Perbandingan Ekonomi Kapitalis dengan So

BAB I
Pendahuluan
Berbicara mengenai ekonomi berarti berbicara mengenai kelangsungan hidup, karena
pada dasarnya ekonomi merupakan Sunatullah yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia
sebagai mahluk, mengingat pentingnya ekonomi maka muncullah berbagai teori tentang
ekonomi yang dijadikan landasan masyarakat untuk melakukan kegiatan perekonomian
sehari-hari. Adapun teori-teori yang hingga saat ini masih dikenal oleh masyarakat adalah
teori ekonomi Liberalis/kapitalis dan Komunis/sosialis.
Kedua teori ini sempat menjadi teori ekonomi yang menguasai dunia, bahkan hingga
saat inipun teori ini masih dipelajari oleh lembaga pendidikan di hampir seluruh dunia, hal ini
karena teori ini dianggap mampu mengatasi permasalahan di dunia hingga akhirnya hampir
semua negara di dunia menjadikan teori ini menjadi kiblat perekonomian di negaranya, baik
itu secara tertulis dalam konstitusi suatu negara ataupun hanya dipraktekan oleh pemerintah
dan masyarakatnya, seperti kasus di Indonesia, dalam UUD pasal 33 disebutkan bahwa
perekonomian Indonesia berdasarkan demokrasi pancasila, namun pada implementasinya
justru negara ini mengamalkan teori liberalis.1
Seiring dengan berkembangnya jaman ternyata kedua teori yang masyhur ini mulai
terlihat keburukannya, bahkan dianggap tidak mampu lagi membawa dunia ini pada
kesejahteraan. Di dalam makalah ini akan mengkritisi tentang sistem ekonomi kapitalis,
sistem ekonomi liberalis dan sistem ekonomi rakyat disertai dengan solusi atau pemecahan
masalah dari ekonomi Islam yang berkaitan dengan sistem ekonomi kapitalis, liberalis dan

ekonomi rakyat.

1 Arief Budiman, Sistem Perekonomian Pancasila dan Ideologi Ilmu Sosial Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
1990), hlm. 38.

1

BAB II
Pembahasan
Kapitalisme
Contoh Kasus Kapitalisme:
Krisis keuangan kembali menghantam dunia. Krisis berawal dari subprime mortgage
yang merupakan pemberian kredit kepemilikan rumah (KPR) bagi warga AS yang kurang
layak. Sebelumnya, kredit tersebut tahun 2000 - 2005 mengalami booming, mencapai 10
trilyun dolar, dimana tiga perempat kredit perumahan dikemas menjadi mortgagebacked
securities (MBS) dan collateralized debt obligation (CDO). Dua pertiga debitur KPR
memang berhak memperoleh kredit (prime consumer) dengan suku bunga tetap. Sepertiganya
untuk subprime dengan suku bunga 2 – 3% lebih tinggi sehingga bisnis ini sangat
menggiurkan dan ekspansif, padahal resiko default tinggi. Tetapi resiko sudah dialihkan
dalam bentuk CDO yang dijual di pasar keuangan. Lagi pula resiko default selama ini

ditutupi oleh harga rumah yang terus naik sejak 1987.
Bencana subprime mulai terjadi pertengahan 2005 dimana tingkat bunga melonjak
sehingga menyebabkan nasabah KPR subprime mengalami default. Ditambah lagi, harga
rumah mengalami penurunan, maka resiko default tidak lagi bisa ditutup oleh harga rumah.
Mengingat KPR subprime mortgage juga diperdagangkan melalui penerbitan instrumen
derivatifnya (CDO, MBS dan lainnya sampai tujuh lapis) di pasar modal, kasus default juga
merontokkan pasar keuangan di AS dan dunia yang memiliki instrumen derivatif CDO dan
MBS dari KPR subprime mortgage. Sejak itulah dimulai episode kejatuhan bank investasi di
AS dan Eropa yang kebetulan memegang instrumen derivatif tersebut.
Harga-harga saham di seluruh dunia berguguran. Dow Jones terjun bebas hampir 600
poin sebagai rekor terendah sejak empat tahun terakhir. Indeks saham lain di AS juga turun
mencemaskan. Inilah wujud the market failures yang harus dipahami oleh para pengagum
ideolog laisses-faire. Asumsi para fundamentalis pasar bahwa pasar otomatically selfcorrecting,

serta

selfregulating

menunjukkan


bukti

kegagalannya.

Bahkan,

dana

talangan(bailout) USD 700 miliar di AS, 691 milyar dolar di Inggris, 680 milyar dolar di
Jerman, 544 milyar dolar di Irlandia, 492 milyar dolar di Perancis, 200 milyar dolar di Rusia

2

dan negara-negara di Asia sebesar 80 milyar dolar2 tidak juga meredam krisis finansial dan
kepanikan. Sistem kapitalisme (khususnya di AS) mulai diragukan.
Kritik terhadap Sistem Kapitalis
The world economy was strike down by global financial crisis. It’s happened because
of subprime mortgage in US and then stock market in the world is fall. The bailout could not
overcome the crisis and panic. Capitalism sistem had often caused crisis in many countries.
The base of capitalism is liberalism. Liberalism want to free market and refuse limitation

from government and religion, so do neoliberalism. Neoliberalism push market power to
comeback again after welfare state (1970). Actually, there are a lot of people give some
critics about capitalism sistem. They know that capitalism arise exploitation from developed
country to developing countries. There is no justice in that sistem. All along twenty century,
there are many crisis in various country every five years. That’s all indicate, capitalism
sistem is brittle. Because of that, we need other sistem economic like syariah economic
sistem.
Key Words: financial crisis, capitalism sistem, brittle
Kapitalisme dalam sejarahnya berawal dari ketidakpuasan kepada sistem diktator,
monarki absolut dan totaliterianisme yang ada. Kapitalisme adalah suatu ideologi atau paham
yang percaya bahwa modal merupakan sumber utama untuk dapat menjalankan sistem
perekonomian di suatu Negara. Kaum kapital mengumpulkan uang dengan mengorbankan
kaum buruh. Kondisi kaum proletar sangat menyedihkan karena dipaksa bekerja berjam-jam
dengan upah minimum sementara hasil keringat mereka dinikmati oleh kaum kapitalis.
Banyak kaum proletar yang harus hidup di daerah pinggiran dan kumuh. Dasar dari marxisme
(kritik Marx terhadap Kapitalisme) adalah karena adanya "kepemilikan pribadi" dan
penguasaan kekayaan yang didominasi orang-orang kaya.

