BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum - SUFI NUR ABIDAH BAB II
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum Perlindungan hukum dalam bahasa Inggris disebut legal protection,
sedangkan dalam bahasa Belanda disebut Rechtsbechermin. Harjono (2008: 357) memberikan pengertian perlindungan hukum sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum, ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan menjadikan kepentingan yang dilindungi tersebut dalam sebuah hak hukum.
Perlindungan hukum adalah upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara memberikan suatu kekuasaan kepada orang tersebut untuk melakukan tindakan yang dapat memenuhi kepentingannya (Satjipto Rahardjo, 2003: 121). Muchsin (2003: 14) berpendapat bahwa perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.
Menurut Philipus M. Hadjon (1994: 2), perlindungan hukum adalah sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut. Philipus M. Hadjon juga mengatakan bahwa perlindungan hukum ada dua macam yaitu:
1. Perlindungan hukum preventif Bahwa hukum mencegah terjadinya sengketa. Fungsi ini dituangkan dalam bentuk peraturan-peraturan pencegahan yang pada dasarnya merupakan patokan bagi setiap tindakan yang akan dilakukan masyarakat, meliputi seluruh aspek tindakan manusia.
2. Perlindungan hukum represif Perlindungan hukum represif bersifat penanggulangan atau pemulihan keadaan sebagai akibat tindakan terdahulu yang berfungsi untuk menyelesaiakan apabila terjadi sengketa (Philipus M. Hadjon, 1987: 2). Untuk menjalankan perlindungan hukum yang represif bagi rakyat Indonesia, terdapat berbagai badan yang secara parsial mengurusnya. Badan-badan tersebut selanjutnya dikelompokan menjadi 2 bagian, yaitu:
a. Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum b. Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi.
Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi adalah permintaan banding terhadap suatu tindak pemerintah oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Sehingga, instansi pemerintah yang berwenang untuk mengubah bahkan dapat membatalkan tindakan pemerintah tersebut.
Perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia
(Setiono, 2004: 3). Bambang Sunggono (2003: 26-27) menjelaskan bahwa perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Perlindungan hukum dapat diartikan dengan segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warganya agar hak-haknya sebagai seorang warga negara tidak dilanggar dan bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Dengan demikian, suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut (Dinni Harina Simanjuntak, 2011):
1. Adanya pengayoman dari pemerintah terhadap warganya
2. Jaminan kepastian hukum
3. Berkaitan dengan hak-hak warga negara 4. Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya.
B. Tentang Perlindungan Hukum dalam Perspektif Ketenagakerjaan 1. Pengertian Tenaga Kerja/Pekerja
Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ketenagakerjaan, selain istilah ini sudah dipergunakan sejak lama bahkan mulai dari zaman penjajahan Belanda juga karena peraturan perundang-undangan yang lama (sebelum Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) menggunakan istilah buruh. Pada zaman Belanda yang dimaksudkan dengan buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan pekerjaan kasar, orang-orang ini disebutnya sebagai “Blue Collar”. Sedangkan yang melakukan pekerjaan di kantor pemerintah maupun swasta disebut sebagai karyawan/pegawai (White Collar). Pembedaan yang membawa konsekuensi pada perbedaan perlakuan dan hak-hak tersebut oleh pemerintah Belanda tidak terlepas dari upaya untuk memecah belah orang- orang pribumi (Lalu Husni, 2003: 33).
Setelah merdeka kita tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh halus dan buruh kasar tersebut, semua orang yang bekerja disektor swasta baik pada orang maupun badan hukum disebut buruh.Saat ini istilah buruh diganti dengan pekerja karena buruh dianggap kurang sesuai dengan perkembangan sekarang. Yang mana pekerja merupakan sumber daya manusia yang memiliki potensi, kemampuan yang tepat guna, berpribadi dalam kategori tertentu untuk bekerja dan berperan serta dalam pembangunan, sehingga berhasil guna bagi dirinya dan masyarakat secara keseluruhan (Hamalik, 2000: 7).
Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Bab I Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Kemudian Pasal 1 ayat (3) memberikan arti secara normatif mengenai pekerja/buruh yaitu setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Singkatnya, setiap orang yang bekerja dengan menerima upah dan imbalan dalam bentuk lain. Dalam definisi ini terdapat dua unsur yaitu orang yang bekerja dan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Maimun, 2003: 13).
