STUDI KELAYAKAN PROGRAM KONSERVASI TERUM

STUDI KELAYAKAN PROGRAM KONSERVASI TERUMBU KARANG
DI DESA GILI INDAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT:
PERBANDINGAN ANTARA REZIM PEMERINTAH DENGAN REZIM
MASYARAKAT
Lalu Solihin1, Lucky Adrianto2, Arif Satria3
Email: solihino_sagita@yahoo.co.id

Abstrak
Maraknya penangkapan ikan dengan menggunakan potassium maupun bahan
peledak di sekitar perairan Gili Indah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
beberapa tahun lalu menyebabkan rusaknya terumbu karang beserta ekosistemnya.
Hal inilah yang menjadi alasan kuat untuk melakukan program konservasi
terumbu karang di daerah ini. Namun konsekuensi dari program tersebut adalah
munculnya biaya-biaya untuk melaksanakan program. Umumnya, komponen
biaya yang muncul dari kegiatan tersebut adalah biaya investasi, biaya
operasional, biaya transaksi, dan biaya sosial. Sedangkan dari aspek manfaat
setidaknya ada tiga manfaat yang diperoleh yaitu manfaat langsung ekstraktif,
manfaat ekstraktif tidak langsung, dan manfaat. Program konservasi yang
dilakukan oleh pemerintah (dahulu melalui Balai Konservasi Sumberdaya Alam
(BKSDA) Provinsi NTB) dan konservasi yang dilakukan oleh masyarakat
setempat melalui Satgas Gili Indah. Masing-masing dari mereka mengeluarkan

biaya untuk program ini setiap tahun, dan manfaatnya dirasakan oleh masyarakat
umum. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kelayakan program
konseravasi yang dilakukan oleh kedua rezim kedua tersebut. Dengan
menggunakan metode valuasi ekonomi diketahui bahwa Net Present Value (NPV)
dari program ini adalah Rp. 110.426.243.664,95 pertahun.
Kata Kunci: studi kelayakan, konservasi terumbu karang, Rezim Pemerintah,
Rezim Masyarakat.
Abstract: Feasibility Study Of Coral Reef Conservation Program In Gili Indah
Villages Of West Nusa Tenggara Province: Comparative Study
Between Government Regime And Community Regime
The rise of fishing using explosives and potassium in waters around Gili Indah,
West Nusa Tenggara (NTB) a few years ago led to the destruction of coral reefs
and their ecosystems. This is become a great reason to have conservation
program in this area. The consequence of the program is cost which rise when we
want to get more benefit. Generally, component of cost which rise are investment
cost, operational cost, transaction cost, and social cost. Whereas from benefit
aspect at least we get three benefits, they are direct extractive benefit, indirect
extractive benefit, and choice benefit. Stake holders’ linkages of this program are
1


Staf Pengajar Politeknik LP3I Jakarta
Staf Pengajar FPIK IPB Bogor
3
Staf Pengajar FEMA IPB Bogor
2

1

government by BKSDA and participatory of local community by Satgas Gili
Indah. Each of them has regularly cost for the program every year. The aims of
this research are to analysis feasibility of the program for the both regime. With
using the valuation method found that Net Present Value (NPV) of the program is
Rp. 110.426.243.664,95 /year.
Key woods: feasibility study, coral reef conservation, Government Regime,
Community Regime
1. Pendahuluan
Indonesia memiliki areal
terumbu karang sekitar 75.000 km2
atau sekitar 12,5 persen dari luas
terumbu karang di dunia. Secara

umum kondisi terumbu karang di
Indonesia saat ini berada pada
kondisi rusak cukup parah, terutama
akibat
kegiatan
manusia
(anthropogenic).
Menurut
Suparmoko (2000), hingga tahun
1997 hanya sekitar 40 persen
terumbu karang di Indonesia dalam
kondisi baik.Dari total luas kawasan
terumbu karang di Indonesia
tersebut, 448,763 hektar diantaranya
terdapat di kawasan konservasi
Taman Wisata Alam Laut (TWAL)
Desa Gili Indah Kabupaten Lombok
Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Jika dirinci, sekitar 192,9621 ha
terdapat

di
Gili
Trawangan,
118,9508 di Gili Meno dan 136,8505
ha di Gili Air. Kondisinya hanya
sekitar 16 persen dari total luas
kawasan terumbu karang yang
berada dalam kondisi baik, (BKSDA
NTB, 2004).
Konservasi merupakan suatu
program untuk mencegah terjadinya
kerusakan sumberdaya alam melalui
eksploitasi yang berlebihan. Sebab
tidak semua sumberdaya alam ini
bisa pulih dalam jangka waktu yang
singkat.
Dengan
demikian,
kesejahteraan generasi mendatang
akan sangat ditentukan oleh generasi

