LAPORAN PENELITIAN DINAMIKA PERKEMBANGAN pesantren

LAPORAN PENELITIAN
DINAMIKA PERKEMBANGAN PABRIK GULA CEPIRING PADA TAHUN
1870-1957 DAN PENGARUHNYA BAGI KONDISI SOSIAL EKONOMI
MASYARAKAT

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah metodologi penelitian sejarah
Oleh:
Siti Qomariah (3101414044)

PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah politik dan ekonomi di Indonesia pada abad 19 banyak diwarnai
oleh perkembangan dan perubahan dalam kebijakan pemerintah kolonial yang
berkaitan dengan perkebunan. Pulihnya perekonomian Belanda pada abad ke 19
menandai percepatan pertumbuhan ekonomi Belanda, Setelah memperoleh

kemapanan, kemudian bangsa Belanda berpikir untuk meluaskan investasinya.
Pemerintah kolonial mengincar perkebunan, oleh karena itu pada waktu yang
cukup singkat jumlah perkebunan semakin bertambah terutama di Jawa dan
Sumatra. Perkebunan yang berkembang di Jawa dan Sumatra yaitu perkebunan
kopi, tembakau, tebu dan lain-lain.
Jawa merupakan pulau yang banyak memberikan keuntungan bagi
penduduknya, terutama keuntungan yang berasal dari perkebunan-perkebunan
yang ada di Jawa. Keuntungan dari Jawa adalah esensial. Keuntungan ini tidak
hanya harus bisa menutup biaya-biaya administrasi di Jawa, tetapi juga diperlukan
untuk mendukung posisi keuangan di Negeri Belanda yang sedang memburuk.
Sebagai akibat perang-perang Napoleon hutang dalam negeri Belanda dan
pembayaran bunga atas hutangnya itu membumbung tinggi.
Pada tahun 1830 Pemerintah Hindia-Belanda mengangkat Gubernur
Jenderal yang baru untuk Indonesia yaitu Johannes Van den Bosch, yang diserahi
tugas utama untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama
sistem pajak tanah berlangsung .Van den Bosch diserahi tugas yang tidak mudah,
maka Van den Bosch mempunyai gagasan yaitu sistem tanam paksa
(Cultuurstelsel).
Persepsi masyarakat mengenai masa penjajahan Belanda pada umumnya
masih diwarnai dengan stigma kekejaman yang berakibat tergambarnya sebuah

lukisan sejarah dengan warna hitam-putih yang menarik garis pemisah antara
penjajah dengan segala perbuatannya yang buruk dan bangsa Indonesia yang
serba putih dan penuh derita akibat penjajahan. Gambaran paling hitam mungkin
adalah tanam paksa (Cuultuurstelsel), yaitu suatu eksploitasi Kolonial yang

menguras habis kekayaan negeri dan memeras tuntas tenaga rakyat Indonesia
melalui kerja paksa menanam

tanaman ekspor

yang

berakibat terjadinya

kelaparan, kematian, dan kemiskinan yang terjadi dimana-mana, sementara
Pemerintah kolonial menumpuk kekayaan yang berlimpah.
Praktek pelaksanan tanam paksa tidak efisien, karena banyak terjadi
pemborosan dalam tenaga kerja, karena Pemerintah kolonial dengan mudah
mengarahkan komando lewat kepala rakyat. Seandainya pemerintah memperoleh
tenaga kerja yang diperlukan, maka pemerintah memperoleh tenaga kerja yang

diperlukan dengan cara membeli jasa-jasa tenaga kerja yang ada di pasaran tenaga
kerja bebas.
Pada masa Tanam paksa (Cultuurstelsel) tanaman yang ditentukan oleh
pemerintah kolonial Belanda adalah tanaman yang berorientasi pada produk
ekspor untuk memenuhi pesanan dari Negara-negara di Eropa yang mempunyai
harga tinggi di pasaran dunia di antaranya adalah tanaman tebu. Tanaman tebu
merupakan salah satu tanaman ekspor yang banyak mendatangkan keuntungan
bagi Pemerintah kolonial Belanda, sehingga Pemerintah kolonial Belanda
berusaha untuk mendapatkan barang-barang tersebut dan pemerintah menerapkan
sistem tanam paksa dalam usaha untuk mendapatkan barang-barang tersebut.
Pada sistem Tanam paksa pemerintah Belanda memaksakan penduduk
untuk bekerja dan melepaskan tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor yang
menguntungkan bagi pemerintah kolonial Belanda dan merugikan masyarakat,
dijalankannya tanam paksa terpaksa merugikan kepastian hukum dan kebebasan
orang. Pada sistem Tanam paksa, tanaman tebu secara berangsur-angsur
menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan perekonomian bangsa
Indonesia. Kemudian pada tahun 1870 dikeluarkannya Undang-Undang Agraria
tahun 1870 yang melarang bangsa asing membeli tanah negara untuk jangka
waktu paling lama 75 tahun. Hal ini membuka peluang berkembangnya
perkebunan swasta di Indonesia.(Notosusanto: 2007: 371).

Industri gula di Indonesia mengeksploitasi tanah dan industri tenaga kerja.
Industri ini menyewa angkatan kerjanya kebanyakan dengan dasar yang sederhana
dari penduduk pedesaan Jawa dan menyewa tanahnya yang menjadi tempat
penanaman tebu secara langsung dikelola oleh pabrik-Pabrik Gula, dari para

petani dengan sebuah dasar yang menyaksikan gula berotasi dengan beras dan
tanaman-tanaman petani yang lain.
Periode 1830-an dan 1840-an merupakan tahap awal perkembangan
penanaman tebu ketika sejumlah percobaan lapangan dilakukan untuk
menemukan daerah-daerah yang cocok untuk ditanami tebu. Tebu dapat ditanam
di lahan-lahan yang mempunyai faktor-faktor tertentu untuk penanam tebu.
Dengan adanya faktor-faktor tertentu, daerah yang dipilih untuk penanam tebu
adalah bertempat di pantai utara pulau Jawa dari Cirebon di Jawa Barat hingga
Besuki di Jawa Timur dan beberapa daerah lain. Selama puluhan tahun, gula di
pulau Jawa diibaratkan sebagai “gabus tempat pulau Jawa mengapung” yang
artinya perekonomian kolonial Belanda perpusat di pulau Jawa, karena ekspor
gula dari pulau Jawa sebelun tahun 1930-an merupakan seperempat dari
penghasilan Pemerintah Belanda.
Pengenalan budidaya gula dengan paksa di Comal mengandung arti bahwa
kebutuhan hidup buruh yang banyak itu harus disediakan penduduk lokal. Pada

1835 sekitar 3.500 rumah tangga atau hampir 90% dari semua rumah tangga di
lingkaran (kring) Pabrik Gula Comal, terlibat dalam pekerjaan tersebut. Pada
tahun berikutnya jumlah ini dikurangi sampai kira-kira 2.700 rumah tangga lain
pun dilibatkan. Ternyata

menurut perhitungan, jumlah penduduk disana terlalu

sedikit untuk mengerjakan perkebunan seluas itu sekaligus dengan mesin
penggilingnya. Akibatnya, pada musim puncak kesibukan pabrik sulit
mendapatkan tenaga kerja.
Setelah ditetapkannya Undang-Undang Agraria, ditetapkan pula UndangUndang Budidaya Tebu (wet of de zuiker cultuur) yang mengganti tanam paksa
dengan tanam bebas, dan semenjak adanya Undang-Undang Budidaya Tebu, gula
mengalami perkembangan yang pesat karena termasuk barang dagangan ekspor
yang penting di Hindia Belanda pada waktu itu. Pada masa pendudukan Jepang
(1942-1945) penanaman tebu dibatasi. Penggunaan lahan diutamakan untuk
ditanami tanaman padi dan tanaman pangan lainnya, banyak Pabrik Gula yang
diubah fungsinya untuk usaha lain sehingga pada masa ini produksi gula
mengalami penurunan.