Dalam bukunya The Death of Economics (1994), ekonom Paul Ormerod mengkritik
tentang ilmu ekonomi yang notabene adalah kapitalis yaitu di antaranya, rekomendasi IMF

2 Sunarsip, “Membedah Anatomi Krisis AS”, Republika 21/10 2008

3

dan Bank Dunia tentang pelaksanaan sistem ekonomi pasar yang semurni-murninya bagi
bekas Uni Sovyet tetapi ternyata perekonomian Uni Sovyet compang-camping penuh dengan
kegiatan ekonomi bawah tanah seperti penyelundupan narkotika; kemudian Negara dunia
ketiga diminta untuk melakukan penghematan dan disiplin anggaran tetapi mereka sendiri
justru sibuk menaikan gaji sebesar 38% tahun 1992-1993 dan 22% tahun 1994; dikatakan
bahwa perdagangan bebas antar negara akan menguntungkan semua pihak, padahal
perdagangan bebas hanya akan menguntungkan dalam keadaan sangat khusus yaitu jika
tingkat perekonomian pihak yang terlibat kurang lebih sama.
Di Indonesia sendiri, dasawarsa 1970-an muncul kontradiksi antara pertumbuhan dan
pemerataan. Pemerintah membanggakan pertumbuhan ekonominya yang tinggi sementara
mahasiswa menuntut keadilan pembagian kekayaan bagi rakyat. Pada tahun 1979, Mubyarto
menawarkan satu sistem yang disamping berbicara tentang pertumbuhan ekonomi, juga
mencoba memecahkan masalah pemerataan yaitu Sistem Perekonomian Pancasila (SPP).
Tujuan yang berbeda tidak dapat dicapai hanya dengan mengubah kebijaksanaan serta
strategi. Tetapi harus dengan cara mengubah teorinya. SPP adalah sistem ekonomi yang tidak
mengandung aspek-aspek kapitalisme-liberalisme, statisme dan feodalisme. Kapitalisme

ditolaknya karena hanya akan menumbuhkan golongan ekonomi kuat, sedangkan sosialisme
ditolak karena sistem ini merupakan sistem ekonomi perencanaan, ekonomi peraturan,
ekonomi negara yang menuju pada etatisme atau statisme.
Tokoh ekonomi rakyat lainnya yaitu Sri Edi Swasono mengatakan spread antara suratsurat kredit yang berkembang melalui jaminan-jaminan yang dijaminkan berupa derivatifderivatif yang dilakukan para kapitalis menjadi upaya licik terselubung bagaimana
menciptakan kekayaan ("creating wealth") secara elusif (sukar difahami) dengan dampak
delusif. Akibatnya, itu beredar menjadi modal-modal semu, sebagai bubble loans. Spread
antara nilai intrinsik dan nilai nominal surat-surat kredit makin melebar. Makanya kerugian
dari krisis di AS sekarang sangat luar biasa.3

Menurut ekonom Syariah, Muhammad Syafii Antonio, sejak tahun 1907 hingga saat
ini, penerapan sistem kapitalis sangat merugikan masyarakat. Hal itu karena dunia berulang
3 Rahmad Budi Harto, “Pesta Sudah Usai”, Republika 28/10/2008.

4

kali menderita krisis akibat sistem itu. Meski krisis disebabkan oleh pelaku elit di sektor
keuangan dan perbankan, yang paling banyak menderita adalah masyarakat karena dana
pajak mereka digunakan untuk mengatasi krisis. Ini adalah wujud ketidakadilan.
Antiglobalisasi adalah suatu istilah umum yang digunakan untuk memaparkan sikap
politis orang-orang dan kelompok yang menentang perjanjian dagang global dan lembagalembaga yang mengatur perdagangan antar negara seperti Organisasi Perdagangan Dunia

(WTO). "Antiglobalisasi" dianggap oleh sebagian orang sebagai gerakan sosial, sementara
yang lainnya menganggapnya sebagai istilah umum yang mencakup sejumlah gerakan sosial
yang berbeda-beda. Apapun juga maksudnya, para peserta dipersatukan dalam perlawanan
terhadap ekonomi dan sistem perdagangan global saat ini, yang menurut mereka mengikis
lingkungan hidup, hak-hak buruh, kedaulatan nasional dunia ketiga, dan banyak lagi
penyebab-penyebab lainnya.
Gerakan antiglobalisasi berkembang pada akhir abad ke-20 untuk melawan
globalisasi aktivitas ekonomi korporasi dan perdagangan bebas dengan negara-negara
berkembang. Para anggota gerakan antiglobalisasi ini biasanya mendukung alternatifalternatif sosialis atau sosial demokrat terhadap ekonomi kapitalis, dan berusaha melindungi
penduduk dunia dan lingkungan hidup dari apa yang mereka yakini sebagai dampak
globalisasi yang merusak. Dukungan untuk LSM hak asasi manusia adalah batu penjuru yang
lain dari agenda gerakan anti-globalisasi. Mereka mendukung hak-hak buruh, gerakan untuk
pelestarian lingkungan, feminisme, kebebasan untuk migrasi, pelestarian budaya masyarakat
adat, keanekaragaman hayati, keanekaragaman budaya, keamanan makanan, dan mengakhiri
atau memperbaharui kapitalisme.4

Pada umumnya, para pengunjuk rasa percaya bahwa lembaga-lembaga keuangan
internasional

dan


perjanjian-perjanjian

internasional

merusakkan

metode

metode

4 Didin Hafidhuddin, Hijrah Menuju Ekonomi Syariah, Republika 4/10/2008.

5

pengambilan keputusan lokal. Banyak pemerintah dan lembaga-lembaga perdagangan bebas
yang dilihat bertindak untuk kebaikan perusahaan-perusahaan transnasional/multinasional.
Perusahaanperusahaan itu dianggap mempunyai hak-hak istimewa yang tidak dimiliki oleh\
kebanyakan manusia: bergerak bebas melintasi perbatasan, menggali sumber-sumber alam
yang diingini, dan memanfaatkan keanekaragaman sumbersumber manusia. Mereka dianggap

mampu bergerak terus setelah melakukan kerusakan yang permanen terhadap modal alam dan
keanekaragaman hayati suatu negara, dalam cara yang tidak mungkin dilakukan oleh warga
negara di tempat itu. Para aktivis juga mengklaim bahwa perusahaan-perusahaan itu
memaksakan suatu "monokultur global". Karenanya, tujuan bersama dari sebagian gerakan
itu adalah mengakhiri status hukum perusahaan-perusahaan itu sebagai subyek hukum dan
pembubaran atau pembaruan dramatis atas Bank Dunia, IMF dan WTO.
Para

aktivis

"penyalahgunaan

secara

globalisasi"

khusus
dan

menggugat


apa

institusi-institusi

yang

mereka

lihat

sebagai

internasional

yang

dirasa

mempromosikan neoliberalisme tanpa rasa hormat terhadap standart adat. Target umum

meliputi Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Organisation for Economic
Cooperation and Development (OECD) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) serta
perjanjian "pasar bebas" seperti NAFTA, AFTA, Multilateral Agreement on Investment
(MAI) dan (General Agreement on Tariff and trade (GATT). Mengingat kesenjangan ekonomi
antara negara-negara kaya dan miskin, penganut gerakan ini mengklaim bahwa "pasar bebas"
sesungguhnya akan menyebabkan bertambahnya kekuasaan negara-negara industri (sering
diistilahkan sebagai "Utara" sebagai tandingan "Selatan" yang terdiri atas negara-negara
berkembang).
Terkadang ada juga argumentasi bahwa AS mempunyai keuntungan khusus dalam
ekonomi global karena hegemoni dolar. Klaim ini menyatakan bahwa dominasi dolar
bukanlah semata-mata konsekuensi dari keunggulan ekonomi AS. Sejarahwan globalisasi
mengakui bahwa dominasi dolar juga didapat melalui kesepakatan politis seperti Bretton
Woods Sistem dan pedagangan minyak OPEC hanya dalam dolar, setelah AS meninggalkan
standar emas dan menggantikannya dengan dolar.5

Seringnya terjadi krisis ekonomi di berbagai negara menunjukkan betapa rapuhnya
sistem tersebut. Idealnya perekonomian digerakkan oleh sektor riil, tetapi kenyataannya
5 Ibid.

