Pengantar Teori Dan Teori Filsafat

Kata Pengantar

Buku ini berasal dari bahan kuliah “Teori-Teori Filsafat” bagi mahasiswa/wi Jurusan Sastra Inggris Semester VII di STBA PERTIWI Bekasi. Atas dasar saran dan pendapat berbagai pihak,

bahan kuliah tersebut dibukukan supaya dapat dipergunakan dan dimanfaatkan pula untuk STBA-STBA lainnya di luar STBA PERTIWI dan oleh khalayak umum.

Buku-buku pengantar filsafat sudah sangat banyak jumlahnya. Buku sederhana di depan pembaca ini hanya ingin turut meramaikan, mencerahkan dan (syukur-syukur) mewarnai horizon dan wawasan kefilsafatan di Indonesia.

Yang membedakan buku ini dengan buku-buku pengantar serupa ialah pendekatannya terhadap tradisi kefilsafatan Barat ( Western Philosophy ) dan tradisi filsafat sedunia; buku ini menggunakan pendekatan yang disebut, meminjam istilah Enri que Dussel, “ interphilosophical dialog ” (pendekatan dialog antar-filsafat).

Walaupun mahasiswa/wi Sastra Inggris wajib tahu tradisi kefilsafatan Inggris (=Barat), tapi bukan berarti bahwa mereka hanya wajib tahu tradisi itu saja; mereka juga harus tahu tradisi kefilsafatan selain Barat ( Chinese Philosophy, Indian Philosophy, Indonesian Philosophy, African Philosophy, Japanese Philosophy, Australian Philosophy, Arabian Philosophy, dsb.), karena tradisi kefilsafatan selain Barat rupanya dan nyatanya lebih kaya nuansa dan lebih variatif tinimbang Barat.

Dengan pendekatan dialogis ini, semua tradisi kefilsafatan di seluruh dunia diletakkan dalam ruang dialogis, tanpa sekat, tanpa hirarki, tanpa dikotomi, tanpa diskriminasi; semua tradisi kefilsafatan itu dipercaya memberi kita pencerahan, pengetahuan, penyingkapan, kebijaksanaan. Juga, pendekatan dialog antar-filsafat ini sangat berguna untuk meruntuhkan, lagi- lagi meminjam terma Dussel, “ Philosophical Eurocentrism ” (Eropasentrisme Filosofis) —kepercayaan yang hegemonis bahwa hanya Filsafat Eropa (=Barat) sajalah satu-satunya filsafat yang universal, yang terbenar, yang terotentik, yang tervalid. Dengan meletakkan semua tradisi kefilsafatan sedunia dalam satu kamar dialogis, maka nampaklah dengan penuh kebeningan bahwa semua tradisi kefilsafatan tersebut sama-sama partikular, sama-sama benar, sama-sama otentik, sama-sama valid, dan yang paling penting adalah semua tradisi tersebut sama-sama pergi menuju satu destinasi intelektual ultimat: cinta kebijaksanaan ( philosophy ).

Siapa tahu, semua tradisi kefilsafatan yang didialogkan di sini dapat memberikan inspirasi, ilham, sugesti, latar-belakang, skemata bagi para mahasiswa/wi Jurusan Sastra Inggris untuk menciptakan karya-karya sastra yang bernilai tinggi kelak. Karya-karya sastra yang berlatar filosofis dan diilhami ide-ide filosofis sungguh akan bernilai tinggi.

Virus Rasisme Ketika belajar filsafat, ada satu virus yang harus diwaspadai karena ia sangat berbahaya. Virus

itu disebut virus ‘rasisme Barat’. Apa simtomnya? Jika Anda hanya tahu nama filosof Barat tapi tidak tahu nama filosof Cina, filosof India, filosof Jepang, apalagi filosof dari tanah airnya sendiri, maka Anda sudah terjangkit virus ini. Tapi, don ’t worry . Jika Anda terkena virus ini, Anda tidaklah sendirian; banyak sekali pelajar filsafat lain yang juga begitu.

Rasisme Barat pada mulanya menjangkiti para filosof dari Dunia Barat sendiri, tapi kemudian virus itu menyebar ke filosof-filosof di bagian dunia lainnya. Filosof Barat yang rasis di antaranya ialah David Hume, Hegel, Heidegger, dan lain-lain. David Hume pernah menyatakan bahwa hanya orang Barat sajalah yang bisa berfilsafat, sementara orang-orang di bagian dunia lainnya tidak bisa berfilsafat. Kata Hume:

I am apt to suspect the negroes, and in general all the other species of men (for there are four or five different kinds) to be naturally inferior to the whites. There scarcely ever was a civilized nation of any other complexion than white, nor even any individual eminent either in action or speculation. No ingenious manufactures amongst them, no arts, no sciences. On the other hand, the most rude and barbarous of the whites such as the ancient GERMANS, the present TARTARS, have still something eminent about them, in their valour, form of government, or some other particular. Such a uniform and constant difference could not happen, in so many countries and ages, if nature had not made an original distinction between these breeds of men. Not to mention our colonies, there are NEGROE slaves dispersed all over EUROPE, of whom none ever discovered any symptoms of ingenuity; though low people, without education, will start up amongst us, and distinguish themselves in every profession. In JAMAICA, indeed, they talk of one negroe as a man of parts and learning; but it is likely he is admired for slender accomplishments, like a parrot, who speaks a few words plainly (Hume 1994:86).

Virus ini terus disebar oleh para filosof Barat ke seluruh bagian dunia agar hanya filsafat mereka sajalah yang paling benar, yang universal, yang valid, yang absolut, yang menjadi kriteria satu-satunya, yang bisa membaptis seseorang sehingga menjadi filosof.

Sebab Mapannya Rasisme Barat Mengapa virus ‘rasisme Barat’ ini selalu terjadi di banyak kelas filsafat di Indonesia? Saya

menduga bahwa ini terjadi karena pengajaran filsafat di Indonesia meng-anaktiri-kan filsafat-filsafat selain Filsafat Barat. Padahal, banyak sekali wujud-wujud filsafat yang ada di dunia ini. Ada Filsafat Barat, ada Filsafat India, ada Filsafat Jepang, ada Filsafat Cina, ada Filsafat Afrika, ada Filsafat Arab, ada Filsafat Amerika Latin, bahkan ada pula Filsafat Indonesia.

Mengapa semua filsafat selain Filsafat Barat kok di-anaktiri-kan? Saya menduga lagi bahwa itu karena banyak pengajar atau dosen kelas fisafat tidak banyak mengekspose filsafat-filsafat non-Barat kepada mahasiswa/wi mereka. Jadi, kalau mahasiswa/wi yang ikut kelas filsafat tidak banyak tahu nama-nama filosof non-Barat, maka itu bukan salah mereka, tapi salah dosen mereka.

