Pergerakan Budaya Sosial Politik Islam I

Pergerakan Budaya Sosial-Politik Islam Indonesia Kontemporer
Oleh : Bambang Afriadi
ABSTRAK
Dalam tulisan ini membahas pemahaman pergerakan Islam pada tingkat
Produksi, Distribusi, Politik dan Diskriminatif dalam masyarakat Indonesia
kontemporer, dengan identitas budaya dan identitas agama Islam dalam kontek
nasion. Konsep ini mengacu pada awal munculnya pertempuran metafisik antara
kekuatan baik dan jahat yang menghidupkan imajinasi agama dan memaksa
tindakan gerakan sosial dan membentuk beberapa kelompok dalam beragama, dari
kekacauan yang terjadi pada konteks Indonesia kontemporer ini di sadari gerakangerakan agama yang meyakini agamanya memiliki visi atau gambaran yang ideal
tentang kehidupan budaya serta sosial-politik Indonesia kontemporer, hal ini
mendorong gerakan-gerakan untuk memperbaiki realitas tersebut agar sesuai
dengan idealitas keagamaannya sebagainya sebagai tanda tantangan itu telah
bermain pada level praksis, budaya serta sosial-politik. Dalam fakta sejarah juga
menunjukkan bahwa pergerakan islam telah lama mengakar dalam perjalanan
bangsa Indonesia. Dalam kontek tulisan ini mencoba memahami sosial-politik
gerakan islam dalam aspek kebudayaan Indonesia kontemporer. Untuk
membicarakan ”Evolusi Agama dalam konteks budaya ” sebagai fokus pembahasan
ini, agaknya terlebih dahulu perlu disepakati bahwa agama merupakan bagian dari
budaya, yang membedakan budaya tanpa nilai agama dan budaya yang memiliki
nilai agama. Kontek Indonesia kontemporer ini banyak gerakan yang

mengatasnamakan agama dengan paham melawan yang jahat dan menegakan yang
baik yang secara dokrin bahkan radikal yang di dasari fundamentalisme agama,
namun kita sadari bahwa kebaikan atau dasar kebenaran yang ada di bangsa
Indonesia tidak membenarkan asas kebenaran tunggal kelompok.
Kata kunci: Produksi, Distribusi, Politik dan Diskriminatif
PENDAHULUAN
Mencermati dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara konteks Indonesia
kontemporer ini mencangkup beberapa hal sebagai berikut: Penguatan budaya
kekerasan yang mengatas namakan agama, menipisnya kesadaran pluralisme
sehingga perbenturan demi benturan tidak terelakan. serta oknum kelompok yang
sering di sebut radikalisme paham agama mengikiskan budaya suatu kelompok
yang telah ada sebelumnya.
Secara Politik Indonesia kontemporer kini memasuki krisis multidimensi
yang memicu kontestasi sosial-budaya. Menjadikan Indonesia kontemporer
mengalami kekosongan budaya yang nasion. Menyebabkan pergerakan agama
dalam Islam muncul sebagai kekuatan besar yang secara tidak langsung
mengokohkan nilai dan norma budaya bersumber agama.
Indonesia kontemporer telah mencari titik temu di nama, keanekaragaman
eksistensi badaya, telah bersaingan agar tetap survaif dalam orientasi globalisasi dan
modernisasi yang kian hari kian mengerus kepercayaan akan keanekaragaman


1

identitas budaya lokal dan nasion yang plural. Dikotomi yang dalam aspek politik
nasionalis sekuler dan agama dalam kehidupan Indonesia kontemporer yang besar
kian hari kian komplek. Dalam hal ini nasionsalisme ditunjukan (Ernest gellner)
menyatakan bahwa ”nasionalisme adalah sebuah prinsip politik yang menegaskan
bahwa kesamaan budaya adalah ikatan sosial dasar” lebih lanjutnya ia
mengemukakan bahwa” prinsip-prinsip otoritas apapun yang ada diantara rakyat
bergantung legistimasinya pada fakta bahwa anggota kelompok di maksud berada
pada kultur yang sama”.1 Untuk megkaji pada praktek agama terkait dengan konsep
penting utama dalam sosiologi (durkheim), inti fakta sosial agama merupakan fakta
sosial adalah setiap cara bertindak, fiks atau tidak, yang mampu memaksa individu
dari luar; atau setiap cara bertindak yang umumnya berlaku dalam suatu masyarakat
tertentu, sekaligus memiliki eksistensinya sendiri dan bebas dari manifestasi
individu. Bila hal ini terjadi pada kelompok agamais merupakan individu-individu
yang beragama dan memiliki fanatisme tinggi terhadap nilai, norma, budaya dalam
agamanya secara kolektif membingkai konsep agama dengan realitas masyarakat.
Ketika Indonesia kontemporer dalam hal budaya telah mengalami kekosongan,
karekteristik identitas kolektif berbangsa di pertanyakan, akan dibawa kemana

