hukum laut piracy laut piracy
HUKUM PEMANFAATAN LAUT
“Laut Teritorial
(STUDI KASUS PEMBAJAKAN DI LAUT
TERITORIAL SOMALIA TERHADAP MV. SINAR KUDUS)”
Nama / NPM
: Maria Chitra Likita /
1606846011
Jurusan / Semester : Transnasional / II
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI PASCA SARJANA ILMU HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
2017
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
The law of the sea has developed through a convoluted process of
confrontation, compromise and consensus of the international communities. 1
Berbicara tentang laut dan komunitas internasional pasti akan berkaitan dengan
pembicaraan mengenai kedaulatan (sovereignty) atas laut, yaitu kedaulatan dari
suatu negara tertentu atas bagian tertentu dari laut. 2 Salah satu bagian tersebut
ialah laut territorial. Laut territorial (territorial sea) adalah bagian laut atau jalur
laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal (base line) dan di sebelah
luarnya dibatasi oleh garis atau batas luar (outer limit).3 Perkembangan konsep
laut
territorial
Indonesia
sebagai
suatu
zona
maritim
dimulai
setelah
Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945.4 Pada awalnya, laut territorial yang dianut
oleh Indonesia adalah sejauh 3 mil laut yang diukur dari garis pangkal
sebagaimana diatur di dalam hukum kebiasaan internasional (customary
international law) yang berlaku pada waktu itu.5 Diawali dengan Deklarasi
Juanda dan Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia, Indonesia pada saat itu mulai mengubah lebar laut territorial menjadi
12 mil laut dan menyatakan bahwa perairan yang berada di sebelah dalam dari
garis pangkal adalah perairan pedalaman Indonesia. 6
Pada
bulan
Mei
2011
lalu,
masyarakat
Indonesia
dkejutkan
dengan
penyanderaan yang terjadi terhadap awak kapal MV Sinar Kudus yang
1 Haque Emdadul, Hasan Daud, “Maritime Boundary Deliitation: A Normative Standard?-Part
I: Historical Development of the Legal Regime), Journal, 2014.
2 R. WIrjono Prodjodikoro, “Hukum Laut Bagi Indonesia”, (Bandung: Sumur Bandung, 1981),
h. 10.
3 I Wayan Parthiana, “Pengantar Hukum Internasional”, (Bandung: Mandar Maju, 1990), h.
105.
4 Kresno Buntoro, “Lintas Navigasi di Nusantara Indonesia”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2014), h. 38.
5 Ibid.
6 Ibid.
2
berkewarganegaraan Indonesia. Penyanderaan yang terjadi di wilayah Teluk
Aden ini dilakukan oleh kelompok perompak asal Somalia. Para perompak
menuntut dibayarnya sejumlah tebusan jika pihak Indonesia menginginkan
pelepasan awak dan kapal yang disandera. Pada akhir bulan April 2011, seluruh
awak kapal MV Sinar Kudus pun dilepaskan setelah menerima uang tebusan Rp.
38,5 miliar.
Teluk Aden merupakan wilayah yang sangat berbahaya, khususnya bagi kapal
laut kargo yang membawa berbagai barang-barang dagang yang akan diekspor
atau diimpor ke berbagai penjuru negara. Tingginya, pembajakan di Teluk Aden
bagi pelayaran disebabkan oleh aksesnya yang mudah bagi kapal laut jika ingin
mencapai kawasan Timur Tengah (Saudi Arabia dan Mesir) dan dapat pula
menjadi akses ke kawasan Eropa melalui Terusan Suez hingga mencapai Laut
Tengah (Laut Mediterania). Alasan selanjutnya adalah keberadaan negara
Somalia yang langsung berbatasan dengan Teluk Aden.
Namun modus yang dilakukan oleh para perompak cukup cerdik, mereka
melakukan penyerangan di wilayah laut lepas Teluk Aden, dan secara cepat
kembali ke laut territorial Somalia. Negara laut territorial tersebyt lah yang
berhak dan memiliki kewenangan untuk menumpas para perompak, karena
yurisdiksi eksklusif yang dimiliki. Tetapi, karena pemerintah atau apparat yang
berwenang tidak mampu menumpas para pelaku pembajakan di laut, Dewan
Keamaan PBB telah mengambil langkah berupa pengeluaran resolusi-resolusi
yang memberikan kewenangan untuk melakukan upaya-upaya menanggulangi
fenomena pembajakan laut dalam wilayah Teluk Aden. Somalia telah menjadi
subjek terhadap berbagai resolusi Dewan Keamanan PBB sejak tahun 1992. Di
mana elemen penting dari resolusi yang dikeluarkan adalah sebagai berikut:
a. Memasuki perairan territorial Somalia yang bertujuan untuk menekan
tindakan pembajakan di laut dan perampokan bersenjata di laut sesuai
dengan ketentuan ketika peristiwa tesebut terjadi dalam laut lepas;
b. Menggunakan perairan Somalia dalam melakukan segala upaya-upaya
yang diperlukan untuk menekan tindakan pembajakan di laut dan
perampokan bersenjata di laut, sesuai dengan ketentuan ketika perstiwa
tesebut terjadi dalam laut lepas.
3
Berdasarkan paparan di atas dapat kita ketahui bahwa, perompakan tidak
hanya terjadi di laut lepas namun juga laut territorial dari suatu negara pantai
yang akan diuraikan lebih lanjut oleh penulis pada bahasan berikutnya
B. PERMASALAHAN
Dalam penelitian ini akan dikemukakan perumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Laut Teritorial?
2. Bagaimanakah kasus pembajakan yang terjadi di wilayah territorial negara
Somalia terhadap MV. Sinar Kudus?
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan uraian tersebut, maka tujuan penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui dan memahami mengenai pengertian laut territorial
berdasarkan hukum internasional.
2. Untuk mengetahui kasus pembajakan yang terjadi di wilayah territorial
suatu negara khususnya kasus pembajakan di wilayah territorial Somalia
terhadap M.V SInar Kudus.
D. METODE PENELITIAN
1. Obyek penelitian
Penelitian tentang Analisis Yuridis terhadap Pembajakan di wilayah laut
territorial Somalia berdasarkan hukum laut internasional (Law of The Sea)
dan merupakan suatu penelitian yuridis-normatif yaitu penelitian hukum
yang berbasis pada analisis norma hukum, yaitu hukum dalam bentuk arti
law as it written in the books (dalam peraturan perundang-undangan). 7
Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan
cara meneliti data sekunder atau bahan pustaka, yang mencakup tentang
7 Rio Sandy Sirait, “Analisis Yuridis Terhadap Kekebalan Diplomatik (Studi Kasus Larangan
Meninggalkan Negara India Terhadap Duta Besar Italia)”. (Skripsi Program Sarjana Ilmu Hukum
Universitas Trisakti, Jakarta, 2014), h. 5, mengutip Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Universitas
Trisakti, 008), h.250 yang mengutip Ronald Dworkin, Legal Research, (Daedalus; Spring,1973).
4
sinkronisasi hukum yang berlaku berkaitan dengan kasus yang akan
dibahas dalam penelitian ini.8 Penelitian ini dilakukan dengan mengadakan
studi
kepustakaan
dengan
meneliti
bahan-bahan
berupa
buku-
buku/literatur-literatur maupun treaty dan atau konvensi yang berkaitan
dengan karya tulis ini.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif analitis yaitu
penelitian yang menggambarkan secara lengkap karakteristik atau ciri-ciri
dari suatu keadaan, perilaku pribadi, atau perilaku kelompok yang
memperoleh data mengenai hubungan antara suatu gejala dengan gejala
lain9, artinya menggambarkan ketentuan-ketentuan dalam instrumen
hukum laut internasional yang berkaitan dengan pembajakan di wilayah
laut territorial Somalia.
3. Data dan Sumber Data
Berdasarkan jenis dan bentuknya, data yang diperlukan dalam
penelitian ini adalah data sekunder. Data yang diperoleh dari suatu
sumber yang sudah dikumpulkan oleh para pihak lainnya, berupa bukubuku, dan undang-undang yang berhubungan dengan objek yang diteliti.
BAB II
PEMBAHASAN
A. LAUT TERITORIAL
Negara ada demi manusia, bukan sebaliknya. 10 Karena itu negara harus
berusaha mencapai kebahagiaan untuk setiap warga negaranya. 11 Kebahagiaan
dapat tercapai hanya jika melalui hukum, oleh karena itu jika melalui hukum
diharapkan manusia memperoleh keadilan, keteraturan, dan ketentraman
hidup.12 Masing-masing negara lebih dari seratus lima puluh negara merdeka
8Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Ilmu Hukum, (Depok: UI-Press, 2010), h. 53.
9Ibid. h. 96.
10 F.A Whisnu Situni, “Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional”,
(Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1989), h. 1.
11 Ibid.
12 Ibid.
5
baik negara pantai maupun yang tidak berpantai mempunyai kepentingan
khusus atas laut, tergantung pada keadaan fisik geografisnya, ekonomi, sejarah
dan keadaan-keadaan lainnnya yang melekat atas laut tersebut. 13 Dalam hal ini
hukum laut internasional, berperan sebagai alat untuk mengatur hubunganhubungan atau persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pemanfaatan
laut oleh berbagai bangsa.14 Karena tujuan hukum pada umumnya termasuk
hukum internasional adalah untuk menciptakan dan memeihara ketertiban yang
adil dalam pergaulan masyarakat, maka hukum laut internasional berfungsi
untuk memelihara ketertiban dan keadilan dalam pemanfaatan laut oleh
berbagai
bangsa.15
Pada
pengaturan Ordonansi Laut
tahun
1939,
Indonesia
pernah
menggunakan
territorial dan lingkungan maritime 1939,Sb.1939
No. 442.16 Yang kemudian hukum laut semakin berkembang dan hingga dewasa
ini Indonesia telat meratifikasi Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS).