Saya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama yang sudah dilakukan dosen-dosen pendahulu yang pernah mengajar kelas filsafat. Karena itu, dalam buku saya ini, saya akan lebih banyak mengekspose filsafat-filsafat non-Barat di samping Filsafat Barat, sehingga Anda pembaca tidak lagi terjangkiti virus ‘rasisme Barat’ dan agar Anda memiliki pengetahuan yang memadai dengan tingkat yang seimbang mengenai Filsafat Barat dan filsafat-filsafat non-Barat. Supaya virus ‘rasisme Barat’ tidak akan menjangkiti pelajar filsafat lainnya di masa depan.

Menurut Enrique Dussel, seorang filosof Argentina, sekarang ini adalah saat di mana semua tradisi filsafat di dunia harus melakukan ‘dialog antar-filsafat’ ( inter-philosophical dialogue ) sehingga kolonialisme filosofis Barat dapat diruntuhkan dan dunia filsafat tidak hanya dunia filsafat Barat ( Western philosophical universe ), tapi dunia-dunia filsafat lainnya; dunia filsafat Cina, dunia filsafat Asia Tenggara, dunia filsafat Afrika, dan lain-lain ( World philosophical pluriverse ). Silahkan unduh artikel Enrique Dussel di situs saya ( http://independent.academia.edu/FerryHidayat ) yang berjudul “A New Age in the History of

Philosophy: the World Dialogue Between Philosophical Traditions ”, terutama baca halaman 12-20. Silahkan baca dan pahami pula dengan baik agar Anda paham mengapa ‘dialog antar-filsafat ’ merupakan keharusan bagi kalangan filosof di jaman mutakhir ini.

Mendialogkan Semua Tradisi Filsafat Dalam bagian daftar isi, saya daftarkan bab-bab dalam buku ini. Judul buku kita adalah

‘Pengantar Teori-Teori Filsafat’. Seperti yang Anda lihat nanti, dalam daftar isi, sengaja saya masukkan tradisi filsafat dari negeri-negeri non-Barat dengan maksud agar Anda kian terekspose dengan tradisi tersebut. Nanti, begitu Anda diminta ‘sebutkan nama-nama filosof Cina, filosof India, filosof Jepang, filsafat Arab ’ atau ‘sebutkan teori-teori filsafat dari Filsafat Cina dan India ’, Anda akan mampu menyebut nama-nama mereka dan teori-teori mereka dengan jumlah yang sama banyaknya dengan nama-nama filosof Barat dan teori-teori Barat yang telah Anda tahu.

Bukan hanya itu, dalam daftar isi, saya masukkan pula tradisi filsafat yang selama ini dipinggirkan oleh lingkaran filosofis arus-utama, yaitu Filsafat Feminisme dan Filsafat Queer (LGBT). Juga, saya masukkan kajian filsafat yang teranyar, yaitu Filsafat Pop (filsafat yang dituang lewat media komik dan media film) dan Filsafat Pembebasan yang dibangun oleh Enrique Dussel. Terakhir, kita akan mengukur sejauh mana dan secanggih mana kefilsafatan yang ada dalam tradisi Filsafat Indonesia dengan alat ukur taksonomi Bloom dan mengaplikasikannya untuk mengritik buku-buku filsafat yang beredar di Indonesia dalam sepuluh-duapuluh tahun belakangan ini. Harapan saya adalah semoga Anda pembaca mendapatkan wawasan yang cukup luas dalam pemahaman teori filsafat yang Anda pelajari di buku ini.

Semoga suguhan yang bersahaja ini dapat sedikit-duadikit memberi pembaca gambaran umum apa saja teori-teori filsafat yang telah dikembangkan, disemai, dituai, dan diciptakan oleh para pecinta kebijaksanaan ( philosophoi ) dari negeri-negeri warna-warni di atas muka bumi ini.

Bekasi Utara, Desember 2016

F.H.

Bab Pertama: Beberapa Permasalahan

Masalah Definisi Filsafat Biasanya, pada kuliah perdana mereka, dosen-dosen filsafat menjelaskan definisi filsafat

dengan cara membanding-bandingkannya dengan agama dan sains, lalu menegaskan bahwa filsafat tidak membutuhkan sains dan agama; filsafat berdiri sendiri di atas sains dan agama; filsafat bahkan bertindak kritis atas sains dan agama. Ketahuilah bahwa dosen-dosen seperti ini sudah memihak ( partisan ); mereka sudah tidak netral dan tidak adil; mereka sudah menggunakan definisi filsafat khas abad 18 di Dunia Barat sekuler, dimana Filsafat Barat sudah anti agama Katolik (agama resmi di Barat di jaman itu), sudah atheis dan sudah sekuler. Padahal, masih banyak kok definisi filsafat yang lebih adil, netral, dan tidak partisan.

Dalam buku ini saya menggunakan definisi filsafat yang sebisa-bisanya adil, netral, dan tidak partisan. Surprisingly , definisi filsafat yang pertama-mula dan paling mula-mula dari Pythagoras (sekitar 582-507 sebelum Masehi) justru adalah definisi yang paling adil, paling netral, dan paling tidak partisan. Ketika Pythagoras ditanya ‘apakah Anda seorang yang bijak dan ilmuwan ( sophos )?,’ dia menjawab ‘aku hanya seorang pecinta kebijaksanaan dan pecinta ilmu ( philosophos ).’ (Kenny 2004:9).

Kehidupan Pythagoras sebagai seorang philosophos (pecinta kebijaksanaan/ilmu) yang tidak berat sebelah pada satu jenis pengetahuan saja di antara tiga pengetahuan yang sudah ada di jamannya (yakni sains, filsafat, dan agama) tercermin dari tindak-tanduk selama hidupnya. Ia mendirikan satu komunitas. Mereka berpantang makanan (diet), menjalankan sejenis perayaan doa dan upacara, percaya akan terjadinya reinkarnasi, memainkan musik dan meneliti rahasia misteri angka-angka dan wujud-wujud angka di alam semesta (Kenny 2004:9-11). Dari situ kita bisa nilai: di komunitas itu Pythagoras sang philosophos bersama dengan murid-muridnya menjalankan sejenis agama dan sains dan tentu saja juga filsafat. Ketiganya menyatu dalam naungan ‘cinta kebijaksanaan’ ( philosophy ) yang ia jalani dalam hidupnya.

Setelah jaman Pythagoras, definisi philosophy (cinta kebijaksanaan) dan philosophos (orang yang pecinta kebijaksanaan) dipisah dari agama dan sains, lalu diperkecil lingkupnya. Apa contohnya? Mari kita baca satu definisi filsafat dari I. Frolov dalam bukunya Dictionary of Philosophy (1984).

Dalam kamus filsafatnya itu, Frolov mendefinisikan filsafat (Gambar 1) sebagai satu ilmu yang mempelajari hukum-hukum umum daripada wujud (yaitu hukum-hukum umum tentang alam semesta dan masyarakat) dan penalaran manusia. Itu thok . Tak ada tambahan apa-apa lagi. Jadi, filsafat sudah terpisah dari agama dan dari sains.

