Literature Review Efisiensi Energi Sebag

Seminar Teori Ekonomi

Literatur Review : Efisiensi Energi Sebagai Faktor
Pendorong Pertumbuhan Ekonomi

Sakti Haposan Yudhistira
041411131012

Program Studi Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Airlangga
Surabaya

Pendahuluan
Perkembangan ilmu ekonomi tidak terlepas dari permasalahan kesejahteraan serta
perbaikan standar kehidupan manusia. Sejak perkembangan ilmu ekonomi, konsep – konsep
tentang pertumbuhan ekonomi telah menjadi sorotan utama dalam berbagai studi dan pembahasan
ilmiah. Pertumbuhan ekonomi yang secara sederhana diperoleh dari perubahan PDB riil suatu
negara, menjadi indikator yang kerap ditargetkan oleh hampir seluruh pemerintahan di dunia
dalam merencanakan penyelenggaraan negara.
Konsep tentang pertumbuhan ekonomi secara historis berawal sejak abad ke – 15 dan

sangat dipengaruhi oleh pemikiran – pemikiran merkantilisme yang menitikberatkan akumulasi
kekayaan sebagai sumber dari pertumbuhan ekonomi, serta tujuan utama dari aktivitas ekonomi
baik secara individu maupun kolektif (McDermott, 1999).
Tiga abad kemudian, berkembang pemikiran fisiokratis, yang dikembangkan oleh ekonom
Prancis. Konsep ini berpendapat bahwa kekayaan negara bersumber dari produksi atas tanah,
dimana aktivitas ekonomi berjalan dengan poses yang natural, secara mekanistis, dan tidak ideal
untuk diintervensi. Pemikiran ini kemudian menjadi dasar dari pemikiran klasik dan pemikiran –
pemikiran selanjutnya (Ospian, 2007).
Pada tahun – tahun berikutnya, konsep muncul dari mahzab klasik yang diprakarsai oleh
Adam Smith. Mahzab ini sedikit banyak masih mengambil intisari dari pemikiran fisiokratis,
terutama pada konsep perekonomian yang bekerja pada kondisi natural, secara mekanistis, dikenal
dengan istilah incvisible hand.
Setelah itu, muncul Schumpter yang menkankan inovasi sebagai dasar dari pertumbuhan
ekonomi. Menurut konsep ini, perubahan dalam sistem ekonomi merupakan mesin bagi
pertumbuhan ekonomi. (Lavrov dan Kapoguzov, 2006)
Munculnya konsep Keynesian dan Post – Keynesian pada tahun 1930an, berbarengan
dengan temuan dari Simon Kuznets tentang konsep PDB saat ia mencoba memberikan referensi
kepada pemerintah Amerika Serikat ketika terjadi The Great Depression. Sehingga, dapat
dikatakan, pada tahap inilah teori pertumbuhan ekonomi yang matematis dimulai. Keynesian
memunculkan berbagai variabel makroekonomi yang dianggap menjadi faktor – faktor yang


mempengaruhi perubahan PDB seperti suku bunga, dan investasi pemerintah, atau dengan kata
lain kebijakan fiskal dan moneter (Sharipov, 2015).
Setelah Keynesian dan Post-Keynesian yang merekomendasikan intervensi dalam
ekonomi, muncul teori neoklasik dan teori eksogen yang diprakarsai Robert Solow. Pada dasarnya
teori neoklasik menentang Keynesian. Teori eksogen Robert Solow tentang pertumbuhan pertama
kali ditulis dengan judul A Contribution to The Theory of Economic Growth pada tahun 1956. Pada
dasarnya tulisan Solow menguatkan pemikiran klasik, dengan bukti yang juga matematis dalam
upaya memberikan argumen dan menyerang pemikiran dari Keynesian. Robert Solow dalam
teorinya menkankan unsur kemajuan teknis (technical progress) sebagai sumber utama dalam
pertumbuhan ekonomi. Yang dimaksud dengan technical progress adalah perubahan kualitatif
dalam proses produksi seperti meninkgatnya tingkat edukasi tenaga kerja, peningkatan mutu
organisasi, dan sejenisnya (Sharipov, 2015).
Pada akhir tahun 80an, muncul teori pertumbuhan endogen yang sedikit berbeda dari
pertumbuhan eksogen milik Solow. Teori ini diprakarsai oleh Paul Romer dan Robert Lucas,
disebut – sebut pula sebaga new growth theories. Konsep ini merumuskan teknologi sebagai faktor
endogen dalam variabel yang mempengaruhi output secara makro.

