Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Persepektif Gender (Analisis Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.G/2012/PA Rks)

(1)

PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DITINJAU

DARI PERSPEKTIF GENDER

(Analisis Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.G/2012/PA Rks)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh: ABDUL KAHFI NIM. 1110044100001

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI SYARIAH DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DITINJAU

DARI PERSPEKTIF GENDER

(Analisis Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.G/2012/PA Rks)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh:

ABDUL KAHFI NIM. 111004410000104

Pembimbing

Dr. Mohammad Ali Wafa, S.Ag., M.Ag. NIP: 19730424 200212 1 007

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI SYARIAH DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

(4)

ABSTRAK

ABDUL KAHFI. NIM. 1110044100001. “PEMBAGIAN HARTA

BERSAMA DITINJAU DARI PERSPEKTIF GENDER (Analisis Putusan

Perkara Nomor 278/Pdt.G/2012/PA Rks)” Program Studi Hukum Keluarga

Islam, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H./2015 M.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui ketentuan pembagian harta bersama menurut fuqaha, regulasi undang-undang tentang pembagian harta bersama, dan pembagian harta bersama ditinjau dari perspektif gender berdasarkan Putusan Perkara Nomor 278/Pdt. G/2012/PA Rks.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis Normatif. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif.

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen penetapan-penetapan atas pembagian harta bersama akibat perceraian di Pengadilan Agama Rangkasbitung serta sumber informasi dari para hakim yang menetapkan perkara tersebut. Sedangkan sumber data sekundernya adalah undang-undang perkawinan. Sedangkan teknik penulisannya berdasarkan Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas

Syari‟ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya Hukum Islam tidak mengatur secara khusus tentang harta bersama dalam perkawinan. Sedangkan menurut ketentuan perundang-undangan di Indonesia bahwa pembagian harta bersama bagusnya dilakukan secara adil, sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan antara mana yang merupakan hak suami dan hakistri.

Kata kunci: Harta Bersama, Gender, Putusan Pengadilan Agama.

Pembimbing : Dr. Mohammad Ali Wafa, S.Ag., M.Ag. Daftar Pustaka : Tahun 2000 s.d. Tahun 2014


(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan

penulisdan skripsi ini. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. yang telah membimbing manusia menuju jalan yang penuh

dengan ridha Allah Swt.

Skripsi ini berjudul “Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Perspektif Gender (Analisis Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.G/2012/PA Rks)Syibhul ‘Iddah Bagi Suami Dalam Perspektif Fiqih Islam dan

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia“, ditulis sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy.), pada Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulisan skripsi ini terselesaikan berkat bantuan berbagai pihak. Oleh karenanya, penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H., dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Mohammad Ali Wafa, S.Ag., M.Ag., dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya selama membimbing penulis.

4. Bapak Prof. Dr. H. Abd. Wahab Muhaimin, L.C., M.A., dan Ibu Dra. Ipah Farihah, M.H., selaku guru dan dosen penguji yang telah mengoreksi kesalahan penulis.


(6)

5. Segenap Dosen dan Staff pengajar pada lingkungan Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

6. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada keluarga tercinta, H. Jajang Saefudin, Hj. Rokiyah, Abdul Basit SKM, Muhammad Mahdi Lc, Abdul Matin, serta keluarga besar Almarhum H. Buckhary, H. Derin dan Almarhumah Hj. Saedah, yang senantiasa memberikan dukungan sejak awal perkuliahan sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi.

7. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis yaitu Fajrul Islamy, Nurul Hikmah, Eka Dita, Irfan Zidny, Muhammad Faudzan, Rusdi Rizki Lubis,Arif Rahman Hakim, Rifki Abdurrahman, M. Putera Fajar, Caryono, Ircham Mahaputra, M. Zaky Ahla, M. Ulil Azmi, Syahbana Arif, Sopriyanto, Luthfi Hidayat, Erwin Hikmatiar, Irfan Nurhasan, Zian Mufti, Wardhatul Jannah, Defi Uswatun Hasanah, Neneng Khosyatillah, Inayah Maily, Khoirun Nisa, Sainah, Rena Soraya, Syafa‟atuluzma, Arini Zidna, dan semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang menjadi teman seperjuangan sebelum maupun ketika di bangku perkuliahan. Serta terimakasih teruntuk Opri Liani seseorang yang telah membuat saya kembali bersemangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Jika bukan karenanyalah mungkin skripsi ini takan mungkin selesai.

Penulis berdo‟a semoga sumbangsih yang telah mereka berikan menjadi


(7)

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, Oleh karena itu kritik dan saran membangun demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat adanya. Amin,

Ciputat, 28 M e i 2015 M. 10 Sya;ban 1436 H.


(8)

DAFTAR ISI

HALAM JUDUL ....... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ...... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumausan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

D. Metode Penelitian ... 12

E. Study Review Terdahulu ... 18

F. Kerangka Teori ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II : HARTA BESAMA DAN GENDER A. Harta Bersama ... 23

1. Pengertian harta Bersama ... 23

2. Historis Harta Bersama ... 27

B. Dasar Hukum Harta Bersama ... 31


(9)

D. Gender Menurut Hukum Islam ... 41

BAB III : PEMBAGIAN HARTA BERSAMA A. Harta Bersama Menurut Hukum Positif di Indsonesia ... 56

B. Harta Bersama Menurut Fiqih ... 68

C. Harta Bersama Menurut Kesetaraan Sosial ... 72

BAB IV : PEMBAGIAN HARTA BERSAMA MENURUT HUKUM ISLAM, REGULASI UNDANG-UNDANG DAN GENDER A. Profil Pengadilan Agama Rangkasbitung ... 79

B. Pembagian Harta Bersama Menurut Hukum Islam ... 81

C. Regulasi Undang-undang Tentang Pembagian Harta Bersama 88 D. Pembagian Harta Bersama Ditinjau dari Gender ... 93

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 106


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Harta bersama adalah kekayaan yang diperoleh selama masa perkawinan diluar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah, harta yang didapat atas usaha mereka, atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. Dalam istilah muamalat, dapat dikategorikan sebagai syirkah atau join antara suami dan isteri. Dalam konteks konvesional, beban ekonomi keluarga adalah hasil pencaharian suami, sedangkan isteri bertindak sebagai manajer yang mengatur manajemen ekonomi rumah tangganya. Dalam pengertian yang lebih luas, sejalan dengan tuntunan perkembangannya isteri juga dapat melakukan pekerjaan yang dapat mendatangkan kekayaan. Jika antara suami-istri masing-masing mendatangkan modal dan dikelola bersama, maka hal demikian disebut dengan syirkah al-inan.1

Harta bersama seringkali kurang mendapat perhatian yang seksama dari para ahli hukum, terutama prasktisi hukum yang semestinya harus memperhatikan hal ini secara serius, karena masalah harta bersama merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami dan isteri apabila mereka telah bercerai. Hal ini mungkin disebabkan karena munculnya harta bersama ini biasanya apabila terjadi perceraian antara suami istri, atau pada saat proses perceraian sedang berlangsung di Pengadilan Agama sehingga

1

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 200-201


(11)

2

timbul berbagai masalah hukum yang kadang-kadang dalam penyelesaiannya menyimpang dari perundang-undangan yang berlaku.

Secara yuridis formal, ketentuan tentang harta bersama sudah diatur dalam pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dimana dijelaskan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh selama istri diikat dalam suatu ikatan perkawinan.2 Dalam praktek

pengadilan, terdapat beberapa hal yang sejalan dengan perkembangan hukum dan kondisi sosial yang berubah dalam masyarakat sesuai dengan perkembangan kemajuan zaman. Perubahan dalam kehidupan masyarakat terjadi dalam berbagai bentuk, baik dalam bidang komunikasi, informasi dan hal-hal yang menyangkut ekonomi. Yang kesemuanya itu sangat mempengaruhi tentang perolehan harta bersama dan juga pembagian apabila terjadi sengketa di pengadilan. Dalam hal ini sangat diperlukan keterampilan dan kejelian hakim dalam menganalisis masalah harta bersama ini dengan penerapan prinsip-prinsip keadilan sesuai dengan kemajuan zaman, tanpa mengorbankan ketentuan agama yang dianut.

Menurut M. Yahya Harahap bahwa sudut pandang hukum Islam terhadap harta bersama ini adalah sejalan dengan yang dikemukakan oleh Muhammad Syah bahwa perceraian bersama suami istri mestinya masuk dalam

Rub’ul Muamalah, tetapi secara khusus tidak dibicarakan. Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya pengarang kitab-kitab fikih adalah orang Arab yang tidak mengenal adanya adat mengenai perceraian bersama suami

2


(12)

3

istri itu. Tetapi dibicarakan tentang perkongsian yang dalam Bahasa Arab disebut dengan syarikat/syirkah. Oleh karena masalah penceraian bersama suami istri adalah termasuk sirkah, maka untuk mengetahui hukumnya perlu dibahas lebih dahulu tentang macam- macam syirkah sebagaimana telah dibicarakan oleh para ulama dalam kitab fikih. Harta bersama dalam perkawinan masuk dalam bentuk syirkah abdan dan mufawadlah.3

Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang dasar hukum harta bersama. Sebagian mereka mengatakan bahwa Agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama dalam Al-Qur‟an oleh karena itu terserah sepenuhnya kepada mereka untuk mengaturnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Hazairin, Arwan Harjono dan Abdoerauf serta diikuti oleh murid-muridnya. Sebagian pakar hukum Islam lain mengatakan bahwa suatu hal yang tidak mungkin jika agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama, sedangkan hal-hal lain yang kecil saja diatur secara rinci oleh Agama Islam dan ditentukan kadar hukumnya. Tidak satupun yang tertinggal semuanya termasuk dalam ruang lingkup pembahasaan hukum Islam. Jika tidak disebutkan dalam Al-Qur‟an maka ketentuan itu pasti dalam Al-Hadits pendapat ini dikemukakan oleh T. Jafizham.4

Di dalam kitab-kitab fikih bab khusus tentang pembahasan syarikat

yang sah dan yang tidak sah, Mazhab Syafi‟iyah membagi syarikat dalam 4 (empat) macam, yaitu :

3

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), H. 270

4

T. Jafizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Medan: Mustika,1977, hlm.119


(13)

4

1. Syarikat „Inan, yaitu dua orang yang berkongsi di dalam harta tertentu, mislanya berserikat dalam membeli suatu barang dan keuntungannya untuk mereka.