Gambar 1

Lalu, Frolov pun mendefinisikan agama (Katolik/Protestan) sebagai ‘refleksi fantastis tentang kekuatan-kekuatan eksternal yang menguasai manusia, yang tersimpan dalam jiwa manusia, di mana daya-daya alamiah disangka daya-daya adi-alami ah’ (Gambar 2).

Gambar 2

Terakhir, Frolov mendefinisikan sains sebagai ‘lapangan penelitian yang ditujukan untuk menemukan pengetahuan yang lebih luas mengenai alam, masyarakat, dan pikiran.’ (Gambar 3).

Gambar 3

Begitulah Frolov mendefinisikan filsafat; ia memisah-misahkannya dari agama dan sains dengan pemisahan yang kaku, ketat, dan beku. Sungguh berbeda dengan definisi filsafat yang paling mula-mula, yang pertama kali diciptakan Pythagoras!

Dalam buku ini, saya lebih memilih definisi filsafat Phythagoras dengan alasan tadi: lebih adil, lebih longgar, lebih netral, tidak partisan, tidak kaku, tidak beku, tidak kolot.

Dengan menggunakan definisi filsafat dari Pythagoras, maka kita jadi dapat memasukkan tradisi filsafat yang terinspirasi dari ajaran relijius (Yahudi, Kristiani, Islam, Buddha, Hindu, Konghucu, dan lain-lain), yang terinspirasi dari Feminisme dan Queer Studies (Kajian LGBT), terinspirasi dari budaya pop (film, komik, dan industri pornografi). Bahkan, kita juga bisa memasukkan tradisi filsafat yang terinspirasi dari ajaran-ajaran adat suku-suku pribumi (filsafat etnis, ethnophilosophy ).

Sebutan Pribumi Lokal Suku-suku pribumi (suku adat) Indonesia memiliki kata-kata tersendiri untuk menyebut

aktivitas berpikir. Mereka tidak menyebutnya dengan sebutan ‘ filsafat ’, karena mereka memang tidak memakai sebutan itu; mereka punya sebutan lokal yang asli pribumi. Apa itu? Misalnya, aktifitas berpikir disebut dalam bahasa Gaay dengan ‘ petmiwik ’; dalam bahasa Day ak Kenya Badeng ‘ ngerima ’; dalam bahasa Punan ‘petmuk ’; dalam bahasa Segaai ‘ ngensang ’; dalam bahasa Kanayan Saham ‘ ngasek ’; dalam bahasa Dayak Ribun ‘ pikiyeh ’; dan dalam bahasa Tanap ‘ tenteh ’. Menganalisa alam semesta dan memeriksanya dengan kritis disebu t orang Minang dengan ‘ pareso ’ (‘periksa’). Untuk daftar lengkap sebutan lokal untuk aktivitas berpikir kritis, baca artikel Ferry Hidayat berjudul “Argumen Morfologis-Historis tentang Keberadaan Filsafat Indonesia” di http://independent.academia.edu/FerryHidayat .

Trus, orang Jawa menyebut aktivitas berpikir kritis dan radikal dengan sebutan lokal, ‘ Ngelmu ’. Dalam adat Jawa, ‘pengetahuan filsafati’ disebut dengan sebutan-sebutan lokal dan terbagi menjadi 3 jenis: (1) condro atau ‘filsafat manusia’; (2) katuranggan atau ‘filsafat binatang’; dan (3) wirasat atau alamat , yakni ‘filsafat benda-benda’ (Hadikoesoemo 1988:4-6).

Dan masih banyak lagi sebutan lokal lainnya yang dipakai oleh komunitas filosof di banyak bagian dunia lainnya yang selain Dunia Barat. Misalnya, sekolah pendidikan filsafat di Amerika Latin disebut dalam bahasa lokal suku Aztek, Calm écac (Dussel 2008:6). Dalam tradisi Islam, ada kata Al- ‘ilm , yang maknanya mencakup semua pengetahuan yang diketahui manusia, termasuk filsafat (Rosenthal 2007:1-4). Dalam bahasa Tagalog di Filipina, kegiatan berpikir disebut dengan bahasa lokal, Dunong (Mercado 2006:14).

Eurosentrisme Filosofis Dalam artikelnya “A New Age in the History of Philosophy”, Enrique Dussel bercerita bahwa

mulai tahun 1492, orang Barat/Eropa mendominasi dan menjajah sebagian besar bagian dunia, terutama di negeri-negeri Timur. Untuk mensahkan penjajahan mereka, maka para penjajah Barat lalu menciptakan filsafat. Filsafat inilah yang dinamakan ‘Filsafat Eropa Modern’ ( Modern European Philosophy ). Filsafat ini berkembang pesat dan disebarluaskan ke dalam koloni-koloni mereka di seluruh bagian dunia, sehingga filsafat tersebut merajai dan menguasai lalu meminggirkan tradisi filsafat lokal di negeri jajahan mereka. Dengan kata lain, Filsafat Eropa Modern ikut menjajah filsafat lokal negeri jajahan bersama-sama dengan para penjajah. Akibatnya, tradisi filsafat lokal pun lambat laun sekarat, hingga akhirnya mengalami kelumpuhan dan mati. Jadi, pada saat Filsafat Eropa Modern berkembang justru filsafat lokal malah mati, seperti filsafat di negeri Cina (di abad 16 M), filsafat di negeri Arab (di abad 15 M) mulai tahun 1492, orang Barat/Eropa mendominasi dan menjajah sebagian besar bagian dunia, terutama di negeri-negeri Timur. Untuk mensahkan penjajahan mereka, maka para penjajah Barat lalu menciptakan filsafat. Filsafat inilah yang dinamakan ‘Filsafat Eropa Modern’ ( Modern European Philosophy ). Filsafat ini berkembang pesat dan disebarluaskan ke dalam koloni-koloni mereka di seluruh bagian dunia, sehingga filsafat tersebut merajai dan menguasai lalu meminggirkan tradisi filsafat lokal di negeri jajahan mereka. Dengan kata lain, Filsafat Eropa Modern ikut menjajah filsafat lokal negeri jajahan bersama-sama dengan para penjajah. Akibatnya, tradisi filsafat lokal pun lambat laun sekarat, hingga akhirnya mengalami kelumpuhan dan mati. Jadi, pada saat Filsafat Eropa Modern berkembang justru filsafat lokal malah mati, seperti filsafat di negeri Cina (di abad 16 M), filsafat di negeri Arab (di abad 15 M)

Nah, pertanyaannya sekarang: “Apakah kita yang merdeka dari penjajahan orang Eropa/Barat sudah merdeka pula dari Eurosentrisme Filosofis?” Celakanya, jawabannya adalah belum sama sekali. Di Indonesia saja kita masih menemukan banyak tanda-tanda Eurosentrisme Filosofis dalam kajian-kajian filsafat, apalagi di negara-negara lain!!