Gambar 1 Tabel Perkembangan Konsep Pertumbuhan Ekonomi (Sharipov, 2015)


Namun dalam perkembangannya, teori – teori konvensional tentang pertumbuhan ekonomi
menuai banyak kritik. Konsep pertumbuhan PDB yang disalahfungsikan sebagai pengukuran

kekayaan dan kesejahteraan, hingga kesalahan berpikir dalam fungsi matematis, hingga pada
kegagalan indikator – indikator pengukuran.
Daly (2013), melalui riset bersama 18 ekonom lain dari 16 negara berbeda, termasuk 2
pemegang Nobel didalamnya, menyusun laporan The Growth Report, dan dipertegas melalui
kritiknya secara personal. Ia mengemukakan 11 poin kesalahan logika dalam teori pertumbuhan
konvensional. Poin – poin ini mengkritik secara tajam konsep – konsep dalam teori pertumbuhan
konvensional dengan fakta yang ternyata berlawanan. Kesimpulannya mengarah pada pemikiran
bahwa pertumbuhan ekonomi hanyalah sebagai indikator, tidak sebagai target yang dikejar dan
menghasilkan banyak kegagalan seperti pengangguran, kerusakan lingkungan, dan demoralisasi
pada sendi – sendi kehidupan.
Pietak (2014), melakukan review mendalam pada teori pertumbuhan, khususnya teori
pertumbuhan eksogen Roberth Solow, dan teori pertumbuhan endogen Paul Romer. Lebih lanjut
ia menjelaskan terdapat konvergensi pada berbagai negara maju dan berkembang jika
diaplikasikan persamaan neoklasik, sehingga persamaan ini terkesan tidak universal.
Salah satu faktor yang luput dari teori pertumbuhan endogen maupun eksogen adalah
penggunaan energi. Dalam setiap produksi dan konsumsi, tentu para pelaku ekonomi akan
menggunakan energi. Hal ini kemudian mendorong berbagai penelitian yang mencari hubungan

dan peran dari pemanfaatan energi terhadap pertumbuhan ekonomi, dan dikolaborasikan dengan
teori pertumbuhan konvensional.

Tinjauan Pustaka
Stern (2016), dalam risetnya tentang energi dan pertumbuhan ekonomi menyatakan
terdapat 4 faktor utama dalam konsep ini yaitu ; (1) Substitusi antara energi dan input lain dengan
teknologi yang ada, (2) perubahan teknologi, (3) perubahan dalam komposisi input energi, (4)
perubahan dalam komposisi output ekonomi. Lebih lanjut, Stern mengkolaborasikan teori
pertumbuhan endogen dengan adanya energi, sehingga dihasilkan persamaan sebagai berikut

(Q1,…., Qm)’ = f(A, X1, …, Xn, E1, ….., Ep)
Dimana Q1 adalah output (seperti barang manufaktur dan jasa), X1 adalah input (seperti
kapital, tenaga kerja, dll), E adalah input energi (seperti batu bara, minyak, bahan bakar dll), dan
A adalah tingkat teknologi yang diukur dengan factor productivity.
Lebih lanjut, Stern (2016) melakukan uji empiris yang menghasilkan adanya kointegrasi
anatara PDB, kapital, tenaga kerja, dan energi. Uji kausalitas menunjukkan bahwa variabel kapital,
labor, dan energi secara signifikan menjelaskan output.
Dalam konsep ini, perubahan teknologi menyebabkan proses produksi yang lebih murah.
Terciptanya efisiensi merupakan hasil dari perkembangan dalam teknologi. Fenomena ini disebut
autonomus energy efficiency. Ketika terjadi autonomus energy efficiency yang disebabkan oleh


inovasi dalam teknologi, terjadi penurunan permintaan terhadap total energi, sehingga biaya yang
awalnya dikeluarkan untuk penggunaan energi dapat dimanfaatkan. (Stern, 2016)
Lorde et al. (2010), Zachariadis dan Pashourotidou (2007l), Erda et al. (2008), Ziramba
(2009), Tang (2008), Odhiambo (2009), dan Saidi et al (2017), dengan berbagai wilayah studi
menghasilkan bahwa terdapat hubungan dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi
energi. Hasil ini diuji dengan beberapa metode kuantitatif seperti VECM, kointegrasi, Granger
Causality, dengan data time series dari berbagai negara.