6

dalam sistem kapitalis, perekonomian banyak digerakkan oleh spekulasi baik di pasar uang
maupun di bursa saham. Jadi sebenarnya, akar berbagai krisis yang terjadi hingga kini adalah
karena penerapan sistem kapitalis dimana sistem ini membolehkan pelaku bisnis melakukan
spekulasi yang ditunjukkan oleh adanya transaksi derivatif sehingga sistem ini menyebabkan
sektor non riil jauh lebih berkembang dibandingkan sektor riil. Sebelum krisis moneter di
Asia tahun 1997/1998, dalam satu hari, dana yang beredar dalam transaksi semu di pasar
modal dan pasar uang dunia diperkirakan rata-rata sekitar 2-3 trilyun dolar AS atau dalam
setahun sekitar 700 trilyun dolar AS. Sebaliknya, arus perdagangan barang internasional
dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 trilyun dolar AS. Jadi, arus uang 10 kali lebih cepat
dibandingkan arus barang. 6.
Kapitalisme telah gagal dalam menciptakan keadilan dan kesejahteraan manusia.
Kapitalisme juga telah melahirkan kesenjangan ekonomi yang semakin parah. Hal ini
ditunjukkan oleh hasil penelitian lembaga the New Economics Fondation (NEF) Inggris, pada
dekade 1980-an, dari setiap kenaikan pendapatan per kapita 100 dolar AS, kaum miskin
hanya menikmati 2,2 dolar AS atau hanya 2,2%. Artinya 97,8% lainnya dinikmati golongan
kaya. Kemudian kurun 1990 – 2001, setiap kenaikan pendapatan per kapita 100 dolar AS,
maka yang dinikmati orang-orang miskin hanya 6 sen atau 0,6%. Berarti 99,4% dinikmati
golongan kaya. Fakta tersebut juga ditunjukkan dalam Human DevelopmentReport 2006
yang diterbitkan UNDP (United Nations Development Programme), 10 % kelompok kaya
dunia menguasai 54% total kekayaan dunia. Sedangkan sisanya 90% masyarakat dunia hanya
menguasai total kekayaan 46%. Ini menunjukkan betapa telah terjadi ketidakadilan dan
ketidakseimbangan.

Banyak indikasi kegagalan kapitalisme tersebut, antara lain: Pertama, Ekonomi
konvensional yang berlandaskan pada sistem ribawi, ternyata semakin menciptakan
ketimpangan pendapatan yang hebat dan ketidak-adilan ekonomi. Kedua, Ekonomi
kapitalisme tersebut juga telah menciptakan krisis moneter dan ekonomi di banyak negara. Di
6 M. Dawam Raharjo, Kapitalisme Dulu dan Sekarang, (Jakarta: LP3ES, 2005), hlm 43-44

7

bawah sistem kapitalisme, krisis demi krisis terjadi terus menerus, sejak tahun 1923, 1930,
1940, 1970, 1980, 1990, 1997 bahkan sampai sekarang. Banyak negara senantiasa terancam
krisis susulan di masa depan jika sistem kapitalisme terus dipertahankan.Ketiga, Ekonomi
kapitalisme banyak memiliki kekeliruan dan kesalahan dalam sejumlah premisnya, terutama
rasionalitas ekonomi yang telah mengabaikan moral dimensi moral.
Sementara Fukuyama mengatakan bahwa sistem kapitalis adalah sistem yang
mengatur hidup manusia maka pada kenyataanya hanya segelintir orang dapat merasakan
keunggulan ini, hal ini dapat dilihat dari data-data yang sangat mencengangkan, adapaun
data-data tersebut diantaranya adalah :


Setengah dari penduduk dunia (sekitar 3 miliyar orang) hidupnya dengan uang



dibawah $3 atau sekitar Rp.18000 sehari.
GDP (Gross Domestic Product) atau pendapatan domestik Bruto di 48 negara



termiskin di dunia tidak lebih dari 3 negara terkaya di dunia.
Sekitar 790 juta orang di negara berkembang masih dalam kekurangan makanan yang
layak dan hampir 2/3 tinggal di Asia dan Pasifik
Dari data-data tersebut dapat kita lihat bahwa ketimpangan yang sangat tinggi antara

si kaya dan si miskin, apakah hal tersebut bisa dikatakan keunggulan dari sistem Kapitalis?
Tentu jawabannya bukan karena kekayaan hanya dirasakan oleh segelintir orang sedangkan
sisanya merasakan kesulitan dalam mengahadapi kehidupan yang semakin tidak memihak
pada mereka yang tidak memiliki modal.7

Kegagalan kapitalisme telah mendorong ekonom lain untuk mencari alternatif sistem
ekonomi yang ada. Kalau kembali ke ekonomi sosialis, jelas tidak mungkin karena sejarah
juga sudah menunjukkan adanya kegagalan. Alternatif yang ada sekarang adalah tetap
menggunakan sistem kapitalis yang ada akan tetapi dengan memperbaiki kelemahannya atau
menggantinya dengan sistem ekonomi syariah yang sekarang mulai berkembang dan banyak
7 Didin Hafidhuddin, “Menguji Ketangguhan Kapitalisme”, Blog Fajri 25/9/2008

8

yang meliriknya. Tetapi kalau kembali menggunakan sistem kapitalis, berapa kali lagi harus
mengalami kegagalan ? atau mungkin memang manusia sulit untuk mengambil hikmah dari
sejarah ?
Pemikiran Ekonomi Marx sebagai Kritik terhadap Kapitalisme
Kritik Terhadap Kapitalisme


Teori Nilai Lebih dan Akumulasi Modal
Teori nilai lebih merupakan teori yang paling banyak digunakan oleh teoritisi Marxist

untuk mengkritik sistem ekonomi kapitalisme hingga saat ini. Teori ini mengurai cara
produksi dan perkembangan kapitalis yang melibatkan penjelasan hubungan pekerja dan
pemilik modal. Secara awan nilai lebih dikenal sebagai laba, selisih antara harga yang
dikeluarkan oleh pemilik modal untuk memproduksi dengan harga jual hasil produksi
tersebut.
Namun secara ekonomi nilai lebih berhubungan dengan perbedaan antara nilai yang
dihasilkan oleh pekerja dan nilai tenaga kerjanya sendiri. Pengertian ini membawa kita untuk
memahami terlebih dahulu tentang tenaga kerja dalam produksi kapitalis. Tenaga kerja dalam
sistem produksi kapitalisme menurut analisa Marx setara jika dibandingkan dengan material
produksi lain yang dibutuhkan dalam proses produksi. Seorang tenaga kerja dinilai dan
diberikan upah berdasarkan jam kerja yang berikannya selama proses produksi. Material
produksi dan perkakas produksi dinilai berdasarkan harga yang dibayar pemilik modal untuk
mendapatkannya. Karena dalam proses produksi material produksi dan perkakas produksi
tidak mengalami pertambahan nilai malahan mengalami penurunan nilai, maka satu-satunya
sumber pertambahan nilai yang bisa menjadi keuntungan atau nilai laba adalah proses kerja
yang dilakukan tenaga kerja. Dengan kata lain satu-satunya faktor produksi yang
mendatangkan keuntungan adalah tenaga kerja melalui kerjanya.

