Analisis Terhadap Keabsahan Putusan Perceraian Dan Pembagian Harta Bersama Yang Dikeluarkan Oleh Hakim Dari Negara Lain (Singapura) Terhadap Warga Negara Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003), 2012

(1)

ANALISIS TERHADAP KEABSAHAN PUTUSAN PERCERAIAN DAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA YANG DIKELUARKAN OLEH HAKIM DARI NEGARA LAIN (SINGAPURA) TERHADAP WARGA NEGARA INDONESIA (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 612 K/Pdt/2003)

T E S I S

Oleh

YUNITA 107011012/ M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2012

Yunita : Analisis Terhadap Keabsahan Putusan Perceraian Dan Pembagian Harta Bersama Yang Dikeluarkan Oleh Hakim Dari Negara Lain (Singapura) Terhadap Warga Negara Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003), 2012


(2)

ANALISIS TERHADAP KEABSAHAN PUTUSAN PERCERAIAN DAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA YANG DIKELUARKAN OLEH HAKIM DARI NEGARA LAIN (SINGAPURA) TERHADAP WARGA NEGARA INDONESIA (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 612 K/Pdt/2003)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Kenotariatan

Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh YUNITA 107011012/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : ANALISIS TERHADAP KEABSAHAN PUTUSAN PERCERAIAN DAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA YANG DIKELUARKAN OLEH HAKIM DARI NEGARA LAIN (SINGAPURA) TERHADAP WARGA

NEGARA INDONESIA (STUDI PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 612 K/Pdt/2003) Nama Mahasiswa : Yunita

Nomor Pokok : 107011012 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum) Ketua

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum) (Dr.T.Keizerina Devi Azwar, SH, CN,MHum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 16 Juni 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum 2. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn


(5)

SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : YUNITA

NIM : 107011012

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul Tesis : ANALISIS TERHADAP KEABSAHAN PUTUSAN

PERCERAIAN DAN PEMBAGIAN HARTA

BERSAMA YANG DIKELUARKAN OLEH HAKIM DARI NEGARA LAIN (SINGAPURA) TERHADAP WARGA NEGARA INDONESIA

(STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 612 K/Pdt/2003) Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila di kemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan, Juni 2012

Nama : YUNITA Nim : 107011012


(6)

ABSTRAK

Era globalisasi pemicu tingginya mobilitas manusia telah menyebabkan peningkatan besar dalam pernikahan dan perceraian internasional. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah memperkirakan hal itu, dengan memberi pengaturan tentang perkawinan di luar negara Indonesia (Pasal 56) dan perkawinan campuran (Pasal 57-62). Sedangkan pengaturan mengenai perceraian yang dilakukan di luar negara Indonesia belum ada diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penyusunan tesis ini menganalisis putusan perceraian dan pembagian harta bersama yang diperoleh melalui pengadilan di Singapura terhadap Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing Tionghoa yang menikah berdasarkan ketentuan Hukum Perkawinan Indonesia. Maka timbullah pertanyaan, sampai dimana putusan perceraian dan pembagian harta bersama itu mempunyai kekuatan di luar lingkungan daerah hukum negaranya dari hakim yang memutuskan itu.

Penelitan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atas studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yang juga didukung dengan wawancara terhadap kalangan akademisi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang Perkawinan Indonesia (UU No.1 Tahun 1974) tidak mengatur perceraian di luar negeri, akan tetapi mekanisme pencatatan perceraian di luar negeri diatur oleh UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Karena putusan perceraian bersifat konstitutif, tidak membutuhkan eksekusi maka putusan perceraian dari pengadilan asing dapat diterima di Indonesia asal pengadilan asing tersebut mempunyai wewenang untuk memutus perceraian terhadap orang yang bukan merupakan warga negara bersangkutan, didasarkan pada alasan perceraian yang tidak mengganggu ketertiban umum di Indonesia dan didaftarkan sesuai dengan ketentuan hukum Indonesia. Sedangkan putusan pembagian harta bersama dari pengadilan asing yang merupakan putusan yang bersifat condemnatoir tidak dapat diakui dan dieksekusi di Indonesia karena melanggar prinsip kedaulatan teritorial (territorial sovereignty) . Putusan Mahkamah Agung Nomor 612 K/Pdt/ 2003 menyatakan gugatan tidak dapat diterima karena alasan cacat formil pada surat kuasa, kemudian isi/materi pokok perkara tidak diperiksa lagi maka hal tersebut telah sesuai dengan ketentuan hukum Indonesia. Akan tetapi, jika Mahkamah Agung menambahkan lagi bahwa gugatan isteri tidak dapat diterima karena telah ada putusan Pengadilan Tinggi Singapura yang menentukan pembagian harta bersama antara suami, isteri dan isteri muda, maka hal ini tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia karena bertentangan dengan asas monogami mutlak yang masih diberlakukan untuk orang yang masih tunduk pada KUH Perdata dan dianggap hakim Indonesia seolah-olah tunduk begitu saja pada putusan hakim asing.


(7)

ABSTRACT

The era of globalization as the trigger of human high mobility has resulted in the big increase of international marriage and divorce. Law No. 1/1974 on Marriage has predicted that issue by regulating the procedures of marriage conducted outside of Indonesia (Article 56) and mixed marriages (Articles 57 – 62). While about a divorce taking place outside of Indonesia has not yet been regulated in Law No. 1/1974 on Marriage. The purpose of this study was to analyze the decision of divorce and joint property allocation issued by the court in Singapore to an Indonesian citizen of Chinese descent who got married based on the provisions of the Indonesia Law of Marriage. The research question was to what extent this decision of divorce and joint property allocation issued by the judge of a certain country had a power in a country outside of the jurisdiction of the country where the decision was issued.

The data for this normative legal study were obtained through library research supported by interviewing the academicians.