UNCLOS menetapkan bahwa kedaulatan suatu negara pantai, selain wilayah
daratan dan perairan pedalalamnnya, dan dalam hak suatu negara kepulauan,
perairan
kepulauannya
meliputi
juga
suatu
jalur
laut
yang
berbatasan
dengannya yang disebut laut territorial. Batas luar laut territorial adalah garis
yang jarak setiap titiknya dari titik yang terdekat pada garis pangkal, sama
dengan lebar laut territorial. Selama kurang lebih setengah abad lebar laut
territorial telah menjadi objek pertentangan antar negara, dengan variasi
tuntutan antara 3 sampai dengan 200 mil laut. 17 oleh UNCLOS setiap negara
diberi kebebasan untuk menetapkan lebar laut teritorialnya hingga suatu batas
yang tidak melebihi 12 mil laut. kedaulatan suatu negara di laut territorial
dibatasi dengan kewajiban untuk menjamin dilaksanakannya hak lintas damai
(innocent passage) dan dalam bentuk barunya disebut hak lintas transit (transit
passage) oleh kapal-kapal asing.18 Laut territorial harus dibedakan dari perairan
pedalaman (internal water).19
13 Atje Misbach Muhjiddin, “Status Hukum Perairan Kepulauan Indonessia dan Hak Lintas
Kapal Asing”, (Bandung:Penerbit Alumni, 1993), h. 1.
14 Ibid.
15 Ibid.
16 A. Hamzah, “Laut Territorial Dan Perairan Indonesia”, (Jakarta: CV Akademia Pressindo,
1984), h. 114.
17 Mochtar Kusumaatmadja, Etty R Agoes, “Pengantar Hukum Internasional”, (Bandung: PT.
Alumni, 2012), h. 173.
18 Ibid.
19 Chairul Anwar, “Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional”, (Jakarta:
Djambatan, 1989), h. 15.
6
Lebih lanjut, dalam bukunya I Wayan Parthiana menjelaskan bahwa Laut
Territorial (territorial sea) adalah bagian laut yang terletak pada sisi luar dari
garis pangkal atau garis dasar (base line) dan sebelah luarnya dibatasi oleh garis
atau batas luar (outer limit).20 Yang dimaksud dengan garis pangkal adalah garis
yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut. Diterapkannya pada saat air
laut surut disebabkan oleh karena garis air laut surut adalah merupakan batas
antara daratan dan perairan (laut). Garis tersebut merupakan garis atau titik-titik
yang merupakan pertemuan antara daratan dan perairan.
Lebar laut teritoral maksimum negara-negara berhasil disepakati, yakni
sejauh 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Mengenai garis pangkal, dalam
hukum laut internasional dikenal tiga macam garis pangkal, yakni:
a. Garis pangkal normal (normal base line) adalah garis pangkal yang ditarik
pada pantai pada waktu air laut surut dengan mengikuti lekukan-lekukan
pantai. Untuk mengukur dan menentukan lebar laut territorial, ditarik
garis tegak lurus dan garis pangkal normal ke arah luar/laut sesuai
dengan lebar laut teritorial masing-masing negara. Titik-titik atau garis
luar pada bagian luar itulah yang disebut garis luar atau batas luar laut
territorial. Garis pangkal normal ini merupakan garis pangkal tertua yang
pertama kali dikenal dalam sejarah pengukuran lebar laut territorial.
b. Garis pangkal lurus, berbeda dengan garis pangkal normal yang
penarikannya mengikuti lekukan pantai, penarikan garis pangkalnya tidak
mengikuti lekukan pantai melainkan dengan menghubungkan titik-titik
atau ujung-ujung terluar dari pantai. Itulah sebabnya garis pangkal lurus
ini disebut juga garis pangkal lurus dari ujung ke ujung. Penarikan garis
pangkal lurus dilakukan pada pantai-pantai yang berliku-liku atau jika di
depan pantai tersebut terdapat pulau, deretan atau gugusan pulau.
Penarikan garis pangkal dengan metode ini berawal dari Anglo-Norwegian
Fisheries Case.
c. Garis pangkal kepulauan (Archipelagic Base-line), garis pangkal ini mulai
dikenal dengan diakuinya prinsip negara kepulauan dalam UNCLOS. Hal ini
tentu saja tidak bisa dilepaskan dari perjuangan negara-negara kepulauan
yang dipelopori oleh Indonesia, Filipina, Fiji, Mauritius dan didukung
negara-negara kepulauan lainnya. Pengaturan akan garis pangkal ini
20 I Wayan Parthiana, “Pengantar Hukum Internasional”, (Bandung: Penerbit Mandar Maju,
2003), h. 151.
7
terdapat dalam Pasal 47 UNCLOS, disebutkan bahwa suatu negara berhak
menarik garis pangkal kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar
dan karang-karang kering terluar kepulauan itu dengan ketentuan bahwa
perbandingan antara daratan dan perairannya ialah 1:9. 21 Dengan adanya
sistem penarikan garis pangkal kepulauan tersebut, Indonesia sangat
diuntungkan dengan penambahan luas wilayah yang semula luas wilayah
Indonesia 2.027.087 Km persegi berubah menjadi 5.193.250 Km persegi. 22
“We fully agree with the statement that there must be a balance between
the right of coastal states and the interests of international navigation, and we
believe that the balance have been, and will be achieved through the principles
of innocent passage”.23 Di wilayah laut, lalulintas bagi kapal asing merupakan
hak yang diakui oleh hukum internasional. 24 Hak lintas damai menurut UNCLOS
adalah hak untuk melintas secepat-cepatnya tanpa berhenti dan bersifat damai
tidak mengganggu keamanan dan ketertiban negara pantai. 25 Pelaksanaan hak
lintas damai haruslah:
a. Tidak
mengancam
atau
menggunakan
kekerasan
yang
melanggar
integritas wilayah, kemerdekan dan politik negara pantai;
b. Tidak melakukan latihan militer atau sejenisnya tanpa seizin negara
pantai;
c. Tidak melakukan kegiatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi
tertentu yang melanggar keamanan ketertiban negara pantai;
d. Tidak melakukan tindakan propraganda yang melanggar keamanan
ketertiban negara pantai;
e. Tidak melakukan peluncuran,
f.
pendaratan
dari
atas
kapal
apapun
termasuk kapal militer;
Tidak melakukan bongkar muat komoditas, penumpang, mata uang yang
melanggar aturan customs, fiscal, immigration or sanitary laws negara
pantai;
g. Tidak melakukan aktivitas yang menimbulkan pencemaran;
21 Ibid.
22 I Made Pasek Diantha, “Analisis Negara Kepulauan Dan Landas Kontinen Dalam Perspektif
Kepentingan Indonesia”, (Denpasar: CV. Kayumas Agung, 1993), h. 52.
23 Hasjim Djalal, “Indonesia and Th Law of The Sea”, (Jakarta: entre For Strategic and
International Studies, 1995), h. 306.
24 M. Dimyanti Hartono, “Hukum Laut Internasional Yurisdiksi Nasional Indonesia sebagai
Negara Nusantara”, (Bandung: Binacipta, 1983), h. 64.
25 Sefriani, “Hukum Internasional Suatu Pengantar”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa,
2011), h. 213.
8
h. Tidak melakukan egiatan penangkapa ikan;
i. Tidak melakukan kegiatanj penelitian;
j. Tidak melakukan kegiatan yang mengganggu ke sistem komunikasi
negara pantai;
k. Kapal-kapal selam harus menampakkan dirinya di permukaan serta
menunjukkan bendera negaranya.26
Berdasarkan Pasal 19 butir 2 UNCLOS, lintas suatu kapal asing dianggap
mmebahayakan negara Pantai apabila:
a. Setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan,
keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan
cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional
sebagaimana tercantum dalam UN Charter;
b. Setiap latihan atau praktik dengan senjata macam apapun;
c. Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang
merugikan bagi pertaanan atau keamanan negara pantai;
d. Setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan
atau keamnaan negara pantai;
e. Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di atas
f.
kapal;
Peluncuran,
pendaratan
perlengkapan militer;
g. Bongkar muat setiap
atau
penerimaan
komoditi,
mata
setiap
uang
peralatan
atau
orang
dan
secara
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiscal,
imigrasi atau saniter negara pantai;
h. Setiap perbutan pencemaran dengan
sengaja
dan
parah
yang
bertentangan dengan ketentuan UNCLOS;
i. Setiap kegiatan perikanan;
j. Kegiatan riset atau survey;
k. Setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi
l.
atau setiap fasilitas atau istalasi lainnya negara pantai;
Setiap kegiatan lainnya yang tidak ebrhubungan langsung dengan lintas. 27
Hak lintas damai adalah hak bagi kapal asing sehingga merupakan kewajiban
bagi negara pantai untuk memberikannya. Untuk dianggap damai, maka lintas
tidak boleh merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan negara
pantai, juga tidak boleh melanggar Konvensi atau ketentuan-ketentuan hukum
26 Ibid.
27 Arif Djohan Tunggal, “Aspek-Aspek Hukum Laut”, (Jakarta: Harvarindo, 2014), h. 17-18.
9
internasional lainnya.28 Negara pantai juga tidak boleh menyita atau menahan
kapal asing yang lewat di laut wilayahnya untuk keperluan perdata kecuali jika
kapal tersebut tidak memenuhi kewajibannya pada waktu lewat atau pada saat
berada di perairan negara pantai. 29 Kapal dapat berhenti dan membuang sauh
hanya untuk alasan-alasan force majeure. 30 Sementara itu berdasarkan Pasal 23
UNCLOS, kapal asing bertenaga nuklir dan kapal yang mengangkut nuklir atay
bahan lain karena sifatnya yang berbahaya atau beracun, apabila melaksanakan
hak lintas damai melalui laut territorial, harus membawa dokumen dan
mematuhi tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan oleh perjanjian
internasional bagi kapal-kapal demikian.31
B. PEMBAJAKAN DI LAUT TERITORIAL SOMALIA
“In reviewing the history of mankind it becomes clear that since tribal time
movement of people and goods, fisheries and unfortunately armed conflicts and
other non-peaceful incidents have been the main activities and events on the
seas and oceans of the world.”32 Laut merupakan tempat yang tidak dapat
dipungkiri
sebagai
salah
satu
wadah
bagi
manusia
dalam
melakukan
aktifitasnya. Sederhananya, guna memanfaatkan sumber daya alam ataupun
sebagai tempat berperang dan saling claim satu sama lain atar negara. Dewasa
ini secara internasional, Laut di atur dengan Convention on The Law of The Sea
1982 (UNCLOS). “The 1982 Convention contains 320 articles and 9 Annexes. It
was adopted by 130 votes to 4, with 17 abstentions and entry into force on 16
November 1994, twelve months after the required 60 ratifications.”33
Dengan
perkembangan
terkait
kelautan
yang
terus
berjalan
seiring
berjalannya waktu, dan hukum-hukum yang telah dibuat sedemikian rupa demi
menciptakan keamanan dan ketertiban di kawasan laut, namun hal tersebut
belum dapat sepenuhnya dicapai. Khususnya dengan peristiwa pembajakan
28 J.G Starke, “Pengantar Hukum Internasional”, (Jakarta: SInar Grafika, 2004), h. 348.
29 Hasjim Djalal, “Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut”, (Bandung: Percetakan
Ekonomi), h. 29.
