Spiritualitas Dalam Organisasi Bisnis yogatama

Spiritualitas Dalam Organisasi Bisnis
Tomy Satyagraha, ST, M.M, Universitas Pendidikan Indonesia, tomysgraha@yahoo.com
Abstrak
Meningkatnya perhatian terhadap spiritualitas dalam organisasi bisnis pada dekade terakhir ini
terjadi seiring dengan perkembangan paradigma manajemen postmodernisme yang tidak lagi hanya
mementingkan pada efesiensi dan efektifitas dalam bisnis semata, namun juga pada pencarian
makna dalam hidup dan pekerjaannya. Spiritualitas dalam organisasi bisnis berdasarkan berbagai
kajian dan penelitian memberikan sejumlah peranan positif dalam peningkatan kinerja karyawan dan
organisasi apabila diterapkan dengan baik dan sesuai. Penerapan prinsip spiritualitas dalam
organisasi bisnis dapat dilakukan dari level individu, level kelompok, level kepemimpinan, dan level
organisasi.
Kata Kunci : Spiritualitas.

I. Latar Belakang
Permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini adalah mengenai spiritualitas
dan penerapannya dalam organisasi bisnis. Masalah ini menarik untuk diangkat seiring
dengan berkembangnya fenomena semakin meningkatnya perhatian kalangan masyarakat
bisnis terhadap spiritualitas, baik di dalam maupun di luar negeri, dan juga dibuktikan
dengan semakin banyaknya penelitian-penelitian yang mengkaitkan spiritualitas dengan
dunia bisnis yang justru bersumber dari masyarakat Barat yang selama ini dikenal sebagai
masyarakat yang sekuler.

Tantangan bisnis di abad ke-21 yang ditandai dengan era informasi, pasar global,
permintaan produk yang senantiasa berubah, populasi kastemer yang semakin beragam
dan menuntut, dan semakin meningkatnya komposisi tenaga kerja yang terpelajar
membutuhkan pendekatan manajemen yang berbeda dengan era sebelumnya yang hanya
mengibaratkan organisasi sebagai sebuah mesin, di mana yang menjadi landasannya
adalah semata pada efesiensi, efektivitas, perintah, dan pengendalian. Para pekerja dan
pelaku bisnis abad ke-21, tidak lagi hanya berfikir mengenai efesiensi dan efektivitas, tetapi
mulai mencari makna dari pekerjaannya. Terjadi suatu pergeseran pada kesadaran para
pekerja, manajer, dan pelaku bisnis di setiap level organisasi yang mulai melakukan
pencarian makna, tujuan, dan pemenuhan dalam pekerjaannya. Maka muncul sebuah
paradigma manajemen postmodernisme yang mengedepankan prinsip-prinsip dan praktikpraktik spiritual yang berbeda dengan paradigma manajemen modern yang selama ini
berlaku.
Organisasi-organisasi kelas dunia juga mulai menemukan bahwa kesuksesan
mereka yang berkelanjutan sangat tergantung pada kesatuan, keadilan, integritas,

penghormatan, pelayanan, dan nilai-nilai. Setelah dekade-dekade sebelumnya, arti penting
sifat-sifat kebajikan ini tidak diindahkan dalam kehidupan organisasi bisnis, sehingga
menciptakan manusia-manusia materialis yang mengabaikan pemaknaan dalam hidup dan
pekerjaan mereka. Manusia mulai kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya dan menjadikan
dirinya hampa, tak heran kemudian meningkatlah tingkat stress, skandal, dan perilaku

menghalalkan segala cara dalam berbisnis.
Paradigma manajemen baru yang mulai melirik, menyelami, dan mempraktekkan
prinsip-prinsip spiritual ini mulai tumbuh pada akhir abad ke-20 di dunia Barat (Eropa dan
Amerika Utara), meskipun sesungguhnya prinsip-prinsip ini bukanlah sesuatu yang baru di
dunia Timur (Jepang, China, Timur Tengah, Asia Tenggara). Menurut Robbins (2003), ada
beberapa alasan yang menyebabkan semakin meningkatnya perhatian terhadap spiritualitas
dalam dunia bisnis, beberapa diantaranya adalah :