2. Syarikat Abdan, yaitu dua orang atau lebih berserikat masing-masing mengerjakan suatu pekerjaan dengan tenaga dan hasilnya untuk mereka bersama menurut perjanjian yang mereka buat. Misalnya, tukang kayu, tukang batu, nelayan dan lain sebagainya.

3. Syirkat Mufawadlah, yaitu dua orang atau lebih melaksanakan suatu pekerjaan dengan tenaganya yang masing-masing di antara mereka mengeluarkan modal, menerima keuntungan dengan tenaga dan modalnya, masing-masing melakukan tindakan meskipun tidak diketahui oleh pihak lain.

4. Syarikat Wujuh, yaitu syarikat atas sesuatu tanpa pekerjaan ataupun harta yaitu pemodalan dengan dasar kepercayaan pihak lain kepada mereka.5

Akan tetapi terdapat pembahasan tentang perabotan rumah tangga di kalangan ulama mazhab. Menurut Maliki, istri wajib membeli perlengkapan rumah yang menuntut kebiasaan ditanggung oleh istri, dengan mahar yang diterimanya. Kalau dia tidak menerima mahar sama sekali, maka dia tidak berkewajiban menyediakan perlengkapan rumah tangga kecuali dalam dua kondisi. Pertama, manakala tradisi yang berlaku di daerahnya memang mengaharuskan seorang istri menyediakan perlengkapan rumah tangga, sekalipun dia tidak menerima mahar sama sekali. Kedua, manakala si suami

5

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2006), h. 109-112


(14)

5

mensyaratkan (dalam akad) bahwa istrinyalah yang wajib menyediakan perlengkapan rumah tangga dari uang pribadinya.6

Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang suatu perlengkapan rumah tangga, maka persoalannya harus diteliti terlebih dahulu apakah perlengkapan itu khusus untuk laki-laki, khusus wanita, atau bisa dipergunakan bersama. Dalam hal ini ada 3 (tiga) persoalan :

1. Kalau barang-barang itu hanya berguna bagi laki-laki pemilikannya ditentukan berdasarkan pernyataan (klaim) suami disertai dengan sumpah, kecuali terdapat bukti yang menyatakan bahwa peralatan tersebut betul-betul milik istri. Ini merupakan pendapat Imamiyah dan Hanafi.

2. Kalau perlengkapan itu cocok untuk kaum wanita maka yang dipegangi adalah klaim isteri disertai sumpah, kecuali terdapat bukti yang menyatakan bahwa perlengkapan tersebut betul-betul milik suami. Inipun merupakan pendapat Imamiyah dan Hanafi.

3. Bila barang-barang tersebut bisa dipergunakan bersama maka pemilikannya dengan pihak yang bias menunjukan bukti. Kalau kedua pihak tidak bisa menunjukan bukti maka masing-masing pihak diminta bersumpah, dan barang-barang itu dibagi dua. Kalau salah seorang bersedia bersumpah sedang yang seorang lagi tidak, maka barang-barang itu diberikan kepada pihak yang bersumpah. Ini merupakan pendapat Imamiyah.

4. Adapun Abu Hanifah dan salah seorang pengikutnya, Muhammad, berpendapat bahwa terhadap barang-barang yang bisa dipakai bersama,

6

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2006), h. 111


(15)

6

maka yang dipegangi adalah klaim suami. Sedangkan Syafi‟i berpendapat bahwa apabila suami dan istri bersengketa tentang perabotan rumah tangga, maka barang-barang itu milik mereka berdua, baik barang-barang itu hanya bisa dipakai oleh salah satu pihak maupun yang bisa digunakan bersama-sama.7

Dalam pasal 119 KUH Perdata dikemukakan bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan, secara hukum berlakulah kesatuan bulat antara harta kekayaan suami istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak ada ketentuan lain. Kemudian dalam pasal 128 - 129 KUH Perdata, dinyatakan bahwa apabila putusnya tali perkawinan atara suami istri, maka harta bersama itu dibagi dua antara suami istri tanpa memikirkan dari pihak mana barang-barang kekayaan itu diperoleh sebelumnya.

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 35-37 dikemukakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Masing masing suami istri berhak terhadap harta yang diperoleh masing-masing selama para pihak tidak menentukan lain. Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas persetujuan kedua belah pihak. Dinyatakan pula bahwa suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukum masing-masing.

7

Muhammad Jawad M, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah: Maskur, Dkk, (Jakarta : Lentera, 2001), h. 381-382


(16)

7

Menurut pasal 36 ayat 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 87 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam bahwa istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta pribadi masing-masing. Mereka bebas menetukan terhadap harta tersebut tanpa ikut campur suami atau istri untuk menjualnya, dihibahkan atau mengagunkan.8

Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat empat macam harta keluarga (gezimsgood) dalam perkawinan, yaitu:

1. Harta yang diperoleh dari warisan, baik sebelum mereka menjadi suami istri maupun setelah mereka melakukan perkawinan, harta ini di Jawa Tengah disebut dengan barang gawaan, di Betawi disebut barang usaha, di Banten disebut barang sulur, di Aceh disebut harta tuha.

2. Harta yang diperoleh dari keringat sendiri sebelum mereka menjadi suami istri. Di Sumatera Selatan, harta milik suami disebut harta pembunjangan,

sedangkan harta milik istri disebut harta penantian.

3. Harta yang dihasilkan bersama oleh suami istri selama berlangsungnya perkawinan. Di Aceh disebut harta seuhareukat, di Jawa disebut harta gonogini, di Minangkabau disebut harta surang.

4. Harta yang didapat pengantin pada waktu pernikahan dilaksanakan, harta ini menjadi milik suami-istri selama perkawinan.9

8

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 104-105

9

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 106-107


(17)

8

Pembagian harta bersama merupakan perkara yang muncul sebagai akibat dari perceraian. Dalam persoalan ini para hakim pada dasarnya menggunakan ketentuan KHI, dimana harta yang diperoleh dalam ikatan perkawinan harus dibagi ketika pernikahan putus, baik karena perceraian maupun salah satu pihak meninggal dunia. Persoalannya, seberapa besar bagian untuk kedua pihak yang dianggap adil, hakim tak selalu punya pandangan yang sama. Meskipun hukum materil seperti KHI sudah memberikan aturan yang berspektif kesetaraaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, dalam pelaksanaanya kerap muncul penafsiran yang berbeda. Jika mengacu kepada KHI, perempuan mendapat setengah dari harta yang diperoleh selama berumah tangga, walaupun ia tidak bekerja di wilayah publik yang mengasilkan uang. Namun bukan tidak mungkin bila ada hakim yang menerapkan dua banding satu, dengan asumsi lelaki bekerja lebih banyak sehingga hasilnya pun lebih banyak. Dengan perhitungan seperti itu, satu bagian bagi istri sudah dianggap merupakan penghargaan atas jerih payahnya mengelola rumah tangga. Anggapan semacam ini tidak jarang dicarikan justifikasinya dengan mengacu kepada konsep pembagian waris sebagaimana diatur dalam Al-Qur‟an.10

Seringkali pihak istri dirugikan dan mengalami ketidak adilan dalam pembagian harta bersama. Ketidak adilan ini terkait dengan masalah pembakuan peran suami istri dalam Undag-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan

10

Arskal Salim, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan, (Jakarta: Puskumham UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 72-73


(18)

9

istri adalah ibu rumah tangga. UUP juga telah menetapkan istri sebatas pengelola rumah tangga (domestik) dengan aturan yang mewajibkan istri mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Dampaknya, banyak istri yang tidak memiliki kesempatan bekerja dan mencari nafkah sendiri sehingga tidak bisa mengelola keterampilan yang dimilikinya untuk memperoleh penghasilan. Dalam hal ini, para istri mengalami ketergantungan ekonomi terhadap suaminya. Bagaimana jika kemudian terjadi perceraian? Istri yang telah

“dirumahkan” tentu akan mengalami kesulitan untuk mandiri secara ekonomi. Beban istripun semakin berat jika dalam perkawinan anak-anak menjadi tanggungannya.

Ketidak adilan lainnya yang sering terjadi adalah beban ganda yang memberatkan pihak istri. Kadang kala istri bekerja di luar rumash sebagai pencari nafkah (bahkan sebagai pencari nafkah utama) dan juga dibebani dengan pekerjaan rumah tangga sepulangnya ke rumah. Kebanyakan suami yang merasa pekerjaan rumah tangga adalah urusan istri saja, umumnya enggan melakukan pekerjaan rumah tangga meski istrinya sejak pagi bekerja di luar rumah.

Seperti dalam kasus yang berada di Pengadilan Agama Rangkasbitung, yang membagi harta bersama tersebut sama rata. Padahal dalam kasus tersebut jelas sekali istri yang bekerja menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Saudi Arabia selama 2 tahun sedangkan suami hanya di rumah saja. Bahkan sang suami tidak melakukan urusan rumah tangga dan tidak pula mengurus anaknya. Akan tetapi sang suami menikah kembali dengan perempuan lain dan


(19)

10

menempati rumah yang selama ini menjadi tempat tinggalnya dengan istri dan anak-anaknya. Sedangkan anaknya di urus oleh orangtua sang istri. Sehingga sang istri meminta cerai kepada sang suami ke pihak Pengadilan Agama dan meminta pembagian harta bersama secara adil. Akan tetapi, hakim dalam memutuskan pembagian harta bersama tersebut membaginya dengan bagian sama banyak (separuh untuk istri dan separuh lagi untuk suami), sehingga muncul ketidak adilan gender dalam pembagian harta bersama tersebut.

