Pengelolaan Perlindungan Cagar Alam Gunu

Seminar Nasional Penelitian Lingkungan di Perguruan Tinggi 2007
Jakarta, 20 Juni 2007
Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Lingkungan Indonesia (IATPI), Program Studi Teknik Lingkungan dan Program Studi Ilmu
Lingkungan Universitas Indonesia

PENGELOLAAN PERLINDUNGAN CAGAR ALAM GUNUNG
PAPANDAYAN
Musyarofah Zuhri, Endah Sulistyawati
Pengelolaan Sumber Daya Hayati dan Lingkungan Hidup Tropika
Sekolah Ilmu Teknologi Hayati (SITH)
Institut Teknologi Bandung
Abstrak
Cagar Alam Gunung Papandayan (CAGP) memiliki potensi keanekaragaman
hayati dan kepentingan pelestarian yang tinggi namun upaya perlindungan
terhadap kawasan tersebut banyak mengalami hambatan yang berasal dari
keterbatasan pengelola dan pemanfaatan sumber daya oleh masyarakat yang
bermukim di sekitar CAGP. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan model
pengelolaan perlindungan yang sesuai bagi kawasan tersebut. Pengumpulan data
dilakukan melalui wawancara semi terstruktur, observasi langsung, dan studi
literatur untuk selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif. Akar
permasalahan perlindungan di CAGP berasal dari ketidakmampuan BKSDA Jabar

II dalam mengelola kawasan CAGP sesuai dengan statusnya sebagai kawasan
suaka alam yang memerlukan perlindungan penuh di dalam dan di luar kawasan.
Solusi dari permasalahan pengelolaan perlindungan di CAGP adalah dengan
mengintegrasikan fungsi konservasi dengan tata guna lahan di sekitarnya melalui
pendekatan yang mencakup aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan
perlindungan. Strategi pengelolaan perlindungan dikembangkan dengan
mendirikan lembaga pengelolaan kolaboratif dan meningkatkan kontrol atas
sumber daya dan masyarakat melalui program konservasi, penelitian,
pemberdayaan masyarakat, dan menjalin komunikasi yang baik dengan
masyarakat.
Kata kunci: Pengelolaan, Cagar Alam, dan Perlindungan.
I. Pendahuluan
Cagar alam sebagai salah satu kawasan
suaka
alam
memiliki
fungsi
pengawetan keanekaragaman hayati
dan penunjang sistem penyangga
kehidupan. Oleh karena itu pengelolaan

kawasan tersebut ditekankan pada
upaya perlindungan untuk mendukung
fungsi pokoknya. Namun perlindungan
bagi kawasan cagar alam banyak
mengalami hambatan terutama yang
disebabkan
oleh
keterbatasan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya oleh masyarakat sekitar kawasan
(Departemen Kehutanan, 2005).

Sistem
klasifikasi
dari
IUCN
menempatkan cagar alam sebagai
kawasan yang secara ketat dilindungi
(strict
nature

reserves)
untuk
mendukung
pelestarian
populasi
berbagai spesies serta memungkinkan
proses-proses ekologi berlangsung
dengan hambatan sesedikit mungkin
(IUCN, 1994; Mierauskas, 2004;
Primack, et al.,1998). Cagar alam
memiliki fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan keanekaragaman
hayati
dan
sebagai
wilayah
perlindungan
sistem
penyangga
kehidupan (UU No.41 Tahun 1999).


Pengelolaan
cagar
alam
selain
bertujuan untuk menunjang fungsi
pokok kawasan juga agar dapat
memberikan
manfaat
yang
berkelanjutan
bagi
masyarakat
khususnya masyarakat yang bermukim
di sekitar kawasan cagar alam. Seperti
manfaat ekologis kawasan antara lain
sebagai sumber air, penyedia plasma
nutfah, habitat satwa, mendaur ulang
karbondioksida,
mencegah

erosi,
longsor, dan banjir.

(Saparjadi, 1998). Untuk mengatasi
berbagai permasalahan yang ada, maka
diperlukan peningkatan efektifitas
pengelolaan perlindungan kawasan
cagar alam melalui kegiatan patroli di
lapangan, pemberdayaan masyarakat,
dan menjalin kerja sama lintas sektoral.

Salah satu kawasan suaka alam yang
belum dapat terlepas dari permasalahan
pengelolaan perlindungan adalah Cagar
Alam Gunung Papandayan (CAGP).
Indikator adanya permasalahan di
Sementara itu status cagar alam tidak kawasan CAGP adalah terjadinya kasus
dapat memberikan manfaat secara perambahan hutan seluas 139,89 ha
langsung
bagi

sosial
ekonomi pada tahun 1995-2003 (BKSDA Jabar
masyarakat sebab terdapat pembatasan II, 2005).
akses masuk ke dalam kawasan.
Pembatasan akses tersebut terkait Penelitian
ini
bertujuan
untuk
dengan manfaat sosial ekonomi yang merumuskan
model
pengelolaan
seringkali dianggap oleh pengelola perlindungan yang sesuai bagi CAGP
sebagai pemanfaatan konsumtif yang berdasarkan pendekatan bottom-up.
dilarang dilakukan di dalam kawasan Penelitian mencakup aspek ekologi,
cagar alam karena dapat mengakibatkan pengelolaan, dan sosial ekonomi
perubahan keutuhan kawasan (Yunus, masyarakat.
Model
pengelolaan
2005).
perlindungan diharapkan dapat menjadi

masukan
bagi
pengelola
serta
Kegiatan pemanfaatan di dalam cagar stakeholder lain untuk bersama-sama
alam yang diperbolehkan hanya sebatas meningkatkan efektifitas perlindungan
untuk keperluan penelitian, ilmu di CAGP.
pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan
penunjang budidaya (PP No.68 Tahun II. Area Penelitian dan Metode
1998).
Pembatasan
akses
dan Penelitian dilakukan di kawasan yang
pemanfaatan menyebabkan adanya berbatasan dengan Cagar Alam Gunung
tekanan terhadap pengelolaan kawasan Papandayan (CAGP), yaitu di Desa
cagar
alam
yang
berpotensi Sirnajaya, Neglawangi, dan Cihawuk.
menimbulkan permasalahan di kawasan Pengumpulan data dibedakan menjadi

