HUKUM PIDANA ANAK Disusun untuk memenuhi

HUKUM PIDANA ANAK
Disusun untuk memenuhi tugas UTS Semester 7 Hukum Pidana Anak
Dosen :
DASUKI S.H.,M.H
Disusun oleh
FAISAL NUGRAHA ADMI
4301.13.825

SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG
2014

1

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................2
A. PENDAHULUAN ........................................................................................3
B. PEMBAHASAN ..........................................................................................4
1. Kenakalan Anak ............................................................................................4
2.Faktor – Faktor Kenakalan Anak....................................................................9
3.Pertanggungjawaban Anak ............................................................................14

4.Sistem Peradilan Pidana Anak .......................................................................16
5.Kriteria Dan Sanksi Pidana Anak .................................................................21
6.Perbandingan Sistem Peradilan Anak Di Beberapa Negara .........................26
7.Perbandingan Pemidanaan Terhadap Anak Di Beberapa Negara. ...............26
8.Hak – Hak Anak Dalam Peradilan Pidana ...................................................28
9.Konsep Perlindungan Hukum Terhadap Anak ............................................29
10.Lembaga Permasyarakatan Anak ................................................................30
C.KESIMPULAN ............................................................................................31

2

Kata pengantar
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga
saya dapat menyelesaikan makalah “Hukum Perbankan” . Yang dimana makalah
ini saya buat selesaikan untuk memenuhi tugas perkuliahan semester V di Sekolah
Tinggi Hukum Bandung mata kuliah Hukum Perbankan. Terimakasih saya
tujukan untuk Dosen mata kuliah Hukum Perbankan bapak H. Asep Rozali.
S.H.,M.H karena atas bimbingannya saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Dalam kesempatan ini pula saya mohon maaf atas banyaknya kekurangan dan
ketidaksesuaian dari makalah ini, saya sangat berterimakasih apabila saudarasaudara pembaca mengkkritik makalah saya ini.


Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

3

HUKUM PIDANA ANAK

A. PENDAHULUAN
Anak (jamak: anak-anak) adalah seorang lelaki atau perempuan yang
belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Anak juga
merupakan keturunan kedua, di mana kata "anak" merujuk pada lawan dari orang
tua, orang dewasa adalah anak dari orang tua mereka, meskipun mereka telah
dewasa.
Menurut psikologi, anak adalah periode pekembangan yang merentang dari masa
bayi hingga usia lima atau enam tahun, periode ini biasanya disebut dengan
periode prasekolah, kemudian berkembang setara dengan tahun tahun sekolah
dasar.
Berdasarkan UU Peradilan Anak. Anak dalam UU No.3 tahun 1997 tercantum
dalam pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “ Anak adalah orang dalam perkara anak
nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur

18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah .
Walaupun begitu istilah ini juga sering merujuk
pada perkembangan mental seseorang, walaupun usianya secara biologis dan
kronologis seseorang sudah termasuk dewasa namun apabila perkembangan
mentalnya ataukah urutan umurnya maka seseorang dapat saja diasosiasikan
dengan istilah "anak".

Ada beberapa pengertian kenalakalan anak. Pendapat orang tentang pengertian
kenakalan anak tidak sama. Kenakalan berasal dari kata “nakal” yang berarti
kurang baik (tidak menurut, mengganggu, dan sebagainya) terutama pada anakanak. Istilah lain kenakalan anak adalah juvenile delinquency ialah perilaku jahat
(dursila) atau kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis)
secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk

4

pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku
yang menyimpang.

B. PEMBAHASAN
1. KENAKALAN ANAK

Juvenile delinquency ialah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan
anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak
dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka
itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.
Anak-anak muda delinkuen atau jahat itu disebut pula sebagai anak cacat
secara sosial. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial
yang ada di tengah masyarakat.
Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, artinya : anak-anak, anak muda, ciri
karakteristik pada masa muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas
pada periode remaja.
Delinquent berasal dari kata Latin “delinquere” yang berarti : terabaikan,
mengabaikan; yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal,
pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi,
durjana, dursila, dan lain-lain.
Delinquency itu selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan
dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda di bawah usia 22 tahun.
Istilah juvenile delinquency dikemukakan oleh para sarjana dalam rumusan
yang bervariasi, namun substansinya sama misalnya :
Kartini Kartono mengatakan juvenile delinquency (juvenilis = muda, bersifat
kemudaan; delinquency dari delinqucuere = jahat, durjana, pelanggar, nakal) ialah

anak-anak muda yang selalu melakukan kejahatan, dimotivir untuk mendapatkan
perhatian, status sosial dan penghargaan dari lingkungannya.
Peter Salim mengartikan juvenile delinquency adalah kenakalan anak remaja
yang melanggar hukum, berperilaku, anti sosial, melawan orang tua, berbuat jahat,
sehingga sampai diambil tindakan hukum. Sedang juvenile delinquency ialah anak
5

remaja yang ditandai dengan juvenile delinquent adalah anak remaja yang ditandai
dengan juvenile delinquency.
John

M

Echols

dan

Hassan

Shadily,


menterjemahkan juvenile

delinquency sebagai kejahatan / kenakalan anak-anak /anak muda/ muda- mudi.
Dalam

ensiklopedi

umum,

dijelaskan

:juvenile

delinquency adalah

pelanggaran hukum atau moral yang dijalankan oleh individu di bawah umur
biasanya pelanggaran ringan (pencurian, penipuan, kerusakan dan sebagainya).
Simanjuntak


dengan

pendekatan

kriminologi,

mengartikan juvenile

delinquency sebagai perbuatan dari tingkah laku yang merupakan kegiatan
perkosaan terhadap norma hukum pidana dan Pelanggaran terhadap kesusilaan
yang dilakukan oleh para juvenile delinquency.
Dengan mengkaji rumusan-rumusan di atas maka pada intinya secara
sederhana juvenile delinquency dapat diterjemahkan sebagai kenakalan remaja.
Kenakalan remaja yang dimaksud di sini, seperti yang dikatakan Sarlito Wirawan
Sarwono yaitu perilaku yang menyimpang dari atau melanggar hukum.
Masalah delinkuensi anak-anak atau remaja di Indonesia ternyata banyak
menarik perhatian beberapa ahli ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
kehidupan remaja Soerjono Soekanto menguraikan secara singkat sebagai
berikut :
Delinkuensi anak-anak yang terkenal di Indonesia adalah masalah “cross

