Potensi Bahasa dan Sastra pada Era Ekono

Potensi Bahasa dan Sastra pada Era Ekonomi Kreatif:
Mengubah Persepsi dan Membaca Peluang 1

Falantino Eryk Latupapua2

Abstrak: Wacana rekonstruksi fungsi dan peran bahasa dan sastra dalam era
ekonomi kreatif telah menjadi wacana yang cukup mengemuka. Betapa tidak sifat
dulce et utile yang telah lama dikenal sebagai sifat dasar yang melahirkan fungsifungsi yang relevan seharusnya telah menempatkan bahasa dan sastra sebagai
salah satu anasir utama dalam pengembangan ekonomi kreatif. Sebagai alu-aluan,
dunia sastra seharusnya sejak lama telah sampai pada ranah aplikatif yang berhulu
pada teori-teori dan konsep-konsep hakiki yang oleh sebagian orang justru
menempatkan sastra pada semacam’menara gading’ yang akhirnya membentuk
persepsi umum tentang sastra sebagai produk bahasa yang eksklusif dan sulit
untuk didekati. Pada kenyataannya, telah terjadi pemisahan antara sastra serius
dan sastra populer yang membentuk dua kutub dengan sifat dan tujuan yang amat
senjang. Relasi yang demikian kiranya dapat dihubungkan dengan kenyataan
bahwa dalam pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan, banyak persepsi dan
miskonsepsi terhadap bahasa dan sastra yang perlu diubah, demi penyadaran
masif tentang peran bahasa dan sastra dalam rangka pembangunan masyarakat
yang kreatif menuju sejahtera. Makalah ini merupakan sumbangan pemikiran
yang diharapkan dapat merekonstruksi pandangan pembaca tentang pentingnya

sastra, baik sebagai bidang kajian,sebagai sains, maupun sebagai wilayah
apresiatif, agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan
menyediakan ruang-ruang makna yang terbuka dan selalu terbarukan. Dengan
demikian, makalah ini sesungguhnya akan menjadi pemancing bagi studi-studi
yang lebih luas dan komprehensif menyangkut relasi sastra dengan ekonomi
kreatif dan potensi pengembangannya dalam perspektif kewirausahaan dan
pendidikan yang berorientasi pada ranah praktikal dan kekaryaan.
Kata Kunci: bahasa dan sastra, persepsi, peluang, ekonomi kreatif,
kewirausahaan.

1

Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Kantor Bahasa Maluku, 2 November 2016.
Dosen tetap/ Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas
Pattimura (kultwit: @erykfalantino; surel: falantinoeryk2@gmail.com)

2

Alu-Aluan: Mengubah Persepsi
Secara empiris dalam masyarakat kapitalistik, profesi yang dianggap tepat

dan sesuai serta layak menjadi pilihan adalah profesi yang menjanjikan
keuntungan finansial dalam jangka waktu singkat, serta peningkatan status sosial
yang serta-merta. Hal demikian menyebabkan profesi-profesi yang bukan arus
utama, seperti: sastrawan, seniman pada berbagai kategori karya, dan berbagai
profesi lainnya tidak terlalu diminati, terutama oleh generasi muda. Bahasa dan
sastra, baik sebagai ilmu maupun sebagai seni, tidak terlalu menarik perhatian
generasi muda. Fakta tersebut dapat dibuktikan melalui pengamatan dan kajiankajian terhadap minat siswa untuk belajar bahasa dan sastra, serta memilih bidang
ilmu tersebut untuk ditekuni dan dipelajari secara mendalam.
Selain itu, sastra sering dianggap sebagai bidang ilmu yang terlalu
kontemplatif; membutuhkan daya imajinasi dan kemampuan analitik yang kadang
ambigu dan subjektif sehingga tidak banyak orang yang tertarik menggeluti sastra,
baik sebagai sastrawan, penulis, peneliti, dan lain-lain. Di perguruan tinggi, sastra
sering dianggap sebagai “menara gading” yang eksklusif tapi berjarak dan sulit
dijangkau. Namun, sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa di sekolahsekolah di Indonesia terjadi semacam peminggiran terhadap sastra dan karya
sastra. Siswa-siswi yang cerdas biasanya memilih menekuni bidang-bidang ilmu
sosial dan eksakta, tentu dengan jaminan mendapatkan pekerjaan yang
menawarkan upah dan peningkatan status sosial yang signifikan.
Selanjutnya, pemisahan yang tegas yang dilakukan oleh sebagian
sastrawan, kritikus, ahli sastra, dan pegiat sastra lainnya, terhadap sastra serius
dan sastra populer melahirkan persoalan tersendiri. Dikotomi tersebut