Sebagai penyeimbang bagi tekanan dan stress pada langkah kehidupan yang kacau.
Gaya hidup dewasa ini – keluarga dengan orang tua tunggal, mobilitas geografis,
pekerjaan yang bersifat sementara, teknologi baru yang menciptakan jarak antar orang –
menekankan tidak adanya komunitas yang dirasakan banyak orang dan dan
meningkatkan kebutuhan akan keterlibatan dan keterhubungan



Menuanya generasi baby-boomer (di Amerika Serikat) yang mencapai usia setengah
baya yang sedang mencari sesuatu dalam hidup mereka




Agama formal (dalam hal ini Agama Kristen) tidak berfungsi bagi banyak orang dan
mereka terus mencari jangkar untuk menggantikan tidak adanya iman dan untuk mengisi
rasa kosong yang terus bertumbuh.



Tuntutan pekerjaan telah membuat tempat kerja menjadi dominan dalam hidup banyak
orang namun mereka terus mempertanyakan arti kerja itu.



Keinginan untuk memadukan nilai kehidupan pribadi dengan kehidupan seseorang



Dalam zaman kelimpahan ekonomi, senantiasa banyak orang memiliki kemewahan
untuk terlibat ke dalam upaya memanfaatkan sepenuhnya potensi mereka.
Dari sudut pandang organisasi, faktor kunci yang menyebabkan meningkatnya


perhatian terhadap budaya spiritual adalah diketahuinya sejumlah manfaat dari penerapan
spiritualitas ini dalam pekerjaan. Berbagai penelitian terbaru membuktikan bahwa
spiritualitas memiliki korelasi dengan kinerja organisasi, peningkatan laba, dan kesuksesan
(Quatro 2002; Mitroff dan Denton, 1999; Neck dan Milliman, 1994). Dengan menggunakan
teori Jasques, King dan Nicol (1999) menyarankan bahwa apabila seseorang ditempatkan
pada peran yang sesuai dengan kemampuan potensinya, ia akan mencapai kemampuan
terbaiknya dan pada akhirnya dapat memenuhi tujuan spiritualnya. Neck dan Milliman

|1

(1994) mengidentifikasikan bahwa kreativitas dan intuisi individual adalah manfaat yang
didapatkan dari mengimplementasikan spiritual dalam pekerjaan. Spiritualitas akan
meningkatkan kesadaran seseorang, yang akan kemudian akan meningkatkan intuisi dan
kreativitas (Khrisnakumar dan Neck, 2002).
Pada tingkat individu, karyawan yang menerapkan spiritualitas menunjukkan
peningkatan dalam hal kerjasama (Mittrof dan Denton 1999; Neck dan Milliman, 1994),
kebaikan dan kejujuran (Biberman & Whitty, 1997), peningkatan kesadaran akan kebutuhan
karyawan yang lain (Cash & Gray 2000), peningkatan kejujuran dan kepercayaan kepada
organisasi (Brown, 2003; Krishnakumar & Neck, 2002), dan lebih menunjukkan perilaku

pemimpin sebagai pelayan (Beazley & Gemmill, 2006). Spiritualitas juga menunjukkan
pengaruh terhadap etika bisnis yang dijalankan perusahaan (Giacalone & Jurkiewicz, 2003)
dan kesadaran akan tanggung jawab sosial perusahaan (Giacalone, Paul & Jurkiewicz,
2005).
Masalah spiritualitas dalam bisnis memiliki dimensi yang cukup luas diantaranya
terkait dengan budaya perusahaan, perilaku karyawan, motivasi, kepemimpinan, dan lainlain. Karena keluasan itulah makalah ini secara khusus hanya akan membahas hal-hal
mendasar yaitu pengertian spiritualitas, nilai-nilai inti spiritualitas dalam bisnis, dan
penerapan spiritualitas dalam organisasi bisnis.
II. Studi Pustaka

II. Pengertian Spiritualitas
Secara etimologi kata spiritualitas diambil dari bahasa latin yaitu ‘spirtus’ yang berarti
‘nafas’ mengacu pada nafas kehidupan. Secara terminologis, banyak pendapat mengenai
definisi spiritualitas, namun kebanyakan para penyokong konsep spiritualitas sama-sama
membedakan spiritualitas dengan praktek keagamaan formal yang memiliki organisasi yang
terstruktur dengan ritual yang spesifik dan aturan-aturan yang diberlakukan dalam agama
tersebut. Konsep spiritualitas lebih luas dari agama (religion).
Guillory (2000) mendefinisikan spiritualitas dan keber-agama-an sebagai dua konsep
yang berbeda meskipun keduanya saling berkaitan. “Konsep spiritualitas diturunkan dari
kesadaran dari dalam diri – melampaui sistem kepercayaan yang diajarkan atau dipelajari.