saat ini. Jika sumberdaya alam yang

ada saat ini tidak dikelola dengan
efisien dan berkelanjutan, maka yang
akan terjadi tidak hanya krisis
sumberdaya alam, tetapi bencana
alam
yang
bisa
menambah
kesengsaraan masyarakat. Tujuan
dari penulisan ini adalah untuk
mengetahui
apakah
program
konservasi terumbu karang yang
dilakukan selama ini layak atau tidak
secara ekonomi dari perspektif
ekonomi sumberdaya alam.
Paper ini terdiri dari lima

bagia antara lain: bagian 2 tentang
metode penelitian, bagian 3) tentang
landasan teori, bagian 4 tentang
analisa kelayakan, dan bagian 5
adalah kesimpulan.
2. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode
survey dan observasi. Dalam
penelitian
survey,
informasi
dikumpulkan dari responden dengan
menggunakan
kuesioner
dan
wawancara.
Teknik Valuasi
A. Effect On Production (EOP)
Nilai Manfaat Langsung

diperoleh dengan menggunakan
pendekatan harga yang diterima
nelayan dengan asumsi data tidak
cukup untuk menduga kurva
permintaan pemanfaatan langsung.
Secara matematis, manfaat langsung
tersebut dihitung dengan rumus:

n

TML=∑ PixQi
i=1

………………

(1)
TML = Total Manfaat Langsung
Pi = Harga ikan yang berlaku di
pasar (Rp /kg)
Qi = Jumlah ikan yang

diekstraksi selama satu
tahun (kg)
B. Travel Cost Method (TCM)
Manfaat
langsung
tidak
ekstraktif didekati dengan Travel
Cost Method (TCM), yaitu metode
yang
mengkaji
biaya
yang
dikeluarkan tiap individu untuk
mendatangi tempat rekreasi Desa
Gili Indah. Prinsip yang mendasari
metode ini adalah bahwa biaya yang
dikeluarkan untuk berwisata ke suatu
area dianggap sebagai “harga” akses
area tersebut.
Sedangkan untuk mengetahui

surplus konsumen dari wisatawan
yang datang ke kawasan konservasi
terumbu karang di Desa Gili Indah
dilakukan dengan pendekatan fungsi
permintaan atas kunjungan sebagai
berikut, (Adrianto, 2006):
ln V i =β0 +β 1 ln TCi +β 2 ln J i + β3 ln A
..
(2)
Ket:
Vi
= Frekuensi kunjungan
TC
= Total biaya perjalanan
J
= Pekerjaan wisatawan
A
= Umur wisatawan
C. Contingan Valuation Method
(CVM)

CVM
digunakan
untuk
menghitung nilai ameniti atau
estetika lingkungan dari suatu
barang publik (public good).
Estimasi WTP dapat juga dilakukan
dengan menduga hubungan antara
WTP
dengan
karakteristik
responden yang mencerminkan

tingkat penghargaan user terhadap
sumberdaya yang selama ini
dimanfaatkannya dapat dihitung
sbb :
n

WTPi =β 0 + ∑ β 1 X 1 + β 2 X 2 +β 3 X 3

i =1

..

(3)
Dimana :
WTP
= Kemampuan responden
membayar untuk tidak
mengekstraksi ikan di
kawasan konservasi
X1
= Pendidikan responden
X2
= Jumlah
tanggungan
responden
X3
= Umur responden
Valuasi Biaya Konservasi
Untuk mengetahui nilai total
biaya dari kegiatan konservasi
sumberdaya
terumbu
karang
dilakukan
dengan
penjumlahan
biaya-biaya
untuk
konservasi
terumbu karang, termasuk biaya
sosial dan biaya transaksi dari
kegiatan konservasi terumbu karang.
n

TC= ∑ C i. j
i= j=1

…...................

(4)
Ket:
TC = Total cost program konservasi
terumbu karang
C1.1 = Biaya investasi program
konservasi terumbu karang
C1.2 = Biaya operasional program
konservasi terumbu karang
C1.3 = Tiaya transaksi porgram
konservasi terumbu karang
C1.4 =
Biaya
sosial
program
konservasi terumbu karang
Analisis ECBA
Bila NPV yang diperoleh
positif, maka dikatakan program
konservasi tersebut layak dieruskan.
Dalam
penentuan
kelayakan

kegiatan, digunakan analisis biaya
dan
manfaat
yang
telah
dikembangkann
(extended
net
present value) seperti dinyatakan di
bawah ini, (Suparmoko, 1989):
NPV =( Bd +Btd +B e )−(Ci +Ct +C op +Ctl ) (

