ASAP BENCANA ALAM ATAU TIDAK Asap Sebaga

KAJIAN STRATEJIK KETAHANAN NASIONAL | Teori Ketahanan Nasional

ASAP, BENCANA ALAM ATAU TIDAK :
Asap Sebagai ATHG Terhadap Ketahanan Regional dan Nasional

Edison Guntur Aritonang
Mahasiswa PKN 35
NPM 1506783703
edison_guntur@yahoo.com

Abstraksi
Fenomena asap yang sedang sedang terjadi mulai dari akhir Agustus 2015 sampai saat ini telah menimbulkan
dampak yang tidak baik bagi kesehatan warga terdampak dan mengganggu beberapa sektor ekonomi
dengan adanya penutupan bandara hingga 2 sampai 3 hari dalam seminggu. Selain itu, aspek pendidikan juga
terganggu dengan adanya keputusan untuk meliburkan sekolah di luar hari libur nasional.
Permasalahan ini diangkat terus di berbagai media masa, baik media televisi, cetak dan online secara rutin dan
menjadi topik utama. Bahkan beberapa acara talk show seperti Indonesia Lawyers Club – TV One, Mata Najwa –
Metro TV yang sering mengangkat isu nasional dengan rating prioritas utama, mengupas dengan melibatkan
beberapa pihak terkait, mulai dari pihak pemerintah pusat dan daerah (eksekutif), anggota DPR (legislatif),
pemerhati lingkungan dari beberapa NGO seperti WALHI, bahkan mantan pelaku atau aktor pembakar lahan itu
sendiri.

Penulis dalam konteks mempelajari teori ketahanan nasional, mencoba melakukan analisa mulai dari bentuk
fenomena sampai analisa masalah dengan pendekatan metode kepner-tragoe dan metode analisa hirarki
proses. Penulis memiliki banyak keterbatasan dalam pemahaman tentang metode penghitungan derajat
ketahanan nasional, khususnya dalam penentuan jenis variabel yang menjadi kriteria dan penetapan bobot atas
kriteria yang diperoleh, seharusnya bobot tersebut didapat dari para pakar. Sebagai esai, penulis mencoba
melakukan proses belajar dalam pengenalan konsep ketahanan nasional dalam uraian masalah dari fenomena
berdasarkan himpunan data yang diperoleh secara online.
Kata Kunci

:

asap, ahp, keuletan, ketangguhan, ketahanan nasional.

A. PENDAHULUAN
Sejak Agustus 2015, asap yang ditimbulkan dari
kebakaran hutan sudah mulai melanda beberapa
wilayah di Propinsi Riau, Jambi , Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Pada
September 2015, kepekatan asap yang ada di
wilayah tersebut sudah mulai mengganggu

kehidupan sosial masyarakat sekitar, karena sudah
mengganggu jarak pandang yang mengakibatkan
adanya penutupan bandara penerbangan menuju
dan dari wilayah tersebut, sekolah yang diliburkan,
terjangkitnya banyak penderita ISPA, dan mulainya

terganggu kehidupan ekonomi masyarakat karena
asap sudah mengganggu jarak pandang. Kondisi
tersebut masih berlangsung sampai hari ini walau
tidak tiap hari karena jika diselingi turunnya hujan,
maka pengaruh buruk asap hilang dengan seketika.
Bagaimana peran negara? Negara sebagai pemilik
otoritas tertinggi dalam kehidupan berbangsa, telah
melakukan upaya penyelesaian masalah melalui
organ (kementerian dan lembaga) terkait, namun
masalah tersebut tidak terselesaikan secara tuntas,
“masih dikalahkan oleh penyelesaian turunnya
hujan”.

Asap sebagai ATHG terhadap Ketahanan Regional dan Ketahanan Nasional | Halam 1 dari 12


KAJIAN STRATEJIK KETAHANAN NASIONAL | Teori Ketahanan Nasional
Kondisi faktual yang lebih memilukan lagi,
pemerintah membutuhkan bantuan dari negara lain
karena asap tersebut sampai ke negara tetangga
seperti Malaysia dan Singapura. Masyarakat
Singapura melalui Pemerintah Singapura meminta
pertanggungjawaban
kepada
Pemerintah
[1]
Namun Pemerintah
Indonesia, minta ganti rugi.
Indonesia menyatakan tidak akan memberikan
kompensasi tersebut, hanya sebatas permintaan
maaf. Bantuan yang ditunggu dari negara lain
seperti Malaysia, Singapura, Jepang, dan Rusia
dapat dijadikan salah satu indikator bahwa kita
kurang tangguh dan ulet dalam menyelesaikan
ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan

(ATHG) yang datangnya dari dalam. Kondisi ini tentu
ada pengaruhnya dengan derajat ketahanan
regional dan ketahanan nasional.
Bagaimana alur pikir, alur sikap dan alur tindak
dalam menyelesaikan pengaruh asap ini, penulis
mencoba melakukan kajian dengan pendekatan
Kepner dalam mencari tahu akar masalah dan
pendekatan Sunardi dalam melihat keterkaitannya
dengan derajat ketahanan regional dan ketahanan
nasional.
Kajian yang akan dilakukan dimulai dari identifikasi
masalah melalui analisa situasi dan analisa
permasalahan, kemudian dilanjutkan dengan
analisa data dan fakta, analisa aktor terkait dan
terdampak,
analisa
akar
masalah
untuk
mendapatkan bentuk pemetaan permasalahan

sehingga dapat dilihat pengaruh terhadap
ketahanan regional dan ketahanan nasional. Alur
sikap dan alur tindak, akan dituangkan dalam
bentuk kesimpulan dan saran pada tulisan ini.