cagar alam.
data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari wawancara semi
Hampir seluruh kawasan suaka alam terstruktur terhadap penduduk desa,
dan pelestarian alam pada saat ini pihak pengelola, dan stakeholder lain
mengalami permasalahan yang pada serta melalui observasi langsung.
dasarnya
berkaitan dengan: (1) Sementara itu data sekunder diperoleh
pengelolaan kawasan konservasi, (2) melalui studi literatur.
sosial,
ekonomi,
dan
budaya
masyarakat, serta (3) pandangan serta Penentuan jumlah responden penduduk
kepedulian
sektoral
mengenai desa menggunakan metode sampel
pembangunan dan konservasi alam strata dan kemudian jumlah responden

untuk tiap desa dihitung menggunakan

alokasi proporsional. Berdasarkan hasil
perhitungan diperoleh jumlah sampel
penduduk desa sebanyak 69 orang
dengan proporsi 27 orang mewakili
Desa Sirnajaya, 21 orang mewakili
Desa Neglawangi, dan 21 orang
mewakili Desa Cihawuk. Jumlah
sampel yang mewakili pengelola
CAGP sebanyak sepuluh orang yang
dibatasi pengelola yang memiliki
keterkaitan
langsung
dengan
perlindungan kawasan Papandayan.
Jumlah sampel sebanyak lima orang
mewakili stakeholder lain yang terlibat
dalam perlindungan di luar kawasan
CAGP.
Data dianalisis secara deskriptif
kualitatif. Unit analisis yang digunakan

dalam penelitian ini adalah keluarga
atau rumah tangga. Hasil dari
keseluruhan
analisis
kemudian
digunakan untuk menyusun model
pengelolaan
perlindungan
yang
berkelanjutan untuk kawasan CAGP.
III. Hasil dan Pembahasan
III.1 Pengelolaan Perlindungan di
CAGP
Definisi perlindungan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah usaha yang
dilakukan untuk mencegah dan
mengatasi gangguan dan ancaman
terhadap integritas suatu ekosistem
yang disebabkan oleh aktivitas manusia
maupun sebab alamiah. Perlindungan

merupakan salah satu bentuk kegiatan
pengelolaan di CAGP yang meliputi
seluruh wilayah CAGP dan kawasan di
luar CAGP, namun sampai saat ini
kegiatan perlindungan masih terbatas di
dalam kawasan CAGP.

manusia. Sementara itu perlindungan di
luar
kawasan
dilakukan
untuk
mendukung integritas CAGP, sebab
kawasan di luar CAGP yang
didominasi hutan pinus, kebun sayur,
dan kebun teh menyediakan sumber
daya bagi sejumlah spesies, seperti
elang jawa (Spizaetus bartelsi), toed
(Lanius scach), dan babi hutan (Sus
scrofa). Perubahan fungsi kawasan
dapat mengancam keberadaan spesies
yang bergantung pada sumber daya di
luar kawasan CAGP.
Kegiatan pengelolaan perlindungan di
CAGP dilaksanakan oleh Seksi
Konservasi Wilayah II Garut yang
berada di bawah BKSDA Jabar II.
Tenaga pengaman terdiri dari polisi
kehutanan (polhut) dan non-polhut
yang diangkat dari masyarakat sekitar
CAGP. Jumlah polhut sebanyak 22
orang dan tersebar di tiga satuan kerja,
yaitu Papandayan, Kamojang dan
Sancang. Sementara jumlah non-polhut
sebanyak lima orang yang tersebar di
berbagai desa di sekitar CAGP. Rasio
ideal
jumlah
tenaga
pengaman
ditentukan
berdasarkan
tingkat
kerawanan kawasan (Sitorus, 2006)
yang dapat ditentukan berdasarkan
historis kawasan yang mengalami
perambahan hutan, aksesibilitas, dan
tingkat interaksi masyarakat dengan
kawasan.

Sarana yang mendukung kegiatan
perlindungan berupa senjata api, alat
komunikasi, alat transportasi, dan
peralatan khusus lainnya. Sarana yang
tersedia tersebut digunakan untuk 20
kawasan konservasi yang berada di
bawah pengelolaan BKSDA Jabar II.
Sementara itu prasarana penting yang
Perlindungan di dalam kawasan dibutuhkan
dalam
kegiatan
terutama dilakukan untuk menjaga perlindungan adalah keberadaan pos
potensi CAGP dari berbagai dampak jaga, pondok kerja, dan menara
negatif yang disebabkan oleh aktivitas pengawas yang sampai saat ini belum

tersedia
untuk
mendukung
perlindungan CAGP. Keterbatasan
dana menjadi kendala utama pengadaan
prasarana yang memadai.
Jenis kegiatan perlindungan yang
pernah dilakukan meliputi: patroli
(operasi pengamanan), penegakan
hukum, pemeliharaan batas, rehabilitasi
lahan, pembinaan daerah penyangga,
pelayanan Surat Izin Masuk Kawasan
Konservasi (Simaksi), dan tersedianya
papan peringatan.
III.2 Pemanfaatan Sumber Daya di
Dalam dan Sekitar CAGP

Interaksi antara masyarakat dengan
kawasan di dalam dan sekitar CAGP
berupa pemanfaatan sumber daya hutan
seperti kayu, air, dan satwa serta
pemanfaatan sumber daya lahan untuk
pertanian (Tabel III.1). Tidak semua
responden dalam
penelitian ini
berinteraksi secara langsung dengan
kawasan CAGP. Sebanyak 11,1%
responden di Desa Sirnajaya dan 23,8%
responden di Desa Neglawangi tidak
melakukan kegiatan di kawasan CAGP.
Lain halnya dengan responden di dua
desa sebelumnya, semua responden di
Desa Cihawuk memanfaatkan sumber
daya di kawasan CAGP.