kultur dengan fluralismenya.
Di saat pengglobalan ruang dan waktu sudah menggerus itu semua.
Mungkinkah agama sebagai pengisi kekosongan kultur yang begitu komplek dalam
politik sosial. Jika dikaji pada perpektif konstruksionalis (agensi-struktur) bahwa
peran agen (keagamaan) dalam mengkontruksi indonesia kontemporer dalam ranah
sosial. Pengaruh struktur sosial agamis terhadap tindakan sosial keagamaan agen,
kontrol pada tatanan nilai yang terdapat dalam agama, sehingga agama merupakan
konsep aturan yang secara sadar maupun tidak mempengaruhi tindakan individu. Di
indonesia walaupun kesamaan dalam agama, namun apresiasi implementasinya
berbeda, hal ini karena pengaruh budaya yang membuat tatacara dan persepsi
mereka berbeda dalam ruang lingkup pada sesuatu yang benar dan salah, yang kita
ketahui sebagai awal dari sebuah pergerakan.

PEMBAHASAN
1. Islam dalam Sosial-Kebudayaan
Konsep identitas kebudayaan nasional pada hakekatnya adalah manifestasi
nilai-nilai kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dalam asfek kehidupan suatu
bangsa (nation) dengan ciri khas, dan dengan ciri yang khas tadi suatu bangsa
berbeda dengan bangsa lain dalam kehidupanya.2 Dalam hal unsur identitas
kebudayaan nasional, adalah pengetahuan manusia sebagai makhaluk sosial yang

isinya adalah perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan secara kolektif di
gunakan oleh pendukung-pendukung untuk menafsirkan dan memahami lingkungan
yang di hadapi dan digunakan sebagai rujukan atau pedoman untuk bertindak
(dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan
yang di hadapi.3
1

Robertus Robet, Republikanisme dan Keindonesiaan, hal.128
Tim Dosen Kewarganegaraan UNJ, Pendidikan Kewarganegaraan, hlm. 36
3
Ibid.,hlm. 37-38
2

2

Identitas nasional dan sosial-kebudayaan nasional dalam kontek keIndonesiaan kontemporer dengan kompleksitasnya maka hal ini akan menimbulkan
suatu kontestasi identitas budaya yang satu sama lainnya berlainan dalam ruang
lingkup masyarakat Indonesia yang majemuk dengan kepercayaan yang berbeda
atas satu pengakuan status quo kebudayaan . Ketika identitas Indonesia dalam
kontek ini di seragamkan (secara kolektif) pastinya kontroversi itu akan timbul

menjadi konflik horizontal besar yang harus mengalahkah identitas kebudayaan lain
dan memenangkan satu kebudayaan identitas unggul. Salah satu agama memang
tidak dapat memasuki dalam ranah kebudayaan nasion, dalam kontek kemajemukan
indonesia. Diawal 2013 sebuah kasus budaya yang menjadi pro dan kontara di
wilayah Aceh dalam kaitannya dengan kebudayaan islam contoh kasus pada
Pemkot Lhokseumawe yang menrencanakan Perda “larangan ngangkang saat di
bonceng pada wanita”, kasus ini menjadi perhatian banyak, Lhokseumawe
merupakan daerah dengan kebudayaan islam yang unggul, dalam segi pemerintahan
Lhokseumawe yang merupakan bagian dari wilayah Aceh yang merupakan daerah
istimewa dan berhat membuat aturan sesuai dengan keiatimewaan daerahnya.
Namun di sadari Lhokseumawe merupakan bagian dari Indonesia yang berideologikan kebudayaan yang bebas dalam arti tidak ada yang unggul secara
pemerintahan dan peraturan dalam kebenaran tunggal, hal inilah yang harus di
sadari bahwa akan timbul diskriminasi serta marjinalisasi kebudayaan yang
minoritas bila kebenaran tunggal memasuki ranah publik. Identitas kebudayaan
Indonesia haruslah berakar dalam konsep keberagaman dan toleran, bukan pada satu
kebudayaan yang memegang kebenaran tunggal.
Merujuk dari aliran gerakan organisasi sosial dalam agama islam yaitu
Nahdhatul Ulama dan Muhammadyah, dalam konsep falsafah hidup gerakan islam
ini merujuk pada kontek keislaman itu namun pada kontek ideologi gerakan kedua
gerakan besar islam ini saling bersebrangan. Hal ini menjadi tantangan yang utopia