5)
Dimana:
NPV : Nilai manfaat bersih (net
present value)
Bd
: Manfaat langsung ekstraktif
Btd
: Manfaat langsung tidak
ekstraktif
Be
: Manfaat pilihan
Ci
: Biaya investasi
Cop
: Biaya operasional
Ct
: Biaya transaksi
Cs
: Biaya sosial
3. Landasan Teori
Mengacu pada ekonomi
sumberdaya alam, bahwa total nilai
ekonomi sumberdaya alam dapat
dibedakan menjadi dua yaitu use
value (instrumental) dan no n-use
value (intrinsik atau nilai pasiv).
Lebih jauh lagi, uses value dibagi
lagi menjadi tiga yaitu manfaat
langsung, manfaat tidak langsung,
dan manfaat pilihan. Manfaat
langsung sendiri dibagi menjadi dua
yaitu nilai langsung yang bersifat
ekstraktif dan nilai langsung yang
bersifat tidak ekstraktif (disebut juga
manfaat tidak langsung). Manfaat
langsung yang bersifat ekstraktif
maupun tidak ekstraktif diketahui
melalui output yang dihasilkan.
Sedangkan yang manfaat lainnya
tidak
menghasilkan
output,
melainkan benefit yang menjadi nilai
manfaat dari sumberdaya terumbu
karang (Kusumastanto, 2000). Dalam
penelitian
ini,
manfaat
yang
diperoleh adalah total manfaat
konservasi,
tanpa
membedakan
lembaga pengelola konservasi.

3.1.
Manfaat Kegunaan
Manfaat
Kegunaan
Langsung
Ekstraktif
Manfaat
langsung
dari
sumberdaya terumbu karang ini
diperoleh melalui produksi ikan oleh
nelayan yang menangkap ikan di
sekitar kawasan konservasi. Adapun
kelompok nelayan yang melakukan
penangkapan ikan di kawasan
konservasi dibagi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok nelayan
yang menangkap ikan dasar, dan
kelompok nelayan yang menangkap
ikan permukaan. Kelompok nelayan
yang umum menangkap ikan dasar
dikelompokkan berdasarkan alat
tangkap yang mereka gunakan,
seperti kelompok nelayan jaring
mogong (gill net), kelompok nelayan
jaring muroami (incl. Mallalugis).
Sedangkan kelompok nelayan yang
menangkap ikan permukaan antara
lain kelompok nelayan jaring seret
(purse siene mini) dan kelompok
nelayan jaring layang.
Jenis ikan permukaan yang
terdapat di kawasan konservasi yang
umum ditangkap oleh nelayan antara
lain ikan pasok (Hemirhamphus spp),
ikan horas atau ikan balang-balang
(Tylosurus spp), ikan layang
(Decapterus spp). Sedangkan jenis
ikan dasar yang umum ditangkap
adalah ikan keluyu (Istiophoridae),
ikan tongkol (Euthynnus spp), ikan
kuning ekor (Caesio spp), ikan sulir
(Elagatis bipinnulatus), ikan languan
(Thunnus spp). Jumlah anggota
kelompok jaring jenis muroami
berkisar antara 35 sampai 40 orang
setiap kali melaut. Semua anggota
kelompok berasal dari anggota
masyarakat disekitarnya. Ada yang
berstatus sebagai buruh, ada juga
yang berstatus sebagai bagian dari
pemilik. Sebagian besar hasil

tangkapannya dipasarkan di sekitar
Desa Gili Indah. Untuk lebih rinci,
dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
Tabel 1 Jenis Ikan dan Alat Tangkap Nelayan Desa Gili Indah
Table 1 Types of Fish and Fishermen Gear Device in Gili Indah Village
Klasifikasi
Jenis ikan
Jenis Alat Tangkap
Ikan
Ikan
pasok Jaring seret (atau perse seine mini
(Hemirhamphus spp)
dan jaring layang.
Ikan
Ikan
balang-balang Jaring seret atau perse seine mini
Permukaan
(Tylosurus spp)
dan jaring layang.
Ikan layang (Decapterus Jaring seret atau perse seine mini
spp)
dan jaring layang.
Ikan tongkol (Euthynnus Jaring mogong (gill net) dan
spp)
jaring muroami (incl. Mallalugis)
Ikan kuning ekor (Caesio Jaring mogong (gill net) dan
spp)
jaring muroami (incl. Mallalugis)
Ikan Dasar
Ikan
sulir
(Elagatis Jaring mogong (gill net) dan
bipinnulatus)
jaring muroami (incl. Mallalugis)
Ikan languan (Thunnus Jaring mogong (gill net) dan
spp)
jaring muroami (incl. Mallalugis)
Kelompok nelayan muroami
ini merupakan kelompok nelayan
paling besar di Gili Indah dan hanya
bisa dijumpai di Gili Air, Desa Gili
Indah. Kemudian disusul dengan
kelompok
nelayan
yang
menggunakan jaring mogong yang
anggota kelompoknya berkisar antara
10 sampai 15 orang. Di Desa Gili
Indah terdapat 4 kelompok nelayan
yang menggunakan jaring mogong.
Selain itu, ada juga kelompok
nelayan jaring perse seine dimana
masing-masing kelompok rata-rata
terdiri dari 10 orang.
Wilayah
penangkapannya
tidak hanya di sekitar kawasan
konservasi Gili Indah, tetapi juga
sampai di luar kawasan konservasi.
Kelompok nelayan jaring murami ini
paling banyak mendapat protes dari
masyarakat dan kelompok nelayan
non jaring murami khususnya di
sekitar perairan Lombok Barat. Hal
ini disebabkan karena aktivitas yang
mereka lakukan dapat merusak

