Sistem Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anak berkebutuhan khusus (ABK) dianggap berbeda dari kebanyakan
anak yang cenderung memiliki kemampuan rata-rata dalam cara tertentu.
Pengkategorian ABK dibagi menjadi dua, yaitu kategori high incidence, yaitu
kelainan yang memiliki frekuensi tinggi dan jumlahnya paling banyak, dan
kategori low incidence, yaitu kelainan yang lebih jarang terjadi. ABK yang
termasuk pada kategori high incidence adalah anak-anak yang menderita kesulitan
belajar, kelainan bahasa, gangguan emosi, dan gangguan intelektual ringan,
sedangkan ABK pada kategori low incidence adalah anak-anak yang menderita
penglihatan rendah atau kebutaan, tuli, kebutaan dan tuli, dan ketidakmampuan
intelektual yang parah (Kauffman, Hallahan & Pullen 2009). Dalam dinamika
dunia pendidikan, perlu disadari bahwa tidak semua anak memiliki kemampuan
yang sama, namun terdapat pula anak-anak dengan kebutuhan khusus. Tidak
hanya bicara soal kemampuan, ABK juga dapat memiliki gangguan belajar
(Kauffman & Hallahan, 2005a; Kauffman & Konold, 2007; Stitcher et al., dalam
Kauffman, Hallahan & Pullen 2009).
Pendidikan khusus adalah pendidikan yang disesuaikan dengan
kemampuan ABK sehingga anak tersebut bisa mendapatkan haknya akan
pendidikan. Pendidikan yang relevan bagi anak normal dapat dikatakan berbeda
dengan pendidikan yang relevan bagi ABK. Hal ini dikarenakan ABK
membutuhkan instruksi yang berbeda dari yang umumnya anak normal perlukan
(Kauffman & Hallahan, 2005a; Kauffman & Konold, 2007; Stitcher et al., dalam
Kauffman, Hallahan & Pullen 2009). Dalam aspek pendidikan, ABK adalah anakanak yang membutuhkan pendidikan dan pelayanan khusus dalam
mengembangkan potensi yang mereka miliki secara optimal (Kauffman, Hallahan
& Pullen 2009). Anak-anak seperti ini membutuhkan pendidikan khusus karena
mereka dianggap berbeda dari kebanyakan anak dalam beberapa cara, yaitu
mereka memiliki kekurangan intelektual, kekurangan dalam belajar atau atensi,
kelainan emosional atau perilaku, ketidakmampuan fisik, kelainan dalam
berkomunikasi, autisme, cidera otak traumatis, gangguan pendengaran, atau
memiliki bakat khusus (Kauffman, Hallahan & Pullen 2009).
Terkadang kurangnya kemampuan anak tidak pernah teridentifikasi, dan
konsekuensi bagi orang-orang terdekatnya atau bahkan orang-orang sekitarnya
akan sangat disayangkan. Terkadang ABK dapat teridentifikasi masalahnya,
namun pendidikan khusus tidak tersedia sehingga menyebabkan kesempatan
untuk perkembangan ABK ini menjadi sia-sia. Walaupun identifikasi awal dan
intervensi dapat sangat membantu sebagai pencegahan untuk resiko yang lebih
besar kedepannya, aksi pencegahan ini juga kadang tidak dilakukan. (Kauffman,
1999b, 2005b,; Stitcher et al., 2008 dalam Kauffman, Hallahan & Pullen 2009)
2
Pada tanggal 5 Oktober 2009, Kementerian Pendidikan Nasional
(Kemdiknas, sekarang Kementrian Pendidikan dan Budaya, Kemdikbud)
mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 tahun 2009 tentang
penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan
dan yang memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa (Mudjito dalam
Kemdikbud: Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Rendah 2014).
Tahun 2008, jumlah sekolah inklusif secara nasional dari SD hingga SMA hanya
254 sekolah, namun pada tahun 2014 jumlahnya meningkat signifikan menjadi
sebanyak 2.430 sekolah formal yang ikut berpartisipasi menyelenggarakan
pendidikan inklusif (Kemdikbud: Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus Rendah 2014).
Hingga kini, masih banyak kekurangan dalam pelayanan pendidikan ABK.
Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus Layanan Khusus (PKLK) Dirjen
Pendidikan Dasar Kemdikbud, Mudjito (dalam 184 Ribu Anak Berkebutuhan
Khusus Belum Nikmati Pendidikan 2013) mengatakan bahwa 184.000 ABK di
Indonesia belum menikmati pendidikan layaknya anak dengan kondisi mental dan
fisik normal. Mudjito (dalam 184 Ribu Anak Berkebutuhan Khusus Belum
Nikmati Pendidikan 2013) juga menyatakan bahwa dari total 300.000 ABK, baru
116.000 ABK yang tertangani dan masuk dalam pendidikan inklusif, dan sisanya
masih di bawah asuhan orang tua masing-masing. Selain kekurangan dari
pemerintah dalam melayani pendidikan ABK, pola pikir orang tua yang yang
merasa minder dengan anaknya yang berkebutuhan khusus juga menghambat
terpenuhinya hak ABK dalam menikmati pendidikan. Rasa minder yang dialami
orang tua ini menyebabkan adanya ABK ini disembunyikan oleh orang tuanya
karena mereka merasa malu dengan keadaan anaknya yang tidak sama seperti
anak-anak normal (dalam 184 Ribu Anak Berkebutuhan Khusus Belum Nikmati
Pendidikan 2013). Pola pikir seperti inilah yang seharusnya dihilangkan agar
tercipta kemajuan untuk pendidikan ABK.
Kurangnya pendidikan untuk ABK dapat menyebabkan ABK menjadi
penyebab bertambahnya angka pengangguran di Indonesia. Menurut data
organisasi buruh internasional (ILO) tahun 2013, dari 24 juta penyandang
disabilitas di Indonesia, baru sebesar 11 juta penyandang disabilitas yang
memiliki pekerjaan (24 Juta Penyandang Disabilitas Butuh Pekerjaan 2013). Hal
ini dikarenakan kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas disesuaikan dengan
jenis dan derajat disabilitas, pendidikan, dan kemampuannya. Apabila pendidikan
dan kemampuan dari ABK tidak dioptimalkan, maka kesempatan mereka dalam
mendapatkan pekerjaan ketika mereka sudah dewasa akan mengecil.
Masalah yang juga banyak terjadi pada ABK di Indonesia adalah proses
identifikasi ABK masih lemah. Di Indonesia telah tersedia sekolah yang melayani
pendidikan khusus. Pendidikan khusus tersebut disajikan dalam bentuk sekolah
disintegrasi atau biasa disebut sekolah luar biasa (SLB) dan sekolah inklusi. Di
Indonesia layanan untuk ABK pada kategori high incidence dengan kesulitan
3
belajar masih kurang perhatian. Padahal kenyataannya anak-anak yang memiliki
kesulitan belajar memiliki prevelansi terbesar dari ABK yaitu sebesar 43,6%
(Kauffman, Hallahan & Pullen 2009). Kurangnya perhatian bagi ABK dengan
masalah kesulitan belajar ini menyebabkan tidak terdeteksinya masalah tersebut
pada anak sehingga tidak ada penanganan yang tepat bagi anak-anak dengan
kesulitan belajar ini.
Hingga kini anak-anak yang terdeteksi dengan masalah kesulitan belajar
direkomendasikan untuk masuk ke sekolah inklusi, yaitu sebuah sekolah yang
mendidik ABK bersamaan dengan anak-anak normal lainnya, tanpa ada
perbedaan pelayanan terhadap anak normal dan ABK. Syarat untuk masuk ke
sekolah inklusi di Indonesia adalah, ABK yang mau masuk ke sekolah inklusi
harus memiliki IQ yang setara dengan anak normal (Kauffman, Hallahan & Pullen
2009). Kekurangan pada sekolah inklusi di Indonesia adalah tenaga pengajar
khusus untuk ABK di sekolah inklusi masih minim atau bahkan dapat dikatakan
tidak ada. Tidak adanya tenaga kerja yang mengerti mengenai penanganan ABK
dengan masalah kesulitan belajar ini menyebabkan masalah belajar pada ABK ini
tidak dapat teratasi.