Pengertian tenaga kerja ini lebih luas dari pengertian pekerja/buruh karena pengertian tenaga kerja mencakup pekerja/buruh, yaitu tenaga kerja yang sedang terikat dalam suatu hubungan kerja dan tenaga kerja yang belum bekerja. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Jadi,pekerja/buruh adalah tenaga kerja yang sedang dalam ikatan hubungan kerja (Hardijan Rusli, 2003: 13).
Selanjutnya Pasal 1 huruf (c) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan upah menentukan bahwa buruh adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha dengan menerima upah. Demikian juga Pasal 1 huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan, menyatakan bahwa buruh adalah tenaga kerja yang menerima upah. Oleh karena itu, ruang lingkup pekerja/buruh sangat luas, yakni dapat meliputi mulai pembantu rumah tangga, tukang becak sampai pimpinan perusahaan yang menerima upah sebagai imbalan prestasinya dari majikan (Darwan Prist, 2000: 21).
Menurut Sendjun H. Manullang (2001: 3-5) mengemukakan bahwa "Tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Jadi, pengertian tenaga kerja meliputi tenaga kerja yang bekerja di dalam dan di luarhubungan kerja dengan alat produksi utamanya dalam proses produksi adalahtenaganya sendiri, baik fisik maupun pikiran”.
Payaman Simanjuntak dalam R. Joni Bambang (2013: 47) menjelaskan bahwa, tenaga kerja (manpower) adalah penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan, dan yang akan melaksanakan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Pengertian tenaga kerja dan bukan tenaga kerja menurutnya ditentukan oleh umur/usia.
Tenaga kerja (manpower) terdiri atas dua macam yakni:
a. Angkatan kerja (labour force) yang terdiri atas golongan yang bekerja dan golongan penganggur atau sedang mencari pekerjaan.
b. Angkatan yang bukan angkatan kerja yang terdiri atas golongan yang bersekolah, golongan yang mengurus rumah tangga, dan golongan lain atau menerima penghasilan dari pihak lain, seperti pensiunan dll.
Jadi yang disebut tenaga kerja adalah individu yang sedang mencari pekerjaan atau sedang melakukan pekerjaan yang menghasilkan barang atau jasa yang sudah memenuhi persyaratan ataupun batasan usia yang telah ditentukan Undang-undang yang bertujuan untuk memperoleh hasil atau upah untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
2. Klasifikasi Tenaga Kerja
Klasifikasi tenaga kerja adalah pengelompokan akan ketenagakerjaan yang sudah tersusun berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan yaitu: a. Berdasarkan penduduknya
1) Tenaga kerja adalah seluruh jumlah penduduk yang dianggap dapat bekerja dan sanggup bekerja jika tidak ada permintaan kerja. Menurut Undang-undang Tenaga Kerja, mereka yang dikelompokkan sebagai tenaga kerja yaitu mereka yang berusia antara 15 tahun sampai dengan 64 tahun. 2) Bukan tenaga kerja adalah mereka yang dianggap tidak mampu dan tidak mau bekerja, meskipun ada permintaan bekerja. Menurut Undang- undang Tenaga Kerja Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mereka adalah penduduk di luar usia, yaitu mereka yang berusia di bawah 15 tahun dan berusia di atas 64 tahun. Contoh kelompok ini adalah para pensiunan, para lansia (lanjut usia) dan anak-anak.
b. Berdasarkan batas kerja 1) Angkatan kerja adalah penduduk uisa produktif yang berusia 15-64 tahun yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja, maupun yang sedang aktif mencari pekerjaan. 2) Bukan angkatan kerja adalah mereka yang berumur 10 tahun ke atas yang kegiatannya hanya bersekolah, mengurus rumah tangga dan sebagainya. Misalnya seperti anak sekolah dan mahasiswa, para ibu rumah tangga, dan orang cacat, dan para pengangguran.
c. Berdasarkan kualitasnya 1) Tenaga kerja terdidik adalah tenaga kerja yang memiliki suatu keahlian atau kemahiran dalam bidang tertentu dengan cara sekolah atau pendidikan formal dan non formal. Contoh: pengacara, dokter, guru dan lain-lain.
2) Tenaga kerja terlatih adalah tenaga kerja yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu dengan melalui pengalaman kerja. Seperti apoteker, ahli bedah, mekanik, dan lain-lain. 3) Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih adalah tenaga kerja kasar yang hanya mengandalkan tenaga saja. Misalnya: tukang bangunan, buruh angkut, pembantu rumah tangga, dan lain-lain (Agus Dwiyanto, 2006: 4).
