Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kesejahteraan
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Pembangunan
ekonomi
bertujuan
untuk
meningkatkan
taraf
hidup
masyarakat di suatu negara atau daerah melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi,
mengurangi kesenjangan distribusi pendapatan, penurunan jumlah penduduk miskin,
penurunan jumlah pengangguran, perubahan sikap masyarakat dan perbaikan sistem
kelembagaan pemerintah maupun swasta. Pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu
indikator kesejahteraan masyarakat bukanlah variabel yang berdiri sendiri, namun
banyak faktor yang mempengaruhinya. Dewasa ini perubahan sistem kelembagaan
pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi diyakini mampu meningkatkan
efisiensi pemerintahan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi adalah salah-satu indikator yang lazim digunakan
untuk melihat keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Pertumbuhan ekonomi
harus didukung oleh berbagai faktor yang dapat menyebabkan perekonomian itu
tumbuh. Kebijakan fiskal dan moneter serta kebijakan perdagangan luar negeri yang
dikendalikan oleh pemerintah menjadi instrumen utama dalam usaha menstimulus
pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain perbaikan sistem kelembagaan pemerintah juga
memiliki pengaruh terhadap pembangunan ekonomi. Sistem pemerintahan yang tidak
efisien dan menghambat perkembangan pasar serta mengekang partisipasi
masyarakat justru menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya sistem
yang lebih efisien akan mendukung perkembangan dan pertumbuhan ekonomi.
2
Perdebatan yang mengemuka dikalangan praktisi ekonomi berkaitan dengan
desentralisasi fiskal telah berlangsung cukup lama. Isu utama yang menarik untuk
senantiasa dikaji adalah mengenai keterkaitan antara desentralisasi fiskal dengan
salah-satu indikator kesejahteraan masyarakat, yakni pertumbuhan ekonomi.
Terdapat dua teori yang bertentangan dalam membahas masalah tersebut. Dalam
Teori Konvensional (Traditional Theory) dijelaskan bahwa desentralisasi fiskal tidak
hanya menimbulkan kesenjangan antar daerah, namun juga tidak baik untuk
pertumbuhan ekonomi dan dapat menganggu stabilitas. Namun demikian, dalam
Teori Perspektif Baru (New Perspective Theory) menilai bahwa desentralisasi fiskal
dapat meningkatkan efisiensi dan mereduksi kesenjangan antar daerah serta
mempercepat pertumbuhan ekonomi. Penerapan desentralisasi dapat menempatkan
daerah pada posisi yang lebih baik dari sisi keuangan dan dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat (Widhiyanto, 2008: 19)
Dewasa ini perhatian terhadap penerapan desentralisasi fiskal begitu
meningkat di negara-negara berkembang dan negara-negara yang sedang mengalami
transisi ekonomi. Desentralisasi fiskal diyakini dapat meningkatkan efisiensi dalam
belanja publik dan sebagai sebuah sistem yang tepat untuk menutupi kegagalan
perencanaan Pemerintah Pusat. Desentralisasi fiskal juga dianggap sebagai mesin
pertumbuhan ekonomi (engine of economic growth). Di Asia Timur, kecenderungan
pelaksanaan desentralisasi fiskal hampir terjadi di seluruh negara. Adapun di
Indonesia, pelaksanaan desentralisasi fiskal secara nyata dimulai pada Tahun 2001
melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan
3
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (Widhiyanto, 2008: 20).
Usaha untuk menerapkan desentralisasi di indonesia sudah berlangsung sejak
awal kemerdekaan. Hal itu dapat dibuktikan dengan lahirnya berbagai produk
Perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia. Ada 13 Undang-undang
yang mengangkut dengan desentralisasi yang pernah berlaku di indonesia mulai awal
kemerdekaan hingga sekarang. Masa Pemerintah Orde Lama dan Orde Baru
desentralisasi tidak sepenuhnya berjalan dan setelah reformasi desentralisasi dapat
dijalankan secara nyata. Berikut Perundang-undangan yang menyangkut hubungan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sejak kemerdekaan hingga sekarang:
Tabel 1.1
Peraturan Perundang-undangan Tentang Pemerintah Daerah
Sejak Tahun 1945-2004
Tahun
1945
1948
1950
1956
1957
1959
1960
1965
1974
1999
1999
2004
2004
Perndang-undangan
Undang-Undang Nomor 1
Undang-Undang Nomor 22
Undang-Undang Nomor 44
Undang-Undang Nomor 32
Undang-Undang Nomor 1
Undang-Undang Nomor 6
Undang-Undang Nomor 5
Undang-Undang Nomor 18
Undang-Undang Nomor 5
Undang-Undang Nomor 22
Undang-Undang Nomor 25
Undang-Undang Nomor 32
Undang-Undang Nomor 33
Sumber : Saragih, 2003 dan Kuncoro, 2004
Subyek
Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah
Hubungan Keu. Pusat dan Daerah
Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah
Perimbangan Keu. Pusat dan Daerah
Pemerintah Daerah
Perimbangan Keu. Pusat dan Daerah
4
Hakikat dari desentralisasi fiskal adalah adanya transfer dana dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah, transfer dana ini merupakan penerimaan yang
paling dominan bagi pemerintah daerah di banyak negara. Sumber ini membiayai 85
persen dari pengeluaran Pemerintah Daerah di Afrika Selatan, antara 67 sampai 95
persen negara-negara bagian Nigeria, 70 sampai 90 persen pengeluaran negaranegara bagian miskin di Mexico, sekitar 72 persen pengeluaran provinsi dan sekitar
85 persen pengeluaran kabupaten/kota di Indonesia sejak dekade 1990-an. Satu
alasan utama mengapa pentingnya transfer dari pusat ke daerah adalah untuk
menjamin tercapainya standar pelayanan minimum di seluruh negeri karena
kemampuan keuangan dan ekonomi di daerah-daerah di banyak negara cenderung
tidak merata (Sidik dkk, 2002: 23).
Sebelum era desentralisasi di Indonesia kondisi keuangan daerah sangat
tergantung pada Pemerintah Pusat. Pada Tahun 1968 hanya sekitar 7 persen dari total
penerimaan nasional yang didistribusikan ke daerah, kondisi ini berlanjut hingga 20
tahun kemudian. Dalam masa Tahun 1990-an, Pemerintah Pusat hampir menguasai
90 persen dari penerimaan negara dan hanya 10 persen yang ditransfer ke daerah.
Sehingga sistem keuangan Indonesia pada saat itu termasuk dalam kategori yang
sangat buruk yang ditandai oleh ketidakseimbangan keuangan antara pusat dan
daerah (Widhiyanto, 2008: 30).
Semenjak sistem desentralisasi fiskal dijalankan pada Tahun 2001, posisi
keuangan daerah semakin membaik dibandingkan era sebelumnya. Pada Tahun 2005
atau setelah lima tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal, distibusi pengeluaran
pemerintah antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah menjadi relatif
5
seimbang, yaitu sebesar 32.6 persen dari total pengeluaran nasional didistribusikan
ke daerah dalam bentuk dana perimbangan (World Bank, 2006: 250).
Penerapan desentralisasi fiskal di Indonesia telah merubah kebijakan fiskal
nasional (APBN). Sejak Tahun 2001 transfer keuangan dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerindah Daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi
Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil telah menjadi penerimaan yang paling dominan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Perubahan komposisi
pengeluaran dalam APBN terkait dengan adanya dana perimbangan dapat dilihat
secara lengkap dalam Tabel berikut:
Tabel 1.2
Proporsi Bagi Hasil Sebelum dan Sesudah Desentralisasi Fiskal
(Dalam Persentase)
Sebelum
Sesudah
Sumber Pendapatan
Desentralisasi
Desentralisasi
Pusat Daerah Pusat
Daerah
Pajak Bumi dan Bangunan
10
90
0
100
Bea Perolehan Hak Atas Tanah Bangunan
20
80
0
100
Provisi Sumberdaya Hutan
55
45
20
80
Iuran Hak Pengusahaan Hutan
55
45
20
80
Pertambangan Umum
20
80
20
80
Perikanan
100
0
0
100
Mingak
100
0
85
15
Gas Alam
100
0
70
30
Dana Reboisasi
100
0
60
40
Pajak Penghasilan
100
0
80
20
Sumber: Widhiyanto (2008) dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.
Dari Tabel di atas dapat dilihat perubahan proporsi alokasi penerimaan
pemerintah yang bersumber dari penerimaan pajak dan penerimaan dari hasil sumber
6
daya alam. Perubahan yang sangat drastis terjadi pada sumber penerimaan Perikanan,
Minyak, Gas Alam, Dana Reboisasi dan Pajak Penghasilan yang sebelum
desentralisasi fiskal dikuasai Pemerintah Pusat sepenuhnya kemudian di era
desentralisasi sebagian pendapatan tersebut mulai dialihkan ke daerah baik ditingkat
Provinsi maupun Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Kemudian untuk penerimaan
dari Pajak Bumi dan Bangunan, Perikanan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan semuanya diserahkan ke daerah.
Selanjutnya dapat dilihat juga jumlah dan perkembangan dana perimbangan
yang ditransfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang mencakup
Dana Alokasi Umum (DAU), Dana alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil baik
bagi hasil pajak maupun bagi hasil kekayaan alam. Tabel di bawah ini meringkas
secara keseluruhan dana perimbangan dari pusat kepada daerah sebagai berikut:
Tabel 1.3
Perkembangan Dana Perimbangan Tahun 2005-2009
(Dalam Miliar Rupiah)
Tahun
Dana
Alokasi
Umum
(Rp)
Perkemb
angan
(%)
Dana
Alokasi
Khusus (Rp)
Perkemb
angan
(%)
Dana Bagi
Hasil (Rp)
Perkemb
angan
(%)
2005
2006
2007
2008
2009
88.769
145.664
164.787
179.507
186.414
64
13.12
0.89
0.38
4.764
11.566
16.238
20.787
24.820
142
40.3
28
19.4
49.692
64.900
62.942
78.420
85.719
30.6
-0.3
24.5
0.9
Sumber: Bank Indonesia, 2009.
7
Dari Tabel di atas dapat dilihat perkembangan dana perimbangan dari pusat
ke daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Perubahan yang sangat
drastis terjadi dari Tahun 2005 ke Tahun 2006, di mana Dana Bagi Hasil meningkat
dari 49.692 Triliun menjadi 64.900 Triliun (30.6 persen). Dana Alokasi Umum
meningkat dari 88.769 Triliun pada Tahun 2005 menjadi 145.664 Triliun pada Tahun
2006 atau naik menjadi 64 persen dan Dana Alokasi Khusus meningkat dari 4.764
Triliun menjadi 11.566 Triliun atau naik sebesar 142 persen dalam tahun yang sama.
Pada tahun selanjutnya dana perimbangan tersebut terus meningkat, waalupun
pesentasenya menurun. Pada Tahun 2007 Dana Bagi Hasil sempat mengalami
penurunan sampai -0.3 persen. Dari ketiga jenis dana perimbangan di atas, Dana
Alokasi Umum yang paling besar jumlahnya. Dana ini ditetapkan sebesar 25 Persen
dari seluruh penerimaan dalam negeri. Selanjutnya diikuti dengan Dana Bagi Hasil
yang bersumber dari bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam. Terakhir
adalah Dana Alokasi Khusus yang besarannya jauh di bawah Dana Alokasi Umum
dan Dana Bagi Hasil.
Transfer fiskal dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah sebenarnya
konsekuensi dari pelimpahan fungsi dan wewenang ke Pemerintah Daerah yang
sebelumnya menjadi wewenang Pemerintah Pusat (money should follow function).
Desentralisasi
Fiskal
yang
merupakan
bagian
dari
sistem
desentralisasi
mengharuskan Pemerintah Pusat memberikan dana kepada Pemerintah Daerah
sebagai akibat pelimpahan wewenang tersebut. Pelimpahan wewenang semata tanpa
diikuti transfer keuangan justru akan menjadi beban bagi Pemerintah Daerah. Tabel
8
di bawah ini meringkas dengan jelas distribusi fungsi dan wewenang pemerintahan
antar jenjang pemerintahan di Indonesia.
Tabel 1.4
Distribusi Fungsi Pemerintahan Antar Jenjang Pemerintahan
Urusan/Fungsi
Tanggung Jawab
Hubungan Luar Negeri dan Pertahanan
Hak ekslusif pusat
Peradilan dan hukum
Hak ekslusif pusat
Moneter dan kebijakan ekonomi makro
Hak ekslusif pusat
Agama
Hak ekslusif pusat
Subsidi
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
Fungsi regulasi
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
Managemen SDA dan kebijakan lingk.
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
Pendidikan
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
Kesehatan
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
Pertanian dan irigasi
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
Industri
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
Transportasi
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
Sumber: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Tabel di atas menunjukkan bahwa semenjak desentralisasi dijalankan,
Pemerintah Pusat hanya memegang kendali penuh dalam beberapa urusan saja atau
membatasi kewenangan dalam beberapa urusan diantaranya, pertahanan dan
keamanan, peradilan dan hukum, moneter dan kebijakan ekonomi makro serta
agama. Adapun urusan lainya terdistribusi antar jenjang pemerintahan baik pusat,
provinsi dan kabupaten/kota sebagai wujud pelaksanaan desentralisasi.
Desentralisasi
fiskal
diharapkan
mampu
mengurangi
kesenjangan
pembangunan ekonomi di Indonesia, baik kesenjangan vertikal maupun kesenjangan
9
horizontal serta mampu menstimulus pertumbuhan ekonomi. Semenjak desentralisasi
fiskal Tahun 2001, pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan angka yang
positif. Berikut dapat dilihat nilai rata-rata pertumbuhan PDRB rill per kapita
sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal.
