Dekolonisasi Sejarah Indonesia dalam Per
Dekolonisasi Sejarah Indonesia dalam Perspektif Poskolonial Belanda 1
Oleh Amin Mudzakkir2
Pendahuluan
Tulisan ini akan memperlihatkan bahwa dekolonisasi bukan hanya tema yang penting, jika bukan
yang terpenting, dalam perdebatan historiografi nasional di bekas negeri jajahan, tetapi juga di
bekas negeri penjajah. Di Indonesia, hal pertama sudah sering dibahas, tetapi hal kedua nyaris
terabaikan. Pembaca Indonesia hampir tidak mempunyai pengetahuan sama sekali mengenai
proses dekolonisasi di kalangan orang Belanda ketika menyaksikan daerah koloni mereka lepas
dari genggaman. Deklarasi kemerdekaan 1945 menurut Indonesia atau penyerahan kedaulatan
1949 berdasarkan pengakuan Belanda seolah memutus mata rantai sejarah di antara kedua entitas
yang sebelumnya berada dalam satu imperium kolonial yang sama.
Masalahnya memang bukan sekadar miskinnya perspektif dalam historiografi Indonesia,
tetapi di Belanda sendiri tema mengenai dekolonisasi belum lama digeluti. Menurut Wim
Willems (2003), tema ini baru dianggap penting oleh publik Belanda pada tahun 1980-an seiring
dengan kebutuhan untuk mengintegrasikan para imigran ke dalam masyarakat Belanda. Dalam
proses itu, tema dekolonisasi muncul bersamaan dengan rekonstruksi terhadap ingatan kelompok
imigran poskolonial. Poskolonialitas dan poskolonialisme sebagai suatu disiplin akademis adalah
kata-kata kunci dalam perdebatan dekolonisasi lebih lanjut.
Akan tetapi, seperti akan kita bahas di bawah, poskolonialisme adalah perspektif yang
kurang berkembang di lingkungan akademis Belanda (Bosma, 2012). Hal ini menyebabkan tema
dekolonisasi terlambat dibicarakan, termasuk pokok permasalahan tulisan ini: bagaimana
dekolonisasi sejarah Indonesia diwacanakan oleh mereka. Sama seperti pembaca Indonesia,
pembaca Belanda tidak terlalu berminat untuk mengetahui apa yang terjadi dengan Indonesia,
bekas negeri jajahan mereka, setelah 1945. Indonesia dan Belanda yang lahir setelah itu
1
Disampaikan pada The Third Graduate Seminar of History, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 3-4 November
2015.
2
Peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Regional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan mahasiswa program
doktoral di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
1
dianggap Indonesia dan Belanda baru yang tidak terkoneksi satu sama lain dengan periode
sejarah sebelumnya.
Memikirkan Ulang Dekolonisasi
Selama ini banyak orang menganggap dekolonisasi adalah persoalan bekas negeri jajahan
semata. Ia dianggap hanya sebagai proses yang dilakukan oleh bekas bangsa terjajah untuk
keluar dari warisan struktural dan kultural yang ditinggalkan oleh bekas bangsa penjajahnya.
Dalam proses itu, penilaian moral yang dualistik sering mengemuka. Bangsa penjajah adalah
jahat, sementara bangsa terjajah adalah baik. Ia membalik begitu saja posisi-posisi sebelumnya
yang dibangun oleh narasi kolonial. Historiografi Indonesiasentris yang berusaha dibangun sejak
Seminar Sejarah Nasional I 1957 berkembang dalam kesadaran seperti ini (Mohammad Ali,
1995).
Cukup pasti nasionalisme adalah ideologi di balik kesadaran sejarah negara yang baru
merdeka itu. Namun hal ini tidak khas Indonesia, tetapi juga merupakan fenomena di manamana. Sejak akhir abad ke-18, Eropa pun mengalami hal serupa (Hobsbawm, 1992). Dalam
proses ini, buku-buku sejarah ditulis sebagai ‘invensi tradisi’ untuk mengukuhkan berdirinya
suatu negara-bangsa modern baru yang unik daripada bentuk-bentuk kenegaraan sebelumnya.
Seingkali ia bukan suatu temuan, melainkan sebuah penciptaan (Hobsbawm dan Ranger, 2012).
Bambang Purwanto (2006) telah mengulas problematika di seputar gagasan dan praktik
historigrafi Indonesiasentris. Selain secara substantif dinilai belum beranjak dari paradigma yang
hendak ditolaknya, yaitu historiografi kolonialsentris atau nederlandosentris, historiografi
indonesiasentris dalam konteks kekinian gagal menangkap kompleksitas dalam pertarungan
politik identitas Indonesia kekinian. Oleh karena itu, alih-alih menerangi jalan modern
keindonesiaan, karya-karya sejarah yang ditulis akhir-akhir ini—termasuk model sejarah hari
jadi kabupaten atau kota—justru mempertebal sentimen primordial.
Apa
yang katakan oleh Bambang Purwanto terasa masih relevan jika kita melihat
mandeknya perdebatan tentang dekolonisasi yang sering direduksi hanya menjadi perkara
penyerahan kedaulatan politik dari negara bekas penjajah ke negara baru merdeka semata.
Pengertian dekolonisasi seperti itu akan sulit menangkap kompleksitas yang inheren dalam
2
realitas sejarah dekolonisasi itu sendiri. Dalam kasus Indonesia, konteks Perang Dingin pada
masa itu cukup pasti berpengaruh terhadap keputusan-keputusan politik yang diambil baik oleh
pemerintah Indonesia dan Belanda. Belum lagi perseteruan di antara sesama nasionalis Indonesia
sendiri dalam menentukan bagaimana Indonesia dikelola dan mau ke mana ia akan diarahkan.
Sementara itu, berbagai literatur yang ditulis belakangan justru menunjukkan bahwa
dekolonisasi adalah peristiwa yang tidak hanya melibatkan ketegangan diplomatik atau
peperangan fisik antara dua negara, tetapi juga menyangkut manusia yang mengalami itu
(Misalnya, Oostinde dan Klinkers, 2003; Bogaert dan Raben, 2012). Model historiografis
kekinian ini lebih melihat dekolonisasi sebagai fenomena sejarah global yang disemangati oleh
aspirasi hak asasi manusia universal. Dengan pendekatan ini, pengalaman individu-individu
ditampilkan sebagai ironi dari imperium kolonial itu sendiri. Eksploitasi ekonomi dan politik
yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa selama era kolonial seolah harus dibayar dengan
dengan serangkaian tragedi kemanusiaan yang menimpa para mantan pendukungnya.
Migrasi adalah konteks bagi perkembangan historiografi kekinian itu. Di Belanda dan
negara-negara Eropa lainnya, migrasi menjadi persoalan krusial. Kepulangan orang-orang Eropa
atau semi-Eropa dari negeri-negeri bekas koloni menimbulkan persoalan tersendiri. Sejak
berakhirnya Perang Dunia 11 pada 1945, sejarah kolonial justru hadir langsung di tengah
masyarakat Eropa. Memang para imigran poskolonial ini tetap ‘invisible’ dibanding para imigran
‘pekerja tamu’ dan keluarganya (Smith, 2003), tetapi belakangan keberadaan mereka menjadi
bahan refleksi untuk memikirkan ulang dekolonisasi yang ternyata merupakan proses yang tidak
pernah usai.