Sistem kepercayaan keberagamaan bersumber dari spiritualitas. Agama adalah bentuk dan
spiritualitas adalah sumber dibalik bentuk tersebut, bahkan dimensi spiritual ini adalah
sumber dari semua sistem kepercayaan agama, tanpa ada perbedaan.”

|2

Dhiman (2000) menggarisbawahi perbedaan antara spritualitas dan agama. Agama
menfokuskan pada tata cara ritual yang lebih bersifat tampak keluar, sedangkan spiritual
fokus pada kedalam diri dan tidak dogmatis, tidak eksklusif, bebas gender, dan tidak
patriakal. Ia menyebutkan bahwa spiritualitas adalah kesadaran kepada Prinsip Ketuhanan
yang ditandai dengan upaya untuk hidup dalam keharmonisan dengan Prinsip Ketuhanan.
Thompson (2002) menggambarkan bahwa spiritualitas mencakup karakter, etika,
dan keinginan seseorang untuk memberikan manfaat kepada orang lain.
Mitroff dan Denton, dalam buku “A Spiritual Audit of Corporate America : Multiple
Designs for Fostering Spirituality in The Workplace” mendefinisikan spiritualitas sebagai
hasrat mendasar untuk menemukan makna dan tujuan akhir dari kehidupan seseorang dan
untuk hidup dalam kehidupan yang terpadu.
Pargament (1997) mengartikan spiritualitas sebagai pencarian kesucian, sebuah
proses untuk menemukan, berpegang teguh padanya, dan apabila diperlukan melakukan
transformasi kepada sesuatu yang dianggap suci dalam hidupnya.

Dari berbagai literatur dan pendapat para ahli mengenai spiritualitas, Schmid-Wilk
et.al mengidentifikasi tiga aliran definisi spiritualitas sebagai berikut,
1. Definisi spiritualitas dalam bentuk pengalaman dalam diri pribadi (personal inner
experience), seperti yang didefinisikan oleh Mitroff dan Denton (1999) yaitu
“perasaan mendasar seseorang bahwa dirinya memiliki keterkaitan dengan dirinya
dengan seutuhnya, dengan orang lain, dan dengan seluruh alam semesta.”
2. Definisi spiritualitas dengan memfokuskan pada prinsip-prinsip, kebajikan, etika,
nilai-nilai, emosi, kebijaksanaan, dan intuisi. Dengan sudut pandang ini spiritualitas
didefinisikan sebagai “suatu tingkat bagaimana kualitas-kualitas tadi ditunjukkan
dalam perilaku, dan kebijakan organisasi menunjukkan sejauh mana tingkat
spiritualitas dalam manajemen.”
3. Definisi spiritualitas yang menghubungkan antara pengalaman dalam diri pribadi
dengan perwujudannya pada perilaku lahiriah, prinsip-prinsip, dan praktek.
Mitroff dan Denton melakukan penelitian yang melibatkan sejumlah eksekutif senior
dan manajer sumber daya manusia di Amerika Serikat yang diantaranya menghasilkan
rumusan mengenai karakteristik spiritualitas. Karakteristik-karakteristik tersebut adalah :


Spiritualitas adalah rasa keterkaitan dengan keesaan, kekuasan atau Dzat yang lebih
tinggi. Semuanya adalah bagian dan perwujudan dari keesaan dan semuanya terkait

dengan semuanya yang lain.