Tabel III.1 Jenis Kegiatan Pemanfaatan Sumber Daya dan Intensitasnya di Dalam
dan Sekitar Kawasan CAGP
Jenis Kegiatan dan Intensitasnya
Desa
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Sirnajaya
***
**
*
**
*
***
Neglawangi ***
**
**
*
***
Cihawuk
***
*
**
***
*
*
***
Keterangan:
1. Memanfaatkan sumber air
2. Berburu satwa
3. Melintasi CAGP
4. Rekreasi
5. Mengumpulkan madu

6.
7.
8.
9.

Mengumpulkan kayu bakar
Mengumpulkan jamur
Mengumpulkan pakan ternak
Bertani di sekitar CAGP

Kegiatan
pemanfaatan
tersebut
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
hidup yang menunjukkan bahwa
masyarakat setempat bergantung pada
sumber daya kawasan CAGP. Seluruh
jenis kegiatan pemanfaatan tersebut
(kecuali bertani di sekitar CAGP) tidak
memberikan pendapatan tambahan bagi
penduduk
setempat,
sebab
pemanfaatannya hanya untuk konsumsi
sendiri dan tidak untuk dijual.
Meskipun demikian kegiatan tersebut
berpotensi mengancam kelestarian
cagar dan tidak sesuai dengan
peruntukkan kawasan cagar alam yang
hanya dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan penelitian dan pengembangan,

Intensitas kegiatan:
* Jarang
** Agak sering
*** Terus-menerus

ilmu pendidikan dan penelitian, serta
kegiatan penunjang budidaya.
Pemanfaatan sumber air yang berada di
dalam kawasan CAGP untuk kegiatan
pertanian disebabkan keterbatasan
sumber air di luar kawasan. Kegiatan
tersebut terutama dilakukan pada
musim kemarau hampir oleh seluruh
penduduk yang bertani di sekitar
CAGP. Meskipun terdapat sumber air
di luar kawasan CAGP, namun debit
airnya tidak mencukupi untuk kegiatan
pertanian bagi seluruh petani.
Sebagian kecil masyarakat (18%) di
desa penelitian melakukan perburuan
satwa di dalam kawasan CAGP. Satwa

yang diburu antara lain babi hutan (Sus
scrofa) yang dianggap sebagai hama
pertanian, kijang (Muntiacus muntjak),
dan burung jenis kepudang dan walik.
Penduduk yang melakukan perburuan
beralasan tindakan mereka dilakukan
sekedar
untuk
menghilangkan
kejenuhan dan bukan merupakan
pekerjaan sampingan maupun hobi.
Pengambilan kayu bakar di dalam
kawasan CAGP lebih banyak dilakukan
oleh penduduk di Desa Cihawuk
dibandingkan dengan dua desa
penelitian
lainnya.
Intensitas
pengambilannya tiap satu minggu
sekali atau sesuai kebutuhan. Rata-rata
responden mengambil kayu bakar
sebanyak satu pikulan yang berisi dua
karung kayu bakar dengan berat total
mencapai 40 kg. Pengambilan kayu
dengan memungut ranting yang telah
jatuh atau dengan menebang pohon.
Jenis kayu yang biasa dimanfaatkan
sebagai kayu bakar adalah kaliandra

(Calliandra callothyrsus), mara bereum
(Macaranga tanarisus (L.) M.A.),
rasamala (Altingia exelsa Norona), dan
suren (Toona sureni Merr.).
Dilakukan analisis kebutuhan kayu
bakar dan produksinya yang bertujuan
untuk mengetahui alasan penduduk
dalam
melakukan
kegiatan
pengambilan kayu bakar ditinjau dari
aspek penggunaan lahan. Hasil analisis
menunjukkan bahwa terdapat surplus
produksi kayu bakar di Desa Sirnajaya
dan Neglawangi, sementara di Desa
Cihawuk terjadi kekurangan produksi
kayu bakar sebesar 1557,6 m3/tahun
(Tabel III.2). Hal tersebut dapat
menjelaskan
alasan
kegiatan
pengumpulan kayu bakar di dalam
cagar yang dilakukan oleh penduduk
Desa Cihawuk dengan intensitas tinggi,
sebab terdapat kekurangan produksi
kayu bakar yang hanya dapat dipenuhi
dari cagar alam.

Tabel III.2 Analisis Kebutuhan dan Produksi Kayu Bakar di Desa Penelitian
Kategori
Satuan
Sirnajaya Neglawangi
Cihawuk
Kebutuhan kayu
3
m /kapita/tahun
2149,2
2829
2994
bakar 1
Produksi kayu
m3/tahun
2920,754
4341
1436,4
bakar 2
Kekurangan/
Surplus
Surplus
Kekurangan
m3/tahun
surplus produksi
771,554
1512
1557,6
kayu bakar3

Keterangan 1 : 0,6 (asumsi konsumsi kayu bakar) x jumlah penduduk
2 : perkiraan produksi kayu bakar tiap tipe tutupan lahan x luas penggunaan lahan
3 : produksi kayu bakar – kebutuhan kayu bakar

Melintasi kawasan dilakukan untuk
menuju ke Bandung atau Garut.
Terdapat dua rute jalan yang membelah
kawasan
CAGP
dan
biasa
dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu
rute Bandung – Kampung Papandayan
– Tibet – Kawah – Kecamatan
Cisurupan – Garut dan rute Bandung –
Cihawuk – Puncak Cae – Darajat –
Garut. Kondisi ini menyebabkan

adanya fragmentasi habitat dan
memudahkan akses masyarakat dalam
memanfaatkan sumber daya yang ada
di dalam CAGP.
Kegiatan pengambilan madu dilakukan
pada musim kemarau dengan cara
membakar sarang lebah dan kemudian
mengambil madunya. Madu yang