Tabel 1.5
Pertumbuhan Rata-rata PDRB Riil Per Kapita Seluruh Provinsi Sebelum
dan Sesudah Desentralisasi Fiskal (Tanpa Migas)
Pertumbuhan Rata-rata PDRB Rill Tanpa Migas
(Dalam Persentase)
1994-2000
2001-2004
Aceh
2.56
2.61
Sumatera Utara
3.41
3.63
Sumatera Barat
3.81
3.30
Riau
2.96
4.99
Jambi
2.62
3.46
Sumatera Selatan
3.00
2.74
Bengkulu
1.95
3.62
Lampung
3.36
3.57
Jakarta
3.34
4.60
Jawa Barat
1.09
3.31
Jawa Tengah
1.89
3.56
Yogyakarta
2.04
3.26
Jawa Timur
2.55
3.70
Kalimantan Barat
3.05
3.62
Kalimantan Tengah
1.63
3.92
Kalimantan Selatan
3.97
2.51
Kalimantan Timur
4.16
3.79
Sulawesi Utara
4.44
1.30
Sulawesi Tengah
5.31
4.93
Sulawesi Selatan
4.92
3.86
Sulawesi Tenggara
1.01
5.20
Bali
2.68
2.27
Nusa Tenggara Barat
6.47
4.21
Nusa Tenggara Timur
3.57
2.84
Maluku
0.79
1.53
Papua
7.64
0.81
Sumber: Badan Pusat Statistik (Data diolah).
Provinsi
10
Angka pertumbuhan rata-rata PDRB riil tanpa migas sebelum desentralisasi
fiskal dengan menggunakan harga konstan Tahun 1994 dan sesudah desentralisasi
fiskal dengan menggunakan harga konstan Tahun 2000. Data di atas juga disajikan
berdasarkan PDRB rill tanpa migas dengan pertimbangan tidak semua daerah di
Indonesia memilki kekayaan berupa minyak dan gas, sehingga lebih tepat
menggambarkan kondisi kesejahteraan semua daerah di Indonesia.
Secara umum pertumbuhan rata-rata PDRB rill per kapita setelah pelaksanaan
desentralisasi fiskal menunjukkan angka yang positif. Walaupun dibeberapa provinsi
pertumbuhan rata-rata PDRB riil per kapita menurun tajam dibandingkan sebelum
era desentralisasi fiskal seperti di Provinsi Papua dari 7.64 persen dalam Tahun
1994-2000 turun menjadi 0.81 persen dalam Tahun 2001-2004, begitu pula di
Sulawesi Utara turun dari 4.44 persen menjadi 1.30 persen. Sedangkan dibeberapa
provinsi lain penurunannya tidak begitu tajam.
Data lain yang dapat dianalis dari Tabel di atas adalah untuk Provinsi
Sulawesi Tenggara, pertumbuhan rata-rata PDRB per kapita naik begitu tajam dari
0.01 persen sebelum era desentralisasi fiskal menjadi 5.20 persen dalam masa
desentralisasi fiskal, hal yang sama juga terjadi di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jakarta dan Riau. Secara nasional, rata-rata pertumbuhan PDB per kapita sebelum
desentraliasi adalah 4.03 persen dengan angka pertumbuhan tertinggi 9.39 persen
pada Tahun 1994 dan terendah -4.01 pada saat krisis Tahun 1998. Sesudah masa
krisis, perekonomian Indonesia kembali pulih secara perlahan, perekonomian mulai
tumbuh walaupun tidak sebanding dengan masa sebelum krisis. Era desentralisasi
fiskal menjadi penting bagi pemulihan ekonomi Indonesia, data menunjukkan tidak
11
satupun provinsi di Indonesia yang mengalami pertumbuhan negatif pada masa era
desentralisasi fiskal.
Kondisi ini
menarik untuk dikaji lebih mendalam mengenai keterkaitan
antara desentralisasi fiskal atau pemberian tranfer keuangan dari Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Daerah dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini sangatlah penting
mengingat tujuan dari desentralisasi itu sendiri sebagai alat untuk mendorong
Pemerintah Daerah dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Maka
berdasarkan latar belakang penelitian di atas penulis mencoba untuk meneliti tentang
masalah tersebut dengan judul penelitian: Pengaruh Desentralisasi Fiskal
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.
1.2. Perumusan Masalah
Penelitian ini berusaha untuk melihat hubungan antara desentralisasi fiskal
dengan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, dapat
dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah berapa besar pengaruh
desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode 2004
sampai 2008?
1.3. Tujuan Penelitian
Pemikiran dasar terhadap penelitian ini dilatarbelakangi oleh pemahaman
bahwa desentralisasi fiskal mampu mendorong laju pertumbuhan ekonomi khususnya
dan pembangunan ekonomi nasional pada umumnya. Adapun tujuan penelitian ini
12
adalah untuk mengetahui pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan
ekonomi Indonesia selama periode 2004 sampai 2008.
1.4. Kegunaan Penelitian
Perubahan fundamental dalam pola hubungan pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah khususnya menyangkut dengan perimbangan keuangan dimulai
sejak Tahun 2001, sehingga menarik untuk dikaji keterkaitan antara desentralisasi
fiskal dengan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat, yakni pertumbuhan
ekonomi. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi
bagi pihak pemerintah dalam rangka pembuatan kebijakan dan perencanaan
pembangunan daerah.
2.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna sebagai landasan dalam penelitian
selanjutnya dibidang ekonomi publik dan pembangunan ekonomi daerah.
3.
Sebagai tambahan khasanah keilmuan khususnya terhadap ilmu ekonomi dan
ilmu pengetahuan pada umumnya.
13
BAB II
STUDI KEPUSTAKAAN
2.1.
Landasan Teoritis
2.1.1. Konsep dan Pengertian Desentralisasi Fiskal
Fungsi pemerintah dalam perekonomian menurut Musgrave dan Musgrave
dirinci menjadi tiga yaitu, (1) Fungsi stabilisasi di mana pemerintah dapat
mengunakan kebijakan moneter dan fiskal untuk mengontrol inflasi dan
pengangguran. (2) Fungsi distribusi di mana pemerintah dapat menggunakan
kebijakan perpajakan dan transfer untuk menjalankan fungsi distribusi pendapatan.
(3) Fungsi alokasi di mana pemerintah dapat memutuskan barang dan jasa apa yang
akan diproduksi dan bagaimana memproduksinya serta sumber daya apa yang akan
digunakan. Fungsi alokasi dan distribusi bukan hanya dapat dijalankan oleh
pemerintah pusat, namun terkadang lebih efisisen dijalankan atau disediakan oleh
pemerintah daerah. Tetapi untuk fungsi stabilitasai tidak dapat dijalankan oleh
pemerintah daerah atau lebih efektif dijalankan oleh pemerintah pusat (Musgrave dan
Musgrave, 1989: 445).
O’Sullivan (2009: 393) berpendapat bahwa penyediaan barang publik akan
lebih efisien disediakan oleh pemerintah daerah jika, (1) Keragaman dalam
permintaan barang tersebut relatif besar, sehingga hanya pemerintah daerah yang
14
lebih paham dalam menyediakan barang tersebut. (2) Ekternalitas dari barang
tersebut relatif kecil secara geografis, artinya manfaat dari ketersediaan barang
publik tersebut hanya dapat dirasakan oleh masyarakat di daerah tersebut. (3) Skala
ekonomi dari penyediaan barang tersebut relatif kecil. Dari dua pandangan di atas,
maka perlu adanya pelimpahan wewenang sekaligus transfer keuangan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam urusan penyediaan barang publik
atau pelayanan publik yang lebih di kenal dengan sistem desentralisasi.
Desentralisasi bukanlah suatu hal yang baru, hampir semua negara di dunia
menerapkan sistem ini kecuali untuk beberapa negara kecil. Selama Tahun 1940-an
sampai 1970-an kecenderungan sentralisasi sangat kuat, terutama negara-negara yang
menganut paham komunis seperti China, Rusia, negara-negara di Eropa Timur dan
negara-negara yang baru merdeka dengan tujuan menguatkan konsolidasi
pemerintahan. Namun setelah Era 1970-an dan 1980-an kecenderungan untuk
menerapkan sistem desentralisasi lebih mengemuka, banyak negara mengadopsi
bentuk pemerintahan yang terdesentralisasi (Devas, 2006: 1).
Selanjutnya, Devas (2006: 1) mengemukakan bahwa kecenderungan untuk
melaksanakan desentralisasi didorong oleh beberapa faktor yaitu: (1) Kegagalan
pemerintah pusat dalam merespon berbagai variasi kebutuhan masyarakat di daerahdaerah. (2) Kegagalan dalam perencanaan ekonomi terpusat karena kebijakan tunggal
tidak mungkin dapat mengakomodir kebutuhan daerah yang bervariasi. (3)
Demokratisasi yang kian meluas telah menimbulkan tuntutan masyarakat lokal untuk
mengontrol sumber daya mereka sendiri berdasarkan kebutuhan dan prioritas. (4)
Urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi yang pesat di kota, sehingga kompleksnya
15
permasalahan di kota menuntut adanya sistem yang lebih responsif. (5) Permasalahan
keterbatasan anggaran yang dialami pemerintah pusat sehingga desentralisasi dilihat
sebagai sebuah solusi. (6) Tekanan pihak donor bagi negara-negara berkembang
untuk mendesentralisasikan pemerintahan sebagai cara untuk perbaikan pelayanan
terhadap daerah pinggiran.
Menurut Dumairy dalam Subandi (2006: 46) menyatakan bahwa struktur
perekonomian suatu negara dapat dilihat dari berbagai sudut tinjauan. Sekurangkurangnya struktur perekonomian dapat dilihat dari empat sudut tinjauan yaitu,
tinjauan makro-sektoral, tinjauan keuangan, tinjauan penyelenggaraan negara dan
tinjauan birokrasi pengambilan keputusan. Dalam tinjauan berdasarkan birokrasi
pengambilan keputusan, struktur ekonomi dapat dibedakan menjadi struktur ekonomi
yang terpusat dan struktur ekonomi yang terdesentralisasi. Dalam struktur
perekonomian yang terdesentralisir, terdapat pembagian atau pelimpahan sebagian
wewenang dan fungsi pemerintahan dari pusat kepada daerah.
Desentralisasi tidak hanya berhenti pada aspek politik semata, tetapi meliputi
banyak aspek yang meliputi aspek ekonomi, sosial, budaya dan lainnya. Dalam
proses pelaksanaanya otonomi daerah membutuhkan dukunngan sumber daya yang
memadai seperti sumber daya manusia, keuangan dan birokrasi yang handal. Oleh
karena itu seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah juga perlu diikuti oleh
pelaksanaan
desentralisasi
fiskal
sebagai
langkah
untuk
mendukung
dan
meningkatkan kemampuan keuangan daerah, dengan kata lain pelimpahan
wewenang dalam urusan pemerintahan harus diikuti dengan pembiayaan (Saragih,
2003: 1).
16
Secara teori pendelegasian fiskal kepada pemerintah yang berada di level
bawah diperkirakan memberikan peningkatan ekonomi mengingat pemerintah daerah
memiliki kedekatan dengan masyarakatnya dan mempunyai keunggulan informasi
dibandingkan dengan pemerintah pusat. Kedekatan pemerintah daerah dengan
masyarakatnya dapat menimbulkan efisiensi dalam pelayanan baik dari segi waktu
dan dana. Sehingga pelayanan publik yang diberikan benar-benar dapat dirasakan
oleh masyarakat daerahnya (Wibowo, 2008: 57)
Desentralisasi fiskal didefinisikan sebagai pelimpahan urusan-urusan
pemerintahan dari pemerintahan pusat ke tingkat pemerintahan di bawahnya yang
diikuti dengan pemberian dana dalam menjalankan urusan-urusan pemerintahan yang
telah dilimpahkan. Desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi dalam alokasi
sumber daya pada sektor publik, karena variasi kebutuhan yang berbeda dalam
pelayanan publik antar daerah tidak dapat dipenuhi dengan pelayanan yang sama
oleh pemerintah pusat, hal ini akan menimbulkan inefisiensi. Oleh karena itu
pemerintah daerah lebih memahami perbedaan kebutuhan dimaksud. (Widhiyanto,
2008: 23).
Desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai pelimpahan wewenang di bidang
penerimaan anggaran atau keuangan yang sebelumnya tersentralisasi, baik secara
administrasi maupun pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat.
Desentralisasi fiskal memerlukan pergeseran beberapa tanggungjawab terhadap
pendapatan dan pembelanjaan ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Faktor
yang sangat penting menentukan desentralisasi fiskal adalah sejauhmana pemerintah
17
daerah diberikan wewenang untuk menentukan alokasi atas pengeluaranya sendiri
(Khusaini, 2006: 97).