|3



Terdapat harmoni atau ‘kebaikan’ mendasar dalam alam semesta ini yang menjadi



landasan bagi keseluruhan rancangan alam semesta ini.
Spiritualitas adalah berkaitan erat dengan kepedulian, harapan, kasih sayang, dan



optimisme.
Sains mungkin tidak dapat membuktikan bahwa prinsip-prinsip ini ada di alam
semesta ini tapi sangatlah mungkin untuk mengalaminya dan mengetahui secara




intuitif bahwa prinsip-prinsip diciptakan dalam alam semesta.
Adalah sesuatu yang universal, dapat diterapkan oleh siapa saja dan kapan saja.
Spiritualitas melihat setiap orang adalah unik namun dibalik itu ada prinsip-prinsip
mendasar yang universal dan tak terbatas waktu. Prinsip-prinsip ini melampaui




penciptaan secara fisik alam semesta ini.
Spiritualitas itu sendiri adalah bermakna dan bertujuan
Spiritualitas adalah suatu kekaguman dan misteri yang kita rasakan dalam kehadiran
sesuatu yang sangat penting yang menjadi inti dari alam semesta dan kehidupan itu
sendiri. (Caioppe, 2000)
Mencoba untuk memadukan berbagai definisi mengenai spiritualitas, Twigg dan

Parayitam (2006) menyimpulkan bahwa spiritualitas terdiri dari dua dimensi, sebagaimana
yang disampaikan oleh Elkins (1998), yaitu dimensi transenden dan dimensi keterhubungan
(connectedness). Transenden adalah kesadaran tentang sesuatu yang Maha Kuasa dibalik
alam ini. Connectedness adalah rasa keterkaitan dengan semua hal di alam ini. Dengan

memadukan dua dimensi ini, spritualitas didefinisikan sebagai,
The degree of awareness of a higher power or life philosophy manifesting itself in an
awareness of a transcendent dimension to life and an awareness of a
connectedness concerning self, others, andthe external environment.
Suatu tingkat kesadaran akan kekuatan yang lebih tinggi atau filosofi kehidupan yang
diwujudkan dalam kesadaran terhadap dimensi transenden dalam hidup dan
kesadaran akan adanya keterhubungan terkait dengan diri, orang lain, dan
lingkungan eksternal.
(Elkins, 1998)
III. Nilai-nilai Spiritualitas dalam Organisasi Bisnis
Penerapan spiritualitas dalam organisasi bisnis mengalami perkembangan yang
pesat, baik itu dilakukan oleh orang per orang, oleh unit kerja, oleh para manajer dan
pimpinannya, atau oleh organisasinya secara keseluruhan. Perkembangan ini menjadikan
organisasi bisnis menjadi lebih bersahabat, lebih menciptakan lingkungan kreatif, membantu
kehidupan, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan membahagiakan karyawan.
Spiritualitas dalam organisasi bisnis dapat didefinisikan sebagai sebuah pengakuan
bahwa karyawan memiliki kehidupan dalam dirinya (inner life) yang dipelihara dengan
|4

pekerjaan yang bermakna dan memiliki peran dalam konteks komunitas. (Ashmos, Duncon,

dan Laine, 1999).
Gibbons (2000) selanjutnya memberikan definisi spiritualitas dalam pekerjaan adalah
sebagai sebuah perjalanan menuju kesatuan antata pekerjaan dan spiritualitas, bagi individu
dan organisasi, yang memberikan arahan, keutuhan, dan keterhubungan dalam dalam
pekerjaan.
Penerapan spiritualitas terkait dengan penerapan nilai-nilai yang terkandung dalam
konsep spiritualitas dalam organisasi bisnis. Berbagai literatur mengungkapkan nilai-nilai
spritiualitas seperti yang tertulis pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1
Perbandingan nilai-nilai spiritual dalam organisasi yang diajukan dalam berbagai literatur
Penulis

Nilai-Nilai Spiritual

Keterangan

Jackson (1999),
Kriger & Hanson
(1999)

Kesamaan, kejujuran, kasih sayang,
menghindari kekerasan, penghargaan,
keadilan, pemaaf, pelayanan, amanah,
menjadi warga yang baik, damai, bersyukur

Synder & Lopez
(2001)

Optimisme, Harapan, Kerendahan Hati,
Kasih Sayang, Pemaaf, Cinta, Empati,
mengutamakan orang lain, ketabahan,
kebermaknaan
Integritas, Humanisme, Kesadaran,
Kebermaknaan, Tanggung Jawab, Cinta,
Kedamaian, Kebenaran, Kerendahan hati,
Rasa kebersamaan.
Pemaaf, Kebaikan hati, Integritas, Empati,
kejujuran, kesabaran, keberanian,
kepercayaan, kerendahan hati, melayani
orang lain.