diperoleh mencapai dua sampai dengan sekitar kawasan CAGP dalam bentuk
dua setengah liter dalam sehari.
bercocok tanam sayuran pada lahan
milik Perhutani dan PTPN VIII yang
Berbeda dengan mengumpulkan madu, letaknya berdampingan dengan CAGP.
kegiatan
mengumpulkan
jamur Komoditas yang ditanam merupakan
dilakukan pada saat musim penghujan, jenis sayuran khas dataran tinggi,
dimana banyak terdapat jamur yang seperti kubis, kentang, wortel, tomat,
dapat dikonsumsi, seperti jamur kuping dan daun bawang.
(Auricularia auricula) dan jamur tiram
putih (Pleurotus ostreatus).
Kegiatan bertani dilakukan di sekitar
kawasan CAGP sebab
terdapat
Kegiatan untuk tujuan rekreasi biasanya keterbatasan kepemilikan lahan di desa.
tidak dilakukan terpisah melainkan Kebanyakan responden memiliki lahan
bersama-sama dengan kegiatan berburu garapan dengan luasan kurang dari 0,5
satwa, mengumpulkan madu, dan ha dan sebanyak 16,4% dari total
mencari jamur. Rekreasi dalam responden tidak memiliki lahan
pengertian kegiatan yang dilakukan garapan dan hanya menggantungkan
untuk
menghilangkan
kejenuhan penghasilan dengan menjadi buruh tani.
rutinitas sehari-hari. Kegiatan tersebut Banyaknya jumlah penduduk yang
dilakukan dengan berjalan kaki dan tidak memiliki lahan garapan atau
dengan suatu tujuan yang tidak terlalu memiliki namun kurang dari 0,5 ha
jauh dari tepi hutan.
menunjukkan adanya kekurangan lahan
di tiap desa penelitian.
Mengumpulkan rumput sebagai pakan
ternak lebih banyak dilakukan oleh Kekurangan lahan pertanian juga dapat
penduduk Desa Cihawuk, dimana dilihat
dari
rasio
luas
lahan
sebagian masyarakatnya memiliki dibandingkan dengan jumlah petani di
hewan ternak berupa kambing dan sapi desa setempat (Tabel III.3). Di Desa
perah. Pengambilan rumput dilakukan Sirnajaya dan Cihawuk rasio luas lahan
tiap hari sebanyak satu pikulan yang pertanian dengan jumlah petani
terdiri dari dua karung seberat 30 kg.
berturut-turut sebesar 0,13 dan 0,20.
Sementara di Desa Neglawangi yang
Pada umumnya masyarakat tidak hanya seluruh kawasan merupakan milik
melakukan kegiatan di dalam CAGP PTPN VIII, tidak ada areal yang
namun juga sekaligus melakukan diperuntukkan bagi lahan pertanian
kegiatan di sekitar CAGP. Sebagian sehingga rasio menunjukkan angka 0.
besar penduduk di ketiga desa
penelitian melakukan kegiatan di

Desa
Sirnajaya
Neglawangi
Cihawuk

Tabel III.3 Rasio Luas Lahan dengan Jumlah Petani
(Anonim, 2004, 2005a, 2005b dan hasil analisis)
Persentase
Luas
Rasio Luas
Luas
Jumlah
Luas Lahan
Lahan
Desa
Petani** Lahan/Petani
*
Pertanian
Pertanian
(ha/orang)
(orang)
(ha)
(%)
(ha)
480
449,648
93,7
3577
0,13
2413,58
385
433,157
307
70,9
1527
0,20

Keterangan:

* : sawah, ladang, dan kebun
** : petani pemilik, petani penyewa lahan, dan buruh tani

Eksplorasi Panas Bumi
Selain
berbagai
jenis
kegiatan
pemanfaatan yang dilakukan oleh
masyarakat, terdapat pula jenis
pemanfaatan yang dilakukan oleh pihak
swasta yaitu Chevron Texaco Energy
Indonesia Ltd. (CTEI) di kawasan
CAGP dalam bentuk eksplorasi panas
bumi untuk pembangkit listrik tenaga
panas bumi. Kapasitas produksinya
mencapai 300 MW dan menjadi sumber
pasokan listrik untuk Jawa dan Bali.
Kegiatan
tersebut
dilakukan
berdasarkan surat persetujuan Dirjen
PHPA No.520/Menhut/V/36 tanggal 22
Oktober 1986 melalui mekanisme
pinjam pakai kawasan. Luas total
kawasan yang dimanfaatkan untuk
kegiatan eksplorasi seluas 41 ha dan
terletak di Blok Darajat, dimana 26 ha
terletak di CAGP dan 15 ha di kawasan
hutan lindung (BKSDA Jabar II, 2005).

Meskipun sudah dilakukan rehabilitasi
di kawasan bekas perambahan hutan,
namun tidak dapat memulihkan
keanekaragaman hayati yang telah
hilang sebab kawasan hutan hujan
tropis
memiliki
daya
lenting
(resilience) yang sangat rendah
(Richards, 1998). Sehingga terjadi
gangguan maka akan membutuhkan
waktu yang sangat lama untuk dapat
pulih atau tidak dapat pulih sama sekali
karena hara tanah dan siklus air tidak
mampu lagi mendukungnya.

Pemantapan Kawasan
Pemantapan kawasan CAGP masih
mengalami banyak kendala yang
berasal dari geografis kawasan yang
terletak di dua kabupaten (Bandung dan
Garut) dengan akses yang tinggi. Hal
tersebut tidak didukung oleh tata guna
lahan di sekitar CAGP yang belum
berfungsi sebagai derah penyangga.
III.3 Permasalahan Perlindungan Selain itu batas kawasan CAGP dengan
areal lahan di sekelilingnya tidak
CAGP
Permasalahan
pengelolaan dipelihara dengan baik sehingga rawan
perlindungan di CAGP menunjukkan akan terjadinya tumpang tindih
ketidakmampuan otoritas CAGP dalam kawasan dan pemanfaatan lahan di
mengelola
kawasannya
sehingga dalam kawasan CAGP.
muncul berbagai gangguan dan
ancaman dengan tingkat yang rendah Pemanfaatan Kawasan dan Jasa
sampai tinggi dan diindikasikan oleh Lingkungan
adanya kegiatan perambahan hutan di Pemanfaatan sumber daya di dalam
kawasan
tersebut.
Permasalahan kawasan dipengaruhi oleh kondisi
perlindungan di CAGP mencakup sosial ekonomi masyarakat di sekitar
permasalahan keanekaragaman hayati, CAGP. Kedekatan CAGP dengan desa
tidak
langsung
juga
pemantapan kawasan, pemanfaatan secara
ketergantungan
kawasan dan jasa lingkungan, serta menimbulkan
penduduk terhadap kawasan yang dapat
organisasi.
dilihat dari adanya berbagai kegiatan
pemanfaatan sumber daya dengan
Keanekaragaman Hayati
Permasalahan keanekaragaman hayati tingkat intensitas yang berbeda di tiga
di CAGP merupakan dampak ekologis desa penelitian.
dari kegiatan perambahan hutan yang
terjadi pada tahun 1996 sampai dengan Organisasi
2003 dengan luas mencapai 340,38 ha.