ekosistem terumbu karang, dan
karena adanya ketimpangan hasil
tangkapan dan volume alat antara
nelayan muroami dengan nelayan
non muroami.
Nilai manfaat langsung yang
bersifat ekstraktif yang lebih kecil
dari manfaat langsung yang bersifat
tidak ekstraktif. Hal ini diakibatkan
oleh karena terjadinya konversi
manfaat langsung ekstraktif menjadi
langsung tidak ekstraktif, atau
perubahan fungsi dari sebagian
kawasan penangkapan ikan menjadi
kawasan wisata bahari (Diving and
snorkling). Akibat dari adanya
manfaat langsung yang bersifat tidak
ekstraktif ini menyebabkan akses
nelayan untuk menangkap ikan
menjadi terbatas. Terutama di
kawasan-kawasan
diving
yang
notabene sebagai kawasan wisata
bawah
laut
bagi
wisatawan.
Seandainya tidak terjadi perubahan
fungsi dari kawasan ini, maka tingkat
kesejahteraan nelayan akan menjadi

lebih baik, dengan catatan bahwa
konservasi tetap dilakukan.
Hal ini berarti ada pengaruh
yang signifikan dari perubahan
fungsi kawasan yaitu perubahan nilai
manfaat langsung yang bersifat

ekstraktif menjadi nilai manfaat
langsung yang bersifat tidak
ekstraktif. Ilustrasi hubungan antara
nilai manfaat ekstraktif dengan nilai
manfaat tidak ekstraktif dapat dilihat
pada gambar 1 berikut:

Non - Ekstraktif

NE1
NE2

E1 E2

Ekstraktif

Gambar 1 Kurva Hubungan Antara Nilai Manfaat Langsung Esktraktif Dengan
Nilai Manfaat Langsung Tidak Ekstraktif
Figure 1 Curve Relationship Between Extractive Direct Benefits With Not
Extractive Direct Benefit
Dari gambar 1 di atas terlihat
bahwa terdapat hubungan negatif
antara nilai manfaat langsung
ekstraktif dengan nilai manfaat tidak
ekstraktif. Artinya jika nilai manfaat
ekstraktif naik, maka nilai manfaat
langsung tidak ekstraktif akan turun.
Begitu juga sebaliknya. Ketika nilai
manfaat ekstraktif berada pada titik
E1, maka nilai manfaat langsung
tidak ekstraktif berada pada titik
NE2, dan ketika nilai manfaat
langsung ekstraktif turun menjadi
E1, maka nilai manfaat langsung
tidak ekstraktif naik menjadi NE2.
Kondisi ini berdampak pada
tingkat kesejahteraan masyarakat
yang kehidupannya tergantung pada
sumberdaya disekitarnya. Terutama
nelayan
yang
mengandalkan

pendapatannya dari hasil tangkapan
ikan. Di satu sisi, kelompok
masyarakat
yang
sumber
pendapatannya bergantung pada
sektor
pariwisata
menjadi
diuntungkan atas kondisi seperti ini.
Tapi di sisi lain, kelompok nelayan
yang
notabene
mengandalkan
pendapatannya dari hasil tangkapan
ikan menjadi dirugikan. Dalam teori
ekonomi mikro, inilah yang disebut
dengan kondisi
pareto optimal,
artinya, jika ada sekelompok orang
yang naik kesejahteraannya, maka
kelompok
orang
lain
harus
dikorbankan untuk menurunkan
kesejahteraannya.
Model
kurva
pareto optimal dapat dilihat pada
gambar 2 berikut:

Gambar 2 Kurva Pareto Optimal Antara Nilai Manfaat Langsung Ekstraktif den
Figure 2 Pareto Optimal Curve Between Direct Benefts Extractive w

Pareto optimal yang dimaksud disini
adalah naiknya nilai manfaat
langsung
tidak
ekstraktif
menyebabkan turunnya nilai manfaat
langsung ekstraktif. Atau siapapun
yang bergerak dari gambar di atas
tetap disebut sebagai pareto optimal.
Artinya kesejahteraan masyarakat
pariwisata tidak akan bisa meningkat
apabila kesejahteraan masyarakat
nelayan tidak diturunkan. Kepuasan
masyarakat
nelayan
berkurang
karena jumlah ikan yang ditangkap
semakin kecil, sehingga kepuasan
atas hasil tangkapannya menjadi
berkurang.
Manfaat Kegunaan Langsung Tidak
Ekstraktif
Meningkatnya
jumlah
wisatawan yang berkunjung ke
kawasan konservasi ini berarti nilai
dari sumberdaya terumbu karang
yang ada di kawasan ini konservasi
ini menjadi lebih tinggi. Masyarakat
mau mengeluarkan sejumlah biaya
dari rumah mereka hingga sampai di
kawasan
ini
hanya
untuk
memperoleh kepuasan tertentu. Hal
ini dapat dilihat dari wisatawan yang
datang dari berbagai daerah dan dari
berbagai negara.

Metode yang digunakan
untuk
menduga
nilai
sebuah
komoditas yang tidak memiliki nilai
pasar (non-market goods) adalah
dengan menggungkan metode biaya
perjalanan
(Travel
Cost
Method;TCM). Metode ini berangkat
pada asumsi dasar bahwa setiap
individu baik aktual maupun
potensial, bersedia mengunjungi
sebuah daerah untuk mendapatkan
manfaat tertentu tanpa harus
membayar nilai masuk (no entrey
fee). Manfaat langsung yang bersifat
tidak ekstraktif dari sumberdaya
terumbu karang diperoleh melalui
besaran pengeluaran para wisatawan
yang
mendatangi
kawasan
konservasi.
Adapun biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh wisatawan antara
lain biaya transportasi dari daerah
asal menuju lokasi, biaya konsumsi
selama perjalanan menuju lokasi
hingga meninggalkan lokasi, biaya
konsumsi dan akomodasi selama
berada di kawasan wisata, biaya
belanja cinderamata yang dijual di
kawasan wisata. Wisatawan yang
menjadi responden dalam penelitian
ini adalah wisatawan asing dan
wisatawan nusantara yang khusus
datang ke lokasi wisata hanya untuk

menikmati keindahan alam bawah
laut Desa Gili Indah.
Adapun kegiatan wisata yang
dilakukan oleh para wisatawan di
kawasan ini antara lain seperti
menyelam
(SCUBA
diving),
snorkeling, bottom boat. Semua
kegiatan ini dilakukan karena daya
tarik dari terumbu karang yang ada
di kawasan ini. Dari kegiatankegiatan ini menimbulkan biayabiaya
yang dikeluarkan
oleh
wisatawan yang menjadi benefit dari
terumbu karang setelah dihitung
melalui prosedur perhitungan valuasi
manfaat tidak langsung.
3.2.

Manfaat Pilihan
Manfaat pilihan merupakan
manfaat dari sumberdaya terumbu
karang
yang
dinilai
melalui
kesediaan masyarakat untuk tidak
memanfaatkan sumberdaya terumbu
karang tersebut pada saat sekarang,
tetapi akan dimanfaatkan pada masa
yang akan datang dengan harapan
sumberdaya tersebut akan kembali
pasar kualitas yang lebih baik.
Metode yang digunakan dalam
penelitian
ini
adalah
CVM
(Contingan Valuation Method).
Metode ini dilakukan dengan
basis mengukur WTP responden
konservasi
dan
pelestarian
lingkungan. Metode ini dilakukan
dengan
menawarkan
pilihan
kesediaan membayar responden,
sehingga mereka dapat memilih nilai
maksimum yang sesuai untuk
preferensinya. Nilai yang menjadi
patokan (benchmark) untuk metode
ini berdasarkan pada penelitian yang
dilakukan di lokasi obyek wisata lain
dengan keadaan yang sama seperti di
Gili
Trawangan
dan
juga
berdasarkan survey di kawasan Gili
Trawangan
FAO
(2000)
menunjukkan bahwa tujuan dari