Saragih (2003: 12), desentralisasi fiskal dan keuangan daerah merupakan dua
hal yang berkaitan bila dikaji dalam konteks otonomi daerah. Keuangan daerah
dalam arti sempit yakni terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh karena itu keuangan daerah identik
dengan APBD. Berbeda dengan desentralisasi fiskal yang lebih banyak
bersinggungan dengan persoalan kebijakan fiskal nasional dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Oleh karenanya persoalan tentang
desentralisasi fiskal tidak terlepas dari konteks APBN. Otonomi daerah tanpa diikuti
kebijakan
desentralisasi
fiskal
kurang
mendukung
tercapainya
efektifitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Oleh sebab itu otonomi daerah
membutuhkan kebijakkan desentralisasi fiskal yang bertujuan memampukan
keuangan daerah di dalam meningkatkan pelayanan publik, terutama dalam mencapai
standar pelayanan minimum. Hal itu diwujudkan dalam suatu kebijakan yang disebut
dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Berbagai literatur ilmu ekonomi dan keuangan negara menyebutkan beberapa
alasan pentingnya desentralisasi fiskal yang diwujudkan dengan transfer dana dari
pusat ke daerah diantaranya, (1) Untuk mengatasi ketimpangan fiskal secara vertikal
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. (2) Untuk mengatasi
ketimpangan horizontal antara satu daerah dengan daerah lainnya yang disebabkan
oleh perbedaan kepemilikan sumber daya alam dan kapasitas ekonomi. (3) Terkait
dengan kewajiban pemerintah dalam menjaga Standar Pelayanan Minimum disetiap
18
daerah, sehingga daerah yang kurang mampu menyediakan standar pelayanan
minimum harus mendapat dana transfer dari pusat. (4) Untuk mengatasi persoalan
yang timbul dari menyebarnya atau melimpahnya efek pelayanan publik (spillover
effect). Beberapa jenis pelayanan publik memiliki efek menyebar ke wilayah lain,
dalam hal ini pemerintah daerah terkadang tidak bersedia berinvestasi dalam proyek
publik seperti ini karena tidak mendapat imbalan secara ekonomi yang berarti dari
proyek tersebut. Oleh karena itu pemerintah pusat perlu memberikan insentif ataupun
sumber keuangan kepada daerah agar bersedia menyediakan pelayanan publik
tersebut. (5) Untuk mencapai tujuan stabilisasi perekonomian nasional, karena
ransfer dana ke pemerintah daerah dapat ditingkatkan manakala dalam kondisi
perekonomian sedang lesu
dan dapat diturunkan disaat perekonomian sedang
booming. Transfer dana untuk pembanguan merupakan instrumen yang cocok untuk
tujuan ini (Sidik dkk, 2002: 24-26)
Menurut Davey (1996: 264) dalam literatur ekonomi, wacana tentang
desentralisasi berfokus pada efisiensi. Efisiensi mencakup dua dimensi yang masingmasing memperkuat desentralisasi tersebut. Pertama efisiensi dalam alokasi sumber
daya yang dititikberatkan pada penggunaan yang optimal terhadap sumber daya
publik. Efisiensi akan lebih dapat ditingkatkan jika dana dari pajak dan retribusi
dibelanjakan di tingkat daerah. Kedua efisiensi dalam produksi yang berhubungan
dengan biaya penyediaan barang dan jasa. Dengan harapan bahwa desentralisasi
dapat meningkatkan efisiensi produksi, artinya dana publik dapat dibelanjakan
dengan cermat sebab masyarakat di tingkat lokal dapat mengawasi lebih dekat.
19
Menurut Devas (2006: 1) desentralisasi mencakup tiga aspek penting.
Pertama aspek administrasi di mana menumpuknya administrasi ditingkat pusat dan
banyak permasalahan daerah yang tidak sepenuhnya dipahami oleh Pemerintah pusat
sehingga perlu pendelegasian urusan ke daerah untuk mempersingkat rentang
kendali. Jika beberapa aspek pelayanan publik diserahkan ke daerah, setidaknya
keputusan menyangkut pelayanan publik bisa dibuat oleh Pemerintah daerah. Hal ini
sama dengan organisasi bisnis di mana manajer pusat mendelegasikan beberapa
urusan ke jenjang manajer di bawahnya. Namun dalam struktur pemerintahan
permasalahan itu lebih luas.
Selanjutnya adalah aspek politik di mana pemerintahan yang demokrasi akan
melatih masyarakat untuk mengelola sumber daya secara efisien. Desentralisasi akan
meningkatkan peluang-peluang partisipasi dan akuntabilitas, dengan demikian
legitimasi demokrasi akan tercipta. Hal ini penting terutama bagi negara-negara yang
mempunyai penduduk beragam suku dan beragam kebutuhan antara berbagai daerah.
Pada prinsipnya desentralisasi dapat meningkatkan peluang partisipasi dan akses
terhadap pembuatan keputusan bagi masyarakat daerah dalam suatu negara karena
dekatnya masyarakat dengan sumber pembuat keputusan. Dengan kata lain aspirasi
masyarakat lebih terakomodir.
Kemudian yang terakhir adalah aspek ekonomi, bahwa desentralisasi dapat
memperbaiki alokasi sumber daya ekonomi dan penggunaan sumber daya ekonomi
merupakan refleksi dari kebutuhan riil masyarakat, begitu pula mobilisasi sumber
daya seperti pajak daerah dan retribusi daerah akan mudah dipungut dari masyarakat
karena masyarakat lebih nyata menerima pelayanan dari hasil pajak maupun retribusi
20
yang mereka keluarkan. Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional suatu negara pada hakikatnya adalah upaya untuk
meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga tercipta suatu kemampuan
yang handal dan profesional dalam menjalankan pemerintahan serta memberikan
pelayanan yang prima kepada masyarakat.
Sejalan dengan itu, Hyman (2008: 692) mengemukakan bahwa di bawah
sistem pemerintahan sentralisasi, penyediaan barang publik atau pelayanan publik
dilakukan seragam dalam jumlah dan kualitas. Hal ini kurang sesuai dengan
kebutuhan riil masyarakat daerah yang beragam antara satu daerah dengan daerah
lainnya. Dalam sistem desentralisasi, penyediaan barang publik atau pelayanan
publik lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah baik dalam jumlah dan
kualitas. Atas dasar inilah sistem desentralisasi dalam pelayanan publik lebih
menguntungkan dari sisi efisiensi. Atau dengan kata lain, untuk barang publik yang
manfaatnya berskala nasional lebih efisien disediakan oleh pemerintah pusat dan
barang publik yang manfaatnya ditingkat daerah lebih efisien disediakan oleh
pemerintah daerah.
Desentralisasi
pada
dasarnya
merupakan
transfer
kewenangan
dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau unit di bawahnya dalam bidang
politik, fiskal dan kekuasaan atau kewenangan administrasi. Desentralisasi akan
memperkuat eksistensi pemerintah dan memperluas sumber-sumber penerimaan
pemerintah, karena sebagian kewenangan tersebut dilimpahkan kepada pemerintahan
yang lebih rendah. Definisi desentralisasi meliputi banyak variasi, misalnya
Pemerintah India adalah dalam bentuk federal, namun pemerintah pusat telah
21
memberikan kewenangan kepada daerah-daerah. Begitu pula di China yang secara
resmi menganut sentralisasi, namun secara de facto pemerintah provinsi memiliki
substansi dalam melaksanakan otonomi (World Bank, 2000: 108).
Transfer fiskal dalam bentuk subsidi dan dana perimbangan lainnya pada
dasarnya adalah hibah yang berasal dari level pemerintahan yang lebih tinggi kepada
pemerintahan di bawahnya, secara teoritis transfer fiskal diharapkan dapat
mempengaruhi keseimbangan politik dan perubahan fiskal baik dari segi penerimaan
maupun pengeluaran. Dalam teori dijelaskan bahwa transfer fiskal akan
meningkatkan pendapatan disposibel dan meningkatkan konsumsi masyarakat yang
pada akhirnya akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi (Khusaini, 2006).
Holcombe (2006: 489) membagi jenis bantuan pusat kepada daerah menjadi
dua, pertama bantuan umum (general grants) yaitu dana transfer dari Pemerintah
pusat kepada daerah untuk mendanai aktifitas Pemerintah daerah dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakar yang penggunaanya sesuai dengan keinginan
pemerintah daerah. Kedua bantuan khusus (categorical grants) yaitu dana yang
ditransfer dari pemerintah pusat kepada daerah yang penggunaanya untuk membiayai
proyek tertentu dan pemerintah pusat berhak untuk mengontrol penggunaan dana
atau menentukan tujuan dari penggunaan dana tersebut.
Menurut Hyman (2008: 709) mengemukakan bahwa pada dasarnya bantuan
transfer dan bentuk bantuan lainnya dari Pemerintah pusat kepada Pemerintah daerah
merupakan hibah atau subsidi. Perbedaan kemampuan keuangan antar daerah
menjadi dasar pertimbangan pemberian bantuan tersebut, bantuan diberikan dalam
rangka mewujudkan pelayanan dasar bagi masyarakat dan untuk mencapai efisiensi
22
alokasi sumber daya pada sektor pemerintahan. Bantuan Pemerintah pusat kepada
Pemerintah daerah merupakan transfer antar jenjang pemerintahan yang dapat
digunakan untuk mendanai berbagai tujuan sosial di daerah. Akhir-akhir ini, berbagai
bantuan transfer digunakan sebagai cara untuk mengetahui bagaimana hubungan
keuangan antar jenjang pemerintahan.
Perbandingan distribusi anggaran antar jenjang pemerintahan diberbagai
negara yang melaksanakan desentralisasi fiskal didasarkan atas kebijakan
desentralisasi fiskal di negara yang bersangkutan yang dipengaruhi oleh faktor
sejarah, luas daerah, budaya dan politik. Tidak ada pola yang sama yang harus diikuti
oleh setiap negara yang melaksanakan desentralisasi, khususnya desentralisasi fiskal
(Devas, 2006: 7)
Namun demikian, secara umum terdapat tiga jenis transfer yang berlaku di
Indonesia yaitu, pertama adalah Subsidi yang bertujuan untuk mencukupi kebutuhan
rutin seperti gaji pegawai. Kedua adalah Bantuan yang bertujuan memberikan
bantuan untuk pembangunan, dan ketiga Daftar Isian Proyek (DIP). Dua jenis
pertama dapat dikategorikan sebagai bantuan antar tingkat pemerintahan sebab
menjadi bagian dari Anggaran Pemerintah daerah, sedangkan DIP diklasifikasikan
sebagai alokasi dalam bentuk barang, sebab walaupun dana mengalir ke daerah,
namun tidak termasuk dalam Anggaran Pemerintah daerah (Sidik dkk, 2002: 1).
Selanjutnya menurut Saragih (2003: 87), Pendekatan dalam sistem
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah didasarkan pada beberapa
pendekatan yaitu:
23
1.
Pendekatan berdasarkan persentase yang merupakan strategi yang paling baik
untuk pemerataan dan memciptakan keadilan bagi tiap daerah. Artinya, daerah
yang potensial dari sudut ekonomi dan sumber daya alam wajar mendapatkan
bagian pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan daerah lain yang
perkembangan ekonominya relatif rendah.
2.
Pendekatan berdasarkan formula yang bertujuan untuk mendekati pembagian
yang relatif adil dan objektif sesuai dengan kondisi terakhir perekonomian
daerah.
3.
Pendekatan berdasarkan kebutuhan khusus yaitu suatu pendekatan yang
digunakan untuk tujuan membantu daerah yang memiliki kebutuhan-kebutuhan
khusus.
Berdasarkan tiga pendekatan di atas dapat dipahami bahwa untuk Indonesia
juga mengikuti pendekatan tersebut, misalnya Dana Alokasi Umum mengikuti
pendekatan formula, Dana Alokasi Khusus mengikuti pendekatan kebutuhan khusus
dan Dana Bagi Hasil mengikuti pendekatan persentase.
2.1.2.
Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan dalam bidang ekonomi ditujukan agar dapat menciptakan
pertumbuhan yang tinggi. Kuncoro (2004: 44) menyatakan bahwa tolok ukur
keberhasilan pembangunan ekonomi dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi,
struktur ekonomi, semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar
daerah dan antar sektor. Secara tradisional pembangunan ekonomi ditujukan untuk
peningkatan yang berkelanjutan pada Produk Domestik Bruto atau Produk Domestik
24
Regional Bruto (Saragih, 2003: 32). Para ekonom menggunakan data Produk
Domestik Bruto untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Produk Domestik Bruto
mengukur total pendapatan setiap orang di dalam suatu perekonomian (Mankiw,
2000: 61).
Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai peningkatan dalam pendapatan
perkapita masyarakat. Secara tradisional sumber-sumber pertumbuhan ekonomi
adalah: Pertama akumulasi modal yang mencakup seluruh objek yang dapat
digunakan oleh manusia dalam melakukan produksi barang dan jasa. Kedua
peningkatan sumber daya manusia termasuk didalamnya pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman, peningkatan
sumber daya manusia dapat mempengaruhi produktifitas. Ketiga perkembangan
teknologi yang dapat mempengaruhi produktifitas pekerja. Keempat adalah
aglomerasi ekonomi di mana penyatuan tersebut dapat mempengaruhi produktifitas,
pembagian input, penyatuan tenaga kerja dan dampak rembesan dari pengetahuan
antar pekerja di sektor yang berbeda (O’Sullivan, 2009: 90).
Pertumbuhan ekonomi di suatu negara menurut Zhang dan Zou (1998: 223)
dapat di pengaruhi oleh beberapa faktor, seperti desentralisasi fiskal, tenaga kerja,
perpajakan nasional, perpajakan provinsi, investasi, keterbukaan ekonomi, dan
pengeluaran pemerintah dimasing-masing sektor dalam ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan
pembangunan ekonomi, karena penduduk terus bertambah maka harus diimbangi
dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini hanya bisa didapat lewat peningkatan output
agregat atau Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahun. Jadi dalam pengertian
25
ekonomi makro pertumbuhan ekonomi adalah penambahan Produk Domestik Bruto
yang berarti juga penambahan pendapatan nasional (Tambunan, 2001: 2-3).
Lin dan Liu (2000: 4) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat
melalui dua cara yaitu dengan menaikkan investasi modal baik sektor swasta maupun
pemerintah dan melakukan efisiensi terhadap sumber daya yang dimilki. Efisiensi
dapat dilakukan dengan perbaikan lembaga pemerintahan dan swasta, sehingga
desentralisasi fiskal mempunyai peran yang amat penting dalam pertumbuhan
ekonomi suatu daerah. Beberapa alasan yang mendasari adalah sebagai berikut:
1.