Pada masa awal kemerdekaan, sistem perekonomian di Indonesia belum

stabil yang ditandai dengan adanya resesi ekonomi dan inflasi perekonomian.
Mulai tahun 1957 pemerintah republic Indonesia melalui menteri pertahanan RI
saat itu melakukan pengambilalihan semua perusahaan milik Belanda, selanjutnya
berdasarkan UU No 86 tahun 1958 semua peruasahaan perkebunan milik Belanda
dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan
produksi gula dibagi dalam tiga kategori besar, yaitu:
1. Pada tahun 1930-1940 menggambarkan keadaan sebelum dan setelah perang.
2. Tahun 1950-1958 menggambarkan keadaan setelah perang sampai diambilalih
(nasionalisasi perusahaan pada akhir 1957).
3. Tahun 1966-1970 menggambarkan permulaan Orde Baru. Dalam kurun waktu
ini terjadi reorganisasi, pembubaran BPU dan pembentukan PNP yaitu pada tahun
1968. Tahun 1971-1975 meggambarkan keadaan reorganisasi sampai dimulainya
program TRI. (Diniyah, Mufiddatut. 2011. Sejarah perkembangan Pabrik Gula
Cepiring dan pengaruhnya terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Kendal
tahun 1975-1997. Semarang: Unnes)
Keberadaan Pabrik Gula Cepiring ditengah-tengah masyarakat desa
Cepiring secara langsung maupun tidak langsung membawa pengaruh ayng sangat
besar bagi masyaraka setempat.pengaruh tersebut timbul akibat adanya interaksi
anara manusi dengan lingkungannya. Suatu kegiatan disebut positif bila

mempunyai manfaat bagi manusia, dan sebaliknya dikatakan negative apabila
kegiatan tersebut banyak menimbulkan kerugian.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji
bagaimanakah perkembangan Pabrik Gula Cepiring pada masa itu. Untuk itu
judul yang akan di ambil dalam penelitian ini adalah “DINAMIKA
PERKEMBANGAN PABRIK GULA CEPIRING TAHUN 1870-1957 dan
PENGARUHNYA BAGI KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang tersebut, maka diketahui beberapa permasalahan
sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah berdirinya Pabrik Gula Cepiring?
2. Bagaimanakah perkembangan Pabrik Gula Cepiring sebelum tahun 1957
3. Bagaimana proses nasionalisasi Pabrik Gula Cepiring?
4. Apa pengaruh Pabrik Gula cepiring terhadap kondisi sosial ekonomi
masyarakat sebelum dinasionalisi?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui sejarah berdirinya Pabrik Gula Cepiring.
2.


Untuk

mengetahui

perkembangan

Pabrik

Gula

Cepiring

sebelum

dinasionalisasi.
3. Untuk mengetahui proses nasionalisasi Pabrik Gula cepiring
4. Untuk mengetahui pengaruh Pabrik Gula cepiring terhadap kondisi sosial
ekonomi masyarakat sekitar sebelum dinasionalisasi
D. Manfaat Penelitian
Diharapkan dengan penelitian ini dapat diambil manfaat untuk kemajuan bersama

antara lain:
1. Manfaat teoretis
a.

Menambah

pengetahuan

bagi

pembaca

untuk

mengetahui

sejarah

perkembangan Pabrik Gula Cepiring dari tahun 1870-1957.
b. Menambah khasanah penulisan sejarah ekonomi pada khususnya dan sejarah

nasional pada umumnya.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
a. Untuk menambah pengetahuan mengenai Pabrik Gula Cepiring
b. Sebagai kajian sejarah untuk penelitian selanjutnya mengenai Pabrik Gula
Cepiring.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian inii perlu adanya pembatasan ruang lingkup spasial dan ruang
lingkup temporal agar tidak terjadi perluasan dalam pembahasan masalah. Ruang
lingkup spasial adalah batasan mengenai tempat terjadinya suatu peristiwa

sejarah. Ruang lingkup spasial dalam penulisan laporan penelitian ini adalah
Pabrik Gula Cepiring. Ruang lingkup temporal adalah batasan mengenai waktu
yang dijadikan penulisan sejarah. Ruang lingkup temporal dalam penulisan ini
adalah mengambil tahun tahun sebelum dilakukaknnya nasionalisasi Pabrik Gula
Cepiring yakni sebelum tahun 1957.
F. Tinjauan Pustaka
Buku yang digunakan adalah buku “Dibawah Asap Pabrik Gula:
Masyarakat Desa di Pesisir Jawa Sepanjang Abad ke-20. Karya Hiroyosi Kano
yang mempunyai tebal buku 313 halaman yang diterbitkan oleh Gadjah Mada

Univervsiti Press. Buku ini merupakan suatu hasil penelitian yang dilakukan di
daerah bekas Distrik atau Kawedanan Comal yang berada di Pantai Utara Jawa
Tengah. Dalam buku ini dikatakan bahwa Desa Comal muncul pada tahun 1833.
Pabrik Gula Comal merupakan milik R. Addison yang didirikan pada tahun 1833,
berdirinya Pabrik Gula ini didukung dengan adanya lahan tebu seluas 600 bau dan
1800 pekerja yang sebagian besar tinggal didaerah Comal.
Comal merupakan Pabrik Gula kedua yang berada di Karisidenan Tegal
setelah Pabrik Gula Pangka. Penemuan pembudidayaan gula merupakan hal yang
paling menarik karena dari sini diketahui asal mula gula di Comal. Pada tahun
1764 Gubernur Pesisir Utara Jawa mengadakan suatu perjalanan darat yang
dimulai dari Semarang sampai ke Tegal, setelah mengunjungi Kaliwungu, Kendal,
Weleri kemudian tiba di Batang. Dalam perjalanan dari Ulujami ke Pemalang,
Gubernur mengunjungi Pabrik Gula Babakulang. Pada tahun 1719 dan 1755
Pabrik Gula di Pesisir Jawa jumlahnya berkurang sehingga mencapai jumlah
terendah yaitu 7 pabrik, salah satu diantaranya berlokasi di Batang. Sehingga pada
tahun 1750 penguasa pusat mengeluarkan dekrit bahwa pabrik-pabrik di Batang
harus terus berjalan , karena areal tersebut menghasilkan gula tebu yang sangat
baik.
Buku ini digunakan karena dalam buku ini menceritakan tentang Pabrik
Gula yang ada di pesisir Pulau Jawa khususnya Comal, dalam buku ini membahas
Comal yang hampir mempunyai kesamaan dengan Pabrik Gula Cepiring, karena
disini juga dibahas berkurangnya jumlah Pabrik Gula. Hal ini sama dengan Pabrik