bagi gerakan agama islam yang secara publik ingin mengislamisasikan Indonesia.
Realitas gerakan-gerakan islam, memang beragam latar belakang dan kepentingan,
hal ini juga menyulitkan penyeragaman yang nasion. Namun kita menyadari
islamisasi begitu kuat dan terus memperluas ideologinya dalam ranah budaya serta
sosial-politik, inilah yang menjadi sebuah kajian terus menerus. Walaupun kita
sadari peran agama islam dalam pembentukan karakter bangsa indonesia memiliki
pengaruh kuat, dari zaman prakemerdekaan sampai era Reformasi.
Etimologi Sejarah Politik Islam
Etimologi gerakan islam dalam rezim Orde Lama setelah kemerdekaan,
dengan hiruk pikuk politik pada masa itu, gerakan islam masuk kedalam ranah
politik seperti bermunculan partai berbasiskan islam (Masyuni, NU dan perti) yang
menjadi kekuatan besar aspirasi umat Islam. Namun disisi lain pemerintah Orde
Lama bahwa adanya pemberontakan gerakan Islam yang di lakukan Darul Islam/
Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yang merasa kecewa dengan pembentukan
Negara Republik Indonesia, kelompok gerakan ini mengganggap bahwa lebih baik
di bentuk Negara Islam Indonesia (NII). Yang membuat rezim Orde Lama
membumi hanguskan gerakan islam mencoba membentuk Negara Islam Indonesia
(NII), beserta ketuanya pada saat itu.

3


Ketika Orde Lama tumbang Perjalanan gerakan islam pun terhenti dalam
ranah politik dan sosial, ketika Rezim Orde Baru berdiri, politik meredam gerakan
islam dalam aspek politik dengan pembubaran partai Masyuni dan di tolaknya
rehabilitasi partai tersebut, yang membuat tokoh-tokoh penting dalam Masyuni di
perbolehkan memimpin Parmusi dengan di batasinya jumlah partai-partai islam
dari empat (NU, MI PSII DAN Perti) manjadi satu partai yaitu PPP, yang
menjadikan tidak bolehnya islam sebagai asas organisasi sosial dan politik. Secara
kaidah gerakan islam dalam ranah politik telah kalah oleh rezim Orde Baru,
sehingnga akses kebijakan politik pemerintahan melanggengkan asas tunggal
pemerintahan yaitu Pancasila, dengan pembenaran asas tunggal ini maka gerakangerakan islam secara radikal baik budaya serta sosial-politik di kontruksi oleh rezim
Orde Baru.
Melihat perjalan gerakan Islam yang panjang dengan ideologi bangsa
indonesia yaitu pancasila sejak runtuhnya orde baru, bangsa indonesia seakan-akan
juga runtuh nilai asas tunggal Pancasila. Kerisis multi dimensi (kepercayaan, sosialbudaya dan kepemimpinan) membuat Pancasila seakan tenggelam dalam peradaban
bangsa indonesia. Sejak saat itulah bermunculan gerakan-gerakan ke agamaan yang
secara konseptual dan kepemerintahan masuk kedalam kekosongan krisis multi
dimensi yang berkepanjangan ini dalam hal ini gerakan yang disebut akar rumput
Islam bermunculan sebagai bentuk dari proses demokratisasi, yang pada konsep ini
gerakan-gerakan akar rumput seperti From Pembela Islam, Hizbut Tahrir,

Himpunan Mahasiswa Islam dan gerakan yang lainnya, muncul sebagai gerakan
yang eksis menasionalisasikan permahaman nilai agama melalui gerakan yang
mereka masuk dalam sistem kemasyarakatan dan kepemerintahan. Kontestasi yang
tidak terhindarkan dalam melihat kebenaran tunggal kelompok membuat ketidak
pastian dalam menentukan arah dan tujuan bangsa ini, yang seakan akan tenggelam
dalam polemik “menerapkan dan menterjamahkan” baik dan buruk untuk menuju
masa depan bangsa.
Dalam konteks pancasila sebagai identitas kebudayaan barsama yang relevan
dan merangkul semua kebudayaan dan agama di indonesia yang tergelam oleh
eksitensi ideologi agama. Dalam kontek ini penulis ingin merefleksikan bahwa
indonesia dari masa-kemasa, telah menganut pemahaman tentang kontek perbedaan
yang pada hakikatnya terbingkai dalam kontek keindonesiaan, memang di
sayangkan setelah runtuhnya era orde baru yang pada saatnya menafsirkan
Pancasila secara konseptual yang dokrinitas dan radikalis, membuat indonesia
kontemporer seakan menjauhi ideologi Pancasila. Sejak runtuhnya era orde baru,
konflik seakan bagaikan bom atom yang meledak di tengah kondisi yang
memprihatinkan. Kebimbangan dan keberpihakan serta kepentingan muncul di
mana tidak adanya netralitas di masyarakat dan kehidupan bernegara.
Mengkaji perbadaan Jean Francois Lyotard, Ketika totalitas individu dalam
gerakan keagamaan tercipta maka kita takan melihat indonesia sebagai bangsa yang

unik, karena keunikan tercipta dimana perbedaan muncul didalamnya dalam bingkai
rasa saling menghargai dan toleran, sebenarnya itulah bangsa indonesia, dimana
budaya dan agama saling merlukan satu dengan yang lainnya, jika kita melihat
perjalanan panjang persebaran agama, maka kita akan memahami penyebaran
agama bentuk toleransi dan pleksibelitas agama dan budaya.

