BAB II Ainun Muharomah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Modul 1. Pengertian Modul Dalam buku Pedoman Umum Pengembangan Bahan Ajar

  (2004) yang diterbitkan oleh Diknas, modul diartikan sebagai sebuah buku yang ditulis dengan tujuan agar peserta didik dapat belajar secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan guru. Modul berfungsi sebagai sarana belajar yang bersifat mandiri, sehingga peserta didik dapat belajar sesuai dengan kecepatan masing-masing (Depdiknas, 2008). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, modul berarti standar atau satuan pengukur, satuan standar yang bersama-sama dengan yang lain digunakan secara bersama, satuan bebas yang merupakan bagian dari struktur keseluruhan, komponen dari suatu sistem yang berdiri sendiri, tetapi menunjang program dari sistem itu. Modul disebut juga media untuk belajar mandiri karena didalamnya telah dilengkapi petunjuk untuk belajar sendiri tanpa kehadiran pendidik atau guru secara langsung.

  Menurut Suaidin (2010), modul merupakan salah satu bentuk bahan ajar yang dikemas secara utuh dan sistematis, didalamnya memuat seperangkat pengalaman belajar yang terencana dan didesain untuk membantu peserta didik menguasai tujuan belajar yang spesifik. Modul pembelajaran disusun berdasarkan prinsip-prinsip pengembangan suatu modul, meliputi analisis kebutuhan, pengembangan desain modul, implementasi, penilaian, evaluasi dan validasi, serta jaminan kualitas. Penulisan modul memiliki tujuan sebagai berikut (Depdiknas, 2008):

  a. Memperjelas dan mempermudah penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbal.

  b. Mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya indera, baik peserta belajar maupun guru/instruktur.

  c. Dapat digunakan secara tepat dan bervariasi, seperti untuk meningkatkan motivasi dan gairah belajar, mengembangkan kemampuan dalam berinteraksi langsung dengan lingkungan dan sumber belajar lainnya yang memungkinkan peserta didik atau pebelajar belajar mandiri sesuai kemampuan dan minatnya.

  d. Memungkinkan peserta didik atau pebelajar dapat mengukur atau mengevaluasi sendiri hasil belajarnya.

  Dengan memperhatikan tujuan-tujuan di atas, modul sebagai bahan ajar akan sama efektifnya dengan pembelajaran tatap muka. Hal ini tergantung pada proses penulisan modul. Penulisan modul yang baik menulis seolah-olah sedang mengajarkan kepada seorang peserta didik mengenai suatu topik melalui tulisan. Segala sesuatu yang ingin disampaikan oleh penulis saat pembelajaran, dikemukakan dalam modul yang ditulisnya. Penggunaan modul dapat dikatakan sebagai kegiatan tutorial secara tertulis. Bahasa, pola, dan sifat kelengkapan lainnya yang terdapat dalam modul ini diatur sehingga seolah-olah merupakan “bahasa pengajar” atau bahasa guru yang sedang memberikan pengajaran kepada peserta didik-peserta didiknya. Dengan demikian, sebuah modul harus dapat dijadikan bahan ajar sebagai pengganti fungsi pendidik. Jika pendidik mempunyai fungsi menjelaskan sesuatu, maka modul harus mampu menjelaskan sesuatu dengan bahasa yang mudah diterima peserta didik sesuai dengan tingkat pengetahuan dan usianya.

2. Karakteristik Modul Pembelajaran

  Sebuah modul bisa dikatakan baik dan menarik jika terdapat karakteristik sebagai berikut (Depdiknas, 2008):

  a.

   Self Intructional

  Artinya, melalui modul tersebut seseorang atau peserta didik mampu membelajarkan diri sendiri, tidak tergantung pada pihak lain.