3. Bentuk Tenaga Kerja/Pekerja
Menurut Adrian Sutedi (2009: 48), berdasarkan bentuknya pekerja dibagi menjadi 4 (empat) yaitu: a. Pekerja dengan Waktu Tertentu (PWT)
Pekerja Waktu Tertentu (PWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu, biasanya masyarakat menyebutnya sebagai pekerja kontrak. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.Kep 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, menyatakan bahwa Pekerja Waktu Tertentu merupakan pekerja yang melakukan pekerjaan yang bersifat sementara. Perjanjian kerja ini hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun.
b. Pekerja dengan Waktu Tidak Tertentu (PWTT) Pekerja Waktu Tidak Tertentu (PWTT) adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.Pada Pekerja Waktu Tidak Tertentu ini dapat disyaratkan adanya masa percobaan maksimal 3 (tiga) bulan.Pekerja yang dipekerjakan dalam masa percobaan upahnya harus tetap sesuai dengan standar upah minimum yang berlaku. Apabila perjanjian Pekerja Waktu Tidak Tertentu dibuat secara lisan maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan, hal ini dinyatakan dalam Pasal 63 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. c. Pekerja Harian Lepas Pekerja harian lepas merupakan pekerja yang bekerja pada suatu perusahaan dimana waktu dari pekerjaan mereka tidak ditentukan secara pasti. Bentuk dari perjanjian yang diberikan setiap perusahaan kepada pekerja harian lepas adalah perjanjian secara lisan. Untuk pekerjaan yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian ini sebagai salah satu bentuk terpendek dari perjanjian kerja waktu tertentu. Hubungan kerja dengan membuat perjanjian ini dapat dilakukan dengan ketentuan, pekerja bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan. Apabila pekerja telah bekerja selama 21 (dua puluh satu) hari atau lebih, selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, maka perjanjian kerja harian lepas harus berubah menjadi perjanjian kerja waktu tertentu.
d. Outsourcing merupakan bentuk pekerjaan dimana para pengusaha mengambil pekerja dari perusahaan yang membentuk pekerja tersebut, dan pengusaha yang bersangkutan membayar upah pekerja kepada perusahaan tersebut. Dengan kata lain bahwa, perusahaan yang membentuk pekerja tersebut yang membayar upah. Berdasarkan hukum ketenagakerjaan, istilah outsourcing sebenarnya bersumber dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 64 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja yang dibuat secara tertulis.
4. Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja/Pekerja
Hak-hak dan kewajiban para tenaga kerja yang terdapat dalam Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan antara lain: a. Hak-hak Pekerja
1) Pasal 5 Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
2) Pasal 6 Setiap pekerja berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
3) Pasal 11 Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya melalui pelatihan kerja. 4) Pasal 12 ayat (3) Setiap pekerja memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya.
5) Pasal 18 ayat (1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta atau pelatihan ditempat kerja.
6) Pasal 23 Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi. 7) Pasal 31 Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yanglayak di dalam atau di luar negeri.
8) Pasal 67 Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. 9) Pasal 78 ayat (2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. 10) Pasal 79 ayat (1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja.
11) Pasal 80 Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya. 12) Pasal 82 Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5
(satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. 13) Pasal 84 Setiap pekerja yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c dan d, Pasal
80 dan Pasal 82 berhak mendapatkan upah penuh. 14) Pasal 85 ayat (1) Pekerja tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. 15) Pasal 86 ayat (1) Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: a) Keselamatan dan kesehatan kerja
b) Moral dan kesusilaan dan c) Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
16) Pasal 88 Setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
17) Pasal 90 Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
18) Pasal 99 ayat (1) Setiap pekerja dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.
19) Pasal 104 ayat (1) Setiap pekerja berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja.
20) Pasal 137 Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja dan serikat pekerja dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. 21) Pasal 156 ayat (1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja sertauang pengganti hak yang seharusnya diterima.
b. Kewajiban Tenaga Kerja/Pekerja 1) Pasal 102 ayat (2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja dan serikat pekerja mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokrasi, mengembangkan keterampilan dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
2) Pasal 126 ayat (1) Pengusaha, serikat pekerja dan pekerja wajib melaksanakanketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
Pengusaha dan serikat pekerjawajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau perubahannya kepadaseluruh pekerja.