30 Op. Cit, Chairul Anwar.
31 Op. Cit, Arif Djohan Tunggal.
32 E.Hey, A.W. Koers, “The International Law of the Sea”, (Netherlands: Netherlands Institute
of Transport, 1983), h. 67.
33 Malcolm N. Shaw. “Interntional Law”, (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), h.
556.
10
yang marak terjadi. Sejarah menunjukkan bahwa pembajakan di laut sudah ada
sejak awal manusia melakukan perjalanan melalui laut. Para perompak yang
melakukan pembajakan di laut pada walnya hanya memiliki tujuan untuk
memperkaya diri.34 Sejarah tercatat menunjukkkan bahwa sjak zaman Yunani
Kuni dan Kekaisaran Romawi, pembajaan di laut telah menjadi ebban dari
perdagangan maritime. Salah satu tindakan pembjakan di laut yang disertai
dengan penculikan pada masa ini adalah pada tahun 75 S.M di mana kapal Julius
Caesar diserang dan sang Kaisar itu sendiri diculik dan dimintai tebusan. Para
Perompak kemudian mendapatkan tebusannya atas peleasan Julius Caesar
namun mereka ditangkap dan dihukum kemudian. 35
Pada abad ke-16, perompak digunakan oleh negara-negara untuk enambah
kekuatan maritime mereka. Para perompak ini disebut sebagai privateer, yaitu
“perompak” yang diizinkan atau disahkan oleh negara untuk bertindak atas
nama negara tersebut melalui surat yang disebut “letter of marguee”. Tujuan
utama privateers
ini adalah merusak sumber daya negara musuh, melatih
kapten angkatan laut yang baru, bahkan menyulut peperangan. Ratu Elizabeth
sendiri bahkan menyatakan bahwa penggunaan state sponsored terrorism
seperti privateering merupakan cara ideal untuk memukul mundur musuh dan
menyembunyikan diri kemudian.36
Setelah Perang Spanyol usai, Inggris dan Spanyol menyimpulkan bahwa tidak
diperlukan lagi adanya privateers. Raja James kemudian mencabut seluruh letter
of marquee dan mengkriminalisasikan pembajakan di laut dalam bentuk apapun.
Tindakan ini menyebabkan ratusan privateer kehilangan pekerjaan dan mencari
pekerjaan sebagai perompak secara penuh. Tanpa adanya negara yang
mengasuh atau menyewa mereka, maka mereka melakukan tindakannya berupa
menyerang dan merompak semua negara-negara tanpa diskriminasi. 37 Pada
tahun 1856 mayoritas negara-negara yang memiliki kekuatan maritime besar
menandatangani Deklarasi Paris 1856 yang menyatakan penghapusan terhadap
pembajakan di laut dalam bentuk apapun.
34 Alfred S. Bradford, “Flying the Black Flg-A Brief History of Piracy”, (Westport-Connecticut:
Praeger, 2007), h. 4.
35 Thaune Lennox Gentele, “Piracy, Sea Robbery and Terrorism: Enforcing Laws to Deter
ransom Payments and Hijacking,” Transportation La Journal, Vol. 37:199, 2010, h. 202-203.
36 Ibid.
37 Ibid.
11
Sehubungan dengan pembajakan di laut modern, International Maritime
Bureau (IMB) menggolongan kegiatan pembajakan di laut dalam 3 kelompok,
yaitu:
a. Low level armed robbery, yakni kegiatan pembajakan di laut
berskala kecil yang biasanya beroperasi di pelabuhan dan dermaga
akibat lemahnya pengawasan oleh petugas keamanan pelabuhan.
b. Medium level armed assault and robbery, yakni tipe bajak laut
berskala menengah yang beroperasi di perairan laut lepas maupun
territorial, biasanya mereka sudah terorganisasi.
c. Major criminal hijack atau sering disebut sebagai fenomena “kapal
siluman” , biasanya sudah berskala besar, sangat terorganisasi dan
memiliki
tingkat
kekerasan
tinggi,
bahkan
telah
melibatkan
jaringan organisasi kejahatan transnasional dengan anggotaanggota terlatih yang menggunakan senjata api. Biasanya dengan
melakukan penguaaan kapal, awak kapal dibunuh atau diceburkan
ke laut, kemudian kapal dicat ulang, dimodifikasi, diganti nama dan
diregistrasi ulang. Kargo atau muatan kapal dijual di pasar bebas
kepada penadah. Sertifikat registrasi sementara diperoleh melalui
kantor konsulat. Mereka mendapatkannya baik melalui menyuao
atau dokumen-dokumen yang dipalsukan. Motif pembajakan ini
umumnya tidak hanya sekedar ekonomi saja, namun berlatar
politis atau terorisme.38
Pembajakan di laut berdasarkan hukum internasional saat ini diatur dalam 3
konvensi, yaitu: Convention on the High Seas 1958, UNCLOS 1982, dan
Convention for the Suppression of Unawful Acts of Violence Against the Safety of
Maritime Navigation 1988.39 Negara-negara membedakan antara pembajaan di
laut (“piracy”) dimna yurisdiksinya bersifat universal dan pembajakan laut yang
terjadi di dalam wilayah suatu negara yang lebih dikenal dengan perampokan di
laut (“sea armed robbery”) dimana yurisdiksinya berada di bawah negara pantai.
“If a crime on the water occurs within a country's coastal territory which is
38 Lihat Melda Kamil Aradno, “Hukum Internasional Hukum yang Hidup”, (Jakarta: Diadit
Media, 2007), h. 169.
39 Ario Triwibowo Yudhoatmojo, “Penerapn Yurisdiksi Universal Untuk Menanggulangi dan
Mengadili Pembajkan di Laut Berdasarkan Resolusi Dewan Kemanan Perserikatan BangsaBangsa Dalam Kasus Pembajakan di Teluk Aden”, (Tesis, 2010).
12
twelve nautical miles from shore, then it is viewed as "armed robbery at sea"; if
it is further out, then it is piracy.” 40
Perompakan di laut atau dikenal juga dengan istilah Sea Armed Robbery
terhadap kapal didefinisikan dalam the Code of Practice for the Investigation of
the Crimes of Piracy and Armed Robbery Against Ships (resolution A.922(22),
Annex, paragraph 2.2), as follows: “Armed robbery against ships means any
unlawful act of violence or detention or any act of depredation, or threat thereof,
other than an act of ìpiracy, directed against a ship or against persons or
property on board such ship, within a Stateís jurisdiction over such offences.”
Dengan demikian perompakan atau Sea Armed Robbery adalah:
a. Setiap tindakan tidak sah yang berupa kekerasan atau penahanan atau
setiap tindakan pembinasaan atau ancaman, selain tindakan pembajakan,
yang memiliki tujuan pribadi dan diarahkan terhadap sebuah kapal atau
terhadap orang atau harta benda pada sebuah kapal di perairan internal
suatu negara, perairan kepulauan dan laut teritorial.
b. Setiap tindakan menghasut atau sengaja memfasilitasi
tindakan
sebagaimana yang dijelaskan di atas.
Pada kasus pembajakan di Somalia yang diangkat pada karya tulis ini, bukanlah
hal yang awam lagi. Seperti yang dikatakan oleh Gornowicz pada Jurnalnya
yaitu, “Somalia is said to be one of the easiest and most attractive regions for
pirates attacks”.41
MV Sinar Kudus adalah sebuah Kapal kargo berbendera Indonesia yang
dioperasikan oleh PT. Samudera Indonesia Tbk. Kapal yang terdaftar di
pelabuhan Jakarta Indonesia ini dibuat pada tanggal 24 Juni 1998 oleh Shin
Kochijyuko Co. Ltd membawa 20 ABK Warga Negara Indonesia. Nilai kapal ini
sekitar 10 juta Dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 16 Maret 2011, kapal ini
dirompak oleh 35 orang perompak Somalia di Teluk Aden, Afrika. Kapal itu
dihadang di sekitar 320 mil Timur Laut Pulau Socotra. ABK M.V Sinar Kudus yang
telah satu bulan lebih disandera kawanan bajak laut Somalia, di perairan dekat
Pulau Socotra, Semenanjung Arab, Afrika, menyeru kepada penguasa Indonesia
40 Marguerite Laraira, “Piracy is an International Problem That Needs a Multi-Prong”, Regent
Journal of International Law, 2012.
41 Gornowicz, Michal, “Perspective of Business Law”, Journal, 2013.
13
untuk segera membebaskan dirinya dan 19 anak buah kapal lainnya yang
terkatung-katung karena tak ada pihak yang berupaya membebaskannya.
