaha-usaha penbaharuan pendidikan. Dari mereka ini pula berkembangnya paham sekularisme di Turki kemudian diterapkan secara mantap sekarang ini.

Pola pembaharuan pendidikan yang berorientasi ke Barat ini, juga nampak dalam usaha Muhammad Ali Pasya di Mesir, yang berkuasa pada tahun 1805-1848. Muhammad Ali Pasya dalam rangka memperkuat kedudukannya dan sekaligus melaksanakan pembaharuan pendidikan di Mesir, mengadakan pembaharuan dengan jalan mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran Barat. 29

2. Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada sumber Islam yang murni.

Pola ini berpandangan bahwa sesungguhnya Islam sendiri merupakan sumber bagi kemajuan dan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan modern. Islam sendiri sudah penuh dengan ajaran-ajaran dan pada hakekatnya mengandung potensi untuk membawa kemajuan dan kesejahteraan serta kekuatan bagi umat manusia. Dalam hal ini Islam telah membuktikannya pada masa-masa kejayaannya. 30

Menurut analisa mereka diantara sebab-sebab kelemahan umat Islam adalah karena mereka tidak lagi melaksanakan ajaran agama Islam secara semestinya. Ajaran-ajaran Islam yang menjadi sumber kemajuan dan kekuatan ditinggalkan dan menerima ajaran ajaran-ajaran Islam yang tidak murni lagi. Hal tersebut mandegnya filsafat Islam, diinggalkannya pola pemikiran nasional dan kehidupan umat Islam telah diwarnai oleh pola kehidupan yang bersifat pasif. Disamping itu, dengan mandeknya perkembangan fiqih yang ditandai penutupan pintu ijtihad, umat Islam telah kekurangan daya untuk mengatasi problematika hidup yang menantangnya sebagai akibat dari perubahan dan perkembangan zaman.

29

Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: 1986), h. 116-120

30

Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 246-247


(33)

Pola pembaharuan ini di rintis oleh Muhammad bin Abd Al-Wahab, kemudian dicanangkan kembali oleh Jamaludin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Menurut Jamaludin al-Afghani, pemurnian ajaran agama Islam dengan kembali ke Al-Qur’an dan Al-Hadist dalam arti yang sebenarnya tidaklah mungkin. Ia berkeyakinan bahwa Islam adalah sesuai dengan semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan.

Menurut Muhammad Abduh, bahwa pengetahuan modern dan Islam adalah sejalan dan sesuai, karena dasar ilmu pengetahuan modern adalah sunnatulah sedangkan dasar Islam adalah wahyu Allah swt. Kedua-duanya berasal dari Allah swt. Oleh karena itu umat Islam harus menguasai keduanya. 31

3. Usaha pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada nasionalisme Rasa nasionalisme timbul bersamaan dengan berkembangnya pola kehidupan modern dan di mulai dari Barat. Bangsa-bangsa Barat mengalamai kemajuan rasa nasionalisme yang kemudian menimbulkan kekuatan-kekuatan politik yang berdiri sendiri. Keadaan tersebut mendorong pada umumnya bangsa-bangsa Timur dan bangsa-bangsa terjajah lainnya untuk mengembangkan nasionalisme masing-masing. Umat Islam mendapati kenyataan bahwa mereka terdiri dari berbagai bangsa yang berbeda latar belakang dan sejarah perkembangan kebudayaannya. Mereka pun hidup bersama dengan orang-orang yang beragama lain tapi sebangsa. Inilah yang juga mendorong perkembangannya rasa nasionalisme di dunia Islam.

Disamping itu, adanya keyakinan dikalangan pemikir-pemikir pembaharuan di kalangan umat Islam, bahwa pada hakekatnya ajaran Islam bisa diterapkan dan sesuai dengan segala jaman dan tempat. Oleh karena itu, ide pembaharuan yang berorientasi pada nasionalisme inipun bersesuaian dengan ajaran Islam.