Ulasan
Howland J, et al (2009) melalui lembaga riset ENE (Environment Northeast) melakukan
studi di New England, dengan menghitung dampak makroekonomi yang muncul dari peningkatan
investasi pada program efisiensi energi. Penelitian ini melakukan simulasi dengan multi-state
forcasting model oleh Regional Economics Model, Inc. Hasilnya menunjukkan bahwa investasi

pada program efisiensi energi, secara signifikan meningkatkan keuntungan ekonomis hingga 20
tahun kedepan.
Pada investasi program efisiensi listrik, sebesar $16.8 miliar, model yang dibuat mengukur
dampak makroekonomi yang ditimbulkan pada enam negara bagian, meningkatkan aktivitas
ekonmoi sbesar $162 miliar. Lebih lanjut dijelaskan, sebesar 61% dari keuntungan tersebut (99

miliar) akan berkontribusi pada Produk Nasional Bruto, dimana $73 miliar terdistribusi pada

pekerja melalui peningkatan pendapatan rumah tangga, serta menciptakan lapangan kerja
sebanyak 767.000 per tahun.
Estimasi 15 tahun kedepan pada investasi program efisiensi gas alam sebesar $4.1 miliar,
akan meningkatkan aktifitas ekonomi sebesar $51 miliar, Produk nasional bruto sebesar $31
miliar, dan pendapatan rumah tangga $22 miliar dolar, serta menciptakan 208.000 lapangan
pekerjaan. Sementara investasi pada efisiensi energi minyak sebesar Keuntungan investasi
terhadap program efisiensi energi, dapat dilihat pada tabel dibawah. Studi ini menunjukkan bahwa
investasi pada program efisiensi energi dapat menjadi mesin perekonomian dengan penghematan,
peningkatan aktivitas ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja dalam jangka panjang. Biaya energi
yang rendah berdampak pada meningkatnya biaya konsumsi untuk hal lain. Lebih lanjut, biaya
energi yang lebih rendah juga meminimalisir biaya bisnis, meningkatkan daya saing pekerja.

Gambar 2 Rangkuman Dampak Efisiensi Energi terhadap PDB di New England (Howland J et al. 2009)

Hasil dari pemodelan dan skenario yang dilakukan menunjukkan, dengan investasi pada
program efisiensi energi, tercipta keuntungan ekonomis yang luas secara signifikan. Peningkatan
GDP, penghematan biaya input, dan yang lebih krusial adalah pengurangan emisi karbon. Efisiensi
energi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, juga sebagai salah satu jawaban dari dilema

kerusakan lingkungan yang muncul sebagai trade off dari pertumbuhan ekonomi.
Laporan oleh Vivid Economics (2013) mengemukakan, efisiensi energi berkontribusi
positif pada pertumbuhan ekonomi di 28 negara OECD selama 3 dekade terakhir. Walaupun
fenomena ini dapat berbeda antara negara maju dan negara berkembang, disis lain negara

berkembang memiliki potensi yang lebih besar dalam efisiensi energi, serta tentunya pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi pula dibandingkan negara maju.
Efisiensi energi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dengan mengurangi jumlah
energi yang dibutuhkan per unit output, mengurangi permintaan terhadap energi, dan
mempengaruhi harga. Dengan begitu, industry dan negara yang efisien dalam penggunaan energi
akan memiliki keunggulan kompetitif dalam biaya (McKinsey 2011, dalam Vivid Economics
2013).

Gambar 3 Peningkatan efisiensi energi berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang
(vivid economics, 2013)

Simulasi yang dilakukan dengan data panel pada 28 negara OECD menunjukkan
menunjukkan tingginya pertumbuhan ekonomi yang dicapai melalui efisiensi energi. Bahkan
melebihi proyeksi pertumbuhan ekonomi negara – negara tersebut. 1 persen peningkatan efisiensi
energi, meningkatkan 0.1 persen pertumbuhan ekonomi pada tahun yang sama. Gambar 5

menunjukkan skenario pada 28 negara maju, dengan asumsi terjadi satu persen efisiensi energi
setiap tahun. Hasilnya, pada tahun 2030, meningkatkan GDP percapita lebih tinggi 2.26% dari
yang diproyeksikan.