Apa tandanya bahwa Eurosentrisme Filosofis masih bercokol di alam kemerdekaan ini? Salah satu tandanya ialah pada masalah kategorisasi filsafat. Banyak dosen-dosen filsafat yang masih memakai kategorisasi filsafat ala Eropa/Barat masa kolonial, dan mereka masih merasa tidak perlu menciptakan kategorisasi filsafat alternatif walaupun itu malah bisa jadi lebih baik daripada kategorisasi filsafat ala Barat/Eropa kolonial itu.

Kategorisasi Filsafat ala Penjajah Eropa Seperti apakah kategorisasi filsafat ala penjajah Eropa yang masih kita lestarikan walaupun kita

sudah lepas dari kolonialisme Eropa itu? Dalam buku-buku sejarah filsafat standard, biasanya filsafat di Eropa dibagi dalam empat kategori: 1) Filsafat Zaman Klasik/Kuno ( Ancient/Antiquity

Philosophy ) ; 2) Filsafat Zaman Pertengahan ( Medieval Philosophy ); 3) Filsafat Zaman Modern ( Modern Philosophy ); dan 4) Filsafat Zaman Pasca-Modern ( Post-modern Philosophy ).

Jika kategorisasi itu diterapkan hanya dalam buku-buku filsafat Eropa, maka itu tidak menimbulkan masalah. Justru, itu menjadi masalah besar jika diterapkan juga dalam buku-buku filsafat di negeri-negeri non-Barat. Tapi, itulah kenyataannya dewasa ini.

Kalaulah yang menulis buku itu orang Barat, kita masih bisa menganggapnya wajar (wajar karena dia memang penjajah dan ia pasti Eurosentris!), tapi kalau yang menulis buku itu orang non-Barat, itu sangat tidak wajar, dan itulah tanda masih kokohnya Eurosentrisme Filosofis di zaman pasca-kolonial ini!!

Buku-Buku yang Ditulis Orang Eropa Contoh buku-buku filsafat non-Barat yang ditulis oleh penulis Barat dan yang menggunakan

kategorisasi filsafat ala Barat kolonial adalah berikut ini:

1. Routledge History of World Philosophies: History of Jewish Philosophy yang diedit oleh Oliver Leaman & Daniel H. Frank (Routledge, London & New York, 1997). Dalam buku ini, Oliver Leaman & Frank membagi Filsafat Yahudi ke dalam 4 kategori: 1) Filsafat Yahudi Zaman Permulaan ( Foundational Jewish Philosophy ); 2) Filsafat Yahudi Zaman Pertengahan ( Medieval Jewish Philosophy ); 3) Filsafat Yahudi Modern ( Modern Jewish

Philosophy ); dan 4) Filsafat Yahudi Kontemporer ( Contemporary Jewish Philosophy ).

2. Islamic Philosophy and Theology: An Extended Survey karangan W. Montgomery Watt (Edinburgh University Press, Edinburgh,1985). Dalam buku ini, Watt membagi Filsafat

Islam ke dalam 3 kategori: 1) Filsafat Islam Klasik ( Classical Islamic Philosophy ); 2) Filsafat Islam Zaman Pertengahan ( Middle Ages Islamic Philosophy ); dan 3) Filsafat

Islam di Zaman Modern ( Islamic Philosophy in Modern Period ).

3. Artikel Thomas P. Kasulis berjudul “Japanese Philosophy” (hal. 463-474) dalam The Shorter Routledge Encyclopedia of Philosophy karangan Edward Craig (Routledge, London & New York, 2005). Dalam buku ini, Thomas Kasulis membagi Filsafat Jepang dalam 3 kategori: 1) Filsafat Jepang Zaman Kuno ( Archaic ); 2) Filsafat Jepang Zaman Pertengahan ( Medieval ); dan 3) Filsafat Jepang Zaman Modern ( Modern Japanese Philosophy ); dan lain-lainnya.

Buku-Buku yang Ditulis Orang Non-Barat Contoh buku-buku filsafat non-Barat yang ditulis oleh penulis non Barat tapi malah

menggunakan kategorisasi filsafat ala Barat kolonial adalah berikut ini:

1. Routledge History of World Philosophies: History of Chinese Philosophy yang diedit oleh Bo Mou (Routledge, London & New York, 2009). Di dalam buku ini, Bo Mou (yang orang Cina asli) menggunakan kategorisasi filsafat ala Barat kolonial untuk filsafat Cina. Menurut Bo Mou, Filsafat Cina dibagi dalam dua kategori: 1) Filsafat Cina Klasik ( Classical Chinese Philosophy ); 2) Filsafat Cina Modern ( Modern Chinese Philosophy ).

2. Islamic Philosophy, Theology and Mysticism: A Short Introduction dan

A History of Islamic Philosophy (Columbia University Press, New York, 2004) dua-duanya adalah

karangan Majid Fakhry. Dalam kedua buku ini, Fakhry (yang orang Arab asli) menggunakan kategorisasi filsafat ala Barat ke dalam Filsafat Islam. Menurutnya, Filsafat Islam terbagi dalam 2 kategori: 1) Filsafat Islam Klasik dan 2) Filsafat Islam Zaman Modern; dan masih banyak lagi yang lainnya.

Bahaya Meng- Copy Paste Sekilas, tidak nampak bahaya dalam pemakaian kategorisasi ala Barat itu terhadap tradisi

Filsafat non-Barat. tapi, jika ditelusuri lebih dalam lagi, maka akan nampaklah bahaya-bahayanya. Apa saja bahayanya? Pertama, kategorisasi filsafat ke dalam kategori zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern, dan zaman modern justru memberi kesan bahwa filsafat di seluruh dunia berkembang melalui tahap-tahap yang sama dan serupa dengan yang di negeri Barat, (yaitu klasik, pertengahan, modern, dan pasca-modern), padahal tahap-tahap filsafat di banyak negeri non-Barat bisa saja lebih variatif daripada di

Barat; Kedua , kategorisasi ala Barat tadi malah memusingkan dan membingungkan. Jika diterapkan pada Filsafat Indonesia, misalnya, maka itu akan sangat problematis. Hidayat, dalam bukunya Pengantar Menuju Filsafat Indonesia (2005), mengatakan:

Sekilas nampaknya periodisasi tadi tidak problematik, tapi jika ditelaah lebih dalam mengandung banyak persoalan. Persoalan-persoalan yang muncul ialah seperti: perbedaan apakah yang paling signifikan antara Filsafat Indonesia pada era Klasik, era Modern, dan era Kontemporer itu? Apakah perbedaan periode itu didasarkan pada perbedaan point of concern (pusat perhatian) yang dikaji filosof di era tertentu? Apakah perbedaan antara ‘yang klasik’ dengan ‘yang modern’ hanyalah perbedaan antara

‘yang menolak’ dengan ‘yang menerima’ pengaruh Barat? Apakah perbedaan periode hanya sekadar penanda waktu, dari satu ‘titik pemberhentian’ ke ‘titik pemberhentian’ selanjutnya? Jika ya, apa yang membedakan ‘titik pemberhentian’ yang satu dengan ‘titik-titik’ yang lain? Apakah yang membedakan ‘yang klasik’ dan ‘yang modern’ hanyalah sekadar perpindahan tema filosofis ( thematic shift )?