Contoh lain yang kasuistik adalah kasus yang menimpa seorang presenter Made Hughesia Dewi dengan Alfin, mantan suaminya. Gugatan komulasi perceraian dengan harta yang diajukannya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dikabulkan oleh hakim dengan pembagian harta bersama adalah separuh-separuh.

Dengan demikian, adalah hal yang tidak adil bagi perempuan jika aturan pembagian harta bersama hanya terbatas pada pembagian separoh dari harta bersama karena tidak sedikit istri yang berkontribusi lebih besar dari pada suami. Ketentuan pembagian harta bersama sebaiknya diatur scara profesiaonal dan adil sesuai dengan kontribusi dan peran masing-masing.

Berangkat dari teori yang penulis paparkan di atas, penulis ingin meneliti lebih jauh tentang pembagian harta bersama dan mengangkatnya ke dalam karya tulis dengan judul: PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DITINJAU DARI PERSPEKTIF GENDER (ANALISIS PUTUSAN PERKARA NOMOR 278/Pdt. G/2012/PA Rks.)


(20)

11

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan terarah dan lebih spesifik, maka perlu ditentukan batasan masalah yang akan dibahas. Adapun masalah dalam penelitian ini dibatasi seputar pembagian harta bersama ditinjau dari perspektif gender yang dihubungkan dengan Putusan Perkara Nomor 278/Pdt. G/2012/PA Rks.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas, maka dalam penelitian ini pokok masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah ketentuan pembagian harta bersama menurut fuqaha ? b. Bagaimanakah regulasi undang-undang tentang pembagian harta

bersama ?

c. Bagaimanakah analisis pembagian harta bersama ditinjau dari perspektif gender berdasarkan Putusan Perkara Nomor 278/Pdt. G/2012/PA Rks. ?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dengan melihat pokok permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah untuk mengetahui :


(21)

12

d. Regulasi undang-undang tentang pembagian harta bersama.

e. Analisis pembagian harta bersama ditinjau dari perspektif gender berdasarkan Putusan Perkara Nomor 278/Pdt. G/2012/PA Rks.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang akan didapatkan dalam penelitian diantaranya adalah:

a. Bagi Penulis

1) Mengaplikasikan ilmu-ilmu yang diperoleh dan dapat memperluas pengetahuan khususnya dalam bidang pernikahan.

2) Mengetahui kondisi yang terjadi di lapangan khusunya di dalam lingkup Pengadilan Agama.

3) Membandingkan teori yang telah ada dengan permasalahan yang sebenarnya terjadi di masyarakat.

b. Bagi Masyarakat

1) Memberikan informasi bagi semua kalangan masyarakat tentang pembagian harta bersama dan akibat hukumnya..

2) Memberikan informasi tentang analisa keputusan hakim Pengadilan Agama mengenai harta bersama akibat dari perceraian.

c. Bagi Institusi

1) Memberikan informasi bagi institusi mengenai apa saja dasar hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara harta bersama akibat dari perceraian.


(22)

13

d. Bagi Universitas

1) Menambah referensi bagi teman-teman dalam mempelajari hukum perkawinan khususnya harta bersama dan akibat hukumnya.

2) Mengetahui kemampuan mahasiswa dalam menerapkan ilmu pengetahuannya.

3) Memberikan gambaran tentang kesiapan dan kelayakkan mahasiswa dalam menangani masalah dilapangan. Sebagai tambahan informasi bagi pemerhati Hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan harta bersama dalam perkawinan.

4) Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan.

D.Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan Yuridis Normatif. Yaitu suatu pendekatan untuk menemukan apakah suatu perbuatan hukum itu sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku atau tidak. Karena dengan pendekatan ini bisa mengetahui semua hal tentang pembagian harta bersama akibat perceraian di Pengadilan Agama. Hal ini tidak bisa dijelaskan dengan angka-angka, akan tetapi hal ini bisa terungkap dengan terjun langsung ke Pengadilan Agama, sehingga data yang diperoleh bisa bervariasi dan lebih lengkap.


(23)

14

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya.11

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sebagai berikut :

a. Sumber primer, adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari. Dalam penelitian ini, subyek penelitiannya adalah dokumen penetapan-penetapan atas pembagian harta bersama akibat perceraian di Pengadilan Agama Rangkasbitung serta sumber informasi dari para hakim yang menetapkan perkara tersebut.

b. Sumber sekunder, adalah data-data yang berasal dari orang kedua atau bukan data yang datang langsung, namun data-data ini mendukung pembahasan dari penelitian ini. Adapun sumber data sekunder diantaranya adalah:

1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

2) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman 3) PP No.9 Tahun tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.

4) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

11

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001), h. 6.


(24)

15

5) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

6) kitab dan buku-buku serta catatan lainnya yang ada keterkaitannya dengan masalah isbat nikah.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama pengumpulan data adalah guna memperoleh data yang diperlukan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini yaitu dengan menggunakan teknik studi dokumenter dan studi doktrinal. Adapun metode analisis data yang digunakan adalah content analysis atau analisis isi. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

a. Menganalisis terhadap berkas penetapan pembagian harta bersama dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Rangkasbitung berdasarkan Putusan Perkara Nomor 278/Pdt. G/2012/PA Rks.

b. Interview/wawancara yaitu pengumpulan data yang dilakukan penulis dengan jalan mengadakan dialog langsung dengan responden yang telah dipilih sebelumnya, yaitu hakim Pengadilan Agama Rangkasbitung yang memutuskan perkara Perkara Nomor 278/Pdt. G/2012/PA Rks.

Menurut Moleong, analisa data merupakan tahap terpenting dari sebuah penulisan. Sebab pada tahap ini data dapat dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah pemahaman yang benar-benar dapat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan yang telah dirumuskan. Secara definitif, analisa data merupakan proses


(25)

16

pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola kategori dan suatu uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang dirumuskan oleh data.12

Tehnik analisa pada tahap ini merupakan pengembangan dari metode analitis kritis. Adapun tehnik analisa dari penulisan ini adalah content analysis atau analisa isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan tersendiri berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran para tokoh yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik. Selanjutnya dikategorisasikan (dikelompokkan) dengan data yang sejenis, dan dianalisa isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.13

Dengan menggunakan analisis isi yang mencakup prosedur ilmiah berupa obyektifitas, sistematis, dan generalisasi. Maka, arah pembahasan skripsi ini untuk menginterpretasikan, menganalisis isi buku (sebagai landasan teoritis) dikaitkan dengan masalah-masalah kecerdasan spiritual dan pendidikan yang masih aktual untuk dibahas, yang selanjutnya dipaparkan secara objektif dan sistematis.

Melihat banyaknya metode yang dapat dipakai dalam pengkajian suatu ilmu, maka penulis akan menggunakan beberapa metode yang yang dianggap perlu dan relevan dengan pembahasan ini, antara lain :

12

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 103. 13


(26)

17

a. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai variable yang berupa catatan, transkip, buku-buku, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, longer, majalah, catatan harian, agenda, dan sebagainya. Metode dokumentasi ini digunakan untuk mendapatkan data berupa tulisan yang sehubungan dengan obyek penelitian yang akan di bahas dalam penelitian, serta digunakan sebagai metode penguat dari hasil metode interview atau wawancara. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang menyangkut pembahasan yang penulis kaji atau teliti. Dalam hal ini, dokumentasi yang dijadikan acuan berupa arsip atau dokumen salinan penetapan permohonan pembagian harta bersama yang telah diputus Pengadilan Agama Rangkasbitung.

b. Metode Interview

Yaitu usaha mengumpulkan informasi dengan menggunakan sejumlah pertanyaan secara lisan, untuk dijawab secara lisan pula. Metode wawancara digunakan untuk memperoleh informasi tentang hal-hal yang tidak dapat diperoleh lewat pengamatan. 14 Dengan

menggunakan metode ini diharapkan dapat memperoleh jawaban secara langsung, jujur, dan benar serta keterangan lengkap dari informan sehubungan dengan obyek penelitian. Sehingga dapat diperoleh informasi yang valid dengan bertanya langsung kepada informan. Dalam

14

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2006), Cetakan-I, h. 59


(27)

18

hal ini informan adalah para hakim yang menetapkan permohonan pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Rangkasbitung.

c. Metode Deskriptif

Metode deskriptif ini digunakan untuk memecahkan serta menjawab persoalan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang, dilakukan dengan menempuh langkah-langkah pengumpulan, klasifikasi, analisa data, memuat kesimpulan dan laporan, dengan tujuan membuat penggambaran tentang suatu keadaan secara obyektif dalam deskripsi situasi untuk dibahasakan secara rinci.

d. Metode Deduksi

Metode ini merupakan akar pembahasan yang berangkat dari realitas yang bersifat umum kepada sebuah pemaknaan yang bersifat khusus.15 Metode ini digunakan untuk menguraikan suatu hipotesis atau

asumsi yang bersifat umum kemudian digeneralisasikan pada asumsi baru atau antitesis yang bersifat khusus.

e. Metode Induksi

Metode ini merupakan alur pembahasan yang berangkat dari realita-realita yang bersifat khusus atau peristiwa-peristiwa yang konkret kemudian dari realita- realita yang konkret itu ditarik secara general yang bersifat umum. Berpikir induktif, adalah berpikir yang berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa yang bersifat khusus dan kongkrit, kemudian ditarik pada generalisasi yang bersifat umum (general interpretatif).