4

Dalam hal ini mari kita lihat 3 wujud kebudayaan untuk mengkajinya4:
1) Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari idea, gagasan, nilai, norma,
peraturan.
2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas secara tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat
Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Ketika
pancasila di letakan pada konsep Indonesia kontemporer, dimana semua
kebudayaan khususnya dalam kontek gerakan agama dan nasionalis sekuler telah
bertempur memperebutkan bangku identitas bangsa indonesia dengan berbagai cara,
sehingga ideologi pun kini jadi komoditi pasar persaingan budaya dan identitas
bersama sehingga pancasila seolah-olah kini tenggelam dalam peradaban
bangsanya. Ketika identitas dimana Indonesia kontemporer haruslah berdasarkan

kebudayaan agama yang pada dasarnya relevansi keberagaman dengan Indonesia itu
sendiri bertentangan.
Konsep Esensialisme kebudayaan pandangan yang menganggap bahwa
segala sesuatu memilik identitas yang tetap, stabil dan bisa di universalkan. Dan
letakan nilai Pancasila dalam konsep esensialisme kebudayaan nasional. Contoh
nilai yang terdapat pada sila pertama “ketuhanan yang maha esa” kata ketuhanan
merupakan identitas tetap bagi setiap makhaluk (rakyat indonesia) yang memilki
kepercayaan yang dan bersifat tetap, dan dalam sila pertama tersebut memilki sifat
kata yang dapat di universalkan untuk setiap mahluk beragama.
Namun ketika konsep esensialisme kebudayaan meletakan suatu ideologi
budaya agama dalam bentuk kebudayaan Indonesia yang majemuk, maka hal ini
tidak dapat menjadikan suatu ciri khas bagi bangsa Indonesia, yang memiliki
keberagaman. Karena kebudayaan agama bersifat statis dan hanya relevan bagi
pemeluk kepercayaan agama tersebut, dikarenakan setiap daerah yang ada di dalam
Indonesia berbeda satu sama lain dalam hal agama, etnis, suku dan ras. Sehingga
pemersatu perbedaan haruslah di pertahankan dalam konsep kebudayaan bersifat
tetap namun universal bukan malah di pertentangkan.
Perjalan sejarah kebijakan politik kebudayaan, merujuk konsep “gellner”,
kebudayaan adalah anak kandung atau proyek sejarah industri suatu masyarakat
yang terlalu gagah dan kompleks untuk hanya sekedar di abadikan bagi kemauan

individual. Ini sangat relevan dengan suatu era kekuasaan di mana sejarah menjadi
bagian penting dari perkembangan budaya yang ada di Indonesia ketika nilai agama
di universalkan dalam kontek kenegaraan.
2. Politik Ruang Publik
Sejak kemerdekaan, perdebatan masalah kemasyarakatan senantiasa di
dominasi pertukan fikiran antara kaum elitis dan kaum populis. Tentang islam,
seperti dikembangkan Bung Karno, tetapi itu hanya meramaikan situasi yang tidak
menjadi isu utama. Masalah pokok yang di hadapi adalah bagai mana selanjutnya
Indonesia harus di bangun, dalam hal ini mengisi kemerdekaan. Dalam perdebatan
itu warga Nahdhtul Ulama (NU) memiliki peran penting dalam membangun dan
negara Indonesia. Pada 22 Oktober 1945, pengurus besar NU di Surabaya,
mengeluarkan “resolusi Jihad” untuk mempertahankan dan memperjuangkan
4