Banyaknya persoalan yang muncul dengan mengikuti periodisasi ala Barat dan Cina menunjukkan, bahwa model periodisasi seperti itu tidak tepat untuk sejarah Filsafat

Indonesia. Harus dicari model periodisasi lain yang dapat memuat kurang-lebih segala filsafat yang pernah diproduksi sejak era neolitikum hingga sekarang... (Hidayat 2005:25).

Ketiga , dan yang paling berbahaya, ialah adanya ‘agenda terselubung’ atau adanya kesengajaan dari para dosen tersebut untuk mengatakan bahwa ‘yang modern’ (maksudnya, Filsafat Barat Modern) selalu hadir (dan berhasil menyerang) dalam setiap tradisi filosofis di seluruh belahan dunia sebagai ‘pihak pemenang’, yang justru malah melestarikan Eurosentrisme Filosofis tadi.

Kategorisasi Alternatif Banyak sekali kategorisasi filsafat alternatif yang bisa kita buat, untuk menghancurkan

Eurosentrisme Filosofis tadi, yaitu:

1. Membuat kategorisasi filsafat dengan menyebut filosof dari setiap zaman satu per satu. Misalnya, kategorisasi yang dipakai H.G. Creel dalam buku klasiknya Chinese Thought: From Confucius to Mao Tse-Tung (1960). Dia membagi filsafat di Cina berdasarkan kemunculan filosofnya berdasarkan tempat si filosof hidup, zaman di saat dia hidup, dan topik filosofisnya yang khas.

Membuat kategorisasi filsafat berdasarkan pengaruh-pengaruh yang datang dari luar negeri. Misalnya, kategorisasi yang dipakai Ferry Hidayat dalam bukunya Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia (2004). Dia membagi filsafat di Indonesia berdasarkan pengaruh filsafat asing yang datang ke Indonesia, yakni ‘Filsafat Timur’, ‘Filsafat Barat’, ‘Filsafat Islam’, ‘Filsafat Kristen’; dan masih banyak lagi kategorisasi filsafat yang tidak melulu mesti mengikuti ala Barat (Klasik, Pertengahan, Modern, Pascamodern, Kontemporer).

Referensi Coetzee, P.H. & Roux, A.P.J. (eds.). (2003). The African Philosophy Reader. Routledge. Great Britain.

Dussel, Enrique. (2008). “A New Age in the History of Philosophy: the World Dialogue Between Philosophical Traditions”. In Journal of Philosophy and Religion PRAJ ŇĀ VIHĀRA, Vol. 9 No. 1 January-June, Assumption University of Thailand.

Frolov, I. (1984). Dictionary of Philosophy. trans. Murad Saifulin and the late Richard R. Dixon. Progress Publishers. Moscow. Hadikoesoemo, R.M. Soenandar. (1988). Filsafat Kejawan: Ungkapan Lambang Ilmu Gaib dalam Seni

Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba. Penerbit Yudhagama Corporation. Jakarta. Hidayat, Ferry. (2004). Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia, HPI Press, Jakarta. Hidayat, Ferry. (2005). Pengantar Menuju Filsafat Indonesia, HPI Press, Jakarta. Kasulis, Thomas P. “Japanese Philosophy”, dalam Craig, Edward. (2005). The Shorter Routledge

Encyclopedia of Philosophy, Routledge, London & New York, hh. 463-474. Kenny, Anthony. (2004).

A New History of Western Philosophy, Volume I: Ancient Philosophy. Clarendon Press. Oxford. Leaman, Oliver. & Frank, Daniel H. (1997). Routledge History of World Philosophies: History of Jewish Philosophy, Routledge, London & New York. Majid, Fakhry. (2004). Islamic Philosophy, Theology and Mysticism: A Short Introduction, Columbia University Press, New York. Majid, Fakhry. (2004).

A History of Islamic Philosophy, Columbia University Press, New York. Mercado, Leonardo N. (2006). The Filipino Mind: Philippine Philosophical Studies II. CRVP. Washington. Mou, Bo. (2009). Routledge History of World Philosophies: History of Chinese Philosophy, Routledge,

London & New York. Rosenthal, Franz. (2007). Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam. Brill. Leiden & Boston. Watt, W. Montgomery. (1985). Islamic Philosophy and Theology: An Extended Survey, Edinburgh University Press, Edinburgh.

Bab Kedua: Filsafat Epistemologi

Filsafat Pengetahuan atau Filsafat Epistemologi adalah salah satu ilmu Filsafat yang mencari jawaban atas soal- soal berkaitan dengan pengetahuan, seperti “apa itu tahu dan tidak tahu?”, “apa yang bisa manusia ketahui dan yang tidak bisa manusia ketahui?”, “apa itu pengetahuan?”, “ada berapa jeniskah pengetahuan?”, “apa ukuran yang dipakai untuk mengukur kebenaran pengetahuan kita”, dsb.

Filsafat Epistemologi telah dikaji oleh banyak filosof dari beragam negeri. Berikut ini akan kita jelaskan Filsafat Epistemologi yang dikembangkan di Dunia Barat (yang Kristiani dan yang Sekuler), di Dunia Islam dan yang di India.

Epistemologi di Dunia Barat Kristiani

Wakil terbaik dari filosof di Dunia Barat Kristiani adalah St. Augustine of Hippo (354-430 M). Menurut St. Augustine, pengetahuan manusia itu terbagi ke dalam 4 jenis:

1. Pengetahuan yang bersumber dari panca indera ( sensation ). Pengetahuan dari indera bisa saja salah. Misalnya, kita masukkan satu tongkat yang lurus ke dalam air, maka mata kita menangkap bahwa tongkat itu bengkok (Kenny 2005:175). Juga, pada saat kita bermimpi. Kita merasa melihat sesuatu, padahal kita sedang bermimpi. Akan tetapi indera kita tidak bisa membedakan mana yang mimpi dan mana yang bukan mimpi. Karena itulah pengetahuan dari indera bisa salah (Aspell 2006:8). Pengetahuan dari indera, walaupun salah, masih berguna buat kita; kita bisa memperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang berubah (seperti warna-warna, bentuk-bentuk) dan yang sementara (seperti tua-muda, kemarin-sekarang) (Aspell 2006:8).

2. Pengetahuan yang bersumber dari akal ( intellection ). Misalnya, kesimpulan-kesimpulan yang kita buat atau penilaian-penilaian kita atas sesuatu (Kenny 2005:157).