Perkembangan historiografi dekolonisasi terkini disemangati oleh poskolonialisme.
Berdasar sudut pandang ini, peristiwa dekolonisasi justru lebih sering menimbulkan ambivalensi
di bekas negeri penjajah sendiri. Penilaian moral terhadap masa lalu mengemuka, tetapi dalam
cara dan bentuk yang ambivalen. Di Belanda, hal ini dipicu oleh rekonstruksi terhadap ingatan
tentang Perang Dunia II di Pasifik yang tumpang tindih dengan ingatan peristiwa serupa di
daratan Eropa (Locher-Scholten, 2003). Melalui situasi inilah perdebatan tentang dekolonisasi
sejarah Indonesia kembali muncul setelah sekian lama terabaikan, tetapi dengan cara dan dalam
3
bentuk yang sama sekali berbeda dengan bayangan historiografi nasionalis yang berkembang
selama ini.
Trauma Dekolonisasi
Bagi Belanda, dibanding dengan Antilens dan Suriname, dekolonisasi di Indonesia jauh lebih
menyulitkan. Sementara dua bekas negeri koloni Belanda di Karibia itu melewati transisi
pascakolonial tanpa gejolak berarti, Indonesia melewati jalan sebaliknya. Di sini revolusi
nasionalis berlangsung keras dan lama. Setidaknya butuh waktu kurang lebih 20 tahun bagi
Belanda untuk menyerahkan seluruh daerah yang dulu bernama Hindia Belanda ke tangan
pemerintah Indonesia.
Proses dekolonisasi Indonesia dimulai sejak pendudukan Jepang pada 1942-1945. Selama
periode ini, ribuan orang Belanda di Indonesia dipenjara, sementara sebagian lainnya berusaha
bermigrasi secara terpaksa ke Australia, Amerika Serikat, dan Belanda. Setelah 1945, sekitar
100.000 orang Belanda masih bertahan di sini untuk menjaga aset-aset mereka. Namun sikap
Belanda yang bertentangan dengan aspirasi pemuda membuat peperangan tidak terhindarkan
lagi. Belanda menyebutnya sebagai periode ‘bersiap’ yang memakan ribuan korban jiwa,
termasuk orang Eropa, orang Belanda, dan orang Indo (Eurosia). Barulah pada tahun 1949,
dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), Belanda menyerahkan kedaulatan kepada pemerintah
Indonesia (RIS).
Namun pertentangan tidak berhenti pada tahun 1949. Setelah itu sikap saling bermusuhan
di antara Belanda dan Indonesia terus berlanjut seiring dengan mulainya Perang Dingin. Jargon
revolusi yang terus menerus disuarakan oleh pemimpin kaum republiken, Soekarno, membuat
orang Belanda yang masih tinggal di Indonesia hingga paruh pertama dekade 1950-an tidak
merasa aman lagi. Mereka merasa masa tinggalnya di bekas imperium kolonialnya tidak akan
lama lagi. Hal ini menjadi kenyataan setelah program nasionalisasi perusahaan-perusahaan
Belanda di Indonesia dilaksanakan pada 1958. Mereka akhirnya terpaksa bermigrasi ke Belanda.
Penguasaan Irian Barat oleh Belanda adalah batu sandungan terbesar hubungan
diplomatiknya dengan Indonesia yang terputus pada 1960. Berdasarkan kesepakatan dalam KMB
1949, Irian Barat memang akan diserahkan kepada Indonesia, tetapi Belanda selalu menundanundanya. Bagi Belanda, persoalannnya memang sangat psikologis. Arend Lijphart (1966),
seorang profesor ilmu politik di Universitas van Amsterdam, menyebutnya sebagai ‘trauma
4
dekolonisasi’ di kalangan orang Belanda. Dalam ulasannya terhadap buku Lijphart, Van Der
Kroef (1967) mengatakan bahwa trauma itu pada dasarnya disebabkan oleh kekeraskepalaan
Belanda sebagai akibat dari perasaan kehilangan daerah jajahan yang telah menjadi bagian dari
identitas imperium Belanda selama ratusan tahun dan kebencian terhadap kaum republik di
bawah pimpinan Soekarno yang dianggap kolaborator Jepang selama Perang Dunia II.
Namun tentu saja trauma dekolonisasi bukan perkara psikologis semata. Pada dasarnya ia
merupakan masalah ekonomi dan politik. Secara ekonomi, Indonesia adalah lahan eksploitasi
yang sangat menguntungkan Belanda. Sebuah kredo Belanda mengatakan ‘Indie verloren,
rampspoed geboren’ (jika Hindia hilang, bencana datang). Meski ekonom Jan Tinbergen
menghitung bahwa lepasnya Indonesia dari genggaman hanya akan berdampak pada hilangnya
14 % seluruh pemasukan negeri Belanda sebelum Perang, tetapi mantan menteri koloni Ch.
J.I.M. Welters mengatakan bahwa “for most of the population, that fourteen percent represents a
visit to the theatre, a beer, a new bicycle, or a new coat. Every thing that makes life worth living
is that very fourteen percent” (Kuitenbrouwer, 2013: 166). Sementara itu, secara politik lepasnya
Indonesia membuat status Belanda di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terbentuk 1945
tidak lagi dianggap ‘negara ukuran sedang’ (Kuitenbrouwer, 2013: 166).
Trauma dekolonisasi berdampak secara akademis. Perhatian kepada Indonesia sebagai
entitas yang merdeka secara politik tidak menarik minat para sarjana Belanda pada awalnya. Hal
ini berkaitan juga dengan reorganisasi dan reorientasi lembaga-lembaga riset dan pendidikan di
Belanda pasca-Perang Dunia II pada satu sisi dan kemunculan Amerika Serikat sebagai pusat
hegemoni akademis baru di dunia pada sisi lainnya. Kenyataannya penelitian sejarah Indonesia
sejak itu terbagi secara dikotomis ke dalam disiplin sejarah kolonial dan sejarah pascakemerdekaan yang keduanya seperti patahan daripada kesinambungan. Alasannya sering
dikatakan bersifat teknis, seperti kelangkaan sumber, tetapi sesungguhnya sangat politis dan
filosofis. Baru pada tahun 1980-an usaha-usaha untuk melampaui trauma dekolonisasi dilakukan
oleh para ilmuwan yang lebih muda seiring dengan perkembangan perspektif ilmu-ilmu sosial
dan humaniora yang lebih bercorak kosmopolitan daripada sebelumnya.
Arus Imigran Poskolonial
5
Munculnya minat terhadap tema dekolonisasi di Belanda tidak lepas dari kehadiran para imigran
poskolonial yang datang ke negeri itu secara bertahap sejak tahun 1940-an hingga 1970-an.
Rombongan terbesar berasal dari Indonesia, jumlahnya sekitar 200-300 ribu orang, lalu disusul
rombongan dari Suriname dan Antilens. Mereka umumnya disebut sebagai gelombang repatriasi.
Mereka dianggap orang yang setara dengan warga negara Belanda yang dipulangkan ke negeri
induknya karena kemerdekaan negeri-negeri bekas koloni.