Pemerintah daerah mempunyai kewenangan lebih besar untuk berinvestasi dan
membelanjakan lebih banyak untuk berbagai sektor produktif.
2.
Pemerintah daerah mampu menyediakan barang-barang publik dan jasa yang
dibutuhkan, bagaimanapun pemerintah lokal akan lebih sensitif terhadap kondisi
ekonomi lokal. Pemberian otonomi yang lebih besar, membuat Pemerintah
daerah lebih leluasa melakukan alokasi yang efisien pada berbagai potensi lokal
sesuai dengan kebutuhan publik.
3.
Adanya pemberdayaan dan penciptaan ruang bagi publik untuk berpartisipasi
dalam pembangunan.
Di Indonesia, pembangunan ekonomi selama masa Orde Baru yang lebih
berfokus pada pertumbuhan ekonomi ternyata tidak mampu membuat banyak daerah
di indonesia berkembang dengan baik. Pertumbuhan ekonomi secara rata-rata
nasional terus tumbuh, namum aspek pemerataan pembangunan antar daerah
terabaikan. Proses pembangunan dan peningkatan kemakmuran sebagai hasil dari
pembangunan selama itu lebih terkonsentrasi di pusat (Pulau Jawa). Pada tingkat
26
nasional pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun cukup tinggi dan pendapatan per
kapita naik terus setiap tahun (hingga krisis Tahun 1998). Namun jika dilihat pada
tingkat regional, kesenjangan pembangunan ekonomi antar provinsi semakin
membesar. Demikian juga kesenjangan dalam distribusi pendapatan semakin besar,
bukannya semakin membaik sesuai dengan hipotesis Kuznets mengenai adanya suatu
korelasi negatif pada periode jangka panjang antara tingkat pertumbuhan dengan
kesenjangan dalam distribusi pendapatan, artinya pembangunan ekonomi pada saat
itu tidak mampu mengatasi masalah kesenjangan antar daerah (Tambunan, 2001:
199-200).
2.1.3.
Desentralisasi Fiskal Dan Pertumbuhan Ekonomi
Desentralisasi fiskal memang diyakini oleh para ahli akan mempunyai suatu
efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi harus diakui bahwa dasar teoritis
yang menjelaskan hubungan kedua hal tersebut saat ini masih dikembangkan dan
banyak menjadi perdebatan para ahli. Bahkan, apakah desentralisasi fiskal
berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi atau melalui efek efisiensi juga
masih menimbulkan jawaban yang bervariasi. (Khusaini, 2006: 44-45).
Dalam berbagai kajian tentang federalisme fiskal, terdapat dua teori yang
menjelaskan tentang dampak ekonomi dari penerapan desentralisasi yaitu, Teori
Tradisional (First Generation Theory) dan Teori Perspektif Baru (Second Generation
Theory). Teori Tradisional berkembang pada pertengahan Tahun 1940-an sampai
Tahun 1970-an yang menekankan pada dua keuntungan utama dari desentralisasi.
Pertama, proses pengambilan keputusan yang terdesentralisasi akan sangat mudah
27
dan efisien mengingat pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakat. Dalam
konteks keuangan publik, pemerintah daerah memiliki keunggulan informasi tentang
kebutuhan daerah. Hal inilah yang mendorong terjadinya efisiensi dalam alokasi.
Kedua, dimensi persaingan antar daerah dalam hal penyediaan barang publik dan
juga pelayanan publik kepda masyarakat. Sehingga dalam kondisi persaingan
tersebut memungkinkan masyarakat untuk memilih berbagai barang dan jasa publik
yang sesuai dengan selera. Hal ini tidak mungkin terjadi jika barang dan jasa publik
disediakan seragam oleh pemerintah pusat. Namun demikian, teori tradisional juga
menekankan bahwa desentralisasi yang terlalu besar dapat menimbulkan berbagai
distorsi alokasi, ketimpangan regional dan instabilitas fiskal (Khusaini, 2006: 91).
Dalam
pandangan
Teori
Perspektif
Baru
menjelaskan
bagaimana
desentralisasi fiskal akan mempengaruhi perilaku pemerintah daerah. Secara teoritik
pemerintah daerah akan berperilaku berbeda ketika pemerintah pusat menyerahkan
berbagai
wewenang
kepada
pemerintah
daerah,
yaitu
semakin
berusaha
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Implikasi penting teori ini adalah
desentralisasi fiskal akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat lokal.
Selanjutnya dalam pandangan teori ini juga dijelaskan bahwa dalam keadaan
pasar barang yang mobilitasnya tinggi, kompetisi antar daerah merupakan alat
insentif yang penting bagi penyediaan barang dan jasa publik. Persaingan antar
daerah dalam memberikan pelayanan kepada pasar akan mendorong pertumbuhan
ekonomi daerah. Sebaliknya jika peraturan daerah tidak bersahabat dengan pasar dan
masyarakat justru akan menimbulkan mobilitas faktor produksi ke daerah lain. Selain
28
itu, keterkaitan yang erat antara penerimaan dan pengeluaran daerah juga menjadi
insentif bagi pertumbuhan ekonomi daerahm (Khusaini, 2006:92).
Salah satu kunci perbedaan antara kedua teori tersebut terletak pada
penerimaan daerah dari transfer pemerintah pusat. Walaupun teori trandisional
menekankan pada beberapa keuntungan dari desentralisasi fiskal, tetapi di sisi lain
juga dapat menimbulkan distorsi alokatif dan memperlemah kapasitas fiskal
pemerintah pusat. Perhatian teori tradisional tidak menekankan pada kemampuan
keuangan pemerintah daerah dalam membiayai pengeluarannya. Sebaliknya dalam
teori perspektif baru menyatakan bahwa manfaat desentralisasi fiskal jauh lebih besar
daripada kerugiaannya. Keterkaitan antara penerimaan dan pengeluaran pemerintah
daerah serta pembatasan redistribusi pemerintah pusat kepada daerah akan
menciptakan insentif bagi pemerintah daerah dalam melakukan reformasi orientasi
pasar. Reformasi tersebut dapat meningkatkan produktivitas dan pada akhirnya akan
meningkatkan basis penerimaan bagi daerah (Khusaini, 2006: 93).
Para ahli ekonomi mengakui bahwa sistem pemerintahan yang sangat
sentralistik akan menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, karena dalam sistem
yang sentralistik tidak memungkinkan munculnya kreatifitas daerah-daerah untuk
mengambil kebijakan terkait dengan pembangunan di daerahnya, sedangkan sistem
desentralisasi
akan
merangsang
pertumbuhan
ekonomi
daerah
sekaligus
mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara nasional. Hal ini terjadi karena ada
pergeseran sumber pendapatan dari pajak yang dulunya dikuasai oleh pemerintah
pusat dan kemudian beralih ke daerah. Peralihan sumber pendapatan pajak dari pusat
ke daerah akan menambah pendapatan Pemerintah Daerah, dengan tambahan
29
pendapatan ini dapat digunakan untuk membangun sejumlah infrastruktur baru
ditingkat daerah, sehingga membaiknya infrastruktur di daerah akan direspon oleh
pihak swasta melalui peningkatan investasi (Feltenstein dan Iwata, 2005: 482).
Pada awal perkembangan teori federalisme fiskal, pada umumnya pemerintah
diasumsikan bersifat sangat bijaksana dan akan berusaha untuk membuat keputusankeputusan ekonomi publik yang efisien dan efektif berdasarkan keinginan publik.
Oleh karena itu, justifikasi terhadap implementasi desentralisasi fiskal sangat nyata.
Konsumsi semua jenis barang publik tidak dikonsumsi dalam ruang lingkup nasional,
tetapi dibatasi oleh wilayah geografi dan kelompok masyarakat yang memiliki
preferensi yang berbeda-beda. Dalam hal ini jika pemerintah pusat mengambil alih
semua tanggungjawab dalam penyediaan barang publik, maka cenderung untuk
menyediakannya secara seragam yang tentunya tidak sesuai dengan tiap daerah. Hal
inilah yang mendasari argumentasi bahwa desentralisasi fiskal akan mampu
menciptakan efisiensi dalam penyediaan barang publik, khususnya efisiensi alokasi
dan produksi (Khusaini, 2006: 93-94).
Ter-Minassian (1997: 3) mengutip beberapa pendapat para ahli ekonomi yang
menyimpulkan bahwa dalam literatur ekonomi, diakui desentralisasi fiskal secara
substansi dapat membawa keuntungan terhadap kesejahteraan masyarakat.
Desentralisasi fiskal juga akan berdampak terhadap efisiensi alokasi distribusi
pendapatan antar daerah dan mengurangi kesenjangan serta dapat meningkatkan
kinerja ekonomi makro, terutama pertumbuhan ekonomi. Pendapat ini dikemukakan
oleh Tiebout (1961), Musgrave (1969), Oates (1972), Prud’homme (1995) dan Tanzi
(1996).
30
Lebih lanjut Ter-Minassian (1997: 5) mengemukakan bahwa desentralisasi
fiskal secara luas dalam pengeluaran publik secara signifikan dapat mempengaruhi
ekonomi secara makro. Setiap perubahan dalam komposisi pengeluaran publik dalam
anggaran pemerintah daerah akan mempengaruhi permintaan agregat dan stabilisasi,
misalnya jika terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah daerah secara relatif akan
mempengaruhi permintaan agregat di tingkat daerah, peningkatan permintaan agregat
akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan juga dapat mempengaruhi tingkat harga.
Desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi ekonomi karena pemerintah
daerah berada posisi yang lebih baik dibandingkan dengan pemerintah pusat dalam
hal memberikan pelayanan kepada masyarakat, selanjutnya efesiensi yang tercipta ini
akan mendorong pertumbuhan ekonomi pada tingkat daerah dan juga perekonomia
nasional secara cepat (Zhang dan Zou, 1998: 223). Salah-satu tujuan pokok
penerapan desentralisasi fiskal adalah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, hal
ini tidak hanya berlaku di negara-negara sedang berkembang dan negara-negara yang
sedang mengalami transisi ekonomi, namun disebagian besar negara maju konsep
desentralisasi fiskal juga menjadi agenda penting pemerintahan. Desentralisasi fiskal
memiliki hubungan tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi mealui
efisiensi dari penerapan desentralisasi itu sendiri seperti efisiensi dalam alokasi,
konsumsi dan produksi (Vazquez dan McNab, 2003:1598).
Desentralisasi fiskal juga dapat menjaga dan mempromosikan perkembangan
pasar dan secara wajar dapat menjadi insentif bagi struktur keuangan dalam berbagai
jenjang pemerintahan, dengan demikian kecukupan insentif tersebut dapat
mendorong perkembangan pasar, dengan asumsi dasar bahwa kebijkan pemerintah
31
pusat sebagai sumber terjadinya inefisiensi pasar. Sehingga desentralisasi fiskal
dianggap mampu memperbaiki alokasi sumber daya yang efisien, mendorong
perkembangan pasar dan selanjutnya terciptanya pertumbuhan ekonomi (Weingast,
1995: 22).
Perkembangan pasar yang cepat menjadi insentif bagi dunia usaha untuk
melakukan meningkatkan investasi, dan sebagaimana diketahui bahwa investasi
merupakan salah satu variabel utama dalam meningkatkan aktivitas ekonomi
sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi daerah
sebagian besar disumbangkan oleh pengeluaran daerah, maka belum dapat dikatakan
otonomi daerah berhasil. Justru sebaliknya, yaitu peran ekonomi masyarakat lokal
seperti investasi harus lebih didorong untuk mempercepat pembangunan (Saragih,
2003: 29).
2.2. Kerangka Pemikiran
Sebagaimana teori yang telah dikemukan di atas, desentralisasi fiskal akan
memperkuat struktur keuangan daerah. Desentralisasi fiskal dalam bentuk transfer
dana dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota akan
meningkatkan penerimaan dan sekaligus pengeluaran Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Meningkatnya belanja Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
akan meningkatkan permintaan agregat di tingkat daerah dan pada akhirnya ditingkat
nasional secara keseluruhan. Meningkatnya permintaan agregat akan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dijelaskan dalam skema berikut:
32
Gambar 2-1
Hubungan Desentralisasi Fiskal Dengan Pertumbuhan Ekonomi
Transfer dana dari
Pemerintah pusat kepada
Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/kota dalam
bentuk dana perimbangan
Pertumbuhan Ekonomi
tingkat daerah dan nasional
Meningkatnya jumlah
penerimaan/belanja
Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota
Meningkatnya permintaan
agregat di tingkat daerah
Dari skema di atas dapat dijelaskan bahwa desentralisasi fiskal yang
ditunjukkan dengan pemberian transfer dana sekaligus wewenang dari Pemerintah
Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam hal pengelolaan dana dalam rangka otonomi
daerah dapat meningkatkan pendapatan dan belanja Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Sehingga Pemerintah Daerah mampu memberikan pelayanan
publik yang lebih baik, efektif dan efisien. Meningkatnya belanja Pemerintah Daerah
akan meningkatkan permintaan agregat. Kondisi ini mampu mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi pada tingkat regional dan pada akhirnya pertumbuhan
ekonomi nasional. Dalam literatur ekonomi makro menjelaskan bahwa meningkatnya
pengeluaran pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dapat menyumbang
33
terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah atau negara (Mankiw, 2000: 13).
Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi juga dapat dianalisis
dengan menggunakan Kurva Perpotongan Keynesian sebagai berikut:
Gambar 2.2.