Perusahaan yang mempekerjakan mereka, PT Samudra Indonesia maupun PT
Aneka
Tambang
sebagai
pemilik
membebaskannya, demikian juga
muatan
biji
nikel
menolak
untuk
Pemerintahan Somalia telah menyerahkan
kepada Indonesia selaku negara bendera kapal untuk mengambil tindakan
terhadap para pelaku perompakan. Singkatnya, operasi penyelamatan berakhir
pada 1 Mei 2011 ketika para perompak menerima uang tebusan. Ternyata, di
atas geladak MV. Sinar Kudus terdapat 3 kelompok pembajak. Dua kelompok
setuju dengan nominal uang tebusan, sementara kelompok ketiga berusaha
membajak kembali namun digagalka oleh helikpoter dan sea rider yang
diluncurkan oleh KRI. Terjadi baku temba dan keempat pembajak tewas hingga
MV. Sinar Kudus kemudian dikawal hingga ke Oman. 42
Dalam pembajakan kasus Somalia ini, yurisdiksi harusnya jatuh pada Negara
Somalia untuk menumpasnya. “Any piratical attack occurring within Somali
territorial seas remains the under the exclusive jurisdiction of Somalia.” 43 Tetapi
telah terbukti bahwa negara tersebut tidak pernah berdaya mengatasi masalah
ini yang sudah sering terjadi hingga mengundang keluarnya beberapa Resolusi
Dewan Keamanan PBB.
“Urges States who naval and military aircraft operate on the high seas
and airspace off the
coast of Somalia to increase and coordinate their efforts to deter acts of
piracy and armed robbery and encourages States using their commercial
maritime routes off the coast f Somalia to increase and coordinate their
efforts to deter acts of piracy and armed of robbery. (Resolusi DK No.
1816-2008).”
Pemerintah Indonesia sebagai anggota PBB memiliki kewajiban untuk
melaksanakan resolusi ini terutama ketika kejadian tersebut menimpa kapal
berbenderanya dan warga negaranya.
42 Marsetio, “Sea Power Indonesia”, (Jakarta:Universitas Pertahanan, 2014), h. 113.
43 Emily. A Georgiades, “A Beginning to The Maritime Delimitatiom of The Aegen Sea
Disputes”, Ocean and Coastal Law Journal, 2011.
14
BAB III
KESIMPULAN
Laut territorial adalah sesuatu hal yang didebatkan pada saat sebelum
terjadinya Perang Dunia II.44 Yang pada akhirnya diakui secara internasional
bahwa
negara
dapat
memiliki
kedaulatan
dan
yurisdiksi
di
atas
laut
teritorialnya.45 Laut territorial ditarik tidak lebih sejauh 12 mil dari garis pangkal
saat air laut surut.46
Pada masanya, pembajakan pernah memiliki masa kejayaannya pada tahun
1660 hinga 1730an.47 Bisnis pembajakan adalah hal yang paling menguntungkan
di Somalia48, dan pada umumnya penjarahan dilakukan dengan “Somalian Style”
yaitu memaksa menjarah kapal yang besar menggunakan kapal kecil, gps
modern dan membawa senjata.49 Dalam mengatasi permasalahan pembajakan
khususnya
di
wilayah
teritorial
Somalia,
Dewan
Keamanan
PBB
telah
mengeluarkan beberapa resolusi50 yang kemudian menyebabkan negara Somalia
harus merelakan daerah teritorialnya dimasuki oleh asing. 51 Namun dalam
mengatasi masalah pembajakan ini, negara-negara tidak hanya terpaku pada
UNCLOS atau hukum secara normatif, yang harus ditekankan adalah kerjasama
44 Damir Arnaut, “Stormy Waters on The Way to The High Seas: The Case of The Territorial
Sea Delimitation Between Croatia and Slovenia”, Marine Law Intitute, University of Maine
chool of Law Ocean andCoastal Law Journal, 2002.
45 Marian Nash Leich, “The American Society of International Law”, American Journal of
International Law, 1989.
46 Philippines Daily Inquirer. 2014.
47 Barry Hart Dubner and Ritvik Raturi, “On the Economics of International Sea Piracy”,
Michigan State University Journal, 2012.
48 Sandra L. Hodgkinson, “Seeking the Best Prosecution Model for Somali Pirates”, Case
Western Reserve Journal of International Law, 2011.
49 Sandra L. Hodgkinson, “Current Trends in Global Piracy: Can Somalia’s Successes Help
Combat Piracy in the Gulf of Guinea and Elsewhere?”, Case Western Reserve Journal of
International Law, 2013.
50 Milena Sterio, “Case Western Reserve Journal of International Law”, Case Wstern Reserve
Journal, 2011.
51 Matthew C. Houghton, “Tulsa Journal of Comparative & International Law”, 2009.
15
internasional. Pembajakan di Somalia haruslah menjadi perhatian besar bagi
komunitas internasional.52 Yang bahkan menurut seorang ahli hukum melalui
jurnalnya yang mengatakan “In order to effectively address the increase in
pirate attacks, the U.N. should remove the high seas requirement from the
UNCLOS piracy definition, and the jurisdiction restrictions for failed states.” 53
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
R. WIrjono Prodjodikoro, “Hukum Laut Bagi Indonesia”, (Bandung: Sumur Bandung,
1981), h. 10.
I Wayan Parthiana, “Pengantar Hukum Internasional”, (Bandung: Mandar Maju,
1990).
Kresno Buntoro, “Lintas Navigasi di Nusantara Indonesia”, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2014).
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Ilmu Hukum, (Depok: UI-Press, 2010).
F.A
Whisnu Situni, “Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber
Internasional”, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1989).
Hukum
Atje Misbach Muhjiddin, “Status Hukum Perairan Kepulauan Indonessia dan Hak
Lintas Kapal Asing”, (Bandung:Penerbit Alumni, 1993).
Hamzah A, “Laut Territorial Dan Perairan Indonesia”, (Jakarta: CV Akademia
Pressindo, 1984).
Mochtar Kusumaatmadja, Etty
(Bandung: PT. Alumni, 2012).
R
Agoes,
“Pengantar
Hukum
Internasional”,
Chairul Anwar, “Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional”,
(Jakarta: Djambatan, 1989).
52 Christopher Totten, Matthew Bernal, “Jurisdiction issues, enforcement problems and
potential solutions”, Georgetown Journal of International Law, 2010.
53 Jill Harrelson, “American University International Law Review”, 2010.
16
I Wayan Parthiana, “Pengantar Hukum Internasional”, (Bandung: Penerbit Mandar
Maju, 2003).
I Made Pasek Diantha, “Analisis Negara Kepulauan Dan Landas Kontinen Dalam
Perspektif Kepentingan Indonesia”, (Denpasar: CV. Kayumas Agung, 1993).
Hasjim Djalal, “Indonesia and Th Law of The Sea”, (Jakarta: entre For Strategic and
International Studies, 1995).
M. Dimyanti Hartono, “Hukum Laut Internasional Yurisdiksi Nasional Indonesia
sebagai Negara Nusantara”, (Bandung: Binacipta, 1983).
Sefriani, “Hukum Internasional Suatu Pengantar”, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Perkasa, 2011).
Arif Djohan Tunggal, “Aspek-Aspek Hukum Laut”, (Jakarta: Harvarindo, 2014).
J.G Starke, “Pengantar Hukum Internasional”, (Jakarta: SInar Grafika, 2004).
Hasjim Djalal, “Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut”, (Bandung: Percetakan
Ekonomi).
E.Hey, A.W. Koers, “The International Law of the Sea”, (Netherlands: Netherlands
Institute of Transport, 1983).
Malcolm N. Shaw. “Interntional Law”, (Cambridge: Cambridge University Press,
2008).
Alfred S. Bradford, “Flying the Black Flg-A Brief History of Piracy”, (WestportConnecticut: Praeger, 2007).
Lihat Melda Kamil Aradno, “Hukum Internasional Hukum yang Hidup”, (Jakarta:
Diadit Media, 2007).
Ario Triwibowo Yudhoatmojo, “Penerapn Yurisdiksi Universal Untuk
Menanggulangi dan Mengadili Pembajkan di Laut Berdasarkan Resolusi
Dewan Kemanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Kasus Pembajakan di
Teluk Aden”.
Marsetio, “Sea Power Indonesia”, (Jakarta:Universitas Pertahanan, 2014).
JURNAL
Thaune Lennox Gentele, “Piracy, Sea Robbery and Terrorism: Enforcing Laws to
Deter ransom Payments and Hijacking,” Transportation La Journal, Vol.
37:199.
Rio Sandy Sirait, “Analisis Yuridis Terhadap Kekebalan Diplomatik (Studi Kasus
Larangan Meninggalkan Negara India Terhadap Duta Besar Italia)”. (Skripsi
Program Sarjana Ilmu Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, 2014), h. 5,
17
mengutip Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Universitas Trisakti, 008),
h.250 yang mengutip Ronald Dworkin, Legal Research, (Daedalus;
Spring,1973).
Gornowicz, Michal, “Perspective of Business Law”, Journal, 2013.
Haque Emdadul, Hasan Daud, “Maritime Boundary Deliitation: A Normative
Standard?-Part I: Historical Development of the Legal Regime), Journal, 2014.
Milena Sterio, “Case Western Reserve Journal of International Law”, Case Wstern
Reserve Journal, 2011.
Barry Hart Dubner and Ritvik Raturi, “On the Economics of International Sea
Piracy”, Michigan State University Journal, 2012.
Marguerite Laraira, “Piracy is an International Problem That Needs a Multi-Prong”,
Regent Journal of International Law, 2012.
Sandra L. Hodgkinson, “Seeking the Best Prosecution Model for Somali Pirates”,
Case Western Reserve Journal of International Law, 2011.
Sandra L. Hodgkinson, “Current Trends in Global Piracy: Can Somalia’s Successes
Help Combat Piracy in the Gulf of Guinea and Elsewhere?”, Case Western
Reserve Journal of International Law, 2013.
Christopher Totten, Matthew Bernal, “Jurisdiction issues, enforcement problems and
potential solutions”, Georgetown Journal of International Law, 2010.
Jill Harrelson, “American University International Law Review”, 2010.
Matthew C. Houghton, “Tulsa Journal of Comparative & International Law”, 2009.
Damir Arnaut, “Stormy Waters on The Way to The High Seas: The Case of The
Territorial Sea Delimitation Between Croatia and Slovenia”, Marine Law
Intitute, University of Maine chool of Law Ocean andCoastal Law Journal,
2002.
Marian Nash Leich, “The American Society of International Law”, American Journal
of International Law, 1989.
Emily. A Georgiades, “A Beginning to The Maritime Delimitatiom of The Aegen Sea
Disputes”, Ocean and Coastal Law Journal, 2011.