Nilai-nilai spiritual ini diambil
dari agama utama dunia
(Islam, Yahudi, Kristen, Hindu,
Budha, Sikh, Konghucu, dan
Jainisme)
Daftar nilai yang terhubung
dengan psikologi positif dan
spiritualitas

Giacalone &
Jurkiewicz,
(2003)

Jurkiewicz &
Giacalone,
(2004)
Fry, (2005)

Kebajikan, Kebangkitan, Humanisme,
Integritas, Keadilan, Kebersamaan,
Penerimaan, Penghargaan, Tanggung
Jawab, dan Kepercayaan.
Kejujuran, Pemaaf, Harapan, Syukur,
Kerendahan hati, Kasih Sayang, Integritas

Marques (2005)

Penghargaan, Pengertian, keterbukaan,
Kejujuran, Memberi, Percaya, Kebaikan
hati, Damai dan Harmonis, Penerimaan,
Kreativitas, Apresiasi, dan Menolong

Reave (2005)

Kebermaknaan, integritas, kejujuran,
kerendahan hati, penghargaan, keadilan,
perhatian dan kepedulian, kemampuan
mendengarkan, menghargai orang lain,
reflektif.

Perwujudan spiritualitas dalam
bentuk sifat spiritual.
Secara spesifik terkait dengan
kepemimpinan spiritual;
subordinat di bawah satu nilai
yaitu cinta mengutamakan
kepentingan orang lain
Kerangka nilai untuk
mengukur spiritualitas dalam
tempat kerja
Serangkaian nilai-nilai inti
yang merefleksikan suatu
kondisi etika dan spiritual yang
dialami seorang karyawan
yang spiritual
Tema penting bagi spiritualitas
di tempat kerja dari literatur
dan dibandingkan dengan
pernyataan para eksekutif
bisnis
Nilai-nilai dan praktik spiritual
yang berhubungan dengan
keefektifan kepemimpinan.
Integritas dipandang sebagai
nilai spiritual yang paling
|5

krusial untuk meraih
kesuksesan
Diadaptasi dari McGhee dan Grant (2008)

Berbagai nilai-nilai yang tersebut di atas menggambarkan dua dimensi spiritual
sesuai dengan definisi yang diajukan oleh Elkins (1998). Ada nilai-nilai yang terkait dengan
kesadaran akan adanya kekuatan yang lebih tinggi (bersifat transedental) seperti
kebermaknaan, kebersyukuran, optimisme, dll, dan juga nilai-nilai yang terkait dengan
hubungan dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar (connectedness) seperti
kasih sayang, penghargaan, perhatian dan kepedulian, damai, dll. Nilai-nilai ini dapat
menjadi indikator sejauh mana tingkat spiritualitas individu atau organisasi tersebut.
Sebagai sebuah budaya organisasi, Robbins (2003) menyebutkan bahwa berbagai
kajian telah mengidentifikasi karakteristik budaya yang cenderung tampak jelas dalam
organisasi spiritual. Karakteristik-karakteristik tersebut adalah :


Sangat Memperhatikan Tujuan. Organisasi spiritual membangun budaya mereka
berdasarkan tujuan yang bermanfaat. Walaupun mungkin penting, laba bukan



merupakan nilai utama organisasi
Fokus Pada Pengembangan Individu. Organisasi-organisasi spiritual mengakui bobot
dan nilai orang. Mereka tidak hanya memberikan jabatan, mereka berusaha
menciptakan budaya yang memungkinkan karyawan dapat terus menerus belajar dan



bertumbuh.
Kepercayaan dan Keterbukaan. Ciri-ciri organisasi spiritual adalah kepercayaan timbal
balik, kejujuran, dan keterbukaan. Para manajer tidak takut mengakui kesalahan, dan



mereka cenderung sangat berterus terang dengan karyawan, pelanggan, dan pemasok.
Pemberdayaan Karyawan. Iklim kepercayaan-tinggi dalam organisasi spiritual, bila
digabungkan dengan keinginan memajukan pembelajara dan pertumbuhan karyawan,
mengakibatkan manajemen memberdayakan karyawan sehingga mampu mengambil
sebagian besar keputusan yang berhubungan dengan kerja. Para manajer dalam
organisasi yang berbasis spiritual senang mendelegasikan wewenang ke masing-masing
karyawan dan tim. Mereka percaya karyawan mampu mengambil keputusan yang hati-



hati dan penuh pertimbangan.
Toleransi terhadap Ekspresi Karyawan. Karakter terakhir yang membedakan
organisasi berbasis spiritual adalah bahwa mereka tidak melumpuhkan emosi karyawan.
Mereka memungkinkan orang untuk menjadi diri mereka sendiri – mengekspresikan
suasana hati dan perasaan mereka tanpa rasa salah atau takut ditegur.