The result of this study showed that Indonesian Law No.1/1974 on Marriage does not regulate the divorce taking place abroad but the mechanism of divorce registration abroad is regulated in Law No.23/2006 on Population Administration and Presidential Regulation No.25/2008 on Requirements and Procedures of Population and Civil Registration. Since the decision of divorce is basically constitutive and does not need execution, the decision of divorce issued by foreign court can be accepted in Indonesia provided that the foreign court has an authority to issue the decision of divorce against someone who is not the citizen of the country where the decision of divorce was issued, based on that the reasons of divorce do not disturb public order in Indonesia. While the decision of joint property allocation issued by foreign court which is basically condemnatoir in nature cannot be recognized and executed in Indonesia due to the violation of the principle of territorial sovereignty. The decision of the Supreme Court No. 612 K/Pdt/2003 stated that the lawsuit could not be accepted because there was a formal in the power of attorney, and then the content/subject matter of the case was not checked anymore meaning that it was in accordance with the provisions of Indonesian law. But, if the Supreme Court added that the wife’s lawsuit could not be accepted because the High Court of Singapore had issued the decision of joint property allocation between the husband, his first wife and his second wife, this reason is not in accordance with the existing applicable legal provisions in Indonesia because it is against the principle of absolute monogamy which is still applied for those who are still subject to the Indonesia Civil Codes and it is regarded that as if the Indonesian judges are subject to the decision issued by foreign judges.

Keywords: Divorce, Joint Property Allocation, Abroad


(8)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur, penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala berkat-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “ANALISIS TERHADAP KEABSAHAN PUTUSAN PERCERAIAN DAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA YANG DIKELUARKAN OLEH HAKIM DARI NEGARA LAIN (Singapura) TERHADAP WARGA NEGARA INDONESIA (studi putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Dengan segala kerendahan hati, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang mendalam dan tulus kepada yang sangat terhormat dan yang amat terpelajar yaitu :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum

2. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum 3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum. Serta kepada para dosen penguji :

1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn. atas bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.


(9)

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Para Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan memberikan banyak pengetahuan dan ilmu kepada penulis.

6. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum dan Bapak Jun Cai, SH, M.Hum selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah bersedia meluangkan waktunya yang berharga untuk diwawancarai penulis dan telah banyak membantu dalam penulisan tesis ini

7. Rekan-rekan mahasiswa serta teman-teman tercinta di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan semangat, dorongan dan bantuan pikiran kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

8. Para pegawai/karyawan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.


(10)

Secara khusus, peneliti mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada orang tua yang tercinta yang telah memberikan dorongan dan doa restunya kepada penulis.

Penulis berharap dan mendoakan semoga Tuhan membalas kebaikan dan jasa Bapak dan Ibu semuanya. Terima Kasih.

Akhir kata, penulis mengharapkan agar penulisan tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Medan, Juni 2012 Penulis,


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Yunita

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 22 Juni 1988

Status : Belum Menikah

Agama : Buddha

Alamat : Jalan Rahmadsyah Nomor 164/132 D Medan

II. KELUARGA

Ayah : Choa Tek Tjhin

Ibu : Kang Siaw Ling

Adik : Irawan Chandra

Rudy Chandra III. PENDIDIKAN

SD Swasta Hang Kesturi Medan : 1994-2000 SLTP Swasta Hang Kesturi Medan : 2000-2003 SMU Swasta Hang Kesturi Medan : 2003-2006

S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan : 2006 - 2010

S1 Fakultas Ekonomi (Accounting) STIE IT & B Campus, Medan : 2006 -2010


(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 8

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 10

1. Kerangka Teori ... 10

2. Konsepsi ... 13

G. Metode Penelitian ... 19

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 20

2. Sumber Data ... 20

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 21

4. Analisis Data ... 21

BAB II KEABSAHAN PUTUSAN PERCERAIAN YANG DIKELUARKAN OLEH PENGADILAN DARI NEGARA LAIN TERHADAP WARGA NEGARA INDONESIA ... 23


(13)

A. Macam-Macam Kekuatan Putusan Pengadilan ... 23 B. Pengakuan Putusan Hakim Asing... 26 C. Perceraian di Luar Negeri dilihat dari aspek Hukum Perdata

Internasional ... 34 1. Perceraian dari Warga Negara Indonesia di Luar Negeri ... 35 2. Perbandingan Hukum Perceraian di Singapura dan di Indonesia... 36 3. Perceraian dari Orang-Orang Asing di Indonesia... 44 4. Persoalan Jurisdiksi dalam Perkara-Perkara Perceraian... 48 5. Pengakuan terhadap Keputusan Perceraian dan Pisah Hidup

menurut Conventions on the Recognition of Divorces and

Legal Separations... 51 BAB III KEKUATAN HUKUM PUTUSAN PEMBAGIAN HARTA

BERSAMA YANG DIKELUARKAN OLEH PENGADILAN DARI NEGARA LAIN TERHADAP WARGA NEGARA

INDONESIA ... 58 A. Tinjauan Hukum Harta Benda Perkawinan Menurut Hukum

Perdata Internasional ... 58 B. Pengaturan Pembagian Harta Bersama Suami Isteri menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ... 66 C. Pengaturan Pembagian Harta Bersama dalam Hukum

Keluarga Singapura (Women’s Charter) ... 77 D. Kekuatan Putusan Pembagian Harta Bersama Oleh Pengadilan


(14)

BAB IV ANALISIS HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 612 K/Pdt/2003 TANGGAL 10 JUNI 2008 TENTANG PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

KARENA PERCERAIAN DI LUAR NEGERI ... 83

A. Kasus Posisi beserta Isi Putusan Pengadilan Negeri Palembang No.61/Pdt.G/2002/PN.Plg, tanggal 16 Juli 2002 dan Pengadilan Tinggi Palembang No.104/PDT/2002/PT.PLG tanggal 28 Oktober 2002... ... 83