boy” dan cross girl” yang merupakan sebutan bagi anak-anak muda yang
tergabung dalam satu ikatan /organisasi formil atau semi formil dan yang
mempunyai tingkah laku yang kurang /tidak disukai oleh masyarakat pada
umumnya. Delinkuensi anak-anak di Indonesia meningkat pada tahun-tahun 1956
dan 1958 dan juga pada tahun 1968-1969, hal mana sering disinyalir dalam
pernyataan-pernyataan resmi pejabat-pejabat maupun petugas-petugas penegak
hukum. Delinkuensi anak-anak tadi meliputi pencurian, perampokan, pencopetan,
penganiayaan, pelanggaran susila, penggunaan obat-obat perangsang dan
mengendarai mobil (atau kendaraan bermotor lainnya), tanpa mengindahkan
norma-norma lalu lintas.
Menurut Soerjono Soekanto acapkali dibedakan antara dua macam persoalan,
yaitu antara problem-problem masyarakat (scientific of social problems) dengan

6

problem-problem sosial (amiliorative or social problems). Hal yang pertama
menyangkut analisa tentang macam-macam gejala-gejala abnormal dalam
masyarakat dengan maksud untuk memperbaikinya atau bahkan untuk
menghilangkannya. Ukuran pokok dari suatu problem sosial adalah tidak adanya
persesuaian antara ukuran-ukuran dan nilai-nilai sosial dengan kenyataankenyataan serta tindakan-tindakan sosial. Sebagai unsur pertama dan yang

terpokok daripada problem sosial adalah adanya perbedaan yang menyolok antara
nilai-nilai atau ukuran-ukuran sosial dengan kondisi-kondisi yang nyata dari
kehidupan. Maksudnya ialah :munculnya kepincangan dan adanya ketimpangan
antara anggapan-anggapan masyarakat tentang apa yang seharusnya terjadi (das
sollen) dengan apa yang terjadi dalam kenyataan (das Sein), pergaulan
masyarakat.
Diteliti dalam kenyataan, banyak sekali cara hidup seseorang atau beberapa
orang yang menunjukkan adanya perbedaan dengan nilai-nilai atau ukuran-ukuran
sosial, misalnya :cara-cara hidup anak delinkuen. Anak remaja yang menjadi
delinkuen karena keadaan keluarga, sekolah bahkan karena lingkungan
masyarakat pada umumnya mereka suka melakukan perbuatan yang meresahkan
masyarakat

dan

mengancam

ketentramannya.

Penganiayaan,


pencurian,

pemerkosaan, penipuan, pengrusakan dan mabuk-mabukan merupakan perbuatan
yang anti sosial, tidak susila dan tidak bermoral. Perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh anak-anak delinkuen pada hakikatnya melanggar hak-hak orang
lain, baik harta, harga diri maupun jiwa.
Masalah generasi muda, terutama problem sosial yang timbul dari delinkuensi
anak-anak pada garis besarnya sebagai akibat dari adanya ciri khas yang
berlawanan, yakni : keinginan-keinginan untuk melawan dan adanya sikap apatis.
Soerjono Soekanto, mengupas masalah ini lebih tuntas antara lain
“Sikap melawan tersebut disertai dengan suatu rasa takut bahwa, masyarakat
akan hancur karena perbuatan-perbuatan menyimpang, sedangkan sikap apatis
biasanya disertai dengan rasa kekecewaan terhadap masyarakat. Generasi muda
biasanya menghadapi problem-problem sosial dan biologis. Apabila seseorang
mencapai usia remaja, secara fisik ia sudah matang, akan tetapi untuk dapat
dikatakan dewasa dalam arti sosial, dia masih memerlukan faktor-faktor lainnya”.

7


Menurut Singgih Gunarsa, pengertian kenakalan anak adalah tingkah laku
anak yang menimbulkan persoalan bagi orang lain. Berdasarkan sifat persoalan
kenakalan dari ringan atau beratnya, akibat yang ditimbulkan, maka kenakalan
dibagi menjadi dua macam, Yaitu:
Kenakalan semu
Kenakalan semu merupakan kenakalan anak yang tidak dianggap kenakalan bagi
orang lain. Menurut penilaian pihak ketiga yang tidak langsung berhubungan
dengan si anak, tingkah laku anak tersebut bila dibandingkan dengan anak sebaya
di sekitarnya, walaupun tingkah lakunya agak berlebihan, akan tetapi masih dalam
batas-batas kewajaran dan nilai-nilai moral.
Kenakalan nyata
Kenakalan nyata ialah tingkah laku, perbuatan anak yang merugikan dirinya
sendiri, dan orang lain, dan melanggar nilai-nilai sosial dan nilai-nilai moral.
Istilah lain dari kenakalan nyata adalah kanakalan sebenarnya.
Kenakalan anak atau disebut dengan istilah “Juvenile Delinquent”, dalam
hal

ini

menurut

Nicholas

Emler

memberikan

pengertian

sebagai

berikut :“Definition of delinguency is defined by those action which is a pattern of
behavior manifested by a youth that is attract public condemnation as immoral
and wrong.
Kenakalan didefinisikan suatu tindakan atau perilaku yang ditunjukan
oleh remaja yang menarik perhatian masyarakat, merupakan perbuatan tidak
bermoral dan buruk. Hal ini dibuktikan dengan pemberian hukuman terhadap
yang melanggar karena perbuatan itu dianggap berlebihan dan berlawanan dengan
adat masyarakat. Jadi kenakalan merupakan suatu ungkapan perasaan yang
ditunjukan dengan tindakan yang dianggap telah melanggar norma masyarakat.
Lebih lanjut team proyek “Juvenile Deliquency” Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran yang dikutip oleh Romli merumuskan sebagai
berikut : “Deliquency adalah merupakan suatu tindakan atau perbuatan yang
dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan ketentuan-ketentuan