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hlm. 150

5

Republik Indonesia dalam kewajiban agama atau disebut jihad, meski Indonesia
bukan negara Agama.
Negara islam adalah sesuatu yang tidak konseptual dan tidak di ikuti
mayoritas kaum muslim. Hal ini menjadi amat penting, karena mengemukakan
gagasan negara islam tanpa ada kejelasan konseptualnya, berarti membiarkan
gagasan itu tercabik-cabik karena perbedaan pandangan para pemimpin islam
sendiri.5 Ini karena pada islam tidak memiliki sistem konsepsi suatu negara islam
seperti apa akan di bentuk, dan ketika merujuk pada negara-negara yang mengakui
akan bentuk negara islam (negara timur). Namun pada dasarnya hal yang dilakukan
negara-negara timur tidak memilik kejelasan bagai mana islam memilih
pemimpinnya. Akibatnya sistem mornarkilah yang terbentuk di negara timur.
Indonesia dalam sejarah dan Indonesia kontemporer, tidak lepas dari
intervensi suatu privatisasi kelompok untuk menerapkan nilai budayanya dalam
kontek nasional dengan kelompok baik secara dokrin bahkan radikal yang
belakangan muncul satu-persatu kepermukaan. Dari intervensi kelompok dari
agama mayoritas terhadap agama monoritas sampai pada budaya populer menindas
budaya sederhana (tradisional/kepercayaan). Dan dengan adayanya intervensi dari
agama, maka seakan-akan negara ini adalah milik privat satu kelompok.
Pembahasan disini akan dibahas bahwa islam adalah agama mayoritas yang
dominan di setiap intansi pemerintahan dan masyarakat. Dalam hal ini islam
sebagai agama yang paling berpengaruh dalam setiap kebijakan dan perundangundangan dan sistem sosial.
Mentri agama yang seharusnya milik semua agama, namun belakangan ini
mentri agama yang tidak mempersatukan perbedaan agama yang ada, malah hanya
mementingkan satu kelompok agama mayoritas. Sehingga penulis dapat
menyatakan bahwa ini akan menimbulkan kecemburuan antar umat beragama yang
merasa termarjinalisasi. Dalam hal ini secara langsung dan di sadari bahwa
islamisasi indonesia akan pada suatu letak yang di perhitungkan bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Kehidupan sosial masyarakatpun tidak lepas dari nilai yang di bawa agama
islam oleh kelompok melalui media yang di sebut syiar agama baik cetak maupun
elektronik, segala sesuatu hal yang baik selalu di sinyalir di ambil dari agama
tersebut, segala yang menyangkut moralitas dan sistem interaksi yang di bawa
kedalam ruang publik seakan akan hanya ada satu ajaran di negara ini yaitu islam
contoh kebudayaan film dan media-media di intervensi oleh agamais yang membuat
batas-batas, kebebasan berekfresi hilang. Intervensi dan diskriminasi agamais
mayoritas terhadap budaya minoritas dengan arus globalisasi budaya dan politik
yang tidak jelas arah dan tujuannya. Menimbulkan ruang publik Indonesia
kontemporer sebagai ajang pertarungan budaya antar dikotomi yang berseteru.
Keyakinan akan mengkonstruksi bagai mana nasion di bentuk menjadi sebuah
dilimatisasi dengan perbedaan yang bangkit sebagai sebuah hal yang harus di
musnakan. Dimana tantangan demi tantangan mulai banyak di hadapi indonesia
kontemporer bukan hanya tingkat lokal namun tingkat global yang terus menggerus
identitas kebudayaan Indonesia yang kolektif.
5

Abdurahman Wahid ,Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat, hal . 5

6

Dalam ini agama masih mempengaruhi konsepsi umum tentang kehidupan
sosial dan budaya sejak prakemerdekaan dan reformasi. Politik kebudayaan
seharusnya di perlukan untuk menjawab kebutuhan mengenai arah dan cita-cita
Indonesia sebagai suatu komonitas politik yang masih perlu di pertahankan. Isu-isu
kekuasaan dan budaya yang akan di tampilkan dari kekuasaan tersebut selalu
bersifat “politis” karena secara otomatis tidak bisa terlepas dari persoalan
kekuasaan. Akibatnya budaya merupankan Zona politik yang paling ideal
mengkontruksi sebuah negara dalam aspek pemerintahan dan sosial.
Dalam pemberitaan di berbagai media massa, kerap terbaca bahwa doktrin
dianggap sebagai penyebab utama terjadinya konflik beragama, sebuah klaim yang
agak sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Dalam pembenaran contoh kasus
pemerintah membuat sebuah Undang-Undang anti ponografi dan porno aksi, jika di
uji kebenarannya pembuatan undang-undang tersebut tidak lain di belakangi oleh
ormas agama, dalam hal ini islam sebagai agama mayoritas bukan dari sudut
pandang jumlahnya saja namun pada sisi politiknya agama islam berperan dalam
medokrin ideoliginya lewat kebijakan politik. Melihat kasus yang terjadi yang
mendapat pro dan kontra tentunya, ketidak berpihakan pada pengesahan undangundang ini terdapat pada kelompok luar islam, yang merasa undang-undang ini di
anggap sebagai bentuk dari perpecahan budaya dan menghomogenitaskan semua
kelompok. Namun dalam hal ini politik sebagai pertimbangan umum di musnakan.
Ini secara jelas terjadi dalam berbagai kasus aspirasi perundangan belakangan ini.
dalam kasus RUU Anti Ponografi dan Porno aksi serta perda-perda bermasalah, kita
sebenarnya mengkhawatirkan bahaya dari makin sulinya memperkokoh akal budi
manusia indonesia karena berbagai peraturan tersebut lebih bermaksud mengklaim
kebenaran tunggal, mentotalisasi ruang publik, dan kehancuran perbedaan,
ketimbang misalnya sungguh-sungguh melindungi perempuan dan anak-anak dari
pornografi.6
Dalam kasus ini terlihat bahwa kebenaran tunggal ruang publik akan
peraturan menjadi kontropersi, di karenanakan secara sistematis ponografi dan
porniaksi tidak ada batasan yang jelas. Dalam peraturan ini pula guka melihat
budaya yang ada di indonesia maka pertanyaan tentang RUU Anti Ponografi dan
Porno aksi, bagai mana dengan budaya yang ada di masyarakat daerah timur
indonesia (papua). Yang mayoritas dari mereka tidak menggunakan pakaian yang
layak yang dapat dikatakan Ponografi dan Porno aksi. Dan bagai mana dengan
masyarakat yang miskin yang kekuranan pakaian. Apakah dari mereka harus di usir
dari indonesia ataukah mereka harus menyesuaikan dengan kondisi dimana mereka
tidak menyukai hal tersebut. contoh ketika oprasi koteka pada era orde baru, dimana
pemerintah berfikir dengan ekonomi yang mulai stabil dan indonesia telah
memasuk babak perekonomian yang maju, tapi masih ada rakyatnya yang tidak
memakai pakaian, maka terlaklaksanalah oprasi koteka(pakaian adat papua)
tersebut. namun kenyataannya oprasi koteka tersebut gagal. Di karenakan
masyarakat tersebut lebih nyaman dengan apa yang mereka pakai.
3. Politik Gerakan Islam