Gula Cepiring yang mengalami penutupan yang kemudian Pabrik Gula Cepiring
diaktifkan kembali setalah sekian lama tutup.
Buku selanjutnya yang digunakan adalah Industri Pabrik Gula di
Kabupaten Kendal karya Rachmat susatyo yang diterbitkan oleh Kipas. Buku ini
secara lengkap membahas mengenai keadaan alam kabupaten Kendal pada masa
kolonial, kebijaka-kebijakan pemerintah kolonial terkait dengan industry gula dan
pengaruh industry gula terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Buku ini
menjelaskan bahwa sistem Tanam paksa menyebabkan bertambahnya perjanjianperjanjian antara orang-orang “Indonesia” mengenai penyerahan tanah untuk
sementara waktu. Karena pemilik Pabrik Gula tidak diperkenankan memiliki
tanah sendiri, maka mereka menyewa dari penduduk setempat, terutama yang
berdekatan dengan lokasi pabrik. Mengenai sewa tanah, suatu hal yang tidak asing
lagi bagi penduduk desa. Sejak dahulu penduduk mengenal persewaan tanah
pertanian antara mereka, walaupun persewaan itu biasanya jarang terjadi.
Penyewaan tanah komunal tidak diperbolehkan adat, demikian juga penjualannya.
Namun keadaan ini tidak berlangsung lama, di bawah stelsel Tanam paksa timbul
perubahan besar dalam pemakaian tanah.
Terutama akibat dari penyewaan tanah dengan paksa untuk ditanami tebu
dan nila. Selain itu, di daerah-daerah tempat penanaman tebu dipusatkan, terjadi
pergeseran pemakaian tanah antara desa sendiri. Pergeseran ini mengenai
pertukaran tanah, yang timbul karena paksaan. Pergeseran penggunaan tanah
semacam ini juga terjadi di daerah tebu di Kabupaten Kendal.
Selanjutnya jurnal yang digunakan adalah Journal of Indonesian History,
Vol. 3 (1) tahun 2014 Hlm. 34-41. Jurnal ini ditulis oleh Lina farida dengan judul
“Pabrik Gula Cepiring Kendal Pasca Nasionalisasi Tahun 1957-2008”. Jurnal ini
digunakan karena membahas mengenai proses nasionalsiasi Pabrik Gula Cepiring.
Nasionalisasi terhadap perusahaan asing ini juga sebagai salah satu upaya
pemerintah untuk meredam amarah rakyat, dan bertujuan untuk meminimalisir
terjadinya kesenjangan ekonomi rakyat. Kebijakan ini diambil dengan maksud
agar negara-negara tujuan investasi dapat membangun kembali struktur
perekonomiannya akibat dominasi modal asing. Salah satu jalan keluar yang

dipikirkan untuk mengakhiri dominasi perusahaan perusahaan Belanda ialah
dengan jalan melakukan nasionalisasi.
Pemerintah melakukan langkah langkah dalam nasionalisasi sejak tahun
1951 dengan membentuk Pusat Penjualan Gula Indonesia (PPGI), Langkah
selanjutnya adalah aksi mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja pabrik. Aksi
mogok kerja ini dilakukan pada tanggal 1 Desember 1957 selama 24 jam yang
menyebabkan

perusahaan-perusahan

Belanda

mengalami

kerugian

Rp

100.000.000. kemudian pada tanggal 5 Desember 1957 pemerintah Indonesia juga
melakukan pembekuan seluruh transfer keuntungan perusahaan Belanda.
G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
sejarah, karena penelitian ini berhubungan dengan kenyataan yang terjadi pada
masa lampau. Pengertian metode penelitian sejarah adalah suatu proses sejarah
yang mengacu dan mengalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau
atau sumber sejarah Sedangkan menurut Garragan dalam Wasino 2007:8 metode
sejarah atau penelitian sejarah adalah suatu kumpulan yang sistematis dari prinsipprinsip dan aturan-aturan yang dimaksudkan untuk membantu dengan secara
efektif dalam pengumpulan bahan-bahan sumber sejarah dalam menilai atau
menguji sumber-sumber itu secara kritis, dan menyajikan suatu hasil sinthese
(pada umumnya dalam bentuk tertulis) hasil-hasil yang dicapai.
Adapun tahap-tahap yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Heuristik
Heuristik merupakan tahap dimana peneliti mengumpulkan berbagai jejakjejak masa lalu. Jejak sejarah sebagai peristiwa masa lalu merupakan sumbersumber sejarah sebagai kisah (Wasino,2007: 18).
Sumber sejarah dapat diklasifikasikan menjadi sumber primer dan sumber
sekunder. Sumber primer adalah suatu sumber sejarah yang berasal dari
keterangan yang di peroleh secara langsung oleh orang yang terlibat secara
langsung, orang yang tidak terlibat secara langsung, tetapi menyaksikan,
mendengar dan ikut merasakan terjadinya suatu peristiwa tersebut dengan mata
kepalanya sendiri.

a. Sumber Primer
Sumber primer merupakan sumber sejarah yang di peroleh dari kesaksian
langsung dari para pelaku, saksi yang terlibat langsung dalam peristiwa sejarah
tersebut. Sumber primer yang diperoleh yaitu dengan menggunakan:
1) Studi dokumen yang berupa arsip untuk memperoleh data berupa dokumen
yang berkaitan dengan masalah yang diangkat seperti tentang kondisi sosial dan
ekonomi masyarakat Cepiring secara keseluruhan.
b. Sumber sekunder
Sumber sekunder adalah sumber sejarah yang diperoleh dari hasil
keterangan dari orang lain yang tidak terlibat secara langsung dalam peristiwa
tersebut. Sumber sekunder diperoleh dari orang yang dekat dengan pelaku sejarah
dan orang yang tidak terlibat langsung dengan jalannya suatu peristiwa sejarah
seperti keluarga para pelaku dan saksi sejarah.
2. Kritik sumber
Kritik sumber adalah penerapan dari sejumlah aturan dan prinsip-prinsip
untuk menguji keaslian (otentitas) dan kebenaran (kredibilitas) sumber-sumber
sejarah dan mengembalikan sejauh mungkin pada bentuk aslinya dan nilai
pembuktian yang sebenarnya. Kritik sumber dilakukan ketika sejarawan telah
mendapatkan sumber-sumber penulisan untuk penelitian, sebelum sumber itu
digunakan. Maka, peneliti atau sejarawan harus mengatahui keaslian dan
kebenaran sumber.
Kritik sumber dibagi menjadi dua tahap yaitu kritik ekstern dan kritik intern.
a. Kritik ekstern
Merupakan penilaian sumber dari aspek fisik dari sumber tersebut dan
bertujuan untuk mengetahui atau menetapkan keaslian sumber yang dilakukan
terlebih dahulu sebelum kritik intern. Ada tiga pertanyaan penting untuk dapat
diajukan dalam proses kritik ekstern yaitu, adakah sumber itu memang sumber
yang kita kehendaki?, adakah sumber itu asli atau turunan?, adakah sumber itu
utuh atau telah di ubah (Wasino 2007:51). Sumber-sumber ataupun dokumen yang
diperoleh kemudian diuji keasliannya, untuk selanjutnya dapat diuji keasliannya.
b. Kritik intern

Merupakan penilaian sumber dari segi isi yang bertujuan untuk
mengetahui

kebenaran

sumber.