Sementara itu, migrasi tenaga kerja terjadi seiring dengan perkembangan ekonomi dan
perbaikan infrastruktur industri di Eropa Barat pasca-Perang yang berlangsung cepat. Untuk itu
dibutuhkan tenaga kerja yang sangat banyak yang tidak bisa dipenuhi oleh ketersediaan sumber
daya manusia dalam negeri. Maka sejak 1950-an didatangkanlah para pekerja tamu dari Turki,
Maroko, dan beberapa negara Eropa Selatan. Pada tahun 1970-an, para pekerja tamu yang
awalnya dikira akan sementara itu ternyata malah mengundang sanak keluarga mereka untuk
bergabung.
Pada awalnya Belanda tidak menyiapkan sama sekali negaranya sebagai tempat tujuan
imigrasi. Sebaliknya, pemerintah mereka justru mendorong penduduk untuk melakukan emigrasi
ke negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Selain dianggap masih kosong,
negara-negara tersebut juga sejak awal memang mendeklarasikan diri sebagai negara imigran,
sehingga kesiapan negara-negara tersebut secara formal sudah diketahui sejak awal. Selain itu,
tradisi ‘pilarisasi’ (verzeilung) yang eksis dalam sistem sosial politik Belanda hingga tahun 1960an membuat mereka cukup percaya diri dengan ketahanan kultural masyarakatnya dalam
menerima gelombang imigran. Ditunjang dengan kebijakan kesejahteraan yang masih memadai,
tradisi itu dipandang sebagai modal sosial bagi tumbuhnya multikulturalisme khas Belanda.
Imigran poskolonial dari Indonesia memainkan peranan penting dalam membawa tema
tema dekolonisasi kepada publik Belanda. Dengan membawa kenangan lama di tanah Hindia
yang telah hilang, kaum Indis cukup aktif merepresentasikan identitas kultural mereka di ruang
publik. Salah satu tokoh mereka yang terkemuka adalah Tjalie Robinson. Meskipun permohonan
dokumen repatriasinya pernah ditolak berkali-kali oleh pemerintah Belanda, Robinson dengan
karya-karya dan gerakan Tong-Tong-nya cukup berhasil memperkenalkan tidak hanya suatu
genre sastra, tetapi juga suatu narasi lain dalam sejarah negeri itu. Robinson mencoba
mengkritisi perspektif rasialis yang masih hidup dalam paradigma penulisan sejarah yang
6
mempertentangkan antara kulit putih dan non-kulit putih. Representasi kaum Indis yang berada
di tengah-tengah kulit putih dan non-kulit putih berusaha mendekonstruksi dikotomi itu.
Di sini juga perlu dicatat keberadaan imigran dari Maluku yang datang ke Belanda pada
tahun 1951. Jumlah mereka sekitar 12 ribu orang lebih. Mereka adalah bekas tentara Belanda
(KNIL) yang awalnya berharap bisa pulang kembali untuk membentuk Republik Maluku Selatan
dengan dukungan Belanda. Namun dukungan itu tidak pernah menjadi kenyataan. Mereka
akhirnya menetap di Belanda. Pada tahun 1975 dan 1977, suatu aksi pembajakan kereta
dilakukan oleh generasi kedua imigran Maluku. Aksi ini mencerminkan adanya kesulitan mereka
berintegrasi dengan masyarakat Belanda yang berdampak pada posisi marjinal mereka secara
ekonomi. Meski demikian, sekarang keberadaan mereka relatif telah terintegrasi dengan baik,
sehingga tidak lagi dianggap isu bagi pemerintah dan masyarakat setempat, apalagi jika
dibanding dengan kaum imigran non-poskolonial (Stijlen, 2012).
Tabel 1. Kaum imigran di Belanda, 1960-2008
Jumlah
1960
1970
1980
1990
2000
2008
11,4 juta
13 juta
14,1 juta
14,9 juta
15,90 juta
16,4 juta
404,200
403,900
458,000
140,000
138,900
179,000
265,000
280,000
populasi
Belanda
INDIS
Total
Generasi
203,000
204,000
pertama
Generasi
kedua
MALUKU
42,349
Total
25,900
35,200
Generasi
sekitar 10,000
pertama
Generasi
32,349
kedua
SURINAME
12,900
28,985
157,091
232,776
302,514
335,799
Total
7
Generasi
126,107
158,772
183,249
185,284
30,974
74,004
119,265
150,515
40,726
76,552
107,197
131,841
29,515
54,881
69,266
78,968
11,211
21,671
37,931
52,873
69,464
163,458
262,221
335,127
57,502
112,562
152,540
167,063
11,962
50,896
109,681
168,064
112,774
203,647
308,890
372,714
92,568
138,089
177,754
194,556
20,206
65,558
131,136
178,158
pertama
Generasi
kedua
ANTILEN
mencapai
Total
2,500
13,630
Generasi
pertama
Generasi
kedua
MAROKO
Sekitar 100
17,400
Total
Generasi
pertama
Generasi
kedua
TURKI
Sekitar 100
23,600
Total
Generasi
pertama
Generasi
kedua
Sumber: Geert Oostinde, 2010: 31
Sejak tahun 1980-an, pengertian poskolonial yang melekat pada para imigran dari bekas
negeri koloni mengalami perubahan. Mereka tidak lagi diasosiasikan dengan asal-usul identitas
nasionalitas dan primordialitas mereka, melainkan lebih terkait dengan fenomena globalisasi
kultural. Mereka dibaca sebagai subjek transnasional atau komunitas diasporik yang loyalitasnya
tidak lagi terpusat, melainkan terpecah ke dalam beragam orientasi yang berbeda-beda.
Memasuki babakan baru ini, trauma dekolonisasi tidak lagi menampakkan diri secara tegas sebab
digantikan oleh suatu perspektif baru yang lebih melihat permasalahan sejarah sebagai bagian
dari interkoneksi global yang multi-polar.
8
Lebih belakangan lagi, suatu keinginan untuk merekonstruksi sejarah dekolonisasi
Indonesia muncul di kalangan ilmuwan Belanda, termasuk kekerasan yang ditimbulkan oleh
kehadiran tentara Belanda di Indoensia selama periode 1945-1948. Rupanya pada saat yang sama
publik Belanda sudah lebih siap menerima fakta tentang sisi gelap sejarah luar negeri mereka.
Konsekuensinya politik dan ekonominya cukup besar. Jika diputuskan bersalah secara yuridis
seperti dalam peristiwa Rawagede, maka pemerintah Belanda wajib meminta maaf dan
memberikan ganti rugi kepada keluarga korban.
Menariknya, arah baru penulisan sejarah dekolonisasi tersebut justru berkebalikan dengan
kecenderungan kebijakan migrasi dan kewarganegaraan Belanda yang sejak dekade 1990-an
semakin bercorak asimilasionis dibanding multikulturalis dan khususnya lagi sejak tahun 2000an ketika Islam muncul sebagai isu utama migrasi seoring dengan adanya ancaman terorisme
global. Kontras antara dua hal tersebut menarik karena merefleksikan kebutuhan Belanda dalam
merumuskan identitasnya di tengah arus migrasi dan integrasi Eropa. Dalam hal ini, gambaran
tentang imigran poskolonial yang berhasil terintegrasi ke dalam lanskap politik dan kultural
Belanda tampaknya akan dijadikan model bagi kebijakan integrasi dan kewarganegaraan.