1

BBC Indonesia (Singapura marah karena asap, RI tak beri
kompensasi, 28 September 2015,
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/
150927_indonesia_asap_singapura)

Gambar 1. Alur Pikir Pemetaan Masalah Asap

B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berikut ini adalah situasi masalah dampak asap yang
terjadi sebagai salah satu isu nasional karena
menjadi topik di berbagai media cetak, televisi dan
media sosial, yaitu sebagai berikut :
1. Tingkat kepekatan asap di beberapa wilayah

Propinsi
Sumatera
Selatan,
Jambi,
Riau,
Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah sudah
menggangu kesehatan karena menyebabkan
meningkatnya penderita ISPA dan masyarakat
membutuhkan
masker
dalam
melakukan
kegiatan sehari-harinya.
2. Asap yang dihembuskan sampai ke wilayah
sekitar di luar propinsi terdampak langsung,
seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Bengkulu, Kalimantan Timur, bahkan sampai ke
negara tetangga, yaitu Malaysia dan Singapura.
3. Penyelesaian masalah belum tuntas, sudah dua
bulan lebih, titik api dan asap masih ada dan

tetap berdampak negatif bagi kesehatan
masyarakat sekitar.
4. Adanya penutupan bandara dan delay
penerbangan dengan frekuensi yang cukup
tinggi dari dan ke wilayah tersebut yang memiliki
titik api tersebut dan libur sekolah di luar jadwal
libur nasional karena pengaruh kepekatan asap
yang berdampak negatif terhadap kesehatan
siswa/ pelajar.
5. Adanya sikap protes dari masyarakat negara
tetangga, Malaysia dan Singapura.

Asap sebagai ATHG terhadap Ketahanan Regional dan Ketahanan Nasional | Halam 2 dari 12

KAJIAN STRATEJIK KETAHANAN NASIONAL | Teori Ketahanan Nasional
6. Adanya polemik dan sikap “saling tuduh” dan
curiga, Masyarakat – NGO – Pemerintah
Kabupaten/ Kota – Pemerintah Propinsi –
Pemerintah Pusat, siapa yang bertanggun jawab
dan

bagaimana
meminta
pertanggungjawaban.
7. Pemerintah Indonesia membutuhkan bantuan
dari negara lain untuk menyelesaikan masalah
yang terjadi di dalam negeri.
Dari gambaran situasi yang terjadi tersebut, semua
situasi tersebut muncul karena adanya asap dengan
tingkat kepekatan yang mengganggu kesehatan
dan jarak pandang. Implikasi dari asap ini sudah
berpengaruh langsung pada aspek kehidupan
sosial, aspek ekonomi, aspek pendidikan, bahkan
aspek politik pada kawasan daerah sumber titik api.
Jika dilihat kejadian asap ini sudah lama
berlangsung, pada tahun 1997, kebakaran hutan
tersebut sudah terjadi hingga menimbulkan taksiran
kerugian ekonomi sekitar Rp 711 Triliun. [2] Badan
Perencanaan Pembanggunan Nasional bersama
Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan
jumlah lahan yang terdampak akibat kebakaran

mencapai 9,75 juta hektrare. Ciri dari masalah ini
selalu muncul pada musim kemarau, dan akan
diperparah
lagi
ketika
fenomena
El
Nino
berlangsung.
Hal pokok yang penting untuk dipertanyakan adalah
kebakaran hutan dan dampak asap yang
ditimbulkannya apakah termasuk bencana alam
atau tidak? Jika ya, apa dasarnya dan bagaimana
menyelesaikannya secara tuntas dengan seluruh
kekuatan yang dimiliki oleh negara. Jika tidak,
bagaimana menyelesaikannya dan melakukan
supremasi hukum yang tepat, apa dan siapa yang
menjadi sumber masalah.

C. ANALISA DATA DAN FAKTA

Kejadian asap ini selalu terjadi pada musim kemarau
hampir setiap tahun. Sejak tahun 1997 sebagai awal
puncak dan berdampak hebat dan menimbulkan
perkiraan kerugian sebesar Rp 711 Triliun menurut
Bappenas dan ADB.
Jml
Hot
Spot

Propinsi
Riau

15

Jambi

18

Sumatera Selatan


32

Bangka Belitung
Sumatera Barat
Sumatera Utara
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur
Jawa Barat
Jawa Tengah
TOTAL

4
6
2
1
2
2
1
83

Jumlah Hotsopt di Kabupaten
Bengkalis(1), INHU(4), Kampar(5),
Kuansing(3), Pelalawan(1), Rohul(1)
Batanghari (2), Bungo (1), Merangin(1),
Muaro Jambi(4), Soralangun(1), Tanjung
Jabung Barat(1), Tanjung Jabung
Timur(2), Tebo(6)
Banyuasin(1), Lahat(2), Muara Enim(5),
Musi Banyuasin(8), Ogan Ilir(4), Oki(5),
Oku Timur(1), Pali(1)

Kubu Raya
Katingan(1), Kotawaringin Barat(1)

Tabel 2. Daftar Titik Api Per 30 Juli 2015

[3]