Philippines Daily Inquirer. 2014.
18
“Laut Teritorial
(STUDI KASUS PEMBAJAKAN DI LAUT
TERITORIAL SOMALIA TERHADAP MV. SINAR KUDUS)”
Nama / NPM
: Maria Chitra Likita /
1606846011
Jurusan / Semester : Transnasional / II
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI PASCA SARJANA ILMU HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
2017
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
The law of the sea has developed through a convoluted process of
confrontation, compromise and consensus of the international communities. 1
Berbicara tentang laut dan komunitas internasional pasti akan berkaitan dengan
pembicaraan mengenai kedaulatan (sovereignty) atas laut, yaitu kedaulatan dari
suatu negara tertentu atas bagian tertentu dari laut. 2 Salah satu bagian tersebut
ialah laut territorial. Laut territorial (territorial sea) adalah bagian laut atau jalur
laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal (base line) dan di sebelah
luarnya dibatasi oleh garis atau batas luar (outer limit).3 Perkembangan konsep
laut
territorial
Indonesia
sebagai
suatu
zona
maritim
dimulai
setelah
Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945.4 Pada awalnya, laut territorial yang dianut
oleh Indonesia adalah sejauh 3 mil laut yang diukur dari garis pangkal
sebagaimana diatur di dalam hukum kebiasaan internasional (customary
international law) yang berlaku pada waktu itu.5 Diawali dengan Deklarasi
Juanda dan Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia, Indonesia pada saat itu mulai mengubah lebar laut territorial menjadi
12 mil laut dan menyatakan bahwa perairan yang berada di sebelah dalam dari
garis pangkal adalah perairan pedalaman Indonesia. 6
Pada
bulan
Mei
2011
lalu,
masyarakat
Indonesia
dkejutkan
dengan
penyanderaan yang terjadi terhadap awak kapal MV Sinar Kudus yang
1 Haque Emdadul, Hasan Daud, “Maritime Boundary Deliitation: A Normative Standard?-Part
I: Historical Development of the Legal Regime), Journal, 2014.
2 R. WIrjono Prodjodikoro, “Hukum Laut Bagi Indonesia”, (Bandung: Sumur Bandung, 1981),
h. 10.
3 I Wayan Parthiana, “Pengantar Hukum Internasional”, (Bandung: Mandar Maju, 1990), h.
105.
4 Kresno Buntoro, “Lintas Navigasi di Nusantara Indonesia”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2014), h. 38.
5 Ibid.
6 Ibid.
2
berkewarganegaraan Indonesia. Penyanderaan yang terjadi di wilayah Teluk
Aden ini dilakukan oleh kelompok perompak asal Somalia. Para perompak
menuntut dibayarnya sejumlah tebusan jika pihak Indonesia menginginkan
pelepasan awak dan kapal yang disandera. Pada akhir bulan April 2011, seluruh
awak kapal MV Sinar Kudus pun dilepaskan setelah menerima uang tebusan Rp.
38,5 miliar.
Teluk Aden merupakan wilayah yang sangat berbahaya, khususnya bagi kapal
laut kargo yang membawa berbagai barang-barang dagang yang akan diekspor
atau diimpor ke berbagai penjuru negara. Tingginya, pembajakan di Teluk Aden
bagi pelayaran disebabkan oleh aksesnya yang mudah bagi kapal laut jika ingin
mencapai kawasan Timur Tengah (Saudi Arabia dan Mesir) dan dapat pula
menjadi akses ke kawasan Eropa melalui Terusan Suez hingga mencapai Laut
Tengah (Laut Mediterania). Alasan selanjutnya adalah keberadaan negara
Somalia yang langsung berbatasan dengan Teluk Aden.
Namun modus yang dilakukan oleh para perompak cukup cerdik, mereka
melakukan penyerangan di wilayah laut lepas Teluk Aden, dan secara cepat
kembali ke laut territorial Somalia. Negara laut territorial tersebyt lah yang
berhak dan memiliki kewenangan untuk menumpas para perompak, karena
yurisdiksi eksklusif yang dimiliki. Tetapi, karena pemerintah atau apparat yang
berwenang tidak mampu menumpas para pelaku pembajakan di laut, Dewan
Keamaan PBB telah mengambil langkah berupa pengeluaran resolusi-resolusi
yang memberikan kewenangan untuk melakukan upaya-upaya menanggulangi
fenomena pembajakan laut dalam wilayah Teluk Aden. Somalia telah menjadi
subjek terhadap berbagai resolusi Dewan Keamanan PBB sejak tahun 1992. Di
mana elemen penting dari resolusi yang dikeluarkan adalah sebagai berikut:
a. Memasuki perairan territorial Somalia yang bertujuan untuk menekan
tindakan pembajakan di laut dan perampokan bersenjata di laut sesuai
dengan ketentuan ketika peristiwa tesebut terjadi dalam laut lepas;
b. Menggunakan perairan Somalia dalam melakukan segala upaya-upaya
yang diperlukan untuk menekan tindakan pembajakan di laut dan
perampokan bersenjata di laut, sesuai dengan ketentuan ketika perstiwa
tesebut terjadi dalam laut lepas.
3
Berdasarkan paparan di atas dapat kita ketahui bahwa, perompakan tidak
hanya terjadi di laut lepas namun juga laut territorial dari suatu negara pantai
yang akan diuraikan lebih lanjut oleh penulis pada bahasan berikutnya
B. PERMASALAHAN
Dalam penelitian ini akan dikemukakan perumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Laut Teritorial?
2. Bagaimanakah kasus pembajakan yang terjadi di wilayah territorial negara
Somalia terhadap MV. Sinar Kudus?
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan uraian tersebut, maka tujuan penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui dan memahami mengenai pengertian laut territorial
berdasarkan hukum internasional.
2. Untuk mengetahui kasus pembajakan yang terjadi di wilayah territorial
suatu negara khususnya kasus pembajakan di wilayah territorial Somalia
terhadap M.V SInar Kudus.
D. METODE PENELITIAN
1. Obyek penelitian
Penelitian tentang Analisis Yuridis terhadap Pembajakan di wilayah laut
territorial Somalia berdasarkan hukum laut internasional (Law of The Sea)
dan merupakan suatu penelitian yuridis-normatif yaitu penelitian hukum
yang berbasis pada analisis norma hukum, yaitu hukum dalam bentuk arti
law as it written in the books (dalam peraturan perundang-undangan). 7
Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan
cara meneliti data sekunder atau bahan pustaka, yang mencakup tentang
7 Rio Sandy Sirait, “Analisis Yuridis Terhadap Kekebalan Diplomatik (Studi Kasus Larangan
Meninggalkan Negara India Terhadap Duta Besar Italia)”. (Skripsi Program Sarjana Ilmu Hukum
Universitas Trisakti, Jakarta, 2014), h. 5, mengutip Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Universitas
Trisakti, 008), h.250 yang mengutip Ronald Dworkin, Legal Research, (Daedalus; Spring,1973).
4
sinkronisasi hukum yang berlaku berkaitan dengan kasus yang akan
dibahas dalam penelitian ini.8 Penelitian ini dilakukan dengan mengadakan
studi
kepustakaan
dengan
meneliti
bahan-bahan
berupa
buku-
buku/literatur-literatur maupun treaty dan atau konvensi yang berkaitan
dengan karya tulis ini.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif analitis yaitu
penelitian yang menggambarkan secara lengkap karakteristik atau ciri-ciri
dari suatu keadaan, perilaku pribadi, atau perilaku kelompok yang
memperoleh data mengenai hubungan antara suatu gejala dengan gejala
lain9, artinya menggambarkan ketentuan-ketentuan dalam instrumen
hukum laut internasional yang berkaitan dengan pembajakan di wilayah
laut territorial Somalia.
3. Data dan Sumber Data
Berdasarkan jenis dan bentuknya, data yang diperlukan dalam
penelitian ini adalah data sekunder. Data yang diperoleh dari suatu
sumber yang sudah dikumpulkan oleh para pihak lainnya, berupa bukubuku, dan undang-undang yang berhubungan dengan objek yang diteliti.
BAB II
PEMBAHASAN
A. LAUT TERITORIAL
Negara ada demi manusia, bukan sebaliknya. 10 Karena itu negara harus
berusaha mencapai kebahagiaan untuk setiap warga negaranya. 11 Kebahagiaan
dapat tercapai hanya jika melalui hukum, oleh karena itu jika melalui hukum
diharapkan manusia memperoleh keadilan, keteraturan, dan ketentraman
hidup.12 Masing-masing negara lebih dari seratus lima puluh negara merdeka
8Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Ilmu Hukum, (Depok: UI-Press, 2010), h. 53.
9Ibid. h. 96.
10 F.A Whisnu Situni, “Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional”,
(Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1989), h. 1.
11 Ibid.
12 Ibid.
5
baik negara pantai maupun yang tidak berpantai mempunyai kepentingan
khusus atas laut, tergantung pada keadaan fisik geografisnya, ekonomi, sejarah
dan keadaan-keadaan lainnnya yang melekat atas laut tersebut. 13 Dalam hal ini
hukum laut internasional, berperan sebagai alat untuk mengatur hubunganhubungan atau persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pemanfaatan
laut oleh berbagai bangsa.14 Karena tujuan hukum pada umumnya termasuk
hukum internasional adalah untuk menciptakan dan memeihara ketertiban yang
adil dalam pergaulan masyarakat, maka hukum laut internasional berfungsi
untuk memelihara ketertiban dan keadilan dalam pemanfaatan laut oleh
berbagai
bangsa.15
Pada
pengaturan Ordonansi Laut
tahun
1939,
Indonesia
pernah
menggunakan
territorial dan lingkungan maritime 1939,Sb.1939
No. 442.16 Yang kemudian hukum laut semakin berkembang dan hingga dewasa
ini Indonesia telat meratifikasi Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS).