6

7

Robertus Robet ,Republikanisme dan Keindonesiaan, hal.137

Zald menyatakan bahwa topik mengenai framing sebagai sebuah aktivitas
strategi. Yaitu Keretakan dan kondisi budaya menyediakan konteks dan sekaligus
kesempatan bagi kader-kader gerakan, yaitu pimpinan, partisipan inti, aktivis dan
simpatisan, ada sebuah proses aktif faming dan pendefiniasian ideologi, simbol,
peristiwa-peristiwa yang mampu menjadi akion oleh para pengusaha moral.7 Dalam
kontek sosial-politik, NU dan Muhammadiyah memiliki strategi dalam
mengkaderisasi masyarakatnya lewat pendidikan, politik dan media populer
(televisi) dan lain sebagainya, kedua gerakan ini meluhat peluang kekosongan
identitas secara tidak langsung memberikan dokrin kepada masyarakat lewat
sosialisasi yang dilakukannya.
Latar belakang dan frame referensi dengan menilai motivasi agama dalam
politik nasional, apa yang dapat menyebabkan kekerasan dengan akar agama
menegakan kebaikan, dalam beberapa kasus gerakan agama ternyata telah masuk
dalam ruang publik yang mencangkup lebih luas hal ini dapat di analisis dalam
ruang politik, sebagai berikut:
1) Politik Pendidikan
Dalam dunia pendidikan gerakan organisasi agama seperti Muhammadiyah,
telah merancang sedemikian rupa pendidikan sebagai proses freming atau kaderisasi
Pendidikan Muhammadiyah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
gerakan Muhammadiyah. Dari pendidikan Muhammadiyah ini diharapkan akan
muncul kader-kader Muhammadiyah yang mampu mengemban misi selaku
khalifatullah fil ardl(pemimpin di muka bumi). Oleh karena itu, dalam upaya
mewujudkan misi tersebut diperlukan suatu pendidikan yang berorientasi pada
pencapaian visi keunggulan dalam kepribadian (iman dan taqwa serta akhlaq
mulia), kompetensi keilmuan, dan keterampilan. Untuk melancarkan amal usaha
seperti pandangan, cita-cita serta cara yang ditempuh maka sangat penting,
Muhammadiyah memilki pegangan yang pasti untuk masa kini dan seterusnya, baik
anggota-anggota pimpinanya. Dalam hal ini mata pelajaran kemuhammadiyahan di
rumuskan sebagai kepribadian Muhammadiyah.
Pelajaran kemuhammadiyahan wajib di ajarkan di sekolah Muhammadiyah,
untuk
yang pertama latar belakang Muhammadiyah, yang kedua tujuan
muhammadiyah dan kederisasi Muhammadiyah. Muhammadiyah mengajarkan
membentuk kader-kader Muhammadiyah dengan belajar kemuhammadiyahan
dengann tujuan positif dengan belajar Muhammadiyah di sekolah dengan belajar
tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam mata pelajaran kemuhammadiyahan. Dalam
mempelajari kemuhammadiyahan, ciri-ciri pelajar Muhammadiyah dan fungsi
lembaga pendidikan muhammadiyah, maka tamatan pendidikan muhammadiyah
diharapkan akan menjadi penerus, pelopor dan penyempurna amal usahas
muhammadiyah. Tetapi muhammadiyah juga menyadari tidak semia pelajar
muhammadiyah dari keluarga muhammadiyah sudah dapat dikatakan bahwa
pendidikan muhammadiyah sudah benar-benar berhasil. Selama ini juga
menunjukan tidak sedikit mereka yang tidak berasal dari keluarga Muhammadiyah

