Analisis Terhadap Keabsahan Putusan Perceraian Dan Pembagian Harta Bersama Yang Dikeluarkan Oleh Hakim Dari Negara Lain (Singapura) Terhadap Warga Negara Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003), 2012

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hampir dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun Islamic law , perkawinan adalah sebuah kontrak berdasarkan persetujuan sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dan wanita untuk menjadi suami-isteri. Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga yang

  mempunyai arti penting bagi penjagaan moral dan akhlak masyarakat dalam

  1 pembentukan peradaban.

  Kalau seorang perempuan dan seorang laki-laki berkata sepakat untuk melakukan perkawinan satu sama lain, ini berarti mereka saling berjanji akan taat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai hak-hak dan kewajiban- kewajiban masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung,

  2 dan mengenai kedudukan dalam masyarakat dari anak-anak turunannya.

  Demikian juga dalam hal menghentikan perkawinan, suami dan isteri tidak leluasa penuh untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk penghentian itu, melainkan terikat juga pada peraturan hukum perihal itu.

  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan untuk mengatur pergaulan hidup yang sempurna, bahagia dan kekal di dalam suatu rumah 1 Rifyal Ka’bah, Hakim Agung MARI. Permasalahan Perkawinan, (Varia Peradilan No.

  271, Makalah, Juni 2008) , hal. 7 tangga guna terciptanya rasa kasih sayang dan saling mencintai. Namun kenyataan sejarah umat manusia yang telah berusia ribuan tahun telah membuktikan bahwa tidak selalu itu dapat dicapai, bahkan sebaliknya kandas atau gagal sama sekali di tengah jalan, karena tidak tercapainya kata sepakat atau karena olehnya salah satu

  3 pihak ataupun perilaku kedua belah pihak yang bertentangan dengan ajaran agama.

  Pernikahan dan perceraian merupakan hak individu. Seorang laki-laki maupun perempuan berhak untuk memutuskan kapan menikah maupun mengakhiri pernikahan melalui perceraian. Keputusan untuk bercerai jauh lebih sulit dijalankan daripada keputusan untuk menikah. Umumnya, setiap orang berniat untuk menikah sekali seumur hidupnya saja. Tidak pernah terbesit bila di kemudian hari harus

  4 bercerai, lalu menikah lagi dengan orang lain, atau memilih untuk tetap sendiri.

  Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta akibat-akibat

  5 yang mungkin timbul setelah suami-isteri itu perkawinannya putus.

  Memilih bercerai, berarti harus berhadapan dengan pengadilan. Sebab proses pengaduan gugatan perceraian yang sah menurut hukum, hanya dapat ditempuh melalui pengadilan saja. Persoalannya kemudian adalah bagaimana jika gugatan perceraian itu dilakukan melalui pengadilan yang terletak di luar negara Indonesia. 3 Martiman Prodjohamidjojo. Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta : PT Abadi, 2001),

  hal.1

  Penyusunan tesis ini menganalisis putusan perceraian dan pembagian harta bersama yang diperoleh melalui pengadilan di Singapura terhadap Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing Tionghoa yang menikah berdasarkan ketentuan Hukum Perkawinan Indonesia.

  Globalisasi tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang sosial kemasyarakatan dan budaya. Bahwa dengan perkembangan zaman yang semakin maju serta era globalisasi yang sedang berkembang, bukan hanya terbatas pada masyarakat kita, tetapi sudah mendunia baik mengenai hubungan hukum,

  6

  kemasyarakatan, perdagangan bahkan mengenai perkawinan. Era globalisasi pemicu tingginya mobilitas manusia telah menyebabkan peningkatan besar dalam pernikahan

  7

  dan perceraian internasional. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah memperkirakan hal itu, dengan memberi pengaturan tentang perkawinan di luar negara Indonesia (Pasal 56) dan perkawinan campuran (Pasal 57- 62). Sedangkan pengaturan mengenai perceraian yang dilakukan di luar negara Indonesia belum ada diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