3. Pengetahuan yang bersumber dari cahaya pengetahuan Ilahi ( illumination ). St. Augustine percaya akan adanya ‘Akal Ilahi’ ( the Mind of God ), yang darinya cahaya pengetahuan ilahi ( illumination ) berasal . Dengan ‘Akal’ Nya ini, Tuhan menerangi akal manusia dengan pengetahuan-pengetahuan yang pasti, seperti pengetahuan matematis (satu tambah satu sama dengan dua) atau pengetahuan geometris. Juga pengetahuan akan adanya Tuhan (Aspell 2006:10).

Epistemologi di Dunia Barat Sekuler

Dunia Barat mengalami sekularisasi sejak abad 18 M hingga sekarang. Para filosof di zaman ini umumnya berkarakter sekuler (memisahkan filsafat dari agama Kristiani) bahkan ada pula yang atheist (tidak percaya Tuhan yang diajarkan dalam tradisi Kristiani). Wakil paling ‘parah’ dari filosof sekuler Dunia Barat di zaman ini adalah Karl Marx (1818-1883).

Menurut Marx, pengetahuan manusia itu bersumber dan berasal dari masyarakat dimana ia hidup. Masyarakat itu memproduksi pengetahuan, lalu pengetahuan itu diwariskan lewat pendidikan (sekolah, pabrik, gereja, dll.) kepada seseorang. Misalnya, masyarakat petani memproduksi pengetahuan akan pertanian; masyarakat peladang memproduksi pengetahuan akan perladangan; masyarakat pelaut memproduksi pengetahuan akan kelautan; masyarakat industrial memproduksi pengetahuan mengenai industri dan bisnis. Semua pengetahuan itu lalu diwariskan kepada generasi berikutnya lewat pendidikan.

Pengetahuan yang diwariskan tadi banyak ragamnya, yaitu filsafat, agama, sains, dan kebiasaan-kebiasaan umum.

Masyarakat petani memproduksi filsafat-agama-sains-kebiasaan yang berkaitan dengan pertanian (contohnya, agama yang percaya adanya ‘Dewi Sri’, dewi penumbuh padi); masyarakat peladang memproduksi filsafat-agama-sains-kebiasaan yang berkaitan dengan perladangan (contohnya, agama yang pe rcaya bahwa Raja adalah titisan dewa, ‘Kultus Dewaraja’); masyarakat pelaut memproduksi filsafat-agama-sains-kebiasaan yang berkaitan dengan kelautan (contohnya, agama yang percaya adanya ‘Nyi Roro Kidul’ atau ‘Mambang Laut’); masyarakat industri kapitalis memproduksi filsafat-agama-sains-kebiasaan yang berkaitan dengan industri kapitalis (contohnya, prinsip ‘kerja itu ibadat’ yang diajarkan Kristen Protestan).

Marx menyebut semua pengetahuan dari masyarakat itu (filsafat, agama, sains, kebiasaan setempat, opini, dsb.) dengan sebutan ‘kesadaran sosial’ ( social consciousness ) (Frolov 1984:383-384).

Kalau kita bandingkan epistemologi St. Augustine dengan epistemologi Marx ini, maka terlihatlah kontras yang amat besar. Augustine masih percaya akan adanya pengetahuan yang berasal dari sensation, dari intellection dan dari illumination , sedangkan Marx menghapus semua itu dengan menegaskan bahwa segala pengetahuan itu berasal dari masyarakat. Jadi, pengetahuan keagamaan bukan berasal dari Firman Tuhan, tapi dari warisan masyarakat di mana seseorang bersosialisasi.

Epistemologi di Dunia Islam

Wakil dari filosof di Dunia Islam adalah al-Ghazzali (1058-1111).

Menurut al-Ghazzali, manusia memiliki 3 (tiga) sumber pengetahuan, yaitu panca-indera, otak, dan Al- ‘Aql . Panca-indera dan otak diciptakan Tuhan untuk manusia dan hewan, tetapi Al- ‘Aql adalah ciptaan Tuhan yang sengaja diciptakanNya dalam diri manusia, yang membedakan manusia dari binatang (Umaruddin 1995:18-24).

Panca-indera memiliki daya pendengaran, daya peraba, daya pengecap, daya penglihatan, dan daya penciuman yang memungkinkan manusia memperoleh pengetahuan. Otak memiliki daya imajinasi, daya refleksi, daya rekoleksi, daya memori, dan daya akal sehat yang memungkinkan manusia memperoleh pengetahuan darinya. Sedangkan Al- ‘Aql memiliki daya membangun generalisasi dan daya membangun konsep-konsep, daya mengetahui kebenaran yang abstrak, dan daya mengetahui kebenaran yang self-evident (kebenaran matematis bahwa 1+1=2), daya mengetahui hal-hal ruhaniah yang tak terhingga, serta daya memahami hakikat segala sesuatu, yang memungkinkan manusia memperoleh pengetahuan darinya (Umaruddin 1995:18-24).

Pengetahuan yang dapat manusia peroleh dari panca-inderanya ialah pengetahuan tentang wujud fenomenal ( phenomenal existential knowledge ), seperti warna, bentuk, bahan materi, dan perubahan-perubahan di alam (Umaruddin 1995:36). Sedangkan pengetahuan yang dapat manusia peroleh dari otaknya dan dari Al- ‘Aql nya ialah pengetahuan logis yang a priori ( seperti ‘seseorang tidak bisa ada di dua tempat di waktu yang sama’), pengetahuan akan konsekuensi di balik satu peristiwa, pengetahuan yang self-evident (seperti, 1+1=2), dan pengetahuan yang paling tertinggi, yaitu pengetahuan akan hal-hal ruhaniah (seperti inspirasi ilahiah kepada nabi-nabi atau wahyu) (Umaruddin 1995:35-37).

Menurut al-Ghazzali, kerja al- ‘Aql dalam diri manusia itu tidak terbatas alias terus bekerja sampai manusia mati. Artinya, ia terus memproduksi pengetahuan-pengetahuan secara tak terbatas. Juga, Al- ‘Aql terus tumbuh dan berkembang, seiring dengan berkembangnya tubuh dan usia manusia. Tapi, adakalanya perkembangan Al- ‘Aql terhenti , yakni ketika ‘hati manusia menjadi gelap’ dikarenakan dosa-dosa yang dilakukannya (Umaruddin 1995:37). Al- ‘Aql bisa dikembangkan terus potensi-potensinya oleh manusia lewat latihan-latihan ruhaniah ( al-Mujahadah ), seperti yang dilakukan para sufi dan para nabi. Tapi, walaupun potensi Al- ‘Aql bisa terus dikembangkan dengan latihan-latihan ruhaniah, pengetahuan-pengetahuan yang didapat darinya berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain. Kadang pengetahuan dari al- ‘Aql itu berupa ilham-ilham (biasanya kepada para sufi) dan kadang berupa wahyu-wahyu (biasanya kepada para nabi). Tentu saja yang membedakan keduanya adalah kesucian ruhnya. Nabi diberi pengetahuan berupa wahyu karena ruhnya lebih suci daripada sufi. Bahkan, karena saking suci ruhnya, para nabi mendapat pengetahuan dari Al- ‘Aql tanpa latihan ruhaniah, tapi langsung dari Tuhan, tanpa perantara. Pengetahuan yang langsung dari Tuhan ini disebut ‘pengetahuan akan misteri-misteri yang tersingkap’ ( ‘ilm’ul-mukasyafah ) (Umaruddin 1995:21).