CVM adalah untuk mengukur variasi
nilai kompensasi dan nilai persamaan
suatu barang yang dinyatakan.
Variasi nilai kompensasi dan nilai
persamaan dapat ditentukan dengan
bertanya kepada seseorang untuk
memberikan
sejumlah
satuan
moneter yang ingin dibayarkan
Nilai antara WTP dengan
WTA (willingness to accept)
seharusnya tidak ada perbedaan yang
signifikan, karena antara WTP
dengan WTA merupakan cerminan
dari kesediaan masyarakat untuk
tidak memanfaatkan sumberdaya
tersebut pada saat sekarang. Nilai
WTP umumnya lebih kecil dari pada
WTA karena pada WTP, masyarakat
yang harus membayar. Siapapun jika
diminta untuk mengeluarkan uang
untuk
kepentingan
bersama,
cenderung nilai uang yang dia mau
keluarkan kecil. Akan teapi jika
mereka ditawarkan untuk diberikan
uang,
cenderung
mereka
menginginkan nilai yang lebih besar.
3.3.

Biaya Konservasi
Secara
umum,
biaya
konservasi terumbu karang di
kawasan Gili Indah dilakukan
ditanggung oleh dua lembaga yaitu
lembaga adat yang disebut dengan
Satuan Tugas (Satgas) Gili Indah,
dan lembaga pemerintah yang
disebut dengan BKSDA (Balai
Konservasi Sumberdaya Alam) Nusa
Tenggara Barat. Adapun jenis-jenis
biaya yang dikeluarkan dalam
program
konservasi
dibedakan
menjadi empat kelompok yaitu biaya
investasi, biaya operasional, biaya
transaksi, dan biaya sosial.
Rezim Satgas Gili Indah
Keterbatasan
kemampuan
yang
dimiliki
oleh
lembaga
pemerintah (BKSDA NTB) dalam

menjalankan tugasnya melindungi
sumberdaya daya di kawasan
konservasi, menyebabkan kelompok
masyarakat ada yang berada di
kawasan konservasi Gili Indah ikut
ambil bagian dalam program
menjaga kelestarian sumberdaya
diwilayahnya. Di kawasan Gili Indah
sampai saat ini terdapat dua
kelompok masyarakat yang turut
mengawal
program
konservasi,
mereka adalah kelompok masyarakat
Gili Trawangan (Satgas
Gili
Trawangan),
dan
kelompok
masyarakat Gili Air (Satgas Gili
Air). Mereka adalah dua lembaga
yang memiliki dua visi yang sama,
namun memiliki struktur organisasi
yang berbeda, termasuk anggaran
operasional yang berbeda pula.
Dalam melaksanakan operasinya,
mereka berkoordinasi dan saling
mendukung program yang mereka
lakukan. Aturan dan sanksi yang
digunakan adalah aturan adat yang
ditetapkan
berdasarkan
pranata
hukum adat setempat.
4. Analisa Kelayakan
Net Present Value (NPV)
yang digunakan dalam menganalisis
program konservasi terumbu karang

di Desa Gili Indah merupakan nilai
sekarang dari total manfaat yang
akan diperoleh pada masa yang akan
datang jika manfaat tersebut dinilai
sekarang. Dengan menggunakan
NPV saja tidak cukup sebagai
kriteria untuk menentukan kelayakan
suatu program kegiatan konservasi,
sehingga
perlu
dikombinasikan
dengan kriteria yang lain yaitu cost
effectiveness
analysis
(analisa
efektivitas biaya).
Penggunaan metode analisis
biaya yang konvensional sering tidak
mampu menjawab permasalahan
pengukuran yang komprehensif
termasuk pengukuran nilai yang
tidak terlihat (intengible). Dalam
analisa biaya manfaat tidak hanya
mengukur kelayakan dari aspek
komersial saja, tetapi juga mengukur
kelayakan dari aspek kelayakan
sosial. Dalam ekonomi konvensional,
analisa
biaya manfaat
hanya
memperhitungkan input dan output
yang nilainya ada di pasar. Tapi
dalam hal ini, analisa biaya manfaat
memasukkan nilai input dan output
yang tidak ada di pasar. Intinya
adalah mengukur, memasukkan dan
membandingkan semua biaya dan
manfaat dari proyek publik.