15


(28)

19

Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan standar acuan BUKU PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

E.Study Review Terdahulu

Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis telah menemukan beberapa skripsi yang membahas tentang Harta Bersama. Berikut skripsi yang penulis temukan:

1. Persepsi Aktivitas Gender Indonesia Terhadap Sistem Pembagian Harta Waris Dalam Hukum Islam. Maulana Hamzah (NIM : 106044101371). Berisikan tentang Pengertian Persepsi dan Pengertian Gender.

2. Penyelesaian Perceraian dan Harta Bersama (Studi Kasus Pengadilan Agama Jakarta Selatan). Ibnu Tamim (NIM : 207044100853). Berisikan tentang Kedudukan Harta Bersama Akibat Perceraian, Penyelesaian Perceraian Bersama Dengan Gugatan Harta Bersama dan Penentuan Statu Harta Bersama Akibat Perceraian.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa keduanya sama-sama membahas tentang pembagian harta bersama yang timbul akibat perceraian. Sedang perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa pada penelitian ini penulis lebih menitikberatkan pada gender, dimana perempuan dan laki-laki memiliki posisi dan kedudukan yang sama dimata hukum.


(29)

20

F. Kerangka Teori

Harta bersama adalah kekayaan yang diperoleh selama masa perkawinan diluar hadiah atau warisan. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 35-37 dikemukakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Masing masing suami istri berhak terhadap harta yang diperoleh masing-masing selama para pihak tidak menentukan lain. Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas persetujuan kedua belah pihak. Dinyatakan pula bahwa suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukum masing-masing.

Menurut pasal 36 ayat 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasa 87 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam bahwa istri memepunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuiatan hukum terhadap harta pribadi masing-masing. Mereka bebas menetukan terhadap harta tersebut tanpa ikut campur suami atau istri untuk menjualnya, dihibahkan atau mnegagunkan.16

Pembagian harta bersama merupakan perkara yang muncul sebagai akibat dari perceraian dalam persoalan ini para hakim pada dasarnya menggunakan ketentuan KHI, dimana harta yang diperoleh dalam ikatan perkawinan harus dibagi ketika pernikahan putus, baik karena perceraian

16

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 104-105


(30)

21

maupun salah satu pihak meninggal dunia. Persoalannya, seberapa besar bagian untuk kedua pihak yang dianggap adil, hakim tak selalu punya pandangan yang sama. Meskipun hukum materil seperti KHI sudah memberikan aturan yang berspektif kesetaraaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, dalam pelaksanaanya kerap muncul penafsiran yang berbeda. Jika mengacu kepada KHI, perempuan mendapat setengah dari harta yang diperoleh selama berumah tangga, walaupun ia tidak bekerja di wilayah publik yang mengasilkan uang. Namun bukan tidak mungkin bila ada hakim yang menerapkan dua banding satu, dengan asumsi lelaki bekerja lebih banyak sehingga hasilnya pun lebih banyak. Dengan perhitungan seperti itu, satu bagian bagi istri sudah dianggap merupakan penghargaan atas jerih payahnya mengelola rumah tangga. Anggapan semacam ini tidak jarang dicarikan justifikasinya dengan mengacu kepada konsep pembagian waris sebagaimana diatur dalam Al-Qur‟an.17

Kadang kala istri bekerja diluar rumah sebagai pencari nafkah (bahkan sebagai pencari nafkah utama) dan jug dibebani dengan pekerjaan rumah tangga sepulangnya ke rumah. Kebanyakan suami yang merasa pekerjaan rumah tangga adalah urusan istri saja, umumnya enggan melakukan pekerjaan rumah tangga meski istrinya sejak pagi bekerja diluar rumah.

Dengan demikian, adalah hal yang tidak adil bagi perempuan jika aturan pembagian harta bersama hanya terbatas pada pembagian separoh dari harta bersama karena tidak sedikit istri yang berkontribusi lebih besar dari pada

17

Arskal Salim, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan, (Jakarta: Puskumham UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 72-73


(31)

22

suami. Ketentuan pembagian harta bersama sebaiknya diatur secara profesiaonal dan adil sesuai dengan kontribusi dan peran masing-masing.

G.Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima (5) bab, dimana masing-masing bab berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut;

Bab I, pendahuluan, meliputi pembahasan tentang: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, study review terdahulu, kerangka teori, dan sistematika penulisan.

Bab II, harta bersama, meliputi pembahasan tentang: pengertian harta bersama, dasar hukum harta bersama, pengertian gender dan gender menurut Hukum Islam.

Bab III, pembagian harta bersama, meliputi pembahasan tentang: pembagian harta bersama menurut Undang-Undang, pembagian harta bersama menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan pembagian harta bersama ditinjau dari perspektif gender.

Bab IV, harta bersama menurut hukum Islam, regulasi undang-undang dan gender, meliputi pembahasan tentang: harta bersama menurut Hukum Islam, harta bersama menurut regulasi undang-undang dan harta bersama menurut gender.

Bab V, penutup, meliputi pembahasan tentang kesimpulan dan saran-saran.


(32)

23

OUTLINE

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah C.Tujuan dan Manfaat Penelitian D.Metode Penelitian

E. Study Review Terdahulu F. Kerangka Teori

G.Sistematika Penulisan.

BAB II HARTA BERSAMA

A.Pengertian Harta Bersama B.Dasar Hukum Harta Bersama C.Pengertian Persepsi

D.Pengertian Gender.

BAB III PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

A.Pembagian Harta Bersama Menurut Undang-Undang,

B.Pembagian Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

C.Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Perspektif Gender.

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PERKARA NOMOR


(33)

24

A.Posisi Kasus dan Duduk Perkara B.Pertimbangan dan Amar Putusan

C.Analisis Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Perspektif Gender Berdasarkan Putusan Perkara Nomor 278/Pdt. G/2012/PA Rks.

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan B.Saran-saran


(34)

25

PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DITINJAU DARI PERSPEKTIF GENDER

(ANALISIS PUTUSAN PERKARA NOMOR 278/Pdt.G/2012/PA Rks)

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari‟ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh ABDUL KAHFI

1110044100001

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


(35)

26

J A K A R T A 1434 H/2014 M


(36)

23

BAB I I

HARTA BERSAM A DAN GENDER

A. Harta Bersama

1. Pengertian Harta Bersama

Sebelum sampai kepada pembicaraan harta benda perkawinan, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu arti perkawinan itu sendiri. Karena pengertian perkawinan dalam tatanan hukum mempunyai akibat langsung terhadap harta benda dalam perkawinan. Pasal 1 Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa: “perkawinan adalah ikatan lahir

batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Kompilasi hukum Islam di indonesia menyatakan: “perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupkan ibadah”.1

Perkawinan yang seperti dijelaskan di atas mempunyai tujuan untuk memperoleh keturunan, mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah, juga untuk dapat bersama-sama hidup pada suatu masyarakat dalam satu perikatan kekeluargaan. Guna keperluan hidup bersama-sama inilah dibutuhkan suatu kekayaan duniawi yang dapat dipergunakan oleh suami istri untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka

1

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 114


(37)

24

sehari-harinya. Kekayaan duniawi inilah yang disebut “harta perkawinan”,

“harta keluarga” ataupun “harta bersama”.2

Harta bersama merupakan salah satu macam dari sekian banyak harta yang dimiliki seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari harta mempunyai arti penting bagi seseorang karena dengan memiliki harta dia dapat memenuhi kebutuhan hidup secara wajar dan memperoleh status sosial yang baik dalam masyarakat. Arti penting tersebut tidak hanya dalam segi kegunaan (aspek ekonomi) melainkan juga dari segi keteraturannya, tetapi secara hukum orang mungkin belum banyak memahami aturan hukum yang mengatur tentang harta, apalagi harta yang didapat oleh suami istri dalam perkawinan.

Ketidakpahaman mengenai ketentuan hukum yang mengatur tentang harta bersama dapat menyulitkan untuk memfungsikan harta bersama tersebut secara benar. Oleh karena itu, terlebih dahulu dikemukakan beberapa pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan harta bersama.

Secara bahasa, harta bersama adalah dua kata yang terdiri dari kata

harta dan bersama. Menurut kamus besar bahasa Indonesia “harta dapat

berarti barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan dan dapat berarti kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai. Harta bersama berarti harta yang dipergunakan (dimanfaatkan) bersama-sama”.3

2

Soerodjo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 2005), h. 149

3

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemmen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, (Jakarta: Balai pustaka, 2005), h. 342


(38)

25

Sayuti Thalib dalam bukunya hukum kekeluargaan di Indonesia

mengatakan bahwa : “harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan diluar hadiah atau warisan”.4

Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa perkawinan. Pengertian tersebut sejalan dengan Bab VII tentang harta benda dalam perkawinan pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut:

a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama.

b. Harta bawaan dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Mengenai hal ini Kompilasi Hukum Islam memberikan gambaran jelas tentang harta bersama, yang dijelaskan dalam pasal 1 huruf f : “Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa

mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”.

Menurut Abdul Manan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.5

4

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta:UI Press, 2002), h. 56 5

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencan, 2006), h. 108-109


(39)

26

Dalam yurisprudensi peradilan agama juga dijelaskan bahwa harta bersama yaitu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam kaitan dengan hukum perkawinan, baik penerimaan itu lewat perantara istri maupun lewat perntara suami. Harta ini diperoleh sebagai hasil karya-karya dari suami istri dalam kaitannya dengan perkawinan.6

Menurut hukum adat bahwa harta benda perkawinan itu adalah harta benda yang dimiliki suami istri dalam ikatan perkawinan, baik yang diperoleh sebelum perkawinan berlangsung (harta gawan/ harta bawaan) maupun harta benda yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, yang hasil kerja masing-masing suami istri ataupun harta benda yang didapat dari pemberian /hibah atau hadiah serta warisan. Jadi suatu asas yang sangat umum berlakunya hukum adat di Indonesia adalah bahwa mengenai harta kerabatnya sendiri yang berasal dari hibah atau warisan, maka harta itu tetap menjadi miliknya salah satu suami atau istri yang kerabatnya menghibahkan atau mewariskan harta itu kepadanya.