Ruang kelola dari Seksi Konservasi
Wilayah II Garut terlalu luas sebab
terdiri dari tiga kawasan cagar alam dan
tiga buah TWA serta tidak ditunjang
oleh sumber daya manusia dan
peralatan
penunjang
kegiatan
perlindungan. Keterbatasan sumber
daya manusia pengelola terlihat dari
jumlahnya yang tidak disesuaikan
dengan tingkat kerawanan kawasan,
kurangnya pendidikan dan pelatihan,
serta motivasi. Selain itu juga terdapat
keterbatasan jumlah sarana dan
ketiadaan
prasarana
penunjang
perlindungan yang juga menjadi alasan
kurang
efektifnya
pelaksanaan
perlindungan di CAGP.

dalam kawasan. Mempertahankan
status sebagai cagar alam dianggap
penting sebab keberadaan cagar alam
sebagai benteng pertahanan terakhir
bagi keanekaragaman hayati yang
semakin terancam akibat peningkatan
populasi manusia.

Solusi dari seluruh permasalahan
pengelolaan perlindungan di CAGP
adalah dengan mengintegrasikan fungsi
konservasi dengan tata guna lahan di
sekitarnya. Usaha tersebut dilakukan
sebab perlindungan bagi kawasan
konservasi tidak akan berhasil tanpa
turut melindungi kawasan lain yang
berbatasan dengannya. Pengintegrasian
fungsi konservasi dengan tata guna
Berdasarkan uraian di atas mengenai lahan di sekitar CAGP memerlukan
permasalahan perlindungan di CAGP pendekatan yang mencakup aspek
maka dapat ditarik akar permasalahan ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan
perlindungan
di
CAGP
yaitu perlindungan untuk dapat mencapai
ketidakmampuan BKSDA Jabar II tujuan penetapan kawasan sebagai
dalam mengelola kawasan CAGP cagar alam.
sesuai dengan statusnya sebagai
kawasan suaka alam yang memerlukan Aspek Ekologi
perlindungan penuh di dalam dan di Pencapaian usaha mengintegrasikan
luar kawasan. Perlindungan di luar fungsi konservasi dengan tata guna
kawasan tidak dapat dilaksanakan lahan di sekitarnya melalui pendekatan
sebab pihak pengelola yang tidak ekologi mencakup upaya konservasi
dan
menstabilkan
fungsi
mempunyai
kontrol
terhadap tanah
penggunaan lahan (land use) di luar hidrologi. Kedua pendekatan tersebut
umum
bertujuan
untuk
kawasan CAGP tidak menjalin kerja secara
sama dan komunikasi dengan otoritas melindungi daerah di sekitar CAGP dan
kawasan yang berbatasan dengan sekaligus mengembangkan manfaatnya
CAGP
dan dengan masyarakat bagi masyarakat.
setempat.
Usaha konservasi tanah bertujuan untuk
III.4
Solusi
Permasalahan memperbaiki cara penggunaan lahan di
sekitar CAGP. Penggunaan lahan di
Perlindungan CAGP
Solusi dari permasalahan di atas luar kawasan CAGP sebagai lahan
dirancang
dengan
tetap pertanian menimbulkan konsekuensi
mempertahankan
status
kawasan tersendiri bagi terjadinya kerusakan
sebagai cagar alam meskipun terdapat tanah melalui erosi dan aliran air
kemungkinan untuk mengubah status permukaan. Pemanfaatan lahan yang
curam
sebagai
lahan
kawasan menjadi taman nasional atau berlerang
cagar biosfer yang memungkinkan pertanian juga mempercepat erosi
adanya pemanfaatan sumber daya di permukaan tanah. Oleh karena itu perlu

dilakukan usaha konservasi tanah untuk
mencegah kerusakan tanah oleh erosi
dan aliran permukaan, memperbaiki
tanah yang kritis, mendukung kapasitas
cagar, memelihara produktivitas tanah,
dan mencegah terjadinya banjir serta
longsor.
Usaha konservasi tanah untuk lahan
pertanian yang berada di sekitar CAGP
dapat diterapkan melalui Sistem Usaha
Tani Konservasi (SUK). Prinsip SUK
adalah pengendalian erosi tanah dan
konservasi air secara efektif, serta
peningkatan produktivitas tanah dan
stabilitas lereng. Komponen teknologi
SUK meliputi pengendalian erosi tanah,
penataan aliran air
permukaan,
introduksi ternak dan hijauan pakan,
serta penggunaan tanaman tahunan
penguat teras (Abas, et al., 2003).
Usaha konservasi tanah melalui
penerapan SUK pada lahan pertanian di
sekitar CAGP diharapkan dapat
memperbaiki sistem pertanian menjadi
pertanian berkelanjutan yang turut
mendukung usaha pelestarian cagar
alam.

Di bidang ekonomi, usaha untuk
mengintegrasikan fungsi konservasi
dengan tata guna lahan di sekitarnya
dilakukan
dengan
cara
mengembangkan daerah di sekitar
CAGP agar dapat berfungsi sebagai
penyangga hutan yang bertujuan untuk
mengurangi
interaksi
masyarakat
terhadap
CAGP.
Diharapkan
masyarakat tidak perlu lagi mengakses
sumber daya di dalam cagar sebab
sumber daya yang dibutuhkan telah
tersedia di kawasan penyangga. Selain
sebagai penyangga hutan, daerah
penyangga juga berfungsi sebagai
penyangga ekonomi masyarakat.