UNCLOS menetapkan bahwa kedaulatan suatu negara pantai, selain wilayah
daratan dan perairan pedalalamnnya, dan dalam hak suatu negara kepulauan,
perairan
kepulauannya
meliputi
juga
suatu
jalur
laut
yang
berbatasan
dengannya yang disebut laut territorial. Batas luar laut territorial adalah garis
yang jarak setiap titiknya dari titik yang terdekat pada garis pangkal, sama
dengan lebar laut territorial. Selama kurang lebih setengah abad lebar laut
territorial telah menjadi objek pertentangan antar negara, dengan variasi
tuntutan antara 3 sampai dengan 200 mil laut. 17 oleh UNCLOS setiap negara
diberi kebebasan untuk menetapkan lebar laut teritorialnya hingga suatu batas
yang tidak melebihi 12 mil laut. kedaulatan suatu negara di laut territorial
dibatasi dengan kewajiban untuk menjamin dilaksanakannya hak lintas damai
(innocent passage) dan dalam bentuk barunya disebut hak lintas transit (transit
passage) oleh kapal-kapal asing.18 Laut territorial harus dibedakan dari perairan
pedalaman (internal water).19
13 Atje Misbach Muhjiddin, “Status Hukum Perairan Kepulauan Indonessia dan Hak Lintas
Kapal Asing”, (Bandung:Penerbit Alumni, 1993), h. 1.
14 Ibid.
15 Ibid.
16 A. Hamzah, “Laut Territorial Dan Perairan Indonesia”, (Jakarta: CV Akademia Pressindo,
1984), h. 114.
17 Mochtar Kusumaatmadja, Etty R Agoes, “Pengantar Hukum Internasional”, (Bandung: PT.
Alumni, 2012), h. 173.
18 Ibid.
19 Chairul Anwar, “Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional”, (Jakarta:
Djambatan, 1989), h. 15.
6
Lebih lanjut, dalam bukunya I Wayan Parthiana menjelaskan bahwa Laut
Territorial (territorial sea) adalah bagian laut yang terletak pada sisi luar dari
garis pangkal atau garis dasar (base line) dan sebelah luarnya dibatasi oleh garis
atau batas luar (outer limit).20 Yang dimaksud dengan garis pangkal adalah garis
yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut. Diterapkannya pada saat air
laut surut disebabkan oleh karena garis air laut surut adalah merupakan batas
antara daratan dan perairan (laut). Garis tersebut merupakan garis atau titik-titik
yang merupakan pertemuan antara daratan dan perairan.
Lebar laut teritoral maksimum negara-negara berhasil disepakati, yakni
sejauh 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Mengenai garis pangkal, dalam
hukum laut internasional dikenal tiga macam garis pangkal, yakni:
a. Garis pangkal normal (normal base line) adalah garis pangkal yang ditarik
pada pantai pada waktu air laut surut dengan mengikuti lekukan-lekukan
pantai. Untuk mengukur dan menentukan lebar laut territorial, ditarik
garis tegak lurus dan garis pangkal normal ke arah luar/laut sesuai
dengan lebar laut teritorial masing-masing negara. Titik-titik atau garis
luar pada bagian luar itulah yang disebut garis luar atau batas luar laut
territorial. Garis pangkal normal ini merupakan garis pangkal tertua yang
pertama kali dikenal dalam sejarah pengukuran lebar laut territorial.
b. Garis pangkal lurus, berbeda dengan garis pangkal normal yang
penarikannya mengikuti lekukan pantai, penarikan garis pangkalnya tidak
mengikuti lekukan pantai melainkan dengan menghubungkan titik-titik
atau ujung-ujung terluar dari pantai. Itulah sebabnya garis pangkal lurus
ini disebut juga garis pangkal lurus dari ujung ke ujung. Penarikan garis
pangkal lurus dilakukan pada pantai-pantai yang berliku-liku atau jika di
depan pantai tersebut terdapat pulau, deretan atau gugusan pulau.
Penarikan garis pangkal dengan metode ini berawal dari Anglo-Norwegian
Fisheries Case.
c. Garis pangkal kepulauan (Archipelagic Base-line), garis pangkal ini mulai
dikenal dengan diakuinya prinsip negara kepulauan dalam UNCLOS. Hal ini
tentu saja tidak bisa dilepaskan dari perjuangan negara-negara kepulauan
yang dipelopori oleh Indonesia, Filipina, Fiji, Mauritius dan didukung
negara-negara kepulauan lainnya. Pengaturan akan garis pangkal ini
20 I Wayan Parthiana, “Pengantar Hukum Internasional”, (Bandung: Penerbit Mandar Maju,
2003), h. 151.
7
terdapat dalam Pasal 47 UNCLOS, disebutkan bahwa suatu negara berhak
menarik garis pangkal kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar
dan karang-karang kering terluar kepulauan itu dengan ketentuan bahwa
perbandingan antara daratan dan perairannya ialah 1:9. 21 Dengan adanya
sistem penarikan garis pangkal kepulauan tersebut, Indonesia sangat
diuntungkan dengan penambahan luas wilayah yang semula luas wilayah
Indonesia 2.027.087 Km persegi berubah menjadi 5.193.250 Km persegi. 22
“We fully agree with the statement that there must be a balance between
the right of coastal states and the interests of international navigation, and we
believe that the balance have been, and will be achieved through the principles
of innocent passage”.23 Di wilayah laut, lalulintas bagi kapal asing merupakan
hak yang diakui oleh hukum internasional. 24 Hak lintas damai menurut UNCLOS
adalah hak untuk melintas secepat-cepatnya tanpa berhenti dan bersifat damai
tidak mengganggu keamanan dan ketertiban negara pantai. 25 Pelaksanaan hak
lintas damai haruslah:
a. Tidak
mengancam
atau
menggunakan
kekerasan
yang
melanggar
integritas wilayah, kemerdekan dan politik negara pantai;
b. Tidak melakukan latihan militer atau sejenisnya tanpa seizin negara
pantai;
c. Tidak melakukan kegiatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi
tertentu yang melanggar keamanan ketertiban negara pantai;
d. Tidak melakukan tindakan propraganda yang melanggar keamanan
ketertiban negara pantai;
e. Tidak melakukan peluncuran,
f.
pendaratan
dari
atas
kapal
apapun
termasuk kapal militer;
Tidak melakukan bongkar muat komoditas, penumpang, mata uang yang
melanggar aturan customs, fiscal, immigration or sanitary laws negara
pantai;
g. Tidak melakukan aktivitas yang menimbulkan pencemaran;
21 Ibid.
22 I Made Pasek Diantha, “Analisis Negara Kepulauan Dan Landas Kontinen Dalam Perspektif
Kepentingan Indonesia”, (Denpasar: CV. Kayumas Agung, 1993), h. 52.
23 Hasjim Djalal, “Indonesia and Th Law of The Sea”, (Jakarta: entre For Strategic and
International Studies, 1995), h. 306.
24 M. Dimyanti Hartono, “Hukum Laut Internasional Yurisdiksi Nasional Indonesia sebagai
Negara Nusantara”, (Bandung: Binacipta, 1983), h. 64.
25 Sefriani, “Hukum Internasional Suatu Pengantar”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa,
2011), h. 213.
8
h. Tidak melakukan egiatan penangkapa ikan;
i. Tidak melakukan kegiatanj penelitian;
j. Tidak melakukan kegiatan yang mengganggu ke sistem komunikasi
negara pantai;
k. Kapal-kapal selam harus menampakkan dirinya di permukaan serta
menunjukkan bendera negaranya.26
Berdasarkan Pasal 19 butir 2 UNCLOS, lintas suatu kapal asing dianggap
mmebahayakan negara Pantai apabila:
a. Setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan,
keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan
cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional
sebagaimana tercantum dalam UN Charter;
b. Setiap latihan atau praktik dengan senjata macam apapun;
c. Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang
merugikan bagi pertaanan atau keamanan negara pantai;
d. Setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan
atau keamnaan negara pantai;
e. Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di atas
f.
kapal;
Peluncuran,
pendaratan
perlengkapan militer;
g. Bongkar muat setiap
atau
penerimaan
komoditi,
mata
setiap
uang
peralatan
atau
orang
dan
secara
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiscal,
imigrasi atau saniter negara pantai;
h. Setiap perbutan pencemaran dengan
sengaja
dan
parah
yang
bertentangan dengan ketentuan UNCLOS;
i. Setiap kegiatan perikanan;
j. Kegiatan riset atau survey;
k. Setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi
l.
atau setiap fasilitas atau istalasi lainnya negara pantai;
Setiap kegiatan lainnya yang tidak ebrhubungan langsung dengan lintas. 27
Hak lintas damai adalah hak bagi kapal asing sehingga merupakan kewajiban
bagi negara pantai untuk memberikannya. Untuk dianggap damai, maka lintas
tidak boleh merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan negara
pantai, juga tidak boleh melanggar Konvensi atau ketentuan-ketentuan hukum
26 Ibid.
27 Arif Djohan Tunggal, “Aspek-Aspek Hukum Laut”, (Jakarta: Harvarindo, 2014), h. 17-18.
9
internasional lainnya.28 Negara pantai juga tidak boleh menyita atau menahan
kapal asing yang lewat di laut wilayahnya untuk keperluan perdata kecuali jika
kapal tersebut tidak memenuhi kewajibannya pada waktu lewat atau pada saat
berada di perairan negara pantai. 29 Kapal dapat berhenti dan membuang sauh
hanya untuk alasan-alasan force majeure. 30 Sementara itu berdasarkan Pasal 23
UNCLOS, kapal asing bertenaga nuklir dan kapal yang mengangkut nuklir atay
bahan lain karena sifatnya yang berbahaya atau beracun, apabila melaksanakan
hak lintas damai melalui laut territorial, harus membawa dokumen dan
mematuhi tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan oleh perjanjian
internasional bagi kapal-kapal demikian.31
B. PEMBAJAKAN DI LAUT TERITORIAL SOMALIA
“In reviewing the history of mankind it becomes clear that since tribal time
movement of people and goods, fisheries and unfortunately armed conflicts and
other non-peaceful incidents have been the main activities and events on the
seas and oceans of the world.”32 Laut merupakan tempat yang tidak dapat
dipungkiri
sebagai
salah
satu
wadah
bagi
manusia
dalam
melakukan
aktifitasnya. Sederhananya, guna memanfaatkan sumber daya alam ataupun
sebagai tempat berperang dan saling claim satu sama lain atar negara. Dewasa
ini secara internasional, Laut di atur dengan Convention on The Law of The Sea
1982 (UNCLOS). “The 1982 Convention contains 320 articles and 9 Annexes. It
was adopted by 130 votes to 4, with 17 abstentions and entry into force on 16
November 1994, twelve months after the required 60 ratifications.”33
Dengan
perkembangan
terkait
kelautan
yang
terus
berjalan
seiring
berjalannya waktu, dan hukum-hukum yang telah dibuat sedemikian rupa demi
menciptakan keamanan dan ketertiban di kawasan laut, namun hal tersebut
belum dapat sepenuhnya dicapai. Khususnya dengan peristiwa pembajakan
28 J.G Starke, “Pengantar Hukum Internasional”, (Jakarta: SInar Grafika, 2004), h. 348.
29 Hasjim Djalal, “Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut”, (Bandung: Percetakan
Ekonomi), h. 29.