B. Memori Kasasi dan Isi Putusan Mahkamah Agung Nomor 612K/Pdt/2003 tanggal 10 Juni 2008 ... 88

C. Analisis Putusan Perceraian dan Pembagian Harta Bersama yang dikeluarkan oleh Pengadilan Singapura Terhadap Warga Negara Indonesia ... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN …..……….….114

A. Kesimpulan………114

B. Saran ………... 116

DAFTAR PUSTAKA ………...118 LAMPIRAN


(15)

ABSTRAK

Era globalisasi pemicu tingginya mobilitas manusia telah menyebabkan peningkatan besar dalam pernikahan dan perceraian internasional. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah memperkirakan hal itu, dengan memberi pengaturan tentang perkawinan di luar negara Indonesia (Pasal 56) dan perkawinan campuran (Pasal 57-62). Sedangkan pengaturan mengenai perceraian yang dilakukan di luar negara Indonesia belum ada diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penyusunan tesis ini menganalisis putusan perceraian dan pembagian harta bersama yang diperoleh melalui pengadilan di Singapura terhadap Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing Tionghoa yang menikah berdasarkan ketentuan Hukum Perkawinan Indonesia. Maka timbullah pertanyaan, sampai dimana putusan perceraian dan pembagian harta bersama itu mempunyai kekuatan di luar lingkungan daerah hukum negaranya dari hakim yang memutuskan itu.

Penelitan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atas studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yang juga didukung dengan wawancara terhadap kalangan akademisi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang Perkawinan Indonesia (UU No.1 Tahun 1974) tidak mengatur perceraian di luar negeri, akan tetapi mekanisme pencatatan perceraian di luar negeri diatur oleh UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Karena putusan perceraian bersifat konstitutif, tidak membutuhkan eksekusi maka putusan perceraian dari pengadilan asing dapat diterima di Indonesia asal pengadilan asing tersebut mempunyai wewenang untuk memutus perceraian terhadap orang yang bukan merupakan warga negara bersangkutan, didasarkan pada alasan perceraian yang tidak mengganggu ketertiban umum di Indonesia dan didaftarkan sesuai dengan ketentuan hukum Indonesia. Sedangkan putusan pembagian harta bersama dari pengadilan asing yang merupakan putusan yang bersifat condemnatoir tidak dapat diakui dan dieksekusi di Indonesia karena melanggar prinsip kedaulatan teritorial (territorial sovereignty) . Putusan Mahkamah Agung Nomor 612 K/Pdt/ 2003 menyatakan gugatan tidak dapat diterima karena alasan cacat formil pada surat kuasa, kemudian isi/materi pokok perkara tidak diperiksa lagi maka hal tersebut telah sesuai dengan ketentuan hukum Indonesia. Akan tetapi, jika Mahkamah Agung menambahkan lagi bahwa gugatan isteri tidak dapat diterima karena telah ada putusan Pengadilan Tinggi Singapura yang menentukan pembagian harta bersama antara suami, isteri dan isteri muda, maka hal ini tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia karena bertentangan dengan asas monogami mutlak yang masih diberlakukan untuk orang yang masih tunduk pada KUH Perdata dan dianggap hakim Indonesia seolah-olah tunduk begitu saja pada putusan hakim asing.


(16)

ABSTRACT

The era of globalization as the trigger of human high mobility has resulted in the big increase of international marriage and divorce. Law No. 1/1974 on Marriage has predicted that issue by regulating the procedures of marriage conducted outside of Indonesia (Article 56) and mixed marriages (Articles 57 – 62). While about a divorce taking place outside of Indonesia has not yet been regulated in Law No. 1/1974 on Marriage. The purpose of this study was to analyze the decision of divorce and joint property allocation issued by the court in Singapore to an Indonesian citizen of Chinese descent who got married based on the provisions of the Indonesia Law of Marriage. The research question was to what extent this decision of divorce and joint property allocation issued by the judge of a certain country had a power in a country outside of the jurisdiction of the country where the decision was issued.

The data for this normative legal study were obtained through library research supported by interviewing the academicians.

The result of this study showed that Indonesian Law No.1/1974 on Marriage does not regulate the divorce taking place abroad but the mechanism of divorce registration abroad is regulated in Law No.23/2006 on Population Administration and Presidential Regulation No.25/2008 on Requirements and Procedures of Population and Civil Registration. Since the decision of divorce is basically constitutive and does not need execution, the decision of divorce issued by foreign court can be accepted in Indonesia provided that the foreign court has an authority to issue the decision of divorce against someone who is not the citizen of the country where the decision of divorce was issued, based on that the reasons of divorce do not disturb public order in Indonesia. While the decision of joint property allocation issued by foreign court which is basically condemnatoir in nature cannot be recognized and executed in Indonesia due to the violation of the principle of territorial sovereignty. The decision of the Supreme Court No. 612 K/Pdt/2003 stated that the lawsuit could not be accepted because there was a formal in the power of attorney, and then the content/subject matter of the case was not checked anymore meaning that it was in accordance with the provisions of Indonesian law. But, if the Supreme Court added that the wife’s lawsuit could not be accepted because the High Court of Singapore had issued the decision of joint property allocation between the husband, his first wife and his second wife, this reason is not in accordance with the existing applicable legal provisions in Indonesia because it is against the principle of absolute monogamy which is still applied for those who are still subject to the Indonesia Civil Codes and it is regarded that as if the Indonesian judges are subject to the decision issued by foreign judges.