  Sebetulnya peraturan Hukum Perkawinan hanya meliputi pokok-pokok saja dari persoalan-persoalan yang timbul dalam hidup bersama yang dinamakan perkawinan itu. Lebih penting daripada peraturan hukum itu ialah praktek yang di 6 Sudargo Gautama [1]. Capita Selecta Hukum Perdata Internasional, (Bandung : Alumni,

  1974), hal.16 7 Mohammad Thoha (Hakim Pengadilan Agama Ponorogo). Hukum Perceraian di Luar

  dalam suatu negara tertentu dilakukan oleh suami dan isteri selama hidup bersama itu. Mungkin sekali praktek ini berlainan dan menyimpang dari peraturan Hukum

8 Perkawinan yang berlaku.

  Kalau praktek yang berlainan ini, terbatas pada dua atau tiga orang saja, maka tidaklah perlu hal ini dihiraukan. Sudah selayaknya dalam masyarakat selalu ada beberapa orang perseorangan yang tidak taat pada suatu peraturan hukum.

  Sebaliknya, kalau praktek itu dilakukan sebagian agak besar dari masyarakat, maka patutlah dipikirkan, apakah peraturan Hukum Perkawinan yang banyak dilanggar itu, tidak harus ditinjau kembali perihal keharusan dipertahankan atau

  9 diubah atau dilenyapkan sama sekali.

  Peninjauan kembali ini juga sepatutnya dilakukan, apabila di kalangan yang agak penting dalam masyarakat ada aliran yang menginginkan perubahan dalam peraturan Hukum Perkawinan yang berlaku itu.

  Aliran semacam ini mungkin sekali timbul akibat dari pergaulan internasional antara berbagai bangsa atau negara. Dalam pergaulan internasional ini orang yang berkesempatan untuk mengetahui peraturan Hukum Perkawinan di lain-lain negara serta membandingkannya dengan peraturan Hukum Perkawinan dalam negara sendiri.

  Pada perbandingan ini mungkin sekali, timbul ketidakpuasan dengan peraturan hukum di negara sendiri, dan timbul juga keinginan untuk mengubah peraturan

  10 hukum itu.

  Persoalan perceraian internasional di waktu sekarang ini merupakan masalah yang urgent, mengingat banyaknya masalah-masalah tersebut kini harus dihadapi oleh para pejabat hukum. Dari dahulu hingga saat sekarang, karena bertambah banyaknya perkawinan-perkawinan internasional, bertambah banyaknya kemungkinan bagi pihak isteri untuk mempertahankan kewarganegaraannya menurut peraturan-peraturan kewarganegaraan negara-negara modern di waktu akhir-akhir ini, bertambah pesatnya kemajuan transport internasional, maka bertambahlah kuantitas perceraian-perceraian internasional atau perpisahan-perpisahan dengan segala

  11 masalah yang menyangkut padanya.

  Dalam praktek perbedaan hukum antara berbagai negara perihal pemecahan perkawinan ini tentu dapat menimbulkan kesulitan. Berdasarkan Pasal 16 A.B (Algemeene Bepalingen van Wetgeving/Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847) yang merupakan warisan dari sistem Hukum Perdata Internasional yang ditinggalkan oleh Hindia Belanda, berdasarkan asas konkordansi, dianutlah prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berarti, bahwa warga negara Indonesia yang berada di luar negeri sepanjang mengenai hal-hal yang termasuk bidang status personalnya, tetap

10 Ibid

  berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional Indonesia (personeel statuut ).

12 Untuk menentukan status personil, dalam bidang hukum perdata internasional

  yang berlaku di Indonesia, sebagaimana yang berlaku di negara-negara Eropa Kontinental (civil law), dianut aliran personalitas atau kewarganegaraan.