30 Op. Cit, Chairul Anwar.
31 Op. Cit, Arif Djohan Tunggal.
32 E.Hey, A.W. Koers, “The International Law of the Sea”, (Netherlands: Netherlands Institute
of Transport, 1983), h. 67.
33 Malcolm N. Shaw. “Interntional Law”, (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), h.
556.
10
yang marak terjadi. Sejarah menunjukkan bahwa pembajakan di laut sudah ada
sejak awal manusia melakukan perjalanan melalui laut. Para perompak yang
melakukan pembajakan di laut pada walnya hanya memiliki tujuan untuk
memperkaya diri.34 Sejarah tercatat menunjukkkan bahwa sjak zaman Yunani
Kuni dan Kekaisaran Romawi, pembajaan di laut telah menjadi ebban dari
perdagangan maritime. Salah satu tindakan pembjakan di laut yang disertai
dengan penculikan pada masa ini adalah pada tahun 75 S.M di mana kapal Julius
Caesar diserang dan sang Kaisar itu sendiri diculik dan dimintai tebusan. Para
Perompak kemudian mendapatkan tebusannya atas peleasan Julius Caesar
namun mereka ditangkap dan dihukum kemudian. 35
Pada abad ke-16, perompak digunakan oleh negara-negara untuk enambah
kekuatan maritime mereka. Para perompak ini disebut sebagai privateer, yaitu
“perompak” yang diizinkan atau disahkan oleh negara untuk bertindak atas
nama negara tersebut melalui surat yang disebut “letter of marguee”. Tujuan
utama privateers
ini adalah merusak sumber daya negara musuh, melatih
kapten angkatan laut yang baru, bahkan menyulut peperangan. Ratu Elizabeth
sendiri bahkan menyatakan bahwa penggunaan state sponsored terrorism
seperti privateering merupakan cara ideal untuk memukul mundur musuh dan
menyembunyikan diri kemudian.36
Setelah Perang Spanyol usai, Inggris dan Spanyol menyimpulkan bahwa tidak
diperlukan lagi adanya privateers. Raja James kemudian mencabut seluruh letter
of marquee dan mengkriminalisasikan pembajakan di laut dalam bentuk apapun.
Tindakan ini menyebabkan ratusan privateer kehilangan pekerjaan dan mencari
pekerjaan sebagai perompak secara penuh. Tanpa adanya negara yang
mengasuh atau menyewa mereka, maka mereka melakukan tindakannya berupa
menyerang dan merompak semua negara-negara tanpa diskriminasi. 37 Pada
tahun 1856 mayoritas negara-negara yang memiliki kekuatan maritime besar
menandatangani Deklarasi Paris 1856 yang menyatakan penghapusan terhadap
pembajakan di laut dalam bentuk apapun.
34 Alfred S. Bradford, “Flying the Black Flg-A Brief History of Piracy”, (Westport-Connecticut:
Praeger, 2007), h. 4.
35 Thaune Lennox Gentele, “Piracy, Sea Robbery and Terrorism: Enforcing Laws to Deter
ransom Payments and Hijacking,” Transportation La Journal, Vol. 37:199, 2010, h. 202-203.
36 Ibid.
37 Ibid.
11
Sehubungan dengan pembajakan di laut modern, International Maritime
Bureau (IMB) menggolongan kegiatan pembajakan di laut dalam 3 kelompok,
yaitu:
a. Low level armed robbery, yakni kegiatan pembajakan di laut
berskala kecil yang biasanya beroperasi di pelabuhan dan dermaga
akibat lemahnya pengawasan oleh petugas keamanan pelabuhan.
b. Medium level armed assault and robbery, yakni tipe bajak laut
berskala menengah yang beroperasi di perairan laut lepas maupun
territorial, biasanya mereka sudah terorganisasi.
c. Major criminal hijack atau sering disebut sebagai fenomena “kapal
siluman” , biasanya sudah berskala besar, sangat terorganisasi dan
memiliki
tingkat
kekerasan
tinggi,
bahkan
telah
melibatkan
jaringan organisasi kejahatan transnasional dengan anggotaanggota terlatih yang menggunakan senjata api. Biasanya dengan
melakukan penguaaan kapal, awak kapal dibunuh atau diceburkan
ke laut, kemudian kapal dicat ulang, dimodifikasi, diganti nama dan
diregistrasi ulang. Kargo atau muatan kapal dijual di pasar bebas
kepada penadah. Sertifikat registrasi sementara diperoleh melalui
kantor konsulat. Mereka mendapatkannya baik melalui menyuao
atau dokumen-dokumen yang dipalsukan. Motif pembajakan ini
umumnya tidak hanya sekedar ekonomi saja, namun berlatar
politis atau terorisme.38
Pembajakan di laut berdasarkan hukum internasional saat ini diatur dalam 3
konvensi, yaitu: Convention on the High Seas 1958, UNCLOS 1982, dan
Convention for the Suppression of Unawful Acts of Violence Against the Safety of
Maritime Navigation 1988.39 Negara-negara membedakan antara pembajaan di
laut (“piracy”) dimna yurisdiksinya bersifat universal dan pembajakan laut yang
terjadi di dalam wilayah suatu negara yang lebih dikenal dengan perampokan di
laut (“sea armed robbery”) dimana yurisdiksinya berada di bawah negara pantai.
“If a crime on the water occurs within a country's coastal territory which is
38 Lihat Melda Kamil Aradno, “Hukum Internasional Hukum yang Hidup”, (Jakarta: Diadit
Media, 2007), h. 169.
39 Ario Triwibowo Yudhoatmojo, “Penerapn Yurisdiksi Universal Untuk Menanggulangi dan
Mengadili Pembajkan di Laut Berdasarkan Resolusi Dewan Kemanan Perserikatan BangsaBangsa Dalam Kasus Pembajakan di Teluk Aden”, (Tesis, 2010).
12
twelve nautical miles from shore, then it is viewed as "armed robbery at sea"; if
it is further out, then it is piracy.” 40
Perompakan di laut atau dikenal juga dengan istilah Sea Armed Robbery
terhadap kapal didefinisikan dalam the Code of Practice for the Investigation of
the Crimes of Piracy and Armed Robbery Against Ships (resolution A.922(22),
Annex, paragraph 2.2), as follows: “Armed robbery against ships means any
unlawful act of violence or detention or any act of depredation, or threat thereof,
other than an act of ìpiracy, directed against a ship or against persons or
property on board such ship, within a Stateís jurisdiction over such offences.”
Dengan demikian perompakan atau Sea Armed Robbery adalah:
a. Setiap tindakan tidak sah yang berupa kekerasan atau penahanan atau
setiap tindakan pembinasaan atau ancaman, selain tindakan pembajakan,
yang memiliki tujuan pribadi dan diarahkan terhadap sebuah kapal atau
terhadap orang atau harta benda pada sebuah kapal di perairan internal
suatu negara, perairan kepulauan dan laut teritorial.
b. Setiap tindakan menghasut atau sengaja memfasilitasi
tindakan
sebagaimana yang dijelaskan di atas.
Pada kasus pembajakan di Somalia yang diangkat pada karya tulis ini, bukanlah
hal yang awam lagi. Seperti yang dikatakan oleh Gornowicz pada Jurnalnya
yaitu, “Somalia is said to be one of the easiest and most attractive regions for
pirates attacks”.41
MV Sinar Kudus adalah sebuah Kapal kargo berbendera Indonesia yang
dioperasikan oleh PT. Samudera Indonesia Tbk. Kapal yang terdaftar di
pelabuhan Jakarta Indonesia ini dibuat pada tanggal 24 Juni 1998 oleh Shin
Kochijyuko Co. Ltd membawa 20 ABK Warga Negara Indonesia. Nilai kapal ini
sekitar 10 juta Dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 16 Maret 2011, kapal ini
dirompak oleh 35 orang perompak Somalia di Teluk Aden, Afrika. Kapal itu
dihadang di sekitar 320 mil Timur Laut Pulau Socotra. ABK M.V Sinar Kudus yang
telah satu bulan lebih disandera kawanan bajak laut Somalia, di perairan dekat
Pulau Socotra, Semenanjung Arab, Afrika, menyeru kepada penguasa Indonesia
40 Marguerite Laraira, “Piracy is an International Problem That Needs a Multi-Prong”, Regent
Journal of International Law, 2012.
41 Gornowicz, Michal, “Perspective of Business Law”, Journal, 2013.
13
untuk segera membebaskan dirinya dan 19 anak buah kapal lainnya yang
terkatung-katung karena tak ada pihak yang berupaya membebaskannya.