  Untuk memenuhi karakter self instructional, maka dalam modul harus: a) Berisi tujuan yang dirumuskan dengan jelas;

  b) Berisi materi pembelajaran yang dikemas ke dalam unit-unit kecil/spesifik sehingga memudahkan belajar secara tuntas; c) Menyediakan contoh dan ilustrasi yang mendukung kejelasan pemaparan materi pembelajaran; d) Menampilkan soal-soal latihan, tugas dan sejenisnya yang memungkinkan pengguna memberikan respon dan mengukur tingkat penguasaannya; e) Kontekstual yaitu materi-materi yang disajikan terkait dengan suasana atau konteks tugas dan lingkungan penggunanya; f) Menggunakan bahasa yang sederhana dan komunikatif;

  g) Terdapat rangkuman materi pembelajaran;

  h) Terdapat instrumen penilaian/assesment, yang memungkinkan pengguna modul melakukan

  “self assessment”;

  i) Terdapat instrumen yang dapat digunakan penggunanya untuk mengukur atau mengevaluasi tingkat penguasaan materi; j) Terdapat umpan balik atas penilaian, sehingga penggunanya mengetahui tingkat penguasaan materi; dan k) Tersedia informasi tentang pengayaan/referensi yang mendukung materi pembelajaran yang dimaksud.

  b.

   Self Contained

  Yaitu seluruh materi pembelajaran dari satu unit kompetensi atau sub kompetensi yang dipelajari terdapat didalam satu modul secara utuh. Tujuan dari konsep ini adalah memberikan kesempatan peserta didik mempelajari materi pembelajaran yang tuntas, karena materi dikemas kedalam satu kesatuan yang utuh.

  c.

   Stand Alone

  Yaitu modul yang dikembangkan tidak tergantung pada media lain atau tidak harus digunakan bersama-sama dengan media pembelajaran lain. Dengan menggunakan modul, pebelajar tidak tergantung dan tidak harus menggunakan media yang lain untuk mempelajari dan atau mengerjakan tugas pada modul tersebut. Jika masih menggunakan dan bergantung pada media selain modul yang digunakan, maka media tersebut tidak dikategorikan sebagai media yang berdiri sendiri.

  d.

   Adaptive

  Modul hendaknya memiliki daya adaptif yang tinggi terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Dikatakan adaptif jika modul dapat menyesuaikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fleksibel digunakan. Dengan memperhatikan percepatan perkembangan ilmu dan teknologi pengembangan modul multimedia hendaknya tetap

  “up to date”. Modul yang adaptif adalah jika isi

  materi pembelajaran dapat digunakan sampai dengan kurun waktu tertentu.

  e.

   User Friendly

  Modul hendaknya bersahabat dengan pemakainya. Setiap instruksi dan paparan informasi yang tampil bersifat membantu dan bersahabat dengan pemakainya, termasuk kemudahan pemakai dalam merespon, mengakses sesuai dengan keinginan. Penggunaan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti serta menggunakan istilah yang umum digunakan merupakan salah satu bentuk user friendly.

3. Prinsip Penulisan Modul

  Modul merupakan media pembelajaran yang dapat berfungsi sama dengan pendidik atau guru pada pembelajaran tatap muka. Oleh karena itu, penulisan modul perlu didasarkan pada prinsip-prinsip belajar dan bagaimana pendidik mengajar dan peserta didik menerima pelajaran.

  Terkait hal tersebut, penulisan modul dilakukan menggunakan prinsip-prinsip antara lain sebagai berikut: a. Rancang konsep untuk menarik perhatian sehingga peserta didik dapat memahami informasi yang disajikan. Misalnya, dalam modul, informasi penting diberi ilustrasi yang menarik perhatian dengan memberi warna, ukuran teks, atau jenis teks yang menarik.

  b. Tujuan pembelajaran perlu diinformasikan dengan jelas agar peserta didik dapat termotivasi dan fokus terhadap modul yang akan dipelajari.

  c. Hubungkan bahan ajar yang merupakan informasi baru bagi peserta didik dengan pengetahuan yang telah dikuasai sebelumnya oleh peserta didik.

  d. Informasi perlu dipenggal-penggal untuk memudahkan pemrosesan dalam ingatan pengguna modul. Jika terdapat banyak sekali butir informasi, sajikan informasi tersebut dalam bentuk peta informasi.

  e. Untuk memfasilitasi peserta didik memproses informasi secara mendalam, peserta didik didorong supaya mengembangkan peta informasi pada saat pembelajaran atau sebagai kegiatan merangkum setelah pembelajaran. f. Supaya peserta didik memproses informasi secara mendalam, peserta didik perlu disiapkan latihan yang memerlukan penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.

  g.

  Penyajian modul harus dapat memberikan motivasi untuk belajar. Modul dikembangkan agar menarik perhatian penggunanya selama mempelajari modul tersebut. Urutan materi diupayakan dengan mengurutkan dari yang mudah ke sulit. Modul juga perlu menyediakan umpan balik agar peserta didik tahu bagaimana kinerja belajar mereka. (Depdiknas, 2008) 4.