Mengetahui

kebenaran

sumber

harus

memperhatikan bagaimana nilai pembuktian yang sebenarnya dari isi dan
menetapkan keakuratan dan dapat dipercaya dari sumber itu.
3. Interpretasi
Tahap ini merupakan tahap untuk menghubungkan dan mengaitkan antara
satu fakta dengan fakta lain sehingga menghasilkan satu kesatuan yang bermakna.
Dalam proses ini tidak semua fakta dapat dimasukan tetapi harus dipilih yang
relevan yang sesuai dengan gambaran dalam cerita yang disusun. Dalam
menginterpretasikan penelitian dalam bentuk karangan sejarah ilmiah, sejarah
kritis perlu diperhatikan susunan karangan yang logis menurut urutan kronolgis
yang sesuai dengan tema yang jelas dan sudah dimengerti.
4. Historiografi
Hisroriografi merupakan tahap akhir dalam penulisan sejarah. Penulisan
sejarah dari hasil penelitian dan interpretasi dengan memperhatikan prinsipprinsip realisasi atau cara membuat urutan peristiwa, kronologi atau urutan waktu,
kausalitas atau hubungan sebab akibat dan kemampuan imajinasi yaitu
kemampuan untuk menghubungkan peristiwa yang terpisah-pisah menjadi suatu
rangkaian
H. Sistematika Penulisan
Sistematika dari penulisan laporan penelitian yang berjudul “Dinamika
Perkembangan Pabrik Gula Cepiring Tahun 1835-1957 Dan Pengaruhnya Bagi
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat” adalah sebagai berikut:
BAB I, merupakan bab pendahuluan dalam penulisan laporan penelitian ini. Bab
pendahuluan ini mencakup tentang, Latar Belakang Masalah, Perumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Ruang
Lingkup Penelitian, Metode dan Sumber Penelitian, dan yang terakhir adalah
Sistematika Penulisan.
BAB II, menjelasakan mengenai gambaran umum Kabupaten Kendal dan awal
mula industry gula di pulau Jawa.
BAB III, menjelaskan mengenai Sejarah Pabrik Gula Cepiring.

BAB IV, menjelasakan mengenai Pabrik Gula Cepiring sebelum tahun 1957.
BAB V, bab ini menjelasakan mengenai proses nasionalisasi Pabrik Gula
Cepiring.
BAB VI, bab ini memaparkan penjelasan mengenai pengaruh Pabrik Gula
Cepiring bagi kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar.
BAB VII, merupakan bab terakhi. Bab ini berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
GAMBARAN UMUM KABUPATEN KENDAL
A. Letak Geografi dan Keadaan Alam
Kendal merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah, terletak
sekitar 29 km arah barat dari Kota Semarang. Letak wilayah antara titik koordinat
1090 40 – 1100 – 18’ Bujur Timur dan 60 32 28 ’ – 70 24’ Bujur Barat, dengan
batas-batas wilayah utara Laut Jawa, timur Kotamadya Dati II Semarang, selatan
Kabupaten Dati II Semarang dan Kabupaten Dati II Temanggung, barat
Kabupaten Dati II.
Sebelum tahun 1853, di Kabupaten Kendal terdapat tujuh distrik, yang
masing-masing terdiri dari beberapa desa. Ketujuh distrik itu ialah: Kendal, Truka,
Perbuan, Kaliwungu, Selokaton, Cangkiran, dan LimbanganJumlah desa dari tiap
distrik dari tahun 1837 sampai 1845 mengalami perubahan, berupa penambahan
atau pengurangan. Pada tahun 1837 distrik Kendal terdiri dari 102 desa, kemudian
pada tahun 1845 jumlahnya bertambah menjadi 107 desa. Distrik Truka pada
tahun 1837 terdiri dari 129 desa, pada tahun 1845 bertambah menjadi 156 desa.
Distrik Perbuan dari 111 desa pada tahun 1837, telah berkurang menjadi 83 desa
pada tahun 1845. Distrik Kaliwungu pada tahun 1837 terdiri dari 132 desa, pada
tahun 1845 berkurang menjadi 102 desa. Distrik Selokaton pada tahun 1837
terdiri dari 107 desa, pada tahun 1845 bertambah menjadi 164 desa. Distrik
Cangkiran pada tahun 1837 terdiri dari 40 desa, pada tahun 1845 menjadi 55 desa.
Distrik Limbangan pada tahun 1837 terdiri dari 42 desa, pada tahun 1845 menjadi
54 buah desa. Untuk jelasnya dapat dilihat dari Tabel berikut ini:

Tabel Perubahan Jumlah Desa dalam Distrik-Distrik di Kabupaten Kendal (1837
dan 1845)

Sumber : Djoko Suryo, Sosial and Economic Life in Rural Semarang Under
Kolonial Rule in The Later 19

th

Century ( Industri Gula di Kabupaten Kendal,

Desember 2007). hlm.2
Topografi Kabupaten Kendal terdiri dari dua dataran, dataran rendah di
sebelah utara dan pegunungan di sebelah selatan. Daerah dataran rendah ditanami
tanaman pangan, terutama padi; sedangkan daerah pegunungan dengan jenis
tanaman keras, terutama kopi. Pegunungan ini merupakan rangkaian perbukitan
yang memanjang dari daerah Pekalongan. Di daerah yang memiliki ketinggian
antara 300 sampai 400 meter ini, terdapat hutan jati dan juga tanah yang belum
diolah. Ada bagian pegunungan yang merupakan perbukitan yang sampai ke laut,
dan mempunyai kecuraman yang besar. Pantai yang curam ini masih berhutan,
dahulu hutannya lebih besar dan disebut hutan Weleri sesuai dengan nama desa di
dekatnya.
Pada masa Sistem Tanam paksa diterapkan di Jawa Kabupaten Kendal
merupakan satu-satunya daerah di Karesidenan Semarang yang ditanami tebu
perkebunan pemerintah. Selain tebu tanaman perkebunan lainnya adalah kopi dan
nila. Sesudah Sistem Tanam paksa dihapuskan, di daerah Kendal Selatan, banyak
perkebunan swasta untuk ekspor, seperti karet, kopi, teh, kina, cacao, lada, pala
dan panili. Tenaga kerja dari perkebunan ini cukup banyak yang berasal dari
daerah sekitarnya.
B. Awal Industri Gula di Jawa

Dari beberapa sumber dapat dipastikan bahwa pembuatan gula tebu di
Jawa sudah tua, tetapi usaha itu bukanlah merupakan suatu perusahaan.
Pembuatan gula pada waktu itu masih merupakan usaha rakyat yang masih
bersifat merupakan kerumahtanggaan (home insutry) dan dikerjakan Dengan alatalat tradisional yang sederhana. Hal ini sesuai dengan struktur kehidupan ekonomi
Jawa, yang sampai kurang lebih pertengahan abad ke-19 masih merupakan
kehidupan innatura dengan sistem kerumahtanggaan yang tertutup.Meskipun di
daerah pantai utara sejak lama sudah ada perdagangan yang bersifat internasional,
akan tetapi hal itu tidak begitu berpengaruh terhadap sistem kehidupan ekonomi
petani sebagai keseluruh-an. (Suharjo Hatmosuprobo dalam Susatyo: 6)
Tebu ditanam di Jawa sejak zaman dahulu, dan mungkin dibawa oleh
orang-orang Hindu (India-pen) atau Arab. Kedatangan orang-orang Belanda ke
Jawa masih belum membicarakan usaha gula. Akan tetapi, ketika perdagangan
gula dari Cina, Siam, Formosa, dan Benggalen (India) menghasilkan keuntungan
besar, sedangkan produksi gulanya tidak dapat memenuhi permintaan pasar. Maka
Kumpeni memutuskannya membawa dari luar negeri mesin-mesin penggilingan
tebunya di daerah-daerah sekitar Batavia. Pemilik pabrik biasanya orang Cina,
dan Kumpeni membeli seluruh produksi dengan harga yang ditetapkannya. Akan
tetapi Kumpeni berkali-kali mengubah perjanjian mengenai banyaknya produksi
yang harus diserahkan, serta harganya. Hal ini mengakibatkan keadaan industry
gula tidak menentu. Baik jumlah pabriknya, maupun produksinya berubah setiap
tahun.
Pembuatan gula di Jawa, sebagai suatu perusahaan timbul pada bagian
pertama abad ke-17(1637). Perusahaan ini didirikan oleh orang-orang Cina di
sekitar kota Batavia. Perusahaan-perusahaan ini sebagian besar mendapat modal
dari Kumpeni, oleh karena itu produknya terutama untuk memenuhi kebutuhan
Kumpeni. Cina-cina itu adalah pemilik penggilingan dan yang mengusahakan
penanaman tebunya di sekitar kota Batavia. Tenaga kerja yang dipergunakan,
adalah tenaga kerja budak atau tenaga upahan yang berasal dari luar daerah.
Dengan demikian, perusahaanperusahaan gula ini berada di luar struktur
kehidupan ekonomi rakyat Jawa.