Ide kebangsaan atau nasionalisme inilah yang pada tahap perkembangan berikutnya mendorong timbulnya usaha-usaha merebut kemerdekaan dan

31

Widda Djuhan, Sejarah Pendidikan Islam Klasik, (Ponorogo: LPPI STAIN, 2010), h. 69-70


(34)

mendirikan pemerintahan sendiri di kalangan bangsa-bangsa pemeluk Islam. Dalam bidang pendidikan umat Islam yang telah membentuk pemerintahan nasional tersebut mengembangkan sistem dan pola pendidikan nasionalnya sendiri-sendiri.32

D. Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam 1 Pendidik Menurut Pendidikan Islam

Salah satu unsur penting dari proses kependidikan adalah pendidik. Di pundak pendidik terletak tanggung jawab yang amat besar dalam upaya mengantarkan peserta didik kearah tujuan pendidikan yang dicita-citakan. 33 Dalam pendidikan Islam, pendidik memiliki arti dan peranan sangat penting, hal ini disebabkan ia memiliki tanggung jawab dan menentukan arah pendidikan.34

Secara umum, pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik. Sementara secara khusus, pendidik dalam persepektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat dipahami bahwa pendidik dalam perspektif pendidikan Islam merupakan orang yang bertanggungjawab terhadap upaya perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya (baik sebagai khalifah fi al-ardh maupun abd). Sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Islam telah mengajarkan bahwa tanggung jawab pendidik yang pertama dan utama terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik ialah orang tua. Firman Allah:

32

Zuhairini dkk, Op. Cit, h. 122-123

33

Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Parktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 41

34


(35)

Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan anggota

keluargamu dari api neraka. 35

Dirimu yang disebut dalam ayat itu adalah diri orang tua anak tersebut,

yaitu ayah dan ibu; “anggota keluarga” dalam ayat ini ialah terutama anak -anaknya36.

2. Peserta Didik Menurut Pendidikan Islam

Di antara komponen terpenting dalam Pendidikan Islam adalah peserta didik. dalam perspektif pendidikan Islam, peserta didik merupakan subjek dan objek. Oleh karenanya, aktifitas kependidikan tidak akan terlaksana tanpa keterlibatan peserta didik di dalamnya. Pengertian yang utuh tentang konsep peserta didik merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dan dipahami oleh semua pihak, terutama pendidik yang terlibat langsung dalam proses pendidikan.

Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini, peserta didik merupakan mahluk Allah yang memiliki fithrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, kehendak, perasaan dan pikiran yang dinamis serta perlu dikembangkan. 37

E. Kurikulum Pendidikan Islam

Secara etimologis kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari atau curere yang berarti jarak yag harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olah raga yang berarti “a lite reca

course” (suatu jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan olah raga).

Berdasar pengertian ini, dalam konteksnya dengan dunia pendidikan, memberinya

35

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2004), h. 1148

36

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perpektif Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, I992), h. 74

37


(36)

pengertian sebagai “circle of instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat di dalamnya.

Dalam kosa kata Arab, istilah kurikulum dikenal denga kata manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui manusia pada berbagai bidang kehidupannya. Apabila pengertian ini kaitkan dengan pendidikan, maka manhaj atau kurikulum berarti jalan terang yang dilalui pendidik untuk menghantarkan, mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai tujuan tertentu. 38

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa kurikulum yaitu landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang dinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap mental.

F. Aspek-aspek Yang Terkandung Dalam Kurikulum 1) Tujuan pendidikan yang akan dicapai oleh kurikulum itu

2) Pengetahuan, ilmu-ilmu, data, aktifis, pengalaman yang menjadi sumber terbentuknya kurikulum itu.

3) Metode dan cara mengajar dan bimbingan yang dikuti oleh murid-murid untuk mendorong mereka kearah yang dikehendaki oleh tujuan yang dirancang.

4) Metode dan cara penilaian yang digunakan dalam mengukur hasil proses pendidikan yang dirancang dalam kurikulum39

Pendapat para ahli tentang Bahan Kurikulum A. Imam al-Ghazali

1). Ilmu-ilmu yang fardhu ain meliputi ilmu-ilmu agama yakni ilmu-ilmu yang bersumber dari al-Qur’an.