3) Pasal 136 ayat (1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajibdilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja secara musyawarahuntuk mufakat. 4) Pasal 140 ayat (1) Sekurang kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelummogok kerja dilaksanakan, pekerja dan serikat pekerja wajib memberitahukansecara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab dibidangketenagakerjaan setempat.
5. Tentang Hukum Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan adalah semua hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja, pengertian ini ada dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Definisi Hukum Perburuhan menurut para ahli hukum antara lain sebagai berikut (Karta Sapoetra, dkk, 1994: 15): a. Menurut Molenaar, hukum perburuhan adalah bagian hukum yang berlaku, yang pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja dan tenaga kerja.
b. Mok mengatakan bahwa hukum perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang melakukan pekerjaan atau tanggung jawab dan resiko sendiri. c. Menurut Soetikno Hukum Ketenagakerjaan adalah keseluruhan peraturan- peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seseorang secara pribadi ditempatkan di bawah perintah atau pimpinan orang lain dan mengenai keadaan-keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja tersebut.
d. M.G Levenbach, hukum perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, yakni pekerja di bawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkut-paut dengan hubungan kerja itu.
e. Menurut Syahrani Hukum Perburuhan adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hubungan-hubungan perburuhan, yaitu hubungan antara buruh dan majikan dengan perintah (penguasa).
Dari beberapa definisi para ahli, hukum ketenagakerjaan memiliki unsur-unsur sebagai berikut: a. Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis
b. Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha/majikan c. Adanya orang pekerja pada dan di bawah orang lain, dengan mendapatkan upah sebagai balas jasa d. Mengatur perlindungan pekerja/buruh, meliputi masalah sakit, haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi pekerja/buruh dan sebagainya
(Maimun, 2007: 10).
6. Tujuan Hukum Ketenagakerjaan
Menurut Manulang (1995: 2) bahwa tujuan hukum ketenagakerjaan adalah: a. Untuk mencapai/melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan.
Artinya bahwa hukum ketenagakerjaan harus menjaga ketertiban, keamanan, dan keadilan bagi pihak-pihak yang terkait dalam proses produksi, untuk dapat mencapai ketenangan bekerja dan kelangsungan berusaha.
b. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha.
Dilatarbelakangi adanya pengalaman selama ini yang kerap kali terjadi kesewenang-wenangan pengusaha terhadap pekerja/buruh.Untuk itu diperlukan suatu perlindungan hukum secara komprehensif dan konkret dari pemerintah.
Dalam ketentuan Pasal 4 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk: a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.
b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.
c. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja dimaksudkan untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia.Selanjutnya, tenaga kerja Indonesia diharapkan dapat berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan nasional, tetapi dengan tetap menjunjung nila-nilai kemanusiaannya.Dengan demikian, tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah menjadikan tenaga kerja Indonesia sebagai subjek pembangunan, bukan sebaliknya menjadi objek pembangunan.
7. Sumber Hukum Ketenagakerjaan
a. Undang-undang Dipandang dari sudut kekuatan hukum, Undang-undang adalah sumber hukum yang terpenting dan terutama.Undang-undang adalah peraturan yang ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang dan peraturan lain yang dipergunakan sebagai pedoman dalam hukum ketenagakerjaan antara lain: 1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengawasan
Ketenagakerjaan Dalam Industri dan Perdagangan 3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial 4) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional 5) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial b. Peraturan lain Peraturan lainnya ini kedudukannya adalah lebih rendah dari Undang- undang dan pada umumnya merupakan peraturan pelaksanaan Undang- undang. Peraturan lain meliputi peraturan pemerintah yang dibuat oleh Pemerintah (Presiden), Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri serta Peraturan/Keputusan Instansi lain yang berkaitan dengan ketenagakerjaan untuk melaksanakan suatu undang- undang, oleh karena itu isi dari Peraturan Pemerintah itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
c. Kebiasaan Kebiasaan dalam hal ini adalah kebiasaan yang terjadi antara pekerja dan pemberi kerja yang dilakukan berulang-ulang dan diterima masyarakat (para pihak baik pekerja maupun pemberi kerja). Contoh: Perekrutan Pegawai tanpa pelatihan terstruktur (industri kecil dan menengah).
d. Yurisprudensi Semenjak diberlakukannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht) akan menjadi dasar hukum bagi hakim untuk memutus perkara serupa.
e. Traktat Terkait dengan masalah ketenagakerjaan, perjanjian merupakan sumber hukum tenaga kerja ialah perjanjian kerja.Perjanjian kerja mempunyai sifat kekuatan hukum mengikat dan berlaku seperti Undang-undang pada pihak yang membuatnya (Zainal Asikin, 2002: 34).