Sebelum dikenalnya pembuatan gula dari tebu sebenarnya masyarakat di
Jawa sudah mengenal pembuatan gula dari bahan lain. Pembuatan gula dengan
menguapkan cairan yang disadap dari tangkai bunga pohon kelapa, adalah proses
yang sudah dikenal sejak lama. Cairan yang diuapkan itu didinginkan dalam
cetakan, dibiarkan membeku dan gulapun siap dipakai. Akan tetapi, cara ini tidak
pernah berkembang sampai dapat membuat gula kristal murni. Gula yang dibuat
di lingkungan rumahtangga ini biasa dikenal sebagai “gula mangkok”, atau
dinamakan menurut jenis bahan yang dipergunakannya. Gula mangkok, sampai
sekarang merupakan jenis gula yang tetap digemari orang. Sesudah gula tebu
dikenal, gula mangkok lebih banyak dibuat dari sari tebu.
Menjelang abad ke-18 perusahaan-perusahaan gula diperluas di daerah
Cirebon ke Timur (Java’snoord-Ooskust), karena di daerah ini keadaan tanahnya
maupun iklimnya lebih memenuhi syaratuntuk penanaman tebu daripada daerah
di sekitar Batavia, sehingga akan dapat diperbesar sesuai dengan kebutuhan
Kumpeni yang semakin meningkat. Di daerah Cirebon ke Timur ini, sistem
produksinya berlainan dengan yang dikerjakan di Batavia. Perusahaan-perusahaan
di sini didirikan atas dasar struktur ekonomi tradisional.Statusnya adalah
perusahaan pemerintah, sekalipun alat penggiling dan manajemennya diserahkan
kepada orang-orang Cina atau orang Belanda swasta. Tebu, kayu bakar dan bahan
lainnya, pengangkutan, tenaga kerja di perusahaan, semuanya diperoleh dari para
bupati sebagai kontigenten ataupun penyerahan wajib dan rodi. Hasil produksi
seluruhnya dijual kepada Kumpeni dengan harga yang sudah ditetapkan
sebelumnya. Sistem produksi perusahaan gula ini terus dikembangkan sampai
zaman cultuurstelsel.
Usai sistem cultuurstelsel sekitar tahun 1870-an, pemerintah Hindia
Belanda melakukan sistem ekonomi liberal antara tahun 1870 – 1900. Dalam
sistem liberal ini, modal swasta diberi peluang sepenuhnya untuk mengusahakan
kegiatan di Indonesia. Pabrik Gula pada masa sistem ekonomi liberal tersebut
mengalami perubahan, semula dikelola oleh pemerintah penjajah Belanda
kemudian diserahkan pengelolannya kepada perusahaan swasta. Perkebunan tebu,
Pabrik Gula, dikelola sepenuhnya oleh para pengusaha kaum pemilik modal.
Semenjak itu pembangunan usaha Pabrik Gula di Jawa semakin bertambah.

Tabel Jumlah Pabrik Gula di Pulau Jawa
Per karesidenan tahun 1836-1890
Karesidenan
Cirebon
Tegal

1870
10
8

1875
10
8

1880
10
8

1885
9
8

1890
9
8

Pekalongan

3

3

3

3

3

Semarang
Jepara
Rembang
Surabaya
Pasuruan
Probolinggo
Besuki

4
9
1
19
17
10
5

4
9
1
19
17
10
5

4
9
1
19
17
10
5

4
9
1
19
16
10
5

4
9
1
19
11
9
5

Banyumas

1

1

1

1

1

Madiun
Kediri
Jumlah

2
6
95

2
4
93

2
6
95

2
6
93

2
6
87

Sumber: Leirisa, Sejarah Perekonomian Indonesia: 2012:68

BAB III
SEJARAH PABRIK GULA CEPIRING
Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Pabrik Gula Cepiring pada tahun
1835 dengan nama “Kendalsche SuikerOnderneming” sebagai suatu perusahaan
dalam bentuk NV atau perseroan di atas tanah seluas kira-kira 1.298.594 m 2 dan
secara langsung dibawah pimpinan Belanda atau pengawasan Belanda. Letak
administrasi Pabrik Gula Cepiring adalah berada di desa Cepiring, Kecamatan
Cepiring, kabupaten Kendal. Kendal pada masa penjajahan Belanda merupakan
sebuah regentschap atau wilayah administrasi setingkat kabupaten, termasuk
karesidenan Semarang bagian barat. Regentsahap Kendal terdiri atas beberapa
distrik atau kawedanan.
Pabrik Gula Cepiring bukanlah satu-satunya Pabrik Gula di Kendal, tetapi
ada lagi Pabrik Gula yang lain yaitu Pabrik Gula Gemuh, Pabrik Gula Puguh, dan
Pabrik Gula Kaliwungu. Di antara keempat pabrik ini, saat ini yang masih tersisa
adalah Pabrik Gula Cepiring. Pabrik Gula gemuh dan puguh, merupakan satu
kelompok dengan Pabrik Gula Cepiring, milik perusahaan perkebunan N.V tot
Exploitatie der Kendalsche Suikerfabrieken. Perusahaan tersebut memperluas
usahanya, setelah mendirikan Pabrik Gula Cepiring, mendirikan Pabrik Gula
Gemuh dan Puguh. Pendirian dua buah pabrik tersebut, menggambarkan bahwa
untuk menangani usaha industry gula di Kendal ketika itu, tidak cukup hanya
dilakukan oleh sebuah Pabrik Gula. (Dalam: Diniyah, Mufiddatut. 2011. Sejarh
perkembangan Pabrik Gula Cepiring dan pengaruhnya terhadap kondisi sosial
ekonomi masyarakat Kendal tahun 1975-1997. Semarang: Unnes)
Pada tahun 1941-1942 Pabrik Gula Cepiring diambil alih oleh Pemerintah
Jepang dan digunakan sebagai markas tentara. Jepang menjadikan Pabrik Gula

Cepiring sebagai pabrik pembuatan senjata dan mesiu, kemudian pada tahun
1945 diambil alih oleh Pemerintah Belanda kembali dan peralatan yang rusak
diganti, selain itu juga mengadakan kontrak dengan pamong praja untuk menyewa
tanah rakyat untuk percobaan penanaman tebu kembali.
Pabrik Gula Cepiring setelah adanya perang kemerdekaan tahun 19481954 mengalami rehabilitasi ke III dan beroperasi lagi dengan nama Perseroan
Perkebunan Cepiring