menyebabkan sastra populer cenderung dianggap sebagai sastra arus bawah,
sedangkan sastra serius dianggap sebagai arus utama. Hal tersebut lalu
menyebabkan pembelajaran sastra yang cenderung mengacu pada karya sastra
serius atau sastra kanon sering tidak memberikan ruang bagi karya-karya populer.
Berdasarkan berbagai hasil penelitian, pembelajaran bahasa dan sastra di
sekolah belum cukup berhasil menggiring siswa untuk mencintai bahasa dan
sastra dan menikmati aktivitas pembelajaran. Sebagai contoh, dalam penelitian

Swastika, dkk (2010) ditemukan lima permasalahan yang umumnya dihadapi
guru.

Permasalahan

pertama

yaitu

pembelajaran

monoton


dan

sangat

membosankan karena hanya berpusat pada guru. Permasalahan kedua adalah
kemampuan membaca, mengapresiasi karya sastra, dan minat belajar siswa
terhadap sastra masih rendah. Permasalahan ketiga adalah guru belum
menerapkan model-model pembelajaran yang bervariatif sesuai tuntutan
kurikulum. Guru hanya menggunakan metode ceramah dan penugasan.
Permasalahan kelima adalah media untuk pembelajaran sastra kurang bervariasi
dan hanya berkisar pada buku teks3.
Meskipun demikian, kesenjangan antara proses dan hasil dalam
pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah bukanlah penyebab utama. Berbagai
rilis kajian dan penelitian menunjukkan bahwa minat baca di Indonesia
merupakan salah satu yang terendah di dunia4. Hal ini mengimplikasikan bahwa
membaca belum menjadi budaya sebagian besar orang Indonesia. Selain itu, kita
dapat melihat dengan jelas hubungan antara sekian faktor yang telah dijelaskan di
atas dengan satu kesimpulan utama: minat baca belum dipupuk sedari dini. Pada
sisi inilah, kita bisa menyepakati bahwa rendahnya minat baca tersebut tidak dapat

dilepaskan dari peran orang tua dalam keluarga-keluarga di Indonesia yang
kurang memberi dukungan terhadap anak untuk mencintai bahan bacaan sedari
dini. Fakta ini tidak hanya menjadi pelik di Indonesia tetapi juga di negara-negara
besar, seperti Australia dan Amerika Serikat.5
Semua fakta memprihatinkan yang telah dipaparkan di atas secara jelas
menunjukkan kepada kita bahwa situasi pembelajaran dan minat baca seperti itu
berdampak buruk dalam jangka panjang terhadap generasi muda. Orang-orang
muda yang tidak membaca berarti akan terasing dari dinamika ilmu pengetahuan.
Meskipun perkembangan media massa sangat pesan dan menawarkan kemudahan
Swastika, Ika A. A. , dkk. 2011. “Tren Pembelajaran Sastra: Telaah Model Pembelajaran dalam
Penelitian Mahasiswa Universitas Negeri Malang Tahun 1990-2010.” Dimuat dalam Jurnal
Online UM: http://jurnal-online.um.ac.id.
4
http://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131
5
“Teens Today Don’t Read Books Anymore”: A Study of Differences in Interest and
Comprehension Based on Reading Modalities. Journal of Research of Libraries dan Young
Adults, 2 November 2010, ISSN 2157 3980.
3