Karena status tenaga kerja disamakan dengan komoditas maka perannya dalam
hubungan ekonomi juga diperlakukan sebagai komoditas. Eksistensi para pekerja hanya
dihargai sebagai pendukung demi terwujudnya proses produksi. Upah yang diterimanya
dimaknai sebagai kebutuhan untuk mereproduksi tenaga kerja untuk produksi.

9

Dengan sudah jelasnya dari mana para pemilik modal mendapatkan keuntungan
dalam proses produksi mereka dalam Teori Nilai Lebih, selanjutnya Teori Akumulasi Modal
akan menjelaskan apa yang akan diperbuat para pemilik modal dengan nilai lebih yang
mereka terima.
Akumulasi modal adalah proses yang dilakukan oleh para pemilik modal dalam
memperbesar faktor produksinya. Dalam buku pertama Kapital, Marx menjelaskan terdapat
tiga tahap yang dilalui modal dalam sikuit kapital.
Tahapan pertama: Kapitalis muncul di pasar barang-dagangan dan berperan sebagai
seorang pembeli; uangnya diubah menjadi barang-dagangan, ia melalui babak peredaran MC.
Tahapan kedua: Konsumsi produktif oleh kapitalis atas barang-dagangan yang dibeli.
Ia berfungsi sebagai kapitalis produsen barang-dagangan; kapitalnya melalui proses produksi.
Hasilnya: barang-dagangan bernilai lebih besar ketimbang unsur-unsur produksinya.
Tahapan ketiga: Kapitalis kembali ke pasar sebagai seorang penjual; barang
dagangannya ditransformasi menjadi uang, mereka melalui babakan sirkulasi CM.
Dengan demikian perumusan bagi sirkuit kapital uang adalah M–C...P...C’M’( money-comodity…production…commodity’-money’). Titik-titik diatas menandakan
bahwa proses peredaran (sirkulasi) telah diinterupsi, sedangkan C’ dan M’ menandakan
peningkatan pada C dan M sebagai hasil nilai-lebih.
Nilai lebih dalam bentuk uang ini kemudian bisa dijadikan oleh pemilik modal untuk
pembiayaan faktor produksinya, keuntungan untuk konsumsi pribadinya ataupun sebagai
modal untuk pengembangan usaha sang pemiliki modal yang kemudian awam dikenal
dengan akumulasi modal. Namun apa yang menjadikan akumulasi modal lebih menjadi
perhatian dibandingkan dengan opsi lain pemilik modal menggunakan nilai lebihnya ?
Jawabannya adalah persaingan dalam sistem ekonomi kapitalis. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Adam Smith, sistem ekonomi liberal kapitalis adalah sistem ekonomi yang
terbentuk dengan sendirinya sebagai akibat persaingan yang sehat antar individu dalam
memenuhi kepentingan ekonominya. Sebuah perusahaan akan kalah dalam persaingan
apabila produk-produk yang dihasilkannya memiliki kualitas yang kalah bagus dibanding
pesaingnya, atau mereka akan gagal mendapatkan keuntungan maksimal apabila kuantitas
10

produksi mereka tidak mampu memenuhi pemintaan pasar. Solusinya adalah akumulasi
capital dalam bentuk teknologi mesin dan perkakas produksi muthakir yang akan
meningkatkan kapasitas produksi perusahaan.
Dari sisi ini terlihat sebagai akumulasi modal sebagai sebuah keharusan dan resiko
dalam ekonomi kapitalis, namun disisi lain akumulasi modal tidak terlihat sebagai sebuah
konsekuensi yang menyiksa pemilik modal. Nilai lebih yang didapatkan oleh perusahaan
yang kembali diputarkan dalam bentuk faktor produksi memang secara langsung tidak dapat
memenuhi konsumsi pribadi pemilik modal. Namun pola hubungan produksi yang dikuasai
oleh sekelompok pemilik modal ini sudah terlebih dahulu menjanjikan investasi dengan
deviden yang lebih besar untuk para pemilik modal untuk dinikmati dikemudian hari.
Moralitas Marxisme juga menyoroti sistem akumulasi modal ini. Nilai lebih yang menjadi
prasyarat akumulasi sejatinya dihasilkan oleh proses kerja tenaga kerja, namun status para
pekerja yang hanya sebagai komoditas membuat para pekerja tidak dapat menikmati nilai
lebih yang mereka hasilkan mewujud keseluruhan pabrik-pabrik, mesin-mesin, jalan-jalan, rel
kereta, pelabuhan, bandara udara, dan sebagainya. Ernest Mandel dalam Pengantar Teori
Ekonomi Marxistnya mengomentari ketimpangan ini sebagai sebuah bukti kolosal eksploitasi
yang terus berlanjut yang dijalankan oleh kelas pekerja sejak asal mula masyarakat kapitalis.
Kedua teori ekonomi Marx ini agaknya cukup untuk membayar tujuan fisafat
humanisme atau naturalisme Marx. Mewakili naturalism (materialisme) Marx mengomentari
realitas sistem sosial ekonomi yang dihasilkan oleh kapitalisme dengan empirik, rasional dan
memenuhi logika yang runtun. Dan mewakili humanisme, kritik terhadap sistem kapitalisme
mempunyai dasar ketidakadilan terhadap sebagian besar manusia yang terlibat dalam
produksi sistem ekonomi kapitalisme.


Teori Alienasi

Teori Alienasi merupakan teori sosial yang merupakan konsekuensi dari sistem ekonomi
kapitalisme. Teori Alienasi berkaitan dengan situasi yang dijalankan oleh tenaga kerja selama
berproduksi berkaitan dengan peran yang mereka jalankan dalam sosialnya.
Teori nilai lebih diawal sudah menjelaskan bahwa tenaga kerja tidak lebih dari sekedar
komoditas dan material produksi yang dieksploitasi untuk mendapatkan nilai lebih. Upah
yang diterimanya dimaknai sebagai biaya reproduksi tenaga kerja, dengan kata lain biaya
minimal hidup tenaga kerja untuk mereproduksi tenaganya untuk dihabiskan kembali
11