Pengeluaran Pemerintah Dan Pertumbuhan Ekonomi
Pengeluaran = E
Pengeluaran aktual
G2
E2
B
ΔG
Pengeluaran yang direncanakan
1
G
E1
A
450
0
Y1
Y2
PDRB = Y
(Sumber: Mankiw, 2000: 13)
Dari gambar kurva di atas dapat dijelaskan pengaruh pengeluaran Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap pertumbuhan ekon
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Pembangunan
ekonomi
bertujuan
untuk
meningkatkan
taraf
hidup
masyarakat di suatu negara atau daerah melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi,
mengurangi kesenjangan distribusi pendapatan, penurunan jumlah penduduk miskin,
penurunan jumlah pengangguran, perubahan sikap masyarakat dan perbaikan sistem
kelembagaan pemerintah maupun swasta. Pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu
indikator kesejahteraan masyarakat bukanlah variabel yang berdiri sendiri, namun
banyak faktor yang mempengaruhinya. Dewasa ini perubahan sistem kelembagaan
pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi diyakini mampu meningkatkan
efisiensi pemerintahan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi adalah salah-satu indikator yang lazim digunakan
untuk melihat keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Pertumbuhan ekonomi
harus didukung oleh berbagai faktor yang dapat menyebabkan perekonomian itu
tumbuh. Kebijakan fiskal dan moneter serta kebijakan perdagangan luar negeri yang
dikendalikan oleh pemerintah menjadi instrumen utama dalam usaha menstimulus
pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain perbaikan sistem kelembagaan pemerintah juga
memiliki pengaruh terhadap pembangunan ekonomi. Sistem pemerintahan yang tidak
efisien dan menghambat perkembangan pasar serta mengekang partisipasi
masyarakat justru menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya sistem
yang lebih efisien akan mendukung perkembangan dan pertumbuhan ekonomi.
2
Perdebatan yang mengemuka dikalangan praktisi ekonomi berkaitan dengan
desentralisasi fiskal telah berlangsung cukup lama. Isu utama yang menarik untuk
senantiasa dikaji adalah mengenai keterkaitan antara desentralisasi fiskal dengan
salah-satu indikator kesejahteraan masyarakat, yakni pertumbuhan ekonomi.
Terdapat dua teori yang bertentangan dalam membahas masalah tersebut. Dalam
Teori Konvensional (Traditional Theory) dijelaskan bahwa desentralisasi fiskal tidak
hanya menimbulkan kesenjangan antar daerah, namun juga tidak baik untuk
pertumbuhan ekonomi dan dapat menganggu stabilitas. Namun demikian, dalam
Teori Perspektif Baru (New Perspective Theory) menilai bahwa desentralisasi fiskal
dapat meningkatkan efisiensi dan mereduksi kesenjangan antar daerah serta
mempercepat pertumbuhan ekonomi. Penerapan desentralisasi dapat menempatkan
daerah pada posisi yang lebih baik dari sisi keuangan dan dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat (Widhiyanto, 2008: 19)
Dewasa ini perhatian terhadap penerapan desentralisasi fiskal begitu
meningkat di negara-negara berkembang dan negara-negara yang sedang mengalami
transisi ekonomi. Desentralisasi fiskal diyakini dapat meningkatkan efisiensi dalam
belanja publik dan sebagai sebuah sistem yang tepat untuk menutupi kegagalan
perencanaan Pemerintah Pusat. Desentralisasi fiskal juga dianggap sebagai mesin
pertumbuhan ekonomi (engine of economic growth). Di Asia Timur, kecenderungan
pelaksanaan desentralisasi fiskal hampir terjadi di seluruh negara. Adapun di
Indonesia, pelaksanaan desentralisasi fiskal secara nyata dimulai pada Tahun 2001
melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan
3
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (Widhiyanto, 2008: 20).
Usaha untuk menerapkan desentralisasi di indonesia sudah berlangsung sejak
awal kemerdekaan. Hal itu dapat dibuktikan dengan lahirnya berbagai produk
Perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia. Ada 13 Undang-undang
yang mengangkut dengan desentralisasi yang pernah berlaku di indonesia mulai awal
kemerdekaan hingga sekarang. Masa Pemerintah Orde Lama dan Orde Baru
desentralisasi tidak sepenuhnya berjalan dan setelah reformasi desentralisasi dapat
dijalankan secara nyata. Berikut Perundang-undangan yang menyangkut hubungan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sejak kemerdekaan hingga sekarang:
Tabel 1.1
Peraturan Perundang-undangan Tentang Pemerintah Daerah
Sejak Tahun 1945-2004
Tahun
1945
1948
1950
1956
1957
1959
1960
1965
1974
1999
1999
2004
2004
Perndang-undangan
Undang-Undang Nomor 1
Undang-Undang Nomor 22
Undang-Undang Nomor 44
Undang-Undang Nomor 32
Undang-Undang Nomor 1
Undang-Undang Nomor 6
Undang-Undang Nomor 5
Undang-Undang Nomor 18
Undang-Undang Nomor 5
Undang-Undang Nomor 22
Undang-Undang Nomor 25
Undang-Undang Nomor 32
Undang-Undang Nomor 33
Sumber : Saragih, 2003 dan Kuncoro, 2004
Subyek
Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah
Hubungan Keu. Pusat dan Daerah
Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah
Perimbangan Keu. Pusat dan Daerah
Pemerintah Daerah
Perimbangan Keu. Pusat dan Daerah
4
Hakikat dari desentralisasi fiskal adalah adanya transfer dana dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah, transfer dana ini merupakan penerimaan yang
paling dominan bagi pemerintah daerah di banyak negara. Sumber ini membiayai 85
persen dari pengeluaran Pemerintah Daerah di Afrika Selatan, antara 67 sampai 95
persen negara-negara bagian Nigeria, 70 sampai 90 persen pengeluaran negaranegara bagian miskin di Mexico, sekitar 72 persen pengeluaran provinsi dan sekitar
85 persen pengeluaran kabupaten/kota di Indonesia sejak dekade 1990-an. Satu
alasan utama mengapa pentingnya transfer dari pusat ke daerah adalah untuk
menjamin tercapainya standar pelayanan minimum di seluruh negeri karena
kemampuan keuangan dan ekonomi di daerah-daerah di banyak negara cenderung
tidak merata (Sidik dkk, 2002: 23).
Sebelum era desentralisasi di Indonesia kondisi keuangan daerah sangat
tergantung pada Pemerintah Pusat. Pada Tahun 1968 hanya sekitar 7 persen dari total
penerimaan nasional yang didistribusikan ke daerah, kondisi ini berlanjut hingga 20
tahun kemudian. Dalam masa Tahun 1990-an, Pemerintah Pusat hampir menguasai
90 persen dari penerimaan negara dan hanya 10 persen yang ditransfer ke daerah.
Sehingga sistem keuangan Indonesia pada saat itu termasuk dalam kategori yang
sangat buruk yang ditandai oleh ketidakseimbangan keuangan antara pusat dan
daerah (Widhiyanto, 2008: 30).
Semenjak sistem desentralisasi fiskal dijalankan pada Tahun 2001, posisi
keuangan daerah semakin membaik dibandingkan era sebelumnya. Pada Tahun 2005
atau setelah lima tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal, distibusi pengeluaran
pemerintah antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah menjadi relatif
5
seimbang, yaitu sebesar 32.6 persen dari total pengeluaran nasional didistribusikan
ke daerah dalam bentuk dana perimbangan (World Bank, 2006: 250).
Penerapan desentralisasi fiskal di Indonesia telah merubah kebijakan fiskal
nasional (APBN). Sejak Tahun 2001 transfer keuangan dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerindah Daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi
Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil telah menjadi penerimaan yang paling dominan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Perubahan komposisi
pengeluaran dalam APBN terkait dengan adanya dana perimbangan dapat dilihat
secara lengkap dalam Tabel berikut:
Tabel 1.2
Proporsi Bagi Hasil Sebelum dan Sesudah Desentralisasi Fiskal
(Dalam Persentase)
Sebelum
Sesudah
Sumber Pendapatan
Desentralisasi
Desentralisasi
Pusat Daerah Pusat
Daerah
Pajak Bumi dan Bangunan
10
90
0
100
Bea Perolehan Hak Atas Tanah Bangunan
20
80
0
100
Provisi Sumberdaya Hutan
55
45
20
80
Iuran Hak Pengusahaan Hutan
55
45
20
80
Pertambangan Umum
20
80
20
80
Perikanan
100
0
0
100
Mingak
100
0
85
15
Gas Alam
100
0
70
30
Dana Reboisasi
100
0
60
40
Pajak Penghasilan
100
0
80
20
Sumber: Widhiyanto (2008) dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.
Dari Tabel di atas dapat dilihat perubahan proporsi alokasi penerimaan
pemerintah yang bersumber dari penerimaan pajak dan penerimaan dari hasil sumber
6
daya alam. Perubahan yang sangat drastis terjadi pada sumber penerimaan Perikanan,
Minyak, Gas Alam, Dana Reboisasi dan Pajak Penghasilan yang sebelum
desentralisasi fiskal dikuasai Pemerintah Pusat sepenuhnya kemudian di era
desentralisasi sebagian pendapatan tersebut mulai dialihkan ke daerah baik ditingkat
Provinsi maupun Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Kemudian untuk penerimaan
dari Pajak Bumi dan Bangunan, Perikanan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan semuanya diserahkan ke daerah.
Selanjutnya dapat dilihat juga jumlah dan perkembangan dana perimbangan
yang ditransfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang mencakup
Dana Alokasi Umum (DAU), Dana alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil baik
bagi hasil pajak maupun bagi hasil kekayaan alam. Tabel di bawah ini meringkas
secara keseluruhan dana perimbangan dari pusat kepada daerah sebagai berikut:
Tabel 1.3
Perkembangan Dana Perimbangan Tahun 2005-2009
(Dalam Miliar Rupiah)
Tahun
Dana
Alokasi
Umum
(Rp)
Perkemb
angan
(%)
Dana
Alokasi
Khusus (Rp)
Perkemb
angan
(%)
Dana Bagi
Hasil (Rp)
Perkemb
angan
(%)
2005
2006
2007
2008
2009
88.769
145.664
164.787
179.507
186.414
64
13.12
0.89
0.38
4.764
11.566
16.238
20.787
24.820
142
40.3
28
19.4
49.692
64.900
62.942
78.420
85.719
30.6
-0.3
24.5
0.9
Sumber: Bank Indonesia, 2009.
7
Dari Tabel di atas dapat dilihat perkembangan dana perimbangan dari pusat
ke daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Perubahan yang sangat
drastis terjadi dari Tahun 2005 ke Tahun 2006, di mana Dana Bagi Hasil meningkat
dari 49.692 Triliun menjadi 64.900 Triliun (30.6 persen). Dana Alokasi Umum
meningkat dari 88.769 Triliun pada Tahun 2005 menjadi 145.664 Triliun pada Tahun
2006 atau naik menjadi 64 persen dan Dana Alokasi Khusus meningkat dari 4.764
Triliun menjadi 11.566 Triliun atau naik sebesar 142 persen dalam tahun yang sama.
Pada tahun selanjutnya dana perimbangan tersebut terus meningkat, waalupun
pesentasenya menurun. Pada Tahun 2007 Dana Bagi Hasil sempat mengalami
penurunan sampai -0.3 persen. Dari ketiga jenis dana perimbangan di atas, Dana
Alokasi Umum yang paling besar jumlahnya. Dana ini ditetapkan sebesar 25 Persen
dari seluruh penerimaan dalam negeri. Selanjutnya diikuti dengan Dana Bagi Hasil
yang bersumber dari bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam. Terakhir
adalah Dana Alokasi Khusus yang besarannya jauh di bawah Dana Alokasi Umum
dan Dana Bagi Hasil.
Transfer fiskal dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah sebenarnya
konsekuensi dari pelimpahan fungsi dan wewenang ke Pemerintah Daerah yang
sebelumnya menjadi wewenang Pemerintah Pusat (money should follow function).
Desentralisasi
Fiskal
yang
merupakan
bagian
dari
sistem
desentralisasi
mengharuskan Pemerintah Pusat memberikan dana kepada Pemerintah Daerah
sebagai akibat pelimpahan wewenang tersebut. Pelimpahan wewenang semata tanpa
diikuti transfer keuangan justru akan menjadi beban bagi Pemerintah Daerah. Tabel
8
di bawah ini meringkas dengan jelas distribusi fungsi dan wewenang pemerintahan
antar jenjang pemerintahan di Indonesia.
Tabel 1.4
Distribusi Fungsi Pemerintahan Antar Jenjang Pemerintahan
Urusan/Fungsi
Tanggung Jawab
Hubungan Luar Negeri dan Pertahanan
Hak ekslusif pusat
Peradilan dan hukum
Hak ekslusif pusat
Moneter dan kebijakan ekonomi makro
Hak ekslusif pusat
Agama
Hak ekslusif pusat
Subsidi
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
Fungsi regulasi
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
Managemen SDA dan kebijakan lingk.
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
Pendidikan
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
Kesehatan
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
Pertanian dan irigasi
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
Industri
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
Transportasi
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
Sumber: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Tabel di atas menunjukkan bahwa semenjak desentralisasi dijalankan,
Pemerintah Pusat hanya memegang kendali penuh dalam beberapa urusan saja atau
membatasi kewenangan dalam beberapa urusan diantaranya, pertahanan dan
keamanan, peradilan dan hukum, moneter dan kebijakan ekonomi makro serta
agama. Adapun urusan lainya terdistribusi antar jenjang pemerintahan baik pusat,
provinsi dan kabupaten/kota sebagai wujud pelaksanaan desentralisasi.
Desentralisasi
fiskal
diharapkan
mampu
mengurangi
kesenjangan
pembangunan ekonomi di Indonesia, baik kesenjangan vertikal maupun kesenjangan
9
horizontal serta mampu menstimulus pertumbuhan ekonomi. Semenjak desentralisasi
fiskal Tahun 2001, pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan angka yang
positif. Berikut dapat dilihat nilai rata-rata pertumbuhan PDRB rill per kapita
sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal.