  13 Dalam perumusan “status personil” menurut konvensi internasional Montreux

  Tahun 1973 termasuk : Perkara-perkara yang mengenai status dan kewenangan orang pribadi, hubungan hukum antara anggota-anggota suatu keluarga, khususnya perjodohan, perkawinan, hak-hak dan kewajiban timbal balik dari suami-isteri, mas kawin, hak-hak atas benda selama perkawinan, perceraian, talak, hidup terpisah, pengesahan anak, kewajiban untuk memberikan tunjangan antara keluarga karena darah atau perkawinan, pengesahan, adopsi, perwalian, perwalian-safih, kedewasaan dan juga hibah, pewarisan, surat wasiat dan lain- lain perbuatan hukum yang berkenaan dengan pembagian benda setelah meninggal, hilang atau dugaan kematian terhadap seseorang.

  14 Berdasarkan Pasal 17 A.B menentukan bahwa bagi barang-barang tak bergerak

  berlakulah hukum dari tempat letaknya barang itu (lex rei sitae). Ada lagi Pasal 18 AB yang menentukan bahwa cara melakukan suatu tindakan hukum yang sesuai dengan hukum yang berlaku di tempat dimana tindakan itu dilakukan adalah sah (gemengd statuut).

  Kasus ini berawal dari dimana Penggugat (Lim Kim Tju) dan Tergugat (Edward Halim), yang keduanya berkewarganegaraan Indonesia, pada tahun 1971 12 Sudargo Gautama [3]. Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian 1 Buku ke-

  7 , (Bandung : Alumni, 1980), hal. 9 13 Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo. Sendi-Sendi Hukum Perdata Internasional,

  pernah terikat dalam suatu perkawinan yang dilangsungkan menurut adat istiadat Tionghoa, yang kemudian dicatatkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil Kotamadya Medan dengan akta perkawinan tahun 1972. Akan tetapi, perkawinan antara keduanya telah bubar karena perceraian pada tanggal 21 Mei 1998 berdasarkan ‘Certificate Of Making Decree Nisi Absolute’ tanggal 27 Juni 2000 yang dikeluarkan oleh The Subordinate Courts Of Republic Of Singapore. Setelah adanya putusan perceraian yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Singapura, juga terdapat putusan pembagian harta bersama yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Singapura yaitu

  

In The High Court Of The Republic Of Singapore, Originating Summons No. 1596 of

  1999 mengenai : In the Matter of the ancillary matters pursuant to Divorce Petition No. 610 of 1998 yang diajukan oleh Kimiawati Tjokro (isteri muda Edward Halim) dengan pembagian sebesar 35% untuk Lim Kim Tju (1st Defendant), Edward Halim (2nd Defendant) sebesar 30% dan Kimiawati Tjokro (Plaintiff) sebesar 35 % untuk harta bersama baik di Indonesia, Palembang, Jakarta, Batam dan Singapura.

  Bahwa Penggugat (Lim Kim Tju) yang tidak puas terhadap putusan pembagian harta bersama di Singapura tersebut, melalui kuasa hukum di Palembang telah mengajukan gugatan pada Pengadilan Negeri Palembang dengan menggunakan dasar putusan perceraian yang telah diperolehnya melalui pengadilan di Singapura.

  Penggugat memohon pada petitum gugatannya agar Harta Bersama yang berupa barang tidak bergerak yaitu tanah dan bangunan yang terdapat di Palembang antara Penggugat dan Tergugat dari tahun 1971 dan 1998, agar di bagi seperdua diantara

  Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi memenangkan pihak Penggugat selaku isteri dari Tergugat. Akan tetapi, putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh suami penggugat (Edward Halim) yang menyatakan gugatan Penggugat (Lim Kim Tju) tidak dapat diterima, membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Palembang, dan mengangkat Sita Revindicatoir tersebut.