akses informasi, membaca masih menjadi salah satu aktivitas yang paling vital
dalam rangka membentuk daya nalar melalui akumulasi pengetahuan, termasuk
memeperkenalkan seseorang kepada luasnya dunia pengetahan tersebut. Di
samping itu, secara asumtif, rendahnya minat baca menyebabkan munculnyan
berbagai perilaku ilmiah yang menyimpang seperti plagiarism, pencontekan, dan
lain-lain. Rendahnya keterampilan membaca membuktikan bahwa proses
pendidikan belum mengembangkan kompetensi dan minat peserta didik terhadap
pengetahuan. Praktik pendidikan yang dilaksanakan di sekolah selama ini juga
memperlihatkan bahwa sekolah belum berfungsi sebagai organisasi pembelajaran
yang menjadikan semua warganya sebagai pembelajar sepanjang hayat. 6
Demikianlah, hubungan antara minat baca, kesenjangan implementasi
pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah menyebabkan sastra tidak berkembang
sebagimana seharusnya. Guru sering kehilangan kesempatan untuk mengenali dan
memberikan ruang bagi optimalisasi bakat dan potensi anak dalam bidang sastra.
Anak didik sering kehilangan kesempatan untuk mengembangkan dirinya. Secara
keseluruhan, tidak terbangun keseimbangan antara hard skills dan soft skills
seperti yang seharusnya terjadi dalam suatu pembelajaran holistik yang
memanusiakan.

Era Ekraf dan Kewirausahaan

Konsep ekonomi kreatif dan kewirausahaan sama sekali bukan konsep
yang baru muncul belakangan ini. Istilah ini mulai dicetuskan pada tahun 2001
dari paparan John Kowkins. Ia menjelaskan bahwa, ekonomi kreatif adalah “the
transactions of creative products that have an economic good or service that
results from creativity and has economic value”7 (hal. 8). Jadi, ekonomi kreratif
adalah suatu proses menghasilkan nilai guna ekonomi melalui pemikiran dan ide,
sehingga menghasilkan terobosan baru.

6

Wiedarti, dkk. 2016. Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
7
Kowkins, John. 2001. The Creative Economy: How People Make Money From Ideas. New York:
Penguin.

Lebih lanjut, ia menjelaskan tentang perubahan ekonomi global yang
memunculkan tren baru pendaftaran hak paten, yang memungkinkan setiap orang
dilindungi hak-haknya atas kekayaan pikiran atau intelektualnya. Konsep ini
kemudian menjadi populer karena mampu memberikan peningkatan kontribusinya

dalam perkembangan ekonomi pada suatu negara.
Indonesia juga mengaplikasikan konsep ini dalam upaya untuk
meningkatkan dunia industri kecil menengah. Ekonomi kreatif memberi
sumbangan besar bagi perekonomian di Indonesia. Sebagai gambaran, Menurut
data BPS, tahun 2013 sektor ekonomi kreatif menyumbang 7,8% dari PDB
Indonesia dengan nilai 614,8 triliun, dengan akumulasi pertumbuhan 5,76% per
tahun. Pada tahun yang sama, sektor ini berhasil menggerakkan 5,4 juta unit usaha
yang menyerap 11,8 juta tenaga kerja.8
Ekonomi

kreatif

erat

kaitannya

dengan

kewirausahaan


atau

entrepreneurship. Dalam bahasa Inggris wirausaha adalah entrepreneur, istilah ini
pertama kali diperkenalkan oleh Richard Cantillon, seorang ekonom Prancis.
Menurutnya, entrepreneur adalah “agent who buys means of production at
certain prices in order to combine them”. Dalam waktu yang tidak terlalu lama,
ekonom Perancis lainnya- Jean Baptista Say menambahkan definisi Cantillon
dengan konsep entrepreneur sebagai pemimpin9. Jadi, wirausahawan dalam
konteks ekonomi kreatif dapat didefinisikan sebagai orang yang mampu
mengubah ide dan pikiran kreatif menjadi sesuatu barang atau jasa dengan nilai
ekonomis tertentu.