   Keunggulan dan Keterbatasan Pembelajaran dengan Modul

  Beberapa keunggulan pembelajaran dengan modul dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Berfokus pada kemampuan individual peserta didik, karena pada hakekatnya mereka memiliki kemampuan untuk bekerja sendiri dan lebih bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya.

  b. Adanya kontrol terhadap hasil belajar melalui penggunaan standar kompetensi dalam setiap modul yang harus dicapai oleh peserta didik.

  c. Relevansi kurikulum ditunjukkan dengan adanya tujuan dan cara pencapaiannya, sehingga peserta didik dapat mengetahui keterkaitan antara pembelajaran dan hasil yang akan diperolehnya.

  Disamping keunggulan, modul pembelajaran juga memiliki keterbatasan sebagai berikut: a. Penyusunan modul yang baik membutuhkan keahlian tertentu.

  b. Sulit menentukan proses penjadwalan dan kelulusan, serta membutuhkan manajemen pendidikan yang sangat berbeda dari pembelajaran konvensional, karena setiap peserta didik menyelesaikan modul dalam waktu yang berbeda-beda, bergantung pada kecepatan dan kemampuan masing-masing.

  c. Dukungan pembelajaran berupa sumber belajar, pada umumnya cukup mahal, karena setiap peserta didik harus mencarinya sendiri.

  (Mulyasa, 2006) B.

   Kreatif

  Kreatif adalah kemampuan olah pikir, olah rasa dan pola tindak yang dapat menghasilkan sesuatu yang baru dan inovatif (Munandar, 1995).

  Berdasarkan penekanannya, definisi-definisi kreativitas dapat dibedakan ke dalam dimensi person, proses, produk, dan press.

  Definisi kreativitas yang menekankan dimensi person seperti yang dikemukakan Hulbeck (Munandar, 1999), bahwa tindakan kreatif muncul dari keunikan keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya.

  Definisi kreativitas yang menekankan dimensi proses seperti yang dikemukakan Torrance (Munandar, 1999), bahwa proses kreatif pada dasarnya menyerupai langkah-langkah dalam metode ilmiah meliputi seluruh proses kreatif mulai dari menemukan masalah sampai dengan menyampaikan hasil.

  Sedangkan definisi yang berfokus pada produk kreatif menekankan pada unsur orisinalitas, kebaruan, dan kebermaknaan, seperti definisi dari Barron (Munandar, 1999), menyatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan/menciptakan sesuatu yang baru. Begitu pula menurut Haefele (Munandar, 1999), kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru yang mempunyai makna sosial.

  Definisi ini menunjukan bahwa tidak perlu keseluruhan produk itu baru, tetapi kombinasinya. Definisi ini juga menekankan bahwa suatu produk kreatif tidak hanya harus baru tetapi juga bermakna.

  Sedangkan definisi yang berfokus pada press atau dorongan, baik dorongan internal yaitu dari diri sendiri berupa keinginan dan hasrat untuk bersibuk diri secara kreatif maupun dorongan eksternal dari lingkungan sosial dan psikologis.

  Definisi kreativitas juga dibedakan ke dalam definisi konsensual dan definisi konseptual. Definsi konsensual menekankan segi produk kreatif yang dinilai derajat kreativitasnya oleh pengamat ahli. Amabile (Murniati, 2012), mengemukakan bahwa suatu produk atau respons seseorang dikatakan kreatif apabila menurut penilaian orang yang ahli atau pengamat yang mempunyai kewenangan dalam bidang itu bahwa produk itu kreatif. Dengan demikian, kreativitas merupakan kualitas suatu produk atau respon yang dinilai kreatif oleh pengamat ahli.

  Sedangkan definisi konseptual bertolak dari konsep tertentu tentang kreativitas yang dijabarkan ke dalam kriteria tentang apa yang disebut kreatif. Meskipun tetap menekankan segi produk, definisi ini tidak mengandalkan semata-mata pada konsesus pengamat dalam menilai kreativitas, melainkan didasarkan pada kriteria tertentu. Secara konseptual, Amabile (Murniati, 2012), melukiskan bahwa suatu produk dinilai kreatif apabila: a) Bersifat baru, unik, berguna, benar, atau bernilai dilihat dari segi kebutuhan tertentu; b) Lebih bersifat heuristik, yaitu menampilkan metode yang masih belum pernah atau jarang dilakukan oleh orang lain sebelumnya.