Keywords: Divorce, Joint Property Allocation, Abroad


(17)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hampir dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun Islamic law, perkawinan adalah sebuah kontrak berdasarkan persetujuan sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dan wanita untuk menjadi suami-isteri. Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral dan akhlak masyarakat dalam pembentukan peradaban. 1

Kalau seorang perempuan dan seorang laki-laki berkata sepakat untuk melakukan perkawinan satu sama lain, ini berarti mereka saling berjanji akan taat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung, dan mengenai kedudukan dalam masyarakat dari anak-anak turunannya. 2

Demikian juga dalam hal menghentikan perkawinan, suami dan isteri tidak leluasa penuh untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk penghentian itu, melainkan terikat juga pada peraturan hukum perihal itu.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan untuk mengatur pergaulan hidup yang sempurna, bahagia dan kekal di dalam suatu rumah

1

Rifyal Ka’bah, Hakim Agung MARI. Permasalahan Perkawinan, (Varia Peradilan No. 271, Makalah, Juni 2008) , hal. 7

2

R. Wirjono Prodjodikoro [1]. Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Sumur Bandung, 1991), hal. 8


(18)

tangga guna terciptanya rasa kasih sayang dan saling mencintai. Namun kenyataan sejarah umat manusia yang telah berusia ribuan tahun telah membuktikan bahwa tidak selalu itu dapat dicapai, bahkan sebaliknya kandas atau gagal sama sekali di tengah jalan, karena tidak tercapainya kata sepakat atau karena olehnya salah satu pihak ataupun perilaku kedua belah pihak yang bertentangan dengan ajaran agama. 3

Pernikahan dan perceraian merupakan hak individu. Seorang laki-laki maupun perempuan berhak untuk memutuskan kapan menikah maupun mengakhiri pernikahan melalui perceraian. Keputusan untuk bercerai jauh lebih sulit dijalankan daripada keputusan untuk menikah. Umumnya, setiap orang berniat untuk menikah sekali seumur hidupnya saja. Tidak pernah terbesit bila di kemudian hari harus bercerai, lalu menikah lagi dengan orang lain, atau memilih untuk tetap sendiri.4

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta akibat-akibat yang mungkin timbul setelah suami-isteri itu perkawinannya putus. 5

Memilih bercerai, berarti harus berhadapan dengan pengadilan. Sebab proses pengaduan gugatan perceraian yang sah menurut hukum, hanya dapat ditempuh melalui pengadilan saja. Persoalannya kemudian adalah bagaimana jika gugatan perceraian itu dilakukan melalui pengadilan yang terletak di luar negara Indonesia.

3

Martiman Prodjohamidjojo. Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta : PT Abadi, 2001),

hal.1 4

Budi Susilo. Prosedur Gugatan Cerai, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2007), hal. 11 5


(19)

Penyusunan tesis ini menganalisis putusan perceraian dan pembagian harta bersama yang diperoleh melalui pengadilan di Singapura terhadap Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing Tionghoa yang menikah berdasarkan ketentuan Hukum Perkawinan Indonesia.

Globalisasi tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang sosial kemasyarakatan dan budaya. Bahwa dengan perkembangan zaman yang semakin maju serta era globalisasi yang sedang berkembang, bukan hanya terbatas pada masyarakat kita, tetapi sudah mendunia baik mengenai hubungan hukum, kemasyarakatan, perdagangan bahkan mengenai perkawinan. 6 Era globalisasi pemicu tingginya mobilitas manusia telah menyebabkan peningkatan besar dalam pernikahan dan perceraian internasional.7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah memperkirakan hal itu, dengan memberi pengaturan tentang perkawinan di luar negara Indonesia (Pasal 56) dan perkawinan campuran (Pasal 57-62). Sedangkan pengaturan mengenai perceraian yang dilakukan di luar negara Indonesia belum ada diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Sebetulnya peraturan Hukum Perkawinan hanya meliputi pokok-pokok saja dari persoalan-persoalan yang timbul dalam hidup bersama yang dinamakan perkawinan itu. Lebih penting daripada peraturan hukum itu ialah praktek yang di

6

Sudargo Gautama [1]. Capita Selecta Hukum Perdata Internasional, (Bandung : Alumni, 1974), hal.16

7

Mohammad Thoha (Hakim Pengadilan Agama Ponorogo). Hukum Perceraian di Luar Negeri, diakses dari http://pa-ponorogo.net/index.php?option=com_content&task=view.., pada tanggal 23 Januari 2012


(20)

dalam suatu negara tertentu dilakukan oleh suami dan isteri selama hidup bersama itu. Mungkin sekali praktek ini berlainan dan menyimpang dari peraturan Hukum Perkawinan yang berlaku. 8

Kalau praktek yang berlainan ini, terbatas pada dua atau tiga orang saja, maka tidaklah perlu hal ini dihiraukan. Sudah selayaknya dalam masyarakat selalu ada beberapa orang perseorangan yang tidak taat pada suatu peraturan hukum.

Sebaliknya, kalau praktek itu dilakukan sebagian agak besar dari masyarakat, maka patutlah dipikirkan, apakah peraturan Hukum Perkawinan yang banyak dilanggar itu, tidak harus ditinjau kembali perihal keharusan dipertahankan atau diubah atau dilenyapkan sama sekali. 9

Peninjauan kembali ini juga sepatutnya dilakukan, apabila di kalangan yang agak penting dalam masyarakat ada aliran yang menginginkan perubahan dalam peraturan Hukum Perkawinan yang berlaku itu.

Aliran semacam ini mungkin sekali timbul akibat dari pergaulan internasional antara berbagai bangsa atau negara. Dalam pergaulan internasional ini orang yang berkesempatan untuk mengetahui peraturan Hukum Perkawinan di lain-lain negara serta membandingkannya dengan peraturan Hukum Perkawinan dalam negara sendiri.