N.V dibawah pengawasan Bank Industri Negara dan

mengalami kemajuan, kemudian Pada tahun 1957 diambil alih oleh Pemerintah
Indonesia melalui Menteri Pertahanan RI berdasarkan UU no 86 tahun 1958
semua perusahaan perkebunanan milik Belanda dinasionalisasi oleh Pemerintah
Indonesia, untuk pengelolaan selanjutnya dibentuklah Badan Nasionalisasi
Perusahaan milik Belanda atau disingkat BANAS. (Profil perusahaan P.T. Industri
Gula Nusantara)
Krisis ekonomi sekitar tahun 1930-an menyebabkan pabrik ini berhenti
berproduksi. Produksi Pabrik Gula Cepiring mulai ditingkatkan pada tahun 1940,
cara yang diterapkan antara lain dengan penanaman tebu secara intensifikasi,
dengan memilih bibit tebu unggul. Akan tetapi beberapa tahun kemudian, telah
timbul perang Asia Timur Raya termasuk di Indonesia. Jawa dikuasai oleh tentara
Jepang, asset-aset Belanda dikuasai Jepang temasuk Pabrik Gula Cepiring 1.
Pengeboman kota Nagasaki dan Hiroshima di Jepang oleh tentara sekutu tahun
1945, menyebabkan Jepang kalah dan menyerah pada sekutu. Kekalahan Jepang
menyebabkan belanda ingin kembali menguasai asset-asetnya di Indonesia
termasuk Pabrik Gula Cepiring.
Di masa revolusi fisik tahun 1947 dan 1949, merupakan masa-masa yang
tidak menentu. Sesudah proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945 pabrik-Pabrik
Gula banyak yang tidak terurus. Tanggal 8 desember 1957, peusahaan-perusahaan
peninggalan belanda dinasionalisasi, Pabrik Gula Cepiring di ubah statusnya
menjadi perusahaan perkebunan Negara Pabrik Gula Cepiring. Nasionalsisasi
tersebut menjadikan kepengurusan pabrik-Pabrik Gula diserahkan kepada pusat
perkebunan Negara, dan setiap propinsi diberi perwakila. Perwakilan Jawa tengah
berada di Semarang.
1 Akibat pendudukan Jepang, pabrik-Pabrik Gula di Kendal rusak dan hancur yakni PG kaliwungu,
PG Gemuh, PG Puguh, kecuali PG Cepiring.

BAB IV
Perkembangan Pabrik Gula Cepiring tahun 1870-1957
Industri gula di Indonesia mulai berkembang sejak masa Penjajahan
Belanda dengan didirikannya beberapa Pabrik Gula di Jawa sebagai contoh adalah
Pabrik Gula Cepiring yang dibangun pada tahun 1835 oleh Belanda. Pada tahun
1930 tercatat ada 185 Pabrik Gula yang berproduksi dari areal tanaman tebu. Pada
tahun 1935 terjadi resesi atau krisis dunia, krisis ini sangat memukul dan
membawa dampak yang mendalam. Menurut Lembaga Pendidikan Perkebunan
(1992), malaise yang terjadi tahun 1930 sampai tahun 1935 menyebabkan industri
gula di Indonesia terpukul. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya produksi gula
di beberapa negara yang biasanya mengimpor gula, seperti India, menurunnya
impor gula oleh Inggris, Cina dan Jepang, yang memasang tarif bea impor gula
yang tinggi dan masuknya gula dari tempat lain, yaitu Formosa (Taiwan) (dalam
https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/5825/MTY0OTg=/Pengaruh-krisismalaise-terhadap-pabrik-gula-di-Kabupaten-Klaten-sampai-tahun-1942abstrak.pdf.)
Sistem perkebunan berkembang pesat setelah berakhirnya sistem tanam
paksa pada tahun 1870. Pada tahun ini adalah kurun waktu yang amat penting
bagi perkembangan perkebunan di Indonesia karena dikeluarkannya Agrarische
Wet (1870) dan Koninklijk Besluit (1872). Melalui undang-undang ini para
investor dari Belanda dan bangsa Eropa lainya dapat menyewa tanah yang luas
untuk membuka perkebunan selama 75 tahun untuk tanah-tanah pemerintah dan
5-20 tahun untuk tanah-tanah rakyat. Isi Undang-Undang Agraria pada tahun 1870
menetapkan peraturan-peraturan tata guna tanah sebagai berikut:
1. Tanah milik rakyat tidak dapat dijual belikan kepada non pribumi.

2. Selain itu tanah domain pemerintah sampai seluas 10 bau dapat di beli oleh non
pribumi untuk keperluan bangunan perusahaan.
3. Untuk tanah domain lebih luas ada kesempatan bagi non pribumi hak guna
ialah:
a. Sebagai tanah dan hak membangun (recht van postal, disingkat RVO).
b. Tanah sebagai erfpacht (hak sewa serta hak mewariskan dalam jangka waktu 75
tahun.
Di Jawa, dibawah UU Agrari tahun 1870, para pengusaha Belanda dapat
menyewa tanah penduduk atau dari pemerintah Hindia Belanda untuk
perkebunan-perkebunan besar. Yang menaglami perkembangan pesat adalah gula,
yang termasuk barang dagangan ekspor yang penting pada waktu itu. Dengan
tersedianya modal swasta dalam jumlah yang besar, perkebunan-perkebunan dapat
mengimpor mesain dan perlengkapan lainnya yang dapat meningkatlkan
prodiktivitas perkebunan-perkebunan ini.
Tabel jumlah area lahan perkebunan di Jawa
Tahun

Jumlah

Areal

Volume

Pabrik

(bau)

(pikul)

Gula
1870
54.176
2.440.00
1900
128.301 12.050.544
Perluasan lahan dan hasil panen tebu yang makin besar, serta perbaikan dalam
pengelolaannya, melipatgandakan produksi gula dari Jawa selama empat kali lipat
selama tiga decade pertama abad ke-20. Nilai ekspornya lebih dari 300 juta
gulden dimasa keemasan tahun 1920. Pada masa itu, Jawa merupakan salah satu
eksportir gula dunia yang utama. (Kano: 1996 :49)
Perkembangan perkebunan gula mengalami kemajuan yang pesat antara
tahun1870 dan 1885. Selama masa itu pengusaha perkebunan gula memperoleh
keuntungan yang besar sekali dari penjualan tanamna gula di pasaran
internasional. Untuk sebagian besar perkembangn itu disebabkan oleh pembukaan
terusan suez dalam tahun 1869 yang sangat mengurangi jarak antara Negara
penghasil tanaman dagang dengan pasaran-pasaran dunia terpenting di eropa
barat. (Notosusanto: 2007: 378).

Selama tahun 1885 perkembangan dagang mulai agak seret karena
jatuhnya harga-harga kopi dan gula di pasaran internasional. Jatuhnya harga gula
dipasaran dunia terutama disebabkan oleh penanaman gula bet sugar yang mulai
ditanam di berbagai Negara di Eropa selama masa ini, sehingga Negara-negara
eropa tidak memerlukan lagi gula dari Indonesia.
Pada tahun 1931 para produsen gula masuk ke dalam persetujuan
Chadbourne Plan, yang menetapkan kuota ekspor masing-masing, tetapi karena
tidak memberikan keuntungan akhirnya mereka menarik diri. Akibatnya stok gula
yang tak dapat dijual menumpuk sampai 6,3 juta ton, sehingga harga gula jatuh.
(Lembaga Pendidikan Perkebunan, 1992). Adanya kelesuan di pasar dunia
terutama kepentingan bahan mentah menyebabkan perekonomian Hindia Belanda
dalam posisi sulit, karena Hindia Belanda mengandalkan devisa negara dari
ekpsor bahan mentah (pertanian). Karena kedudukan komoditi gula menduduki
tempat teratas di antara komoditi perkebunan yang lain, maka pukulan yang
paling terasa juga ada dalam industry gula. Di bawah ini akan diberikan gambaran
angka-angka mengenai produksi serta harga gula selama 1913-1934.
Table Produksi Dan Nilai Ekspor Gula Tahun 1913-1934
Tahun

Jumlah

Areal

Volume

Ekspor

Ekspor

Harga

Pabrik

(ha)

(ton)

(ton)

(ribuan

per

gulden)

kuintal

Gula
1913
1928
1929
1930
1931
1932
1933
1934
Sumber:

179
193.692
178
195.869
165
162.231
116
82.679
54
3.402
Rutgers, J & A.