  Terlepas dari definisi dan penilaian produk kreatif, menurut Guilford (Munandar, 2009) menyatakan bahwa kreativitas atau berfikir kreatif diartikan sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah. Menurut Munandar (Satiadarma, 2003) mengemukakan bahwa penjabaran dari kemampuan berfikir kreatif meliputi empat indikator berfikir kreatif adalah sebagai berikut:

  a) Berfikir lancar (fluency), yang menyebabkan seseorang mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah atau pertanyaan. Dalam menghadapi masalah, orang kreatif mampu memberikan banyak cara atau saran untuk pemecahan masalah.

  Contoh: Bangun-bangun manakah yang kongruen dan mana yang tidak kongruen?

  D B C H F E G

  b) Berfikir luwes (flexibility), dimana orang kreatif menghasilkan gagasan, jawaban atau pertanyaan yang bervariasi karena dia mampu melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda. Contoh: Tunjukan bahwa kedua bangun dibawah ini sebangun!

  c) Berfikir rasional, yang menyebabkan orang kreatif melahirkan ungkapan-ungkapan yang baru dan unik, karena mereka sanggup memikirkan yang tidak lazim untuk mengungkapkan dirinya, atau mampu menemukan kombinasi-kombinasi yang tidak biasa dari unsur- unsur yang biasa. Contoh: Hitunglah nilai x jika segitiga A dan segitiga B sebangun!

  2

  1 x

  d) Keterampilan elaborasi, yang meliputi kemampuan memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk.

  Contoh: Perhatikan gambar disamping. Hitunglah p !

  1

  7

  

6

C.

   Pendekatan Quantum Learning

  Pendekatan Quantum Learning merupakan pendekatan yang berakar dari upaya Dr. Georgi Lozanov, seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai

  ”suggestology”

  atau

  ”suggestopedia”. Prinsipnya bahwa sugesti itu dapat dan pasti

  mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apapun itu dapat memberikan sugesti positif dan negatif (De Porter, 2009). Beberapa teknik yang dapat memberikan sugesti positif adalah menggunakan gambar, ilustrasi, warna sambil menonjolkan informasi.

  Dalam pendekatan Quantum Learning dikenal dengan konsep kekuatan AMBAK atau apa manfaatnya bagiku. AMBAK adalah motivasi yang didapat dari pemilihan secara mental antara manfaat dan akibat-akibat suatu keputusan (De Porter, 2009). Menemukan AMBAK sama saja dengan menciptakan minat dalam belajar. Dalam konsep kekuatan AMBAK terdapat 5 aspek yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) Menumbuhkan minat

  Menciptakan minat adalah cara yang sangat baik untuk memberikan motivasi demi mencapai tujuan.

  2) Belajar aktif Ketika minat telah tercipta, hal ini juga akan membuat seseorang belajar aktif dan mengupayakan agar segalanya tercapai.

  3) Berfikir kreatif Ketika minat telah tercipta, hal ini akan menuju pada minat baru, menciptakan ide-ide kreatif yang terus menerus.

  4) Kekuatan/kepercayaan diri Setelah memiliki minat dan mengetahui AMBAK nya, akan melahirkan kekuatan pribadi atau kepercayaan diri.

  5) Rayakan selesainya tugas Merayakan selesainya tugas akan membangun motivasi bagi seseorang untuk tujuan berikutnya. Perayaan harus menjadi aspek penting dalam AMBAK. Di dalam modul ini merayakan selesainya tugas yaitu dengan adanya permainan teka-teki di akhir kegiatan belajar sebelum melanjutkan kegiatan belajar selanjutnya. Permainan teka-teki ini berfungsi untuk memberikan sugesti positif sehingga siswa tidak jenuh dalam mempelajari modul.

D. Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran 4-D

  Model pengembangan 4-D (Four D ) merupakan model pengembangan perangkat pembelajaran. Model ini dikembangkan oleh S.