Jumlah titik api (hot spot) per tanggal 30 Juli 2015
adalah 83 titik. Sedangkan jumlah hot spot dari
tanggal 1 Januari 2015 s.d 30 Juli 2015 adalah 5.284
titik dan jumlah dari 1 Januari 2014 s.d 30 Juli 2014
adalah 12.068 titik. Terjadi penurunan sebesar 57%.
Jika dilihat dari prosentase titik hot spot, 85% daerah
yang memiliki titik api adalah daerah yang memiliki
kawasan perkebunan, baik perkebunan sawit, karet,
dan sebagian juga hutan tanaman industri
(Sumatera Utara 3%, Riau 18%, Jambi 22%, Sumatera
Selatan 39%, Kalimantan Barat 2% dan Kalimantan
Tengah 1%). Dari data tersebut, dapat dikategorikan
ada tiga jenis sumber titik api, kebakaran pada
lahan
perkebunan
(sawit/karet),
kebakaran
kawasan hutan tanaman industri, dan kebakaran

2

BBC Indonesia (Kebakaran hutan dan lahan Indonesia
bisa samai insiden 1997, 2 Oktober 2015,
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/
151002_indonesia_asap_rekor)

3

Kementerian Kehutanan (Pantuan Hostspot dan Upaya
Penanganannya per Tanggal 30 Juli 2015, 31Juli 2015,
http://www.dephut.go.id/index.php/news/details/9835)

Asap sebagai ATHG terhadap Ketahanan Regional dan Ketahanan Nasional | Halam 3 dari 12

KAJIAN STRATEJIK KETAHANAN NASIONAL | Teori Ketahanan Nasional
hutan lindung atau hutan non kawasan hutan
tanaman industri dan non perkebunan.
Jawa Tengah
1%
Jawa Barat
2%
Bangka
Belitung
5%

Kalimantan
Barat
2%

Sumatera
Utara
3%
Sumatera
Barat
7%

Kalimantan
Tengah
1%

Riau
18%
Sumatera
Selatan
39%

Jambi
22%

Proporsi Hotspot Per 30 Juli 2015
Gambar 2. Komposisi Propinsi sebagai Sumber Titik Api per 30 Juli
2015 sebagai sumber penyebaran asap

Jika dikatakan kebakaran sumber api dari lahan
perekebunan sebagai K1, sumber api dari kawasan
hutan tanaman industri sebagai K2, dan sumber api
dari bukan dari K1 dan K2 sebagai K3, maka eigen
vektor dari kriteria ini dapat diukur. Jika kekuatan
atau kontribusi sumber titik api dari K1 tujuh kali dari
pada K3 dan tiga kali dari pada K2, dan kontribusi K2
sebanyak dua kali K3, maka didapat bentuk
matriksnya seperti di bawah ini.
K1

K2

K3

K1

1

3

7

K2

1/3

1

2

K3

1/7

1/2

1

ke RI adalah 0,58 berdasarkan tabel Indeks Random
Konsistensi Satii, maka didapat CR (Concistency
Ratio) sebesar 0,0035 yang berarti besar dari pada
0,1. CR sebesar 0,0035 ini menandakan bahwa
kriteria tersebut bersifat konsisten.
Eigen vektor yang didapat adalah 0,681 sebagai
bobot dari K1; 0,216 sebagai bobot K2; dan 0,103
sebagai bobot dari K3. Berdasarkan eigen vektor ini,
bisa dikatakan 3.600 hot spot yang ada sejak 1
Januari 2015 sampai dengan 30 Juli 2015, bersumber
dari lahan perkebunan (0,681 x 5.284), 1.142
bersumber dari kawasan hutan tanaman industri,
dan 542 dari kategori non kebun dan non kawasan
hutan tanaman industri.
[4]

Jika dilihat dari Non Government Organization
(NGO) yang melakukan kajian khusus mengenai
potensi kebakaran lahan dan hutan kawasan, yaitu :
World Resources Institute, melakukan penelitian dan
menemukan bahwa komposisi dari sektor industri
yang menyumbankan asap akibat pembakaran
lahan, terdapat 48% dari sumber di luar konsesi, 27%
dari timber plantation (penanaman kembali –
plantation karet), 20% dari oil palm (lahan industri
sawit), 4% dari kawasan hutan lindung, dan 1 % dari
kejahatan penebangan kayu ilegal.

Tabel 2. Matriks Sumber Kriteria Sumber Titik Api

K1

K2

K3

K1

1

3

7

K2

0,333

1

2

K3

0,143

0,500

1

Gambar 3. Komposisi Sektor Industri sebagai Sumber Titik Api
sebagai sumber penyebaran asap Tahun 2013 di Propinsi Riau

Tabel 3. Maktriks Hasil Normalisasi Kriteria Sumber Titik Api

Maka diperoel CI (Consistency Index) sebesar 0,0021
dan dengan N (jumlah kriteria) adalah 3, mengacu

4

WRI Indonesia (www,
http://www.dephut.go.id/index.php/news/details/9835)

Asap sebagai ATHG terhadap Ketahanan Regional dan Ketahanan Nasional | Halam 4 dari 12

KAJIAN STRATEJIK KETAHANAN NASIONAL | Teori Ketahanan Nasional
Sedangkan pendataan terhadap lahan-lahan
perusahaan yang menjadi titik api tersebut dilakukan
terhadap 15 perusahaan terbesar “penyumbang titik
api” sektor industri kelapa sawit di Propinsi Riau,
pada Tahun 2013, terdapat 738 titik hot spot.

terjauh sampai ke negara tetangga, yaitu Malaysia
dan Singapura.

Gambar 4. Daftar Lahan Perusahaan sebagai Sumber Titik Api
sebagai sumber penyebaran asap Tahun 2013 di Propinsi Riau

Sedangkan
untuk
sektor
industri
dengan
pemanfaatan kawasan hutan tanaman industri dan
lahan di Propinsi Riau pada tahun 2013 yang sedang
melakukan replantation, juga menyumbangkan titik
api yang signifikan, sebanyak 1.182 hot spot.