8

R. Wirjono Prodjodikoro [1], Op.Cit., hal.9 9


(21)

Pada perbandingan ini mungkin sekali, timbul ketidakpuasan dengan peraturan hukum di negara sendiri, dan timbul juga keinginan untuk mengubah peraturan hukum itu. 10

Persoalan perceraian internasional di waktu sekarang ini merupakan masalah yang urgent, mengingat banyaknya masalah-masalah tersebut kini harus dihadapi oleh para pejabat hukum. Dari dahulu hingga saat sekarang, karena bertambah banyaknya perkawinan-perkawinan internasional, bertambah banyaknya kemungkinan bagi pihak isteri untuk mempertahankan kewarganegaraannya menurut peraturan-peraturan kewarganegaraan negara-negara modern di waktu akhir-akhir ini, bertambah pesatnya kemajuan transport internasional, maka bertambahlah kuantitas perceraian-perceraian internasional atau perpisahan-perpisahan dengan segala masalah yang menyangkut padanya. 11

Dalam praktek perbedaan hukum antara berbagai negara perihal pemecahan perkawinan ini tentu dapat menimbulkan kesulitan. Berdasarkan Pasal 16 A.B (Algemeene Bepalingen van Wetgeving/Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847) yang merupakan warisan dari sistem Hukum Perdata Internasional yang ditinggalkan oleh Hindia Belanda, berdasarkan asas konkordansi, dianutlah prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berarti, bahwa warga negara Indonesia yang berada di luar negeri sepanjang mengenai hal-hal yang termasuk bidang status personalnya, tetap

10

Ibid 11

Sudargo Gautama [2]. Hukum Perdata Internasional. Jilid III Bagian 2 Buku ke-8, (Bandung : PT. Alumni, 2007), hal. 221


(22)

berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional Indonesia (personeel statuut).12

Untuk menentukan status personil, dalam bidang hukum perdata internasional yang berlaku di Indonesia, sebagaimana yang berlaku di negara-negara Eropa Kontinental (civil law), dianut aliran personalitas atau kewarganegaraan.13

Dalam perumusan “status personil” menurut konvensi internasional Montreux Tahun 1973 termasuk :

Perkara-perkara yang mengenai status dan kewenangan orang pribadi, hubungan hukum antara anggota-anggota suatu keluarga, khususnya perjodohan, perkawinan, hak-hak dan kewajiban timbal balik dari suami-isteri, mas kawin, hak-hak atas benda selama perkawinan, perceraian, talak, hidup terpisah, pengesahan anak, kewajiban untuk memberikan tunjangan antara keluarga karena darah atau perkawinan, pengesahan, adopsi, perwalian, perwalian-safih, kedewasaan dan juga hibah, pewarisan, surat wasiat dan lain-lain perbuatan hukum yang berkenaan dengan pembagian benda setelah meninggal, hilang atau dugaan kematian terhadap seseorang.14

Berdasarkan Pasal 17 A.B menentukan bahwa bagi barang-barang tak bergerak berlakulah hukum dari tempat letaknya barang itu (lex rei sitae). Ada lagi Pasal 18 AB yang menentukan bahwa cara melakukan suatu tindakan hukum yang sesuai dengan hukum yang berlaku di tempat dimana tindakan itu dilakukan adalah sah (gemengd statuut).

Kasus ini berawal dari dimana Penggugat (Lim Kim Tju) dan Tergugat (Edward Halim), yang keduanya berkewarganegaraan Indonesia, pada tahun 1971

12

Sudargo Gautama [3]. Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian 1 Buku ke-7, (Bandung : Alumni, 1980), hal. 9

13

Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo. Sendi-Sendi Hukum Perdata Internasional, Suatu Orientasi, (Jakarta : CV. Rajawali, 1989), hal. 16

14


(23)

pernah terikat dalam suatu perkawinan yang dilangsungkan menurut adat istiadat Tionghoa, yang kemudian dicatatkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil Kotamadya Medan dengan akta perkawinan tahun 1972. Akan tetapi, perkawinan antara keduanya telah bubar karena perceraian pada tanggal 21 Mei 1998 berdasarkan ‘Certificate Of Making Decree Nisi Absolute’ tanggal 27 Juni 2000 yang dikeluarkan oleh The Subordinate Courts Of Republic Of Singapore. Setelah adanya putusan perceraian yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Singapura, juga terdapat putusan pembagian harta bersama yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Singapura yaitu In The High Court Of The Republic Of Singapore, Originating Summons No. 1596 of 1999 mengenai : In the Matter of the ancillary matters pursuant to Divorce Petition No. 610 of 1998 yang diajukan oleh Kimiawati Tjokro (isteri muda Edward Halim) dengan pembagian sebesar 35% untuk Lim Kim Tju (1st Defendant), Edward Halim (2nd Defendant) sebesar 30% dan Kimiawati Tjokro (Plaintiff) sebesar 35 % untuk harta bersama baik di Indonesia, Palembang, Jakarta, Batam dan Singapura.

Bahwa Penggugat (Lim Kim Tju) yang tidak puas terhadap putusan pembagian harta bersama di Singapura tersebut, melalui kuasa hukum di Palembang telah mengajukan gugatan pada Pengadilan Negeri Palembang dengan menggunakan dasar putusan perceraian yang telah diperolehnya melalui pengadilan di Singapura. Penggugat memohon pada petitum gugatannya agar Harta Bersama yang berupa barang tidak bergerak yaitu tanah dan bangunan yang terdapat di Palembang antara Penggugat dan Tergugat dari tahun 1971 dan 1998, agar di bagi seperdua diantara keduanya dan meletakkan sita revindicatoir atas harta bersama tersebut. Putusan


(24)

Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi memenangkan pihak Penggugat selaku isteri dari Tergugat. Akan tetapi, putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh suami penggugat (Edward Halim) yang menyatakan gugatan Penggugat (Lim Kim Tju) tidak dapat diterima, membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Palembang, dan mengangkat Sita Revindicatoir tersebut.

Maka timbullah pertanyaan, sampai dimana putusan perceraian dan pembagian harta bersama itu mempunyai kekuatan di luar lingkungan daerah hukum negaranya dari hakim yang memutuskan itu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini mencoba untuk menguraikan aturan hukum yang akan diberlakukan untuk menyelesaikan sengketa perceraian dan pembagian harta bersama pada kasus tersebut.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana keabsahan putusan perceraian yang dikeluarkan oleh Pengadilan dari

negara lain terhadap Warga Negara Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan perundang-undangan lainnya?