  Thiagarajan, Dorothy S. Semmel, dan Melvyn I. Semmel. Model pengembangan 4D terdiri atas 4 tahap utama yaitu: (1) Define (Pembatasan), (2) Design (Perancangan), (3) Develop (Pengembangan) dan Disseminate (Penyebaran). Model pengembangan ini digambarkan seperti diagram dibawah ini (Trianto, 2010):

  D Analisis Awal -

  E F Analisis Peserta didik

  I Analisis Konsep Analisis Tugas

  N E Spesifikasi Tujuan

  D Penyusunan Tes

  E S Pemilihan Media

  I Pemilihan Format G N

  Rancangan Awal D

  Validasi Ahli E

  V E Uji Pengembangan

  L O Uji Validasi

  P D

  I Pengemasan S S E

  Penyebaran dan Pengadopsian M

  I N A T E

Gambar 1.1 Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran 4-D

  (Thiagarajan, Semmel, dan Semmel, 1974) Secara garis besar keempat tahap tersebut sebagai berikut (Trianto, 2010):

  a. Tahap Pendefinisian (define) Tujuan tahap ini adalah menetapkan dan mendefinisikan syarat- syarat pembelajaran. Dalam menentukan dan menetapkan syarat-syarat pembelajaran diawali dengan analisis tujuan dari batasan materi yang dikembangkan perangkatnya. Tahap ini meliputi 5 langkah pokok, yaitu: 1) Analisis awal akhir (front-end analysis)

  Menurut Thiagarajan, dkk (1974), analisis awal akhir bertujuan untuk memunculkan dan menetapkan masalah dasar yang dihadapi dalam pembelajaran, sehingga diperlukan suatu pengembangan bahan ajar. Dengan analisis ini akan didapatkan gambaran fakta, harapan dan alternatif penyelesaian masalah dasar, yang memudahkan dalam penentuan atau pemilihan bahan ajar yang dikembangkan. 2) Analisis peserta didik (learner analysis)

  Menurut Thiagarajan, dkk (1974), analisis peserta didik merupakan telaah tentang karakteristik peserta didik yang sesuai dengan desain pengembangan perangkat pembelajaran. Karakteristik itu meliputi latar belakang kemampuan akademik (pengetahuan), perkembangan kognitif, serta keterampilan-keterampilan individu atau sosial yang berkaitan dengan topik pembelajaran, media, format dan bahasa yang dipilih. Analisis peserta didik dilakukan untuk mendapatkan gambaran karakteristik peserta didik, antara lain: (1) Tingkat kemampuan atau perkembangan intelektualnya, (2) Keterampilan-keterampilan individu atau sosial yang sudah dimiliki dan dapat dikembangkan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan. 3) Analisis konsep (concept analysis)

  Analisis konsep menurut Thiagarajan, dkk (1974) dilakukan untuk mengidentifikasi konsep pokok yang akan diajarkan, menyusunnya dalam bentuk hirarki, dan merinci konsep-konsep individu ke dalam hal yang kritis. Analisis membantu mengidentifikasi kemungkinan contoh dan bukan contoh untuk digambarkan dalam mengantar proses pengembangan.

  Analisis konsep sangat diperlukan guna mengidentifikasi pengetahuan-pengetahuan deklaratif atau prosedural pada materi matematika yang akan dikembangkan. Analisis konsep merupakan satu langkah penting untuk memenuhi prinsip kecukupan dalam membangun konsep atas materi-materi yang digunakan sebagai sarana pencapaian kompetensi dasar dan standar kompetensi.

  Mendukung analisis konsep ini, analisis-analisis yang perlu dilakukan adalah: a) analisis standar kompetensi dan kompetensi dasar yang bertujuan untuk menentukan jumlah dan jenis bahan ajar, b) analisis sumber belajar, yakni mengumpulkan dan mengidentifikasi sumber-sumber mana yang mendukung penyusunan bahan ajar. 4) Analisis tugas (task analysis)

  Analisis tugas menurut Thiagarajan, dkk (1974) bertujuan untuk mengidentifikasi keterampilan-keterampilan utama yang akan dikaji dan menganalisisnya kedalam himpunan keterampilan tambahan yang mungkin diperlukan. Analisis ini memastikan ulasan yang menyeluruh tentang tugas dalam materi pembelajaran. 5) Perumusan Tujuan Pembelajaran (specifying instructional objectives)

  Perumusan tujuan pembelajaran menurut Thiagarajan, dkk (1974) berguna untuk merangkum hasil dari analisis konsep dan analisis tugas untuk menentukan perilaku objek penelitian.