Seharusnya sekolah inklusi yang didirikan di Indonesia sudah tersedia
dengan tenaga kerja yang memantau pendidikan ABK dengan kesulitan belajar
ini. Tidak dapat dipungkiri walaupun anak dengan kesulitan belajar tersebut
memiliki IQ yang setara dengan anak normal, namun mereka termasuk pada
klasifikasi ABK karena adanya masalah kesulitan belajar ini. Telah dijelaskan
pada bagian pendahuluan sebelumnya, bahwa ABK membutuhkan instruksi yang
berbeda dari yang umumnya anak normal perlukan, sedangkan sekolah inklusi di
Indonesia kini mengajarkan anak normal dan ABK menggunakan instruksi yang
sama. Sekolah inklusi di Indonesia nampaknya mengabaikan definisi pendidikan
bagi ABK, dilihat dari kesetaraan pelayanan pada ABK dan anak normal di
sekolah Inklusi di Indonesia.
Seharusnya sekolah inklusi di Indonesia dapat memberikan pelayanan
yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh ABK. Sekolah Inklusi tidak bisa
serta merta memberikan pendidikan dan instruksi yang sama untuk anak normal
pada ABK, karena pendidikan yang relevan bagi anak normal mungkin tidak
relevan bagi ABK. Dengan memberikan pendidikan khusus kepada ABK sampai
kepada jenjang wajib belajar Indonesia, maka ABK telah terbantu supaya masa
depannya dapat lebih baik, yaitu dengan memiliki peluang mendapatkan
pekerjaan yang lebih besar ketika mereka dewasa.
Tujuan
Tujuan dari penulisan gagasan tertulis ini adalah untuk menggagaskan
suatu sistem dan lembaga yang dapat membantu ABK agar dapat lebih mudah
mendapatkan haknya akan pendidikan. Salah satu tujuan dari pembuatan sistem
yang akan penulis ciptakan adalah untuk mengarahkan pemerintah agar
4
memberikan dukungan dalam memantau perkembangan seluruh anak di Indonesia
sejak lahir agar kelainan-kelainan yang dialami anak-anak Indonesia dapat
terdeteksi sejak dini, sehingga pendidikan khusus yang sesuai dapat segera
diberikan. Dengan begitu pendidikan yang didapatkan oleh ABK akan lebih
terjamin. Dengan adanya sistem yang membantu ABK dalam pendidikannya,
diharapkan agar ABK dapat mengoptimalkan kemampuannya dalam aspek
pendidikan, sehingga ABK dapat bersaing dengan anak normal.
Selain mengarahkan pemerintah agar memberikan dukungan dalam
pemantauan perkembangan seluruh anak di Indonesia, tujuan dari sistem yang
penulis buat ini adalah sebagai penuntun ABK dalam mendapatkan haknya akan
pendidikan hingga mereka dapat mandiri secara finansial. Dengan memantau dan
memberikan pendidikan khusus kepada ABK sampai kepada jenjang wajib belajar
di Indonesia, maka mereka telah terbantu agar masa depannya dapat lebih baik,
yaitu mereka dapat memiliki peluang mendapatkan pekerjaan yang lebih besar
ketika mereka dewasa.
Manfaat
Manfaat dari gagasan ini yaitu dapat memberikan informasi mengenai
sistem yang dapat digunakan untuk menangani ABK yang berada dalam
lingkungan anak normal. Seperti yang telah diketahui, sekolah inklusi adalah
sekolah umum yang menerima ABK untuk bersekolah di sekolahnya. Adanya
sistem dalam gagasan tertulis ini akan memudahkan ABK untuk belajar, karena
tenaga kerja yang disalurkan oleh lembaga dalam sistem ini telah terlatih untuk
mengajar ABK, tidak seperti guru di sekolah inklusi tersebut yang walaupun
mengajar di sekolah inklusi tetapi tidak dibekali ilmu untuk mengajar ABK. Guruguru yang hanya mengetahui cara mengajar anak normal tidak dapat mengajar
ABK secara optimal. Oleh karena itu, sistem dalam gagasan tertulis ini dapat
membantu ABK yang bersekolah di sekolah inklusi untuk dapat belajar dengan
instruksi khusus yang dipandu oleh tenaga pengajar yang terlatih untuk mengajar
ABK dari lembaga ini.
Selain itu, manfaat juga dapat dirasakan oleh orang tua dari ABK.
Lembaga dalam gagasan tertulis ini mendorong pihak-pihak yang bersangkutan
untuk dapat membantu mendeteksi kelainan anak sejak dini, sehingga apabila
anak mengalami kelainan, anak tersebut dapat langsung ditangani. Hal ini akan
memudahkan orang tua dari ABK tersebut untuk memberikan anaknya pendidikan
yang terbaik sejak dini.
Terakhir, lembaga ini dapat mengarahkan agar ABK dapat memiliki masa
depan yang lebih baik bagi, karena lembaga ini memantau perkembangan ABK
sejak ia lahir hingga ia dapat mandiri secara finansial. Lembaga akan memantau
dan menuntun perkembangan ABK sejak lahir hingga dapat menyelesaikan
jenjang pendidikan wajib di Indonesia, kemudian lembaga akan mencarikan
pekerjaan yang cocok dan sesuai dengan keterbatasan dan kemampuan yang
5
dimiliki oleh ABK ini. Dengan begitu ABK tidak akan tumbuh menjadi
pengangguran dan akan dapat hidup mandiri secara finansial walaupun dengan
segala keterbatasan yang mereka miliki.
GAGASAN
Kondisi Pendidikan Bagi ABK di Indonesia
Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus masih memiliki masalah
yang cukup rumit, mulai dari tingkat keluarga, lingkungan hingga sekolah
(Mudjito dalam 184 Ribu Anak Berkebutuhan Khusus Belum Nikmati Pendidikan
2013). Angka partisipasi pendidikan khusus di Indonesia masih rendah. Menurut
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Hamid Muhammad, hanya 164 ribu dari
1,6 juta ABK di Indonesia yang mendapat layanan pendidikan. (Kemendikbud
Jamin Layanan Pendidikan Khusus 2015).
Menurut peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 17 tahun 2010
tentang pengelolaan dan penyelanggaran pendidikan, pasal 129 ayat 3
menyebutkan bahwa peserta didik berkelainan terdiri atas tunanetra, tunarungu,
tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar,
autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
obat terlarang, dan zat adiktif lain, dan memiliki kelainan lain. Namun pada
pendidikan untuk ABK di Indonesia tidak semua kriteria yang telah disebutkan
masuk ke dalam kategori sekolah luar biasa (SLB). Ini membuktikan bahwa tidak
semua kriteria ABK mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kelainan yang
dideritanya. Lalu pada kriteria kesulitan belajar, tidak dijelaskan secara spesifik
kategori apa yang termasuk ke dalam kesulitan belajar apakah disleksia,
diskalkulia, dan lain sebagainya masuk ke dalam kriteria kesulitan belajar ataukah
kriteria yang lain. Selain itu korban penyalahgunaan narkotika, obat-obatan masuk
kedalam kriteria ABK sedangkan menurut penulis itu tidak termasuk kedalam
kriteria ABK karena penyalahgunaan narkotika adalah tindakan kriminal untuk
anak-anak. Pada pasal 131 ayat 4 disebutkan bahwa dalam menjamin
terselenggaranya pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 3 yaitu,
dilakukan dengan menetapkan paling sedikit 1 (satu) satuan pendidikan umum
dan 1 (satu) satuan pendidikan kejuruan yang memberikan pendidikan khusus.
Pemerintah kabupaten atau kota menyediakan sumberdaya pendidikan yang
berkaitan dengan kebutuhan peserta didik berkelainan. Pada ayat ke 5 juga
disebutkan bahwa perguruan tinggi wajib menyediakan akses bagi mahasiswa
berkelainan. Untuk pendidikan ABK di Indonesia yang sudah dijelaskan pada
pasal 131 ayat 4 dan 5, belum ada yang berjalan atau terjadi. Tujuan pendidikan di
Indonesiapun dinilai oleh penulis masih belum jelas.