dilapangan pekerjaan. Ketidakadilan ini ternyata tidak dimaknai hanya sekedar ketimpangan
pendapatan bagi Marx tetapi berhubungan dengan eksistensi kemanusiaan kelas pekerja.
Seperti yang dinyatakan Marx “Objek yang dihasilkan buruh, produknya, kini bertentangan
dengan dirinya; objek itu menjadi makhluk asing dan kekuasaan yang terbebas dari
pembuatnya. Produk buruh adalah buruh yang telah diwujudkan dalam sebuah objek dan
berubah menjadi sebuah benda fisik; produk ini merupakan objektifikasi buruh. Buruh
teralienasi karena kerja telah berhenti menjadi bagian dari sifat pekerja dan konsekuensinya,
buruh tidak memenuhi dirinya dalam pekerjaannya, tetapi menolak dirinya, memiliki
perasaan sengasara daripada menjadi mahkluk yang baik, tidak mengembangkan energi
mental dan fisisknya secara bebas, tetapi tenaganya terkuras dan mentalnya tercerabut. Oleh
karena itu, pekerja merasa dirinya nyaman hanya selama masa senggangnya, sedangkan
ketika berkerja ia merasa tidak nyaman.”
Dari pernyataan Marx ini terdapat dua poin utama dari alienasi, pertama dalam proses
kerja manusia dibatasi kemampuan kreatifnya, manusia tidak bisa mencapai dirinya yang
memiliki kemampuan yang dapat dibedakan dari orang lain karena aktivitas yang dijalaninya
sama. Tenaga kerja juga terasing dengan lingkungan sosialnya yang seharusnya berpengaruh
bagi kehidupannya. Kedua, hasil kerja akibat pembagian kerja menjadi terpisah dengannya.
Tenaga kerja tidak lagi mampu menguasai apa yang dihasilkanya.
Poin penting dari teori alienasi lainnya adalah perhatian besar Marx terhadap
kemanusiaan yang tidak lagi manusiawi dalam sistem ekonomi kapitalis. Hal inilah yang
mendasari Marx untuk menyatakan sikap ketidaksetujuan terhadap sistem ekonomi ini dan
memprediksi akan terjadi revolusi sosial dikepemimpinan kelas pekerja. Kelas yang
dipercaya Marx sebagai kelas yang paling tereksploitasi, teralienasi, dan sisi kemanusiaannya
yang paling mengacam. Revolusi dalam usaha pengembaliaan kemanusiaan dan pembebasan
akan dimulai dari kelas ini.8

Liberalisme
Prolog
Perspektif liberal sebagai sistem ekonomi politik, menurut beberapa sarjana hal ini
patut menjadi suatu gagasan yang universal dan membentuk pengetahuan untuk
8 William Ebenstein dan Edwin Fogelman, Isme-isme Dewasa Ini, (Jakarta: Erlangga, 1994), hlm 78-82

12

didistribusikan secara global. Gagasan tersebut terbentuk karena liberalisme dianggap mampu
memisahkan ekonomi dan politik9 satu sama lain dan mengasumsikan bahwa setiap ruang
lingkup mekanisme liberal memiliki keserasian terhadap aturan tertentu dan logika masingmasing individu.
Namun liberalisme sendiri memunculkan berbagai analisis dan kritik terhadap
berbagai perspektif, mekanisme, dan panoptisme-nya. Terutama terkait dengan cara
pemaknaan dan mekanisme pasar sebagai sebuah entitas, dan bagaimana segala sesuatu yang
memiliki ontologis dan methapysics tersendiri dimaknai secara efisien melalui suatu
perspektif, paradigma, atau sudut pandang “komoditas”. Mekanisme interpretasi manusia
yang melihat segala bentuk materi dan menilainya dengan uang, menjadikan uang sebagai
makna dan nilai dari materi, dan melihat bahwa segala materi dapat diubah menjadi uang atau
diuangkan.
Selain itu, komoditas telah mereduksi berbagai pemakanaan terhadap materi, dan
mereduksi cara berpikir manusia yang kritis. Reduksi berpikir kritis tersebut terjadi ketika
manusia hanya memperhitungkan segala macam rasio dengan angka dan simbol-simbol
seperti mata uang yang terdapat diseluruh negara di dunia. Hal ini seolah-olah menjadi suatu
normativitas yang absolut melalui pengetahuan komoditas yang di-universal-kan.
Sebagai contoh, pasar atau market, sebagai suatu entitas menjadi pengetahuan
universal yang diberikan melalui pendidikan mulai dari jenjang dasar hingga pendidikan
tinggi. Berbagai sistem pendidikan memberikan legitimasi terhadap pengetahuan tentang
pasar sebagai sesuatu yang absolut, natural, dan taken for granted.

Sejak Adam Smith hingga saat ini, pemikiran-pemikiran liberal telah mencoba untuk
mencari konsep hukum dan aturan yang mampu mengatur kekayaan ekonomi sebuah bangsa.
Walaupun sebagian besar pemikir liberal berpendapat bahwa hukum dan aturan mengenai
sistem ekonomi sudah ada dalam sistem sosial masyarakat, dan menjadi sebuah hal yang

9 Robert Gilpin, The Political Economy of International Relations, (Princeton University Press, New Jersey:
1987), halaman 26.

13

natural.10 Hal ini berkontradiksi dengan pemikiran yang lain bahwa segala sesuatu yang
dianggap natural hanyalah gagasan yang berasal dari interpretasi manusia terhadap segala
sesuatu yang terproyeksi oleh panca indera, dan proyeksi tersebut kemudian membentuk
gagasan dan ide-ide yang selanjutnya disusun melalui bahasa hingga menjadi sebuah
pengetahuan yang berbentuk teks.
Kritik terhadap Sistem Liberalis
Kritik terhadap Privatisasi
“Meminimalisir peran negara dan berikan semuanya kepada kendali pasar”, itulah
sedikit kata yang selalu diuraikan pada pemikir-pemikir liberalisme ini. di dalam bidang
ekonomi, penerapan liberalisme berarti pembebasan area perdaganan barang dan jasa suatu
negeri, sehingga dapat diakses seluas-luasnya oleh pelaku-pelaku bisnis, baik yang berasal
dari dalam negeri maupun luar negeri. Kehadiran negara diharapkan tetapi hanya sebagai
fasilitator yang menjamin agar mekanisme pasar dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Pengurangan atau pengahapusan berbagai hambata tarif dan non tarif, selayaknya dilakukan
pemerintah agar kegiatan perdangan barang dan jasa antar negara dapat berlangsung secara
bebas dan kompetitif. Pendek kata, liberalisasi lebih diarahkan pada percepatan arus barang,
jasa dan modal serta penciptaan struktur pasar bebas yang kompetitif, dimana aktor-aktor
pasar dapat saling berinteraksi dalam persaingan usaha yang sehat (Choirie, 2004: 35-36)11.
Berbicara tentang liberalisasi maka akan berbicara tentang privatisasi, yang secara
umum dapat diartikan sebagai kebijakan pemerintah dengan memberi berbagai fasilitas yang
memudahkan pihak swasta dalam mengambil-alih perusahaanperusahaan milik negara
(Krisna, 1993: 131). Privatisasi juga dapat diartikan sebagai tindakan mengurangi peran
pemerintah atau meningkatkan peran sektor swasta dalam aktifitas ekonomi atau dalam
kepemilikan aset (Savas, 1987: 3). Semua hal tersebut dilakukan untuk melakukan tiga
kegiatan. Pertama, kegiatan dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi maupun barangbarang dan jasa-jasa untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan individu maupun kebutuhan
masyarakat. Jadi kegiatan ini untuk memuaskan kebutuhankebutuhan individu maupun
masyarakat yang secara efektif tidak dapat dipuaskan oleh mekanisme pasar.
Misalnya pendidikan, pertahanan dan keamanan, serta keadilan. Kedua, kegiatan
dalam mengadakan redistribusi penghasilan pendapatan atau mentransfer penghasilan. Ini
10 Ibid, halaman 44.
11 http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/1020699114.pdf, di akses pada tanggal 17 Juni 2011 pukul 22.32.