Gambar 5. Daftar Lahan Perusahaan yang sedang replantation
sebagai Sumber Titik Api sebagai sumber penyebaran asap Tahun
2013 di Propinsi Riau

Sedangkan sebaran asap akibat dari hot spot
tersebut diatas yang terjadi pada tahun 2013, dapat
dilihat pada gambar di bawah ini dengan sebaran

Gambar 6. Peta Sebaran Hot Spot dan Asap Tahun 2013 yang terjadi
di Propinsi Riau

Jika dilihat dari data dan fakta yang terjadi,
kebakaran lahan dan hutan ini memiliki ciri sebagai
berikut :
1. Terjadi secara rutin, setiap tahun pada musim
kemarau, sejak 1997 sampai dengan 2015.
2. Memiliki sumber titik api pada kawasan lahan
perkebunan dan hutan tanaman industri secara
dominan dengan eigen vektor 68,14% akibat
kebakaran pada industri perkebunan (sawit dan
karet) dan 21,60% akibat kebakaran pada
kawasan hutan tanaman industri dengan
tingkat Consistency Ratio 0,35%.
3. Penyelesaian bersifat pengobatan, bukan
pencegahan, selalu asap menjadi masalah
setiap tahun yang memiliki implikasi berulang,
terjangkitnya ISPA, adanya ganngguan pada
sektor penerbangan karena jarak pandang,
asap yang dibawa angin ke wilayah sekitar
sumber titik api dan solusi paling efektif ketika
musim hujan datang masalah menjadi selesai.

Asap sebagai ATHG terhadap Ketahanan Regional dan Ketahanan Nasional | Halam 5 dari 12

KAJIAN STRATEJIK KETAHANAN NASIONAL | Teori Ketahanan Nasional
[5]

Berdasarkan data yang dihimpun dan
dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan,
Kementerian Pertanian, terdapat luas lahan sawit
10.956.231 hektar dengan sebaran seperti pada
tabel di bawah ini, berdasarkan data tahun 2014.

replantation dengan periode antara 5 s.d 10
tahunan. Jika tidak ada pengawasan secara ketat,
hal ini juga memiliki potensi masalah yang berulang.

D. ANALISA AKTOR TERKAIT DAN TERDAMPAK
Aktor terkait berdasarkan analisa data dan fakta
adalah dunia industri baik dalam pengolahan lahan
perkebunan dan HTI. Berdasarkan metode analisa
hirarki proses, didapat eigen vektor untuk dua kriteria
penyebab asap dari titik api lahan perkebunan dan
HTI sebesar 68,14% dan 21,60%. Tentu yang menjadi
pertanyaan apa yang menjadi alasan mereka
melakukan atau membiarkan proses kebakaran
tersebut terjadi? Akibat dari proses kebakaran lahan
dan hutan tersebut menimbulkan dampak asap
dengan tingkat kepekatan yang berdampak tidak
pada kesehatan manusia, siapa yang mendapat
dampak secara langsung dan tidak langsung.

Gambar 5. Sebaran Kelapa Sawit Menurut Provinsi di Indonesia
Tahun 2014

Jika di Propinsi Riau saja terdapat sekitar 2.296.849
hektar
lahan
kelapa
sawit,
dengan
siklus
penanaman kembali (replantation), maka rata-rata
tiap tahun terdapat 91.874 hektar lahan akan
dilakukan replantation. Proses tersebut memerlukan
tahap land clearing (pembersihan lahan). Proses
land clearing ini sering menjadi sumber titik api (hot
spot). Propinsi Riau, Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, dan Jambi sudah melakukan industrialisasi
kelapa sawit ini dari tahun 1980-an dan dilakukan
secara besar-besaran pada tahun 1990-an.
Sedangkan Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan
mulai marak pada tahun 2000-an. Saat ini sedang
berjalan secara masif di Sulawesi Tengah dan
Sulawesi Barat. Hal ini menjadi potensi masalah yang
berulang.
Sedangkan
pada
sektor
industri
dengan
pemanfaatan Hutan Tanaman Industri (HTI) telah
memiliki siklus panen secara berkala dan proses
5

Kemtan (Ditjen Perkebunan,
http://ditjenbun.pertanian.go.id/berita-362-pertumbuhanareal-kelapa-sawit-meningkat.html)

Sedangkan aktor terdampak adalah Kepala daerah
Tingkat Kabupaten/Kota, Kepala Daerah Tingkat
Propinsi dan Pemerintah Pusat melalui Kementerian
Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, dan
Kementerian Kesehatan dan Presiden.
Untuk itu, pertanyaan awal pada bagian
pendahuluan dan judul tulisan ini, dari pemaparan
data dan fakta, bahwa dapat disimpulkan bahwa
asap bukanlah bencana alam, karena merupakan
hasil rekayasa perbuatan manusia secara dominan
dilakukan dengan kesengajaan dan terjadi secara
berulang. Mengapa hal tersebut dipertanyakan dan
diangkat sebagai bagan judul, karena aktor terkait
akan memiliki legitimasi kuat lepas dari penindakan
secara hukum [6].
Pertanyaan selanjutnya, kenapa masalah ini bisa
terjadi secara berulang-ulang dan bagaiman proses
penerbitan dan pencabutan izin pengelolaan
kawasan perkebunan dan kawasan hutan tanaman
industrinya. Apakah ada aktor lain yang terkait atau

6

Kompas Online (Ini Alasan Pemerintah Tak Tetapkan
Musibah Asap sebagai Bencana Nasional,
http://nasional.kompas.com/read/2015/10/16/12153091/Ini
.Alasan.Pemerintah.Tak.Tetapkan.Musibah.Asap.sebagai.B
encana.Nasional)