Tabel 1.5
Pertumbuhan Rata-rata PDRB Riil Per Kapita Seluruh Provinsi Sebelum
dan Sesudah Desentralisasi Fiskal (Tanpa Migas)
Pertumbuhan Rata-rata PDRB Rill Tanpa Migas
(Dalam Persentase)
1994-2000
2001-2004
Aceh
2.56
2.61
Sumatera Utara
3.41
3.63
Sumatera Barat
3.81
3.30
Riau
2.96
4.99
Jambi
2.62
3.46
Sumatera Selatan
3.00
2.74
Bengkulu
1.95
3.62
Lampung
3.36
3.57
Jakarta
3.34
4.60
Jawa Barat
1.09
3.31
Jawa Tengah
1.89
3.56
Yogyakarta
2.04
3.26
Jawa Timur
2.55
3.70
Kalimantan Barat
3.05
3.62
Kalimantan Tengah
1.63
3.92
Kalimantan Selatan
3.97
2.51
Kalimantan Timur
4.16
3.79
Sulawesi Utara
4.44
1.30
Sulawesi Tengah
5.31
4.93
Sulawesi Selatan
4.92
3.86
Sulawesi Tenggara
1.01
5.20
Bali
2.68
2.27
Nusa Tenggara Barat
6.47
4.21
Nusa Tenggara Timur
3.57
2.84
Maluku
0.79
1.53
Papua
7.64
0.81
Sumber: Badan Pusat Statistik (Data diolah).
Provinsi
10
Angka pertumbuhan rata-rata PDRB riil tanpa migas sebelum desentralisasi
fiskal dengan menggunakan harga konstan Tahun 1994 dan sesudah desentralisasi
fiskal dengan menggunakan harga konstan Tahun 2000. Data di atas juga disajikan
berdasarkan PDRB rill tanpa migas dengan pertimbangan tidak semua daerah di
Indonesia memilki kekayaan berupa minyak dan gas, sehingga lebih tepat
menggambarkan kondisi kesejahteraan semua daerah di Indonesia.
Secara umum pertumbuhan rata-rata PDRB rill per kapita setelah pelaksanaan
desentralisasi fiskal menunjukkan angka yang positif. Walaupun dibeberapa provinsi
pertumbuhan rata-rata PDRB riil per kapita menurun tajam dibandingkan sebelum
era desentralisasi fiskal seperti di Provinsi Papua dari 7.64 persen dalam Tahun
1994-2000 turun menjadi 0.81 persen dalam Tahun 2001-2004, begitu pula di
Sulawesi Utara turun dari 4.44 persen menjadi 1.30 persen. Sedangkan dibeberapa
provinsi lain penurunannya tidak begitu tajam.
Data lain yang dapat dianalis dari Tabel di atas adalah untuk Provinsi
Sulawesi Tenggara, pertumbuhan rata-rata PDRB per kapita naik begitu tajam dari
0.01 persen sebelum era desentralisasi fiskal menjadi 5.20 persen dalam masa
desentralisasi fiskal, hal yang sama juga terjadi di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jakarta dan Riau. Secara nasional, rata-rata pertumbuhan PDB per kapita sebelum
desentraliasi adalah 4.03 persen dengan angka pertumbuhan tertinggi 9.39 persen
pada Tahun 1994 dan terendah -4.01 pada saat krisis Tahun 1998. Sesudah masa
krisis, perekonomian Indonesia kembali pulih secara perlahan, perekonomian mulai
tumbuh walaupun tidak sebanding dengan masa sebelum krisis. Era desentralisasi
fiskal menjadi penting bagi pemulihan ekonomi Indonesia, data menunjukkan tidak
11
satupun provinsi di Indonesia yang mengalami pertumbuhan negatif pada masa era
desentralisasi fiskal.
Kondisi ini
menarik untuk dikaji lebih mendalam mengenai keterkaitan
antara desentralisasi fiskal atau pemberian tranfer keuangan dari Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Daerah dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini sangatlah penting
mengingat tujuan dari desentralisasi itu sendiri sebagai alat untuk mendorong
Pemerintah Daerah dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Maka
berdasarkan latar belakang penelitian di atas penulis mencoba untuk meneliti tentang
masalah tersebut dengan judul penelitian: Pengaruh Desentralisasi Fiskal
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.
1.2. Perumusan Masalah
Penelitian ini berusaha untuk melihat hubungan antara desentralisasi fiskal
dengan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, dapat
dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah berapa besar pengaruh
desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode 2004
sampai 2008?
1.3. Tujuan Penelitian
Pemikiran dasar terhadap penelitian ini dilatarbelakangi oleh pemahaman
bahwa desentralisasi fiskal mampu mendorong laju pertumbuhan ekonomi khususnya
dan pembangunan ekonomi nasional pada umumnya. Adapun tujuan penelitian ini
12
adalah untuk mengetahui pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan
ekonomi Indonesia selama periode 2004 sampai 2008.
1.4. Kegunaan Penelitian
Perubahan fundamental dalam pola hubungan pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah khususnya menyangkut dengan perimbangan keuangan dimulai
sejak Tahun 2001, sehingga menarik untuk dikaji keterkaitan antara desentralisasi
fiskal dengan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat, yakni pertumbuhan
ekonomi. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi
bagi pihak pemerintah dalam rangka pembuatan kebijakan dan perencanaan
pembangunan daerah.
2.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna sebagai landasan dalam penelitian
selanjutnya dibidang ekonomi publik dan pembangunan ekonomi daerah.
3.
Sebagai tambahan khasanah keilmuan khususnya terhadap ilmu ekonomi dan
ilmu pengetahuan pada umumnya.
13
BAB II
STUDI KEPUSTAKAAN
2.1.
Landasan Teoritis
2.1.1. Konsep dan Pengertian Desentralisasi Fiskal
Fungsi pemerintah dalam perekonomian menurut Musgrave dan Musgrave
dirinci menjadi tiga yaitu, (1) Fungsi stabilisasi di mana pemerintah dapat
mengunakan kebijakan moneter dan fiskal untuk mengontrol inflasi dan
pengangguran. (2) Fungsi distribusi di mana pemerintah dapat menggunakan
kebijakan perpajakan dan transfer untuk menjalankan fungsi distribusi pendapatan.
(3) Fungsi alokasi di mana pemerintah dapat memutuskan barang dan jasa apa yang
akan diproduksi dan bagaimana memproduksinya serta sumber daya apa yang akan
digunakan. Fungsi alokasi dan distribusi bukan hanya dapat dijalankan oleh
pemerintah pusat, namun terkadang lebih efisisen dijalankan atau disediakan oleh
pemerintah daerah. Tetapi untuk fungsi stabilitasai tidak dapat dijalankan oleh
pemerintah daerah atau lebih efektif dijalankan oleh pemerintah pusat (Musgrave dan
Musgrave, 1989: 445).
O’Sullivan (2009: 393) berpendapat bahwa penyediaan barang publik akan
lebih efisien disediakan oleh pemerintah daerah jika, (1) Keragaman dalam
permintaan barang tersebut relatif besar, sehingga hanya pemerintah daerah yang
14
lebih paham dalam menyediakan barang tersebut. (2) Ekternalitas dari barang
tersebut relatif kecil secara geografis, artinya manfaat dari ketersediaan barang
publik tersebut hanya dapat dirasakan oleh masyarakat di daerah tersebut. (3) Skala
ekonomi dari penyediaan barang tersebut relatif kecil. Dari dua pandangan di atas,
maka perlu adanya pelimpahan wewenang sekaligus transfer keuangan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam urusan penyediaan barang publik
atau pelayanan publik yang lebih di kenal dengan sistem desentralisasi.
Desentralisasi bukanlah suatu hal yang baru, hampir semua negara di dunia
menerapkan sistem ini kecuali untuk beberapa negara kecil. Selama Tahun 1940-an
sampai 1970-an kecenderungan sentralisasi sangat kuat, terutama negara-negara yang
menganut paham komunis seperti China, Rusia, negara-negara di Eropa Timur dan
negara-negara yang baru merdeka dengan tujuan menguatkan konsolidasi
pemerintahan. Namun setelah Era 1970-an dan 1980-an kecenderungan untuk
menerapkan sistem desentralisasi lebih mengemuka, banyak negara mengadopsi
bentuk pemerintahan yang terdesentralisasi (Devas, 2006: 1).
Selanjutnya, Devas (2006: 1) mengemukakan bahwa kecenderungan untuk
melaksanakan desentralisasi didorong oleh beberapa faktor yaitu: (1) Kegagalan
pemerintah pusat dalam merespon berbagai variasi kebutuhan masyarakat di daerahdaerah. (2) Kegagalan dalam perencanaan ekonomi terpusat karena kebijakan tunggal
tidak mungkin dapat mengakomodir kebutuhan daerah yang bervariasi. (3)
Demokratisasi yang kian meluas telah menimbulkan tuntutan masyarakat lokal untuk
mengontrol sumber daya mereka sendiri berdasarkan kebutuhan dan prioritas. (4)
Urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi yang pesat di kota, sehingga kompleksnya
15
permasalahan di kota menuntut adanya sistem yang lebih responsif. (5) Permasalahan
keterbatasan anggaran yang dialami pemerintah pusat sehingga desentralisasi dilihat
sebagai sebuah solusi. (6) Tekanan pihak donor bagi negara-negara berkembang
untuk mendesentralisasikan pemerintahan sebagai cara untuk perbaikan pelayanan
terhadap daerah pinggiran.
Menurut Dumairy dalam Subandi (2006: 46) menyatakan bahwa struktur
perekonomian suatu negara dapat dilihat dari berbagai sudut tinjauan. Sekurangkurangnya struktur perekonomian dapat dilihat dari empat sudut tinjauan yaitu,
tinjauan makro-sektoral, tinjauan keuangan, tinjauan penyelenggaraan negara dan
tinjauan birokrasi pengambilan keputusan. Dalam tinjauan berdasarkan birokrasi
pengambilan keputusan, struktur ekonomi dapat dibedakan menjadi struktur ekonomi
yang terpusat dan struktur ekonomi yang terdesentralisasi. Dalam struktur
perekonomian yang terdesentralisir, terdapat pembagian atau pelimpahan sebagian
wewenang dan fungsi pemerintahan dari pusat kepada daerah.
Desentralisasi tidak hanya berhenti pada aspek politik semata, tetapi meliputi
banyak aspek yang meliputi aspek ekonomi, sosial, budaya dan lainnya. Dalam
proses pelaksanaanya otonomi daerah membutuhkan dukunngan sumber daya yang
memadai seperti sumber daya manusia, keuangan dan birokrasi yang handal. Oleh
karena itu seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah juga perlu diikuti oleh
pelaksanaan
desentralisasi
fiskal
sebagai
langkah
untuk
mendukung
dan
meningkatkan kemampuan keuangan daerah, dengan kata lain pelimpahan
wewenang dalam urusan pemerintahan harus diikuti dengan pembiayaan (Saragih,
2003: 1).
16
Secara teori pendelegasian fiskal kepada pemerintah yang berada di level
bawah diperkirakan memberikan peningkatan ekonomi mengingat pemerintah daerah
memiliki kedekatan dengan masyarakatnya dan mempunyai keunggulan informasi
dibandingkan dengan pemerintah pusat. Kedekatan pemerintah daerah dengan
masyarakatnya dapat menimbulkan efisiensi dalam pelayanan baik dari segi waktu
dan dana. Sehingga pelayanan publik yang diberikan benar-benar dapat dirasakan
oleh masyarakat daerahnya (Wibowo, 2008: 57)
Desentralisasi fiskal didefinisikan sebagai pelimpahan urusan-urusan
pemerintahan dari pemerintahan pusat ke tingkat pemerintahan di bawahnya yang
diikuti dengan pemberian dana dalam menjalankan urusan-urusan pemerintahan yang
telah dilimpahkan. Desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi dalam alokasi
sumber daya pada sektor publik, karena variasi kebutuhan yang berbeda dalam
pelayanan publik antar daerah tidak dapat dipenuhi dengan pelayanan yang sama
oleh pemerintah pusat, hal ini akan menimbulkan inefisiensi. Oleh karena itu
pemerintah daerah lebih memahami perbedaan kebutuhan dimaksud. (Widhiyanto,
2008: 23).
Desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai pelimpahan wewenang di bidang
penerimaan anggaran atau keuangan yang sebelumnya tersentralisasi, baik secara
administrasi maupun pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat.
Desentralisasi fiskal memerlukan pergeseran beberapa tanggungjawab terhadap
pendapatan dan pembelanjaan ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Faktor
yang sangat penting menentukan desentralisasi fiskal adalah sejauhmana pemerintah
17
daerah diberikan wewenang untuk menentukan alokasi atas pengeluaranya sendiri
(Khusaini, 2006: 97).