Dengan jumlah angka yang menyatakan bahwa masih banyak ABK yang
belum dapat menikmati pendidikan seperti anak-anak dengan kondisi normal dan
pendidikan yang di peroleh oleh ABK masih relatif rendah, serta peraturan
6
pendidikan di Indonesia untuk ABK yang masih belum jelas atau tidak semua
terlaksana dengan baik membuktikan bahwa pelayanan pendidikan di Indonesia
khususnya untuk ABK masih belum sesuai, maka dari itu penulis membuat
gagasan untuk sebaiknya pemerintah membuat lembaga khusus yang bertanggung
jawab pada pendidikan ABK dari anak tersebut lahir hingga dapat mandiri secara
finansial.
ISI GAGASAN
Peneliti memiliki gagasan bahwa pemerintah sebaiknya membuat lembaga
khusus yang bertanggung jawab mengenai pendidikan ABK sejak anak tersebut
lahir hingga dapat mandiri secara finansial. Lembaga ini memiliki tugas antara
lain: mengidentifikasi dan evaluasi ABK, memberikan pembimbing untuk setiap
ABK, membuat program khusus yang disesuaikan dengan individu, mengevaluasi
goal dan keadaan anak, menjelaskan hak-hak orang tua, memastikan setiap ABK
mendapat pendidikan yang layak, serta membantu mengarahkan mereka untuk
mendapat pekerjaan ketika lulus sekolah. Pembuatan sistem pendidikan untuk
ABK dalam gagasan tertulis ini terinspirasi oleh hukum IDEA atau IDEIA yang
telah berjalan di Amerika Serikat.
IDENTIFIKASI - Dalam proses identifikasi dini ABK, lembaga akan
bekerja sama dengan seluruh rumah sakit di Indonesia, baik rumah sakit
pemerintah maupun rumah sakit swasta. Kerja sama antar lembaga dan rumah
sakit dilakukan dengan menempatkan 2-3 orang di setiap rumah sakit tersebut
sebagai tim yang bertanggung jawab kegiatan identifikasi ABK. Lembaga
mewajibkan dokter untuk melapor kepada tim yang berada di rumah sakit saat
terdapat hal yang janggal pada proses kehamilan, lahirnya bayi secara prematur,
hasil tes Apgar dibawah rata-rata, dan saat bayi tidak berkembang sesuai dengan
perkembangan yang semestinya. Selanjutnya rumah sakit juga diwajibkan untuk
memberi tahu orang tua dari anak tersebut bahwa bayinya memiliki kemungkinan
untuk memerlukan perawatan khusus terkait dengan kondisi anak tersebut dengan
mewajibkan orang tua untuk membawa bayinya ke dokter atau psikolog tumbuh
kembang. Perkembangan anak akan terus dipantau oleh dokter dan psikolog, dan
jika anak telah dinyatakan berkebutuhan khusus maka rumah sakit akan mengatur
janji antara orang tua anak, anak, dokter dan psikolog tumbuh kembang dan tim
lembaga di rumah sakit. Segala aktivitas terkait anak yang sudah memiliki tandatanda akan terlahir berkebutuhan khusus sampai didiagnosa berkebutuhan khusus
akan sepenuhnya dipantau, dikoordinasi dan dievaluasi oleh tim dari lembaga
yang berada di rumah sakit.
PEMBERIAN PEMBIMBING - Setelah pertemuan tersebut tim akan
memperkenalkan pembimbing dari lembaga untuk anak tersebut. Setiap ABK
memiliki hak untuk mendapatkan 1 orang pembimbing dari lembaga. Pembimbing
adalah seseorang yang kompeten dalam menangani ABK dalam ranah pendidikan
7
(sarjana psikologi yang telah dilatih oleh lembaga, psikolog pendidikan, psikolog
anak). Pembimbing adalah orang yang bertanggung jawab atas pendidikan ABK
tersebut, sehingga ia akan terus memantau dan mengevaluasi seluruh hal yang
berkaitan dengan pendidikan ABK yang berada dibawah bimbingannya. Tugas
pembimbing antara lain sebagai berikut: memberitahu hak-hak orang tua ABK,
menentukan goal ABK bersama anak dan orang tua, mengkomunikasikan segala
hal terkait dengan pendidikan ABK pada orang tua, membimbing, memantau dan
mengevaluasi perkembangan ABK dalam hal pendidikan, memantau
perkembangan ABK di sekolah dengan menelaah laporan dari tim lembaga di
sekolah, membuat kurikulum untuk ABK sesuai kemampuannya bersama tim
lembaga di sekolah / tim yang terkait pembuatan kurikulum untuk ABK.
Pembimbing wajib menemui ABK jika melihat ABK kesulitan dalam hal
pendidikan, dan ABK bersama orang tua juga wajib menemui pembimbing
minimal 6 bulan sekali.
PROSES SEBELUM MASUK SEKOLAH - Sebelum masuk ke sekolah
inklusi tentunya ABK memerlukan bantuan agar tidak terlalu kesulitan dan agar
dapat belajar dengan optimal di sekolah inklusi, sehingga ABK memerlukan
pembelajaran dasar. Namun sebelum proses pembelajaran dasar tersebut
berlangsung, tingkat intelegensi ABK akan dievaluasi terlebih dahulu dengan
melaksanakan tes IQ. Bagi ABK yang dengan IQ dibawah rata-rata nantinya akan
dimasukan ke sekolah luar biasa (SLB) sedangkan ABK yang IQ nya rata-rata
atau diatas rata-rata akan dimasukan ke sekolah inklusi. Setelah tes IQ, ABK akan
menjalani proses pembelajaran dasar. Proses pembelajaran dasar bagi ABK akan
dilakukan di gedung milik lembaga, dan ABK akan dikelompokkan dan
dimasukkan ke kelas-kelas berdasarkan kebutuhan khususnya. Dalam kelas
tersebut tiap tiga orang ABK minimal akan dibimbing oleh 1 orang guru yang
telah terlatih. Guru akan membimbing ABK sesuai dengan kemampuan ABK,
selanjutnya guru tersebut akan mengkomunikasikan kepada pembimbing ABK
mengenai kesulitan dan kemampuan anak tersebut dalam proses pembelajaran.
Setelah proses pembelajaran dasar sudah dirasa cukup, maka pembimbing akan
mengkomunikasikan kepada anak dan orang tua mengenai sekolah inklusi atau
SLB mana yang akan dipilih.
SEKOLAH INKLUSI - Sekolah inklusi yang dapat dipilih terdapat 2
macam, yakni sekolah swasta yang sudah ikut berpartisipasi dalam kegiatan
inklusi dan sekolah negeri diseluruh Indonesia. Pemerintah yakni kementrian
pendidikan bersama lembaga akan mewajibkan seluruh sekolah negeri di
Indonesia untuk menjalankan program inklusi dengan menerima ABK sesuai
kuota yang telah ditentukan yakni minimal 1% dari total jumlah murid. Dalam
sekolah inklusi swasta maupun negeri, ABK akan dimasukan kelas yang sama
dengan anak normal lainnya dan mereka akan mengikuti pembelajaran seperti
biasa. Pada sekolah inklusi, lembaga akan menempatkan timnya seperti di rumah
8
sakit. Tim lembaga yang berada di sekolah inklusi terdiri dari satu orang
penanggung jawab dan guru-guru khusus yang bertugas untuk mengajar atau
membimbing ABK di sekolah.
STANDAR NILAI UNTUK ABK - ABK yang masuk sekolah inklusi
akan mengikuti kurikulum nasional yakni kurikulum yang sama dengan anak
normal lainnya. ABK akan mengikuti kurikulum nasional karena mereka
dianggap mampu untuk mengikuti kurikulum tersebut karena IQ berada di ratarata atau diatas rata-rata. Namun walaupun ABK mengikuti kurikulum nasional,
tetapi ada standar nilai khusus yang diterapkan khusus bagi ABK. Standar nilai
khusus bagi ABK ini dibuat oleh guru khusus dikelas ABK bersama dengan
penanggung jawab di sekolah, pembimbing dan tim pendidikan lembaga, dengan
mengevaluasi nilai-nilai ABK, sikap ABK dikelas dan lain sebagainya.