Masalahnya, sejak awal imigran poskolonial mempunyai ‘bonus’ yang tidak dimiliki oleh
imigran lainnya karena faktor kesamaan agama dengan penduduk Belanda umumnya (Oostinde,
2011).
Adakah Perspektif Poskolonial Belanda?
Berbeda dengan Inggris, misalnya, Belanda tidak mempunyai tradisi poskolonial yang kuat.
Ketiadaan ini menyebabkan hilangnya debat dekolonisasi dalam tradisi akademik Belanda.
Ketika Inggris mempunyai Stuart Hall, Belanda tidak melahirkan penulis dengan kualifikasi
serupa. Intelektual publik dan media Belanda kurang tertarik dengan isu ini. Sementara itu,
seorang penulis keturunan Suriname berdarah India, Sunil Ramdas berusaha menulis karya
berdasarkan perspektif ‘subaltern’ sebagaimana sejawat mereka di India, tetapi pengaruhnya
tetap pinggiran (Oostinde, 2011: 236). Memang membandingkan Belanda dan Inggris dalam hal
ini kurang pas, sebab poskolonialisme sebagai suatu disiplin akademis pada dasarnya lahir dalam
lingkungan kajian bahasa Inggris. Bahkan di Perancis yang kaya dengan filsafat dan kajian-
9
kajian anti-kolonial sebagai direpresentasikan oleh karya Sartre, Fanon, dan belakangan
Bourdieu, poskolonialisme tetap marjinal.
Apa yang dimaksud dengan tradisi poskolonial dalam konteks Belanda adalah “a critical
and systematic reflection on the political, historical and cultural consequences of Dutch
colonialism, per se, and for the power relations in our contemporary society and for relations
with Indonesia, Surinam, and Netherlands Antilles and other former colonial powers” (Van
Leeuwen dalam Bosma, 2012: 194)
Ketiadaan perspektif poskolonial dalam tradisi akademis Belanda adalah akibat dari
kebijakan bahasa yang diberlakukan oleh Belanda di daerah koloninya periode kolonial. Berbeda
dengan kebijakan Inggris dan Perancis yang memungkinkan subjek kolonial menguasai dan
menggunakan bahasa penjajahnya, Belanda tidak mengambil kebijakan demikian. Di Indonesia,
kebijakan politik etis yang diperkenalkan pada awal abad ke-20 sebagai strategi baru
kolonialisme yang lebih bercorak asosiatif terlalu terlambat dan tidak membantu banyak.
Akibatnya, hingga akhir masa kekuasaannya, hanya sedikit sekali penduduk lokal Indonesia
yang mampu berbahasa Belanda. Hal ini diperparah dengan kebijakan nasionalistik Soekarno
yang mereduksi penggunaan bahasa Belanda secara formal sejak tahun 1956.
Meski demikian, dalam hal Islam dan kaum Muslim, suatu kesinambungan mengemuka.
Hingga akhir tahun 1940-an, Belanda adalah imperium kolonial dengan penduduk Muslim
terbanyak di dunia. Oleh karena itu, pengetahuan mereka tentang Islam dan kaum Muslim sangat
kaya. Kita tahu peranan penting Snouck Hurgronje sebagai arsitek utama kebijakan Islam dan
masalah pribumi di Hindia Belanda. Menurut Moussen (2009), warisan pemikiran Hurgronje
direkonstruksi pada masa kini dan dijadikan salah satu bahan perumusan kebijakan oleh
pemerintah Belanda dalam menangani imigran Muslim.
Penutup
Tulisan ini masih berupa permulaan dari diskusi yang sedang berjalan semarak tentang
dekolonisasi. Kecenderungan historiografi terkini yang menempatkan tema dekolonisasi tidak
hanya dalam konteks nasionalisme tertentu, melainkan dalam suatu perspektif sejarah global atau
10
kosmopolitan, sangat menarik karena membuka peluang untuk mengerti realitas sejarah secara
lebih luas. Para sejarawan yang bekerja untuk mengkaji proses dekolonisasi sejarah Indonesia
akan mengambil manfaat banyak dari perkembangan ini.
Meski demikian, secara sepintas kita telah menganalisi bahwa perdebatan dekolonisasi
sejarah Indonesia di kalangan publik Belanda tidak dipengaruhi secara langsung oleh perspektif
poskolonial sebagaimana berkembang di Inggris. Secara teoritis dunia akademis Belanda tidak
mempunyai favoritisme intelektual yang khas, sehingga terkesan sangat longgar sejauh berbasis
data dan argumen empiris yang kuat. Namun topik ini membutuhkan pembahasan tersendiri yang
tidak terjangkau oleh kemampuan tulisan ini.
Daftar Pustaka
Ali, Mohammad. 1995. “Beberapa Masalah tentang Historiografi Indonesia” dalam Soedjatmoko
dkk (ed.), Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Bogaerts, Els dan Remco Raben. 2012. Beyond Empire and Nation: The Decolonization of
African and Asian Societies, 1930s-1960s. Leiden: KITLV Press.
Bosma, Ulbe (ed.). 2012. Post-colonial Immigrants and Identity Formations in the Netherlands.
Amsterdam: Amsterdam University Press.
Hobsbawm, Eric. 1991. Nations and Nationalism since 1780: Programme, Myth, Reality.
Cambridge: Cambridge University Press.
Hobsbawm, Eric dan Terence Ranger (ed.). 2012. The Invention of Tradition. Cambridge:
Cambridge University Press.
Kuitenbrouwer, Maarten. 2012. Dutch scholarship in the age of empire and beyond: KITLV - the
Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, 1851-2011.
Leiden; KITLV Press.
Locher-Scholten, Elsbeth. 2003. “From Urn to Monument: Dutch Memories of World War II in
the Pacific, 1945-1995” dalam Smith, Andrea L (ed.). Europe’s Invisible Migrants.
Amsterdam: Amsterdam University Press.
Lijphart, Arend. 1966. The Trauma of Decolonization: The Dutch and West New Guinea.
London dan New Haven: Yale University Press.
Maussen, MJM. 2009. “Constructing Mosques: The Governance of Islam in France and the
Netherlands”. Disertasi tidak diterbitkan. Universiteit van Amsterdam.
11
Oostinde, Geert dan Inge Klinkers (ed.). 2003. Decolonising the Caribbean: Dutch Policies in a
Comparative Perspective. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Oostinde, Geert. 2011. Postcolonial Netherlands: Sixty-Five Years
Commemorating, Silencing. Amsterdam: Amsterdam University Press.
of
Forgetting,
Smith, Andrea L (ed.). 2003. Europe’s Invisible Migrants. Amsterdam: Amsterdam University
Press.
Steijlen, Fridus. 2012. “Closing the ‘KNIL Chapter’: A Key Moment in Identity Formation of
Moluccans in the Netherlands” dalam Bosma, Ulbe (ed.). Post-colonial Immigrants and
Identity Formations in the Netherlands. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta: Ombak.
Van Der Kroef, Justus M. 1967. “Review”, Pacific Affairs, Vol. 39, No. ¾.
Willems. Wim. 2003. “No Sheltering Sky: Migrant Identities of Dutch Nationals from
Indonesia” dalam Smith, Andrea L (ed.). Europe’s Invisible Migrants. Amsterdam:
Amsterdam University Press.