2. Bagaimana kekuatan hukum putusan pengadilan dari negara lain tentang pembagian harta bersama terhadap Warga Negara Indonesia?

3. Apakah putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003 sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia?


(25)

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui keabsahan putusan perceraian yang dikeluarkan oleh Pengadilan dari negara lain terhadap Warga Negara Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan perundang-undangan lainnya.

2. Untuk mengetahui kekuatan hukum putusan pengadilan dari negara lain tentang pembagian harta bersama terhadap Warga Negara Indonesia.

3. Untuk mengetahui kesesuaian putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003 dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta mendorong para pembacanya untuk dapat lebih mengerti dan memahami tentang pengetahuan hukum perdata khususnya bidang hukum perkawinan tentang hukum perceraian dan pembagian harta bersama. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan penyempurnaan peraturan atau kebijakan tentang hukum perkawinan di Indonesia.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada aparat hukum dan masyarakat terkait dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan perceraian dan pembagian harta di luar negeri. Selain itu, juga dapat memberi masukan bagi pofesi notaris, akademisi, pengacara dan mahasiswa.


(26)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan, baik di Magister Ilmu Hukum maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang menyangkut masalah “ANALISIS TERHADAP KEABSAHAN PUTUSAN PERCERAIAN DAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA YANG DIKELUARKAN OLEH HAKIM DARI NEGARA LAIN (Singapura) TERHADAP WARGA NEGARA INDONESIA (studi putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003)”. Tesis ini merupakan hasil karya penulis sendiri. Dengan demikian, penelitian ini adalah asli sehingga dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

“Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.15 Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran”. 16

Menurut M. Solly Lubis bahwa :

15

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 6 16

J.J.J. M. Wuisman. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting : M. Hisyam, Fakultas Ekonomi, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1996), hal. 203


(27)

Teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan walau bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. 17

Teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaktis yaitu mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang terjadi. 18

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dan permasalahan yang dianalisis. Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori keadilan dan teori yang memandang hakim sebagai corong pengadilan.

Sebagai tujuan utama dari hukum, maka keadilan sering menjadi fokus utama dari setiap diskusi tentang hukum. Sayangnya, karena keadilan merupakan konsep yang sangat abstrak, sehingga di sepanjang sejarah manusia tidak pernah mendapatkan gambaran yang pasti tentang arti dan makna yang sebenarnya dari keadilan, tetapi selalu dipengaruhi oleh paham atau aliran yang dianut saat itu. 19

Aristoteles menyatakan bahwa ukuran dari keadilan adalah bahwa :

17

M. Solly Lubis. Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : CV. Mandar Maju, 1994), hal. 27 18

Snelbecker, dalam Lexy J. Moloeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), hal.34

19


(28)

a. Seseorang tidak melanggar hukum yang berlaku, sehingga keadilan berarti “lawful” yaitu hukum tidak boleh dilanggar dan aturan hukum harus diikuti

b. Seseorang tidak boleh mengambil lebih dari haknya, sehingga keadilan berarti persamaan hak (equal).20

Aristoteles dalam buah pikirannya Ethica Nicomachea dan Rhetorica mengatakan hukum mempunyai tugas yang suci yakni memberi kepada setiap orang apa yang berhak diterima, hukum bertugas membuat keadilan (ethische theorie). 21 Aristoteles membagi keadilan ke dalam dua golongan sebagai berikut :

a. Keadilan distributif, yakni keadilan dalam hal pendistribusian kekayaan atau kepemilikan lainnya pada masing-masing anggota masyarakat. Dengan keadilan distributif ini, yang dimaksudkan oleh Aristoteles adalah keseimbangan antara apa yang didapati (he gets) oleh seseorang dengan apa yang patut didapatkan (he deserves)

b. Keadilan korektif, yakni keadilan yang bertujuan untuk mengkoreksi kejadian yang tidak adil. Dalam hal ini keadilan dalam hubungan antara satu orang dengan orang lainnya yang merupakan keseimbangan (equality) antara apa yang diberikan (what is given) dengan apa yang diterimanya (what is received).22

Keadilan di pengadilan (judicial justice) adalah keadilan yang terbit dari putusan-putusan pengadilan, sebagaimana yang sehari-harinya diputuskan oleh

20

Ibid, hal. 93 21

Chainur Arrasjid. Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), hal. 40 22


(29)

hakim.23 Karena itu, yang ideal adalah para hakim tersebut harus aktif, kreatif, dan bahkan proaktif dalam mencari keadilan. Hakim sebagai organ pengadilan atau corong pengadilan atau corong undang-undang dianggap memahami hukum. Salah satu kewajiban yang diamanahkan oleh undang-undang ke pundak hakim adalah kewajiban hakim untuk menemukan hukum yang hidup dalam masyarakat. Tentunya, tidak sekadar “menemukan”, melainkan juga “menerapkan” dalam putusannya. Telah diketahui bahwa undang-undang tidak akan pernah lengkap dalam pengertian bahwa undang-undang itu tidak dapat memuat peraturan dalam praktek. Di situlah letak peranan hakim untuk menyesuaikan peraturan undang-undang dengan kenyataan hukum yang berlaku di dalam masyarakat agar dapat mengambil suatu keputusan hukum yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan tujuan hukum tersebut. Kadangkala hakim membuat peraturan sendiri dengan jalan menemukan kaidah-kaidah hukum yang baru di dalam masyarakat ataupun dengan melakukan penafsiran hukum yang berhubungan dengan kasus yang diadilinya. 24

Pasal 22 AB berbunyi : bila seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas, atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena penolakan “mengadili”.

Terhadap kewajiban hakim untuk menemukan hukum yang hidup dalam masyarakat, UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 28

23

Ibid, hal. 119 24


(30)

menentukan bahwa : “hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 25

2. Konsepsi

“Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis”.26 “Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum”. 27

“Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional”. 28

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut : a. Putusan

25

Munir Fuady, Op.Cit., hal. 174 26

Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 397 27

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 7

28

Sutan Remy Sjahdeini. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta : Institute Bankir Indonesia, 1983), hal. 10


(31)

Menurut Sudikno Mertokusumo, “Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.” 29

b. Perceraian di luar negeri

Perceraian di luar negeri adalah putusnya perkawinan antara suami isteri karena perceraian melalui putusan pengadilan di luar negeri.