MASUK SEKOLAH, tiap kelas yang mendapatkan murid ABK akan
diberikan guru khusus sehingga dalam 1 kelas terdapat 2 orang guru pengajar,
guru khusus tersebut akan membantu ABK dalam pengajaran dan pengerjaan soal.
Saat ABK memiliki kesulitan dan tidak bisa di atasi di dalam kelas, maka guru
khusus tersebut akan membawa ABK ke ruangan khusus dan membimbingnya
secara private. Tiap guru yang mengajar ABK dikelas akan menerapkan standar
nilai yang sesuai dengan kemampuan tiap ABK, selanjutnya ia juga wajib untuk
memberikan laporan kepada penanggung jawab ABK di sekolah yang selanjutnya
akan diteruskan kepada pembimbing ABK tersebut.
Segala kegiatan yang dilakukan lembaga diharapkan akan dibiayai oleh
negara, namun jika adanya keterbatasan dana maka akan dibuat 2 golongan, yakni
bagi golongan masyarakat menengah kebawah yang sudah memiliki Surat
Keterangan Tidak Mampu (SKTM) atau memiliki Kartu Keluarga Sejahtera
(KKS) akan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah, namun bagi golongan
masyarakat menengah keatas atau masyarakat golongan menengah kebawah yang
belum memiliki SKTM atau KKS akan dikenakan biaya sebesar 30% dan sisanya
akan mendapatkan subsidi dari pemerintah.
SETELAH LULUS SEKOLAH, ABK akan dievaluasi oleh
pembimbingnya dan dilihat sejauh mana kemampuannya. Selanjutnya setelah
mengetahui sejauh mana kemampuan dari ABK, pembimbing akan merujuk ABK
untuk bekerja pada pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan ABK tersebut.
Dengan begitu, ABK akan dapat memiliki pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuannya dan dapat hidup mandiri secara finansial.
KELEBIHAN
Kelebihan dari sistem yang ada pada gagasan tertulis ini adalah adanya
proses identifikasi, sehingga semua ABK akan terdeteksi kelainannya dan dapat
9
ditangani secepatnya. Kedua, yaitu pemberian pembimbing untuk tiap ABK
sehingga ABK akan dipantau secara langsung dan pembimbing anak tersebut akan
terfokus hanya pada satu anak. Ketiga, adanya standar nilai khusus bagi ABK. Hal
ini dibuat agar ABK tidak diberikan perlakuan dan instruksi yang sama dengan
anak normal, tetapi disesuaikan dengan kemampuan ABK ini. Keempat, adanya
guru khusus bagi ABK. Hadirnya guru khusus pada sistem pendidikan khusus
bagi ABK akan memenuhi kebutuhan ABK, karena guru khusus yang ada pada
lembaga ini adalah guru yang terlatih dan memiliki bekal pengetahuan tentang
bagaimana caranya untuk menangani ABK dengan baik.
INSTANSI YANG DAPAT DIAJAK KERJA SAMA
Instansi-instansi yang dapat diajak untuk bekerja sama dalam
pembentukan dan penjalanan sistem dalam lembaga ini adalah Pemerintah dan
Kementrian Pendidikan dan Budaya agar mau mendukung lembaga ini dalam
menangani ABK dan memberikan dana untuk lembaga dalam menjalankan segala
proses yang berhubungan dengan ABK, sekolah swasta dan negeri agar mau
mengembangkan sekolahnya untuk menjadi sekolah inklusi dan memberikan
dukungan dengan memperbolehkan tim pendidikan dari lembaga boleh ikut serta
di sekolah untuk menangani ABK, rumah sakit dan dokter anak untuk membantu
proses identifikasi dini ABK, Himpunan Psikologi Indonesia (HMPI) dan
Asosisasi Psikolog Pendidikan Indonesia (APPI) agar mau memberikan
kontribusinya dalam menangani ABK dengan ikut bergabung kedalam lembaga
atau melatih para sumber daya agar dapat lebih baik dalam menangani ABK.
10
KESIMPULAN
Pembuatan lembaga dan sistem dalam gagasan tertulis ini bertujuan untuk
memperbaiki kualitas pendidikan ABK dan membantu ABK agar bisa
mendapatkan haknya akan pendidikan, sehingga ABK nantinya akan dapat
memperoleh kemudahan dalam mendapatkan pekerjaan di masa depan. Proses
identifikasi yang dilakukan oleh lembaga dalam gagasan tertulis ini sangatlah
penting agar kelainan pada ABK dapat terdeteksi sejak dini, sehingga dapat segera
ditangani dan konsekuensi bagi orang-orang disekitar ABK tersebut tidak perlu
menjadi besar kedepannya. ABK di Indonesia kini belum dapat tertangani secara
optimal karena legislasi yang masih belum konsisten mengenai pendidikan ABK,
sehingga butuh diadakan revisi legislasi mengenai hal tersebut.
Tentunya lembaga dan sistem dalam gagasan tertulis ini masih memiliki
banyak hambatan, mulai dari ketersediaan instansi-instansi yang diharapkan dapat
mendukung berjalannya sistem dan pembentukan lembaga ini, besarnya dana
yang dibutuhkan untuk membentuk lembaga dan melatih para tenaga kerja untuk
mengajar ABK, legislasi yang belum konsisten mengenai pendidikan ABK, dan
sulitnya mendeteksi kelainan pada ABK jika tidak dipantau sejak lahir. Walaupun
pembentukan sistem dan lembaga dalam gagasan tertulis ini masih memiliki
banyak hambatan terkait dengan hal-hal tersebut, seharusnya hambatan-hambatan
tersebut dapat diatasi karena pendidian adalah salah satu prioritas utama bagi
bangsa, apalagi menyangkut dengan hak ABK yang tidak terpenuhi.
Saran yang dapat diberikan kepada pemerintah adalah, segera
dilakukannya revisi legislasi mengenai pendidikan ABK dan mempertimbangkan
agar sistem dan lembaga dalam gagasan tertulis ini dapat di implementasikan pada
sistem pendidikan di Indonesia. Selain itu, saran juga diberikan kepada orang tua
ABK agar jangan takut, ragu, atau malu untuk merujuk anaknya kepada psikolog
atau dokter anak apabila dicurigai mengalami kelainan belajar. Orang tua juga
harus memperhatikan perkembangan anaknya agar anak dapat diberikan
pendidikan yang sesuai dengan kemampuan dan keadaannya.
11
DAFTAR PUSTAKA
Hallahan, D.P., Kauffman, J.M. dan Pullen, P.C. 2013. Exceptional Learners:
Pearson New International Edition: An Introduction to Special
Education. New York: Pearson
Kemendikbud jamin layanan pendidikan khusus. (2015). Diakses dari
http://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2015/11/kemendikbud-jaminlayanan-pendidikan-khusus-4798-4798-4798
Kemdikbud: Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Rendah. (2014).
Diakses dari: http://hariansib.co/mobile/?open=content&id=30190
Taylor, R.L., Smilley, L.R. dan Richard, S.B. 2009. Exceptional Students:
Preparing Teachers for The 21st Century. (2nd edn). New York: McGraw
Hill
Vaughn, S., Bos, C.S., dan Schumm, J.S. 2011. Teaching Students Who Are
Exceptional, Diverse, and At Risk in the General Education Classroom.
(5th edn). New York: Pearson
184 ribu anak berkebutuhan khusus belum nikmati pendidikan. (2013). Diakses
dari
http://www.antaranews.com/berita/395235/184-ribu-anak-berkebutuhankhusus-belum-nikmati-pendidikan
24 Juta Penyandang Disabilitas Butuh Pekerjaan. (2013). Diakses dari
https://m.tempo.co/read/news/2013/10/15/173521813/24-jutapenyandang-disabilitas-butuh-pekerjaan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anak berkebutuhan khusus (ABK) dianggap berbeda dari kebanyakan
anak yang cenderung memiliki kemampuan rata-rata dalam cara tertentu.