Memperhatikan beberapa pendapat dan analisis di atas bahwa harta bersama adalah harta yang didapat atau diperoleh selama perkawinan. Masalahnya adalah apakah semua harta yang didapat atau diperoleh selama perkawinan dinamakan harta bersama ? Harta tersebut akan menjadi harta bersama jika tidak ada perjanjian mengenai status harta tersebut sebelum ada pada saat dilangsungkan perkawinan, kecuali harta yang didapat itu diperoleh dari hadiah atau warisan, atau bawaan dari masing-masing suami

6

Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan


(40)

27

istri yang dimiliki sebelum dilangsungkan perkawinana sebagaimana dijelaskan di atas seperti yang tercantum pada pasal 35 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

2. Historis Harta Bersama

Yahya Harahap menjelaskan, bahwa jika ditinjau sejarah terbentuknya harta bersama, telah terjadi perkembangan hukum adat terhadap harta bersama didasarkan pada syarat ikutsertanya istri secara fisik dalam membantu pekerjaan suami. Jika istri tidak ikut secara fisik dan membantu suami dalam mencari harta benda, maka hukum adat lama menganggap tidak pernah terbentuk harta bersama dalam perkawinan. Dalam perjalanan sejarah lebih lanjut, pendapat tersebut mendapat kritik keras dari berbagai kalangan ahli hukum sejalan dengan berkembangnya pandangan emansipasi wanita dan arus globalisasi di segala bidang. Menanggapi kritik tersebut, terjadilah pergeseran konsepsi nilai-nilai hukum baru, klimaksnya pada tahun 1950 mulai lahirlah produk pengadilan yang mengesampingkan syarat istri harus aktif secara fisik mewujudkan harta bersama. Syarat tersebut diubah dengan nilai baru seperti yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 51 K/SIP./1956 tanggal 7 November 1956.7

Keberadaan harta bersama dalam perkawinan semata-mata ditujukan untuk memenuhi kebutuhan suami dan istri secara bersama-sama beserta anak-anak mereka, sehingga penggunaan harta bersama harus atas

7

Yahya Harahap, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi, (Bandung; Citra Aditya Bakti, 2003), h. 194


(41)

28

persetujuan bersama suami dan istri, tidak boleh dikuasai secara sepihak dan semena-mena. Oleh karena itu, apabila ada persangkaan atau terindikasi adanya tindakan penyalahgunaan oleh salah satu pihak di antara suami atau istri, dengan memindahtangankan kepada pihak lain, memboroskan atau menggelapkan atas harta bersama tersebut, maka undang-undang memberikan jaminan agar keutuhan harta bersama dalam perkawinan itu

tetap terlindungi dan terjaga melalui upaya “penyitaan” atas permohonan

yang diajukan pihak suami atau istri serta pihak yang berkepentingan kepada pengadilan.

Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 mendefinisikan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Ini berarti bahwa terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak tanggal terjadinya perkawinan sampai perkawinan tersebut putus karena perceraian atau karena mati. Berbeda dengan harta bawaan masing-masing suami atau isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yang disebut dengan harta pribadi yang sepenuhnya berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.8

Di dalam pasal 35 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maupun dalam pasal 86 ayat 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1985 maupun pasal 85 KHI, terhadap harta suami istri yang berada dalam masa ikatan perkawinan telah diberi nama “Harta bersama”. Dalam masyarakat Aceh dikenal dengan “Harta seharkat”. Dalam masyarakat Melayu dikenal dengan

8

Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam, (Bandung: CV Mandar Maju, 2001), h. 33


(42)

29

nama ”Hartaserikat”. Dan dalam masyarakat Jawa-Madura dikenal dengan

“Harta gono-gini”. Sampai sekarang penggunaan nama-nama tersebut masih mewarnai praktek peradilan.9

Sejak perkawinan dimulai, dengan sendirinya terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri. Hal ini merupakan ketentuan umum apabila tidak diadakan perjanjian apa-apa. Keadaan demikian berlangsung seterusnya dan tidak dapat diubah lagi selama perkawinan berlangsung. Jika seseorang ingin menyimpang dari ketentuan tersebut maka ia harus melakukan perjanjian perkawinan.10Hal ini senada

dengan apa yang diungkapkan Vollmar bahwa akibat-akibat perkawinan terhadap kekayaan dan penghasilan suami-istri tergantung dari ada atau tidak adanya perjanjian perkawinan.11

Tentang harta bersama, suami atau istri dapat bertindak untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama tersebut melalui persetujuan kedua belah pihak. Semua harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama baik harta tersebut diperoleh secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung menjadi harta bersama. Tidak menjadi suatu permasalahan apakah istri atau suami yang

9

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 272

10

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, h. 31 11


(43)

30

membeli, tidak menjadi masalah juga apakah istri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu atau atas nama siapa harta itu harus didaftarkan.12

Dalam hukum perkawinan Islam istri mempunyai hak nafkah yang wajibdipenuhi oleh suami. Harta yang menjadi hak istri dalam perkawinan tersebut adalah nafkah yang diperoleh dari suami untuk keperluan hidupnya. Namun apabila keperluan rumah tangga diperoleh karena usaha bersama antara suami istri, maka dengan sendirinya harta tersebut menjadi harta bersama. Besar atau kecilnya harta yang menjadi bagian masing-masing tergantung pada banyak atau sedikitnya usaha yang mereka lakukan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Apabila usahanya sama-sama besar maka harta yang dimiliki dari perolehan tersebut seimbang. Akan tetapi apabila suami lebih besar usahanya daripada istri maka hak suami harus lebih besar daripada istri, begitu juga sebaliknya. Disamping berlakunya ketentuan umum di atas dapat pula dimungkinkan adanya percampuran harta kekayaan yang diperoleh suami istri dalam bentuk suatu perjanjian atas usaha suami istri dengan cara suami dandengan cara bersama.13

B. Dasar Hukum Harta Bersama

Pada dasarnya tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara suami dan istri. Konsep harta bersama pada awalnya berasal dari adatistiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini

12

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 109 13


(44)

31

kemudian didukung oleh Hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di negara kita.14

Dasar hukum tentang harta bersama dapat ditelusuri melalui Undang-Undang dan peraturan berikut:

1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 35 ayat (1),

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah “Harta

benda yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta bersama.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 119, disebutkan bahwa “Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu

persetujuan antara suami istri”

3. Kompilasi Hukum Islam pasal 85, disebutkan bahwa “Adanya harta bersama di dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri”. Di dalam pasal ini disebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami-istri.

Hukum Islam mengakui adanya harta yang merupakan hak milik bagi setiap orang, baik mengenai pengurusan dan penggunaannya maupun untuk

14

Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian. Cet. 2. (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008). h. 8


(45)

32

melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas harta tersebut sepanjang tidak

bertentangan dengan syari‟at Islam. Disamping itu juga diberi kemungkinan

adanya suatu serikat kerja antara suami istri dalam mencari harta kekayaan. Oleh karenanya apabila terjadi perceraian antara suami istri, harta kekayaan tersebut dibagi menurut Hukum Islam dengan kaidah hukum “Tidak ada

kemudharatan dan tidak boleh memudharatkan”. Dari kaidah hukum ini jalan

terbaik untuk menyelesaikan harta bersama adalah dengan membagi harta tersebut secara adil.15

Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, masalah harta bersama hanya diatur secara singkat dan umum dalam Bab VII terdiri dari pasal 35 sampai pasal 37. Kemudian diperjelas oleh Kompilasi Hukum Islam dalam Bab XIII mulai dari pasal 85 sampai pasal 97.

Dalam Al-Quran dan Sunnah serta berbagai kitab-kitab hukum fiqih, harta bersama tidak diatur dan tidak ada pembahasannya. Seolah-olah harta

bersama kosong dan vakum dalam Hukum Islam. Ayat “lirrijaali” sangatlah

bersifat umum dan bukan menjadi acuan bagi suami istri saja melainkan untuk semua pria dan wanita. Jika mereka berusaha dalam kehidupannya sehari-hari, maka hasil usaha mereka merupakan harta pribadi dan dikuasai oleh pribadi masing-masing.16 Ayat tersebut menjelaskan adanya persamaan antara kaum

pria dan wanita.