8

hukum yang berlaku di suatu negara dan oleh masyarakat itu sendiri dirasakan
serta ditafsirkan sebagai perbuatan tercela.”
Istilah “juvenile” atau anak-anak secara umum diartikan sebagai seorang
yang masih di bawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin.
Pengertian ini menunjukan suatu batas usia ke atas. Adapun pembedaan batas usia
ini tergantung dari sudut manakah dilihatnya dan ditafsirkannya.
Juvenile yang diartikan sebagai anak, dalam hal ini Aristoteles seperti yang
dikutip oleh Kartini Kartono, membagi fase perkembangan dalam 21 tahun dalam
3 septenia (3 periode kali 7 tahun) yang dibatasi oleh gejala-gejala alamiah, yaitu
pergantian gigi dan memunculkan gejala- gejala pubertas.


Usia 0 – 7 tahun disebut sebagai masa kecil, masa bermain



Usia 7-14 tahun disebut sebagai masa anak-anak, masa belajar, masa
sekolah rendah.



Usia 14 – 21 tahun disebut masa remaja, masa pubertas, masa peralihan
dari masa peralihan anak ke masa orang dewasa.
Mengenai anak-anak yang berbuat kanakalan, Soesilo Windrodini

membagi masa kanak-kanak menjadi dua yaitu pertama, masa kanak- kanak awal
anak berumur 2 tahun – 6 tahun. Masa ini dimulai dengan waktu dimana anak
boleh dikatakan mulai dapat berdiri sendiri, yakni tidak lagi dalam segala hal
membutuhkan bantuan dan diakhiri dengan waktu dia harus masuk sekolah
dengan sungguh-sungguh. Kedua, masa kanak-kanak Akhir, masa ini berjalan
dengan umur 6 tahun - ± 13 tahun. Pada usia selanjutnya, anak mulai menjadi
anak remaja. Sebenarnya, akhir dari pada masa ini sukar ditentukan, oleh karena
ada sebagian anak-anak yang cepat menjadi anak remaja dan ada sebagian yang
lambat.

9

2. FAKTOR – FAKTOR KENAKALAN ANAK
Bila kita berhadapan dengan seorang remaja yang dinilai atau dicap nakal, antara
lain karena perbuatan-perbuatan yang sudah tidak bisa ditoleransi, baik oleh
keluarga maupun lingkungannya, dan kemudian terjerumus dalam perilaku yang
tidak baik seperti penyalahgunaan narkotik, maka kita dirangsang untuk
mengetahui penyebabnya lebih lanjut. Entah perbuatan-perbuatannya itu sebagai
reaksi ataukah sebagai akibat, yang pasti ialah bahwa perbuatannya itu ada
penyebabnya. Jadi keduanya, yakni perbuatan sebagai reaksi dan sebagai akibat,
menunjukkan ada faktor yang mendasari munculnya suatu perilaku tertentu, yakni
ada sumbernya. Untuk mengubah suatu perilaku, termasuk perilaku yang tidak
dikehendaki, seperti kenakalan dan penyalahgunaan narkotik, perlu pemahaman
akan sumber dan penyebabnya. Sumber dan penyebab timbulnya perilaku nakal
dan penyalahgunaan narkotik dikelompokkan sebagai berikut.
I. Faktor Pribadi
Setiap anak berkepribadian khusus. Keadaan khusus pada anak bisa menjadi
sumber munculnya berbagai perilaku menyimpang. Keadaan khusus ini adalah
keadaan konstitusi, potensi, bakat, atau sifat dasar pada anak yang kemudian
melalui proses perkembangan, kematangan, atau perangsangan dari lingkungan,
menjadi aktual, muncul, atau berfungsi.
1.

Seorang anak bisa bertingkah laku tertentu sebagai bentuk pelarianpelarian karena ia mengalami kesulitan dalam mengikuti pelajaran-pelajaran di
sekolah. Kesulitan ini bersumber pada kemampuan dasar yang kurang baik, di
mana taraf kemampuannya terletak di bawah rata-rata. Pelajaran yang dalam
kenyataannya terlalu berat bagi anak, menjadi beban yang menekannya
sehingga ia selalu berada dalam keadaan tegang, tertekan, dan tidak bahagia.
Sehubungan dengan masalah pelajaran ini, perasaan-perasaan tertekan dan
beban yang tidak sanggup dipikul juga dapat timbul karena berbagai hal yang
lain seperti berikut ini.

10

a.

Tuntutan dari pihak orang tua terhadap prestasi anak yang
sebenarnya melebihi kemampuan dasar yang dimiliki anak. Berbagai
ungkapan yang sebenarnya keliru sering terdengar dari orang tua, seperti:
"Sebenarnya anak saya tidak bodoh, tetapi ia malas" atau "Saya tidak
mengharap anak saya mendapat angka 9, asal cukup saja, karena ia
sebenarnya bisa."

b.

Tuntutan terhadap anak agar ia bisa memperlihatkan prestasiprestasi seperti yang diharapkan orang tua. Pada kenyataannya, anak tidak
bisa memenuhinya karena masa-masa perkembangannya belum siap untuk
bisa menerima kualitas dan intensitas rangsangan yang diberikan. Hal ini
sering terjadi pada anak di bawah umur.

c.

Tekanan dari orang tua agar anak mengikuti berbagai kegiatan,
baik yang berhubungan dengan pelajaran-pelajaran sekolah maupun kegiatankegiatan lain yang berhubungan dengan pengembangan bakat dan minat.
Seorang anak memperlihatkan sikap-sikap negatif terhadap pelajaran karena
ia harus bersekolah di dua tempat: di sekolah biasa dan di tempat guru khusus
yang waktu belajarnya bahkan lebih lama dari sekolah biasa daripada di
sekolah biasa.

d.