Asap sebagai ATHG terhadap Ketahanan Regional dan Ketahanan Nasional | Halam 6 dari 12

KAJIAN STRATEJIK KETAHANAN NASIONAL | Teori Ketahanan Nasional
fenomena lain sehingga kejadian kebakaran ini
seperti seolah-olah terbiarkan dan menjadi agenda
tahunan yang memposisikan negara pada posisi sulit
dalam penanggulangannya. Negara diposisikan
sebagai lembaga yang tidak berdaya dalam
melakukan supremasi hukum jika memang itu bukan
bencana nasional. Untuk itu, analisa dilakukan
secara runtut mulai dari motif aktor terkait sebagai
pemilik lahan atau kawasan asal titik api sampai
dengan alasan pemerintah tidak menetapkannya
sebagai bencana nasional, meskipun sudah sangat
menggangu tatanan hidup sosial dan ekonomi
masyarakat sekitar wilayah dan harga diri bangsa.
Tentu pemerintah memiliki alasan kuat atas alasan
yang disampaikan ke publik.
Jika dilihat dari aspek ekonomi, proses pembukaan
lahan sawit baru dengan cara melakukan
pembakaran hanya memerlukan biaya sekitar Rp
600.000,- s.d Rp 800.000,- per hektar, sedangkan jika
dilakukan dengan menggunakan alat berat, proses
tersebut memerlukan biaya sekitar Rp 3.400.000,- per
hektar [7]. Proses tersebut diatas adalah proses
pembukaan lahan kebun yang melakukan alih
fungsi dari kawasan hutan oleh kelompok
masyarakat.
Sedangkan perusahaan yang melakukan proses
replanting pada tahap land clearing (pembersihan
lahan) hanya memerlukan Rp 200.000,-per hektar
dengan cara membakar dan Rp 5.000.000,- sampai
dengan Rp 15.000.000,- jika menggunakan alat
berat. Untuk perusahaan yang memiliki lahan diatas
2.000 sampai dengan 10.000 hektar, tentu selisih ini
menjadi pertimbangan efesiensi yang cukup
signifikan perbedaannya. Untuk lahan 1.000 hektar,
dengan melakukan cara pembakaran hanya
memerlukan biaya Rp 200.000.000,- sedangkan
menggunakan alat berat memerlukan biaya Rp
5.000.000.000,- dengan range paling bawah.
Memang tidak setiap tahun perusahaan melakukan
replanting, namun akan ada rata-rata perusahaan

yang melakukan replanting sekitar 400.000-an hektar
untuk luasan lahan sawit yang terdata di tahun 2014
seluas 10.956.231 hektar di Indonesia dengan masa
siklus tanam 25 tahun.
Proses pembukaan lahan kebun ini sering menjadi
masalah, baik yang dimulai dari perkebunan
masyarakat dengan luasan maksimal 2 hektar
sampai dengan pembukaan lahan kebun oleh
perusahaan. Beberapa kepala daerah menjadi
terdakwa dengan sangkutan masalah hukum terkait
izin hak pengelolaan hutan (HPH) dan izin
perkebunan. [8] Mulai dari Bupati Pelalawan – Propinsi
Riau, Tengku Asmun Ja’afar, Tindak Pidana Korupsi
penyalahgunaan perijinan dalam penerbitan IUP
HHK-HT/IPK tahun 2001 sd 2006 di wilayah Kabupaten
Pelalawan kepada sejumlah perusahaan tidak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kemudian
diikuti dengan Mantan Bupati Siak – Propinsi Riau,
Arwin AS, terkait penerbitan ijin usaha pemanfaatan
hasil hutan kayu pada hutan tanaman tahun 2001
sampai dengan 2003 di wilayah kabupaten Siak
kepada sejumlah perusahaan yang tidak sesuai
dengan
ketentuan
yang
berlaku
dan
mengakibatkan kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara dan atau menerima hadiah
berkaitan dengan kekayaan atau kewenangan
yang berhubungan dengan jabatannya. Sampai
dengan Gubernur Riau berturut-turut, yaitu Rusli
Zainal dan Gubernur Riau terpilih setelahnya Annas
Ma’amun dengan masalah terkait izin alih fungsi
hutan juga.
Permasalahan ini sebenarnya bagian dari transisi
illegal loging yang sempat terbiarkan pada masa
otoriter pemerintahan Presiden Soeharto, transisi dari
pengolahan hutan hanya sebatas pemanfaatan
kayu
saja
sampai
mengalami
transformasi
pengalihan fungsi hutan sebagai lahan perkebunan
pasca otoritarian Presiden Soeharto. Jika ditarik dari
aspek perizinan, maka dapat disimpulkan proses
keluarnya perizinan tidak lepas dari aktor kepala
daerah, baik Kepala Daerah pada tingkat

7

CNN Indonesia (BNPB Bongkar Motif dan Modus
Kebakaran Hutan dan Lahan,
http://www.cnnindonesia.com/nasional/2015072918270020-68935/bnpb-bongkar-motif-dan-modus-kebakaranhutan-dan-lahan/)

8

Detik Online (Selama 11 Tahun, Ada 56 Kepala Daerah
yang Terjerat Kasus Korupsi di KPK,
http://news.detik.com/berita/2984630/selama-11-tahunada-56-kepala-daerah-yang-terjerat-kasus-korupsi-di-kpkl)

Asap sebagai ATHG terhadap Ketahanan Regional dan Ketahanan Nasional | Halam 7 dari 12