12
Oleh Amin Mudzakkir2
Pendahuluan
Tulisan ini akan memperlihatkan bahwa dekolonisasi bukan hanya tema yang penting, jika bukan
yang terpenting, dalam perdebatan historiografi nasional di bekas negeri jajahan, tetapi juga di
bekas negeri penjajah. Di Indonesia, hal pertama sudah sering dibahas, tetapi hal kedua nyaris
terabaikan. Pembaca Indonesia hampir tidak mempunyai pengetahuan sama sekali mengenai
proses dekolonisasi di kalangan orang Belanda ketika menyaksikan daerah koloni mereka lepas
dari genggaman. Deklarasi kemerdekaan 1945 menurut Indonesia atau penyerahan kedaulatan
1949 berdasarkan pengakuan Belanda seolah memutus mata rantai sejarah di antara kedua entitas
yang sebelumnya berada dalam satu imperium kolonial yang sama.
Masalahnya memang bukan sekadar miskinnya perspektif dalam historiografi Indonesia,
tetapi di Belanda sendiri tema mengenai dekolonisasi belum lama digeluti. Menurut Wim
Willems (2003), tema ini baru dianggap penting oleh publik Belanda pada tahun 1980-an seiring
dengan kebutuhan untuk mengintegrasikan para imigran ke dalam masyarakat Belanda. Dalam
proses itu, tema dekolonisasi muncul bersamaan dengan rekonstruksi terhadap ingatan kelompok
imigran poskolonial. Poskolonialitas dan poskolonialisme sebagai suatu disiplin akademis adalah
kata-kata kunci dalam perdebatan dekolonisasi lebih lanjut.
Akan tetapi, seperti akan kita bahas di bawah, poskolonialisme adalah perspektif yang
kurang berkembang di lingkungan akademis Belanda (Bosma, 2012). Hal ini menyebabkan tema
dekolonisasi terlambat dibicarakan, termasuk pokok permasalahan tulisan ini: bagaimana
dekolonisasi sejarah Indonesia diwacanakan oleh mereka. Sama seperti pembaca Indonesia,
pembaca Belanda tidak terlalu berminat untuk mengetahui apa yang terjadi dengan Indonesia,
bekas negeri jajahan mereka, setelah 1945. Indonesia dan Belanda yang lahir setelah itu
1
Disampaikan pada The Third Graduate Seminar of History, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 3-4 November
2015.
2
Peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Regional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan mahasiswa program
doktoral di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
1
dianggap Indonesia dan Belanda baru yang tidak terkoneksi satu sama lain dengan periode
sejarah sebelumnya.
Memikirkan Ulang Dekolonisasi
Selama ini banyak orang menganggap dekolonisasi adalah persoalan bekas negeri jajahan
semata. Ia dianggap hanya sebagai proses yang dilakukan oleh bekas bangsa terjajah untuk
keluar dari warisan struktural dan kultural yang ditinggalkan oleh bekas bangsa penjajahnya.
Dalam proses itu, penilaian moral yang dualistik sering mengemuka. Bangsa penjajah adalah
jahat, sementara bangsa terjajah adalah baik. Ia membalik begitu saja posisi-posisi sebelumnya
yang dibangun oleh narasi kolonial. Historiografi Indonesiasentris yang berusaha dibangun sejak
Seminar Sejarah Nasional I 1957 berkembang dalam kesadaran seperti ini (Mohammad Ali,
1995).
Cukup pasti nasionalisme adalah ideologi di balik kesadaran sejarah negara yang baru
merdeka itu. Namun hal ini tidak khas Indonesia, tetapi juga merupakan fenomena di manamana. Sejak akhir abad ke-18, Eropa pun mengalami hal serupa (Hobsbawm, 1992). Dalam
proses ini, buku-buku sejarah ditulis sebagai ‘invensi tradisi’ untuk mengukuhkan berdirinya
suatu negara-bangsa modern baru yang unik daripada bentuk-bentuk kenegaraan sebelumnya.
Seingkali ia bukan suatu temuan, melainkan sebuah penciptaan (Hobsbawm dan Ranger, 2012).
Bambang Purwanto (2006) telah mengulas problematika di seputar gagasan dan praktik
historigrafi Indonesiasentris. Selain secara substantif dinilai belum beranjak dari paradigma yang
hendak ditolaknya, yaitu historiografi kolonialsentris atau nederlandosentris, historiografi
indonesiasentris dalam konteks kekinian gagal menangkap kompleksitas dalam pertarungan
politik identitas Indonesia kekinian. Oleh karena itu, alih-alih menerangi jalan modern
keindonesiaan, karya-karya sejarah yang ditulis akhir-akhir ini—termasuk model sejarah hari
jadi kabupaten atau kota—justru mempertebal sentimen primordial.
Apa
yang katakan oleh Bambang Purwanto terasa masih relevan jika kita melihat
mandeknya perdebatan tentang dekolonisasi yang sering direduksi hanya menjadi perkara
penyerahan kedaulatan politik dari negara bekas penjajah ke negara baru merdeka semata.
Pengertian dekolonisasi seperti itu akan sulit menangkap kompleksitas yang inheren dalam
2
realitas sejarah dekolonisasi itu sendiri. Dalam kasus Indonesia, konteks Perang Dingin pada
masa itu cukup pasti berpengaruh terhadap keputusan-keputusan politik yang diambil baik oleh
pemerintah Indonesia dan Belanda. Belum lagi perseteruan di antara sesama nasionalis Indonesia
sendiri dalam menentukan bagaimana Indonesia dikelola dan mau ke mana ia akan diarahkan.
Sementara itu, berbagai literatur yang ditulis belakangan justru menunjukkan bahwa
dekolonisasi adalah peristiwa yang tidak hanya melibatkan ketegangan diplomatik atau
peperangan fisik antara dua negara, tetapi juga menyangkut manusia yang mengalami itu
(Misalnya, Oostinde dan Klinkers, 2003; Bogaert dan Raben, 2012). Model historiografis
kekinian ini lebih melihat dekolonisasi sebagai fenomena sejarah global yang disemangati oleh
aspirasi hak asasi manusia universal. Dengan pendekatan ini, pengalaman individu-individu
ditampilkan sebagai ironi dari imperium kolonial itu sendiri. Eksploitasi ekonomi dan politik
yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa selama era kolonial seolah harus dibayar dengan
dengan serangkaian tragedi kemanusiaan yang menimpa para mantan pendukungnya.
Migrasi adalah konteks bagi perkembangan historiografi kekinian itu. Di Belanda dan
negara-negara Eropa lainnya, migrasi menjadi persoalan krusial. Kepulangan orang-orang Eropa
atau semi-Eropa dari negeri-negeri bekas koloni menimbulkan persoalan tersendiri. Sejak
berakhirnya Perang Dunia 11 pada 1945, sejarah kolonial justru hadir langsung di tengah
masyarakat Eropa. Memang para imigran poskolonial ini tetap ‘invisible’ dibanding para imigran
‘pekerja tamu’ dan keluarganya (Smith, 2003), tetapi belakangan keberadaan mereka menjadi
bahan refleksi untuk memikirkan ulang dekolonisasi yang ternyata merupakan proses yang tidak
pernah usai.