Pengembangan daerah di sekeliling
CAGP
disesuaikan
dengan
pemanfaatan sumber daya di tiap desa.
Kegiatan mengumpulkan jamur dan
madu yang selama ini dilakukan di
dalam kawasan CAGP dikembangkan
untuk dapat dibudidayakan di luar
kawasan CAGP yaitu lahan yang
dikelola oleh Perum Perhutani dan
PTPN VIII. Pengembangan fungsi
kawasan di sektar CAGP selain sebagai
hutan produksi dan perkebunan teh
Menstabilkan
fungsi
hidrologi namun juga dapat berfungsi untuk
bertujuan untuk meningkatkan fungsi meningkatkan kesempatan berusaha
CAGP bagi masyarakat secara luas. bagi masyarakat setempat memerlukan
Sebagai hulu dari dua sungai besar koordinasi dan kerja sama yang baik
yang ada di Jawa Barat yaitu Sungai dengan otoritas kawasan.
Citarum dan Cimanuk, CAGP memiliki
kepentingan pelestarian yang sangat Aspek Sosial Budaya
tinggi. Kerusakan hutan di kawasan Untuk mengatasi permasalahan sosial
hulu
akan berdampak terhadap ekonomi di CAGP diperlukan upaya
menyediakan
kebutuhan
penurunan debit air dan penurunan untuk
kemampuan tanah dalam menyimpan pemenuhan hidup bagi masyarakat
air. Oleh karena itu diperlukan setempat, menciptakan hubungan kerja
menggunakan
pendekatan
perlindungan bagi kawasan tangkapan sama
air (hutan kawasan CAGP) dan kolaboratif, dan penyuluhan untuk
persepsi
masyarakat
penghijauan di sepanjang bantaran mengubah
mengenai
CAGP.
Diperlukan
sungai.
pengembangan area di luar CAGP pada
kawasan Desa Cihawuk sebagai hutan
Aspek Ekonomi
tanaman kayu bakar untuk mencukupi

kekurangan produksi kayu bakar (lihat
Tabel III.2). Luas area untuk hutan
tanaman kayu bakar disesuaikan
dengan kekurangan produksi kayu
bakar sebanyak 1557,6 m3/tahun.
Sehingga diperlukan lahan seluas 89 ha
yang diperuntukkan sebagai hutan
tanaman kayu bakar (perkiraan
produksi kayu bakar untuk hutan
tanaman kayu bakar sebesar 17,5
m3/ha/tahun).
Jenis tanaman yang dikembangkan
sebagai kayu bakar adalah kaliandra
(Calliandra
calothyrsus)
sebab
kaliandra memiliki perumbuhan yang
cepat dan kayunya cukup padat serta
kering
sehingga
sesuai
untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat akan
kayu bakar. Kondisi optimal untuk
perumbuhan kaliandra adalah lokasi
dengan ketinggian antara 200-1800
mdpl, memiliki rata-rata suhu minimum
tahunan 18-22oC, dan curah hujan
1000-4000
mm/tahun
(Roshetko,
2000). Hal tersebut sesuai dengan
kondisi fisik daerah penelitian dimana
ketinggian di tiga desa berkisar 13001780 mdpl, suhu udara mencapai 1026oC, dan curah hujan 2500-3000
mm/tahun.

masyarakat dapat menanam hijauan
ternak di bawah tegakan hutan produksi
sehingga mereka tidak perlu mengakses
sumberdaya di CAGP. Tanaman
hijauan untuk ternak dapat berupa
rumput maupun tanaman leguminosa.
Pola pengelolaan dapat menggunakan
sistem PHBM, seperti yang telah
berjalan di kawasan hutan BKPH
Pangalengan
yang
menerapkan
pemanfaatan kawasan hutan dengan
penanaman rumput gajah dengan
produktivitas rata-rata 12 ton/ha/bulan
(Perum Perhutani, 2006). Rumput
selain berfungsi sebagai sumber pakan
ternak juga merupakan pelindung tanah
yang baik.

Fasilitas untuk akses pendidikan,
kesehatan, pamasaran hasil pertanian,
dan
berbagai
bantuan
perlu
ditingkatkan mengingat keberadaannya
di tiap desa sangat terbatas. Jenis
bantuan yang dibutuhkan berupa
pengadaan sapi perah, bibit tanaman
kaliandra, rumah jamur, serta pelatihan,
bimbingan, dan pendampingan dalam
melakukan budidaya lebah madu dan
jamur. Fasilitas pendidikan untuk
sekolah lanjutan dan penempatan bidan
desa juga sangat diperlukan di ketiga
desa penelitian. Fasilitas tersebut
Selain dapat sebagai sumber kayu sebagai insentif atas pembatasan
bakar, kaliandra juga merupakan kegiatan pemanfaatan yang dilakukan
sumber pakan ternak, pelindung tanah, di kawasan CAGP, sehingga penduduk
sumber pakan untuk lebah madu, serta dapat memperoleh manfaat tidak
dapat digunakan untuk kepentingan langsung dari keberadaan cagar alam.
reklamasi dan rehabilitasi lahan
(Roshetko, 2000). Banyaknya fungsi Koordinasi dan kerja sama dengan
dari kaliandra menyebabakan tanaman otoritas kawasan yang berdekatan
tersebut sesuai dikembangkan di dengan CAGP diperlukan untuk dapat
kawasan seitar CAGP karena dapat membantu
pelaksanaan
kegiatan
menyediakan beragam manfaat bagi perlindungan di luar kawasan. Otorita
penduduk dan lingkungan.
kawasan yang berbatasan dengan
CAGP juga mendapatkan keuntungan
Selain itu diperlukan kerja sama dengan dari hubungan kerja sama ini melalui
otoritas kawasan yang berbatasan mekanisme bagi hasil dari setiap
dengan
CAGP
diperlukan
agar

perolehan
budidaya.