KAJIAN STRATEJIK KETAHANAN NASIONAL | Teori Ketahanan Nasional
Kabupaten/Kota maupun tingkat Kepala Daerah
Propinsi. Salah satu faktor penentu adalah kepala
daerah yang dapat dijadikan salah satu kriteria
sebagai aktor pendukung terjadinya kebakaran
lahan dan hutan, baik sebagai fungsi pemegang izin
prinsip
maupun
pengawasan
dalam
kewenangannya untuk mencabut izin tersebut.
Selain itu, suatu daerah atau kawasan dapat
dikatakan dalam status darurat bencana, ada pada
kewenangan Pemerintah Daerah Propinsi, sehingga
konflik sosial yang terjadi di kawasan terdampak
asap atas situasi yang terjadi saat ini, sehingga
Pemerintah Pusat tidak dapat menggunakan seluruh
resource-nya untuk melakukan penanggulangan
secara all-out, kecuali permasalahan tersebut
menjadi bencana nasional, sehingga anggaran
untuk penanggulangan bencan yang bersifat oncall tersebut dapat digunakan, jika tidak maka
pemerintah pusat melalui kementerian atau
lembaga terkait berada pada posisi yang salah
dalam aturan penggunaan anggaran. Posisi dilema
ini membuat posisi serba tanggung, baik di tingkat
pusat maupun daerah, dalam hal ini Pemerintahan
Tingkat
Kabupaten/Kota,
karena
dapat
dipersalahkan dalam penggunaan anggaran
penanganan bencana tersebut.

dan hujan yang tidak kunjung datang, menjadi
faktor penunjang terjadinya dampak asap atas
adanya titik api. Sedangkan faktor titik api, memiliki
akar masalah adanya pembakaran lahan atau
kawasan hutan yang dilakukan oleh korporasi
ataupun bukan korporasi dengan motif efesiensi
menjadi faktor utama munculnya asap. Selain itu,
pembakaran kawasan hutan sebagai modus untuk
mendapatkan legitimasi pengelolaan kawasan
hutan melalui proses alih fungsi, yang dominan
tujuan akhirnya adalah sebagai lahan perekebunan,
menambah keberadaan dari titik api tersebut. Hal ini
juga didukung oleh jenis tanah pada kawasan
tersebut berupa gambut, ketika kondisi kering
memang sulit untuk dipadamkan dan jika sudah
terbakar maka bukan hanya lapisan atas saja yang
terbakar, tetapi lapisan pembentuk tanah juga
cenderung menyimpan panas dan siap untuk
terbakar juga. Tentu faktor pengawasan yang lemah
menjadi maraknya praktek pembakaran ini,
mengingat lokasi kawasan lahan dan hutan berada
jauh dari keramaian penduduk atau aktivitas para
penegak hukum.

E. ANALISA AKAR MASALAH
Masalah-masalah
yang
ditimbulkan
sebagai
dampak dari kepekatan asap tersebut disebabkan
oleh adanya titik api. Jika menggunakan
pendekatan metode Kepner-Tragoe, maka dapat
dibuatkan suatu model analisa akar masalah
tersebut, yaitu seperti pada gambar dibawah ini.
Ada beberapa hal yang menjadi faktor utama dari
masalah dampak kabut asap tersebut, yaitu adanya
titik api, adanya musim kemarau dan arah angin
yang tidak bisa diatur kemana arah pergerakannya.
Untuk musim kemarau, dengan tidak kunjung
turunnya hujan, maka dampak permasalahan
semakin parah, namun jika hujan turun maka
dampak akan hilang seketika. Permasalahan yang
sedang terjadi pada arah berjalannya musim
kemarau yang ditandai dengan kekeringan panjang

Gambar 7. Model Fish-Bone atas Akar Masalah Dampak Asap

F. PEMETAAN MASALAH
Dari pemodelan yang telah dibuat dengan fishbone atas akar masalah dari dampak asap, secara
pemetaan permasalahan, penyelesaian atau
minimalisasi fungsi pada level faktor penyebab atau
pendukung adanya titik api tentu jauh lebih efektif

Asap sebagai ATHG terhadap Ketahanan Regional dan Ketahanan Nasional | Halam 8 dari 12

KAJIAN STRATEJIK KETAHANAN NASIONAL | Teori Ketahanan Nasional
dibanding dengan penyelesaian implikasi dampak
kabut asap. Ada beberapa faktor yang tidak bisa
dikendalikan seperti arah angin dan adanya musim
kemarau. Hal tersebut menjadi variabel terikat.
Variabel bebas dari akar masalah ini adalah
pengawasan
yang lemah, adanya praktek
pembakaran lahan atau hutan dengan motif
efesiensi dan jenis tanah gambut.
Jika musim hujan datang dan hujan turun dengan
rutin, maka masalah ini akan selesai dengan
sendirinya. Tetapi penyelesaian tersebut bersifat pasif
dan sementara.
Jika variabel bebasnya bisa dikendalikan, mulai dari
sistem pengawasan yang dibenahi dan edukasi
secara tepat guna, maka tindakan ini bisa
mengurangi volume titik api yang tentu berimplikasi
kurangnya dampak asap. Jika proses pembakaran
dengan motif efesiensi atau proses pembakaran
tidak dilakukan, maka jumlah volume titik api
berkurang dan tentu dampak asap juga berkurang.
Jenis tanah gambut memang agak unik, jika
dilakukan proses pembuatan parit (kanal) keliling,
maka daerah tengah yang diparit akan cenderung
menjadi kering atau kekurangan air, hal ini dilakukan
karena
adanya
satwa
liar
yang
merasa
ekosistemnya terganggu sering menghancurkan
perkebunan masyarakat bahkan milik korporasi.
Tetapi dampak buruknya adalah ketika musim
kemarau, kawasan tersebut cenderung kering dan
sangat sulit untuk mendapatkan sumber air. Untuk
itu, perlu dihentikan proses penggunaan kanal dan
penyediaan
kawasan
kantong-kantong
penyimpanan air sumur sehingga dapat dijadikan
sumber dalam pemadaman kebakaran pada titik
lokasi kebakaran.