Perkembangan historiografi dekolonisasi terkini disemangati oleh poskolonialisme.
Berdasar sudut pandang ini, peristiwa dekolonisasi justru lebih sering menimbulkan ambivalensi
di bekas negeri penjajah sendiri. Penilaian moral terhadap masa lalu mengemuka, tetapi dalam
cara dan bentuk yang ambivalen. Di Belanda, hal ini dipicu oleh rekonstruksi terhadap ingatan
tentang Perang Dunia II di Pasifik yang tumpang tindih dengan ingatan peristiwa serupa di
daratan Eropa (Locher-Scholten, 2003). Melalui situasi inilah perdebatan tentang dekolonisasi
sejarah Indonesia kembali muncul setelah sekian lama terabaikan, tetapi dengan cara dan dalam
3
bentuk yang sama sekali berbeda dengan bayangan historiografi nasionalis yang berkembang
selama ini.
Trauma Dekolonisasi
Bagi Belanda, dibanding dengan Antilens dan Suriname, dekolonisasi di Indonesia jauh lebih
menyulitkan. Sementara dua bekas negeri koloni Belanda di Karibia itu melewati transisi
pascakolonial tanpa gejolak berarti, Indonesia melewati jalan sebaliknya. Di sini revolusi
nasionalis berlangsung keras dan lama. Setidaknya butuh waktu kurang lebih 20 tahun bagi
Belanda untuk menyerahkan seluruh daerah yang dulu bernama Hindia Belanda ke tangan
pemerintah Indonesia.
Proses dekolonisasi Indonesia dimulai sejak pendudukan Jepang pada 1942-1945. Selama
periode ini, ribuan orang Belanda di Indonesia dipenjara, sementara sebagian lainnya berusaha
bermigrasi secara terpaksa ke Australia, Amerika Serikat, dan Belanda. Setelah 1945, sekitar
100.000 orang Belanda masih bertahan di sini untuk menjaga aset-aset mereka. Namun sikap
Belanda yang bertentangan dengan aspirasi pemuda membuat peperangan tidak terhindarkan
lagi. Belanda menyebutnya sebagai periode ‘bersiap’ yang memakan ribuan korban jiwa,
termasuk orang Eropa, orang Belanda, dan orang Indo (Eurosia). Barulah pada tahun 1949,
dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), Belanda menyerahkan kedaulatan kepada pemerintah
Indonesia (RIS).
Namun pertentangan tidak berhenti pada tahun 1949. Setelah itu sikap saling bermusuhan
di antara Belanda dan Indonesia terus berlanjut seiring dengan mulainya Perang Dingin. Jargon
revolusi yang terus menerus disuarakan oleh pemimpin kaum republiken, Soekarno, membuat
orang Belanda yang masih tinggal di Indonesia hingga paruh pertama dekade 1950-an tidak
merasa aman lagi. Mereka merasa masa tinggalnya di bekas imperium kolonialnya tidak akan
lama lagi. Hal ini menjadi kenyataan setelah program nasionalisasi perusahaan-perusahaan
Belanda di Indonesia dilaksanakan pada 1958. Mereka akhirnya terpaksa bermigrasi ke Belanda.
Penguasaan Irian Barat oleh Belanda adalah batu sandungan terbesar hubungan
diplomatiknya dengan Indonesia yang terputus pada 1960. Berdasarkan kesepakatan dalam KMB
1949, Irian Barat memang akan diserahkan kepada Indonesia, tetapi Belanda selalu menundanundanya. Bagi Belanda, persoalannnya memang sangat psikologis. Arend Lijphart (1966),
seorang profesor ilmu politik di Universitas van Amsterdam, menyebutnya sebagai ‘trauma
4
dekolonisasi’ di kalangan orang Belanda. Dalam ulasannya terhadap buku Lijphart, Van Der
Kroef (1967) mengatakan bahwa trauma itu pada dasarnya disebabkan oleh kekeraskepalaan
Belanda sebagai akibat dari perasaan kehilangan daerah jajahan yang telah menjadi bagian dari
identitas imperium Belanda selama ratusan tahun dan kebencian terhadap kaum republik di
bawah pimpinan Soekarno yang dianggap kolaborator Jepang selama Perang Dunia II.
Namun tentu saja trauma dekolonisasi bukan perkara psikologis semata. Pada dasarnya ia
merupakan masalah ekonomi dan politik. Secara ekonomi, Indonesia adalah lahan eksploitasi
yang sangat menguntungkan Belanda. Sebuah kredo Belanda mengatakan ‘Indie verloren,
rampspoed geboren’ (jika Hindia hilang, bencana datang). Meski ekonom Jan Tinbergen
menghitung bahwa lepasnya Indonesia dari genggaman hanya akan berdampak pada hilangnya
14 % seluruh pemasukan negeri Belanda sebelum Perang, tetapi mantan menteri koloni Ch.
J.I.M. Welters mengatakan bahwa “for most of the population, that fourteen percent represents a
visit to the theatre, a beer, a new bicycle, or a new coat. Every thing that makes life worth living
is that very fourteen percent” (Kuitenbrouwer, 2013: 166). Sementara itu, secara politik lepasnya
Indonesia membuat status Belanda di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terbentuk 1945
tidak lagi dianggap ‘negara ukuran sedang’ (Kuitenbrouwer, 2013: 166).
Trauma dekolonisasi berdampak secara akademis. Perhatian kepada Indonesia sebagai
entitas yang merdeka secara politik tidak menarik minat para sarjana Belanda pada awalnya. Hal
ini berkaitan juga dengan reorganisasi dan reorientasi lembaga-lembaga riset dan pendidikan di
Belanda pasca-Perang Dunia II pada satu sisi dan kemunculan Amerika Serikat sebagai pusat
hegemoni akademis baru di dunia pada sisi lainnya. Kenyataannya penelitian sejarah Indonesia
sejak itu terbagi secara dikotomis ke dalam disiplin sejarah kolonial dan sejarah pascakemerdekaan yang keduanya seperti patahan daripada kesinambungan. Alasannya sering
dikatakan bersifat teknis, seperti kelangkaan sumber, tetapi sesungguhnya sangat politis dan
filosofis. Baru pada tahun 1980-an usaha-usaha untuk melampaui trauma dekolonisasi dilakukan
oleh para ilmuwan yang lebih muda seiring dengan perkembangan perspektif ilmu-ilmu sosial
dan humaniora yang lebih bercorak kosmopolitan daripada sebelumnya.
Arus Imigran Poskolonial
5
Munculnya minat terhadap tema dekolonisasi di Belanda tidak lepas dari kehadiran para imigran
poskolonial yang datang ke negeri itu secara bertahap sejak tahun 1940-an hingga 1970-an.
Rombongan terbesar berasal dari Indonesia, jumlahnya sekitar 200-300 ribu orang, lalu disusul
rombongan dari Suriname dan Antilens. Mereka umumnya disebut sebagai gelombang repatriasi.
Mereka dianggap orang yang setara dengan warga negara Belanda yang dipulangkan ke negeri
induknya karena kemerdekaan negeri-negeri bekas koloni.