keuntungan

kegiatan menjaga CAGP, dan sebagainya. Selain
itu kegiatan penyuluhan juga sebagai
upaya untuk menciptakan komunikasi
Hubungan kerja sama antara pengelola dan menciptakan dukungan bagi
CAGP,
otoritas
kawasan
yang CAGP. Berdasarkan pengamatan di
berbatasan dengan CAGP,
dan desa penelitian, kegiatan penyuluhan
masyarakat setempat dikembangkan lebih efektif bila dilaksanakan secara
melalui
pendekatan
kolaboratif. informal. Kegiatan yang bersifat formal
Pendekatan ini didasarkan pada seringkali dianggap oleh masyarakat
keyakinan bahwa dukungan masyarakat sebagai paksaan sehingga mereka
merupakan hal penting agar usaha enggan menghadirinya.
konservasi dapat berkelanjutan dengan
cara
memfasilitasi
perbedaan Aspek Perlindungan
kepentingan diantara pihak pengelola Kegiatan perlindungan di dalam
dan masyarakat melalui pembagian kawasan ditekankan pada upaya
peran dan tanggung jawab untuk tiap pengawasan terhadap pelanggaran yang
stakeholder (Polet, 2003). Pendekatan terjadi di dalam kawasan, memelihara
ini merupakan pengembangan dari pola batas kawasan, mengunjungi desa di
CAGP,
dan
pencatatan
kemitraan dan konsep partisipasi dalam sekitar
pengelolaan kawasan konservasi yang informasi hayati melalui upaya
dilandasi oleh pembagian wewenang memantau perubahan yang terjadi di
dan
tanggung
jawab
diantara dalam cagar, mengumpulkan data
stakeholder (Carter dan Gronow, 2005; mengenai ketersediaan air, musim
Borrini-Feyerabend, 1996). Dalam berbunga dan berbuah, jumlah populasi
tertentu,
serta
penelitian ini upaya kolaboratif spesies
dilakukan pada lingkup kawasan yang perkembangbiakan satwa. Seluruh
kegiatan tersebut dilakukan sebagai
mengelilingi CAGP.
rangkaian kegiatan dari pelaksanaan
Penyuluhan
diperlukan
untuk patroli rutin yang dilakukan oleh
meningkatkan kesadaran masyarakat polhut.
akan konservasi mengingat selama ini
masyarakat menganggap
kawasan Intensitas kegiatan perlindungan di tiap
CAGP sebagai sumber kehidupan yang kawasan disesuaikan dengan tingkat
menyediakan
berbagai
kebutuhan kerawanan kawasan yang ditentukan
pemenuhan hidup. Melalui penyuluhan berdasarkan kriteria kedekatan desa
yang dilakukan oleh pihak pengelola dengan CAGP, sejarah perambahan
CAGP maupun oleh tokoh masyarakat hutan, serta rasio luas lahan dan jumlah
setempat diharapkan dapat mengubah petani (Tabel III.4). Dari analisis
persepsi masyarakat mengenai CAGP diperoleh hasil bahwa ketiga desa
menjadi sumber kehidupan yang harus memiliki tingkat kerawanan yang sama
dilestariakan agar dapat dinikmati oleh yaitu sedang namun dengan ancaman
yang berbeda.
generasi yang akan datang.
Informasi yang disampaikan dalam
penyuluhan berupa keuntungan yang
diperoleh dari kelestarian kawasan,
tujuan penetapan kawasan, tata batas
kawasan, peran masyarakat dalam ikut

Kerawanan kawasan dengan tingkatan
sedang di ketiga desa penelitian
membawa konsekuensi bahwa kegiatan
patroli rutin harus dilaksanakan dengan
intensitas tinggi dengan dilengkapi

sumber daya manusia dan peralatan ditingkatkan menjadi dua kali dalam
yang memadai. Intensitas kegiatan satu minggu.
patroli di ketiga desa penelitian perlu
Tabel III.4 Tingkat Kerawanaan Kawasan di Desa Penelitian
Desa
Sirnajaya
Neglawangi
Cihawuk
Kedekatan
1 km dan dibatasi 2 km dan dibatasi
< 1 km dan
dengan CAGP
oleh hutan
oleh hutan produksi dibatasi oleh hutan
produksi
serta perkebunan teh produksi
Sejarah
25,94 ha yang
57,29 ha yang
22,27 ha yang
perambahan
tersebar di tiga
tersebar di tujuh
tersebar di dua
hutan
lokasi
lokasi
lokasi
Rasio luas lahan
dengan jumlah
0,13
0,20
petani
Tingkat
kerawanaan
**
**
**
kawasan1
Keterangan
1 = * : rendah
** : sedang
*** : tinggi

melindungi
kawasan
yang
III.5 Usulan Model Pengelolaan
berbatasan
dengan
CAGP.
Perlindungan di CAGP
Usulan model pengelolaan disusun 2. Permasalahan perlindungan di
berdasarkan solusi dari permasalahan
CAGP terdiri dari empat aspek,
perlindungan di CAGP. Tujuan dari
yaitu (1) keanekaragaman hayati
penyusunan model pengelolaan adalah
berupa perambahan hutan; (2)
untuk merencanakan perlindungan di
pemantapan
kawasan
berupa
kawasan cagar alam agar tercapai
permasalahan tata batas dan tidak
fungsi
pokok
kawasan.
Proses
adanya daerah penyangga; (3)
perencanaan strategis terdiri dari tiga
pemanfaatan sumber daya di dalam
tahap,
yaitu
formulasi
strategi,
kawasan;
dan
(4)
keadaan
implementasi strategi, dan evaluasi
organisasi yang tidak ditunjang
strategi (Gambar III.2). Formulasi
sumber daya manusia dan peralatan
strategi
meliputi
kegiatan
yang memadai.
mengembangkan visi dan misi, 3. Solusi
dari
permasalahan
penilaian faktor internal dan eksternal,
perlindungan di CAGP adalah
menetapakan tujuan jangka panjang,
pengintegrasian fungsi kawasan
serta merumuskan alternatif strategi.
terhadap tata guna lahan di
sekitarnya yang mencakup aspek
ekologi, ekonomi, sosial budaya,
IV. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
dan perlindungan.
1. Akar permasalahan pengelolaan
perlindungan di CAGP berasal dari Daftar Pustaka
ketidakmampuan pengelola dalam 1. Abas, A., Soelaeman, Y.,
menjaga keutuhan kawasannya dan
Abdurachman, A. (2003), Keragaan
dan dampak penerapan sistem