  Maka timbullah pertanyaan, sampai dimana putusan perceraian dan pembagian harta bersama itu mempunyai kekuatan di luar lingkungan daerah hukum negaranya dari hakim yang memutuskan itu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini mencoba untuk menguraikan aturan hukum yang akan diberlakukan untuk menyelesaikan sengketa perceraian dan pembagian harta bersama pada kasus tersebut.

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana keabsahan putusan perceraian yang dikeluarkan oleh Pengadilan dari negara lain terhadap Warga Negara Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan perundang-undangan lainnya?

  2. Bagaimana kekuatan hukum putusan pengadilan dari negara lain tentang pembagian harta bersama terhadap Warga Negara Indonesia?

  3. Apakah putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003 sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia?

  C. Tujuan Penelitian

  Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

  1. Untuk mengetahui keabsahan putusan perceraian yang dikeluarkan oleh Pengadilan dari negara lain terhadap Warga Negara Indonesia menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan perundang-undangan lainnya.

  2. Untuk mengetahui kekuatan hukum putusan pengadilan dari negara lain tentang pembagian harta bersama terhadap Warga Negara Indonesia.

  3. Untuk mengetahui kesesuaian putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003 dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.

  D. Manfaat Penelitian

  Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta mendorong para pembacanya untuk dapat lebih mengerti dan memahami tentang pengetahuan hukum perdata khususnya bidang hukum perkawinan tentang hukum perceraian dan pembagian harta bersama. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan penyempurnaan peraturan atau kebijakan tentang hukum perkawinan di Indonesia.

  Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada aparat hukum dan masyarakat terkait dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan perceraian dan pembagian harta di luar negeri. Selain itu, juga dapat memberi masukan bagi pofesi notaris, akademisi, pengacara dan mahasiswa.

  E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan, baik di Magister Ilmu Hukum maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang menyangkut masalah “ANALISIS TERHADAP KEABSAHAN PUTUSAN PERCERAIAN DAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA YANG DIKELUARKAN OLEH HAKIM DARI NEGARA LAIN (Singapura) TERHADAP WARGA NEGARA INDONESIA (studi putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003)”. Tesis ini merupakan hasil karya penulis sendiri.

  Dengan demikian, penelitian ini adalah asli sehingga dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama.

  F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  “Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas

  15

  penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”. Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-

  16 fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran”.

  Menurut M. Solly Lubis bahwa :

15 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 6

  Teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan walau bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

17 Teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaktis yaitu

  mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang terjadi.

  18 Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam

  membangun atau memperkuat kebenaran dan permasalahan yang dianalisis. Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori keadilan dan teori yang memandang hakim sebagai corong pengadilan.

  Sebagai tujuan utama dari hukum, maka keadilan sering menjadi fokus utama dari setiap diskusi tentang hukum. Sayangnya, karena keadilan merupakan konsep yang sangat abstrak, sehingga di sepanjang sejarah manusia tidak pernah mendapatkan gambaran yang pasti tentang arti dan makna yang sebenarnya dari keadilan, tetapi selalu dipengaruhi oleh paham atau aliran yang dianut saat itu.

  19 Aristoteles menyatakan bahwa ukuran dari keadilan adalah bahwa :

  17 M. Solly Lubis. Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : CV. Mandar Maju, 1994), hal. 27 18 Snelbecker, dalam Lexy J. Moloeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung : Remaja a. Seseorang tidak melanggar hukum yang berlaku, sehingga keadilan berarti “lawful” yaitu hukum tidak boleh dilanggar dan aturan hukum harus diikuti

  b. Seseorang tidak boleh mengambil lebih dari haknya, sehingga keadilan berarti

  20 persamaan hak (equal).

  Aristoteles dalam buah pikirannya Ethica Nicomachea dan Rhetorica mengatakan hukum mempunyai tugas yang suci yakni memberi kepada setiap orang

  21 apa yang berhak diterima, hukum bertugas membuat keadilan (ethische theorie).