Epistemologi di India (Hindu)

Wakil dari filosof India ialah Swami Bhaktivedanta (lahir 1903).

Menurut Bhaktivedanta, pengetahuan yang benar/valid ( pramana ) dapat dicapai dengan 5 (lima) cara:

1. Dengan persepsi inderawi ( pratyak şa ) (Bhaktivedanta 1974:ix-x).

2. Dengan nalar ( tarka ). Pengetahuan valid yang didapat dari nalar dibagi lagi menjadi 4 jenis: 1) pengetahuan valid yang diperoleh dengan proses penyimpulan induktif ( anumana ); 2) pengetahuan valid yang diperoleh dengan proses membanding-bandingkan ( upamana ); 3) pengetahuan valid yang dperoleh dengan proses perkiraan ( arthapatti ); dan 4) pengetahuan valid yang diperoleh dengan proses perenungan ( nidhiyasana ) (Suamba 2003:132).

3. Dengan intuisi ( anubhava ) dan meditasi ( upasana ) (Suamba 2003:67).

4. Dengan testimoni dari tokoh otoritatif ( sabda/srutti ) (Bhaktivedanta 1974:ix-x).

Walaupun manusia dapat memperoleh pengetahuan valid ( pramana ) lewat proses persepsi inderawi ( pratyak şa ), namun bisa saja pengetahuan itu salah, karena manusia itu diciptakan tidak sempurna. Ada 4 (empat) kelemahan manusia yang membuatnya sering salah dalam memperoleh pengetahuan valid dari proses persepsi inderawi ( pratyak şa ) ini: 1) manusia sering bertindak gegabah dan tergesa-gesa; 2) manusia sering terkecoh dengan penampakan fisikal ( maya ); 3) manusia punya potensi menipu; 4) manusia memiliki panca-indera yang sering kali salah (Bhaktivedanta 1974:vi-vii).

Sedangkan pengetahuan valid ( pramana ) dari nalar ( tarka ) memiliki tingkat kebenaran yang harus dibuktikan dengan eksperimen dan percobaan-percobaan pembuktian yang memakan waktu cukup lama. Begitu pula dengan pengetahuan yang diperoleh lewat meditasi ( upasana ) dan intuisi ( anubhava ). Hanya pengetahuan dari testimoni tokoh otoritatiflah yang memiliki tingkat kebenaran yang tertinggi. Contoh pengetahuan valid dari testimoni dari tokoh otoritatif ( sabda/srutti ) adalah pengetahuan dari kitab suci ( Veda-Veda ). Pengetahuan dari kitab suci ( Veda-Veda ) langsung berasal dari Tuhan. Tuhan turun ke dunia sebagai manusia, yang disebut Krishna. Krishna mengucapkan kata-kata yang berupa firman-firman Tuhan, lalu kata-katanya dihapalkan oleh muridnya, Narada. Karena manusia sudah banyak yang Sedangkan pengetahuan valid ( pramana ) dari nalar ( tarka ) memiliki tingkat kebenaran yang harus dibuktikan dengan eksperimen dan percobaan-percobaan pembuktian yang memakan waktu cukup lama. Begitu pula dengan pengetahuan yang diperoleh lewat meditasi ( upasana ) dan intuisi ( anubhava ). Hanya pengetahuan dari testimoni tokoh otoritatiflah yang memiliki tingkat kebenaran yang tertinggi. Contoh pengetahuan valid dari testimoni dari tokoh otoritatif ( sabda/srutti ) adalah pengetahuan dari kitab suci ( Veda-Veda ). Pengetahuan dari kitab suci ( Veda-Veda ) langsung berasal dari Tuhan. Tuhan turun ke dunia sebagai manusia, yang disebut Krishna. Krishna mengucapkan kata-kata yang berupa firman-firman Tuhan, lalu kata-katanya dihapalkan oleh muridnya, Narada. Karena manusia sudah banyak yang

Referensi Kenny, Anthony. (2005). A New History of Western Philosophy, Volume II: Medieval Philosophy.

Clarendon Press. Oxford. Aspell, Patrick J. (2006). Medieval Western Philosophy: The European Emergence. CRVP. Washington. Frolov, I. (1984). Dictionary of Philosophy. trans. Murad Saifulin and the late Richard R. Dixon. Progress

Publishers. Moscow. Umaruddin, Mohammad. (1995). Some Fundamental Aspects of Imam Ghazzali’s Thought. Institute of

Islamic Culture. Lahore & Pakistan. Bhaktivedanta, Swami. (1974). Sri Isopanisad. The Bhaktivedanta Book Trust. New York. Suamba, I.B. Putu. (2003). Dasar-Dasar Filsafat India. Universitas Hindu Indonesia & Penerbit Widya

Dharma. Denpasar.

Bab Ketiga: Filsafat Ontologi

Filsafat Ontologi berasal dari kata Yunani- Kuno ‘ On ’ dan ‘ Logos ’; On artinya ‘Ada’ atau ‘Wujud’, sedangkan Logos artinya ‘Teori’ atau ‘Kata’. Jadi, Ontologi berarti ‘Teori mengenai Ada’. Dengan kata lain, Filsafat Ontologi adalah salah satu Ilmu Filsafat yang berupaya menjawab soal- soal seperti “apa itu ‘ada’ dan ‘tidak ada’?”, “kapan sesuatu disebut ‘ada’ atau ‘tidak ada’?”, “apa perbedaan antara keberadaan dan ketidakberadaan?”, dan lain sebagainya. Dalam Ilmu Filsafat, Filsafat Ontologi biasa pula disebut dengan nama lain, yakni Kosmologi atau Metafisika atau Filsafat Alam ( Natural philosophy ), Teologi Alamiah ( Natural Theology ) atau Filsafat Pertama ( First Philosophy ).

Ontologi di Dunia Barat Kristiani

Wakil terbaik dari filosof di Dunia Barat Kristiani adalah St. Augustine of Hippo (354-430 M).

Menurut St. Augustine, yang benar-benar ada hanyalah Tuhan, sedangkan yang selain Tuhan (seperti alam semesta, binatang, tumbuhan, manusia, malaikat, dan setan) ada dikarenakan adanya Tuhan. Jadi, yang selain Tuhan memiliki keberadaan yang bergantung pada Tuhan. Yang selain Tuhan memiliki keberadaan yang semu ( Non-being ), sedangkan Tuhan memiliki keberadaan yang sejati (Gracia & Noone 2002:168).