Perceraian adalah terputusnya hubungan perkawinan suami isteri saat keduanya masih hidup di depan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.30 Berbagai negara memiliki peraturan perceraian yang berbeda satu sama lainnya. Jika dua warga negara yang sama bercerai di luar negara mereka, maka di sini timbullah permasalahan mengenai kekuatan keputusan perceraian di salah satu negara apakah juga diakui oleh negara dimana warga negara itu berasal.

c. Warga Negara Indonesia

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang dimaksud dengan Warga Negara Indonesia adalah setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia.

d. pembagian harta benda perkawinan

29

Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 2006), hal. 210

30


(32)

Pembagian harta benda perkawinan adalah pembagian harta bersama antara suami isteri setelah terjadinya perceraian. Persengketaan harta perkawinan dalam perceraian memang riskan untuk terjadi, terlebih bila tidak ada perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan. Bahkan pada sejumlah kasus, sengketa perebutan harta gono gini justru memperlambat dan merumitkan proses perceraian. Ketidakpahaman masyarakat pada umumnya tentang harta dalam perkawinan, merupakan faktor kuat yang memicu lahirnya masalah sengketa harta gono-gini.31

Secara etimologi, harta bersama adalah dua kosakata yang terdiri dari kata harta dan kata bersama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada dua pengertian harta. Pertama, harta adalah barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan. Kedua, harta adalah kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum dimiliki perusahaan. Harta bersama adalah harta yang diperoleh secara bersama di dalam perkawinan. 32

Menurut terminologi, harta bersama adalah harta yang diperoleh bersama suami isteri selama perkawinan. Di Jawa, harta bersama disebut dengan istilah gono gini, di Sunda disebut guna kaya, di Bugis disebut cakara, atau bali reso, di Banjar disebut harta berpantangan, di Aceh disebut harta seharkat, masyarakat Melayu disebut harta syarikat dan lain-lain. 33

31

Budi Susilo, Op.Cit., hal.126 32

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan I

(Jakarta : Balai Pustaka, 1988), hal. 299 33


(33)

Pada tiap-tiap daerah masyarakat mengenal harta bersama dengan istilah yang berbeda, namun pada hakikatnya adalah sama. Kesamaan ini terletak pada harta benda suami isteri yang dinisbahkan menjadi harta bersama.

Harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan dianalogikan dengan harta milik suatu badan usaha, harta perkongsian, atau harta perserikatan, karena didasarkan pada pandangan bahwa pernikahan bukanlah akad sepihak, dimana pihak wanita hanya dijadikan sebagai obyek akad semata yang berakibat pada statusnya sebagai unsur yang tidak memiliki harta dalam rumah tangga, melainkan sebagai akad timbal balik dari kedua belah pihak. Maksudnya suami isteri berkongsi untuk membina sebuah rumah tangga, baik dalam rangka menciptakan keturunan yang saleh maupun membangun perekonomian rumah tangga. Oleh karena itu, antara suami isteri tidak lagi mempersoalkan apa bentuk tugas yang harus diselesaikan masing-masing. Yang ditekankan adalah kerja sama dalam bentuk tolong menolong, kesepakatan baik secara tegas maupun secara tersirat, bahwa segala kerugian yang ditimbulkan dalam pengurusan rumah tangga harus ditanggung bersama. Demikian juga sebaliknya, segala keuntungan yang diperoleh harus dinikmati bersama. Atas dasar pemikiran ini, maka harta yang diperoleh itu dianggap sebagai harta bersama, tanpa mempersoalkan pihak mana yang paling banyak berperan dalam mendapatkannya. 34

34

Satria Effendi M. Zein. Analisis Yurisprudensi , dalam Mimbar Hukum, Nomor 48 Tahun 2000, (Jakarta : Yayasan Al Hikmah & Ditbinbapera,2000), hal.102


(34)

Persatuan harta kekayaan dalam Pasal 119 KUHPerdata pada pokoknya dikemukakan bahwa terhitung sejak saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum terjadilah persatuan bulat harta kekayaan suami dan isteri sejauh tidak diadakan perjanjian perkawinan tentang hal tersebut, jadi dari sini dapat diartikan bahwa yang dimaksud harta bersama adalah "Persatuan harta kekayaan seluruhnya secara bulat baik itu meliputi harta yang dibawa secara nyata (aktiva) maupun berupa piutang (pasiva), serta harta kekayaan yang akan diperoleh selama perkawinan".

Pasal 128 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur : “Setelah bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka masing-masing dengan tak mempedulikan soal dari pihak manakah barang-barang itu diperolehnya.”

Pada ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jelas terbaca bahwa harta dalam perkawinan itu sendiri terdiri dari harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan oleh karena itu menjadi milik bersama suami isteri. Sedangkan harta yang dibawa sebelum perkawinan berlangsung dan harta yang diperoleh masing-masing suami/isteri sebagai hadiah atau warisan selama dalam ikatan perkawinan disebut dengan harta bawaan.35

Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur: “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya

35

Abdul Manaf. Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Istri dalam Penjaminan Harta Bersama pada Putusan Mahkamah Agung, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2006), hal. 25


(35)

masing-masing.” Yang dimaksud dengan: “hukumnya masing-masing” ialah hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya.

Memperhatikan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan dan penjelasannya, ternyata Undang-Undang Perkawinan ini tidak memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaimana penyelesaian harta bersama apabila terjadi perceraian. akibatnya timbul kesulitan bagi pihak penyelenggara hukum untuk menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan harta bersama.