G. DAMPAK TERHADAP KETAHANAN REGIONAL
Ketahanan Regional atau Ketahanan Daerah
merupakan bagian integral dari Ketahanan
Nasional. Menurut Sunardi, ketahanan nasional
sebagai kondisi, mengandung anasir-anasir dasar
ketangguhan dan keuletan bangsa yang mampu
mengembangkan keuatan nasional di dalam

menghadapi
segala
ancaman,
tantangan,
hambatan dan gangguan baik yang data dari
dalam maupun dari luar negeri, yang langsung
maupun tidak langsung membahayakan integritas,
identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta
perjuangan mengejar tujuan nasional.
Permasalahan asap ini menjadi suatu ancaman,
tantangan, hambatan dan gangguan yang berasal
dari dalam namun masih bersifat soft dan smooth.
Dampak yang diakibatkan belum pada tataran
menghancurkan kelangsungan hidup bangsa dan
negara secara langsung, sebab jika hujan turun atau
musim hujan datang, maka permasalahan tersebut
akan selesai. Namun hal ini dapat menjadi suatu
indikator
bahwa
lemahnya
keuletan
dan
ketangguhan suatu wilayah, katakanlah regional
pada level propinsi dan kabupaten dalam
menyelesaikan permasalahan ini.

Gambar 7. Visualisasi vektoris K(t) menghadapi ATHG internal

K(t) sebagai kondisi dinamis suatu bangsa terhadap
fungsi waktu yang berisi keuletan dan ketangguhan
dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang
menjadi ATHG (Ancaman, Tantangan, Hambatan
dan Gangguan), dalam menghadapi permasalahan
asap yang telah berlangsung sejak Agustus 2015
sampai dengan tulisan ini dibuat, 19 Oktober 2015
permasalahan belum juga bisa diatasi sehingga
bandara di Pekanbaru – Riau masih harus ditutup
karena kota tersebut masih diselimuti kabut asap.

Asap sebagai ATHG terhadap Ketahanan Regional dan Ketahanan Nasional | Halam 9 dari 12

KAJIAN STRATEJIK KETAHANAN NASIONAL | Teori Ketahanan Nasional
Dari rumusan K(t) = K(U,T) dengan menunjukkan hasil
yang sama, seperti gambar dibawah ini pada K(t)
dilihat sebagai fungsi convex, jika untuk t1 menuju t2
dengan jarak yang jauh, namun menunjukkan hasil
yang sama atas upaya Komponen U (keuletan) dan
T (ketangguhan) untuk menyelesaikan suatu ATHG
maka dapat dikatakan unsur U dan T sangat lemah.

tersebut dapat disempurnakan sebagai upaya atau
keuletan dan ketangguhan dalam mematikan titik
api sebagai sumber masalah tersebut dapat
disederhanakan
menjadi
kriteria
berikut
:
(1)membuat/merekayasa hujan; (2)menghentikan
pembakaran lahan motif efesiensi; (3)menghentikan
pembakaran hutan alih fungsi; dan (4)memperkuat
pengawasan.

Gambar 9. Hirarki Pemadaman Titik Api

Gambar 8. K(t) sebagai fungsi convex

Kondisi tersebut sudah sampai pada tidak
berfungsinya salah satu objek vital disuatu kawasan,
yaitu bandara sebagai salah satu gerbang masuk
dan keluarnya suatu mobilitas daerah. Sementara
komponen U dan T tidak mampu menembus dimensi
ATHG permasalahan, entah karena lapis ATHG-nya
terlalu kuat untuk ditembus komponen U dan T suatu
daerah tersebut, maka soft power dari ATHG
tersebut membuktikan bahwa ketahanan daerah
tersebut lemah.
Dari analisa masalah dengan model fish-bone pada
gambar 7, didapat sumber masalah pada titik api,
musim kemarau, dan arah angin atas dampak asap
yang menjadi ancaman, tantangan, hambatan dan
gangguan pada kawasan terdampak. Kriteria yang
bisa diambil untuk diukur adalah kriteria sebagai
berikut : (1)hujan tidak datang; (2)arah angin tidak
bisa dikendalikan; (3)pengawasan lemah; (4)bakar
lahan motif efesiensi; (5)bakar hutan alih fungsi; dan
(6)jenis tanah gambut. Ada beberapa kriteria yang
lemah karena menyangkut kondisi alam yang
sifatnya mutlak seperti arah angin yang tidak bisa
dikendalikan dan jenis tanah gambut. Jadi kriteria

Untuk mengkur bobot dari masing-masing kriteria
dengan metode Analisa Hirarki Proses (AHP), maka
perlu ditetapkan tingkat kepentingan (derajat
penting) dari kriteria Penguatan Pengawasan (K1),
Hentikan Bakar Lahan motif Efesiensi (K2), Hentikan
Bakar Hutan Alih Fungsi (K3) dan Menurunkan Hujan
Buatan (K4) terhadap upaya memadamkan titik api.
Penetapan bobot untuk kriteria berpasangan ini
seharusnya didapat dari para pakar dibidang ini
yang memiliki pengalaman teruji secara akademis
dan praktis (saran penulis) untuk mendapatkan
bobot yang baik dan tepat. Analisa penulis (opini),
derajat penting K1 adalah 3 kali K2 dan 3 kali K3 dan
5 kali K4. Derajat penting K2 adalah 2 kali K3 dan 3
kali K4. Derajat penting K3 adalah 2 kali K4.