Kekecewaan pada anak karena tidak berhasil memasuki sekolah
atau jurusan yang dikehendaki dan yang tidak dinetralisasikan dengan baik
oleh orang tua. Atau kekecewaan pada anak karena ia tidak berhasil
memuaskan keinginan-keinginan atau harapan-harapan orang tua.
Kekecewaan yang berlanjut pada penilaian bahwa harga dirinya tidak perlu
dipertahankan karena orang tua tidak mencintainya lagi.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa masalah yang berkaitan dengan masalah
sekolah, masalah belajar, prestasi, dan potensi (bakat) bisa menjadi sumber
timbulnya berbagai tekanan dan frustrasi. Hal tersebut dapat mengakibatkan
reaksi-reaksi perilaku nakal atau penyalahgunaan obat terlarang.
2.

Seorang anak bisa memperlihatkan perilaku sikap menentang, sikap tidak
mudah menerima saran-saran atau nasihat-nasihat orang lain, dan sikap
11

kompensatoris. Kesemuanya itu bisa bersumber pada keadaan fisiknya
(misalnya ada kekurangan atau cacat) yang berbeda sekali dibandingkan dengan
saudara-saudaranya. Dalam hal ini, mudah timbul perasaan tersisih, kurang
diperhatikan, dan tidak bahagia. Suatu keadaan yang mengusik kebahagiaannya
dan mudah muncul berbagai reaksi perilaku negatif.
3.

Seorang anak bisa memperlihatkan perilaku yang merepotkan orang tua
dan lingkungannya dengan berbagai perilaku yang dianggap tidak mampu
menyesuaikan diri. Sumber penyebab hal ini adalah tuntutan-tuntutan yang
berlebihan, keinginan-keinginannya yang harus dituruti, dan tidak lekas puas
terhadap apa yang diperoleh atau diberikan orang tua. Semua hal tersebut
memang mendorong munculnya sikap-sikap yang mudah menimbulkan
persoalan pada anak dan tentunya juga sekelilingnya.

Dalam usaha menghadapi dan mengatasi masalah-masalah seperti tersebut di atas,
perlu dipahami dan dicari sumber permasalahannya (dalam hal ini pada anak)
untuk nenentukan tindakan-tindakan selanjutnya yang tepat. Jika tidak segera
diatasi, hambatan-hambatan dalam perkembangan anak dan reaksi-reaksi perilaku
yang diperlihatkan dapat terus berkembang serta tidak mustahil akan berlanjut
menjadi nakal dan mendorong berbagai perbuatan yang tergolong negatif.
Penanganan masalah perilaku yang dilakukan seawal mungkin, sangat diperlukan.
Untuk ini, perlu kerja sama dari berbagai pihak, termasuk guru atau pihak sekolah
-- yang mengamati anak sekian jam setiap hari --, lingkungan sosial anak, dan
khususnya orang tua anak itu sendiri.
II. Faktor Keluarga
Keluarga adalah unit sosial yang paling kecil dalam masyarakat. Meskipun
demikian, peranannya besar sekali terhadap perkembangan sosial, terlebih pada
awal-awal perkembangan yang menjadi landasan bagi perkembangan kepribadian
selanjutnya.
Anak yang baru dilahirkan berada dalam keadaan lemah, tidak berdaya, tidak bisa
melakukan apa-apa, tidak bisa mengurus diri sendiri, dan tidak bisa memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Jadi, ia tergantung sepenuhnya dari lingkungan
12

hidupnya, yakni lingkungan keluarga, dan lebih luas lagi lingkungan sosialnya.
Dalam perkembangannya, anak membutuhkan uluran tangan dari orang lain agar
bisa melangsungkan hidupnya secara layak dan wajar. Anak yang baru dilahirkan
bisa diibaratkan sebagai sehelai kertas putih yang masih polos. Bagaimana jadinya
kertas putih tersebut pada kemudian hari tergantung dari orang yang akan
menulisinya. Jadi, bagaimana kepribadian anak pada kemudian hari tergantung
dari bagaimana ia berkembang dan dikembangkan oleh lingkungan hidupnya,
terutama oleh lingkungan keluarganya. Lingkungan keluarga berperan besar
karena merekalah yang langsung atau tidak langsung terus-menerus berhubungan
dengan anak, memberikan perangsangan (stimulasi) melalui berbagai corak
komunikasi antara orang tua dengan anak.
Tatapan mata, ucapan-ucapan mesra, sentuhan-sentuhan halus, kesemuanya
adalah sumber-sumber rangsangan untuk membentuk sesuatu pada
kepribadiannya. Seiring dengan tumbuh kembang anak, akan lebih banyak lagi
sumber-sumber rangsangan untuk mengembangkan kepribadian anak. Lingkungan
keluarga acap kali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal yang
memengaruhi berbagai aspek perkembangan anak. Adakalanya, hal ini
berlangsung melalui ucapan-ucapan atau perintah-perintah yang diberikan secara
langsung untuk menunjukkan apa yang seharusnya diperlihatkan atau dilakukan
oleh anak. Adakalanya pula, orang tua bersikap atau bertindak sebagai patokan,
sebagai contoh atau model agar ditiru. Kemudian, apa yang ditiru akan meresap
dalam diri anak dan menjadi bagian dari kebiasaan bersikap dan bertingkah laku,
atau bagian dari kepribadiannya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, orang tua
jelas berperan besar dalam perkembangan kepribadian anak. Orang tua menjadi
faktor penting dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak
dan gambaran kepribadian seseorang setelah dewasa. Jadi, gambaran kepribadian
yang terlihat dan diperlihatkan seorang remaja, banyak ditentukan oleh keadaan
serta proses-proses yang ada dan yang terjadi sebelumnya. Lingkungan rumah,
khususnya orang tua, menjadi teramat penting sebagai tempat persemaian dari
benih-benih yang akan tumbuh dan berkembang lebih lanjut. Pengalaman buruk
dalam keluarga akan buruk pula diperlihatkan terhadap lingkungannya. Perilaku
negatif dengan berbagai coraknya adalah akibat dari suasana dan perlakuan
13