14

memberikan koreksi terhadap distribusi penhghasilan masyarakat. Ketiga, kegiatan
menstabilisasikan perekonomian. Ini dilakukan dengan menggabungkan kebijakan moneter
dan kebijakan lain fiskal dan perdangan unutk meningkatkan atau mengurangi besarnya
permintaan agregat sehingga dapat mempertahankan full employment dan menghindari
inflasi maupun deflasi (Musgrave, 1991: 6)12.
Sekilas hal diatas tersebut terlihat baik, karena pada dasarnya keuntungan dari
privatisasi itu nantinya akan kembali kepada rakyat dan memberikan kemudahan kepada
rakyat. Isuisu politik ekonomi dan etis yang serius telah membangkitkan perhatian kepada
alasan-alasan dan proses proses “ privatisasi” perusahaan-perusahaan melik negara. Salah
satu alasan mendasar bagi privatisasi adalah mengakhiri “monopolimonopoli” negara dalam
rangka merangsang kompetisi dan menurunkan harga serta meningkatkan efesiensi. Namun
demikian fakta dari masalah ini sangatlah berbeda. Para pembeli dari mononopoli negara
telah menjadi monopoli swasta, investor-investor berskla besar yang menguatkan kerajaan
ekonomi mereka terus berkembang. Dengan deregulasi yang menyertai privatisasi monopolimonopli swasta baru telah menaikkan harga dan mengurang pelayanan untuk mereka yang
tidak mampu membayar, sehingga menciptakan “inefesiensi-inefesiensi” dalam memenuhi
permintaan riil. Kompetisi tidak selalu disebabkan privatisasi, privatisasi hanyalah
merekonsentrasikan kepemilikan pada tangan-tangan swasta. Hal tersebut sangat negatif
negatif. Karena sis negatif tersebut akhirnya datang bukan hanya dari segi ekonomi tetapi
juga seluruh masyarakat seperti, sistem politik, struktur kelas, pasar domestik dan sistem
transportasi dan komunikasi13.
Privatisasi benar-benar mempolarisasikan struktur kelas. Di satu sisi, para pembeli
perusahaan milik negara dalam banyak kasus memperoleh banyak sekali keuntungan yang
menaikkan sebagian dari status jutawan menjadi milyader. Di sisi lain, pemecatan
“kelebihan” pegawai negeri telah mendorong banyak buruh menjadi kelas miskin kota yang
baru dan berupah rendah, pekerjaan “informal”. Buruh dengan keselamatan negeri dan
maslahat sosial (sosial beneifit) yang rendah mengalami erosi standar hidup yang serius dan
penurunan mobilitas. Penurunan maslahat sosial telah meningkatkan pendapatan dan
keuntungan para pemilik swasta baru.

12 Ibid
13 Petras. J dan Veltmeyer. H, Globalization Unmasked: Imperialism in the 21 Century (London: Zed Books Ltd,
2001), hlm 184.

15

Naiknya harga jasa, listrik, transportasi, dan lain sebagainya yang menyertai
privatisasi telah menurunkan standar hidup kaum buruh upahan dan bergaji, sambil
menaikkan keuntungan monopoli swasta yang telah mengambil alih monopoli Negara
Sektor yang diprivatisasi makanya mengambil keuntungan dari subsidi negara sambil
menikmati skala upah rendah dan jadwal buruh “fleksibel” yang ditetapkan oleh negara
liberal. “keuntungan baik” beberapa puluh miliarder yang terkait dengan proses privatisasi
berimbas kepada marginalisasi puluhan juta buruh miskin yang menderita.
Dampak besar kedua dari privatisasi melandas sistem politik. Ikatan-ikatan yang kuat
antara monopoli swasta yang memperolah keuntungan dari privatisasi dan pemerintah
eksekutif daerah menjadi alasan pokok mengapa dewan legislatif dan lembaga yudikatif
daerah menjadi pihak yang kalah dan transisi menuju ekonomi pasar bebas. Lembagalembaga
yang representatif dilampaui dalam proses transfer kekayaan negara ke tangan-tangan swasta.
Keputusankeputusan besar diambil di tempat lain (dalam kepengurusan bank-bank luar
negeri), sementara parlemen atau konres paling jauh menanggapi keputusan keputusan yang
telah diambil.14
Hasil akhir dari privatisasi adalah melemahnya demokrasi dan hilangnya pengawasan
legislatif terhadap sektor-sektor ekonomi penting. Tanggung jawab utama perusahaanperusahaan yang diprivatisasi adalah kepada direkturnya, yang dalam kebanyakan kasus tidak
lengkap. Komite kongres yang mengawasi aktifitas-aktiftas perusahaan milik negara telah di
non aktifkan. Sektor swasta kini tidak perpronsif atau bertanggung jawab kepada otoritas
publik, tetapi hanya kepad kepentingan-kepentingan swasta.
Privatisasi membawa dua perubahan mendasar. Keduanya negatif bagi pembangunan
ekonomi nasional. Pertama, privatisasi meniadakan sumber akumulasi eknomi nasional yang
menguntungkan, khususnya ketika para investor baru mengirim penghasilannya ke luar
negeri. Kedua, kehilangan tuas strategisnya untuk mengalihkan pendapatan ke sektor-sektor
ekonomi baru yang tidak segera menghasilkan keuntungan tetapi bisa jadi memiliki dampak
posisitf pada pekerjaan dan pembukaan area investasi baru, yakni infrastrukstur, pendidikan ,
dan diversifikasi regional. Privatisasi dalam banyak kasus lebih jauh mendisartikulasikan
ekonomi dengan cara memfokuskan pada produksi dan import di luar kontong-kantong yang
semestinya.

14 Ibid

16

Oleh karenanya, provinsi-provinsi terpotong dari dan investasi, jalur-jalur kereta api
dan penerbangan regional dieliminasi atau dikurangi, dan pabrik-pabrik untuk pasar regional
dihancurkan oleh barangbarang import murah yang dipromosikan para elite privatisasi.
Ketika privatisasi menguatkan intergrasin internasional, berarti juga mendisartikulasikan
ekonomi domestik, yang kemudian mengosongkan aktivitas ekonomi di tingkat profinsi dan
mereduksinya sehingga sangat bergantung pada aktivitasaktivitas administratif murni. 15
Bayangkan begitu merusaknya dampak privatisasi tersebut, tetapi nampaknya para pengambil
keputusan saat ini entah tidak mengerti atau tidak tahu, kita sangat senang dengan privatisasi
tersebut. Bahkan badan-badan usaha milik Negara saat ini, merasa sangat senang jikalau
sudah membuat keputusan “go publik”, yang padahal hal tersebut adalah jalan masuknya hal
privitisasi. Inikan sebenarnya “gila”. Tetapi balik lagi, tatanan liberalisasi yang benar-benar
sudah mendunia dan sudah menjadi aturan mutlak dunia, membuat negara-negara di dunia itu
harus membutakan diri dari dampak hal privatisasi ini.