Tabel 2 Analisa Kelayakan Program Konservasi Terumbu Karang di Desa Gili
Indah (Tanpa Biaya Sosial)
Figure 2 Feasibility Analysis of Coral Reef Conservation Program in the village
of Gili Indah (Without Social Cost)
I
Jenis Manfaat
Manfaat Konservasi (Rp/tahun)
1
Manfaat langsung ekstraktif
369.882.224,74
2
Manfaat langsung tidak ekstraktif
83.486.413.643,32
3
Manfaat Pilihan
30.486.418.077,63
Total Manfaat
114.342.713.945,69
Discount Rate (DR 9,8%)
1.00
Present Value
114.342.713.945,69
B
Jenis Biaya
Biaya Konservasi (Rp./tahun)
1
Biaya investasi
1.007.924.280,74
2
Biaya operasional
131.606.000,00
3
Biaya transaksi
48.940.000,00

Total Biaya
Discount Rate (DR 9,8%)
Present Value
Net Present Value (NPV)

1.188.470.280,74
1,00
1.188.470.280,74
113.154.243.664,95

Tabel 3 Analisa Kelayakan Program Konservasi Terumbu Karang di Desa Gili
Indah (Dengan Biaya Sosial)
Tabel 3 Feasibility Analysis of Coral Reef Conservation Program in the village of
Gili Indah (The Social Cost)
I
Jenis Manfaat
Manfaat Konservasi (Rp/tahun)
1
Manfaat langsung ekstraktif
369.882.224,74
2
Manfaat langsung tidak ekstraktif
83.486.413.643,32
3
Manfaat Pilihan
30.486.418.077,63
Total Manfaat
114.342.713.945,69
Discount Rate (DR 9,8%)
1.00
Present Value
114.342.713.945,69
B
Jenis Biaya
Biaya Konservasi (Rp./tahun)
1
Biaya investasi
1.007.924.280,74
2
Biaya operasional
131.606.000,00
3
Biaya transaksi
48.940.000,00
4
Biaya sosial
2.728.000.000,00
Total Biaya
3.916.470.280,74
Discount Rate (DR 9,8%)
1.00
Present Value
3.916.470.280,74
Net Present Value (NPV)
110.426.243.664,95
Gambar 3 di bawah ini
menyajikan perbandingan manfaat

bersih tanpa biaya sosial dan manfaat
bersih dengan biaya sosial.

Perbandingan Manfaat Bersih dengan Biaya Sosial dengan
Tanpa Biaya Sosial
114,000,000,000.00
113,000,000,000.00
112,000,000,000.00
111,000,000,000.00
110,000,000,000.00
109,000,000,000.00
NPV dengan biaya sosial

NPV tanpa biaya sosial

Gambar 3 Perbandingan Manfaat Bersih Program Konservasi dengan Biaya Sosial
dan Tanpa Biaya Sosial
Figure 3 Comparison of Net Benefits of Conservation Programs with Social Costs
and Without Social Costs

Ketergantungan masyarakat di sekitar
Desa Gili Indah yang tinggi terhadap
sumberdaya terumbu karang, telah
menyebabkan
eksploitasi
besarbesaran
sehingga
menyebabkan
rusaknya terumbu karang tersebut.
Terutama masyarakat yang tinggal
dekat dengan areal kawasan terumbu
karang.
Terbatasnya
sumber
pendapatan alternatif selain dari
terumbu karang, menjadi faktor kuat
terjadinya kerusakan terumbu karang.
Ancaman utama terumbu karang ialah
eksploitasi
sumberdaya
terumbu
karang sebagai kapur (salah satu
bahan bangunan). Untuk melarang
mereka menghentikan aktivitasnya
tidaklah mudah, tapi kalau dibiarkan
juga akan sangat membahayakan
masyarakat di masa yang akan datang.
Sebagai konsekuensi logis dari
pelarangan tersebut adalah pemberian
kompensasi sebagai ganti rugi sebesar
kerugian
yang
diderita
akibat
hilangnya pendapatan mereka.
Kompensasi ini ditetapkan
setelah kelompok nelayan melakukan

negosiasi dengan para pengusaha
wisata di Gili Indah, terutama
pengusaha di Gili Trawangan yang
notabene penduduknya didominasi
oleh pengusaha wisata. Menurut
nelayan setempat yang menerima
kompensasi, jumlah kompensasi ini
masih sangat kecil, karena setelah
sejumlah uang tersebut dibagi kepada
seluruh anggota yang berjumlah 105
orang, maka yang diperoleh sangat
kecil yaitu sekitar Rp.28.000,- per
orang dalam satu bulan. Dibandingkan
dengan hasil tangkapan yang biasa
diperoleh jika menangkap ikan di
kawasan ini, jumlahnya jauh lebih
besar. Dalam setiap kali menangkap
ikan di kawasan ini, pendapatan yang
diperoleh rata-rata sebesar Rp114.000
per hari, maka dalam satu bulan,
pendapatan kotor rata-rata nelayan
sebesar Rp760.000 per orang. Gambar
di bawah ini menunjukkan tingkat
pendapatan
masyarakat
nelayan
sebelum dan sesudah dilakukan
koservasi:

Pe ndapatan Ne layan M uroam i Se be lum
dan Se s udah Kons e rvas i
800,000.00
600,000.00
400,000.00
200,000.00
Setelah konservasi

Sebelum
konservasi

Gambar 4 Pendapatan Nelayan Muroami Sebelum dan Sesudah Konservasi
Figure 4 Income of Muroami Fisherman after and before Conservation
Selain
itu,
sebagai
eksternalitas negatif dari kegiatan
konservasi ini adalah, masyarakat
yang biasanya mengambil terumbu
karang
sebagai
bahan
baku
pembuatan kapur bangunan menjadi
terhenti. Mereka tidak bisa lagi

mengeksploitasi terumbu karang
sebagai mana biasa. Akibat larangan
ini,
kesempatan
mendapatkan
penghasilan
dari
kegiatannya
mengeksploitasi terumbu karang
menjadi hilang. Dengan demikian,
sejumlah kehilangan penghasilan ini

menjadi biaya eksternal dari kegiatan
konservasi.
Biaya sosial yang ditanggung
oleh lembaga pemerintah sama
dengan biaya sosial yang ditanggung
oleh Satgas Gili Indah. Perbedaannya
adalah pada pemberian kompensasi
kepada nelayan. Kompensasi yang
diterima oleh kelompok nelayan
jaring muroami diberikan oleh
Satgas Gili Indah. Sedangkan
BKSDA NTB tidak memberikan
kompensasi apapun kepada yang
terkena
dampak
konservasi.
Sejumlah penghasilan yang hilang
ini disebut sebagai biaya eksternal
konservasi, atau sebagai dampak
sosial dari program konservasi.
Dengan memasukkan biaya sosial ke
dalam
biaya
konservasi
menunjukkan total biaya konservasi
yang sesungguhnya yang harus

ditanggung
konservasi.

DAFTAR PUSTAKA

Fauzi,

Adrianto,
L.,
2005.
Valuasi
Sumberdaya
Pulau-Pulau
Kecil.
PKSPL
Institut
Pertanian Bogor
Adrianto, L., 2005. Pengenalan
Konsep dan Metodologi
Valuasi
Ekonomi
Sumberdaya Pesisir dan Laut.
PKSPL IPB Bogor 2006
Bachtiar, I. 2000. Community Based
Coral Reef Management of
The Marine Tourism Park
Gili Indah, Lombok Barat,
Jurusan Pendidikan Biologi
FKIP Universitas Mataram.
Balai Konservasi Sumberdaya Alam
Nusa Tenggara Barat. 2004.
Laporan
Inventarisasi
Terumbu Karang di TWAL
Gili
Matra
Kabupaten
Lombok Barat. Lombok
Barat

oleh

pengelola

5. Simpulan
Dari uraian pembahasan di atas
dapat disimpulkan bahwa manfaat
program konservasi terumbu karang
dengan memasukkan
nilai-nilai
manfaat dan biaya sosial dari segala
sumberdaya yang ada di dalamnya
menjadi sangat layak. Perbedaan
antara rezim pemerintah dengan
rezim Satgas Gili Indah adalah dalam
perhitungan biaya dam manfaat
sosial tersebut. Rezim pemerintah
tidak memperhitungkan biaya dan
manfaat sosial yang muncul dalam
program konservasi terumbu karang
di Desa Gili Indah, sehingga NPV
dari rezim pemerintah lebih besar
dibandingkan dengan rezim Satgas
Gili Indah.
A.,
2004.
Ekonomi
Sumberdaya
Alam
dan
Lingkungan.
Teori
dan
Aplikasi.
PT
Gramedia
Pustaka Utama
Hanley, N., Spash L., Clive. 1995.
Cost – Benefit Analysis and
the Environment. Edward
Elgar Publishing Limited.
Kusumastanto, T. 2000. Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan.
Institut Pertanian Bogor
Satria, et al. 2005. Questioning
Community based coral reef
management systems: Case
Study of Awiq-awiq in Gili
Indah,
Indonesia.
Environment, Development
and sustainability (2005).
00:1-20 Springer 2005 DOI;
10.1007/s10668-005-0909-9
Suparmoko, M. 1989. Ekonomi
Sumberdaya
Alam
dan
Lingkungan.
(Suatu
Pendekatan Teoritis). Edisi

Kedua.
Pusat
Antar
Universitas
Pusat
Studi
Ekonomi Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta.

Suparmoko, M., Maria. 2000.
Ekonomika
Lingkungan,
Edisi
Pertama.
BPFE
Yogyakarta

Penulis mengucapkan terima kasih kepada SEAMEO Searca yang telah
memberikan dukungan dana guna penyelesaian penelitian ini.