Pengkategorian ABK dibagi menjadi dua, yaitu kategori high incidence, yaitu
kelainan yang memiliki frekuensi tinggi dan jumlahnya paling banyak, dan
kategori low incidence, yaitu kelainan yang lebih jarang terjadi. ABK yang
termasuk pada kategori high incidence adalah anak-anak yang menderita kesulitan
belajar, kelainan bahasa, gangguan emosi, dan gangguan intelektual ringan,
sedangkan ABK pada kategori low incidence adalah anak-anak yang menderita
penglihatan rendah atau kebutaan, tuli, kebutaan dan tuli, dan ketidakmampuan
intelektual yang parah (Kauffman, Hallahan & Pullen 2009). Dalam dinamika
dunia pendidikan, perlu disadari bahwa tidak semua anak memiliki kemampuan
yang sama, namun terdapat pula anak-anak dengan kebutuhan khusus. Tidak
hanya bicara soal kemampuan, ABK juga dapat memiliki gangguan belajar
(Kauffman & Hallahan, 2005a; Kauffman & Konold, 2007; Stitcher et al., dalam
Kauffman, Hallahan & Pullen 2009).
Pendidikan khusus adalah pendidikan yang disesuaikan dengan
kemampuan ABK sehingga anak tersebut bisa mendapatkan haknya akan
pendidikan. Pendidikan yang relevan bagi anak normal dapat dikatakan berbeda
dengan pendidikan yang relevan bagi ABK. Hal ini dikarenakan ABK
membutuhkan instruksi yang berbeda dari yang umumnya anak normal perlukan
(Kauffman & Hallahan, 2005a; Kauffman & Konold, 2007; Stitcher et al., dalam
Kauffman, Hallahan & Pullen 2009). Dalam aspek pendidikan, ABK adalah anakanak yang membutuhkan pendidikan dan pelayanan khusus dalam
mengembangkan potensi yang mereka miliki secara optimal (Kauffman, Hallahan
& Pullen 2009). Anak-anak seperti ini membutuhkan pendidikan khusus karena
mereka dianggap berbeda dari kebanyakan anak dalam beberapa cara, yaitu
mereka memiliki kekurangan intelektual, kekurangan dalam belajar atau atensi,
kelainan emosional atau perilaku, ketidakmampuan fisik, kelainan dalam
berkomunikasi, autisme, cidera otak traumatis, gangguan pendengaran, atau
memiliki bakat khusus (Kauffman, Hallahan & Pullen 2009).
Terkadang kurangnya kemampuan anak tidak pernah teridentifikasi, dan
konsekuensi bagi orang-orang terdekatnya atau bahkan orang-orang sekitarnya
akan sangat disayangkan. Terkadang ABK dapat teridentifikasi masalahnya,
namun pendidikan khusus tidak tersedia sehingga menyebabkan kesempatan
untuk perkembangan ABK ini menjadi sia-sia. Walaupun identifikasi awal dan
intervensi dapat sangat membantu sebagai pencegahan untuk resiko yang lebih
besar kedepannya, aksi pencegahan ini juga kadang tidak dilakukan. (Kauffman,
1999b, 2005b,; Stitcher et al., 2008 dalam Kauffman, Hallahan & Pullen 2009)
2
Pada tanggal 5 Oktober 2009, Kementerian Pendidikan Nasional
(Kemdiknas, sekarang Kementrian Pendidikan dan Budaya, Kemdikbud)
mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 tahun 2009 tentang
penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan
dan yang memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa (Mudjito dalam
Kemdikbud: Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Rendah 2014).
Tahun 2008, jumlah sekolah inklusif secara nasional dari SD hingga SMA hanya
254 sekolah, namun pada tahun 2014 jumlahnya meningkat signifikan menjadi
sebanyak 2.430 sekolah formal yang ikut berpartisipasi menyelenggarakan
pendidikan inklusif (Kemdikbud: Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus Rendah 2014).
Hingga kini, masih banyak kekurangan dalam pelayanan pendidikan ABK.
Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus Layanan Khusus (PKLK) Dirjen
Pendidikan Dasar Kemdikbud, Mudjito (dalam 184 Ribu Anak Berkebutuhan
Khusus Belum Nikmati Pendidikan 2013) mengatakan bahwa 184.000 ABK di
Indonesia belum menikmati pendidikan layaknya anak dengan kondisi mental dan
fisik normal. Mudjito (dalam 184 Ribu Anak Berkebutuhan Khusus Belum
Nikmati Pendidikan 2013) juga menyatakan bahwa dari total 300.000 ABK, baru
116.000 ABK yang tertangani dan masuk dalam pendidikan inklusif, dan sisanya
masih di bawah asuhan orang tua masing-masing. Selain kekurangan dari
pemerintah dalam melayani pendidikan ABK, pola pikir orang tua yang yang
merasa minder dengan anaknya yang berkebutuhan khusus juga menghambat
terpenuhinya hak ABK dalam menikmati pendidikan. Rasa minder yang dialami
orang tua ini menyebabkan adanya ABK ini disembunyikan oleh orang tuanya
karena mereka merasa malu dengan keadaan anaknya yang tidak sama seperti
anak-anak normal (dalam 184 Ribu Anak Berkebutuhan Khusus Belum Nikmati
Pendidikan 2013). Pola pikir seperti inilah yang seharusnya dihilangkan agar
tercipta kemajuan untuk pendidikan ABK.
Kurangnya pendidikan untuk ABK dapat menyebabkan ABK menjadi
penyebab bertambahnya angka pengangguran di Indonesia. Menurut data
organisasi buruh internasional (ILO) tahun 2013, dari 24 juta penyandang
disabilitas di Indonesia, baru sebesar 11 juta penyandang disabilitas yang
memiliki pekerjaan (24 Juta Penyandang Disabilitas Butuh Pekerjaan 2013). Hal
ini dikarenakan kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas disesuaikan dengan
jenis dan derajat disabilitas, pendidikan, dan kemampuannya. Apabila pendidikan
dan kemampuan dari ABK tidak dioptimalkan, maka kesempatan mereka dalam
mendapatkan pekerjaan ketika mereka sudah dewasa akan mengecil.
Masalah yang juga banyak terjadi pada ABK di Indonesia adalah proses
identifikasi ABK masih lemah. Di Indonesia telah tersedia sekolah yang melayani
pendidikan khusus. Pendidikan khusus tersebut disajikan dalam bentuk sekolah
disintegrasi atau biasa disebut sekolah luar biasa (SLB) dan sekolah inklusi. Di
Indonesia layanan untuk ABK pada kategori high incidence dengan kesulitan
3
belajar masih kurang perhatian. Padahal kenyataannya anak-anak yang memiliki
kesulitan belajar memiliki prevelansi terbesar dari ABK yaitu sebesar 43,6%
(Kauffman, Hallahan & Pullen 2009). Kurangnya perhatian bagi ABK dengan
masalah kesulitan belajar ini menyebabkan tidak terdeteksinya masalah tersebut
pada anak sehingga tidak ada penanganan yang tepat bagi anak-anak dengan
kesulitan belajar ini.
Hingga kini anak-anak yang terdeteksi dengan masalah kesulitan belajar
direkomendasikan untuk masuk ke sekolah inklusi, yaitu sebuah sekolah yang
mendidik ABK bersamaan dengan anak-anak normal lainnya, tanpa ada
perbedaan pelayanan terhadap anak normal dan ABK. Syarat untuk masuk ke
sekolah inklusi di Indonesia adalah, ABK yang mau masuk ke sekolah inklusi
harus memiliki IQ yang setara dengan anak normal (Kauffman, Hallahan & Pullen
2009). Kekurangan pada sekolah inklusi di Indonesia adalah tenaga pengajar
khusus untuk ABK di sekolah inklusi masih minim atau bahkan dapat dikatakan
tidak ada. Tidak adanya tenaga kerja yang mengerti mengenai penanganan ABK
dengan masalah kesulitan belajar ini menyebabkan masalah belajar pada ABK ini
tidak dapat teratasi.