Bagaimana Ekonomi Islam Memecahkan Permasalahan dari Sistem Kapitalisme,
Liberalisme dan Ekonomi Kerakyatan

15 Ibid., hlm. 186.

17

Terhadap Sistem Liberalisme
Sistem ekonomi Islam lahir sebagai sistem ekonomi yang dapat merealisasikan
keadilan antara hak-hak individu dengan hak-hak kolektif suatu masyarakat. Pada saat ini,
para ahli Ekonomi menggali kembali sistem ekonomi Islam yang pernah berjaya sebelum
abad pertengahan. Ruh sistem ekonomi Islam adalah keseimbangan (pertengahan) yang adil.
Ciri khas keseimbangan ini tercermin antara individu dan masyarakat sebagaimana
ditegakkannya dalam berbagai pasangan lainnya, yaitu dunia dan akhirat, jasmani dan ruhani,
akal dan nurani, idealisme dan fakta, dan pasangan-pasangan lainnya yang disebutkan di
dalam kitab Al Quran. Sistem Ekonomi Islam tidak menganiaya masyarakat, terutama
masyarakat lemah, seperti yang dilakukan oleh sistem kapitalis.
Ekonomi Islam pada hakikatnya tidak menganiaya hak-hak kebebasan individu,
seperti yang dilakukan oleh komunis, terutama Marxisme. Akan tetapi, keseimbangan di
antara keduanya, tidak menyia-nyiakan, dan tidak berlebih-lebihan, tidak melampaui batas
dan tidak pula merugikan. Dalam mencapai keseimbangan tersebut, dibutuhkan adanya
lingkungan yang baik dan sadar secara moral yang dapat membantu reformasi unsu 16r
manusia di pasar berlandaskan sebuah keimanan. Dengan demikian akan melengkapi sistem
harga di dalam memaksimalkan efisiensi maupun keadilan pada penggunaan sumber daya
manusia dan sumber daya materi lainnya.
Namun, sangat sulit, untuk mengasumsikan bahwa semua individu akan sadar secara
moral kepada masyarakat, dan keimanan saja tidak akan mampu menghilangkan
ketidakadilan sistem pasar, sehingga negara juga harus memainkan peran komplementer
(Chapra, 2000). Negara harus melakukannya dengan cara-cara yang tidak mengekang
kebebasan dan inisiatif sektor swasta berlandaskan kerangka hukum yang dipikirkan dengan
baik, bersama dengan insentif dan hukuman yang tepat, check and balance untuk memperkuat
basis moral masyarakat dan menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif16.

Oleh karena itu, telah dirasakan bahwa sistem ekonomi kapitalis sekuler yang
membedakan antara kesejahteraan material dengan masalah ruhaniah banyak membawa
16 Deliarnov, “Ekonomi Politik” (Jakarta : Erlangga, 2006) h. 16-17.

18

masalah dalam distribusi kesejahteraan yang adil dan seimbang di antara masyarakat. Dengan
demikian, sebagaimana yang dikemukakan oleh Fukuyama (1995), bahwa perlu disadari,
kehidupan ekonomi tertanam secara mendalam pada kehidupan sosial dan tidak bisa
dipahami terpisah dari adat, moral, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat di mana proses
ekonomi itu terjadi. Sehingga, membahas pembangunan ekonomi di Indonesia dengan
memasukkan nilai-nilai Islam bukan suatu hal yang irrelevant.
Dengan fakta-fakta yang telah ditunjukan oleh ekonomi syariah yang salah satunya
dari perkembangan institusi syariah, maka menurut saya sudah saatnya pemerintah untuk
mengambil langkah konkrit sebagai “governance as public” yakni pemerintahan rakyat yang
bertujuan untuk mensejahterahkan rakyatnya. Mengambil keputusan bijak untuk kesejahteran
rakyat Indonesia. Sudah saatnya ditunggu political action dari pemerintah bukan sekedar
political will, dan sudah saatnya pemerinah mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang
keadilan dan kesejahteraan. Menyadari akan hal tersebut, sudah semestinya pemerintah
menganggap penting untuk mengetahui dan mempraktikan sebuah sistem ekonomi yang
sesuai dengan falsafah budaya berekonomi bangsa berdasarkan kepentingan rakyat Indonsia
kebanyakan.
Sebuah sistem ekonomi yang dapat merealisasikan cita-cita bernegara dan berbangsa
seperti diamanatkan UUD 45 dan Pancasila, yakni menciptakan masyarakat yang ”adil dan
makmur” (redistribution with growth), bukan masyarakat yang ”makmur baru adil”
(redistribution from growth) ala kapitalisme liberal. 17 Dalam pengertian ini, maka
kemakmuran materialisme bukanlah tujuan utama tetapi hanyalah merupakan suatu produk
dari suatu ”strategi pembangunan” yang diterapkan, jadi masih ada tujuan utama yang
lainnya yang bersifat non ekonomi yang harus dicapai.
Berdasarkan pada pemahaman normatif tersebut maka secara sederhana dapat
dikatakan bahwa hal tersebut sesuai dengan sistem ekonomi syariah, yakni suatu sistem yang
mengakui kebebasan hak individu dalam ekonomi, bahkan melindungi hal tersebut dari
ketidakadilan dan kezaliman. Namun dalam interksinya, prioritas utama terletak pada
kepentingan kolektif dengan menggunakan parameter syariah yang khas.
Sistem Ekonomi Pancasila

17 Budhy Munawar dan Moh Shofan, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme, (Jakarta: Gramedia, 2010,hal –
77-78

19

Sistem ekonomi yang hanya dimiliki oleh Negara Indonesia memiliki lima cirri-ciri
yang tentunya memiliki kekurangan dalam penggunaannya. Kelima cirri tersebut antara lain :
1. Peranan negara beserta aparatur negara sangat penting, akan tetapi tidak dominan untuk
mencegah tumbuhnya sistem etatisme atau serba negara. Seharusnya dalam proses
pengaturan tata negara dengan pemerintah yang memiliki kedaulatan terhadap rakyat, para
aparatur negara diberikan kewajiban dan wewenang untuk mengatur tumbuhnya sistem
etatisme atau perekonomian negara. Setiap aparatur seharusnya memiliki kepedulian dan
tanggung jawab sehingga bias membantu dalam sistem ekonomi yang berlaku. Sikap
pihak swasta yang seenaknya saja akan bisa terminimalisir karena adanya peran aktif dari
aparatur negara, setelah selama ini banyak pihak swasta yang meraup keuntungan secara
banyak dan berlebihan, dengan adanya anggota aparatur negara yang bertanggung jawab
tentu bias mengurangi profitabilitas di pihak swasta dan asing.
Pihak asing dan swastapun kemungkinan akan sedikit melemah karena sikap tegas
yang dimiliki aparatur negara. Tegas hukum yang menjadi kewajiban dan wewenang
aparatur negara merupakan salah satu hal yang penting dalam mencegah tumbuhnya
etatisme atau serba negara.
2. Dalam sistem ekonomi pancasila maka hubungan kerja antar lembaga-lembaga ekonomi
tidak didasarkan pada dominasi modal seperti halnya dalam sistem ekonomi kapitalis.
Merupakan hal yang sangat sulit di Indonesia, penggunaan modal tentu dalam prakteknya
menjadi salah satu factor yang penting dalam etatisme sebuah negara. Lembaga-lembaga
ekonomi ini memulai segala usahanya dengan berawal dari modal. Modal dapat berbentuk
benda material seperti uang, emas, perak dan lai-lain. Sedangkan barang non-material
sangat sulit disamakan dengan modal
3. Masyarakat sebagai suatu kesatuan memegang peranan sentral dalam sistem ekonomi
pancasila. Tentunya dalam setiap tindakan perlunya pengawasan dalam ahli yang memiliki
wewenang. Jika dalam penggunaannya selalu masyarakat yang memiliki kekuasaan, maka
tidak menutup kemungkinan ada beberapa pihak yang ingin mengambil keuntungan jauh
lebih banyak dari yang lain dan bahkan tidak segan-segan untuk menghancurkan usaha
orang lain agar dapat memonopoli pasar.
4. Negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan yang
merupakan pokok bagi kemakmuran rakyat. Memang benar bahwa air, tanah dan semua
20