IV. Penerapan Spiritualitas dalam Organisasi Bisnis

|6

Seperangkat nilai-nilai spiritualitas yang sudah dibahas sebelumnya tentunya baru
akan memberikan dampak dan peranan bagi kinerja individu atau organisasi ketika nilai-nilai
tersebut terwujud dalam perilaku dan sistem organisasi. Penerapan spiritualitas dalam
organisasi bisnis dapat dilihat dari berbagai level organisasi mulai dari level individual, level
kelompok, level kepemimpinan, dan level organisasi.
Level Individual
Pada level individual, penerapan spiritualitas terdiri dari tiga komponen utama. Yang
pertama adalah kesadaran akan kehidupan sejati (inner life) hal ini terkait dengan rasa
pengharapan, kesadaran akan nilai-nilai personal dan perhatian pada spiritualitas. Yang
kedua, individu membentuk makna dalam bekerja (meaning at work), hal ini ditunjukkan
dengan memiliki pendirian dan rasa tentang apa yang penting dalam hidup, membangkitkan
semangat, dan kebahagiaan dalam bekerja. Komponen yang ketiga adalah kondisi
komunitas (condition of community) yang ditunjukkan dalam dimensi persahabatan dalam
pengembangan spiritualitas dalam komunitas.
Level Kelompok
Penerapan spiritualitas dalam organisasi bisnis pada level kelompok terdiri dari dua
komponen utama. Yang pertama adalah unit kerja sebagai sebuah komunitas, yang
ditunjukkan melalui perilaku sejauh mana unit kerja saling mendukung dan memperhatikan.
Yang kedua adalah nilai-nilai positif unit kerja, yang ditunjukkan melalui sejauh mana setiap
individu memihak pada nilai-nilai, tujuan, dan misi unit kerja.
Penerapan lingkungan spiritual dalam tempat kerja akan dapat meningkatkan kinerja
organisasi. Dengan lingkungan kerja yang spiritual, setiap individu akan memiliki kesadaran
yang lebih dalam dan mendorong terbangunnya intuisi dalam pemecahan masalah. Ketika
karyawan dapat menggunakan intuisi mereka pada organisasi, mereka dapa membangun
tujuan yang lebih tinggi dan visi organisasi serta meningkatkan inovasi mereka. Unit kerja
yang lebih inovatif akan meningkatkan rasa pelayanan yang lebih tinggi, dan pertumbuhan
pengembangan personal yang lebih besar. Nilai-nilai berbasis spiritual ini akan
meningkatkan kerja sama tim dan komitmen karyawan dalam unit kerja.
Level Kepemipinan
Gerakan penerapan spiritualitas dalam organisasi bisnis juga menunjukkan
perkembangan pada level kepemimpinan. Sebuah penelitian tentang spiritualitas di tempat
kerja yang dilakukan oleh Sloan Management Review mengindikasikan bahwa para
pemimpin bisnis melihat bahwa spiritualitas adalah hal yang sangat penting dalam praktek
|7