Seharusnya sekolah inklusi yang didirikan di Indonesia sudah tersedia
dengan tenaga kerja yang memantau pendidikan ABK dengan kesulitan belajar
ini. Tidak dapat dipungkiri walaupun anak dengan kesulitan belajar tersebut
memiliki IQ yang setara dengan anak normal, namun mereka termasuk pada
klasifikasi ABK karena adanya masalah kesulitan belajar ini. Telah dijelaskan
pada bagian pendahuluan sebelumnya, bahwa ABK membutuhkan instruksi yang
berbeda dari yang umumnya anak normal perlukan, sedangkan sekolah inklusi di
Indonesia kini mengajarkan anak normal dan ABK menggunakan instruksi yang
sama. Sekolah inklusi di Indonesia nampaknya mengabaikan definisi pendidikan
bagi ABK, dilihat dari kesetaraan pelayanan pada ABK dan anak normal di
sekolah Inklusi di Indonesia.
Seharusnya sekolah inklusi di Indonesia dapat memberikan pelayanan
yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh ABK. Sekolah Inklusi tidak bisa
serta merta memberikan pendidikan dan instruksi yang sama untuk anak normal
pada ABK, karena pendidikan yang relevan bagi anak normal mungkin tidak
relevan bagi ABK. Dengan memberikan pendidikan khusus kepada ABK sampai
kepada jenjang wajib belajar Indonesia, maka ABK telah terbantu supaya masa
depannya dapat lebih baik, yaitu dengan memiliki peluang mendapatkan
pekerjaan yang lebih besar ketika mereka dewasa.
Tujuan
Tujuan dari penulisan gagasan tertulis ini adalah untuk menggagaskan
suatu sistem dan lembaga yang dapat membantu ABK agar dapat lebih mudah
mendapatkan haknya akan pendidikan. Salah satu tujuan dari pembuatan sistem
yang akan penulis ciptakan adalah untuk mengarahkan pemerintah agar
4
memberikan dukungan dalam memantau perkembangan seluruh anak di Indonesia
sejak lahir agar kelainan-kelainan yang dialami anak-anak Indonesia dapat
terdeteksi sejak dini, sehingga pendidikan khusus yang sesuai dapat segera
diberikan. Dengan begitu pendidikan yang didapatkan oleh ABK akan lebih
terjamin. Dengan adanya sistem yang membantu ABK dalam pendidikannya,
diharapkan agar ABK dapat mengoptimalkan kemampuannya dalam aspek
pendidikan, sehingga ABK dapat bersaing dengan anak normal.
Selain mengarahkan pemerintah agar memberikan dukungan dalam
pemantauan perkembangan seluruh anak di Indonesia, tujuan dari sistem yang
penulis buat ini adalah sebagai penuntun ABK dalam mendapatkan haknya akan
pendidikan hingga mereka dapat mandiri secara finansial. Dengan memantau dan
memberikan pendidikan khusus kepada ABK sampai kepada jenjang wajib belajar
di Indonesia, maka mereka telah terbantu agar masa depannya dapat lebih baik,
yaitu mereka dapat memiliki peluang mendapatkan pekerjaan yang lebih besar
ketika mereka dewasa.
Manfaat
Manfaat dari gagasan ini yaitu dapat memberikan informasi mengenai
sistem yang dapat digunakan untuk menangani ABK yang berada dalam
lingkungan anak normal. Seperti yang telah diketahui, sekolah inklusi adalah
sekolah umum yang menerima ABK untuk bersekolah di sekolahnya. Adanya
sistem dalam gagasan tertulis ini akan memudahkan ABK untuk belajar, karena
tenaga kerja yang disalurkan oleh lembaga dalam sistem ini telah terlatih untuk
mengajar ABK, tidak seperti guru di sekolah inklusi tersebut yang walaupun
mengajar di sekolah inklusi tetapi tidak dibekali ilmu untuk mengajar ABK. Guruguru yang hanya mengetahui cara mengajar anak normal tidak dapat mengajar
ABK secara optimal. Oleh karena itu, sistem dalam gagasan tertulis ini dapat
membantu ABK yang bersekolah di sekolah inklusi untuk dapat belajar dengan
instruksi khusus yang dipandu oleh tenaga pengajar yang terlatih untuk mengajar
ABK dari lembaga ini.
Selain itu, manfaat juga dapat dirasakan oleh orang tua dari ABK.
Lembaga dalam gagasan tertulis ini mendorong pihak-pihak yang bersangkutan
untuk dapat membantu mendeteksi kelainan anak sejak dini, sehingga apabila
anak mengalami kelainan, anak tersebut dapat langsung ditangani. Hal ini akan
memudahkan orang tua dari ABK tersebut untuk memberikan anaknya pendidikan
yang terbaik sejak dini.
Terakhir, lembaga ini dapat mengarahkan agar ABK dapat memiliki masa
depan yang lebih baik bagi, karena lembaga ini memantau perkembangan ABK
sejak ia lahir hingga ia dapat mandiri secara finansial. Lembaga akan memantau
dan menuntun perkembangan ABK sejak lahir hingga dapat menyelesaikan
jenjang pendidikan wajib di Indonesia, kemudian lembaga akan mencarikan
pekerjaan yang cocok dan sesuai dengan keterbatasan dan kemampuan yang
5
dimiliki oleh ABK ini. Dengan begitu ABK tidak akan tumbuh menjadi
pengangguran dan akan dapat hidup mandiri secara finansial walaupun dengan
segala keterbatasan yang mereka miliki.
GAGASAN
Kondisi Pendidikan Bagi ABK di Indonesia
Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus masih memiliki masalah
yang cukup rumit, mulai dari tingkat keluarga, lingkungan hingga sekolah
(Mudjito dalam 184 Ribu Anak Berkebutuhan Khusus Belum Nikmati Pendidikan
2013). Angka partisipasi pendidikan khusus di Indonesia masih rendah. Menurut
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Hamid Muhammad, hanya 164 ribu dari
1,6 juta ABK di Indonesia yang mendapat layanan pendidikan. (Kemendikbud
Jamin Layanan Pendidikan Khusus 2015).
Menurut peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 17 tahun 2010
tentang pengelolaan dan penyelanggaran pendidikan, pasal 129 ayat 3
menyebutkan bahwa peserta didik berkelainan terdiri atas tunanetra, tunarungu,
tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar,
autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
obat terlarang, dan zat adiktif lain, dan memiliki kelainan lain. Namun pada
pendidikan untuk ABK di Indonesia tidak semua kriteria yang telah disebutkan
masuk ke dalam kategori sekolah luar biasa (SLB). Ini membuktikan bahwa tidak
semua kriteria ABK mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kelainan yang
dideritanya. Lalu pada kriteria kesulitan belajar, tidak dijelaskan secara spesifik
kategori apa yang termasuk ke dalam kesulitan belajar apakah disleksia,
diskalkulia, dan lain sebagainya masuk ke dalam kriteria kesulitan belajar ataukah
kriteria yang lain. Selain itu korban penyalahgunaan narkotika, obat-obatan masuk
kedalam kriteria ABK sedangkan menurut penulis itu tidak termasuk kedalam
kriteria ABK karena penyalahgunaan narkotika adalah tindakan kriminal untuk
anak-anak. Pada pasal 131 ayat 4 disebutkan bahwa dalam menjamin
terselenggaranya pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 3 yaitu,
dilakukan dengan menetapkan paling sedikit 1 (satu) satuan pendidikan umum
dan 1 (satu) satuan pendidikan kejuruan yang memberikan pendidikan khusus.
Pemerintah kabupaten atau kota menyediakan sumberdaya pendidikan yang
berkaitan dengan kebutuhan peserta didik berkelainan. Pada ayat ke 5 juga
disebutkan bahwa perguruan tinggi wajib menyediakan akses bagi mahasiswa
berkelainan. Untuk pendidikan ABK di Indonesia yang sudah dijelaskan pada
pasal 131 ayat 4 dan 5, belum ada yang berjalan atau terjadi. Tujuan pendidikan di
Indonesiapun dinilai oleh penulis masih belum jelas.