7

Abdul Wahib Situmorang, Gerakan Sosial; studi kasus beberapa perlawanan, hlm.11

8

yang ternyata dapat menjadi kader muhammadiyah serta tujuan muhammadiyah
yaitu baldatun thayyibatun warrobbun ghafur segera terwujud.
2) Politik Gerakan Partai
Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau
berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara.8 Partai politik merupakan akses
utama mengnasionalisasikan ideologi, baik secara pengelolaan kenegaraan maupun
kemasyarakatan. Munculnya gerakan partai yang ber-ideologikan nilai agama,
memang bukan hanya terjadi dalam konteks Indonesia kontemporer sejak era
kemerdekaanpun banyak seperti partai Masyuni, yang lebih mengarah pada
pembentukan Negara Islam Indonesia (NII), yang pada masa pemerintahan
soekarno di bubarkan dan pemimpinnya di eksekusi dengan hukuman mati.
Pada masa pemerintahan orde pun dapat di analisis partai-partai yang berideologikan agama yang di terjemahkan oleh penguasa Orde Baru kedalam partai
yang nasional yang menyebabkan perang dingin persaingan politik . Namun dalam
kontek indonesia kontemporer partai gerakan rakyat yang menciptakan partai politik
mulai beragam, dari berbagai aliansi agama-agama yang ada di indonesia. Sejak
saat partai politik seakan-akan bentuk kontestasi dan intimidasi terhadap agamaagama. Gerakan-gerakan keagamaan yang mempertahankan iman dan
keyakinannya saling mernyerang dan menjatuhkan, hal ini lah yang menjadi latar
belakang konflik antar umat beragama. Dalam kontek ini baik dan buruk suatu iman
dan keyakinan yang masing-masing kelompok pertahankan menimbulkan gerakangerakan saling berprasangka dan mungkin masa depan inidonesia akan menjadi
masa depan konflik berkepanjangan antar agama yang membela kepercayaan serta
iman mereka dalam mengkontruksi negara ini.
Kita dapat mengambil contoh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang
memilki ikantan historis dengan NU, yang terlahir melalui proses amanat demikratis
yang di trasformasikan secara langsung kepada praktik demokrasi. Mengambil
peran yang cukup besar bagi keputusan dan kebijakan arah negara. Hal inilah yang
membuat indonesia kontemporer tidak lepas dari gerakan-gerakan partai politik
keagamaan.
3) Politik Gerakan sosial kemasyarakatan
Untuk memahami tempat agama dalam rasionalisme nasional, sangat penting
untuk mengakui bahwa masyarakat merupakan proyek moral, yaitu, sebuah proyek
dari dunia bangunan. Kehidupan sosial merupan arena terpenting dalam proses
menanamkan sebuah ideologi, dari interaksi yang dilakukan dapat mempengaruhi
iman dan kepercayaan individu dalam menulai sesuatu. Ketika aktor agama terlibat
modernitas, mereka selalu membangun identitas agama mereka. Pada kasus arena
sosial tidak lepas dari peran media yang secara langsung maupun tidak langsung
mengkontruksi sikap individu. Dalam strategi politik suatu pencapaian usaha untuk
menggapai sesuatu yang diingikan haruslah di sistematiskan dalam aspek
kehidupan.
Gerakan agama islam dalam hal ini telah memasuki ranah yang sangat luas
dalam kehidupan bermasyarakat. Contoh kasus media televisi merupakan strategi
dan tempat yang strategis dalam menyiarkan ajarannya, hal inilah yang secara
8

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,hal.397

9

langsung maupun tidak langsung gerakan politik kemasyarakatan untuk
menanamkan nilai sangat sistematis. Baik berdasarkan politik kemasyarakatan dan
politik bernegara, gerakan islam telah mencapai pada titik di mana masyarakat
indonesia kontemporer dapat meneriama nilai yang terkandung dalam ajaran islam.
Baik nahdatul ulama yang merupakan gerakan islam yang besar di indonesia,
mengatur dan mempengaruhi kehidupan berbangsa. Dalam aspek budaya dan
politik, nahdatul ulama merupakan gerakan yang dapat merelevankan konsep nilai
islam kedalam ruang publik, walaupun secara harpiah mereka secara tidak langsung
telah masuk dalam ruang publik.
Dalam berbagai gerakan kecil seperti From Pembela Islam, Hizbut Tahrir,
Himpunan Mahasiswa Islam dan gerakan yang lainnya. Telah masuk keranah sosial
masyarakat, pemerintahan serta pendidikan sebagai agen pengontrol, namun jika di
analisa dengan begitu banyaknya gerakan agama Islam namun proses nasionalisasi
dengan tujuan negara islam, hal ini mungkin hanya sebagai suatu yang utopia,
ketika persepsi dalam gerakan berbeda namun pada dasarnya berlandaskan ajaran
islam.