C. Teori Keadilan dan Teori Kesejahteraan Terkait Perlindungan Pekerja 1. Teori Keadilan
Istilah keadilan (Iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa pengertian keadilan adalah semua hal yang berkenaan dengan sikap dan tindakan dalam hubungan antar manusia, keadilan berisi sebuah tuntutan agar orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan hak dan kewajibannya, perlakuan tersebut tidak pandang bulu atau pilih kasih, melainkan semua orang diperlakukan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya.
Teori Keadilan menurut Gustav Radbruch (1878-1949) dapat dibedakan menjadi tiga aspek yaitu:
1. Keadilan dalam arti sempit.
Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan.
2. Tujuan keadilan atau finalitas.
Aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
3. Kepastian hukum atau legalitas.
Aspek ini menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati (Theo Huijbers, 1982: 52).
Landasan pemikiran Gustav Radbruch adalah nilai keadilan sebagai mahkota dari setiap tata hukum. Radbruch sebagai eksponen Neo-Kantian yang sangat terpengaruh oleh mazhab Baden, berusaha mengatasi dualism antara Sein dan Sollen , antara ‘materi’ dan bentuk. Jika, Stammler, John
Austin dan Hans Kelsen terperangkap dalam dualism itu, dimana yang dipentingkan dalam hukum hanyalah dimensi formal atau bentuknya, maka Radbruch tidak mau ‘terjebak’ dalam hal yang sama. Radbruch memandang bahwa Sein dan Sollen,
“materi” dan “bentuk”, sebagai dua sisi dari satu mata uang. “Materi” mengisi “bentuk” dan “bentuk” melindungi “materi”.
Demikian makna dari frase yang tepat untuk melukiskan teori Redbruch tentang hukum dan keadilan. Nilai keadilan adalah “materi” yang harus menjadi isi aturan hukum, sedangkan aturan hukum adalah “bentuk” yang harus melindungi nilai keadilan (Bernard L Tanya, 2013: 129).
Memperhatikan uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa Radbruch mengkombinasikan antara pendekatan empiris dengan pendekatan normatif.
Radbruch memahami hukum sebagai ilmu kultur empiris dan normatif. Dengan kata lain, Radbruch memandang hukum selalu mengacu pada nilai- nilai keadilan dan kepastian. Pandangan keadilan Radbruch ini tidak dapat dipisahkan dari konsep Aristoteles yang membedakan antara keadilan distributif dan keadilan komutatif.Keadilan distributif mempersoalkan bagaimana negara atau masyarakat membagi atau menebar keadilan kepada orang-orang sesuai dengan kedudukannya. Sedangkan keadilan komutatif mengandung pengertian tidak membedakan posisi atau kedudukan orang- perorang untuk mendapatkan perlakuan hukum yang sama atau equality
before the law (Endang Sutrisno, 2007: 21).
Bagi filosof seperti Aristoteles, keadilan merupakan nilai kebajikan yang tertinggi. Sementara bagi Plato keadilan merupakan
“justice is the suprime
virtue which harmonize all other virtues”. Ini berarti bahwa keadilan sebagai
suatu kebajikan individual (individual virtue). Karena itu dalam Institute of
Justinian, keadilan merupakan tujuan yang kontinyu dan konstan untuk
memberikan kepada setiap orang haknya (Roscoe Pound, 1952: 3).Apabila disarikan pandangan para ahli tentang keadilan tadi, maka konsep keadilan yang tepat adalah keadilan yang berdasarkan Pancasila, yaitu Sila Kelima, yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hakikatnya konsep ini, bukan saja relevan dengan teori kesejahteraan yang dianut Indonesia, serta landasan hukum pembangunan ekonomi nasional, yaitu ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945. Namun keadilan ini menjadi ruh atau landasan moral hukum dan sekaligus tolak ukur sistem hukum positif.