Dengan jumlah angka yang menyatakan bahwa masih banyak ABK yang
belum dapat menikmati pendidikan seperti anak-anak dengan kondisi normal dan
pendidikan yang di peroleh oleh ABK masih relatif rendah, serta peraturan
6
pendidikan di Indonesia untuk ABK yang masih belum jelas atau tidak semua
terlaksana dengan baik membuktikan bahwa pelayanan pendidikan di Indonesia
khususnya untuk ABK masih belum sesuai, maka dari itu penulis membuat
gagasan untuk sebaiknya pemerintah membuat lembaga khusus yang bertanggung
jawab pada pendidikan ABK dari anak tersebut lahir hingga dapat mandiri secara
finansial.
ISI GAGASAN
Peneliti memiliki gagasan bahwa pemerintah sebaiknya membuat lembaga
khusus yang bertanggung jawab mengenai pendidikan ABK sejak anak tersebut
lahir hingga dapat mandiri secara finansial. Lembaga ini memiliki tugas antara
lain: mengidentifikasi dan evaluasi ABK, memberikan pembimbing untuk setiap
ABK, membuat program khusus yang disesuaikan dengan individu, mengevaluasi
goal dan keadaan anak, menjelaskan hak-hak orang tua, memastikan setiap ABK
mendapat pendidikan yang layak, serta membantu mengarahkan mereka untuk
mendapat pekerjaan ketika lulus sekolah. Pembuatan sistem pendidikan untuk
ABK dalam gagasan tertulis ini terinspirasi oleh hukum IDEA atau IDEIA yang
telah berjalan di Amerika Serikat.
IDENTIFIKASI - Dalam proses identifikasi dini ABK, lembaga akan
bekerja sama dengan seluruh rumah sakit di Indonesia, baik rumah sakit
pemerintah maupun rumah sakit swasta. Kerja sama antar lembaga dan rumah
sakit dilakukan dengan menempatkan 2-3 orang di setiap rumah sakit tersebut
sebagai tim yang bertanggung jawab kegiatan identifikasi ABK. Lembaga
mewajibkan dokter untuk melapor kepada tim yang berada di rumah sakit saat
terdapat hal yang janggal pada proses kehamilan, lahirnya bayi secara prematur,
hasil tes Apgar dibawah rata-rata, dan saat bayi tidak berkembang sesuai dengan
perkembangan yang semestinya. Selanjutnya rumah sakit juga diwajibkan untuk
memberi tahu orang tua dari anak tersebut bahwa bayinya memiliki kemungkinan
untuk memerlukan perawatan khusus terkait dengan kondisi anak tersebut dengan
mewajibkan orang tua untuk membawa bayinya ke dokter atau psikolog tumbuh
kembang. Perkembangan anak akan terus dipantau oleh dokter dan psikolog, dan
jika anak telah dinyatakan berkebutuhan khusus maka rumah sakit akan mengatur
janji antara orang tua anak, anak, dokter dan psikolog tumbuh kembang dan tim
lembaga di rumah sakit. Segala aktivitas terkait anak yang sudah memiliki tandatanda akan terlahir berkebutuhan khusus sampai didiagnosa berkebutuhan khusus
akan sepenuhnya dipantau, dikoordinasi dan dievaluasi oleh tim dari lembaga
yang berada di rumah sakit.
PEMBERIAN PEMBIMBING - Setelah pertemuan tersebut tim akan
memperkenalkan pembimbing dari lembaga untuk anak tersebut. Setiap ABK
memiliki hak untuk mendapatkan 1 orang pembimbing dari lembaga. Pembimbing
adalah seseorang yang kompeten dalam menangani ABK dalam ranah pendidikan
7
(sarjana psikologi yang telah dilatih oleh lembaga, psikolog pendidikan, psikolog
anak). Pembimbing adalah orang yang bertanggung jawab atas pendidikan ABK
tersebut, sehingga ia akan terus memantau dan mengevaluasi seluruh hal yang
berkaitan dengan pendidikan ABK yang berada dibawah bimbingannya. Tugas
pembimbing antara lain sebagai berikut: memberitahu hak-hak orang tua ABK,
menentukan goal ABK bersama anak dan orang tua, mengkomunikasikan segala
hal terkait dengan pendidikan ABK pada orang tua, membimbing, memantau dan
mengevaluasi perkembangan ABK dalam hal pendidikan, memantau
perkembangan ABK di sekolah dengan menelaah laporan dari tim lembaga di
sekolah, membuat kurikulum untuk ABK sesuai kemampuannya bersama tim
lembaga di sekolah / tim yang terkait pembuatan kurikulum untuk ABK.
Pembimbing wajib menemui ABK jika melihat ABK kesulitan dalam hal
pendidikan, dan ABK bersama orang tua juga wajib menemui pembimbing
minimal 6 bulan sekali.
PROSES SEBELUM MASUK SEKOLAH - Sebelum masuk ke sekolah
inklusi tentunya ABK memerlukan bantuan agar tidak terlalu kesulitan dan agar
dapat belajar dengan optimal di sekolah inklusi, sehingga ABK memerlukan
pembelajaran dasar. Namun sebelum proses pembelajaran dasar tersebut
berlangsung, tingkat intelegensi ABK akan dievaluasi terlebih dahulu dengan
melaksanakan tes IQ. Bagi ABK yang dengan IQ dibawah rata-rata nantinya akan
dimasukan ke sekolah luar biasa (SLB) sedangkan ABK yang IQ nya rata-rata
atau diatas rata-rata akan dimasukan ke sekolah inklusi. Setelah tes IQ, ABK akan
menjalani proses pembelajaran dasar. Proses pembelajaran dasar bagi ABK akan
dilakukan di gedung milik lembaga, dan ABK akan dikelompokkan dan
dimasukkan ke kelas-kelas berdasarkan kebutuhan khususnya. Dalam kelas
tersebut tiap tiga orang ABK minimal akan dibimbing oleh 1 orang guru yang
telah terlatih. Guru akan membimbing ABK sesuai dengan kemampuan ABK,
selanjutnya guru tersebut akan mengkomunikasikan kepada pembimbing ABK
mengenai kesulitan dan kemampuan anak tersebut dalam proses pembelajaran.
Setelah proses pembelajaran dasar sudah dirasa cukup, maka pembimbing akan
mengkomunikasikan kepada anak dan orang tua mengenai sekolah inklusi atau
SLB mana yang akan dipilih.
SEKOLAH INKLUSI - Sekolah inklusi yang dapat dipilih terdapat 2
macam, yakni sekolah swasta yang sudah ikut berpartisipasi dalam kegiatan
inklusi dan sekolah negeri diseluruh Indonesia. Pemerintah yakni kementrian
pendidikan bersama lembaga akan mewajibkan seluruh sekolah negeri di
Indonesia untuk menjalankan program inklusi dengan menerima ABK sesuai
kuota yang telah ditentukan yakni minimal 1% dari total jumlah murid. Dalam
sekolah inklusi swasta maupun negeri, ABK akan dimasukan kelas yang sama
dengan anak normal lainnya dan mereka akan mengikuti pembelajaran seperti
biasa. Pada sekolah inklusi, lembaga akan menempatkan timnya seperti di rumah
8
sakit. Tim lembaga yang berada di sekolah inklusi terdiri dari satu orang
penanggung jawab dan guru-guru khusus yang bertugas untuk mengajar atau
membimbing ABK di sekolah.
STANDAR NILAI UNTUK ABK - ABK yang masuk sekolah inklusi
akan mengikuti kurikulum nasional yakni kurikulum yang sama dengan anak
normal lainnya. ABK akan mengikuti kurikulum nasional karena mereka
dianggap mampu untuk mengikuti kurikulum tersebut karena IQ berada di ratarata atau diatas rata-rata. Namun walaupun ABK mengikuti kurikulum nasional,
tetapi ada standar nilai khusus yang diterapkan khusus bagi ABK. Standar nilai
khusus bagi ABK ini dibuat oleh guru khusus dikelas ABK bersama dengan
penanggung jawab di sekolah, pembimbing dan tim pendidikan lembaga, dengan
mengevaluasi nilai-nilai ABK, sikap ABK dikelas dan lain sebagainya.