Mengapa yang selain Tuhan memiliki keberadaan bergantung kepada Tuhan? Karena Tuhanlah yang mencipta itu semua. Pada saat mencipta, Tuhan pun tidak membutuhkan apa-apa dari yang selain-Nya. Lalu, Tuhan pun menciptakan yang selain Tuhan bukan dari substansi-Nya, karena jika demikian, berarti Tuhan bisa saja rusak atau jika demikian, maka yang selain-Nya bisa jadi serupa dengan-Nya. Tuhan menciptakan yang selain Tuhan ex nihilo (dari ketiadaan) Karena Tuhan menciptakan yang selain-Nya dari ketiadaan, maka tentu saja yang selain Tuhan bisa menjadi rusak, berubah dan mati. Hanya Tuhanlah yang tidak bisa rusak, tidak bisa bergerak dan berubah, dan tidak mati (Gracia & Noone 2002:168).

Ontologi di Dunia Barat Sekuler

Wakil dari filosof ontologi di Dunia Barat Sekuler adalah Stephen Hawking (lahir 1942) dan Charles Darwin (1809-1882).

Kedua-duanya sudah tidak membicarakan keberadaan Tuhan; mereka hanya membicarakan keberadaan alam semesta dan isi alam semesta.

Menurut Stephen Hawking, alam semesta dan isi di dalamnya tercipta oleh suatu dentuman besar ( big bang ). Setelah dentuman besar, bahan-bahan baku terbentuknya alam semesta pun terkumpul. Proses kimiawi berlangsung terus sejak itu: benda-benda angkasa mengeluarkan energi panas, berbenturan, bertabrakan, lalu dari tabrakan itu menyatu lagi, membentuk benda-benda angkasa baru, akhirnya lahirlah alam semesta. Beribu galaksi terbentuk, beribu tata surya terbentuk, beribu planet dan benda-benda angkasa lain dengan gaya gravitasinya masing-masing pun terbentuk. Intinya adalah begini: dari alam sendiri tercipta bahan-bahan baku untuk penciptaan alam semesta; seolah tak ada ‘kerja’ Tuhan, karena semuanya tercipta dari proses kimiawi alam sendiri.

Charles Darwin melengkapi teori penciptaan alam semesta lewat Big Bang dengan teorinya sendiri: teori evolusi biologis. Setelah bumi tercipta, meteor-meteor dan benda langit lainnya meluncur menerobos masuk gravitasi bumi. Air di bumi dan api dari meteor menciptakan senyawa kimiawi yang memungkinkan munculnya awal kehidupan di air. Muncullah tumbuhan air dan muncullah bakteria dan makhluk air pertama, yang kelak akan memunculkan spesies ikan-ikan. Dari ikan-ikan muncullah makhluk amfibi, yang kelak akan memunculkan spesies makhluk-makhluk rawa. Dari makhluk rawa muncullah makhluk-makhluk darat yang melata. Dari makhluk darat melata akan terus terjadi evolusi biologis yang puncaknya ialah kemunculan binatang kera sebagai binatang yang paling cerdas. Dari kera proses evolusi berlanjut menuju kera yang berjalan tegak ( Pithecanthropus Erectus ), lalu puncaknya ialah kemunculan manusia.

Implikasi ontologis dari teori evolusi Darwin ini adalah bahwa tumbuhan, binatang, dan manusia adalah ciptaan alam sendiri; Tuhan seolah sudah ‘tidak mencipta’.

Ontologi di Dunia Islam

Wakil dari Islam dalam hal Filsafat Ontologi adalah Ibn Sina ( Latin , Avicenna). Beliau lahir tahun 980 M, dan meninggal pada tahun 1037 M.

Seperti St. Augustine di Dunia Barat Kristiani, Ibn Sina yang hidup di Dunia Islam menegaskan bahwa yang benar-benar ada hanyalah Tuhan, sedangkan yang selain Tuhan (seperti alam semesta, binatang, tumbuhan, manusia, malaikat, dan setan) ada dikarenakan adanya Tuhan. Jadi, yang selain Tuhan memiliki keberadaan yang bergantung pada Tuhan. Yang selain Tuhan memiliki keberadaan yang sementara ( Contingent Being, Mumkinu’l-Wujud ), sedangkan Tuhan memiliki keberadaan yang niscaya ( Necessary Being, Wajibu’l-Wujud ) (Nasr 1978:198).

Ciptaan Tuhan yang Mumkinu’l-Wujud dibagi Ibn Sina ke dalam dua kategori: 1) ciptaan yang wujudnya sementara tapi diberi oleh Tuhan sedikit sifat niscaya, karena ia tidak bisa tidak ada (mesti ada), yaitu Intelek ( al- ‘Aql ), Ruh ( al-Nafs ), Tubuh ( al-Jism ), Bentuk ( al-Surah ), Materi ( al-Maddah ), dan substansi-substansi malaikat ( Angelic substances ); 2) ciptaan yang wujudnya benar-benar sementara dan tidak diberi oleh Tuhan sifat niscaya sedikitpun, yaitu planet yang berada di bawah posisi Bulan ( sublunary region ), yakni Bumi. Bumi adalah ciptaan yang pertama-tama ada, lalu kemudian mati (Nasr 1978:199).

Seperti dijelaskan di muka, Tuhan sebagai Wajibu’l-Wujud memberikan sifat niscaya kepada ciptaan-Nya yang Mumkinu’l-Wujud berdasarkan kedekatannya dengan Tuhan. Ciptaan yang Mumkinu’l-Wujud yang paling terdekat dengan Tuhan ialah Substansi-Substansi Malaikat

( Angelic substances ) atau Intelek ( al- ‘Aql ), lalu kemudian Ruh ( al-Nafs ), lalu diikuti oleh Bentuk ( al-Surah ), lalu Tubuh ( al-Jism ), dan terakhir adalah Materi ( al-Maddah ). Materi ialah ciptaan Mumkinu’l-Wujud yang paling sedikit menerima sifat niscaya dari Tuhan sebagai Wajibu’l-Wujud (Nasr 1978:200).

Bagaimanakah segala ciptaan Tuhan ini menjadi ada? Tuhan pertama-tama menciptakan Intelek Pertama ( al- ‘Aqlu’l-Awwal/ Malaikat Pertama), lalu Intelek Pertama memperoleh pengetahuan akan Tuhan, sehingga melahirkan Intelek Kedua ( al- ‘Aqlu’ts-Tsani ). Lalu, Intelek Pertama memperoleh pengetahuan akan dirinya sebagai Mumkinu’l-Wujud yang diberi sedikit sifat niscaya, sehingga melahirkan Ruh planet pertama. Lalu, Intelek Pertama memperoleh pengetahuan akan dirinya sebagai Mumkinu’l-Wujud yang bermateri, sehingga melahirkan Tubuh Pertama, yang berwujud sebagai Planet Pertama, yang disebutnya ‘Planet dari Planet- Planet’ ( Falaku’l-Aflak ). Setelah itu, Intelek Kedua/Malaikat Kedua memperoleh