2.915.866 2.772.443 1.864.865 129.340
2.560.182 1.888.004 99.254
1.372.585 1.389.008 62.127
636.104
1.388.460 45.462
Huber, 1937, Indonesia, vol.2,

(gulden)
12,59
14,61
13,66
9,60
8,06
6,28
5,66
5,61
Amsterdam

(https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/5825/MTY0OTg=/Pengaruh-krisismalaise-terhadap-pabrik-gula-di-Kabupaten-Klaten-sampai-tahun-1942abstrak.pdf)

Dari tabel di atas jelas bahwa sejak 1930

semuanya mengalami

penurunan, mulai dari jumlah Pabrik Gula, areal kebun tebu, volume produksi dan
nilai penghasilannya. Krisis malaise juga berimbas pada Pabrik Gula Cepiring
yang berakibat pada terhentinya produksi gula mulai tahun 1930 hingga tahun
1934. Produksi kembali dilanjutkan pada tahun 1935 hingga 1941.
Kemerosotan ekonomi pada 1930merupakan pukulan berat bagi industri
gula. Dalam waktu empat tahun, jumlah pabrik yang dioperasikan diseluruh jawa
turun menjadi dari 179 menjadi 54. Luas tanah dan produksi dikurangi. Di kendal,
tiga dari empat pabrik yang ada ditutup. ( Kano: 1996: 49) Yang meneruskan
operasinya hanyalah pabrik gula Cepiring.
Pada tahun 1942, masa penguasaan Jepang persediaan gula di Jawa telah
dianggap cukup dan diperkenankan menghasilkan surplus ekspor hanya negeri
Jepang dan taiwan, produksi gula setiap tahunnya dikurangi. Persediaan itu
termasuk untuk kepentingan perang dan penduduk. Sampai tahun 1945 produksi
gula di Jawa hanyan 84.000 ton saja. Oleh karena itu, gunseikan mengeluarkan
osamu seirei no. 31/1944 yang menyatakan bahwa rakyat dilarang menanam tebu
dan membuat gula. Alasan melarang ini untuk mengurangi jumlah gula yang
beredar dalam masyarakat, juga untuk menekan produksi. Cara lainnya untuk
menekan produksi gula adalah mengubah pabrik-Pabrik Gula menjadi pabrik
senjata atau memindahkannya ke tempat lain untuk kepentingan perang. Demikian
pula yang terjadi dengan Pabrik Gula Cepiring yang dijadikan sebagai markas
tentara Jepang
Tahun 1945 hingga 1953 kembali dikuasai oleh Belanda namun tidak
beroperasi. Pada awal kemerdekaan republic Indonesia kondisi perekonomian
Negara masih belum stabil ditandai dengan terjadinya inflasi dan resesi
perekonomian. Pada tahun 1946 Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan
baru dengan membentuk Badan Penyelenggara gula Negara (BPPGN). Pada tahun
1947 dibentuk pula perusahaan perkebunan republic Indonesia (PPRI) untuk
mengelola perusahaan gula eks kasunanan dan mangkunegaran. Peraturanperaturan kolonial yang sangat membebani dihapuskan atau diganti. Ketentuan
sewa lahan pada UU No.8/1918 direvisi melalui UU darurat No.6/1951 yang
kemudian ditetapkan sebagai UU No.6/1952. Dengan ketentuan itu sewa lahan

untuk tebu hanya selama satu musim saja dan nilai sewa ditetapkan selama
setahun

secara

pasti

oleh

Menteri

Pertanian.

(http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/FAE27-2e.pdf 2016)
Dengan ketentuan sewa tersebut, upaya untuk menyewa tanah untuk
menanam tunas tebu pada Negara dilakukan satu tahun sebelum masa tanam. Hal
ini karena masa panen tebu yang cukup lama dan persewaan untuk menanam tebu
biasa akan terganggu, apabila ini terjadi maka produksi pabrik akan menurun.2
Pabrik Gula Cepiring setelah adanya perang kemerdekaan tahun 19481954 mengalami rehabilitasi ke III dan beroperasi lagi dengan nama Perseroan
Perkebunan Cepiring

N.V dibawah pengawasan Bank Industri Negara dan

mengalami kemajuan Tahun 1954 dilakukan perbaikan dan berproduksi kembali
dengan mengorbankan Pabrik Gula lainnya yang ada di Jawa, Pabrik Gula di Jawa
yang tadinya 179 buah tinggal 57 buah.

2 Archief suikerfabreik tjepiring, sf tjepiring, 31 desember 1957; Semarang

BAB V
PROSES NASIONALISASI PABRIK GULA CEPIRING
Secara harfiah, istilah nasionalisasi merupakan suatu proses, cara atau
perbuatan (hal) menjadikan sesuatu milik bangsa atau negara (terutama milik
asing), yang biasanya diikuti dengan penggantian yang merupakan kompensasi:
pemerintah melakukan terhadap perusahaan asing (Kamus Besar Bahasa
Indonesia). Kebijakan nasionalisasi ini muncul sebagai akibat dari buntunya
perjuangan pengembalian Irian Barat dari tangan Belanda ke Indonesia melalui
jalur diplomasi pasca perjanjian KMB tahun 1949.
Nasionalisasi terhadap perusahaan asing ini juga sebagai salah satu upaya
pemerintah untuk meredam amarah rakyat, dan bertujuan untuk meminimalisir
terjadinya kesenjangan ekonomi rakyat. Kebijakan ini diambil dengan maksud
agar negara-negara tujuan investasi dapat membangun kembali struktur
perekonomiannya akibat dominasi modal asing. Salah satu jalan keluar yang
dipikirkan untuk mengakhiri dominasi perusahaan perusahaan Belanda ialah
dengan jalan melakukan nasionalisasi (Kanumoyoso dalam Lina Farida. 2014.
“Pabrik Gula Cepiring Kendal Pasca Nasionalisasi Tahun 1957-2008” dalam
Journal of Indonesian History, Vol. 3 (1) tahun 2014 Hlm. 34-41).
Pemerintah melakukan langkah-langkah dalam nasionalisasi sejak tahun 1951
dengan membentuk Pusat Penjualan Gula Indonesia (PPGI), Langkah selanjutnya
adalah aksi mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja pabrik. Aksi mogok kerja ini
dilakukan pada tanggal 1 Desember 1957 selama 24 jam yang menyebabkan
perusahaan-perusahan Belanda mengalami kerugian RP100.000.000. kemudian
pada tanggal 5 Desember 1957 pemerintah Indonesia juga melakukan pembekuan
seluruh transfer keuntungan perusahaan Belanda (Kanumoyoso (dalam Lina
Farida. 2014. “Pabrik Gula Cepiring Kendal Pasca Nasionalisasi Tahun 19572008” dalam Journal of Indonesian History, Vol. 3 (1) tahun 2014 Hlm. 34-41).

Aksi-aksi

massa

menuntut pengambilalihan

perusahaan-perusahaan

Belanda dan asing lainnya juga dipelopori oleh Gerakan-gerakan politik progresif
yang disokong oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis
Indonesia (PKI) serta organ-organ yang terkait dengan partai tersebut, seperti
Sentral Organisasi Buruh Sel uruh Indonesi a ( SOBSI) dan Kesatuan Buruh
Marhaenis (KBM).