Membaca Peluang
Pada era sekarang, industrialisasi media massa merupakan peluang emas
dan potensi ekonomi yang amat besar. Proses digitalisasi yang semakin massif
memberikan ruang yang sangat lapang bagi kreativitas, sama lapangnya dengan

8

9


Sumber data: https://m.tempo.co/read/news/2016/03/02/090750007, diakses tanggal 28
September 2016.
Sumber: http://www.kompasiana.com/www.habibamin.blogspot.com/pengertian-tujuan-danteori-kewirausahaan-materi-kuliah_550e5459813311862cbc625d

penghargaan secara ekonomis terhadap kreativitas tersebut. Oleh karena itu,
bidang-bidang industri kreatif secara serta-merta menjadi bidang yang sangat
diminati karena menawarkan kapital yang melimpah. Bidang-bidang yang terkait
dengan itu, antara lain: pertelevisian, periklanan, musik populer, fesyen, sastra,
cendera mata, desain, dan lain-lain.
Dinamika industri kreatif yang sangat menggejala tidak dapat kita
pisahkan dari peran sentral bahasa sebagai garbah komunikasi. Bahasa menjadi
media untuk menyampaikan pikiran dan gagasan manusia yang kadang amat luas
dan tanpa batas, sehingga dengan sendirinya kreativitas menjadi tidak statis. Oleh
karena itu, peluang bahasa dan produk-produk kebahasaan, termasuk sastra
tentunya, untuk menjadi dimensi sentral dalam era ekonomi kreatif dan
kewirausahaan menjadi sangat besar dan tanpa batas. Kita tentu mengenal
penulis-penulis yang menjadi besar dan mapan dengan mengoptimalkan daya
imajinasi seperti J. K. Rowling (Harry Potter), Anne Ahira, Tere Liye, bahkan
sastrawan besar sekelas Rendra dan Pramoedya Ananta Toer. Mereka ini adalah

orang-orang yang secara konsisten memberdayakan imajinasi dan kemampuan
mengonstruksikan pikiran secara luas sehingga menghasilkan karya-karya yang
populer, meskipun secara ideologis beberapa mereka tidak memaksudkan karyakarya tersebut sebagai karya populer.
Pada sisi yang lain, era posmodernisme bahkan hipermodernisme
menuntun masyarakat dunia pada pengagungan terhadap narasi-narasi kecil,
keunikan, sesuatu yang liyan dan “tidak biasa”. Karena itu, produk-produk
industri berhasil di pasaran adalah yang unik, eksklusif, dan amat personal dapat
didorong untuk menjelajahi ruang-ruang baru yang menjadi tanpa batas. Narasi
faktual dengan tema yang biasa atau yang sangat umum kemudian dapat diubah
melalui kemampuan jelajah imajinatif seorang penulis menjadi rentetan narasi
yang personal namun memukau dan filosofis. Madre kaya Dewi Lestari atau
Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara adalah dua dari sekian banyak narasi
memukau tersebut.
Pada ranah media sosial, ruang-ruang naratif yang semakin terbuka lebar
secara timbal-balik digerakkan oleh perilaku berbahasa yang variatif dan penuh

spontanitas. Satu “kicauan” dalam satu kalimat di ruang-ruang media sosial dapat
menjadi narasi yang menegaskan posisi sekaligus memiliki kemungkinan untuk
memengaruhi banyak orang. Pada sisi inilah, orang-orang dengan kemampuan
membaca peluang ekonomi secara kreatif dapat meneguhkan posisinya sebagai
wirausahawan dengan memanfaatkan ruang-ruang yang terbuka lebar pada media
sosial tersebut. Kalimat-kalimat yang unik, berkarakter budaya, unik, dan personal
dapat dimanfaatkan sebagai kontinum material suatu produk berbasis ekonomi
kreatif. Demikian pula dengan narasi-narasi sastra yang bersifat unik, personal,
dan berangkat dari lokalitas dapat digunakan pula. Berikut ini adalah beberapa
contoh yang tersebar luas di media sosial Facebook dan Path:

Sumber: Facebook #kapalabaterek

Ketiga gambar di atas adalah contoh pemanfaatan media sosial untuk
mengekspresikan bahasa dan menarasikan pikiran dalam nuansa lokal, spontan,
akrab, dan unik. Jikalau ekspresi-ekspresi lokal dan spontan seperti ini kemudian
dijadikan sebagai material dasar untuk berbagai produk berbasis ekonomi kreatif
maka kita akan mendapatkan produk-produk serupa Dagadu di Yogyakarta,
Dadung di Bali, namun dengan nuansa lokal Maluku. Konsepnya tidak sama
sekali baru tetapi yang muncul adalah model untuk merayakan kemajemukan,
keunikan budaya, serta spontanitas yang tanpa batas.
Selanjutnya, industri media, yang meliputi radio, televisi, dan internet
yang juga semakin massif dan global membutuhkan unsur-unsur penyokong
industri yang kuat dan kompetitif, nyaris semuanya berhubungan dengan bahasa

(dan sastra). Profesi-profesi seperti pewara, pencipta lagu, penulis script/
skenario, artis, wartawan, dan lain-lain, menjadi profesi yang dianggap bergengsi
dan menawarkan kesempatan serta kapital yang cukup melimpah. Tokoh-tokoh
seperti Andi F. Noya, Melly Goeslaw, Hanung Bramantyo, Leila S. Chudori, dan
lain sebagainya, adalah sebagian yang dapat disebutkan sebagai contohnya.
Dengan demikian, kita dapat membangun asumsi bahwa di masa depan,
bidang ekonomi kreatif dalam bidang bahasa dan sastra (atau komunikasi dan
informasi pada umumnya) akan menjadi salah satu dari sedikit bidang sasaran
pengembangan ekonomi kreatif yang benar-benar luas dan tanpa batas. Hal
demikian akan tercapai hanya apabila kita mampu mengubah persepsi yang
telanjur terkonstruksi dalam pikiran kolektif, yang menyebabkan bidang-bidang
tersebut kurang mendapat penguatan sejak dari dasar, yakni melalui pendidikan
keluarga dan sekolah.

Penutup: Langkah dan Upaya
Berdasarkan uraian-uraian di atas, ada beberapa hal ringkas yang dapat
dikemukakan sebagai semacam solusi bagi persoalan persepsi terhadap bahasa
dan sastra, antara lain:
1) sekolah-sekolah perlu memperbarui pendekatan yang dilakukan terkait dengan
strategi pembelajaran bahasa dan sastra yang lebih ramah terhadap minat dan
bakat anak. Hal itu berarti, pembelajaran bahasa dan sastra tidak semata-mata
memperkenalkan teori-teori, genre, maupun analisis teks saja, tetapi juga
mengarah pada penyediaan ruang-ruang apresiatif; memadankan bahasa dan sastra
dengan keterampilan berbahasa. Guru bahasa dan sastra perlu lebih kreatif dalam
menyusun dan menyediakan bahan ajar; menganekaragamkan sumber belajar,
metode, dan model pembelajaran;
2) pembentukan kerangka berpikir yang paham terhadap perspektif kewirausahaan
dan ekonomi kreatif gencar dilakukan lewat menciptakan pembelajaran berbasis
proyek/produk, serta menyediakan sarana dan prasarana pembelajaran yang turut
menciptakan situasi yang kondusif terhadap pencapaian tujuan-tujuan tersebut.

3) para pemangku kebijakan yang terkait dengan penyediaan kurikulum perlu
merancang kurikulum bermuatan kewirausahaan (entrepeneurship), sehingga
siswa menjadi kreatif merancang arah masa depannya dengan menciptakan
lapangan kerja, membiasakan untuk mengembangkan ide berdasarkan kreativitas
sendiri;
4) menyediakan lingkungan yang ramah terhadap minat baca anak. Orang tua
harus membiasakan anak membaca sejak dini, pihak sekolah harus konsisten
menyediakan ruang dan waktu untuk anak membaca dan memotivasi diri sendiri
untuk mencintai buku-buku; mengoptimalkan Gerakan Literasi Sekolah.;10

10

Wiedarti, dkk. 2016. Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24