John Rawls (1921-2002) adalah seorang pemikir yang memiliki pengaruh sangat besar dibidang filsafat politik dan filsafat moral. Melalui gagasan- gagasan yang dituangkan di dalam a theory of justice (1971).A theory oh
justice adalah sebuah karya filsafat politik dan filsafat moral yang kuat,
mendalam, subtil, luas dan sistematik. Merumuskan prinsip-prinsip yang mengatur distribusi hak dan kewajiban diantara segenap anggota suatu masyarakat. Penekanan terhadap masalah hak dan kewajiban, yang didasarkan pada suatu konsep keadilan bagi suatu kerja sama sosial, menunjukan bahwa teori keadilan Rawls memusatkan perhatian pada bagaimana mendistribusikan hak dan kewajiban secara seimbang didalam masyarakat sehingga setiap orang berpeluang memperoleh manfaat darinya secara nyata, serta menanggung beban yang sama. Karenanya, agar menjamin distribusi hak dan kewajiban yang berimbang tersebut, Rawls juga menekankan pentingnya kesepakatan yang fair diantara semua anggota masyarakat. Hanya kesepakatan fair yang mampu mendorong kerja sama sosial (Rawls, 1971: 4-5).
Dalam kondisi awal (posisi asli) sebagaimana dijelaskan diatas, Rawls percaya bahwa semua pihak akan bersikap rasional, dan sebagai person yang rasional, semua pihak akan lebih suka memilih prinsip keadilan yang ditawarkan daripada prinsip manfaat (utilitarianisme). Semua nilai-nilai sosial, kebebasan, kesempatan, pendapatan, dan kekayaan dan basis harga diri harus didistribusikan secara sama. Suatu distribusi yang tidak sama atas nilai- nilai sosial tersebut hanya diperbolehkan apabila hal itu memang menguntungkan orang-orang yang paling tidak beruntung (Rawls, 1971: 62).
Bertolak belakang dari prinsip umum diatas, Rawls merumuskan kedua prinsip keadilan sebagai berikut: a. Setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang b. Ketidaksamaan sosial ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga;
1) Diharapkan memberi keuntungan bagi orang-orang yang paling tidak beruntung 2) Semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang (Rawls, 1971: 60).
2. Teori Kesejahteraan
Teori Negara Kesejahteraan menurut Watts, Dalton dan Smith bahwa ide dasar Negara kesejahteraan sebenarnya sudah ada sejak abad ke-18, ketika Jeremy Bentham (1748-1832) memandang bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness
(welfare) of the greatest sumber of their citizens. Artinya, pemerintah
berkewajiban membuat bahagia sebanyak mungkin warganya (Bessant et al, 2006: 11).
Senadadengan Bentham, Thoenes juga mengemukakan bahwa Welfare
State
merupakan “a form of society characterizedby a system of democratic
government-sponsored welfare placed on a new footing and offering a
guarantee of collective social care to its citizens, concurrently”. Artinya,
bahwa pemerintah memberikan jaminan pelayanan sosial kepada warganya (Ade Komarudin, 2014: 8).
Edi Suharto (2006: 3-4) mengatakan, konsep negara kesejahteraan adalah dalam rangka memberikan peran lebih besar kepada negara dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial (social security) secara terencana. Setidaknya ada 4 (empat) pengertian mengenai konsep kesejahteraan yang dikemukakan, yaitu sebagai kondisi sejahtera, pelayanan sosial, tunjangan sosial, dan sebagai proses atau usaha terencana, dimana hal ini dilaksanakan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah dalam meningkatkan kualitas kehidupan (sebagai pengertian pertama) melalui pemberian pelayanan sosial dan keadilan sosial.
Sederhananya, Negara kesejahteraan (welfare state) menuntut tanggung jawab Negara terhadap kesejahteraan para warganya. Konsep ini sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang kemudian dijabarkan ke dalam batang tubuhnya. Dimana ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa negara (pemerintah) dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
D. Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan
Menyadari pentingnya peran pekeja/buruh dalam keberhasilan suatu industri maka harus diperhatikan juga keselamatan, kesehatan serta kesejahteraan pekerja sehingga perlu adanya upaya peningkatan perlindungan pekerja. Perlindungan hukum ketenagakerjaan adalah keseluruhan norma-norma hukum publik yang tertuju pada pengaturan keadaan perburuhan di perusahaan. Pengaturan ini beraspek materil dan in materil (Mustari, 2013: 35). Tujuannya adalah untuk menjamin berlangsungnya sistem hubungan kerja secara harmonis tanpa disertai adanya tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Seperti dalam Pasal 24 D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Secara yuridis pada Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, memberikan perlindungan bagi tenaga kerja yang mencakup orang yang belum bekerja, yaitu orang yang tidak terikat dalam hubungan kerja (pekerja/buruh), karena orang yang terikat dalam suatu hubungan kerja juga berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik atau yang lebih disukai oleh pekerja/buruh. Sedangkan Pasal 6 ini merupakan perlindungan bagi pekerja/buruh (orang yang sedang dalam ikatan hubungan kerja) saja. Selain itu, perbedaan Pasal 5 dan Pasal 6 adalah mengenai subyek pelakunya. Pasal 5 berlaku bagi siapa saja, dalam arti tidak terbatas bagi pengusaha tertentu saja, melainkan mencakup pengertian pengusaha secara umum, artinya bisa pengusaha atau siapa saja, misalkan perusahaan A, perusahaan B atau perusahaan C dan sebagainya, termasuk juga perusahaan penempatan tenaga kerja, tetapi dalam Pasal 6 subyek pelakunya adalah terbatas bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh tersebut (Hardijan Rusli, 2011: 8).