negatif yang dialami dalam keluarga. Hubungan antarpribadi dalam keluarga,
yang meliputi pula hubungan antarsaudara, menjadi faktor penting yang
mendorong munculnya perilaku yang tergolong nakal.
Agar terjamin hubungan yang baik dalam keluarga, dibutuhkan peran aktif orang
tua untuk membina hubungan-hubungan yang serasi dan harmonis di antara
semua pihak dalam keluarga. Namun, yang tentunya terlebih dahulu harus
diperlihatkan adalah hubungan yang baik di antara suami dan istri.
III. Lingkungan Sosial dan Dinamika Perubahannya
Lingkungan sosial dengan berbagai ciri khusus yang menyertainya memegang
peranan besar terhadap munculnya corak dan gambaran kepribadian pada anak.
Apalagi kalau tidak didukung oleh kemantapan dari kepribadian dasar yang
terbentuk dalam keluarga. Kesenjangan antara norma, ukuran, patokan dalam
keluarga dengan lingkungannya perlu diperkecil agar tidak timbul keadaan
timpang atau serba tidak menentu, suatu kondisi yang memudahkan munculnya
perilaku tanpa kendali, yakni penyimpangan dari berbagai aturan yang ada.
Kegoncangan memang mudah timbul karena kita berhadapan dengan berbagai
perubahan yang ada dalam masyarakat. Dalam kenyataannya, pola kehidupan
dalam keluarga dan masyarakat dewasa ini, jauh berbeda dibandingkan dengan
kehidupan beberapa puluh tahun yang lalu. Terjadi berbagai pergeseran nilai dari
waktu ke waktu seiring dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Bertambahnya penduduk yang demikian pesat, khususnya di kota-kota besar,
mengakibatkan ruang hidup dan ruang lingkup kehidupan menjadi bertambah
sempit. Urbanisasi yang terus-menerus terjadi sulit dikendalikan, apalagi ditahan,
menyebabkan laju kepadatan penduduk di kota besar sulit dicegah. Dinamika
hubungan menjadi lebih besar, sekaligus menjadi lebih longgar, kurang intensif,
dan kurang akrab. Dalam kondisi seperti ini, sikap yang menjadi ciri dari
kehidupan masyarakat yang padat: individualistis, kompetitif, dan materialistis,
amat mudah timbul. Sesuatu yang sebenarnya wajar, sesuai dengan hakikat
kehidupan, hakikat perjuangan hidup untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya dengan memenuhi kebutuhan paling pokok dari sistem kebutuhan, yakni
makanan.
14

Pengaruh pribadi terhadap pribadi lain di rumah, di kantor, dan di mana saja yang
memungkinkan hubungan yang cukup sering terjadi, akan memengaruhi
kehidupan pribadi, kehidupan dalam keluarga, dan kehidupan sosialnya. Banyak
kota yang sedang berkembang menjadi tempat pertemuan, percampuran antara
berbagai corak kebudayaan, adat istiadat, termasuk bahasa dan sistem nilai sikap.
Tidak mustahil dalam keadaan seperti itu, muncul ketidakserasian dan ketegangan
yang berdampak pada sikap, perlakuan negatif orang tua terhadap anak, dan lebih
lanjut dalam lingkungan pergaulan. Lingkungan pergaulan anak adalah sesuatu
yang harus dimasuki karena di lingkungan tersebut seorang anak bisa terpengaruh
ciri kepribadiannya, tentunya diharapkan terpengaruh oleh hal-hal yang baik. Di
samping itu, lingkungan pergaulan adalah sesuatu kebutuhan dalam
pengembangan diri untuk hidup bermasyarakat. Karena itu, lingkungan sosial
sewajarnya menjadi perhatian kita semua, agar bisa menjadi lingkungan yang
baik, yang bisa meredam dorongan-dorongan negatif atau patologis pada anak
maupun remaja.

3. PERTANGGUNGJAWABAN ANAK


Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa batas bawah usia anak
yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Sebelum
putusan ini, menurut UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak
yang berusia 8 hingga 18 tahun dapat dimintakan pertanggungjawabannya
secara pidana.



"Menyatakan frasa 8 tahun dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan
Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak berikut penjelasannya bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
secara bersyarat. Artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai 12 tahun,”
tutur Ketua MK Moh Mahfud MD saat membacakan putusan di Gedung
MK Jakarta, Kamis (24/2).



Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan perlu menetapkan batas
umur bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak terutama hak
terhadap perlindungan dan hak untuk tumbuh dan berkembang. Penetapan
15

usia minimal 12 tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban
hukum bagi anak telah diterima dalam praktik di berbagai negara.


“Batasan usia 12 tahun ini telah sesuai ketentuan pidana anak dalam Pasal
26 ayat (3) dan (4) UU Pengadilan Anak,” kata Hamdan Zoelva
melanjutkan.



Usia 12 tahun secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental,
dan intelektual yang stabil sesuai psikologi anak dan budaya bangsa
Indonesia. Karenanya, batas umur 12 tahun lebih menjamin hak anak
untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana
dijamin pasal 28B ayat (2) UUD 1945.



“Dengan demikian, frasa sekurang-kurangnya 8 tahun dalam Pasal 4 ayat
(1) dan frasa belum mencapai umur 8 tahun dalam Pasal 5 ayat (1) UU
Pengadilan

Anak

adalah

inkonstitusional

bersyarat.

Artinya

inkonstitusional, kecuali harus dimaknai telah mencapai usia 12 tahun
sebagai batas minimum pertanggungjawaban pidana,” jelas Hamdan.


Meski Pasal 1 ayat (1) UU Pengadilan Anak yang menyatakan anak adalah
orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai 8 tahun, tetapi belum
mencapai 18 tahun dan belum menikah, tidak dimintakan pengujian.
Namun, pasal itu merupakan jiwa atau ruh dari UU Pengadilan Anak.