Tindakan nasionalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah

membawa Indonesia ke kancah litigasi internasional.
Salah satu kasus yang terkenal adalah pemboikotan terhadap komoditas
ekspor Indonesia yaitu Bremen Tobacco Case, dimana produk tembakau Indonesia
diboikot di pasar komoditas tembakau internasioanal di Bremen Jerman. Aksi
tersebut berlanjut pada tuntutan hukum yang diajukan oleh mantan pemilik NV
Verenigde Deli Maatschappijen dan NV Senembah Maatschappij , yang
dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia berdasarkan Peraturan Pemeintah No 4
Tahun 1959 tanggal 23 Februari 1959. Pihak Belanda/para penggugat tidak
mengakui keabsahan adannya nasionalisasi berdasarkan Undang-undang No 86
Tahun 1958 dengan alasan bahwa nasionalisasi tersebut melanggar ketertiban
umum yang dikenal dalam hukum perdata internasional dan bertentangan dengan
azas-azas hokum internasional. Perkara tersebut dimenangkan oleh Republik
Indonesia dan telah menjadi tonggak dalam hukum internasional bahwa
nasionalisasi dalam rangka dekolonisasi dapat dibenarkan, akan tetapi Pemerintah
Indonesia kemudian diwajibakan membayar ganti rugi yang layak kepada pemilik
perusahaan Belanda yang dinasionalisasi.
Pelaksanaan nasionalisasi ini memperhatikan “teritorialiteit”. Artinya
objek yang akan dinasionalisasi berada di dalam batas - batas teritorial negara
yang melakukan nasionalisasi. Prinsip teritorialiteit pada dasarnya telah dilakukan
Indonesia ketika nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Hal
ini dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 1UU No 86 Tahun 1958, bahwa
perusahaan -perusahaan milik Belanda yang berada di Republik Indonesia yang
akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan
dinyatakan menjadi milik yang penuh dan bebas Negara Republik Indonesia.
Pabrik Gula Cepiring merupakan salah satu perusahaan yang berada dalam

wilayah Republik Indonesia dan merupakan perusahaan perseroan milik Belanda,
oleh karena itu Pabrik Gula Cepiring dinasionalisasikan.
Alasan yang melatarbelakangi dilaksananakan nasionalisasi pada Pabrik
Gula Cepiring adalah perekonomian dalam negeri yang berubah, semula
pemerintah Indonesia masih menjalankan sistem ekonomi kolonial berubah
menjadi sistem ekonomi nasional. Karena pada tahun 1950-an perekonomian
Indonesia telah didominasi oleh perusahaan-perusahaan Belanda.

Walaupun

langkah-langkah awal nasionalisasi dan pengoperan aset-aset perusahaan telah
berhasil dilakukan pada tahun 1957, namun nasionalisasi Pabrik Gula Cepiring
baru diberlakukan secara nasional pada tahun 1958 sesuai dengan undang-undang
nasionalisasi perusahaan Belanda pada tahun 1958 Yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah.

BAB VI
PENGARUH PABRIK GULA CEPIRING BAGI KONDISI SOSIAL
EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR
Di Jawa, industri gula sudah dikenal sejak lama, namun usahanya masib
bersifat rumah tangga (homeindustry) yang masih dikelola secara sederhana. Guna
memutar penggilingan biasanya digunakan tenaga manusia atau tenaga hewan.
Baru setelah Sistem Tanam paksa diterapkan di pulau Jawa, tumbuhlah
perusahaan-perusahaan besar yang mempergunakan mesin-mesin produksi yang
lebih maju, yang digerakkan oleh tenaga air ataupun tenaga uap. Harga pasar yang
mantap serta tenaga kerja yang murah, menyebabkan perusahaan-perusahaan ini
memperoleh keuntungan yang besar sehingga dapat berkembang dengan pesat.
Pada masa Sistem Tanam paksa pemerintah kolonial Belanda mulai
mendirikan pabrik-Pabrik Gula baru yang relatif memiliki teknologi yang lebih
maju, daripada pabrik-Pabrik Gula kecil yang dimiliki oleh orang-orang swasta.
Tumbuhnya industri gula yang berskala besar, telah menimbulkan berbagai
perubahan dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat setempat. Di antara
perubahan-perubahan yang terjadi di desa-desa karena berinteraksi dengan Pabrik
Gula itu. Bagi penduduk desa, yang dalam pertaniannya melakukan pekerjaanpekerjaan yang sesuai dengan jiwa masyarkatnya, dalam pabrik-Pabrik Gula
membawa kesulitan-kesulitan khusus, karena pekerjaan ini dilakukan dengan
teratur. Kesulitan ini tidak begitu terasa dalam hal penanaman dan pemotongan
tebu, karena pekerjaan ini lebih mendekati pertanian yang memang sudah menjadi
kebiasaannya.
Sejak tahun 1837, mulai tampak adanya pekerja-pekerja upahan di kebunkebun tebu, meskipun pada umumnya mereka itu sebenarnya masih setengah
dipaksa. Pekerja upahan yang secara sukarela semakin berkembang, khususnya

setelah Sistem Tanam paksa. Sistem Tanam paksa masih membawa perubahanperubahan lain yang tidak diinginkan. Di kotakota pelabuhan dan pabrik-Pabrik
Gula, mulai timbul kerja upahan yang sebelumnya hampir tidak dikenal.
Karena kewajiban untuk menyerahkan tanah pertanian guna kepentingan
Tanam paksa, maka sewa menyewa tanah antara penduduk “Indonesia” bertambah
banyak. Dengan demikian, telah dipersiapkan masuknya kerja dan tanah ke dalam
lalu lintas perekonomian, dan telah diletakkan salah satu dasar perkebunan swasta
di masa sekarang.
Di perkebunan-perkebunan tebu, dapat dikatakan bahwa penanaman tetap
bersendikan kerja wajib. Dalam pemotongan tebu, pengangkutan dan di pabrikpabrik, kerja wajib berangsur-angsur diganti dengan kerja bebas. Demikian pula
dalam pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan pemerintah, lambat laun dipergunakan
lebih banyak lagi kerja bebas. Dalam tahun 1849, untuk pertama kalinya
dipergunakan dalam pembuatan pelabuhan-pelabuhan dan pekerjaan-pekerjaan
pertahanan di Surabaya, dan terutama setelah tahun 1860 kerja bebas itu juga
banyak dipergunakan. Di bawah Sistem Tanam paksa, kerja upah bebas itu untuk
pertama kalinya dipergunakan secara besar-besaran.
Salah satu keuntungan dari indutsri gula, menurut Huender ialah, bahwa
dengan kemajuan dalam bidang ini telah membuka lapangan kerja kepada
penduduk di daerah gula yang semakin padat, yang jika tidak ada industri gula
mereka akan sulit memperoleh penghasilan. Pada umunya, penduduk hanya
memiliki tanah yang tidak luas, bahkan banyak yang tidak memiliki tanah sama
sekali, sehingga tanpa industry gula mereka akan sulit bertahan. Dengan adanya
kesempatan kerja, sekalipun dengan upah yang rendah, mereka sedikit tertolong.
Dalam hal penggunaan tanah penduduk, Sistem Tanam paksa dianggap
telah memaksa mengubah hak-hak pemilikan tanah desa menjadi miliki bersama,
dan dengan demikian merusak hak-hak perseorangan atas tanah. Hak-hak
pemilikan tanah merupakan kepentingan khusus bagi kelompok-kelompok
pengusaha swasta yang ingin mengganti sistem tersebut dengan bentuk eksploitasi
mereka sendiri. Selain itu, karena tuntutan akan tanah-tanah pertanian, maka
Tanam paksa sa