15

Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam, (Bandung: CV Mandar Maju, 2001), h. 34

16

Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan Hukum Adat dan Hukum Agama. h. 127


(46)

33

Kaum wanita disyariatkan untuk mendapat mata pencaharian sebagaimana kaum pria. Keduanya dibimbing kepada karunia dan kebaikan yang berupa harta dengan jalan beramal dan tidak merasa iri hati.17 Akan tetapi

sebaliknya, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Islam di Indonesia, sejak dari dulu hukum adat mengenal adanya harta bersama dan diterapkan terus-menerus sebagai hukum yang hidup. Dari hasil pengamatan, lembaga harta bersama lebih besar mas{ahatnya daripada mudharatnya. Maka atas dasar

metodologi Istishlah, „urf serta kaidah al-‟adatu al-muhakkamah, Kompilasi Hukum Islam melakukan pendekatan kompromistis terhadap hukum adat.18

„Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah

menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatan, atau dalam meninggalkan sesuatu. „Urf juga disebut dengan adat. „Urf yang sifatnya baik harus dipelihara sebagai pembentukan hukum dalam lembaga peradilan. Maka

dari itu ulama berkata “adat itu adalah syari‟at yang dikukuhkan sebagai hukum” atau lebih dikenal dengan istilah al-‟adatu al-muhakkamah. Semua ulama maz|hab mendasarkan hukumnya kepada kebiasaan penduduk dimana

ulama madzhab itu tinggal. Sebagai salah satu contoh dalam madzhab Syafi‟i

terdapat dua madzhab, madzhab qadim dan madzhab jadid. Hal tersebut dikarenakan ketika imam al-Syafi‟i membukukan madzhab qadim beliau tinggal di Irak, namun ketika membukukan madzhab jadid beliau telah pindah

17

M Syaltut, Tafsir al-Quran Karim, jilid. 2, h. 335 18

Mahfud MD, Peradilan Agama dan KHI Dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2003), h. 88


(47)

34

ke Mesir dimana kedua kota tersebut memiliki dua kebiasaan atau adat yang berbeda.19

„Urf menurut penelitian adalah bukan merupakan dalil syara‟ yang berdiri sendiri. Pada dasarnya „urf berfungsi untuk memelihara maslahah sebagaimana maslahah dipelihara dalam pembentukan hukum. Terkadang „urf

dipakai juga dalam membuat penafsiran terhadap suatu nash, oleh karena itu maka dikhususkanlah kata-kata yang sifatnya umum dan dibatasi dengan

mutlak. Bahkan terkadang qiyas ditinggalkan lantaran adanya „urf.20

Harta bersama merupakan masalah ijtihadiyyah dan di dalam kitab-kitab fiqih belum ada pembahasannya, begitu pula nash-nya tidak ditemukan dalam Al-Qur‟an dan sunnah. Padahal apa yang terjadi di lingkungan masyarakat Indonesia tentang harta bersama telah lama berkenbang dan berlaku dalam kehidupan kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu adanya ketentuan hukum tentang harta bersama dalam KHI banyak dipengaruhi berbagai faktor yang berkembang dan berlaku dalam masyarakat.

Harta bersama diangkat menjadi Hukum Islam dalam KHI berdasarkan

dalil „urf serta sejalan dengan kaidah al-„adatu al-muhakkamah, yaitu bahwa ketentuan adat bisa dijadikan sebagai hukum yang berlaku dalam hal ini adalah harta bersama, maka haruslah dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Harta bersama tidak bertentangan dengan nash yang ada.

Dalam Al-Qur‟an maupun sunnah tidak ada satupun nash yang melarang atau memperbolehkan harta bersama. Padahal kenyataan yang

19

Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, terjemahan Tolhah Mansoer. h. 135

20


(48)

35

berlaku dalam masyarakat Indonesia adalah bahwa harta bersama telah lama dipraktekkan. Bahkan manfaatnya dapat dirasakan begitu besar dalam kehidupan mereka. Sehingga ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia dalam hal ini KHI menjadikan harta bersama sebagai hukum yang berlaku di Indonesia melalui proses ijtihadiyyah.

2. Harta bersama harus senantiasa berlaku.

Harta bersama haruslah menjadi lembaga yang telah lama berkembang dan senantiasa berlaku dalam kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang mempunyai semboyan Bhineka Tunggal Ika, harta bersama merupakan lembaga yang penerapannya hampir berlaku di seluruh Indonesia. Tidak hanya pada zaman yang lalu, akan tetapi harta bersama tetap ditaati dan terpelihara penerapannya hingga saat ini. 3. Harta bersama merupakan adat yang sifatnya berlaku umum.

Hal ini dapat dilihat dari penerapan harta bersama yang berlaku hampir menyeluruh dan menjadi suatu kebiasaan di Indonesia, sekalipun dalam penyebutannya di setiap adat mempunyai penyebutan yang berbeda-beda.21

Ahmad Zaki Yamani mengisyaratkan bahwa syari‟at adalah mahluk

atau lembaga yang tumbuh dan berkembang dari kebutuhan masyarakat dengan berbagai lingkungan. Mahluk atau lembaga itu terkadang berwujud sempurna dan siap menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat,

21


(1)

1. Jika pihak Penggugat menginginkan perceraian dan bersedia menyediakan dan memberikan uang sebesar Rp 20.000.000,- kepada pihak Tergugat, maka Tergugat akan memenuhi permintaan perceraian yang diajukan oleh pihak Penggugat;

2. Tetapi jika pihak Penggugat tidak bersedia memberikan sejumlah uang yang ditentukan oleh pihak Tergugat, maka pihak Tergugat tidak akan memberikan atau tidak akan menjatuhkan thalak kepada pihak Penggugat sampai pihak Penggugat bersedia menyediakan dan memberikan sejumlah uang yang ditentukan;

3. Tentang pembagian dari hasil kerja Penggugat dari Saudi Arabia ½ untuk Penggugat dan ½ lagi untuk Tergugat, karena Penggugat masih istri sah dari Tergugat;

Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini segala sesuatunya yang terjadi selama dalam persidangan telah ditunjuk dalam Berita Acara perkara ini;

TENTANG PERTIMBANGAN HUKUMNYA DALAM KONVENSI :

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan dari gugatan Penggugat sebagaimana tersebut di atas;

Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berupaya mendamaikan dengan sungguh-sungguh baik melalui nasihat maupun mediasi dengan mediator Hakim dari Pengadilan Agama Rangkasbitung yakni Ulfah Fahmiyati, namun tidak berhasil;

Menimbang, bahwa kemudian dibacakan surat gugatan Penggugat yang isinya tetap dipertahankan oleh Penggugat;

Menimbang, bahwa berdasarkan putusan Sela tanggal 08 Februari 2012 Nomor : 278/Pdt.G/2012/PA.Rks. yang amarnya berbunyi :

Sebelum memutus pokok perkara :

5. Menyatakan bahwa perkara tersebut merupakan perkara syiqaq;

6. Mengangkat yang namanya tersebut di bawah ini sebagai hakam dari pihak keluarga Penggugat dan hakam dari pihak keluarga Tergugat;

6.a. Marsid bin Mirsad; 6.b. Aris bin Tasmin; 6.c. Nawawi bin Sueb; 6.d. H. Sanan bin Madhasan 6.e. H. Abas bin Arifin;

6.f. H. Tajudin bin H. Muhamad;

7. Menugaskan kepada para hakam pada diktum 2 (dua) tersebut di atas agar berusaha merukunkan Penggugat dan Tergugat dalam membina kembali rumah tangga dengan baik, serta hasilnya dilaporkan dalam sidang Pengadilan Agama Rangkasbitung pada tanggal 15 Februari 2012;

8. Menangguhkan Putusan tentang biaya perkara hingga putusan akhir;

Menimbang, bahwa pada persidangan para Hakam yang telah ditunjuk hadir di persidangan dan menyampaikan laporan secara lisan di depan persidangan tanggal 15 Februari 2012 yang pada pokoknya para Hakam sudah berkali-kali melakukan pendekatan khususnya terhadap Penggugat agar bersedia rukun dan kembali membina rumah tangga tetapi hasilnya gagal karena Penggugat bersikeras atas gugatannya. Kemudian para hakam menyatakan sudah tidak sanggup lagi untuk menyatukan antara Penggugat dan Tergugat;

Menimbang, bahwa pokok sengketa perkara ini adalah Penggugat menuntut cerai dari Tergugat dengan alasan sejak bulan Januari 2012 kehidupan rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat mulai tidak harmonis dengan adanya perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dengan Tergugat yang terus menerus dalam rumah tangga yang sulit untuk dirukunkan lagi yang disebabkan antara lain :

Tergugat tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari, Tergugat selalu egois, Tergugat tidak memberi nafkah baik lahir maupun batin lebih kurang 1 tahun serta puncak keretakan hubungan rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat tersebut terjadi lebih kurang pada bulan Januari 2012, yang akibatnya antara Penggugat dengan Tergugat telah pisah rumah, Penggugat ikut dengan orangtua di Kampung Rejeg Maja, sedangkan Tergugat ikut dengan orangtua Tergugat di Kampung Sanding Sajira;

Menimbang, bahwa dari jawaban Tergugat, Tergugat menolak dalil gugatan Penggugat angka 4, 5 dan 6. Menurut Tergugat tidak ada perselisihan dan pertengkaran sejak bulan Januari 2012, karena Penggugat sejak tahun 2007 sampai tahun 2010 pergi bekerja sebagai tebaga kerja wanita (TKW) di Saudi Arabia, tahun 2012 Penggugat berada di Saudi Arabia, jadi tidak pisah


(2)

rumah serta Penggugat dan Tergugat tidak pisah rumah dan tidak pulang ke rumah orangtua masing-masing, juga tidak ada musyawarah keluarga karena Penggugat langsung melaporkan ke Pengadilan Agama;

Menimbang, bahwa meskipun demikian, namun kedua belah pihak saling mengakui bahwa sejak Penggugat pulang dari Saudi Arabia tahun 2010 sampai sekarang lebih kurang selama 2 (dua) tahun, antara Penggugat dengan Tergugat tidak pernah tinggal satu rumah sampai sekarang, Penggugat tinggal di rumah orangtua Penggugat, sedangkan Tergugat tinggal di rumah orangtua Tergugat;

Menimbang, bahwa untuk memperkuat dalil-dalil gugatannya, di persidangan Penggugat telah mengajukan bukti-bukti tertulis sebagaimana bukti P.1 sampai P.3, demikian juga Tergugat telah mengajukan bukti tertulis sebagaimana bukti T.1 sampai T.5, bukti-bukti mana oleh majelis dapat diterima dan majelis akan mempertimbangkannya;

Menimbang, bahwa dari bukti P.1 yang merupakan bukti autentik telah dapat dibuktikan bahwa Penggugat berdomisili di wilayah Kabupaten Lebak, sehingga Pengadilan Agama Rangkasbitung menyatakan berwenang memeriksa dan mengadili perkara a quo (vide Pasal 73 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan undang Nomor 3 tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2011);