K1

K2

K3

K4

K1

1

3

3

5

K2

1/3

1

2

3

K3

1/3

1/2

1

2

K4

1/5

1/3

1/2

1

Tabel 4. Matriks Kriteria Pemadaman Titik Api

Berdasarkan perhitungan dengan metode AHP,
maka didapat eigen vektor untuk K1=0,518;

Asap sebagai ATHG terhadap Ketahanan Regional dan Ketahanan Nasional | Halam 10 dari 12

KAJIAN STRATEJIK KETAHANAN NASIONAL | Teori Ketahanan Nasional
K2=0,241; K3=0,154; dan K4=0,086 dengan λmaks
sebesar 4,084 dan indeks konsistensi sebesar 0,031
dengan arti karena tingkat konsistensi ini lebih kecil
daripada 0,1, maka eigen vektor tersebut dapat
dipergunakan.
Jika dapat disimpulkan bahwa kriteria penguatan
pengawasan (K1) adalah komponen keuletan, dan
kriteria hentikan bakar lahan motif efesiensi (K2),
hentikan bakar hutan alih fungsi (K3) dan
menurunkan hujan buatan (K4) adalah komponen
ketangguhan, maka derajat ketahanan daerah
tersebut untuk memadamkan titik api dapat diukur.
Bila diasumsikan rentang waktu untuk memadamkan
api adalah 30 hari (satuan bulan), jika pada tanggal
1 September 2015 sebagai K(t=1) ada 100 titik api
dan pada tanggal 1 Oktober 2015 masih saja ada
100 titik api, maka derajat ketahanan wilayahnya
adalah rendah. Jika dari tanggal 1 September 2015
dilakukan upaya maksimal sampai 90% sebagai
tingkat keuletan (penguatan pengawasan), maka
akan ada 47 titik api yang padam (90% x 0,518 x 100
titik api). Jika pelarangan pembakaran lahan
dengan motif efesiensi dilakukan dengan usaha
maksimum sampai 90%, maka akan ada 22 titik api
yang akan padam (90% x 0,241 x 100 titik api). Jika
pelarangan pembakaran hutan alih fungsi dilakukan
dengan usaha maksimum 90% maka akan ada 14
titik api yang akan padam (90% x 0,154 x 100 titik
api). Jika usaha penurunan hujan buatan dilakukan
semaksimal mungkin, asumsi 90% maka akan ada 8
titik api yang akan padam.

H. DAMPAK TERHADAP KETAHANAN NASIONAL
Negara dengan kekuatan nasionalnya diuji dengan
keberadaan dampak asap ini. Bagaimana keuletan
dan ketangguhan negara dalam menghadapi dan
menyelesaikan ATHG dari dampak kabut asap ini.
Sejak Agustus 2015 s.d Oktober 2015, berbagai
upaya untuk menyelesaikan permasalahan sudah
dilakukan sebagai bentuk ketangguhan dan
keuletan bangsa, namun permasalah belum dapat
diselesaikan secara tuntas.

I. KESIMPULAN DAN SARAN
Alur sikap yang perlu dilakukan adalah kehati-hatian
terhadap potensi munculnya titik api setiap
tahunnya pada musim kebakaran atas niat
masyarakat atau korporasi untuk melakukan
pembakaran lahan sebagai bagian dari proses
replanting pada tahap land clearing. Alur tindak
supremasi hukum atas aksi pembakaran tersebut
harus bersifat tegas dan adil tanpa melihat unsur
kekawatiran investasi, hal ini didukung dari adanya
sikap global governance sebagai sikap dalam tata
kelola dunia untuk antisipasi perubahan iklim dunia
(climate change). Negara manapun yang menjadi
sumber atau berperan dalam tindakan pengrusakan
lingkungan akan menjadi sorotan PBB yang
berpotensi mendapatkan pengucilan dari pergaulan
dunia, tentu saja berdampak negatif bagi
pencapaian tujuan pembangunan nasional Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu, sebagai saran dan rekomendasi,
pengaturan tata kelola izin alih fungsi kawasan hutan
dan izin lahan kebun, perlu dibuatkan suatu grand
design yang melibatkan pihak Kementerian
Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Badan Pertanahan Nasional
sehingga faktor penentu dari izin tersebut dapat
dikendalikan
guna
menunjang
kepentingan
nasional, bukan kepentingan korporasi yang
notabanenya bisa dimasuki oleh pihak asing.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Sunardi, R.M. Teori Ketahanan Nasional. (Jakarta:
HASTANNAS, 1997)
[2] BBC Indonesia. www.bbc.com
[3] Detik. www.detik.com
[4] Kompas Online. www.kompas.com
[5] Tempo Online. www.tempo.co
[6] Kemhut Online. www.dephut.go.id

Asap sebagai ATHG terhadap Ketahanan Regional dan Ketahanan Nasional | Halam 11 dari 12

KAJIAN STRATEJIK KETAHANAN NASIONAL | Teori Ketahanan Nasional
[7] CNN Indonesia. www.cnnindonesia.com
[8] Ditjenbun. www.ditjenbun.pertanian.go.id
[9] WRI-Indonesia. www.wri-indonesia.org

Asap sebagai ATHG terhadap Ketahanan Regional dan Ketahanan Nasional | Halam 12 dari 12