Dalam perkara pengujian undang-undang tidak mengenal ultra petita
(melebihi apa yang diminta, red.). Sebab, undang-undang merupakan satu
kesatuan sistem. Jika sebagian pasalnya dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat, maka pasti akan berpengaruh terhadap pasalpasal lain yang tidak diuji.



“Sehingga batas usia minimum sesuai Pasal 1 ayat (1) harus disesuaikan
agar tidak bertentangan UUD 1945 yakni 12 tahun.”



Sementara dalil permohon dalam frasa-frasa yang dimohonkan diuji dalam
Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) huruf a, Pasal 31 ayat
(1) UU Pengadilan Anak tidak terbukti menurut hukum.

16

4. SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
fhgjh undang-undang terbaru yang mengatur tentang anak yang berhadapan
dengan hukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) yang mulai diberlakukan dua tahun
setelah tanggal pengundangannya, yaitu 30 Juli 2012 sebagaimana disebut dalam
Ketentuan Penutupnya (Pasal 108 UU SPPA). Artinya UU SPPA ini mulai
berlaku sejak 31 Juli 2014.

UU SPPA ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak (“UU Pengadilan Anak”) yang bertujuan agar dapat
terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. UU Pengadilan Anak dinilai
sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum
secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang
berhadapan dengan hukum.

Adapun substansi yang diatur dalam UU SPPA antara lain mengenai penempatan
anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang
ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang
dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan
sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara
wajar. Demikian antara lain yang disebut dalam bagian Penjelasan Umum UU
SPPA.

Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta
menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih
baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk

17

memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan
pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Berikut kami rangkum hal-hal penting yang diatur dalam UU SPPA:

1.

Definisi Anak di Bawah Umur
UU SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah
berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori:
a.

Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU
SPPA);

b.

Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1
angka 4 UU SPPA); dan

c.

Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka
5 UU SPPA)

Sebelumnya, UU Pengadilan Anak tidak membedakan kategori Anak Korban
dan Anak Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak Saksi tidak
mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini mengakibatkan banyak tindak
pidana yang tidak terselesaikan atau bahkan tidak dilaporkan karena anak
cenderung ketakutan menghadapi sistem peradilan pidana.

2.

Penjatuhan Sanksi
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua
jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di
bawah 14 tahun (Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) danPidana, bagi pelaku tindak
pidana yang berumur 15 tahun ke atas.

a.

Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU
SPPA):

18



Pengembalian kepada orang tua/Wali;



Penyerahan kepada seseorang;



Perawatan di rumah sakit jiwa;



Perawatan di LPKS;



Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan
yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;

b.



Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau



Perbaikan akibat tindak pidana.

Sanksi Pidana
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak
terbagi atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan(Pasal 71 UU SPPA):
Pidana Pokok terdiri atas:
·

Pidana peringatan;

·

Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar
lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan;

·

Pelatihan kerja;

·

Pembinaan dalam lembaga;

·

Penjara.

Pidana Tambahan terdiri dari:
·

Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
atau

·

Pemenuhan kewajiban adat.

Selain itu, UU SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua
belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil
keputusan untuk: (lihat Pasal 21 UU SPPA)
a.

menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau

19

b.

mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang
menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun
daerah, paling lama 6 (enam) bulan.

3.

Hak-hak Anak
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: (Pasal 3 UU SPPA)
a.

diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan
sesuai dengan umurnya;

b.

dipisahkan dari orang dewasa;

c.

memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;

d.

melakukan kegiatan rekreasional;

e.

bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam,
tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;

f.

tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;

g.

tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya
terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

h.

memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;

i.

tidak dipublikasikan identitasnya;

j.

memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya
oleh anak;

k.

memperoleh advokasi sosial;

l.

memperoleh kehidupan pribadi;

m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n.

memperoleh pendidikan;

o.

memperoleh pelayananan kesehatan; dan

p.

memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

20

Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa
pidana berhak atas:

4.

a.

Remisi atau pengurangan masa pidana;

b.

Asimilasi;

c.

Cuti mengunjungi keluarga;

d.

Pembebasan bersyarat;

e.

Cuti menjelang bebas;

f.

Cuti bersyarat;

g.

Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Penahanan
Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan bahwa penahanan terhadap anak
hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas)
tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara
tujuh tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di
atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

5.

Pemeriksaan Terhadap Anak Sebagai Saksi atau Anak Korban
UU SPPA ini memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban dalam
memberikan keterangan di pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir
untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan
apapun dapat memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui
perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan
setempat, dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dan Advokat
atau pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat dalam perkara tersebut.
Anak saksi/korban juga diperbolehkan memberikan keterangan melalui
pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi audiovisual.
Pada saat memberikan keterangan dengan cara ini, anak harus didampingi oleh
orang tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya
[lihat Pasal 58 ayat (3) UU SPPA].

21

6.

Hak Mendapatkan Bantuan Hukum
UU SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk
mendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana
telah dilakukan.

5. KRITERIA DAN SANKSI PIDANA ANAK
Kriteria Dan Sanksi Pidana Anak Dibawah Umur Menurut Hukum Positif
1. Kriteria anak dibawah umur menurut hukum positif.
Dalam bab II diatas telah dijelaskan bahwa salah satu alasan
penghapusan pidana adalah umur yang masih muda atau anak dibawah
umur. Di dalam KUHP mengenai batas-batas kedewasaan seseorang tidak
ada yang ada ialah istilah cukup umur dan belum cukup umur
(Minderjaring). Ketentuan telah cukup umur atau belum cukup umur
disebutkan dalam pasal 45 KUHP yang berbunyi :
“Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang
dikerjakannya ketika umurnya dalam enam belas tahun, hakim dapat
menentukan tiga hal: 1). Memerintahkan supaya yang bersalah
dikembalikan kepada oarng tuanya, walinya, atau pemeliharanya,
tanpa pidana apapun. (2). Diserahkan kepada pemerintah. (3).
Menjatuhkan hukuman pidana.1
Dari bunyi pasal tersebut jelas bahwa orang yang telah cukup