usaha tani konservasi terhadap
tingkat produktivitas lahan
perbukitan Yogyakarta, Jurnal
Litbang Pertanian, 22 (2), 49-56.
2. Anonim. (2004), Profil Desa
Neglawangi Tahun 2004,
Pemerintah Desa Neglawangi, 1-17.
3. Anonim. (2005a), Profil Desa
Sirnajaya Tahun 2005, Pemerintah
Desa Sirnajaya, 1-17.
4. Anonim. (2005 b), Profil Desa
Cihawuk Tahun 2005, Pemerintah
Desa Cihawuk, 1-17.
5. Borrini-Feyerabend, G. (1996),
Collaborative Management of
Protected Areas: Tailoring the
Approach to the Context, Issues in
Social Policy, IUCN, Switzerland,
2-9.
http://iucn.org/themes/spg/Tailor/Ta
ilor.html
6. BKSDA Jabar II. (2005), Rencana
Pengelolaan Cagar Alam Gunung
Papandayan 2005-2030, Buku III:
Rencana Pengelolaan, Balai
Konservasi Sumber Daya Alam II
Jawa Barat, I.1-V.21.
7. Carter, J., Gronow, J. (2005),
Recent Experience in Collaborative
Forest Management; A Review
Paper, Center for International
Forestry Research, Bogor, 1-17.
8. Departemen Kehutanan. (2005),
Pengelolaan Kolaboratif,
Departemen Kehutanan Republik
Indonesia, 4-18.
9. IUCN. (1994), Gudelines for
Protected Area Management
Categories, Gland, Switzerland.
http://www.iucn.org/themes/wcpa/p
ubs/parks.htm#143
10. Mierauskas, P. (2004), An
evaluation of the strict nature
reserve management in Lithuania

and their correspondence to
international requirements,
Environmental Research,
Engineering, and Management,
3(29), 62-70.
http://www.apini.lt/LT/Zurnals/Stra
ipsniai/29/08_P.Mierauskas.pdf
11. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 68 Tahun 1998
Tentang Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam.
12. Perum Perhutani. (2006),
Pengelolaan Sumber Daya Hutan
KPH Bandung Selatan, Perum
Perhutani, 13-17.
13. Primack, R., Supriatna, J.,
Indrawan, M., Kramadibrata, P.
(1998), Biologi Konservasi,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
265-308.
14. Richards, P.W. (1998), The
Tropical Rain Forest an Ecological
Study, Cambridge University Press,
7-22.
15. Roshetko, J.M. (2000), Calliandra
calothyrsus di Indonesia, dalam
Lokakarya Produksi Benih dan
Pemanfaatan Kaliandra,
ICRAF/Winrock, Bogor, 27-30.
16. Saparjadi, K. (1998), Kerjasama
kemitraan dalam mendukung
pengelolaan kawasan pelestarian
alam dan kawasan suaka alam,
dalam Proceeding and Background
Paper Pengembangan Kerjasama
Kemitraan dalam Mendukung
Pengelolaan Kawasan Pelestarian
Alam dan Kawasan Suaka Alam,
Ditjen PHPA Dephutbun, Jakarta,
II.1-II.10.
http://www.nrm.bappenas.go.id/Do
c/Rpt_Tech/%2310_Pengembanga
n%20Kerjasama%20Kemitraan.p
df

17. Sitorus, T. (2006), Pola
Perlindungan Hutan yang Mantap
pada Tingkat Hulu.
http://www.fkkm.org
18. Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan.
19. Yunus, L. (2005), Simbiosis
mutualisme: masyarakat dan
kawasan cagar alam, dalam
Prosiding Seminar Nasional
Membangun Teluk Bintuni Berbasis
Sumberdaya Alam, Jakarta, Sihite,
J., Lense, O., Gustiar, C., Suratri,
R., Kosamah, K, Editor, 75-85.
www.coraltrianglecenter.org/downl
oads/Buku_prosiding_screen.pdf

Gambar III.2 Usulan model pengelolaan perlindungan di CAGP

Dokumen yang terkait

Pengelolaan Publikasi MelaluiMedia Sosial Sebagai sarana Pengenalan Kegiatan Nandur Dulur( Studi deskriptif pada tim publikasi Nandur Dulur)

0 66 19

FUNGSI MEDIA KOMUNIKASI TRADISIONAL WAYANG KULIT DALAM ACARA RUWATAN ALAM (Studi Pada Tradisi Ruwatan Alam Di Desa Sendi, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto)

0 94 37

EVALUASI PENGELOLAAN LIMBAH PADAT MELALUI ANALISIS SWOT (Studi Pengelolaan Limbah Padat Di Kabupaten Jember) An Evaluation on Management of Solid Waste, Based on the Results of SWOT analysis ( A Study on the Management of Solid Waste at Jember Regency)

4 28 1

IDENTIFIKASI BAHAYA, PENILAIAN RISIKO DAN PENGENDALIAN RISIKO PADA PEKERJAAN TAMBANG BELERANG (Studi pada Pekerja Tambang Belerang di Taman Wisata Alam Kawah Ijen)

14 133 76

Perlindungan hukum dan sengketa rahasia dagang (analisis putusan MA nomor 1713 K/Pdt/2010)

12 114 0

Perancangan Sistem Informasi Pengelolaan Yayasan (Sinpeya) Pada Balai Perguruan Putri (BPP) Pusat Bandung

7 79 187

Pengaruh Pengelolaan Keuangan Daerah Dan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah (Study Kasus Pada Dinas Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah Di Pemerintah Kota Bandung)

3 29 3

Analisis Sistem Informasi Pengelolaan STNK Di Unit Pelayanan Pendapatan Daerah (UPPD) Wilayah XX/Samsat Bandung Barat

15 155 60

Senang Belajar Ilmu Pengetahuan Alam Kelas 1 S Rositawaty Aris Muharam 2008

0 27 147

Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 19 17