  Aristoteles membagi keadilan ke dalam dua golongan sebagai berikut :

  a. Keadilan distributif, yakni keadilan dalam hal pendistribusian kekayaan atau kepemilikan lainnya pada masing-masing anggota masyarakat. Dengan keadilan distributif ini, yang dimaksudkan oleh Aristoteles adalah keseimbangan antara apa yang didapati (he gets) oleh seseorang dengan apa yang patut didapatkan (he

  deserves )

  b. Keadilan korektif, yakni keadilan yang bertujuan untuk mengkoreksi kejadian yang tidak adil. Dalam hal ini keadilan dalam hubungan antara satu orang dengan orang lainnya yang merupakan keseimbangan (equality) antara apa yang

  22 diberikan (what is given) dengan apa yang diterimanya (what is received).

  Keadilan di pengadilan (judicial justice) adalah keadilan yang terbit dari putusan-putusan pengadilan, sebagaimana yang sehari-harinya diputuskan oleh

20 Ibid, hal. 93

  23

  hakim. Karena itu, yang ideal adalah para hakim tersebut harus aktif, kreatif, dan bahkan proaktif dalam mencari keadilan. Hakim sebagai organ pengadilan atau corong pengadilan atau corong undang-undang dianggap memahami hukum. Salah satu kewajiban yang diamanahkan oleh undang-undang ke pundak hakim adalah kewajiban hakim untuk menemukan hukum yang hidup dalam masyarakat. Tentunya, tidak sekadar “menemukan”, melainkan juga “menerapkan” dalam putusannya. Telah diketahui bahwa undang-undang tidak akan pernah lengkap dalam pengertian bahwa undang-undang itu tidak dapat memuat peraturan dalam praktek. Di situlah letak peranan hakim untuk menyesuaikan peraturan undang-undang dengan kenyataan hukum yang berlaku di dalam masyarakat agar dapat mengambil suatu keputusan hukum yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan tujuan hukum tersebut. Kadangkala hakim membuat peraturan sendiri dengan jalan menemukan kaidah- kaidah hukum yang baru di dalam masyarakat ataupun dengan melakukan penafsiran

  24 hukum yang berhubungan dengan kasus yang diadilinya.

  Pasal 22 AB berbunyi : bila seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas, atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena penolakan “mengadili”.

  Terhadap kewajiban hakim untuk menemukan hukum yang hidup dalam masyarakat, UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 28 menentukan bahwa : “hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai

  25

  hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

2. Konsepsi

  “Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang

  26

  berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis”. “Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai

  27 dasar penelitian hukum”.

  “Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi

  28 yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional”.

  Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut :

  a. Putusan 25 26 Munir Fuady, Op.Cit., hal. 174 27 Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 397 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

  (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 7 28 Sutan Remy Sjahdeini. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi

  Menurut Sudikno Mertokusumo, “Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau

  29

  sengketa antara para pihak.”

  b. Perceraian di luar negeri Perceraian di luar negeri adalah putusnya perkawinan antara suami isteri karena perceraian melalui putusan pengadilan di luar negeri.

  Perceraian adalah terputusnya hubungan perkawinan suami isteri saat keduanya masih hidup di depan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan

  30

  undang-undang. Berbagai negara memiliki peraturan perceraian yang berbeda satu sama lainnya. Jika dua warga negara yang sama bercerai di luar negara mereka, maka di sini timbullah permasalahan mengenai kekuatan keputusan perceraian di salah satu negara apakah juga diakui oleh negara dimana warga negara itu berasal.

  c. Warga Negara Indonesia Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang

  Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang dimaksud dengan Warga Negara Indonesia adalah setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia.

  d. pembagian harta benda perkawinan 29 Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 2006),

  Pembagian harta benda perkawinan adalah pembagian harta bersama antara suami isteri setelah terjadinya perceraian. Persengketaan harta perkawinan dalam perceraian memang riskan untuk terjadi, terlebih bila tidak ada perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan. Bahkan pada sejumlah kasus, sengketa perebutan harta gono gini justru memperlambat dan merumitkan proses perceraian. Ketidakpahaman masyarakat pada umumnya tentang harta dalam perkawinan, merupakan faktor kuat

  31 yang memicu lahirnya masalah sengketa harta gono-gini.