  Kumpulan objek tersebut menjadi dasar untuk menyusun tes dan merancang perangkat pembelajaran yang kemudian di integrasikan ke dalam materi perangkat pembelajaran yang akan digunakan oleh peneliti.

  b. Tahap Perancangan (Design ) Tujuan tahap ini adalah menyiapkan prototipe perangkat pembelajaran. Tahap ini terdiri dari empat langkah yaitu:

  1) Penyusunan tes acuan patokan (constructing criterion-referenced

  test), merupakan langkah awal yang menghubungkan antara tahap define dan tahap design. Tes ini disusun berdasarkan hasil

  perumusan tujuan pembelajaran khusus (Kompetensi Dasar dalam kurikulum KTSP).

  2) Pemilihan Media, yaitu sesuai tujuan untuk menyampaikan materi pelajaran.

  3) Pemilihan format (format selection), pemilihan format awal ini

  misalnya dapat dilakukan dengan mengkaji format-format perangkat yang sudah ada dan yang dikembangkan di negara-negara yang lebih maju.

  4) Desain awal (Rancangan awal)

  c. Tahap Pengembangan (Develop) Tujuan tahap ini adalah untuk menghasilkan perangkat pembelajaran yang sudah direvisi berdasarkan masukan dari pakar.

  Tahap ini meliputi: (a) validasi perangkat oleh para pakar diikuti dengan revisi, (b) simulasi yaitu kegiatan mengoperasionalkan rencana pengajaran, dan (c) uji coba terbatas dengan peserta didik yang sesungguhnya. Hasil tahap (b) dan (c) digunakan sebagai dasar revisi.

  d. Tahap penyebaran (Disseminate) Pada tahap ini merupakan tahap penggunaan perangkat yang telah dikembangkan pada skala yang lebih luas misalnya di kelas lain, di sekolah lain, oleh guru yang lain. Tujuan lain adalah untuk menguji efektivitas penggunaan perangkat di dalam KBM. Dalam penelitian ini, peneliti tidak akan melakukan tahap penyebaran (dissemainate) karena keterbatasan waktu.

E. Kesebangunan dan Kekongruenan

  Materi kesebangunan dan kekongruenan merupakan salah satu materi yang diajarkan dikelas IX SMP. Berikut rincian materi kesebangunan dan kekongruenan yang menjadi fokus dalam penelitian pengembangan ini: Standar Kompetensi :

  1. Memahami kesebangunan bangun datar dan penggunaannya dalam pemecahan masalah.

  Kompetensi Dasar : 1. 1. Mengidentifikasi bangun-bangun datar yang sebangun dan kongruen.

  1. 2. Mengidentifikasi sifat-sifat dua segitiga sebangun dan kongruen. 1. 3. Menggunakan konsep kesebangunan segitiga dalam pemecahan masalah.

  F.

  

Modul Pembelajaran Matematika Kreatif Berbasis Pendekatan

Quantum Learning

  Modul matematika berbasis pendekatan quantum learning merupakan modul yang disusun dengan menggunakan prinsip kekuatan AMBAK dalam tiap-tiap kegiatan belajar. Prinsip kekuatan AMBAK ini berfungsi untuk memberikan suggesty positif pada modul agar peserta didik tidak mudah jenuh saat mempelajari modul. Dalam tiap kegiatan belajar, modul terbagi menjadi beberapa langkah seperti:

  1. Menumbuhkan minat, berfungsi untuk menumbuhkan minat peserta didik atau rasa penasaran peserta didik agar termotivasi untuk mempelajari modul.

  2. Belajar aktif, yaitu peserta didik dibimbing untuk belajar aktif menemukan sendiri pengertian atau konsep suatu materi.

  3. Berfikir kreatif, yaitu peserta didik dilatih untuk berfikir kreatif yaitu dengan membuat kesimpulan sendiri dari materi yang telah diajarkan.

  4. Percaya diri, yaitu peserta didik dilatih percaya diri dengan mengerjakan tugas atau soal dalam bentuk tantangan.

  5. Merayakan selesainya tugas, yaitu peserta didik diajak untuk merayakan selesainya tugas dengan mengerjakan teka-teki silang sebelum melanjutkan ke materi selanjutnya. Teka-teki silang merupakan salah satu bentuk permainan otak yang melatih peserta didik berfikir kreatif.

  (De Porter, 2009)