Perusahaan yang mempekerjakan mereka, PT Samudra Indonesia maupun PT
Aneka
Tambang
sebagai
pemilik
membebaskannya, demikian juga
muatan
biji
nikel
menolak
untuk
Pemerintahan Somalia telah menyerahkan
kepada Indonesia selaku negara bendera kapal untuk mengambil tindakan
terhadap para pelaku perompakan. Singkatnya, operasi penyelamatan berakhir
pada 1 Mei 2011 ketika para perompak menerima uang tebusan. Ternyata, di
atas geladak MV. Sinar Kudus terdapat 3 kelompok pembajak. Dua kelompok
setuju dengan nominal uang tebusan, sementara kelompok ketiga berusaha
membajak kembali namun digagalka oleh helikpoter dan sea rider yang
diluncurkan oleh KRI. Terjadi baku temba dan keempat pembajak tewas hingga
MV. Sinar Kudus kemudian dikawal hingga ke Oman. 42
Dalam pembajakan kasus Somalia ini, yurisdiksi harusnya jatuh pada Negara
Somalia untuk menumpasnya. “Any piratical attack occurring within Somali
territorial seas remains the under the exclusive jurisdiction of Somalia.” 43 Tetapi
telah terbukti bahwa negara tersebut tidak pernah berdaya mengatasi masalah
ini yang sudah sering terjadi hingga mengundang keluarnya beberapa Resolusi
Dewan Keamanan PBB.
“Urges States who naval and military aircraft operate on the high seas
and airspace off the
coast of Somalia to increase and coordinate their efforts to deter acts of
piracy and armed robbery and encourages States using their commercial
maritime routes off the coast f Somalia to increase and coordinate their
efforts to deter acts of piracy and armed of robbery. (Resolusi DK No.
1816-2008).”
Pemerintah Indonesia sebagai anggota PBB memiliki kewajiban untuk
melaksanakan resolusi ini terutama ketika kejadian tersebut menimpa kapal
berbenderanya dan warga negaranya.
42 Marsetio, “Sea Power Indonesia”, (Jakarta:Universitas Pertahanan, 2014), h. 113.
43 Emily. A Georgiades, “A Beginning to The Maritime Delimitatiom of The Aegen Sea
Disputes”, Ocean and Coastal Law Journal, 2011.
14
BAB III
KESIMPULAN
Laut territorial adalah sesuatu hal yang didebatkan pada saat sebelum
terjadinya Perang Dunia II.44 Yang pada akhirnya diakui secara internasional
bahwa
negara
dapat
memiliki
kedaulatan
dan
yurisdiksi
di
atas
laut
teritorialnya.45 Laut territorial ditarik tidak lebih sejauh 12 mil dari garis pangkal
saat air laut surut.46
Pada masanya, pembajakan pernah memiliki masa kejayaannya pada tahun
1660 hinga 1730an.47 Bisnis pembajakan adalah hal yang paling menguntungkan
di Somalia48, dan pada umumnya penjarahan dilakukan dengan “Somalian Style”
yaitu memaksa menjarah kapal yang besar menggunakan kapal kecil, gps
modern dan membawa senjata.49 Dalam mengatasi permasalahan pembajakan
khususnya
di
wilayah
teritorial
Somalia,
Dewan
Keamanan
PBB
telah
mengeluarkan beberapa resolusi50 yang kemudian menyebabkan negara Somalia
harus merelakan daerah teritorialnya dimasuki oleh asing. 51 Namun dalam
mengatasi masalah pembajakan ini, negara-negara tidak hanya terpaku pada
UNCLOS atau hukum secara normatif, yang harus ditekankan adalah kerjasama
44 Damir Arnaut, “Stormy Waters on The Way to The High Seas: The Case of The Territorial
Sea Delimitation Between Croatia and Slovenia”, Marine Law Intitute, University of Maine
chool of Law Ocean andCoastal Law Journal, 2002.
45 Marian Nash Leich, “The American Society of International Law”, American Journal of
International Law, 1989.
46 Philippines Daily Inquirer. 2014.
47 Barry Hart Dubner and Ritvik Raturi, “On the Economics of International Sea Piracy”,
Michigan State University Journal, 2012.
48 Sandra L. Hodgkinson, “Seeking the Best Prosecution Model for Somali Pirates”, Case
Western Reserve Journal of International Law, 2011.
49 Sandra L. Hodgkinson, “Current Trends in Global Piracy: Can Somalia’s Successes Help
Combat Piracy in the Gulf of Guinea and Elsewhere?”, Case Western Reserve Journal of
International Law, 2013.
50 Milena Sterio, “Case Western Reserve Journal of International Law”, Case Wstern Reserve
Journal, 2011.
51 Matthew C. Houghton, “Tulsa Journal of Comparative & International Law”, 2009.
15
internasional. Pembajakan di Somalia haruslah menjadi perhatian besar bagi
komunitas internasional.52 Yang bahkan menurut seorang ahli hukum melalui
jurnalnya yang mengatakan “In order to effectively address the increase in
pirate attacks, the U.N. should remove the high seas requirement from the
UNCLOS piracy definition, and the jurisdiction restrictions for failed states.” 53
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
R. WIrjono Prodjodikoro, “Hukum Laut Bagi Indonesia”, (Bandung: Sumur Bandung,
1981), h. 10.
I Wayan Parthiana, “Pengantar Hukum Internasional”, (Bandung: Mandar Maju,
1990).
Kresno Buntoro, “Lintas Navigasi di Nusantara Indonesia”, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2014).
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Ilmu Hukum, (Depok: UI-Press, 2010).
F.A
Whisnu Situni, “Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber
Internasional”, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1989).
Hukum
Atje Misbach Muhjiddin, “Status Hukum Perairan Kepulauan Indonessia dan Hak
Lintas Kapal Asing”, (Bandung:Penerbit Alumni, 1993).
Hamzah A, “Laut Territorial Dan Perairan Indonesia”, (Jakarta: CV Akademia
Pressindo, 1984).
Mochtar Kusumaatmadja, Etty
(Bandung: PT. Alumni, 2012).
R
Agoes,
“Pengantar
Hukum
Internasional”,
Chairul Anwar, “Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional”,
(Jakarta: Djambatan, 1989).
52 Christopher Totten, Matthew Bernal, “Jurisdiction issues, enforcement problems and
potential solutions”, Georgetown Journal of International Law, 2010.
53 Jill Harrelson, “American University International Law Review”, 2010.
16
I Wayan Parthiana, “Pengantar Hukum Internasional”, (Bandung: Penerbit Mandar
Maju, 2003).
I Made Pasek Diantha, “Analisis Negara Kepulauan Dan Landas Kontinen Dalam
Perspektif Kepentingan Indonesia”, (Denpasar: CV. Kayumas Agung, 1993).
Hasjim Djalal, “Indonesia and Th Law of The Sea”, (Jakarta: entre For Strategic and
International Studies, 1995).
M. Dimyanti Hartono, “Hukum Laut Internasional Yurisdiksi Nasional Indonesia
sebagai Negara Nusantara”, (Bandung: Binacipta, 1983).
Sefriani, “Hukum Internasional Suatu Pengantar”, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Perkasa, 2011).
Arif Djohan Tunggal, “Aspek-Aspek Hukum Laut”, (Jakarta: Harvarindo, 2014).
J.G Starke, “Pengantar Hukum Internasional”, (Jakarta: SInar Grafika, 2004).
Hasjim Djalal, “Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut”, (Bandung: Percetakan
Ekonomi).
E.Hey, A.W. Koers, “The International Law of the Sea”, (Netherlands: Netherlands
Institute of Transport, 1983).
Malcolm N. Shaw. “Interntional Law”, (Cambridge: Cambridge University Press,
2008).
Alfred S. Bradford, “Flying the Black Flg-A Brief History of Piracy”, (WestportConnecticut: Praeger, 2007).
Lihat Melda Kamil Aradno, “Hukum Internasional Hukum yang Hidup”, (Jakarta:
Diadit Media, 2007).
Ario Triwibowo Yudhoatmojo, “Penerapn Yurisdiksi Universal Untuk
Menanggulangi dan Mengadili Pembajkan di Laut Berdasarkan Resolusi
Dewan Kemanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Kasus Pembajakan di
Teluk Aden”.
Marsetio, “Sea Power Indonesia”, (Jakarta:Universitas Pertahanan, 2014).
JURNAL
Thaune Lennox Gentele, “Piracy, Sea Robbery and Terrorism: Enforcing Laws to
Deter ransom Payments and Hijacking,” Transportation La Journal, Vol.
37:199.
Rio Sandy Sirait, “Analisis Yuridis Terhadap Kekebalan Diplomatik (Studi Kasus
Larangan Meninggalkan Negara India Terhadap Duta Besar Italia)”. (Skripsi
Program Sarjana Ilmu Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, 2014), h. 5,
17
mengutip Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Universitas Trisakti, 008),
h.250 yang mengutip Ronald Dworkin, Legal Research, (Daedalus;
Spring,1973).
Gornowicz, Michal, “Perspective of Business Law”, Journal, 2013.
Haque Emdadul, Hasan Daud, “Maritime Boundary Deliitation: A Normative
Standard?-Part I: Historical Development of the Legal Regime), Journal, 2014.
Milena Sterio, “Case Western Reserve Journal of International Law”, Case Wstern
Reserve Journal, 2011.
Barry Hart Dubner and Ritvik Raturi, “On the Economics of International Sea
Piracy”, Michigan State University Journal, 2012.
Marguerite Laraira, “Piracy is an International Problem That Needs a Multi-Prong”,
Regent Journal of International Law, 2012.
Sandra L. Hodgkinson, “Seeking the Best Prosecution Model for Somali Pirates”,
Case Western Reserve Journal of International Law, 2011.
Sandra L. Hodgkinson, “Current Trends in Global Piracy: Can Somalia’s Successes
Help Combat Piracy in the Gulf of Guinea and Elsewhere?”, Case Western
Reserve Journal of International Law, 2013.
Christopher Totten, Matthew Bernal, “Jurisdiction issues, enforcement problems and
potential solutions”, Georgetown Journal of International Law, 2010.
Jill Harrelson, “American University International Law Review”, 2010.
Matthew C. Houghton, “Tulsa Journal of Comparative & International Law”, 2009.
Damir Arnaut, “Stormy Waters on The Way to The High Seas: The Case of The
Territorial Sea Delimitation Between Croatia and Slovenia”, Marine Law
Intitute, University of Maine chool of Law Ocean andCoastal Law Journal,
2002.
Marian Nash Leich, “The American Society of International Law”, American Journal
of International Law, 1989.
Emily. A Georgiades, “A Beginning to The Maritime Delimitatiom of The Aegen Sea
Disputes”, Ocean and Coastal Law Journal, 2011.
Philippines Daily Inquirer. 2014.
18