Saragih (2003: 12), desentralisasi fiskal dan keuangan daerah merupakan dua
hal yang berkaitan bila dikaji dalam konteks otonomi daerah. Keuangan daerah
dalam arti sempit yakni terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh karena itu keuangan daerah identik
dengan APBD. Berbeda dengan desentralisasi fiskal yang lebih banyak
bersinggungan dengan persoalan kebijakan fiskal nasional dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Oleh karenanya persoalan tentang
desentralisasi fiskal tidak terlepas dari konteks APBN. Otonomi daerah tanpa diikuti
kebijakan
desentralisasi
fiskal
kurang
mendukung
tercapainya
efektifitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Oleh sebab itu otonomi daerah
membutuhkan kebijakkan desentralisasi fiskal yang bertujuan memampukan
keuangan daerah di dalam meningkatkan pelayanan publik, terutama dalam mencapai
standar pelayanan minimum. Hal itu diwujudkan dalam suatu kebijakan yang disebut
dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Berbagai literatur ilmu ekonomi dan keuangan negara menyebutkan beberapa
alasan pentingnya desentralisasi fiskal yang diwujudkan dengan transfer dana dari
pusat ke daerah diantaranya, (1) Untuk mengatasi ketimpangan fiskal secara vertikal
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. (2) Untuk mengatasi
ketimpangan horizontal antara satu daerah dengan daerah lainnya yang disebabkan
oleh perbedaan kepemilikan sumber daya alam dan kapasitas ekonomi. (3) Terkait
dengan kewajiban pemerintah dalam menjaga Standar Pelayanan Minimum disetiap
18
daerah, sehingga daerah yang kurang mampu menyediakan standar pelayanan
minimum harus mendapat dana transfer dari pusat. (4) Untuk mengatasi persoalan
yang timbul dari menyebarnya atau melimpahnya efek pelayanan publik (spillover
effect). Beberapa jenis pelayanan publik memiliki efek menyebar ke wilayah lain,
dalam hal ini pemerintah daerah terkadang tidak bersedia berinvestasi dalam proyek
publik seperti ini karena tidak mendapat imbalan secara ekonomi yang berarti dari
proyek tersebut. Oleh karena itu pemerintah pusat perlu memberikan insentif ataupun
sumber keuangan kepada daerah agar bersedia menyediakan pelayanan publik
tersebut. (5) Untuk mencapai tujuan stabilisasi perekonomian nasional, karena
ransfer dana ke pemerintah daerah dapat ditingkatkan manakala dalam kondisi
perekonomian sedang lesu
dan dapat diturunkan disaat perekonomian sedang
booming. Transfer dana untuk pembanguan merupakan instrumen yang cocok untuk
tujuan ini (Sidik dkk, 2002: 24-26)
Menurut Davey (1996: 264) dalam literatur ekonomi, wacana tentang
desentralisasi berfokus pada efisiensi. Efisiensi mencakup dua dimensi yang masingmasing memperkuat desentralisasi tersebut. Pertama efisiensi dalam alokasi sumber
daya yang dititikberatkan pada penggunaan yang optimal terhadap sumber daya
publik. Efisiensi akan lebih dapat ditingkatkan jika dana dari pajak dan retribusi
dibelanjakan di tingkat daerah. Kedua efisiensi dalam produksi yang berhubungan
dengan biaya penyediaan barang dan jasa. Dengan harapan bahwa desentralisasi
dapat meningkatkan efisiensi produksi, artinya dana publik dapat dibelanjakan
dengan cermat sebab masyarakat di tingkat lokal dapat mengawasi lebih dekat.
19
Menurut Devas (2006: 1) desentralisasi mencakup tiga aspek penting.
Pertama aspek administrasi di mana menumpuknya administrasi ditingkat pusat dan
banyak permasalahan daerah yang tidak sepenuhnya dipahami oleh Pemerintah pusat
sehingga perlu pendelegasian urusan ke daerah untuk mempersingkat rentang
kendali. Jika beberapa aspek pelayanan publik diserahkan ke daerah, setidaknya
keputusan menyangkut pelayanan publik bisa dibuat oleh Pemerintah daerah. Hal ini
sama dengan organisasi bisnis di mana manajer pusat mendelegasikan beberapa
urusan ke jenjang manajer di bawahnya. Namun dalam struktur pemerintahan
permasalahan itu lebih luas.
Selanjutnya adalah aspek politik di mana pemerintahan yang demokrasi akan
melatih masyarakat untuk mengelola sumber daya secara efisien. Desentralisasi akan
meningkatkan peluang-peluang partisipasi dan akuntabilitas, dengan demikian
legitimasi demokrasi akan tercipta. Hal ini penting terutama bagi negara-negara yang
mempunyai penduduk beragam suku dan beragam kebutuhan antara berbagai daerah.
Pada prinsipnya desentralisasi dapat meningkatkan peluang partisipasi dan akses
terhadap pembuatan keputusan bagi masyarakat daerah dalam suatu negara karena
dekatnya masyarakat dengan sumber pembuat keputusan. Dengan kata lain aspirasi
masyarakat lebih terakomodir.
Kemudian yang terakhir adalah aspek ekonomi, bahwa desentralisasi dapat
memperbaiki alokasi sumber daya ekonomi dan penggunaan sumber daya ekonomi
merupakan refleksi dari kebutuhan riil masyarakat, begitu pula mobilisasi sumber
daya seperti pajak daerah dan retribusi daerah akan mudah dipungut dari masyarakat
karena masyarakat lebih nyata menerima pelayanan dari hasil pajak maupun retribusi
20
yang mereka keluarkan. Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional suatu negara pada hakikatnya adalah upaya untuk
meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga tercipta suatu kemampuan
yang handal dan profesional dalam menjalankan pemerintahan serta memberikan
pelayanan yang prima kepada masyarakat.
Sejalan dengan itu, Hyman (2008: 692) mengemukakan bahwa di bawah
sistem pemerintahan sentralisasi, penyediaan barang publik atau pelayanan publik
dilakukan seragam dalam jumlah dan kualitas. Hal ini kurang sesuai dengan
kebutuhan riil masyarakat daerah yang beragam antara satu daerah dengan daerah
lainnya. Dalam sistem desentralisasi, penyediaan barang publik atau pelayanan
publik lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah baik dalam jumlah dan
kualitas. Atas dasar inilah sistem desentralisasi dalam pelayanan publik lebih
menguntungkan dari sisi efisiensi. Atau dengan kata lain, untuk barang publik yang
manfaatnya berskala nasional lebih efisien disediakan oleh pemerintah pusat dan
barang publik yang manfaatnya ditingkat daerah lebih efisien disediakan oleh
pemerintah daerah.
Desentralisasi
pada
dasarnya
merupakan
transfer
kewenangan
dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau unit di bawahnya dalam bidang
politik, fiskal dan kekuasaan atau kewenangan administrasi. Desentralisasi akan
memperkuat eksistensi pemerintah dan memperluas sumber-sumber penerimaan
pemerintah, karena sebagian kewenangan tersebut dilimpahkan kepada pemerintahan
yang lebih rendah. Definisi desentralisasi meliputi banyak variasi, misalnya
Pemerintah India adalah dalam bentuk federal, namun pemerintah pusat telah
21
memberikan kewenangan kepada daerah-daerah. Begitu pula di China yang secara
resmi menganut sentralisasi, namun secara de facto pemerintah provinsi memiliki
substansi dalam melaksanakan otonomi (World Bank, 2000: 108).
Transfer fiskal dalam bentuk subsidi dan dana perimbangan lainnya pada
dasarnya adalah hibah yang berasal dari level pemerintahan yang lebih tinggi kepada
pemerintahan di bawahnya, secara teoritis transfer fiskal diharapkan dapat
mempengaruhi keseimbangan politik dan perubahan fiskal baik dari segi penerimaan
maupun pengeluaran. Dalam teori dijelaskan bahwa transfer fiskal akan
meningkatkan pendapatan disposibel dan meningkatkan konsumsi masyarakat yang
pada akhirnya akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi (Khusaini, 2006).
Holcombe (2006: 489) membagi jenis bantuan pusat kepada daerah menjadi
dua, pertama bantuan umum (general grants) yaitu dana transfer dari Pemerintah
pusat kepada daerah untuk mendanai aktifitas Pemerintah daerah dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakar yang penggunaanya sesuai dengan keinginan
pemerintah daerah. Kedua bantuan khusus (categorical grants) yaitu dana yang
ditransfer dari pemerintah pusat kepada daerah yang penggunaanya untuk membiayai
proyek tertentu dan pemerintah pusat berhak untuk mengontrol penggunaan dana
atau menentukan tujuan dari penggunaan dana tersebut.
Menurut Hyman (2008: 709) mengemukakan bahwa pada dasarnya bantuan
transfer dan bentuk bantuan lainnya dari Pemerintah pusat kepada Pemerintah daerah
merupakan hibah atau subsidi. Perbedaan kemampuan keuangan antar daerah
menjadi dasar pertimbangan pemberian bantuan tersebut, bantuan diberikan dalam
rangka mewujudkan pelayanan dasar bagi masyarakat dan untuk mencapai efisiensi
22
alokasi sumber daya pada sektor pemerintahan. Bantuan Pemerintah pusat kepada
Pemerintah daerah merupakan transfer antar jenjang pemerintahan yang dapat
digunakan untuk mendanai berbagai tujuan sosial di daerah. Akhir-akhir ini, berbagai
bantuan transfer digunakan sebagai cara untuk mengetahui bagaimana hubungan
keuangan antar jenjang pemerintahan.
Perbandingan distribusi anggaran antar jenjang pemerintahan diberbagai
negara yang melaksanakan desentralisasi fiskal didasarkan atas kebijakan
desentralisasi fiskal di negara yang bersangkutan yang dipengaruhi oleh faktor
sejarah, luas daerah, budaya dan politik. Tidak ada pola yang sama yang harus diikuti
oleh setiap negara yang melaksanakan desentralisasi, khususnya desentralisasi fiskal
(Devas, 2006: 7)
Namun demikian, secara umum terdapat tiga jenis transfer yang berlaku di
Indonesia yaitu, pertama adalah Subsidi yang bertujuan untuk mencukupi kebutuhan
rutin seperti gaji pegawai. Kedua adalah Bantuan yang bertujuan memberikan
bantuan untuk pembangunan, dan ketiga Daftar Isian Proyek (DIP). Dua jenis
pertama dapat dikategorikan sebagai bantuan antar tingkat pemerintahan sebab
menjadi bagian dari Anggaran Pemerintah daerah, sedangkan DIP diklasifikasikan
sebagai alokasi dalam bentuk barang, sebab walaupun dana mengalir ke daerah,
namun tidak termasuk dalam Anggaran Pemerintah daerah (Sidik dkk, 2002: 1).
Selanjutnya menurut Saragih (2003: 87), Pendekatan dalam sistem
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah didasarkan pada beberapa
pendekatan yaitu:
23
1.
Pendekatan berdasarkan persentase yang merupakan strategi yang paling baik
untuk pemerataan dan memciptakan keadilan bagi tiap daerah. Artinya, daerah
yang potensial dari sudut ekonomi dan sumber daya alam wajar mendapatkan
bagian pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan daerah lain yang
perkembangan ekonominya relatif rendah.
2.
Pendekatan berdasarkan formula yang bertujuan untuk mendekati pembagian
yang relatif adil dan objektif sesuai dengan kondisi terakhir perekonomian
daerah.
3.
Pendekatan berdasarkan kebutuhan khusus yaitu suatu pendekatan yang
digunakan untuk tujuan membantu daerah yang memiliki kebutuhan-kebutuhan
khusus.
Berdasarkan tiga pendekatan di atas dapat dipahami bahwa untuk Indonesia
juga mengikuti pendekatan tersebut, misalnya Dana Alokasi Umum mengikuti
pendekatan formula, Dana Alokasi Khusus mengikuti pendekatan kebutuhan khusus
dan Dana Bagi Hasil mengikuti pendekatan persentase.
2.1.2.
Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan dalam bidang ekonomi ditujukan agar dapat menciptakan
pertumbuhan yang tinggi. Kuncoro (2004: 44) menyatakan bahwa tolok ukur
keberhasilan pembangunan ekonomi dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi,
struktur ekonomi, semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar
daerah dan antar sektor. Secara tradisional pembangunan ekonomi ditujukan untuk
peningkatan yang berkelanjutan pada Produk Domestik Bruto atau Produk Domestik
24
Regional Bruto (Saragih, 2003: 32). Para ekonom menggunakan data Produk
Domestik Bruto untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Produk Domestik Bruto
mengukur total pendapatan setiap orang di dalam suatu perekonomian (Mankiw,
2000: 61).
Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai peningkatan dalam pendapatan
perkapita masyarakat. Secara tradisional sumber-sumber pertumbuhan ekonomi
adalah: Pertama akumulasi modal yang mencakup seluruh objek yang dapat
digunakan oleh manusia dalam melakukan produksi barang dan jasa. Kedua
peningkatan sumber daya manusia termasuk didalamnya pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman, peningkatan
sumber daya manusia dapat mempengaruhi produktifitas. Ketiga perkembangan
teknologi yang dapat mempengaruhi produktifitas pekerja. Keempat adalah
aglomerasi ekonomi di mana penyatuan tersebut dapat mempengaruhi produktifitas,
pembagian input, penyatuan tenaga kerja dan dampak rembesan dari pengetahuan
antar pekerja di sektor yang berbeda (O’Sullivan, 2009: 90).
Pertumbuhan ekonomi di suatu negara menurut Zhang dan Zou (1998: 223)
dapat di pengaruhi oleh beberapa faktor, seperti desentralisasi fiskal, tenaga kerja,
perpajakan nasional, perpajakan provinsi, investasi, keterbukaan ekonomi, dan
pengeluaran pemerintah dimasing-masing sektor dalam ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan
pembangunan ekonomi, karena penduduk terus bertambah maka harus diimbangi
dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini hanya bisa didapat lewat peningkatan output
agregat atau Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahun. Jadi dalam pengertian
25
ekonomi makro pertumbuhan ekonomi adalah penambahan Produk Domestik Bruto
yang berarti juga penambahan pendapatan nasional (Tambunan, 2001: 2-3).
Lin dan Liu (2000: 4) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat
melalui dua cara yaitu dengan menaikkan investasi modal baik sektor swasta maupun
pemerintah dan melakukan efisiensi terhadap sumber daya yang dimilki. Efisiensi
dapat dilakukan dengan perbaikan lembaga pemerintahan dan swasta, sehingga
desentralisasi fiskal mempunyai peran yang amat penting dalam pertumbuhan
ekonomi suatu daerah. Beberapa alasan yang mendasari adalah sebagai berikut:
1.
Pemerintah daerah mempunyai kewenangan lebih besar untuk berinvestasi dan
membelanjakan lebih banyak untuk berbagai sektor produktif.