2). Ilmu-ilmu yang fardhu kifayah, terdiri dari ilmu-ilmu yang dapat dimanfaatkan dalam urusan keduniawian seperti ilmu hitung, kedokteran, pertanian dan lain-lain.

38

Ibid, h. 56

39


(37)

B. Ibn Sina

1). Ilmu nadari atau ilmu teoritis, yang meliputi ilmu alam, ilmu matematika dan sebagainya.

2). Ilmu-ilmu amali (praktis) yang terdiri dari beberapa ilmu pengetahuan yang prinsip-prinsipnya berdasarkan atas sasaran-sasaran analisisnya. C. Ibn Khaldun

1). Ilmu lisan yang meliputi lughah, nahwu, saraf, balaghah, dan lain sebagainya.

2). Ilmu naqli yaitu ilmu-ilmu yag dinukil dari kitab suci al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

3). Ilmu aqli ialah ilmu yang dapat menunjukan manusia melalui daya kemampuan berpikirnya kepada filsafat dan semua jenis ilmu mantiq, ilmu alam, ilmu teknik dan lain-lain. 40

Dari uraian di atas tentang bahan kurikulum yang dikemukakan para ahli dapat penulis tarik satu kesimpulan bahwa dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam tidak ada pemisahan antara ilmu yang bernuansa keagamaan dan umum (keduniawian). Dengan hal ini diharapkan pendidikan Islam yang bertujuan untuk mengaktualisasikan secara penuh dan seimbang antara aspek jasmani dan rohani bisa dicapai dan mampu menjadi khalifah fil ardhi.

40


(38)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

BIOGRAFI DAN PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM

MENURUT K.H. AHMAD DAHLAN

A. Riwayat Hidup Singkat KH. Ahmad Dahlan

KH. Ahmad Dahlan yang pada waktu kecilnya bernama Muhammad Darwis. Beliau dilahirkan di Kauman Yogyakarta dari pernikahan Kyai Haji Abu Bakar dengan Siti Aminah yang lahir pada tahun 1285 H (1868 M) dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1923. Ayah nya yang bernama Kyai Haji Abu Bakar adalah Khatib di Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H.Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.1 Dalam silsilah, Darwis termasuk keturunan ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali terkemuka di antara Wali Songo yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa. Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan) bin K.H. Abu Bakar bin K.H. Muhammad Sulaiman bin Kiai Murtadla bin Kiai Ilsyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad

Fadlulah (Prapen) bin Maulana „Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana

Malik Ibrahim.2

Silsilah diatas ditegaskan kembali oleh Hery Sucipto dalam bukunya, yakni K.H. Ahmad Dahlan termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim. Jika diruntut silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim,

Maulana Ishaq, Maulana „Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan

Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribing (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadlo, K.H.

1

H. Syamsu Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 100

2

Adi Nugroho, K.H. Ahmad Dahlan : Biografi Singkat 1868-1923 (Jogjakarta: Garasi House of Book, 2001), h. 19-20


(39)

Muhammad Sulaiman, K.H. Abu Bakar, dan Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan).3

Ketika Muhammad Darwis berumur 18 tahun, orang tuanya bermaksud menikahkannya dengan putri dari K.H. Muhammad Fadlil yang bernama Siti Walidah. Setelah orang tua dari kedua belah pihak berunding, maka pernikahan dilangsungkan pada bulan Dzulhijjah tahun 1889 dalam suasana yang tenang. Siti Walidah inilah yang kelak dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, sosok pendiri Aisyiyah dan pahlawan nasional.4 Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu, Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.5 Setelah menikahi Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan pernah menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik K.H. Munawwir dari Krapyak. K.H. Ahmad Dahlan juga mempunyai putra dari pernikahannya dengan Nyai Aisyah (Adik Adjengan Penghulu) dari Cianjur. Anak laki-laki itu bernama Dandanah. K.H. Ahmad Dahlan bahkan pernah menikah dengan Nyai Yasin dari Pakualaman.6