Sementara itu, migrasi tenaga kerja terjadi seiring dengan perkembangan ekonomi dan
perbaikan infrastruktur industri di Eropa Barat pasca-Perang yang berlangsung cepat. Untuk itu
dibutuhkan tenaga kerja yang sangat banyak yang tidak bisa dipenuhi oleh ketersediaan sumber
daya manusia dalam negeri. Maka sejak 1950-an didatangkanlah para pekerja tamu dari Turki,
Maroko, dan beberapa negara Eropa Selatan. Pada tahun 1970-an, para pekerja tamu yang
awalnya dikira akan sementara itu ternyata malah mengundang sanak keluarga mereka untuk
bergabung.
Pada awalnya Belanda tidak menyiapkan sama sekali negaranya sebagai tempat tujuan
imigrasi. Sebaliknya, pemerintah mereka justru mendorong penduduk untuk melakukan emigrasi
ke negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Selain dianggap masih kosong,
negara-negara tersebut juga sejak awal memang mendeklarasikan diri sebagai negara imigran,
sehingga kesiapan negara-negara tersebut secara formal sudah diketahui sejak awal. Selain itu,
tradisi ‘pilarisasi’ (verzeilung) yang eksis dalam sistem sosial politik Belanda hingga tahun 1960an membuat mereka cukup percaya diri dengan ketahanan kultural masyarakatnya dalam
menerima gelombang imigran. Ditunjang dengan kebijakan kesejahteraan yang masih memadai,
tradisi itu dipandang sebagai modal sosial bagi tumbuhnya multikulturalisme khas Belanda.
Imigran poskolonial dari Indonesia memainkan peranan penting dalam membawa tema
tema dekolonisasi kepada publik Belanda. Dengan membawa kenangan lama di tanah Hindia
yang telah hilang, kaum Indis cukup aktif merepresentasikan identitas kultural mereka di ruang
publik. Salah satu tokoh mereka yang terkemuka adalah Tjalie Robinson. Meskipun permohonan
dokumen repatriasinya pernah ditolak berkali-kali oleh pemerintah Belanda, Robinson dengan
karya-karya dan gerakan Tong-Tong-nya cukup berhasil memperkenalkan tidak hanya suatu
genre sastra, tetapi juga suatu narasi lain dalam sejarah negeri itu. Robinson mencoba
mengkritisi perspektif rasialis yang masih hidup dalam paradigma penulisan sejarah yang
6
mempertentangkan antara kulit putih dan non-kulit putih. Representasi kaum Indis yang berada
di tengah-tengah kulit putih dan non-kulit putih berusaha mendekonstruksi dikotomi itu.
Di sini juga perlu dicatat keberadaan imigran dari Maluku yang datang ke Belanda pada
tahun 1951. Jumlah mereka sekitar 12 ribu orang lebih. Mereka adalah bekas tentara Belanda
(KNIL) yang awalnya berharap bisa pulang kembali untuk membentuk Republik Maluku Selatan
dengan dukungan Belanda. Namun dukungan itu tidak pernah menjadi kenyataan. Mereka
akhirnya menetap di Belanda. Pada tahun 1975 dan 1977, suatu aksi pembajakan kereta
dilakukan oleh generasi kedua imigran Maluku. Aksi ini mencerminkan adanya kesulitan mereka
berintegrasi dengan masyarakat Belanda yang berdampak pada posisi marjinal mereka secara
ekonomi. Meski demikian, sekarang keberadaan mereka relatif telah terintegrasi dengan baik,
sehingga tidak lagi dianggap isu bagi pemerintah dan masyarakat setempat, apalagi jika
dibanding dengan kaum imigran non-poskolonial (Stijlen, 2012).
Tabel 1. Kaum imigran di Belanda, 1960-2008
Jumlah
1960
1970
1980
1990
2000
2008
11,4 juta
13 juta
14,1 juta
14,9 juta
15,90 juta
16,4 juta
404,200
403,900
458,000
140,000
138,900
179,000
265,000
280,000
populasi
Belanda
INDIS
Total
Generasi
203,000
204,000
pertama
Generasi
kedua
MALUKU
42,349
Total
25,900
35,200
Generasi
sekitar 10,000
pertama
Generasi
32,349
kedua
SURINAME
12,900
28,985
157,091
232,776
302,514
335,799
Total
7
Generasi
126,107
158,772
183,249
185,284
30,974
74,004
119,265
150,515
40,726
76,552
107,197
131,841
29,515
54,881
69,266
78,968
11,211
21,671
37,931
52,873
69,464
163,458
262,221
335,127
57,502
112,562
152,540
167,063
11,962
50,896
109,681
168,064
112,774
203,647
308,890
372,714
92,568
138,089
177,754
194,556
20,206
65,558
131,136
178,158
pertama
Generasi
kedua
ANTILEN
mencapai
Total
2,500
13,630
Generasi
pertama
Generasi
kedua
MAROKO
Sekitar 100
17,400
Total
Generasi
pertama
Generasi
kedua
TURKI
Sekitar 100
23,600
Total
Generasi
pertama
Generasi
kedua
Sumber: Geert Oostinde, 2010: 31
Sejak tahun 1980-an, pengertian poskolonial yang melekat pada para imigran dari bekas
negeri koloni mengalami perubahan. Mereka tidak lagi diasosiasikan dengan asal-usul identitas
nasionalitas dan primordialitas mereka, melainkan lebih terkait dengan fenomena globalisasi
kultural. Mereka dibaca sebagai subjek transnasional atau komunitas diasporik yang loyalitasnya
tidak lagi terpusat, melainkan terpecah ke dalam beragam orientasi yang berbeda-beda.
Memasuki babakan baru ini, trauma dekolonisasi tidak lagi menampakkan diri secara tegas sebab
digantikan oleh suatu perspektif baru yang lebih melihat permasalahan sejarah sebagai bagian
dari interkoneksi global yang multi-polar.
8
Lebih belakangan lagi, suatu keinginan untuk merekonstruksi sejarah dekolonisasi
Indonesia muncul di kalangan ilmuwan Belanda, termasuk kekerasan yang ditimbulkan oleh
kehadiran tentara Belanda di Indoensia selama periode 1945-1948. Rupanya pada saat yang sama
publik Belanda sudah lebih siap menerima fakta tentang sisi gelap sejarah luar negeri mereka.
Konsekuensinya politik dan ekonominya cukup besar. Jika diputuskan bersalah secara yuridis
seperti dalam peristiwa Rawagede, maka pemerintah Belanda wajib meminta maaf dan
memberikan ganti rugi kepada keluarga korban.
Menariknya, arah baru penulisan sejarah dekolonisasi tersebut justru berkebalikan dengan
kecenderungan kebijakan migrasi dan kewarganegaraan Belanda yang sejak dekade 1990-an
semakin bercorak asimilasionis dibanding multikulturalis dan khususnya lagi sejak tahun 2000an ketika Islam muncul sebagai isu utama migrasi seoring dengan adanya ancaman terorisme
global. Kontras antara dua hal tersebut menarik karena merefleksikan kebutuhan Belanda dalam
merumuskan identitasnya di tengah arus migrasi dan integrasi Eropa. Dalam hal ini, gambaran
tentang imigran poskolonial yang berhasil terintegrasi ke dalam lanskap politik dan kultural
Belanda tampaknya akan dijadikan model bagi kebijakan integrasi dan kewarganegaraan.