2.
Pemerintah daerah mampu menyediakan barang-barang publik dan jasa yang
dibutuhkan, bagaimanapun pemerintah lokal akan lebih sensitif terhadap kondisi
ekonomi lokal. Pemberian otonomi yang lebih besar, membuat Pemerintah
daerah lebih leluasa melakukan alokasi yang efisien pada berbagai potensi lokal
sesuai dengan kebutuhan publik.
3.
Adanya pemberdayaan dan penciptaan ruang bagi publik untuk berpartisipasi
dalam pembangunan.
Di Indonesia, pembangunan ekonomi selama masa Orde Baru yang lebih
berfokus pada pertumbuhan ekonomi ternyata tidak mampu membuat banyak daerah
di indonesia berkembang dengan baik. Pertumbuhan ekonomi secara rata-rata
nasional terus tumbuh, namum aspek pemerataan pembangunan antar daerah
terabaikan. Proses pembangunan dan peningkatan kemakmuran sebagai hasil dari
pembangunan selama itu lebih terkonsentrasi di pusat (Pulau Jawa). Pada tingkat
26
nasional pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun cukup tinggi dan pendapatan per
kapita naik terus setiap tahun (hingga krisis Tahun 1998). Namun jika dilihat pada
tingkat regional, kesenjangan pembangunan ekonomi antar provinsi semakin
membesar. Demikian juga kesenjangan dalam distribusi pendapatan semakin besar,
bukannya semakin membaik sesuai dengan hipotesis Kuznets mengenai adanya suatu
korelasi negatif pada periode jangka panjang antara tingkat pertumbuhan dengan
kesenjangan dalam distribusi pendapatan, artinya pembangunan ekonomi pada saat
itu tidak mampu mengatasi masalah kesenjangan antar daerah (Tambunan, 2001:
199-200).
2.1.3.
Desentralisasi Fiskal Dan Pertumbuhan Ekonomi
Desentralisasi fiskal memang diyakini oleh para ahli akan mempunyai suatu
efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi harus diakui bahwa dasar teoritis
yang menjelaskan hubungan kedua hal tersebut saat ini masih dikembangkan dan
banyak menjadi perdebatan para ahli. Bahkan, apakah desentralisasi fiskal
berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi atau melalui efek efisiensi juga
masih menimbulkan jawaban yang bervariasi. (Khusaini, 2006: 44-45).
Dalam berbagai kajian tentang federalisme fiskal, terdapat dua teori yang
menjelaskan tentang dampak ekonomi dari penerapan desentralisasi yaitu, Teori
Tradisional (First Generation Theory) dan Teori Perspektif Baru (Second Generation
Theory). Teori Tradisional berkembang pada pertengahan Tahun 1940-an sampai
Tahun 1970-an yang menekankan pada dua keuntungan utama dari desentralisasi.
Pertama, proses pengambilan keputusan yang terdesentralisasi akan sangat mudah
27
dan efisien mengingat pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakat. Dalam
konteks keuangan publik, pemerintah daerah memiliki keunggulan informasi tentang
kebutuhan daerah. Hal inilah yang mendorong terjadinya efisiensi dalam alokasi.
Kedua, dimensi persaingan antar daerah dalam hal penyediaan barang publik dan
juga pelayanan publik kepda masyarakat. Sehingga dalam kondisi persaingan
tersebut memungkinkan masyarakat untuk memilih berbagai barang dan jasa publik
yang sesuai dengan selera. Hal ini tidak mungkin terjadi jika barang dan jasa publik
disediakan seragam oleh pemerintah pusat. Namun demikian, teori tradisional juga
menekankan bahwa desentralisasi yang terlalu besar dapat menimbulkan berbagai
distorsi alokasi, ketimpangan regional dan instabilitas fiskal (Khusaini, 2006: 91).
Dalam
pandangan
Teori
Perspektif
Baru
menjelaskan
bagaimana
desentralisasi fiskal akan mempengaruhi perilaku pemerintah daerah. Secara teoritik
pemerintah daerah akan berperilaku berbeda ketika pemerintah pusat menyerahkan
berbagai
wewenang
kepada
pemerintah
daerah,
yaitu
semakin
berusaha
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Implikasi penting teori ini adalah
desentralisasi fiskal akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat lokal.
Selanjutnya dalam pandangan teori ini juga dijelaskan bahwa dalam keadaan
pasar barang yang mobilitasnya tinggi, kompetisi antar daerah merupakan alat
insentif yang penting bagi penyediaan barang dan jasa publik. Persaingan antar
daerah dalam memberikan pelayanan kepada pasar akan mendorong pertumbuhan
ekonomi daerah. Sebaliknya jika peraturan daerah tidak bersahabat dengan pasar dan
masyarakat justru akan menimbulkan mobilitas faktor produksi ke daerah lain. Selain
28
itu, keterkaitan yang erat antara penerimaan dan pengeluaran daerah juga menjadi
insentif bagi pertumbuhan ekonomi daerahm (Khusaini, 2006:92).
Salah satu kunci perbedaan antara kedua teori tersebut terletak pada
penerimaan daerah dari transfer pemerintah pusat. Walaupun teori trandisional
menekankan pada beberapa keuntungan dari desentralisasi fiskal, tetapi di sisi lain
juga dapat menimbulkan distorsi alokatif dan memperlemah kapasitas fiskal
pemerintah pusat. Perhatian teori tradisional tidak menekankan pada kemampuan
keuangan pemerintah daerah dalam membiayai pengeluarannya. Sebaliknya dalam
teori perspektif baru menyatakan bahwa manfaat desentralisasi fiskal jauh lebih besar
daripada kerugiaannya. Keterkaitan antara penerimaan dan pengeluaran pemerintah
daerah serta pembatasan redistribusi pemerintah pusat kepada daerah akan
menciptakan insentif bagi pemerintah daerah dalam melakukan reformasi orientasi
pasar. Reformasi tersebut dapat meningkatkan produktivitas dan pada akhirnya akan
meningkatkan basis penerimaan bagi daerah (Khusaini, 2006: 93).
Para ahli ekonomi mengakui bahwa sistem pemerintahan yang sangat
sentralistik akan menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, karena dalam sistem
yang sentralistik tidak memungkinkan munculnya kreatifitas daerah-daerah untuk
mengambil kebijakan terkait dengan pembangunan di daerahnya, sedangkan sistem
desentralisasi
akan
merangsang
pertumbuhan
ekonomi
daerah
sekaligus
mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara nasional. Hal ini terjadi karena ada
pergeseran sumber pendapatan dari pajak yang dulunya dikuasai oleh pemerintah
pusat dan kemudian beralih ke daerah. Peralihan sumber pendapatan pajak dari pusat
ke daerah akan menambah pendapatan Pemerintah Daerah, dengan tambahan
29
pendapatan ini dapat digunakan untuk membangun sejumlah infrastruktur baru
ditingkat daerah, sehingga membaiknya infrastruktur di daerah akan direspon oleh
pihak swasta melalui peningkatan investasi (Feltenstein dan Iwata, 2005: 482).
Pada awal perkembangan teori federalisme fiskal, pada umumnya pemerintah
diasumsikan bersifat sangat bijaksana dan akan berusaha untuk membuat keputusankeputusan ekonomi publik yang efisien dan efektif berdasarkan keinginan publik.
Oleh karena itu, justifikasi terhadap implementasi desentralisasi fiskal sangat nyata.
Konsumsi semua jenis barang publik tidak dikonsumsi dalam ruang lingkup nasional,
tetapi dibatasi oleh wilayah geografi dan kelompok masyarakat yang memiliki
preferensi yang berbeda-beda. Dalam hal ini jika pemerintah pusat mengambil alih
semua tanggungjawab dalam penyediaan barang publik, maka cenderung untuk
menyediakannya secara seragam yang tentunya tidak sesuai dengan tiap daerah. Hal
inilah yang mendasari argumentasi bahwa desentralisasi fiskal akan mampu
menciptakan efisiensi dalam penyediaan barang publik, khususnya efisiensi alokasi
dan produksi (Khusaini, 2006: 93-94).
Ter-Minassian (1997: 3) mengutip beberapa pendapat para ahli ekonomi yang
menyimpulkan bahwa dalam literatur ekonomi, diakui desentralisasi fiskal secara
substansi dapat membawa keuntungan terhadap kesejahteraan masyarakat.
Desentralisasi fiskal juga akan berdampak terhadap efisiensi alokasi distribusi
pendapatan antar daerah dan mengurangi kesenjangan serta dapat meningkatkan
kinerja ekonomi makro, terutama pertumbuhan ekonomi. Pendapat ini dikemukakan
oleh Tiebout (1961), Musgrave (1969), Oates (1972), Prud’homme (1995) dan Tanzi
(1996).
30
Lebih lanjut Ter-Minassian (1997: 5) mengemukakan bahwa desentralisasi
fiskal secara luas dalam pengeluaran publik secara signifikan dapat mempengaruhi
ekonomi secara makro. Setiap perubahan dalam komposisi pengeluaran publik dalam
anggaran pemerintah daerah akan mempengaruhi permintaan agregat dan stabilisasi,
misalnya jika terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah daerah secara relatif akan
mempengaruhi permintaan agregat di tingkat daerah, peningkatan permintaan agregat
akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan juga dapat mempengaruhi tingkat harga.
Desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi ekonomi karena pemerintah
daerah berada posisi yang lebih baik dibandingkan dengan pemerintah pusat dalam
hal memberikan pelayanan kepada masyarakat, selanjutnya efesiensi yang tercipta ini
akan mendorong pertumbuhan ekonomi pada tingkat daerah dan juga perekonomia
nasional secara cepat (Zhang dan Zou, 1998: 223). Salah-satu tujuan pokok
penerapan desentralisasi fiskal adalah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, hal
ini tidak hanya berlaku di negara-negara sedang berkembang dan negara-negara yang
sedang mengalami transisi ekonomi, namun disebagian besar negara maju konsep
desentralisasi fiskal juga menjadi agenda penting pemerintahan. Desentralisasi fiskal
memiliki hubungan tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi mealui
efisiensi dari penerapan desentralisasi itu sendiri seperti efisiensi dalam alokasi,
konsumsi dan produksi (Vazquez dan McNab, 2003:1598).
Desentralisasi fiskal juga dapat menjaga dan mempromosikan perkembangan
pasar dan secara wajar dapat menjadi insentif bagi struktur keuangan dalam berbagai
jenjang pemerintahan, dengan demikian kecukupan insentif tersebut dapat
mendorong perkembangan pasar, dengan asumsi dasar bahwa kebijkan pemerintah
31
pusat sebagai sumber terjadinya inefisiensi pasar. Sehingga desentralisasi fiskal
dianggap mampu memperbaiki alokasi sumber daya yang efisien, mendorong
perkembangan pasar dan selanjutnya terciptanya pertumbuhan ekonomi (Weingast,
1995: 22).
Perkembangan pasar yang cepat menjadi insentif bagi dunia usaha untuk
melakukan meningkatkan investasi, dan sebagaimana diketahui bahwa investasi
merupakan salah satu variabel utama dalam meningkatkan aktivitas ekonomi
sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi daerah
sebagian besar disumbangkan oleh pengeluaran daerah, maka belum dapat dikatakan
otonomi daerah berhasil. Justru sebaliknya, yaitu peran ekonomi masyarakat lokal
seperti investasi harus lebih didorong untuk mempercepat pembangunan (Saragih,
2003: 29).
2.2. Kerangka Pemikiran
Sebagaimana teori yang telah dikemukan di atas, desentralisasi fiskal akan
memperkuat struktur keuangan daerah. Desentralisasi fiskal dalam bentuk transfer
dana dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota akan
meningkatkan penerimaan dan sekaligus pengeluaran Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Meningkatnya belanja Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
akan meningkatkan permintaan agregat di tingkat daerah dan pada akhirnya ditingkat
nasional secara keseluruhan. Meningkatnya permintaan agregat akan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dijelaskan dalam skema berikut:
32
Gambar 2-1
Hubungan Desentralisasi Fiskal Dengan Pertumbuhan Ekonomi
Transfer dana dari
Pemerintah pusat kepada
Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/kota dalam
bentuk dana perimbangan
Pertumbuhan Ekonomi
tingkat daerah dan nasional
Meningkatnya jumlah
penerimaan/belanja
Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota
Meningkatnya permintaan
agregat di tingkat daerah
Dari skema di atas dapat dijelaskan bahwa desentralisasi fiskal yang
ditunjukkan dengan pemberian transfer dana sekaligus wewenang dari Pemerintah
Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam hal pengelolaan dana dalam rangka otonomi
daerah dapat meningkatkan pendapatan dan belanja Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Sehingga Pemerintah Daerah mampu memberikan pelayanan
publik yang lebih baik, efektif dan efisien. Meningkatnya belanja Pemerintah Daerah
akan meningkatkan permintaan agregat. Kondisi ini mampu mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi pada tingkat regional dan pada akhirnya pertumbuhan
ekonomi nasional. Dalam literatur ekonomi makro menjelaskan bahwa meningkatnya
pengeluaran pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dapat menyumbang
33
terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah atau negara (Mankiw, 2000: 13).
Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi juga dapat dianalisis
dengan menggunakan Kurva Perpotongan Keynesian sebagai berikut:
Gambar 2.2.
Pengeluaran Pemerintah Dan Pertumbuhan Ekonomi
Pengeluaran = E
Pengeluaran aktual
G2
E2
B
ΔG
Pengeluaran yang direncanakan
1
G
E1
A
450
0
Y1
Y2
PDRB = Y
(Sumber: Mankiw, 2000: 13)
Dari gambar kurva di atas dapat dijelaskan pengaruh pengeluaran Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap pertumbuhan ekon