Penutup
Perkembangan teori tentang pertumbuhan ekonomi memiliki dasar pemikiran yang
beragam, namun terdapat keterkaitan satu sama lain. Pada dasarnya, sejak ditemukannya konsep
GDP oleh Kuznets pada tahun 1930an, teori pertumbuhan ekonomi menjadi lebih konkrit. Adapun
perkembangan teori ini didasarkan pada argumentasi ekonom yang saling bertentangan. Masing –
masing teori, menuai kritik dan menghasilkan berbagai teori dan konsep baru.
Salah satu alternatif pemikiran yang lebih konkrit adalah dengan memasukkan unsur energi
kedalam pemodelan kuantitatif produksi. Sejak tahun 2000an, mulai banyak penelitian yang
mengkaji hubungan antara konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi. Hasilnya menunjukkan
adanya hubungan dua arah antara kedua variabel.
Terjadinya efisiensi energi terjadi karena adanya kemajuan dan inovasi pada teknologi.
Fenomena ini diistilahkan autonomus energy efficiency. Sementara, inovasi dan kemajuan
teknologi tidak akan muncul tanpa adanya peningkatan kualitas sumberdaya manusia, akses
terhadap ilmu. Artinya, teori efisiensi ini berhubungan dengan faktor yang mendasari teori – teori
pertumbuhan sebelumnya, khususnya teori pertumbuhan eksogen Solow dan pertumbuhan
endogen Paul Romer.

Efisiensi energi memiliki beberapa keuntungan yaitu (1) mengurangi biaya input per
output, (2) memungkinkan terjadinya savings yang lebih tinggi sebagai akumulasi sumber
keuangan atau modal, (3) mengurangi harga sehingga berpotensi meningkatkan output riil, (4)
mengurangi permintaan terhadap energi dan memungkinkan konsep sustainability, (5)
meminimalisir kerusakan lingkungan yang selama ini menjadi konsekuensi dari tingginya
pertumbuhan ekonomi, (6) Menciptakan keunggulan kompetitif bagi industry dan negara yang
melakukan efisiensi.

Rujukan
Bergstrom, J. C., & Randall, A. (2016). Resource economics: an economic approach to natural
resource and environmental policy. Edward Elgar Publishing.
Blanchard, O. J., & Fischer, S. (1989). Lectures on macroeconomics. MIT press.
Daly, H. (2013). A further critique of growth economics. Ecological economics, 88, 20-24.

Erdal, G., Erdal, H., & Esengün, K. (2008). The causality between energy consumption and
economic growth in Turkey. Energy Policy, 36(10), 3838-3842.
Howland, J., Murrow, D., Petraglia, E. L., & Comings, T. (2009). Energy efficiency: Engine of
economic growth. ENE, October .
Lavrov, E. and Kapoguzov, E. (2006), Economic growth: theories and problems, OmSU, Omsk.
Lorde, T., Waithe, K., & Francis, B. (2010). The importance of electrical energy for economic

growth in Barbados. Energy Economics, 32(6), 1411-1420.
Mankiw, N. G., & Romer, D. (Eds.). (1991). New Keynesian Economics: Coordination failures
and real rigidities (Vol. 2). MIT press.
McDermott, J. (1999), Mercantilism and Modern Growth. Journal of Economic Growth, Vol. 4,
Issue 1, pp.55-80.
Odhiambo, N. M. (2009). Energy consumption and economic growth nexus in Tanzania: An
ARDL bounds testing approach. Energy Policy, 37(2), 617-622.
Osipian, A. (2007), Economic Growth: Education as a Factor of Production , KEHI Press,
Kramatorsk.
Perman, R. (2003). Natural resource and environmental economics. Pearson Education.
Piętak, Ł. (2014). Review of theories and models of economic growth. Comparative Economic
Research, 17(1), 45-60.
Romer, D., & Chow, C. (1996). Advanced macroeconomic theory. Mcgraw-hill.
Saidi, K., Rahman, M. M., & Amamri, M. (2017). The causal nexus between economic growth
and energy consumption: new evidence from global panel of 53 countries. Sustainable Cities and
Society.
Sharipov, I. (2015). Contemporary Economic Growth Models And Theories: A Literature
Review. CES Working Papers, 7(3), 759.
Stern, D. I., & Cleveland, C. J. (2004). Energy and economic growth. Encyclopedia of energy, 2,
35-51.

Tang, C. F. (2008). A re-examination of the relationship between electricity consumption and
economic growth in Malaysia. Energy Policy, 36(8), 3077-3085.
Vivid Economics. (2013). Energy efficiency and economic growth ; Report prepared for the
climate institute. London : Vivid Economics
Zachariadis, T., & Pashourtidou, N. (2007). An empirical analysis of electricity consumption in
Cyprus. Energy Economics, 29(2), 183-198.
Ziramba, E. (2009). Disaggregate energy consumption and industrial production in South
Africa. Energy Policy, 37(6), 2214-2220.