  Secara etimologi, harta bersama adalah dua kosakata yang terdiri dari kata harta dan kata bersama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada dua pengertian harta.

  Pertama, harta adalah barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan. Kedua, harta adalah kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum dimiliki perusahaan. Harta bersama adalah harta yang diperoleh

  32 secara bersama di dalam perkawinan.

  Menurut terminologi, harta bersama adalah harta yang diperoleh bersama suami isteri selama perkawinan. Di Jawa, harta bersama disebut dengan istilah gono gini, di Sunda disebut guna kaya, di Bugis disebut cakara, atau bali reso, di Banjar disebut harta berpantangan, di Aceh disebut harta seharkat, masyarakat Melayu disebut harta

  33 syarikat dan lain-lain.

  31 32 Budi Susilo, Op.Cit., hal.126 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan I Pada tiap-tiap daerah masyarakat mengenal harta bersama dengan istilah yang berbeda, namun pada hakikatnya adalah sama. Kesamaan ini terletak pada harta benda suami isteri yang dinisbahkan menjadi harta bersama.

  Harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan dianalogikan dengan harta milik suatu badan usaha, harta perkongsian, atau harta perserikatan, karena didasarkan pada pandangan bahwa pernikahan bukanlah akad sepihak, dimana pihak wanita hanya dijadikan sebagai obyek akad semata yang berakibat pada statusnya sebagai unsur yang tidak memiliki harta dalam rumah tangga, melainkan sebagai akad timbal balik dari kedua belah pihak. Maksudnya suami isteri berkongsi untuk membina sebuah rumah tangga, baik dalam rangka menciptakan keturunan yang saleh maupun membangun perekonomian rumah tangga. Oleh karena itu, antara suami isteri tidak lagi mempersoalkan apa bentuk tugas yang harus diselesaikan masing- masing. Yang ditekankan adalah kerja sama dalam bentuk tolong menolong, kesepakatan baik secara tegas maupun secara tersirat, bahwa segala kerugian yang ditimbulkan dalam pengurusan rumah tangga harus ditanggung bersama. Demikian juga sebaliknya, segala keuntungan yang diperoleh harus dinikmati bersama. Atas dasar pemikiran ini, maka harta yang diperoleh itu dianggap sebagai harta bersama, tanpa mempersoalkan pihak mana yang paling banyak berperan dalam

  34 mendapatkannya. Persatuan harta kekayaan dalam Pasal 119 KUHPerdata pada pokoknya dikemukakan bahwa terhitung sejak saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum terjadilah persatuan bulat harta kekayaan suami dan isteri sejauh tidak diadakan perjanjian perkawinan tentang hal tersebut, jadi dari sini dapat diartikan bahwa yang dimaksud harta bersama adalah "Persatuan harta kekayaan seluruhnya secara bulat baik itu meliputi harta yang dibawa secara nyata (aktiva) maupun berupa piutang (pasiva), serta harta kekayaan yang akan diperoleh selama perkawinan".

  Pasal 128 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur : “Setelah bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka masing-masing dengan tak mempedulikan soal dari pihak manakah barang-barang itu diperolehnya.”

  Pada ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jelas terbaca bahwa harta dalam perkawinan itu sendiri terdiri dari harta bersama dan harta bawaan.

  Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan oleh karena itu menjadi milik bersama suami isteri. Sedangkan harta yang dibawa sebelum perkawinan berlangsung dan harta yang diperoleh masing- masing suami/isteri sebagai hadiah atau warisan selama dalam ikatan perkawinan

  35 disebut dengan harta bawaan.

  Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur: “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.” Yang dimaksud dengan: “hukumnya masing-masing” ialah hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya.