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.2 dan T.1 yang merupakan bukti autentik, telah dapat dibuktikan bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah terjalin suatu ikatan perkawinan yang sah hingga saat ini menurut Hukum Islam dan perundang-undangan yang berlaku, sehingga telah mempunyai alas hak bagi adanya perceraian;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.3 dan T.3 yang bukan merupakan bukti autentik karena tidak diperlihatkan aslinya, berupa Rekening Bank Mandiri Nama tidak jelas dan Nomor Rekening tidak jelas yang dikeluarkan oleh Kepala Bank Mandiri (Persero) Tbk Cabang Jakarta Wisma Baja tahun 2007, serta fotokopi sertifikat kompetensi atas nama Penggugat yang dikeluarkan oleh Lembaga sertifikasi kompetensi tanggal 21 November 2007;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti T.2 dan T.4 yang bukan merupakan bukti autentik karena tidak diperlihatkan aslinya, berupa Paspor dan visa atas nama Penggugat;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti T.5 yang bukan merupakan bukti autentik karena tidak diperlihatkan aslinya, berupa perjanjian kerja antara pengguna jasa tenaga kerja dengan tenaga kerja sektor rumah tangga atas nama Abdulrahman Ali Hasan dengan Penggugat yang disahkan oleh Direktur Utama Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah;

Menimbang, bahwa untuk memenuhi ketentuan Pasal 278 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Majelis Hakim telah mendapat keterangan keluarga dari kedua belah pihak yang membenarkan dalil-dalil gugatan Penggugat bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah mulai tidak harmonis dan telah terjadi pisah rumah selama 1 tahun lebih serta beberapa kali diupayakan untuk rukun namun tidak berhasil;

Menimbang, bahwa yang dimaksudkan perselisihan dalam rumah tangga tidaklah identik dengan pertengkaran mulut, rumah tangga dapat dinyatakan telah terjadi perselisihan jika hubungan antara pasangan suami istri sudah tidak lagi selaras, tidak saling percaya dan saling melindungi, dengan ditemukannya fakta antara Penggugat dengan Tergugat telah pisah rumah sejak Penggugat pulang dari Saudi Arabia tahun 2010 sampai sekarang lebih kurang selama 2 (dua) tahun, menunjukkan bahwa antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak lagi saling percaya dan saling pengertian dan sudah tidak ada lagi komunikasi suami istri yang harmonis yang merupakan bagian dari gejala perselisihan dalam rumah tangga;

Menimbang, bahwa berdasarkan dalil Penggugat terutama dalam hal adanya perselisihan dalam rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat dan halhal yang menyebabkan perselisihan itu terjadi yang diperkuat dengan keterangan saksi-saksi yang pada intinya menjelaskan antara Penggugat dengan Tergugat telah terjadi perselisihan dalam rumah tangga dan pihak keluarga telah cukup mendamaikan kedua belah pihak berperkara, sementara Majelis juga telah berupaya menasihati Penggugat dan Tergugat agar tetap rukun namun Penggugat tetap bersikeras ingin bercerai dengan Tergugat yang menunjukkan bahwa Penggugat sudah tidak lagi berkeinginan berumah tangga dengan Tergugat, maka Majelis dapat menarik suatu kesimpulan yang merupakan fakta adalah bahwa antara Penggugat dengan Tergugat telah terjadi perselisihan dalam rumah tangga yang sulit untuk dirukunkan lagi;

Menimbang, bahwa mengenai keinginan Tergugat untuk tetap mempertahankan rumah tangganya dengan Penggugat majelis hakim menilai tidak cukupalasan karena majelis hakim telah berupaya memberi kesempatan kepada Penggugat dengan Tergugat untuk berdamai namun ternyata tidak berhasil, sementara dalam perceraian ini tidak dilihat dari pihak mana yang salah


(3)

atau yang menyebabkan percekcokan, namun dilihat dari perkawinannya itu sendiri apakah masih dapat dipertahankan atau tidak, karena jika hati sudah pecah maka perkawinan itu sendiri sudah pecah dan tidak mungkin dapat untuk dipertahankan lagi meskipun salah satu pihak menginginkan agar perkawiann tetap utuh sebagaimana putusan Mahkamah Agung (Yurisprudensi) Nomor 534/Pdt/1996 tanggal 18 Juni 1996;

Menimbang, bahwa dengan adanya fakta-fakta tersebut menjadi bukti bahwa rumah tangga Penggugat dengan Tergugat telah pecah, dan sendi-sendi rumah tangga telah rapuh dan sulit untuk ditegakkan kembali yang dapat dinyatakan bahwa rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat telah rusak (broken marriage) sehingga telah terdapat alasan untuk bercerai sebagaimana dimaksud Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 sejalan dengan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam;

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan hukum Islam yang tersirat dalam surat Ar-Rum ayat 21 dan juga ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah dan jika Penggugat dan Tergugat selaku pasangan suami istri telah ternyata sudah tidak lagi timbul sikap saling mencintai, saling pengertian dan saling melindungi dan bahkan Penggugat tetap sudah tidak lagi berkeinginan untuk meneruskan rumah tangganya dengan Tergugat, maka agar kedua belah pihak berperkara tidak lagi lebih jauh melanggar norma agama dan norma hukum maka perceraian dapat dijadikan salah satu alternatif untuk menyelesaikan sengketa rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat dan telah sesuai pula dengan Doktrin Ulama dalam Kitab Al-Muhadzdzab juz II halaman 81 :

Artinya : “Diwaktu istri telah memuncak kebenciannya terhadap suaminya disitulah Hakim diperkenankan menjatuhkan thalaknya suami“

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka gugatan Penggugat telah terbukti kebenarannya sehingga dengan demikian Majelis Hakim patut untuk mengabulkan untuk menceraikan perkawinan Penggugat dengan Tergugat yaitu dengan menjatuhkan talak satu bain sughro Tergugat terhadap Penggugat;

Menimbang, bahwa untuk memenuhi ketentuan Pasal 84 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2011, maka Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Rangkasbitung untuk mengirimkan salinan putusan ini kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama yang mewilayahi tempat tinggal Penggugat dan Tergugat dan/atau kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama dimana pernikahan dilangsungkan untuk dicatat di dalam daftar yang disediakan untuk itu; Menimbang, bahwa perkara ini termasuk bidang perkawinan, sesuai Pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2011, maka biaya perkara dibebankan kepada Penggugat; Mengingat, bunyi pasal-pasal dari peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, serta dalil syar'i yang berkenaan dengan perkara ini;

DALAM REKONVENSI

Menimbang, bahwa segala pertimbangan yang telah termuat dalam konvensi dianggap termuat kembali sebagai bagian yang tak terpisahkan dari gugatan Rekonvensi ini;

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat Rekonvensi/Tergugat konvensi adalah Penggugat Rekonvensi/Tergugat konvensi menggugat harta bersama selama dalam perkawinan yaitu tentang pembagian dari hasil kerja Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi dari Saudi Arabia, ½ untuk Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi dan ½ lagi untuk Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi, karena Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi masih istri sah dari Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi;

Menimbang, bahwa Tergugat Rekonvensi/Penggugat konvensi mengajukan jawaban yang pada pokoknya sepakat harta bersama dibagi dua;

Menimbang, bahwa Penggugat Rekonvensi/Tergugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi/Penggugat konvensi tidak sepakat mengenai jumlah hasil kerja Tergugat Rekonvensi/Penggugat konvensi dari Saudi Arabia. Menurut Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi jumlahnya Rp 72.000.000,- berdasarkan perjanjian awal dengan PT 800 real perbulan sama dengan Rp 2.000.000,- perbulan selama 3 tahun, jadi Rp 2.000.000,- x 36 bulan = Rp


(4)

72.000.000,-, sedangkan menurut Tergugat Rekonvensi/Penggugat konvensi Rp 4.000.000,- juta yang dikirim kepada orangtua Penggugat sebesar Rp 3.000.000,-;

Menimbang, bahwa menurut Tergugat Rekonvensi/Penggugat konvensi, Tergugat Rekonvensi/Penggugat konvensi sudah bekerja selama 1 tahun di Saudi Arabia, kemudian dituduh mencuri oleh majikan, kemudian Tergugat Rekonvensi/Penggugat konvensi minta pulang, akan tetapi tidak boleh, Tergugat Rekonvensi/Penggugat konvensi meminta gaji, akan tetapi tidak dikasih malahan dipukul. Kata majikan, Tergugat Rekonvensi/Penggugat konvensi baru boleh pulang dengan satu syarat harus mengembalikan emas 20 gram yang dituduhkan kepada Tergugat Rekonvensi/Penggugat konvensi. Perhitungan Penggugat Rekonvensi/ Tergugat konvensi selama 36 bulan Penggugat di Saudi Arabia benar, pada kenyataannnya Tergugat Rekonvensi/Penggugat konvensi hanya menerima gaji selama 2 bulan, perbulannya Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) itu juga Tergugat Rekonvensi/Penggugat konvensi sering meminta ke majikan, akan tetapi selalu ditunda-tunda, setelah habis masa kontrak, Penggugat membuat surat pernyataan dengan majikan di KBRI di Saudi Arabia, yang isinya bahwa gaji Tergugat Rekonvensi/Penggugat konvensi yang 34 bulan akan dibayar melalui transfer, pada akhirnya setelah Tergugat Rekonvensi/Penggugat konvensi pulang ke Indonesia, Tergugat Rekonvensi/Penggugat konvensi menunggu-nunggu kiriman dari majikan, namun kenyataannya tidak ada (nihil), mungkin gaji yang 34 bulan itu untuk ganti rugi emas 20 gram yang hilang dicuri yang dituduhkan kepada Tergugat Rekonvensi/Penggugat konvensi. Mengenai surat pernyataan tersebut tidak diberikan kepada Tergugat Rekonvensi/Penggugat konvensi, akan tetapi dipegang oleh majikan;