MASUK SEKOLAH, tiap kelas yang mendapatkan murid ABK akan
diberikan guru khusus sehingga dalam 1 kelas terdapat 2 orang guru pengajar,
guru khusus tersebut akan membantu ABK dalam pengajaran dan pengerjaan soal.
Saat ABK memiliki kesulitan dan tidak bisa di atasi di dalam kelas, maka guru
khusus tersebut akan membawa ABK ke ruangan khusus dan membimbingnya
secara private. Tiap guru yang mengajar ABK dikelas akan menerapkan standar
nilai yang sesuai dengan kemampuan tiap ABK, selanjutnya ia juga wajib untuk
memberikan laporan kepada penanggung jawab ABK di sekolah yang selanjutnya
akan diteruskan kepada pembimbing ABK tersebut.
Segala kegiatan yang dilakukan lembaga diharapkan akan dibiayai oleh
negara, namun jika adanya keterbatasan dana maka akan dibuat 2 golongan, yakni
bagi golongan masyarakat menengah kebawah yang sudah memiliki Surat
Keterangan Tidak Mampu (SKTM) atau memiliki Kartu Keluarga Sejahtera
(KKS) akan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah, namun bagi golongan
masyarakat menengah keatas atau masyarakat golongan menengah kebawah yang
belum memiliki SKTM atau KKS akan dikenakan biaya sebesar 30% dan sisanya
akan mendapatkan subsidi dari pemerintah.
SETELAH LULUS SEKOLAH, ABK akan dievaluasi oleh
pembimbingnya dan dilihat sejauh mana kemampuannya. Selanjutnya setelah
mengetahui sejauh mana kemampuan dari ABK, pembimbing akan merujuk ABK
untuk bekerja pada pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan ABK tersebut.
Dengan begitu, ABK akan dapat memiliki pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuannya dan dapat hidup mandiri secara finansial.
KELEBIHAN
Kelebihan dari sistem yang ada pada gagasan tertulis ini adalah adanya
proses identifikasi, sehingga semua ABK akan terdeteksi kelainannya dan dapat
9
ditangani secepatnya. Kedua, yaitu pemberian pembimbing untuk tiap ABK
sehingga ABK akan dipantau secara langsung dan pembimbing anak tersebut akan
terfokus hanya pada satu anak. Ketiga, adanya standar nilai khusus bagi ABK. Hal
ini dibuat agar ABK tidak diberikan perlakuan dan instruksi yang sama dengan
anak normal, tetapi disesuaikan dengan kemampuan ABK ini. Keempat, adanya
guru khusus bagi ABK. Hadirnya guru khusus pada sistem pendidikan khusus
bagi ABK akan memenuhi kebutuhan ABK, karena guru khusus yang ada pada
lembaga ini adalah guru yang terlatih dan memiliki bekal pengetahuan tentang
bagaimana caranya untuk menangani ABK dengan baik.
INSTANSI YANG DAPAT DIAJAK KERJA SAMA
Instansi-instansi yang dapat diajak untuk bekerja sama dalam
pembentukan dan penjalanan sistem dalam lembaga ini adalah Pemerintah dan
Kementrian Pendidikan dan Budaya agar mau mendukung lembaga ini dalam
menangani ABK dan memberikan dana untuk lembaga dalam menjalankan segala
proses yang berhubungan dengan ABK, sekolah swasta dan negeri agar mau
mengembangkan sekolahnya untuk menjadi sekolah inklusi dan memberikan
dukungan dengan memperbolehkan tim pendidikan dari lembaga boleh ikut serta
di sekolah untuk menangani ABK, rumah sakit dan dokter anak untuk membantu
proses identifikasi dini ABK, Himpunan Psikologi Indonesia (HMPI) dan
Asosisasi Psikolog Pendidikan Indonesia (APPI) agar mau memberikan
kontribusinya dalam menangani ABK dengan ikut bergabung kedalam lembaga
atau melatih para sumber daya agar dapat lebih baik dalam menangani ABK.
10
KESIMPULAN
Pembuatan lembaga dan sistem dalam gagasan tertulis ini bertujuan untuk
memperbaiki kualitas pendidikan ABK dan membantu ABK agar bisa
mendapatkan haknya akan pendidikan, sehingga ABK nantinya akan dapat
memperoleh kemudahan dalam mendapatkan pekerjaan di masa depan. Proses
identifikasi yang dilakukan oleh lembaga dalam gagasan tertulis ini sangatlah
penting agar kelainan pada ABK dapat terdeteksi sejak dini, sehingga dapat segera
ditangani dan konsekuensi bagi orang-orang disekitar ABK tersebut tidak perlu
menjadi besar kedepannya. ABK di Indonesia kini belum dapat tertangani secara
optimal karena legislasi yang masih belum konsisten mengenai pendidikan ABK,
sehingga butuh diadakan revisi legislasi mengenai hal tersebut.
Tentunya lembaga dan sistem dalam gagasan tertulis ini masih memiliki
banyak hambatan, mulai dari ketersediaan instansi-instansi yang diharapkan dapat
mendukung berjalannya sistem dan pembentukan lembaga ini, besarnya dana
yang dibutuhkan untuk membentuk lembaga dan melatih para tenaga kerja untuk
mengajar ABK, legislasi yang belum konsisten mengenai pendidikan ABK, dan
sulitnya mendeteksi kelainan pada ABK jika tidak dipantau sejak lahir. Walaupun
pembentukan sistem dan lembaga dalam gagasan tertulis ini masih memiliki
banyak hambatan terkait dengan hal-hal tersebut, seharusnya hambatan-hambatan
tersebut dapat diatasi karena pendidian adalah salah satu prioritas utama bagi
bangsa, apalagi menyangkut dengan hak ABK yang tidak terpenuhi.
Saran yang dapat diberikan kepada pemerintah adalah, segera
dilakukannya revisi legislasi mengenai pendidikan ABK dan mempertimbangkan
agar sistem dan lembaga dalam gagasan tertulis ini dapat di implementasikan pada
sistem pendidikan di Indonesia. Selain itu, saran juga diberikan kepada orang tua
ABK agar jangan takut, ragu, atau malu untuk merujuk anaknya kepada psikolog
atau dokter anak apabila dicurigai mengalami kelainan belajar. Orang tua juga
harus memperhatikan perkembangan anaknya agar anak dapat diberikan
pendidikan yang sesuai dengan kemampuan dan keadaannya.
11
DAFTAR PUSTAKA
Hallahan, D.P., Kauffman, J.M. dan Pullen, P.C. 2013. Exceptional Learners:
Pearson New International Edition: An Introduction to Special
Education. New York: Pearson
Kemendikbud jamin layanan pendidikan khusus. (2015). Diakses dari
http://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2015/11/kemendikbud-jaminlayanan-pendidikan-khusus-4798-4798-4798
Kemdikbud: Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Rendah. (2014).
Diakses dari: http://hariansib.co/mobile/?open=content&id=30190
Taylor, R.L., Smilley, L.R. dan Richard, S.B. 2009. Exceptional Students:
Preparing Teachers for The 21st Century. (2nd edn). New York: McGraw
Hill
Vaughn, S., Bos, C.S., dan Schumm, J.S. 2011. Teaching Students Who Are
Exceptional, Diverse, and At Risk in the General Education Classroom.
(5th edn). New York: Pearson
184 ribu anak berkebutuhan khusus belum nikmati pendidikan. (2013). Diakses
dari
http://www.antaranews.com/berita/395235/184-ribu-anak-berkebutuhankhusus-belum-nikmati-pendidikan
24 Juta Penyandang Disabilitas Butuh Pekerjaan. (2013). Diakses dari
https://m.tempo.co/read/news/2013/10/15/173521813/24-jutapenyandang-disabilitas-butuh-pekerjaan