B. Riwayat Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan

Muhmmad Darwis mengawali pendidikan di pangkuan ayahnya di rumah sendiri. Darwis mempunyai sifat yang baik, berbudi pekerti halus, dan berhati lunak,tetapi juga berwatak cerdas. Sejak usia balita, kedua orang tua Darwis sudah memberikan pendidikan agama. Sejak kecil Muhammad Darwis diasuh dalam lingkungan pesantren, yang membekalinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Disamping itu, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Pada usia 15 tahun (1883), ia sudah menunaikan ibadah haji, yang kemudian dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Ia

3

Hery Sucipto, K.H. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, (Jakarta: Best Media Utama, 2000), h. 50

4

Adi Nugroho, Op.Cit, h. 20-21

5

www. google.com, di akses tanggal 26 Maret 2014, Pukul 14.35 WIB

6


(40)

pun semakin intens berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibnTaimiyah. Interaksi dengan tokoh-tokoh Islam pembaharu itu sangat berpengaruh pada semangat, jiwa dan pemikiran Darwis. Semangat, jiwa dan pemikiran itulah kemudian diwujudkannya dengan menampilkan corak keagamaan yang sama melalui Muhammadiyah. Bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Maka, ia memandang, pemahaman keagamaan yang statis itu harus diubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.7 Bisa dikatakan, bahwa sudah sejak kanak-kanak beliau diberikan pelajaran dan pendidikan agama oleh orang tuanya, oleh para guru (ulama) yang ada dalam masyarakat lingkungannya. Ini menunjukan bahwa rasa keagamaan K.H. Ahmad Dahlan tidak berdasarkan naluri, melainkan juga melalui ilmu-ilmu yang diajarkan kepadanya. Ketika berusia delapan tahun, Darwis sudah bisa membaca Al-Quran dengan lancar sampai khatam. Darwis juga bisa mempengaruhi teman sepermainannya dan menang dalam jenis-jenis permainan bersama teman-temannya. Sejak kecil, Darwis hidup dalam lingkungan yang tenteram dan masyarakat yang sejahtera. Dia selalu hidup berdampingan dengan kedua orang tua, kerabat, dan alim ulama yang menyejukan. Tidak heran jika Darwis mempunyai budi pekerti yang baik dan akhlak yang suci.8 Model pembelajaran

homeschooling sesungguhnya bukan hal baru dalam dunia pendidikan, karena

banyak orang besar di negeri ini justru mendapatkan ilmu bukan dari proses pendidikan formal di bangku sekolah. Demikian pula yang terjadi pada K.H. Ahmad Dahlan. Dalam didikan ayahnya dan ditambah lingkungan yang mendukung, kepiawaian dan potensi dasar yang dimiliki oleh K.H. Ahmad Dahlan muncul dengan sendirinya sehingga terbentuklah pribadi muslim

7

www. google.com, di akses tanggal 27 Maret 2014, Pukul 10.00 WIB

8


(41)

Indonesia yang memiliki wawasan keilmuan yang luas dan memiliki kedalaman spirirual dan keagungan akhlak yang menjadikan beliau disegani oleh teman-teman sebayanya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya ia K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqh), K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri

(qira’at Al-Qur’an), serta beberapa guru lainnya.9 Dengan data ini, tak heran jika dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuat Dahlan selalui merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya. Setelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun 1890 Dahlan berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studinya dan bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas dengan hasil kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903, ia. berangkat lagi ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Ketika mukim yang kedua kali ini, ia banyak bertemu dan melakukan muzakkarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah. Di antara ulama tersebut adalah; Syekh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah, dan Kiyai Faqih Kembang. Pada saat itu pula, Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamal-al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya. Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasan Dahlan tentang Universalitas Islam. Ide-ide tentang reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian khusus Dahlan saat itu. Sekembalinya dari Mekkah, ia mengganti namanya menjadi Haji Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama seorang mufti yang terkenal dari Mazhab Syafi’i di Mekkah, yaitu Ahmad bin Zaini Dahlan. Ia membantu ayahnya mengajar pengajian anak-anak. Keadaan ini