22

umur. Ada suatu permasalahan, berapakah batas umur seseorang menurut
hukum pidana untuk dapat bertanggungjawab atas perbuatannya. A.
Ridlwan Halim, SH dalam bukunya hukum pidana dalam tanya jawab
menyebutkan bahwa : menurut pasal 45 KUHP seseorang yang
dinyatakan cukup umur dan dapat bertanggungjawab atas perbuatannya,
apabila ia telah berumur 16 (enam belas tahun) keatas.2

Didalam KUH Pedata, ukuran dewasa seseorang telah
ditentukan dalam pasal 330 yang berbunyi :
Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap
dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.
Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka genap dua
puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam
kedudukan belum dewasa.3
Batasan tersebut dalam hukum pidana bertujuan untuk
membatasi apakah seseorang dapat dihukum dengan sanksi pidana pabila
melakukan tindak pidana. Kerena seseorang yang telah dewasa menurut
hukum pidana dikategorikan dapat bertanggungjawab atas perbuatannya.
Selain batasan umur, para ahli hukum juga memberikan batasan
yang lain tentang kemampuan bertanggungjawab seseorang antara lain :
a. Simons, seorang dikatakan mampu bertanggungjawab, jika jiwanya

23

sehat, yakni apabila :
1. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya
bertentangan dengan hukum.
umur 18 tahun. Administrasi itu dapat memilih antara penempatan dalam
rumah pendidikan negeri atau mempercayakan unutk didik oleh orang,
perserikatan, lembaga atau badan kesusilaan partikuler.
Lihat pasal 45. Peraturan tentang penyelenggaraan ketentuan dalam ayat
pertama dapat dibaca dalam LN. 1917 No. 741.12
Jadi ada perbedaan bentuk sanksi pidana antara perbuatan
pidana yang dilakukan oleh orang yang telah dewasa dengan orang yang
belum dewasa. Kalau tindak pidana dilakukan oleh orang yang telah
dewasa maka akan dijatuhi sanksi pidana sesuai dengan pasal-pasal yang
ada dalam KUHP tergantung dari jenis pidana yang diperbuat.
Sedangkan sanksi pidana untuk anak yang belum dewasa hanya dapat
dijatuhi pidana sesuai dengan KUHP pasal 45, seperti yang telah
dijelaskan di atas.
Adanya perbedaan sanksi pidana tersebut bertujuan untuk
melindungi anak yang belum dewasa, disamping itu juga untuk
memberikan pembinaan yang lebih baik agar ketika sudah dewasa tidak
mengulangi perbuatan pidana seperti yang telah dilakukannya.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor : 4 Tahun
1979. Tentang kesejahteraan anak, bahwa anak adalah seseorang yang

24

belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) dan belum pernah kawin.7
2. Sanksi pidana anak dibawah umur menurut hukum positif
Setelah memaparkan kriteria anak dibawah umur (belum
dewasa), berikut akan kami uraikan sanksi pidana terhadap anak belum
dewasa.
Dalam KUHP pasal 45 disebutkan :
Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang
dikerjakannya krtika umurnya belum enam belas tahun, hakim
boleh : memerintahkan, supaya sitersalah itu dikembalikan pada
orang tuannya ; atau memerintahkan, supaya sitersalah diserahkan
kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman,
yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu
pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 489, 490, 492, 496, 497,
503-505, 514, 417, 519, 526, 531, 536 dan 540 dan perbuatannya
itu dilakukan sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan banding
dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran
ini atau sesuatu kejahatan ; atau menghukum anak yang bersalah
itu memeliharanya dengan tidak dijatuhkan. Akan tetapi apabila hakim
menganggap anak-anak berumur 13 atau 15 tahun telah berbuat suatu
kejahatan dengan akal yang cukup mampu membeda-bedakan, hakim ada
kesempatan pula untuk menjatuhkan hukuman akan tetapi hukuman yang
dijatuhkan itu tidak boleh lebih dari dua pertiga maksimum hukuman

25

yang diancamkan.10
Dalam pasal berikutnya yaitu pasal 46 disebutkan : (1) Jika
hakim memerintahkan, sepaya sitersalah diserahkan kepada pemerintah,
maka ia :
baik ditempatkan didalam rumah pendidikan negara, supaya disitu, atau
denga kemudian denga cara lain, ia mendapat pendidikan dari pihak
pemerintah, baik diserahkan pada seorang-orang yang ada dinegara
Indonesia atau kepada perserikatan yang mempunyai hak badan hukum
(rechtspersoon) yang ada dinegara Indonesia atau pada balai derma yangt
ada dinegara Indonesia supaya disitu mendapat pendidikan dari mereka,
atau kemudian dengan cara lain, dari pemerintah, dalam hal kedua itu
selama-lamanya sampai cukup delapan belas tahun.
(2) Peraturan untuk menjalankan ayat pertama dari pasal ini ditetapkan
denga ordonansi.11
Pasal ini memberi aturan atministrasi tentang apa yang harus
dikerjakan, apabila hakim telah memberi perintah, bahwa tersalah akan
diserahkan kepada pemerintah. Penyerahan ini selesai jika telah dicapai
umur 18 tahun. Administrasi itu dapat memilih antara penempatan dalam
rumah pendidikan negeri atau mempercayakan unutk didik oleh orang,
perserikatan, lembaga atau badan kesusilaan partikuler.
Lihat pasal 45. Peraturan tentang penyelenggaraan ketentuan dalam ayat
pertama dapat dibaca dalam LN. 1917 No. 741.12

26

Jadi ada perbedaan bentuk sanksi pidana antara perbuatan
pidana yang dilakukan oleh orang yang telah dewasa dengan orang yang
belum dewasa. Kalau tindak pidana dilakukan oleh orang yang telah
dewasa maka akan dijatuhi sanksi pidana sesuai dengan pasal-pasal yang
ada dalam KUHP tergantung dari jenis pidana yang diperbuat.
Sedangkan sanksi pidana untuk anak yang belum dewasa hanya dapat
dijatuhi pidana sesuai dengan KUHP pasal 45, seperti yang telah
dijelaskan di atas.
Adanya perbedaan sanksi pidana tersebut bertujuan untuk
melindungi anak yang belum dewasa, disamping itu juga untuk
memberikan pembinaan yang lebih baik agar ketika sudah dewasa tidak
mengulangi perbuatan pidana seperti yang telah dilakukannya.