yang dimiliki alam diatur oleh pemerintah. Tetapi dalam penggunaannya apakah harus
dengan prosedur yang rumit ? rakyat yang ingin berusaha dengan hasil alam sering
mengeluh dengan keadaan yang rumit ketika berurusan dengan perizinan dari pemerintah
dan proses distribusi yang tidak dibantu maksimal oleh pemerintah.
5. Sistem ekonomi pancasila tidak bebas nilai. Sistem nilai inilah yang mempengaruhi
kelakuan pelaku ekonomi. Dalam hal ini pengertian nilai dapat diartikan berbeda-beda
dalam pandangan setiap orang. Kurangnya penjelasan dan tata tertib penggunaanya
menyebabkan banyak hal yang menjadi salah dalam hal ini.18
Aturan penggunaan dan tata tertib yang jelas dalam sistem ekonomi pancasila masih
perlu ditingkatka lagi, banyak orang yang mengartikan secara salah. Mengakibatkan sistem
ekonomi yang ada di Indonesia seperti setengah kapitalis dan setengah liberalis. Yang harus
dihindarkan dalam demokrasi ekonomi pancasila :
1. Sistem ekonomi liberal yang mengeksploitasi dan menindas
2. Sistem ekonomi komando yang dikuasai oleh pemerintah
3. Persaingan tidak sehat ( pemusatan ekonomi pada satu kelompok / monopoli yang
merugikan masyarakat )18.
Sulit menentukan batas antara kegiatan ekonomi yang seharusnya dilakunkan oleh
pemerintah dan swasta.Sulit menentukan batas antara sumber – sumber produksi yang dapat
dikuasai oleh swasta dan pemerintah.
Ditinjau berdasarkan sistem pemilikan sumber daya ekonomi atau faktor – faktor
produksi, tak terdapat alas an untuk menyatakan bahwa sistem ekonomi kita adalah
kapitalistik. Sama halnya, tak pula cukup argumentasi untuk individual atas faktor – faktor
produksi, kecuali untuk sumber daya sumber aya yang banyak menguasai bajat hidup orang
banyak, dikuasai oleh negara. Hal ini di atur dengan tegas oleh Pasal 33 UUD 1945. Jadi,
secara konstitusional, sistem ekonomi Indonesia bukan kapitalisme an bukan pula sosialisme.
Kehidupan perekonomian atau sistem ekonomi di Indonesia tidak terlepas dari prinsip –
prinsip dasar dari pembentukan Republik Indonesia yang tercantum dalam Pancasila dan
UUD 1945. Sistem ekonomi Indonesia yang termasuk sistem ekonomi campuran itu
disesuaikan terutama dengan UUD 1945 sebelum di amandemen tahun 2000 yakni sistem
ekonomi Pancasila dan ekonomi yang menitikberatkan pada koperasi terutama pada masa
Orde lama sebelum tahun 1996 dan hingga kini masih berkembang. Dalam masa
pemerintahan Indonesia Baru (1999) setelah berjalan nya masa reformasi muncul pula istilah
18 Op.cit.hlm.126

21

ekonomi kerakyatan. Tetapi inipun belum banyak dikenal, karena hingga kini yang masih
banyak dikenal masyarakat adalah sistem ekonomi campuran yakni sistem ekonomi
Pancasila, di sampine ekonomi yang menitikberatkan kepada peran koperasi dalam
perekonomianIndonesia.
Perbedaan antara sistem ekonomi kapitalisme atau sistem ekonomi sosialisme dengan
sistem ekonomi yang di anut oleh Indonesia adalah pada kedua makna yang terkandung
dalam keadilan sosial yang merupakan sila ke lima Pancasila yakni prinsip pembagian
pendapatan yang adil dan prinsip demokrasi ekonomi. Kedua prinsip ini sebenarnya yang
merupakan pencerminan sistem ekonomi Pancasila, yang jelas – jelas menentang sistem
individualism liberal atau free fight liberalism (sistem ekonomi kapitalisme ekstrem) dan
sistem ekonomi komando (sistem ekonomi sosialisme ekstrem).
Sebuah contoh pandangan di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Majelis Permusyawaratan Rakyat pada periode 1999–2004 mengamandemen UndangUndang Dasar 1945 UUD 1945 sehingga memungkinkan presiden dan wakil presiden dipilih
secara langsung oleh rakyat. Pemilu presiden dua tahap kemudian dimenanginya dengan 60,9
persen suara pemilih dan terpilih sebagai presiden. Dia kemudian dicatat sebagai presiden
terpilih pertama pilihan rakyat dan tampil sebagai presiden Indonesia keenam setelah dilantik
pada 20 Oktober 2004 bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia unggul dari pasangan Calon
Presiden Megawati Soekarnoputri berpasangan dengan Hasyim Muzadi pada pemilu Tahun
2004.
Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) sebagai prioritas penting dalam
kepemimpinannya selain kasus terorisme global. Penanggulangan bahaya narkoba, perjudian,
dan perdagangan manusia juga sebagai beban berat yang membutuhkan kerja keras bersama
pimpinan dan rakyat. Di masa jabatannya, Indonesia mengalami sejumlah bencana alam
seperti gelombang tsunami, gempa bumi, dll. Semua ini merupakan tantangan tambahan bagi
Presiden yang masih bergelut dengan upaya memulihkan kehidupan ekonomi negara dan
kesejahteraanrakyat.
Susilo Bambang Yudhoyono juga membentuk UKP4R,sebuah lembaga kepresidenan
yang saat ini diketuai oleh Kuntoro Mangkusubroto (Marsilam Simandjuntak pada saat
pembentukan) pada 26 Oktober 2006. Lembaga ini pada awal pembentukannya mendapat
tentangan dari Partai Golkar seiring dengan isu tidak dilibatkannya Wakil Presiden Jusuf
Kalla dalam pembentukannya serta isu dibentuknya UKP4R untuk memangkas kewenangan
22

Wakil Presiden, tetapi akhirnya diterima setelah SBY sendiri menjelaskannya dalam sebuah
keteranganpers.
Kelemahan yang tercatat dalam sejarah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
antara lain :
a. Lebih memihak investor luar negeri dibanding dengan rakyat
b. Masih belum secara tegas menghilangkan ketergantungan dengan negara luar untuk
menciptakan iklim yang berdikari

Solusi Ekonomi Islam
Selanjutnya yang menjadi permasalahan utama dari ekonomi kapitalis dan liberalis
terkait Kelangkaan atau scarcity, maka mereka menjadikan Produksi sebesar-besarnya
sebagai jawaban atas permasalah tersebut. Ini pun tidak tepat, sebab dari awal pemetaan
masalahnya sendiri sudah keliru, maka pasti jawaban yang di berikannyapun akan keliru.
Mengapa? pada dasarnya saat ini jika kita melihat fakta yang ada justru permasalah utama itu
bukan pada kelangkaan melainkan pada distribusi kekayaan yang ada pada masyarakat tidak
merata. Hal inilah yang terjadi saat ini, di Indonesia misalnya betapa ironi sampai saat ini
Indonesia masih tergolong kedalam negara yang berada dibawah garis kemiskinan. Jika
meliha