9


(42)

telah menyababkan pengaruh Ahmad Dahlan semakin luas di masyarakat

sehingga ia diberi gelar “Kiai.” Sebagai seorang kiai, ia dikategorikan sebagai

ngulomo (ulama) atau intelektual.10 Dan karena keuletan serta kesungguhan dalam belajar agama, sosok K.H. Ahmad Dahlan pada waktu itu dikenal sebagai seorang ulama oleh kiai-kiai lain. Hal ini disebabkan karena seorang Ahmad Dahlan tidak pernah merasa puas dengan hanya belajar dari satu guru. Berbagai guru dari beragam disiplin ilmu sudah dia temui, sebagaimana yang sudah disebutkan di atas.

Penjelasan di atas menerangkan bahwa, pada seumuran beliau waktu itu, K.H. Ahmad Dahlan terkenal memiliki pemikiran yang cerdas dan bebas. Memiliki akal budi yang baik. Pendidikan agama yang diterimanya dipilih secara selektif. Tidak hanya itu, tetapi sesudah dipikirkan dibawa dalam perenungan-perenungan, ingin dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Disinilah yang menentukan K.H. Ahmad Dahlan sebagai subyek yang nantinya mendorong berdirinya Muhammadiyah. Jiwa agamanya bukan hanya berdasar semangat tetapi juga berdasar ilmu dan pendidikan. Agama diterima dengan pemikiran yang sungguh-sungguh dengan hati yang sebenar-benarnya. Sehingga lahir dan batin diri K.H. Ahmad Dahlan itu betul-betul merupakan penghayatan agama.

C. Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan

Secara umum, pendidikan Islam pada masa penjajahan dapat dipetakan dalam dua periode besar; masa penjajahan Belanda dan pada masa penjajahan Jepang. Sebagaimana diketahui pada abad 17 hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC. Dan pada masa ini kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Pendidikan diadakan hanya untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja muda terlatih dari kalangan penduduk pribumi. Pada masa pemerintahan Daendels, pihak penjajah beranggapan bahwa sekolah-sekolah pemerintah tidak banyak memberikan manfaat bagi kepentingan penjajah. Bahkan

10


(43)

menurutnya Mohammedaans gods dienst onderwys tidak perlu diadakan, karena hanya merupakan alat meninggikan akhlak rakyat saja dan dianggap sumber semangat perjuangan rakyat. Untuk itu, diadakanlah peraturan umum yang mengatur tentang persekolahan (Stbl. 1818 No.4) yang diantaranya berisi mengenai larangan memberikan pelajaran dalam kelas tanpa izin dari Gubernur Jenderal.11 Akan tetapi, dalam praktek kesehariannya lembaga pendidikan ini pada dasarnya memperoleh dukungan dan bantuan dari pemerintah penjajah. Sehingga dalam proses pembelajarannya berjalan dengan maksimal dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh para penjajah. Dimana mereka menyiapkan amunisi muda berbakat sebagai pegawai dan budak penjajah. Sementara lembaga pendidikan Islam, yakni pesantren dianaktirikan oleh mereka dan tidak mendapatkan perhatian sama sekali dari penjajah, karena dipandang sebagai tempat untuk memupuk semangat juang untuk memperoleh kemerdekaan. Oleh karena hal itu, kegiatan di lembaga pendidikan Islam dirasa menjadi ancaman bagi para penjajah pada saat berkuasa di Indonesia. Walaupun demikian, lembaga pendidikan Islam tetap bertahan bahkan semakin menunjukan eksistensinya. Terbukti pada awal abad 17, di pulau Jawa terdapat pesantren Sunan Malik Ibrahim di Gresik, selanjutnya Sunan Bonang di Tuban, Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri di Sidomukti dan sebagainya. Kemudian pada pertengahan abad 17, juga dapat diketahui dan dikenal tokoh-tokoh dari Sumatera Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani (1693), Nuruddin Arraniri (1658), Abdurrauf Singkil (1693) dan S. Burhanuddin (1693) di Sumatera Tengah. Tidak hanya itu, pondok pesantren juga saat itu mulai menyebar di daerah Madura, Lombok, Sulawesi, Ternate dan lainnya.12