Menimbang, bahwa dari keterangan para saksi baik dari Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi maupun para saksi dari Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi, bahwa Penggugat hanya mendapat gaji Rp 2.000.000,- sebanyak 2 kali, jumlah Rp 4.000.000,- yang dikirim ke orangtua Penggugat Rp 3.000.000,-, walaupun Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi tetap menuntut Rp 72.000.000,-, akan tetapi Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi tidak dapat melengkapi dengan bukti surat dan minimal 2 orang saksi yang khusus menjelaskan untuk itu, para saksi hanya menjelaskan jumlah Rp 72.000.000,- tersebut berdasarkan kontrak kerja pada awal sebelum keberangkatan Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi ke Saudi Arabia serta bukti surat berupa rekening atas nama Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi di Bank Mandiri ternyata kosong, walaupun sudah dicek ke Bank Mandiri Cabang Jakarta Wisma Baja di Jakarta, maka dengan demikian terbukti bahwa harta bersama Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi dengan Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi dari hasil kerja Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi di Saudi Arabia adalah Rp 4.000.000,-, selanjutnya majelis hakim patut untuk menetapkan bahwa harta bersama antara Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi dengan Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi selama di Saudi Arabia Rp 4.000.000,- dan patut menetapkan bagian masing-masing dari harta bersama tersebut tersebut ½ bagian untuk Penggugat Rekonvensi/Tergugat konvensi dan ½ bagian untuk Tergugat Rekonvensi/Penggugat konvensi serta menghukum Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi untuk menyerahkan harta bersama tersebut kepada Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi sesuai bagiannya;

Menimbang bahwa mengenai gugatan Rekonvensi mengenai uang yang dipakai sebelum Penggugat berangkat ke saudi, menurut Penggugat gratis, sedangkan menurut Tergugat memakai uang dari hasil menjual kerbau milik Tergugat dengan harga Rp 3.500.000,- (tiga juta lima ratus ribu rupiah) ditambah dari hasil lain Rp 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah), jumlah keseluruhan Rp 5.000.000,-;

Menimbang, bahwa atas gugatan Rekonvensi tersebut, Penggugat menyampaikan bantahan bahwa tuduhan Tergugat tidak benar, pemberangkatan ke Saudi Arabia itu dibiayai dari hasil menjual kerbau, padahal yang sebenarnya dari hasil penjualan emas 2 gram, emas tersebut adalah milik Tergugat, itupun tidak cukup untuk membiayai bekal di penampungan, ditambah lagi oleh orangtua Penggugat uang tunai sebesar Rp 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) yang digunakan untuk makan dan jajan Penggugat, sebab keberangkatan ke Saudi Arabia sudah dibiayai PJTKI (gratis).

Menimbang, bahwa mengenai harta bawaan Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi berupa seekor kerbau senilai Rp 3.500.000,- yang dipakai biaya kepergian Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi ke Saudi Arabia, gugatan tersebut dikuatkan oleh keterangan 2 (dua) orang saksi yang menjelaskan bahwa benar Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi menjual seekor kerbau milik Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi sebelum menikah dengan Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi, akan tetapi pemberian seekor kerbau senilai Rp 3.500.000,- tersebut menurut majelis adalah pemberian sebagai perwujudan tanggung jawab


(5)

dan kasih sayang seorang suami yaitu Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi kepada istrinya yaitu Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi, oleh karena itu gugatan tersebut patut untuk ditolak;

Menimbang, bahwa mengenai hasil lain sebesar Rp 1.500.000,- untuk tambahan biaya keberangkatan Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi, yang menurut Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi diakui hanya Rp 500.000,- itupun gabungan dari pemberian orangtua Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi dan penjualan emas milik Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi, oleh karena gugatan tersebut tidak didukung oleh bukti surat dan keterangan 2 (dua) orang saksi yang khusus menjelaskan hal tersebut, maka gugatan tersebut patut untuk ditolak;

Menimbang, bahwa pernyataan Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi dalam kesimpulannya bahwa Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi akan memenuhi permintaan perceraian Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi asalkan memberikan uang Rp 20.000.000,- kepada Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi;

Menimbang, bahwa pernyataan Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi dalam kesimpulan tersebut tidak didasarkan alas hukum yang jelas dan tidak didukung oleh bukti surat maupun bukti 2 (dua) orang saksi yang khusus menjelaskan hal tersebut, maka tuntutan tersebut patut untuk ditolak;

Menimbang, bahwa Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi dalam kesimpulannya menuntut kepada Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi untuk memberikan nafkah selama berumah tangga sebesar Rp 50.000,- perhari dengan rincian 365 hari x Rp 50.000,- = Rp 18.250.000,- setiap tahun terhitung sejak pernikahan disahkan;

Menimbang, bahwa tuntutan Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi tersebut tidak dilengkapi dengan bukti surat dan bukti minimal 2 (dua) orang saksi yang khusus menerangkan hal tersebut, maka tuntutan Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi tersebut patut untuk ditolak;

Menimbang, bahwa atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, gugatan Penggugat Rekonvensi/Termohon Konvensi harus dikabulkan sebagian dan ditolak selain dan selebihnya;

DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI

Menimbang, bahwa karena perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, Penggugat konvensi/Tergugat Rekonvensi dibebankan untuk membayar biaya perkara sebagaimana tersebut dalam amar putusan ini;

Mengingat segala peraturan dalam perundang-undangan yang berlaku serta dalil-dalil syar’i yang berkaitan dengan perkara ini;

M E N G A D I L I : DALAM KONVENSI :

1. Mengabulkan gugatan Penggugat;

2. Menjatuhkan talak satu bain sughro Tergugat (TERGUGAT) terhadap Penggugat (PENGGUGAT);

3. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Rangkasbitung untuk mengirimkan salinan putusan ini ke Kantor Urusan Agama di tempat tinggal Penggugat dan Tergugat serta ke Kantor Urusan Agama di tempat dilangsungkan pernikahan Penggugat dan Tergugat untuk dicatat dan didaftar dalam buku yang disediakan untuk itu;

DALAM REKONVENSI :

1. Mengabulkan gugatan Rekonvensi Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi sebagian; 2. Menetapkan bahwa harta bersama antara Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi dan

Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi berupa gaji Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi selama di Saudi Arabia Rp 4.000.000,- (empat juta rupiah);

3. Menetapkan bagian masing-masing dari harta bersama tersebut pada angka 2 tersebut ½ bagian untuk Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi dan ½ bagian untuk Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi;


(6)

4. Menghukum Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi untuk menyerahkan harta bersama tersebut kepada Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi sesuai bagiannya;

5. Menolak selain dan selebihnya;

DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI

Membebankan Penggugat untuk membayar biaya perkara yang hingga kini dihitung sebesar Rp 291.000,- (dua ratus sembilan puluh satu ribu rupiah);

Demikianlah diputus dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Agama Rangkasbitung pada hari Jum’at tanggal 01 Juni 2012 bertepatan dengan tanggal 11 Rajab 1433 H. oleh kami Drs. ABDUL ROSYID, M.H sebagai Ketua Majelis, ULFAH FAHMIYATI, S.Ag., M.H. dan AGUS FAISAL YUSUF, S.Ag. masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan mana oleh Ketua pada hari Rabu tanggal 06 Juni 2012 bertepatan dengan tanggal 15 Rajab 1433 H. Diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, dengan dihadiri oleh Hakim-Hakim Anggota dan dibantu oleh HJ. ISAH, S.Ag. sebagai Panitera Pengganti yang dihadiri oleh Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi dan Tergugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi;

HAKIM KETUA Ttd

Drs. ABDUL ROSYID, M.H

HAKIM ANGGOTA, HAKIM ANGGOTA, ttd ttd

ULFAH FAHIMYATI, S.Ag., M.H. AGUS FAISAL YUSUF, S.Ag.

PANITERA PENGGANTI, Ttd

HJ. ISAH, S.Ag. Perincian biaya perkara :

1. Pendaftaran Rp 30.000,- 2. Biaya panggilan Pemohon Rp 100.000,- 3. Biaya panggilan Termohon Rp 100.000,- 4. ATK Pemberkasan Rp 50.000,-

5. Redaksi Rp 5.000,-

6. Biaya meterai Rp 6.000,-

J u m l a h Rp 291.000,-

Untuk salinan yang sama bunyinya oleh :

PANITERA PENGADILAN AGAMA RANGKASBITUNG,


Dokumen yang terkait

Analisis Terhadap Keabsahan Putusan Perceraian Dan Pembagian Harta Bersama Yang Dikeluarkan Oleh Hakim Dari Negara Lain (Singapura) Terhadap Warga Negara Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003), 2012

5 77 142

Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama Setelah Terjadinya Perceraian Menurut...

1 25 5

Kajian Yuridis Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian (Putusan Mahkamah Agung Nomor : 255 K/Ag/2012)

0 6 10

Pembagian Harta Waris Bagi Penderita Cacat Mental Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif (Analisis Putusan Perkara No. 94/Pdt.P/2008/Pn.Jkt.Sel)

9 103 74

Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) Terhadap Harta Bersama Di Luar Gugatan Perceraian (Analisis Putusan Nomor 549/Pdt.G/2007/Pa.Jp)

1 29 86

Penerapan Asas Contra Legem Dalam Pembagian Harta Bersama (Analisis Putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/Pa.Bbs Di Pengadilan Agama Brebes

2 23 110

Penyelesaian Harta Bersama Dalam Perceraian (Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Perkara No: 126/Pdt.G/2013/PTA.JK)

2 18 0

Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Persepektif Gender (Analisis Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.G/2012/PA Rks)

1 12 0

Analisis Terhadap Keabsahan Putusan Perceraian Dan Pembagian Harta Bersama Yang Dikeluarkan Oleh Hakim Dari Negara Lain (Singapura) Terhadap Warga Negara Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003), 2012

0 0 23

Analisis Terhadap Keabsahan Putusan Perceraian Dan Pembagian Harta Bersama Yang Dikeluarkan Oleh Hakim Dari Negara Lain (Singapura) Terhadap Warga Negara Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003), 2012

0 0 14