bisnis masa depan. Kebanyakan mereka percaya bahwa organisasi harus mempunyai
energi spiritual yang besar pada setiap orang agar dapat menghasilkan produk dan jasa
kelas dunia. (Mitroff, 1999). Di kalangan para pimpinan bisnis, konsep kepemimpinan
sebagai pelayan (servant leadership) adalah hal yang sangat diprioritaskan.
Level Organisasi
Organisasi bisnis adalah sebuah entitas atau sistem yang juga dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan yang turbulen dan juga mencari cara untuk mempertahankan kondisi
kerja yang lebih seimbang, sehat, dan lebih memelihara. Organisasi bisnis yang tidak
menerapkan nilai-nilai spiritual akan kehilangan jiwanya, seperti yang disampaikan oleh
Caioppe (2000) berikut ini,
“[Sebagai sebuah dampak dari psikososial lingkungan kerja kontemporer] banyak
produk memiliki mutu yang rendah dari isi maupun kualitasnya karena produk-produk
ini dibuat oleh orang yang kehilangan kegembiraan dalam membuatnya. Pelayanan
kadang dilakukan dalam cara yang biasa-biasa dengan hanya uang yang menjadi
fokus transaksinya. Organisasi menghargai kualitas, pelayanan pelanggan, dan
pengalaman yang berkesan, namun para karyawan seringkali melihat bahwa
prioritas sebenarnya dari manajer hanyalah profit dan penghematan.”
(Caioppe, 2000)
Salah satu komponen utama penerapan spiritualitas pada organisasi bisnis adalah
melalui nilai-nilai organisasi; persepsi individu terhadap nilai-nilai organisasi. Guillory (1997)
menawarkan sebuah model kepemimpinan organisasi yang menggambarkan kualitas dari
organisasi spiritual yaitu pelayanan, keterkaitan dengan yang lain, memiliki kesadaran diri,
menerapkan prinsip-prinsip kebijaksanaan, dan menyatukan kepemimpinan yang visioner,
transformatif, dan spiritual.
Mitroff dan Denton (1999) mengajukan konsep bagaimana prinsip-prinsip spiritual
didapatkan dan bagaimana spiritualitas diterapkan dalam organisasi. Menggerakkan
organisasi menuju lebih spiritual memerlukan proses. Langkah awal proses mengevolusi diri
menuju organisasi spiritual adalah membangun organisasi berbasis nilai. Organisasi
berbasis nilai dibangun berdasarkan prinsip-prinsip penting dan universal seperti
pengetahuan, cinta, penghargaan, integritas, dan kepercayaan. Nilai-nilai ini bukanlah
domain yang identik dengan ideologi atau agama tertentu dan meminimalkan kontroversi
dalam menyatukan konsep berorientasi spiritual. Kemudian, organisasi spiritual menyatukan
rasa humanistik, moralitas, dan etika. Organisasi spiritual senantiasa mengevaluasi diri
apakah organisasi tetap menjalankan ide dan prinsip-prinsipnya dengan secara berkala

|8

melakukan audit moral. Dengan menjalankan prinsip-prinsip ini akan mengarahkan
organisasi menjadi organisasi berbasis spiritual di masa yang akan datang.
Millman et.al (1999) memberikan sebuah model berbasis nilai-nilai spiritualitas yang
dapat diterapkan untuk membangun organisasi yang mendukung spiritualitas. Model ini
mengintegrasikan konsep manajemen berbasis nilai dan kerangka strategik manajemen
SDM. Berikut ini tahapannya,
1.
2.
3.
4.

Artikulasi nilai-nilai spiritual organisasi
Penggambaran rencana dan tujuan bisnis organisasi dan karyawan
Penerapan praktek Manajemen SDM untuk mendukung rencana dan nilai-nilai
Mengukur hasil (outcomes) dari kinerja organisasi dan sikap serta spiritualitas individu
setiap karyawan.
Seperti yang telah dipaparkan dalam uraian di atas, spritualitas dalam organisasi

bisni dapat diimplementasikan dalam berbagai level dan perspektif, mulai dari dimensi yang
sangat individual. Namun Mitroff dan Denton (1999) berpendapat bahwa tidak mungkin
penerapan spiritualitas ini hanya berbasis pada individual saja, karena sangat mungkin akan
terjadi konflik dalam pilihan dan kepentingan antar individu, oleh karena itu sebaiknya
penerapan spiritualitas dilakukan secara menyeluruh dalam organisasi. Sehingga, berbagai
manfaat dari penerapan spiritualitas dalam organisasi bisnis ini dapat benar-benar terwujud
dan memberikan kemajuan bagi organisasi dan setiap orang yang berada di dalamnya.

V. Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai spiritualitas
dalam organisasi bisnis.
Yang pertama, konsep spiritualitas memiliki perbedaan dengan konsep agama,
meskipun keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Konsep spiritualitas bersifat lebih
personal dan universal sehingga dapat secara luas diadopsi dalam organisasi bisnis yang
memiliki keberagaman latar belakang karyawannya, bahkan memiliki keterkaitan yang erat
dengan berbagai konsep manajemen organisasi modern dan kepemimpinan.
Yang kedua, spiritualitas dalam organisasi bisnis berdasarkan berbagai kajian dan
penelitian memberikan sejumlah peranan positif dalam peningkatan kinerja karyawan dan
organisasi apabila diterapkan dengan baik dan sesuai.
Yang ketiga, penerapan spiritualitas dalam organisasi bisnis dapat menyentuh pada
level individual, level unit kerja, level kepemimpinan, dan level organisasi secara
keseluruhan. Disarankan penerapan spiritualitas ini dilakukan dalam level organisasi
|9

sehingga terbentuk budaya organisasi yang mendukung spiritualitas dan menghasilkan
perubahan dan perkembangan organisasi ke arah yang lebih baik.
Spiritualitas dan penerapannya dalam dunia bisnis adalah sebuah bidang kajian
yang tergolong baru, belum banyak peneliti - khususnya dari dalam negeri - yang mengkaji
mengenai hal ini. Untuk itu, penulis memberikan beberapa rekomendasi bagi pengkajian
lebih lanjut mengenai spiritualitas.
Yang pertama,

untuk

memperkaya

landasan

dan

perspektif

keilmuan,

pengkajian lanjutan mengenai spiritualitas perlu menggali literatur-literatur dari sudut
pandang agama-agama utama dunia (Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, dan Budha) serta dari
kebudayaan Timur yang sangat sarat dengan nilai-nilai spiritual.
Yang Kedua, penelitian lebih lanjut dan penerapan spiritualitas dalam organisasi
bisnis sangatlah penting untuk menjadi perhatian, dengan harapan semakin banyak para
ahli yang meneliti tentang hal ini dan dilanjutkan dengan semakin banyak para praktisi bisnis
yang menjalankannya, semoga dapat menciptakan lingkungan dan dunia bisnis yang lebih
manusiawi, jujur, berkeadilan, dan pada akhirnya memberikan kesejahteraan serta
kebahagiaan bukan hanya bagi kehidupan di dunia namun lebih jauh dari itu bagi kehidupan
di akhirat kelak.
Daftar Pustaka
Paloutzian, Raymond F; Park, Crystal F. (2005) Handbook of The Psychology of Religion
dan Spirituality. New York : The Guilford Press
Hayden, Robert W.; Barbuto Jr, John E.; Goertzen, Brent J. (2008) Proposing a Framework
for a Non-Ideological Conceptualization of Spirituality in the Workplace. Journal
Workplace Spirituality.
Fernando, M (2005) Workplace Spirituality : Another Management Fad. Artikel dalam
Bussines Research Yearbook : Global Business Perspectives, Volume XII, No. 2
2005, International Academy of Business Disciplines.
Komala, Kashi; Anantharaman, R.N. Rationale and Spirituality in Organizations. Journal
Department of Management Studies, Indian Institute of Technology of Madras.
Chennai
Nicou, Kantika (2002) What Are The Implication for Modern Organizations as Society
Embraces New Concept of Spiritualism ? ; Spirituality in The Workplace Journal.
McGhee, Peter; Grant, Patricia (2008) Spirituality and Ethical Behaviour in the Workplace:
Wishful Thinking or Authentic Reality. Electronic Journal of Business Ethics and
Organization Studies Vol 13 No. 2 (2008). http://ejbo.jyu.fi/
Twigg, Nicholas; Parayitam, Satyanarayana. (2006) Spirit At Work : Spiritual Typologies as
Theory Builder. Journal of Organizational Culture, Communications, and Conflict Vol
10 No.2 2006
| 10

Profil Penulis
Tomy Satyagraha, ST MM, dilahirkan di Bandung pada tanggal 3 September
1977, lulusan S-2 program studi Magister Manajemen Bisnis Sekolah
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung dengan konsentrasi
Manajemen Sumber Daya Manusia. Memperoleh gelar Sarjana Teknik (ST)
pada Fakultas Teknologi Industri Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi
Bandung. Saat ini beraktivitas di Koperasi Pondok Pesantren Daarut Tauhiid
Bandung sebagai Bendahara dan menjabat sebagai Direktur Lembaga
Pendidikan dan Pelatihan Ekonomi Syariah (LP2ES) Daarut Tauhiid, serta aktif sebagai
trainer dan fasilitator pelatihan pengembangan sumber daya manusia.

| 11