KESIMPULAN
Agama mempunyai kaitan yang sangat erat dalam kehidupan bermasyarakat,
agama mempunyai fungsi dan peranan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang
timbul di masyarakat yang tidak dapat di pecahkan secara empiris. Pentingnya
gerakan agama dalam perjalanan bangsa Indonesia, adalah dalam aspek pengontrol
masyarakat dan pemerintah membawa bangsa Indonesia tidak terlalu tenggelam
dalam ranah keterpurukan moral. Namun harus kita sadari gerakan agama terkadang
mengarah pada dokrin yang radikalis, yang secara umum telah mendiskriminasi
agama minoriyas serta kebudayaan minoritas yang ada dalam ruang publik.
Pada dasarnya kerakteristik dari suatu bangsa ada dalam konsep kebudayaan
yang di bentuk melalui segi sosial-politik. Identitas kebudayaan Indonesia
kontemporer
kehilangan dimensi identitas yang tetap, stabil dan bisa di
universalkan. Ketika rasa pancasila absen dari kehidupan berbangsa bernegara maka
Indonesia yang dinamik dan plural tidaklah seperti itu lagi. Maka dari itu pula
penulis berkeyakinan jika, suatu kontruksi agama-kebudayaan melalui politik yang
kolektif dan tersistematisasi haruslah mereaktualisasi pancasila (menghadirkan
kembali pancasila di dalam sendi berbangsa dan bernagara) sebagai identitas
ideologi kebudayaan, di zaman yang penuh tantangan dan ketidak pastian. yang di
dalam nilai-nilai terkandung di dalamnya merupakan cita-cita dan karakteristik
bangsa Indonesia yang plural.
Membangun kehidupan bermasyarakat tanpa memandang perbedaan agama,
tentu merupakan awal yang sangat positif, karena tidak ada upaya perdamaian
agama yang lebih baik, selain dialog dalam kehidupan sehari-hari. Yang tak kalah
pentingnya adalah peran tokoh-tokoh agama, yang harus memberikan pemahaman
keagamaan yang damai, dan tidak menonjolkan perbedaan untuk mendiskreditkan
orang lain. Dalam hal ini pemisahan antara ruang publik dan ruang privat agama
seharusnya dapat di pisahkan secara baik, agar di minimalisir ketegangan yang
berakibat konflik. Pemisahan antara ruang publik merupakan solusi yang utama
yang harus di tanamkan yaitu memisahkan iman dan kepercarayaan dalam kontek

10

dunia politik dan kemasyarakatan, gerakan keagamaan memang tidak dapat di
pungkiri merupaka wujud dari mempertahankan iman dan kerpercayaan. Hal inilah
yang harus di cari jalan solusinya agar di masa mendatang gerakan-gerakan agama
hanya mengurusi iman dan kepercayaan dalam agamanya dan tidak mengusik
agama yang lain dalam hal iman dan kepercayaan, dengan rasa toleransi dan
memahami perbedaan maka indonesia di masa mendatang merupakan bangsa yang
kuat dalam bingkai perbedaan yang saling melengkapi antar geraka-gerakan
keagamaan yang bertujuan untuk kepentungan dan kebersamaan memajukan,
mensejahtrakan dan menegakan keadilan bangsa indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Tim SETARA Institute. Dari Radikalisme Menuju Terorisme (Studi Relasi dan
Transpormasi Organisasi Islam Radikal di Jawa Tengah & D.I Yogyakarta),
SETARA Institute, Jakarta, 2012.
Wahid Abdurrahman, Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat,cet.4. Kompas,
2010.
Maduro, Otto. 1989. Religion and Social Conflicts. New York. Orbis Books.
Kodri, Suratno, Hidayat Syarif, Syayid(2002). Buku Sumber Pembelajaran
Kemuhammadiyahan.
Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah
Muhammadiyah Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta).
Robet Robertus, Republikanisme dan Keindonesiaan Sebuah Pengantar , Marjin
Kiri, 2007
Tim Dosen Kewarganegaraan UNJ, Pokok-Pokok Materi Kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan, Edisi Revisi, Jakarta, 2010.
Rizer George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi
Klasik sampai Perkembangan Muktahir Teori Sosial Postmodern . Yogyakrta
: kreasi Kencana, 2008.
Alhaj Pangeran dan Patria Surya Usmani, Materi Pokok Pendidikan Pancasila ,
Cet.2. Modul 1-6. Universitas Terbuka, 1994.
Alvin dan Suwarsono, Perubahan Sosial dan Pembangunan, cet.2. Jakarta, LP3ES,
1994
Awuy F Tommy, Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan,cet.1.
Yogyakarta: Jatera Wacana Publik, 1995.
Budiardjo Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Edisi Revisi, Jakarta, Rineka Cipta,
2009.
Sultan Hamengku Buwono X, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Sumber lain

11

http://ejournal.umm.ac.id/index.php/bestari/article/viewFile/126/130umm_scientific
_journal.doc&rct=j&sa=U&ei=sKaxUJjCC4rirAeeh4HIDw&ved0CBIQFjA
A&q=masa+kemerdekaan+nasionalisme+agama+dan+nasionalisme+sekuler
+pdf&usg=AFQjCNH6W6FmvjzYqah6zaDgmQ-a3OJeQ (diakses 25-112012 pukul 12:30 WIB)
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,41242-lang,id-c,nasionalt,Membangun+Bangsa+dari+Papua-.phpx (diakses 15/12/2012)
http://anwarfutuhiyyah.files.wordpress.com/2010/06/radikalisme-agama-dan-masadepan-indonesia2.pdf (di akses 8/12/2012)

12