Menurut Soepomo perlindungan pekerja dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
1. Perlindungan Ekonomis Perlindungan pekerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila pekerja tidak mampu bekerja diluar kehendaknya.
2. Perlindungan Sosial Perlindungan pekerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.
3. Perlindungan Teknis Perlindungan pekerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja (Khakim Abdul, 2003: 61-62).
Adapun bentuk perlindungan hukum menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan meliputi: 1. Perlindungan atas hak-hak dalam hubungan kerja.
2. Perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha, dan mogok kerja.
3. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
4. Perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak dan penyandang cacat.
5. Perlindungan tentang upah, kesejahteraan dan jaminan sosial tenaga kerja.
6. Perlindungan atas hak pemutusan hubungan tenaga kerja.
Perlindungan pekerja dapat dilakukan, baik dengan jalan memberikan tuntunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik dan teknis secara sosial dan ekonomi melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja itu (Zaeni Asyahdie, 2007: 78). Menurut Zainal Asikin (1993: 5) menyebutkan perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang mengahruskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis.
Perlindungan tenaga kerja dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu (Zainal Asikin, 2002: 76-79):
1. Perlindungan secara Ekonomis atau Jaminan Sosial Yaitu perlindungan pekerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak bekerja diluar kehendaknya.Penyelenggara program jaminan sosial merupakan salah satu tanggung jawab dan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat.Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang alami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia.Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa jaminan sosial tenaga kerja adalah merupakan perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang (jaminan kecelakaan kerja, kematian, dan tabungan hari tua) dan pelayanan kesehatan yakni jaminan pemeliharaan kesehatan.Merupakan hak setiap warga tenaga kerja yang sekaligus merupakan kewajiban dari majikan.Pada hakikatnya program jaminan sosial tenaga kerja dimaksud untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga yang sebagian hilang. Disamping itu program jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek antara lain:
a) Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya b) Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja mendidk kemandirian pekerja sehingga pekerja tidak harus meminta belas kasihan orang lain jika dalam hubungan kerja terjadi resiko-resiko seperti kecelakaan kerja, sakit, hari tua dan lainnya.
2. Perlindungan Sosial atau Kesehatan Kerja Yakni perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. Kesehatan kerja sebagaimana telah dikemukakan diatas termasuk jenis perlindungan sosial karena ketentuan-ketentuan mengenai kesehatan kerja ini berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, yaitu aturan-aturan yang bermaksud mengadakan pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan pengusaha untuk memperlakukan pekerja/buruh “semaunya” tanpa memperhatikan norma- norma yang berlaku, dengan tidak memandang pekerja/buruh sebagai makhluk tuhan yang mempunyai hak asasi. Karena sifatnya yang hendak mengadakan ”pembatasan” ketentuan-ketentuan perlindungan sosial dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Bab X
Pasal 68 dan seterusnya bersifat ”memaksa”, bukan mengatur. Akibat adanya sifat memaksa dalam ketentuan perlindunga sosial Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 ini, pembentuk Undang-undang memandang perlu untuk menjelaskan bahwa ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan sosial ini merupakan ”hukum umum” (Publiek-rechtelijk) dengan sanksi pidana. Hal ini disebabkan beberapa alasan berikut: a) Aturan-aturan yang termuat di dalamnya bukan bermaksud melindungi kepentingan seorang saja, melainkan bersifat aturan bermasyarakat.
b) Pekerja/buruhIndonesia umumnya belum mempunyai pengertian atau kemampuan untuk melindungi hak-haknya sendiri.