Uraian di atas menggambarkan bahwa meskipun pada waktu penjajah mendominasi Indonesia, akan tetapi berkat kegigihan dan semangat untuk tetap mempertahankan nilai-nilai Islam di bumi pertiwi, maka mereka tetap mendirikan lembaga-lembaga pendidikan seperti pesantren, yang meskipun pada prakteknya

11

Hery Sucipto, K.H. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, (Jakarta: Best Media Utama, 2010), h. 104-105

12


(44)

pesantren tersebut tidak mendapatkan respon dan bahkan di anaktirikan oleh pemerintah penjajah dengan alibi akan mempersempit ruang gerak mereka dalam menguasai bangsa Indonesia. Meskipun demikian pondok pesantren tersebut kian lama kian meningkat di beberapa daerah yang sudah disebutkan diatas. Secara umum sistem dan prinsip pendidikan yang digunakan dalam lembaga pendidikan pada masa VOC terdiri dari:

1. Pendidikan Dasar 2. Sekolah Latin

3. Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari) 4. Academieder Marine (Akademi Pelayanan) 5. Sekolah Cina

6. Pendidikan Islam

Adapun prinsip yang digunakan oleh pemerintah Belanda yang diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain adalah sebagai berikut: 1. Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu.

2. Memerhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial.

3. Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.

4. Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial.13

Sangat terlihat jelas bahwa pendidikan yang digawangi oleh pemerintahan Belanda lebih bercorak politis. Dimana output yang dikehendaki adalah sebagai pekerja yang siap mengabdikan dirinya pada pemerintah Belanda yang pada akhirnya tidak memberikan peluang kepada masyarakat Indonesia untuk menikmati pendidikan pada masa itu. Disamping itu, pendidikan yang di tanamkan oleh pemerintah Belanda bersifat elitis, dimana masyarakat yang tingkat perekonomiannya pada taraf menengah kebawah tidak diperbolehkan masuk

13


(45)

dalam lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Selanjutnya adalah pendidikan pada masa penjajahan Jepang. Jika melihat realitas yang terjadi pada masa penjajahan Belanda, maka itu sangat berbeda pada masa penjajahan Jepang. Menurut sejarahnya, Jepang pada masa itu sedang dihadapkan pada usaha untuk memenangkan perangnya, sehingga memaksakan dirinya untuk mendekati umat Islam. bahwa dapat dikatakan kedudukan Jepang di Indonesia sangat bergantung pada bantuan umat Islam dalam menghadapi luasnya daerah yang telah diduduki oleh sekutu dan antara umat Islam dan Jepang mempunyai kepentingan yang sama yaitu menghadapi penjajahan Barat. Pendidikan Islam pada masa penjajahan Jepang dimulai pada tahun 1942-1945 yang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait bidang pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan dalam upaya menggantikan bahasa Belanda.

2. Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.

Kebijakan di atas merupakan kebijakan yang menguntungkan bangsa Indonesia. Karena tidak disadari bahwa pada waktu itu keberadaan bangsa Indonesia sudah diakui oleh Jepang dengan terbukti seluruh lembaga pendidikan yang dalam naungan pemerintahan Jepang harus menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidik. Kemudian tidak ada diskriminasi pendidikan, dimana seluruh masyarakat (baik yang miskin maupun yang kaya) Indonesia di perbolehkan mengikuti atau mengenyam pendidikan. Akan tetapi, penjajah tetaplah penjajah. Tanpa disadari oleh bangsa Indonesia, bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Jepang pada waktu itu adalah sebuah bentuk desain politik. Dimana pada masa itu, Jepang dalam usaha memenangkan peperangan dengan penjajah Barat. Oleh karena itu, mereka memanfaatkan masyarakat dengan memberikan kebijakan yang berpihak pada mereka, agar masyarakat Indonesia memberikan simpatinya dan bahkan rela bekerja sama dalam rangka


(46)

melawan penjajah Barat. Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:

1. Mengubah kantor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam

sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari.

2. Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pemerintah Jepang.

3. Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.

4. Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta.

5. Mengizinkan kepada ulama dan nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan.

6. Mengizinkan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan kemudian diganti dengan Majlis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas Islam Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.14

Terlepas dari tujuan semula (bekerja sama untuk mengalahkan penjajahan Barat), pemerintah Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas pemuda Islam pada waktu itu, sehingga dapat dilihat perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapai kemerdekaan. Namun apapun yang melatarbelakanginya, sesungguhnya kaum penjajah itu sama saja, baik itu pada masa penjajah Portugis, Inggris, Belanda, atau Jepang, pada intinya mereka tidak senang pendidikan Islam berkembang pada masa pemerintahan mereka. Hal ini terbukti, pada akhir abad ke 19, pernah beberapa kali mengusulkan pondok pesantren dapat dijadikan sebagai model pendidikan untuk seluruh penduduk Bumi Putera, akan tetapi usulan tersebut ditolak oleh pemerintahan Belanda. Padahal, selama ini pondok pesantren secara finansial mampu ditopang secara mandiri kaum muslimin dan tidak pernah

14


(1)

70

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. K.H. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa pendidikan Islam merupakan sarana dan upaya yang strategis dalam rangka menyelamatkan umat Islam dari kungkungan pemikiran statis menuju kemerdekaan berfikir yang dinamis. Kemudian Dasar dan landasan Pendidikan Islam harus kembali pada sumber primer umat Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadist.

2. Pembaharuan Pendidikan Islam menurut KH. Ahmad Dahlan yaitu: a. Merubah cara mengajar dan belajar dari sistem sorongan ke sistem

klasikal

b. Bahan pelajaran yang diberikan tidak hanya pelajaran agama tapi juga pelajaran umum

c. Memperkenalkan rencana pelajaran yang teratur

d. Pendidikan diluar waktu belajar diselenggarakan di dalam asrama yang terpimpin secara teratur

3. Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dalam memajukan pendidikan Islam di Indonesia yaitu dengan mencita-citakan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

B. Saran

Sejak pergerakan Muhammadiyah berdiri pada tahun 1912 telah menunjukan perkembangan yang terus meningkat dengan jangkauan usaha dan kegiatan yang meluas dalam bidang sosial, pendidikan dan keagamaan.Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan padu kiranya bagi para peneliti yang lain patut pula mengangkat topik-topik lain sebagai tema dalam penulisan skripsi di jurusan Pendidikan Agama Islam


(2)

71

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, H.M. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. IV, 1996.

F.N, Ridjaluddin. Muhammadiyah Dalam Tinjauan Filsafat Islam. Jakarta: Pusat Kajian Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka, Cet. I, 2011.

Jalaluddin. Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. I, 1994.

Kholiq, Abdul, dkk. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan

Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1999.

Lubis, Arbiyah. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh. Jakarta: Bulan Bintang, Cet. I, 1993.

Maksum. Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. I, 1999.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. XXIX, 2011.

Mulkhan, Abdul Munir. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah

dalam Perspektif Perubahan Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. I, 1990.

Musfiqon. Pendidikan Kemuhammadiyahan. Surabaya: Majelis Dikdasmen PWM Jatim, Cet. V, 2012.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1984-1985.

Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. IV, 2001.

Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.

Prodjokusumo, Sudarsono. Pemasyarakatan Tradisi, Budaya, Dan Politik

Muhammadiyah. Jakarta: Perkasa Press, Cet. I, 1995.

Rosyadi, Khoiron. Pendidikan Profetik. Yogyakarta: Putsaka Pelajar, Cet. I, 2004. Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, Cet. XIX, 1994.

Sudijono, Anas. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers, Cet. XXIII, 2011.


(3)

72

Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam II. Bandung: CV Pustaka Setia, Cet. II, 1999.

Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. VII, 2004. ---. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.


(4)

(5)

(6)