  Memperhatikan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan dan penjelasannya, ternyata Undang-Undang Perkawinan ini tidak memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaimana penyelesaian harta bersama apabila terjadi perceraian. akibatnya timbul kesulitan bagi pihak penyelenggara hukum untuk menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan harta bersama.

  Kalau dicermati pada penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan, maka Undang-Undang memberikan jalan pembagian sebagai berikut :

  1. Dilakukan berdasarkan hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian.

  2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan

  36 3. Atau hukum-hukum lainnya.

  Dengan demikian, Undang-Undang Perkawinan membuka peluang hukum lainnya mengatur harta bersama tersebut. Pengaturan tersebut sangat abstrak dan umum serta tidak bersifat rinci. Undang-Undang bagaimana tentang harta bersama dan juga tidak menentukan tata cara pembagiannya serta jumlah masing-masing.

G. Metode Penelitian

36 M. Yahya Harahap [1]. Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-

  Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

  Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang

  37 timbul di dalam gejala yang bersangkutan.

  Sebagai suatu penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian dinilai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah sebagai berikut :

1. Sifat dan Jenis Penelitian

  Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tujuan penelitian ini.

  Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atas studi kasus. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder dan bahan acuan dalam

  38 bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. Penelitian hukum normatif dimaksudkan untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku serta doktrin-doktrin. Dalam penelitian ini, penelitian hukum normatif bertujuan untuk meneliti aturan-aturan mengenai perceraian yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia di luar negeri beserta pembagian harta bersama pasca perceraian di luar negeri.

2. Sumber Data

  Data dalam penelitian ini diperoleh melalui data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan yang terdiri dari: a. Bahan Hukum Primer

  Bahan hukum primer adalah hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini bahan hukum primernya yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Algemene

  Bepalingen van Wetgeving (A.B) , Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

  Perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Konvensi Internasional dan yurisprudensi.

  b. Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum Sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah dari kalangan hukum tentang perceraian dan pembagian harta di luar negeri.

  Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya.

  3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

  Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Dengan penelitian kepustakaan, dikumpulkan data, membaca dan mempelajari bahan-bahan kepustakaan yang terkait dengan judul. Dalam penelitian ini, juga dilakukan wawancara terhadap Bapak Dedi Harianto, dan Bapak Jun Cai selaku Dosen Fakultas Hukum USU, Medan.

  4. Analisis Data

  “Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema

  39 dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data”.

  Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. “Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum

  40 tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi”.

  Penelitian yang dilakukan dalam tesis ini termasuk ke dalam tipe penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisis data dilakukan dengan :

  41

  (a) mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti; (b) memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian; (c) mensistematisasikan kaidah-kaidah hukum, azas atau doktrin; (d) menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin yang ada; (e) menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Terhadap Wasiat Wajibah Dalam Perspektif Fikih Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang Ahli Waris Yang Beragama Non-Muslim)

6 113 140

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Analisis Terhadap Keabsahan Putusan Perceraian Dan Pembagian Harta Bersama Yang Dikeluarkan Oleh Hakim Dari Negara Lain (Singapura) Terhadap Warga Negara Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003), 2012

5 77 142

Tanggung Jawab Penjamin (Avalist) Terhadap Utang Debitur Yang Wanprestasi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 1436.K/Pdt/2001)

7 129 143

Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Ultra Petita Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

1 54 126

Iventarisasi Dan Identifikasi Putusan Mahkamah Agung Tentang Perkawinan Dan Akibatnya Terhadap Harta Perkawinan

0 35 147

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Kajian Yuridis Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian (Putusan Mahkamah Agung Nomor : 255 K/Ag/2012)

0 6 10

Kajian Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemalsuan Akta Otentik Oleh Notaris (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1568 K/Pid/2008)

0 22 0

Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Persepektif Gender (Analisis Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.G/2012/PA Rks)

1 12 0