6. PERBANDINGAN SISTEM PERADILAN ANAK DI BEBERAPA
NEGARA

7. PERBANDINGAN

PEMIDANAAN

TERHADAP

ANAK

DI

BEBERAPA NEGARA

27

8. HAK – HAK ANAK DALAM PERADILAN PIDANA
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: (Pasal 3 UU SPPA)
a.

diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan
sesuai dengan umurnya;

b.

dipisahkan dari orang dewasa;

c.

memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;

d.

melakukan kegiatan rekreasional;

e.

bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam,
tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;

f.

tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;

g.

tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya
terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

h.

memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;

i.

tidak dipublikasikan identitasnya;

j.

memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya
oleh anak;

k.

memperoleh advokasi sosial;

l.

memperoleh kehidupan pribadi;

m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n.

memperoleh pendidikan;

o.

memperoleh pelayananan kesehatan; dan

p.

memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa
pidana berhak atas:
a.

Remisi atau pengurangan masa pidana;

b.

Asimilasi;

c.

Cuti mengunjungi keluarga;

d.

Pembebasan bersyarat;

e.

Cuti menjelang bebas;

28

f.

Cuti bersyarat;

g.

Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Hak Mendapatkan Bantuan Hukum
UU SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk
mendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana
telah dilakukan.

Anak berhak mendapatkan bantuan hukum di setiap tahapan pemeriksaan,
baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun tahap
pemeriksaan di pengadilan (Pasal 23 UU SPPA). Anak Saksi/Anak Korban
wajib didampingi oleh orang tua/Wali, orang yang dipercaya oleh anak, atau
pekerja sosial dalam setiap tahapan pemeriksaan. Akan tetapi, jika orang tua
dari anak tersebut adalah pelaku tindak pidana, maka orang tua/Walinya
tidak wajib mendampingi (Pasal 23 Ayat (3) UU SPPA).

9. KONSEP PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Anak menentukan bahwa
perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi.
Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur tentang asas dan tujuan
perlindungan anak yakni pasal 2 dan pasal 3, sebagai berikut:
Pasal 2: penyelenggara perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsipprinsip dasar konvensi hak anak meliputi:
1.

Non diskriminasi

2.

Kepentingan yang terbaik bagi anak

29

3.

Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan

4.

Penghargaan terhadap anak.
Pasal 3: perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hakhak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat martabat manusia, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak, mulia dan sejahtera.
Pasal 2 huruf c Undang-Undang tentang Perlindungan Anak menegaskan hak
untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan merupakan hak asasi yang
paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh Negara, pemerintrah, keluarga,
orang tua, sekaligus merupakan hak setiap manusia yang paling asasi.
Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang, orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah maupun Negara. Pasal 20 Undang-Undang Perlindungan
Anak menentukan:
“Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan
bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.”
Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam usaha
perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu:

1. Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama,
ras, golongan, jenis kelamin,etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan
kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21);
2. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan
anak (Pasal 22);
3. Menjamin

perlindungan,

pemeliharaan,

dan

kesejahteraan

anak

dengan

memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara
umum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 23);

30

4. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat
sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 24)
Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap perlindungan anak
dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 25 Undang-Undang Perlindungan Anak).
Kewajiban

tanggungjawab

keluarga

dan

orang

tua

dalam

usaha

perlindungan anak diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan
Anak, yaitu:
a.

Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

b.

Menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;

c.

Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

10. LEMBAGA PERMASYARAKATAN ANAK
Dalam Pasal 86 ayat (1) UU SPPA, anak yang belum selesai menjalani
pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (“LPKA”) dan telah mencapai umur
18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda.
Pengaturan tersebut tidak ada dalam Pasal 61 UU Pengadilan Anak.
Walaupun demikian, baik UU SPPA dan UU Pengadilan Anak sama-sama
mengatur bahwa penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan
menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun (Penjelasan Pasal 86 ayat (2) UU
SPPA dan Penjelasan Pasal 61 ayat (2) UU Pengadilan Anak).

31

C. KESIMPULAN
Jadi, kesimpulan yang saya dapatkan setelah menulis makalah ini adalah. Bahwa
sebenarnya seorang anak perlu bimbingan dari orang tua dan guru bukan hanya
sekedar bimbingan formal disekolah dan bukan hanya pelajaran formal saja yang
dibutuhkan oleh anak, melainkan juga pelajaran mental, etika dan pelajaran diluar
sekolah. Oleh karena itu, saya menyarankan kepada orangtua dan guru atau wali
serta pembimbing agar menyertakan setiap pelajaran pelajaran atau nilai nilai
kesusilaan serta moral, agar supaya anak terebut mendapatkan peljaran yg baik
dan benar didalam lingkungan sekolah, serta mendapatkan pula pelajaran yang
baik diluar lingkungan sekolah.

32

DAFTAR PUSTAKA

Kartini Kartono, Patologi Sosial II Kenakalan Remaja, cet 5, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, tahun 2003, hlm.6.
Kartini Kartono, Patologis Sosial 3 Gangguan-gangguan Kejiawaan, CV.
Rajawali, Jakarta, 1986, hlm 209.
Petter Salim, Salim Ninth Collegiate English Indonesian Dictionary, Modern
Engglish Press, tt, hlm. 300.
John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia (An Engglish-Indonesian Dictionary),
Cet 21, PT Gramedia Jakarta, 1995, hlm.339
Yayasan Dana Buku Franklin, Ensiklopedi Umum. Jakarta, 1991, hlm. 472.
Simanjutak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Transito Bandung, 1977,
hlm.292.
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, cet 3, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1994, hlm. 200
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet 3, UI Press, 1981, hlm.395396
Soerjono Soekanto, op.cit, hlm:368