Masalahnya, sejak awal imigran poskolonial mempunyai ‘bonus’ yang tidak dimiliki oleh
imigran lainnya karena faktor kesamaan agama dengan penduduk Belanda umumnya (Oostinde,
2011).
Adakah Perspektif Poskolonial Belanda?
Berbeda dengan Inggris, misalnya, Belanda tidak mempunyai tradisi poskolonial yang kuat.
Ketiadaan ini menyebabkan hilangnya debat dekolonisasi dalam tradisi akademik Belanda.
Ketika Inggris mempunyai Stuart Hall, Belanda tidak melahirkan penulis dengan kualifikasi
serupa. Intelektual publik dan media Belanda kurang tertarik dengan isu ini. Sementara itu,
seorang penulis keturunan Suriname berdarah India, Sunil Ramdas berusaha menulis karya
berdasarkan perspektif ‘subaltern’ sebagaimana sejawat mereka di India, tetapi pengaruhnya
tetap pinggiran (Oostinde, 2011: 236). Memang membandingkan Belanda dan Inggris dalam hal
ini kurang pas, sebab poskolonialisme sebagai suatu disiplin akademis pada dasarnya lahir dalam
lingkungan kajian bahasa Inggris. Bahkan di Perancis yang kaya dengan filsafat dan kajian-
9
kajian anti-kolonial sebagai direpresentasikan oleh karya Sartre, Fanon, dan belakangan
Bourdieu, poskolonialisme tetap marjinal.
Apa yang dimaksud dengan tradisi poskolonial dalam konteks Belanda adalah “a critical
and systematic reflection on the political, historical and cultural consequences of Dutch
colonialism, per se, and for the power relations in our contemporary society and for relations
with Indonesia, Surinam, and Netherlands Antilles and other former colonial powers” (Van
Leeuwen dalam Bosma, 2012: 194)
Ketiadaan perspektif poskolonial dalam tradisi akademis Belanda adalah akibat dari
kebijakan bahasa yang diberlakukan oleh Belanda di daerah koloninya periode kolonial. Berbeda
dengan kebijakan Inggris dan Perancis yang memungkinkan subjek kolonial menguasai dan
menggunakan bahasa penjajahnya, Belanda tidak mengambil kebijakan demikian. Di Indonesia,
kebijakan politik etis yang diperkenalkan pada awal abad ke-20 sebagai strategi baru
kolonialisme yang lebih bercorak asosiatif terlalu terlambat dan tidak membantu banyak.
Akibatnya, hingga akhir masa kekuasaannya, hanya sedikit sekali penduduk lokal Indonesia
yang mampu berbahasa Belanda. Hal ini diperparah dengan kebijakan nasionalistik Soekarno
yang mereduksi penggunaan bahasa Belanda secara formal sejak tahun 1956.
Meski demikian, dalam hal Islam dan kaum Muslim, suatu kesinambungan mengemuka.
Hingga akhir tahun 1940-an, Belanda adalah imperium kolonial dengan penduduk Muslim
terbanyak di dunia. Oleh karena itu, pengetahuan mereka tentang Islam dan kaum Muslim sangat
kaya. Kita tahu peranan penting Snouck Hurgronje sebagai arsitek utama kebijakan Islam dan
masalah pribumi di Hindia Belanda. Menurut Moussen (2009), warisan pemikiran Hurgronje
direkonstruksi pada masa kini dan dijadikan salah satu bahan perumusan kebijakan oleh
pemerintah Belanda dalam menangani imigran Muslim.
Penutup
Tulisan ini masih berupa permulaan dari diskusi yang sedang berjalan semarak tentang
dekolonisasi. Kecenderungan historiografi terkini yang menempatkan tema dekolonisasi tidak
hanya dalam konteks nasionalisme tertentu, melainkan dalam suatu perspektif sejarah global atau
10
kosmopolitan, sangat menarik karena membuka peluang untuk mengerti realitas sejarah secara
lebih luas. Para sejarawan yang bekerja untuk mengkaji proses dekolonisasi sejarah Indonesia
akan mengambil manfaat banyak dari perkembangan ini.
Meski demikian, secara sepintas kita telah menganalisi bahwa perdebatan dekolonisasi
sejarah Indonesia di kalangan publik Belanda tidak dipengaruhi secara langsung oleh perspektif
poskolonial sebagaimana berkembang di Inggris. Secara teoritis dunia akademis Belanda tidak
mempunyai favoritisme intelektual yang khas, sehingga terkesan sangat longgar sejauh berbasis
data dan argumen empiris yang kuat. Namun topik ini membutuhkan pembahasan tersendiri yang
tidak terjangkau oleh kemampuan tulisan ini.
Daftar Pustaka
Ali, Mohammad. 1995. “Beberapa Masalah tentang Historiografi Indonesia” dalam Soedjatmoko
dkk (ed.), Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Bogaerts, Els dan Remco Raben. 2012. Beyond Empire and Nation: The Decolonization of
African and Asian Societies, 1930s-1960s. Leiden: KITLV Press.
Bosma, Ulbe (ed.). 2012. Post-colonial Immigrants and Identity Formations in the Netherlands.
Amsterdam: Amsterdam University Press.
Hobsbawm, Eric. 1991. Nations and Nationalism since 1780: Programme, Myth, Reality.
Cambridge: Cambridge University Press.
Hobsbawm, Eric dan Terence Ranger (ed.). 2012. The Invention of Tradition. Cambridge:
Cambridge University Press.
Kuitenbrouwer, Maarten. 2012. Dutch scholarship in the age of empire and beyond: KITLV - the
Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, 1851-2011.
Leiden; KITLV Press.
Locher-Scholten, Elsbeth. 2003. “From Urn to Monument: Dutch Memories of World War II in
the Pacific, 1945-1995” dalam Smith, Andrea L (ed.). Europe’s Invisible Migrants.
Amsterdam: Amsterdam University Press.
Lijphart, Arend. 1966. The Trauma of Decolonization: The Dutch and West New Guinea.
London dan New Haven: Yale University Press.
Maussen, MJM. 2009. “Constructing Mosques: The Governance of Islam in France and the
Netherlands”. Disertasi tidak diterbitkan. Universiteit van Amsterdam.
11
Oostinde, Geert dan Inge Klinkers (ed.). 2003. Decolonising the Caribbean: Dutch Policies in a
Comparative Perspective. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Oostinde, Geert. 2011. Postcolonial Netherlands: Sixty-Five Years
Commemorating, Silencing. Amsterdam: Amsterdam University Press.
of
Forgetting,
Smith, Andrea L (ed.). 2003. Europe’s Invisible Migrants. Amsterdam: Amsterdam University
Press.
Steijlen, Fridus. 2012. “Closing the ‘KNIL Chapter’: A Key Moment in Identity Formation of
Moluccans in the Netherlands” dalam Bosma, Ulbe (ed.). Post-colonial Immigrants and
Identity Formations in the Netherlands. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta: Ombak.
Van Der Kroef, Justus M. 1967. “Review”, Pacific Affairs, Vol. 39, No. ¾.
Willems. Wim. 2003. “No Sheltering Sky: Migrant Identities of Dutch Nationals from
Indonesia” dalam Smith, Andrea L (ed.). Europe’s Invisible Migrants. Amsterdam:
Amsterdam University Press.
12