Oleh karena itu kesehatan kerja bermaksud melindungi atau menjaga pekerja/buruh dari kejadian/keadaan hubungan kerja yang merugikan kesehatan dan kesusilaannya dalam hal pekerja/buruh melakukan pekerjaannya. Adanya penekanan ”dalam suatu hubungan kerja” menunjukkan bahwa semua tenaga kerja yang tidak melakukan hubungan kerja dengan pengusaha tidak mendapatkan perlindungan sosial sebagaimana ditentukan dalam Bab X Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3. Perlindungan Teknis atau Keselamatan Kerja Yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan.
Keselamatan kerja termasuk dalam apa yang disebut perlindungan teknis, yaitu perlindungan terhadap pekerja/buruh agar selamat dari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Berbeda dengan perlindungan kerja lain yang umumnya ditentukan untuk kepentingan pekerja/buruh saja, keselamatan kerja ini tidak hanya memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh, tetapi kepada pengusaha dan pemerintah.
a) Bagi pekerja/buruh, adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan menimbulkan suasana kerja yang tentram sehingga pekerja/buruh dapat memusatkan perhatian pada pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa khawatir sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan kerja.
b) Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di dalam perusahaannya akan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan yang dapat mengakibatkan pengusaha harus memberikan jaminan sosial.
c) Bagi pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya dan ditaatinya peraturan keselamatan kerja, maka apa yang direncanakan pemerintah untuk mensejahterakan masyrakat akan tercapai dengan meningkatnya produksi perusahaan baik kualitas maupun kuantitas.
Selain perlindungan terhadap pekerjanya, terdapat norma perlindungan lain terhadap pekerja yaitu:
1. Norma Kesehatan Kerja dan Heigiene Kesehatan Perusahaan Meliputi pemeliharaan dan mempertnggi derajat kesehatan pekerja, dilakukan dengan mengatur pemberian obat-obatan, perawatan pekerja yang sakit, mengatur persediaan tempat, cara dan syarat kerja yang memenuhi heigiene kesehatan perusahaan dan kesehatan pekerja untuk mencegah penyakit, baik sebagai akibat bekerja atau penyakit umum serta menetapkan syarat kesehatan bagi perumahan pekerja.
2. Norma Kerja Meliputi perlindungan terhadap pekerja yang bertalian dengan waktu bekerja, sistem pengupahan, istirahat, cuti, pekerja wanita, anak, kesusilaan ibadah menurut agama keyakinan masing-masing yang diakui oleh pemerintah, kewajiban sosial kemasyarakatan dan sebagainya guna memelihara kegairahan dan moril kerja yang menjamin daya guna kerja yang tinggi serta menjaga perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral.
3. Kepada pekerja yang mendapat kecelakaan dan/atau menderita penyakit kuman akibat pekerjaan, berhak atas ganti rugi perawatan dan rehabilitasi akibat kecelakaan dan atau penyakit akibat pekerja, ahli warisnya berhak mendapat ganti kerugian.
Menurut Adrian Sutedi (2009: 13) hanya ada 2 (dua) cara melindungi pekerja/ buruh yakni pertama melalui Undang-undang perburuhan, karena dengan Undang-undang berarti ada jaminan negara yang memberikan pekerjaan yang layak, melindunginya di tempat kerja (kesehatan, keselamatan kerja, dan upah layak) sampai dengan pemberian jaminan sosial setelah pensiun. Kedua, melalui serikat pekerja/serikat buruh, karena melalui serikat pekerja/serikat buruh pekerja/buruh dapat menyampaikan aspirasinya, berunding untuk menuntut hak- hak yang semestinya mereka terima.Serikat pekerja/serikat buruh juga dapat mewakili pekerja/buruh dalam membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang mengatur hak-hak dan kewajiban pekerja/buruh dengan pengusaha melalui suatu kesepakatan umum yang menjadi pedoman dalam hubungan industrial.
Jaminan perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh ada beberapa Pasal dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang perlu diperhatikan seperti:
1. Penyandang Cacat (Pasal 67) 1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pekerja Anak (Pasal 68, 69 dan 72)
a. Pengusaha dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68)
b. Pasal 69 1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan
15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak menganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. 2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a) Izin tertulis dari orang tua atau wali
b) Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali
c) Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam
d) Dilakukan pada siang hari dan tidak menganggu waktu sekolah
e) Keselamatan dan kesehatan kerja f) Adanya hubungan kerja yang jelas; dan g) Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berbeda.
h) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.