Kalau dicermati pada penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan, maka Undang-Undang memberikan jalan pembagian sebagai berikut :

1. Dilakukan berdasarkan hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian.

2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan

3. Atau hukum-hukum lainnya. 36

Dengan demikian, Undang-Undang Perkawinan membuka peluang hukum lainnya mengatur harta bersama tersebut. Pengaturan tersebut sangat abstrak dan umum serta tidak bersifat rinci. Undang-Undang bagaimana tentang harta bersama dan juga tidak menentukan tata cara pembagiannya serta jumlah masing-masing. G. Metode Penelitian

36

M. Yahya Harahap [1]. Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 , (Medan : CV. Zahir Trading Co, 1975), hal. 125


(36)

Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.37

Sebagai suatu penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian dinilai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah sebagai berikut :

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tujuan penelitian ini.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atas studi kasus. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. 38

37

Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 43 38


(37)

Penelitian hukum normatif dimaksudkan untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku serta doktrin-doktrin. Dalam penelitian ini, penelitian hukum normatif bertujuan untuk meneliti aturan-aturan mengenai perceraian yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia di luar negeri beserta pembagian harta bersama pasca perceraian di luar negeri.

2. Sumber Data

Data dalam penelitian ini diperoleh melalui data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan yang terdiri dari: a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini bahan hukum primernya yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Algemene Bepalingen van Wetgeving (A.B), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Konvensi Internasional dan yurisprudensi.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah dari kalangan hukum tentang perceraian dan pembagian harta di luar negeri.


(38)

Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya.

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Dengan penelitian kepustakaan, dikumpulkan data, membaca dan mempelajari bahan-bahan kepustakaan yang terkait dengan judul. Dalam penelitian ini, juga dilakukan wawancara terhadap Bapak Dedi Harianto, dan Bapak Jun Cai selaku Dosen Fakultas Hukum USU, Medan.

4. Analisis Data

“Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data”. 39

Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. “Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi”. 40

Penelitian yang dilakukan dalam tesis ini termasuk ke dalam tipe penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk

39

Lexy J.Moleong, Op.Cit., hal. 101 40


(39)

melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisis data dilakukan dengan : 41

(a) mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti;

(b) memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian; (c) mensistematisasikan kaidah-kaidah hukum, azas atau doktrin;

(d) menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin yang ada;

(e) menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.

41

Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal.45


(40)

BAB II

KEABSAHAN PUTUSAN PERCERAIAN YANG DIKELUARKAN OLEH PENGADILAN DARI NEGARA LAIN TERHADAP WARGA NEGARA

INDONESIA A. Macam-macam Kekuatan Putusan Pengadilan

Ditinjau dari sifatnya, kekuatan putusan hakim dapat bercorak macam-macam, ini tergantung dari isi putusan itu. Ada putusan yang mengandung satu hukuman kepada seseorang (“condemnatoir”), supaya melakukan perbuatan atau supaya tidak melakukan suatu macam perbuatan. Putusan semacam ini hanya mempunyai arti yang nyata, apabila putusan itu dapat dijalankan (dieksekutir). Contoh-contoh ialah : putusan, yang menghukum seorang untuk membayar sejumlah uang atau memberikan suatu barang kepada orang lain atau untuk meninggalkan suatu perkarangan atau rumah.

Mengenai ciri putusan condemnatoir, di dalamnya tercantum amar atau diktum yang berisi kalimat :

1. menghukum untuk membayar, menyerahkan, membongkar, membagi dan sebagainya, atau

2. memerintahkan untuk membayar, menyerahkan, membongkar, membagi dan sebagainya. 42

Ada putusan hakim yang menciptakan suatu keadaan hukum (konstitutif). Putusan konstitutif (constitutief vonnis) adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum, maupun yang

42

M. Yahya Harahap [2]. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta : Gramedia, 1995), hal. 13


(41)

menimbulkan keadaan hukum baru.43 Misalnya putusan perceraian merupakan putusan yang meniadakan keadaan hukum yakni tidak ada lagi ikatan hukum antara suami dan isteri sehingga putusan itu meniadakan hubungan perkawinan yang ada, dan bersamaan dengan itu timbul keadaan hukum baru pada suami-isteri sebagai janda dan duda.44 Begitu juga putusan pailit, putusan yang mengandung pembatalan suatu persetujuan perdata atau pemecahan suatu perkawinan atau pengangkatan seorang wali (“voogd”) atau seorang pengawas (“curator”). Putusan-putusan semacam ini tidak membutuhkan suatu tindakan menjalankan putusan (eksekusi) itu, melainkan menetapkan suatu keadaan sebagai hal yang melimpahkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum kepada yang berkepentingan.

Ada putusan hakim yang mengandung pernyataan belaka dari adanya suatu peristiwa hukum (“declaratoir”), menerangkan atau menyatakan apa yang sah,45 misalnya suatu putusan tentang sah atau tidaknya suatu perkawinan, tentang ada berdirinya suatu perseroan tertentu yang sah, tentang siapa yang mempunyai hak milik terhadap suatu barang. Putusan-putusan semacam ini pun tidak membutuhkan suatu tindakan menjalankan putusan itu. Putusan semacam ini tidak melimpahkan secara langsung hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum kepada orang-orang yang bersangkutan, melainkan dapat menjadi dasar dari tindakan orang-orang yang bersangkutan di kemudian hari.

43

H.M. Abdurrachman. Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2008), hal. 105

44

M. Yahya Harahap [3]. Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008),hal. 877 45

Bambang Sugeng A.S dan Sujayadi. Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal. 85


(42)

Menurut M. Yahya Harahap :

Putusan declaratoir adalah yang berisi pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-mata. Misalnya putusan yang menyatakan ikatan perkawinan sah, perjanjian jual beli sah, hak kepemilikan atas benda yang disengketakan sah atau tidak sah sebagai milik penggugat; penggugat tidak sah sebagai ahli waris atau harta terperkara adalah harta warisan penggugat yang berasal dari harta peninggalan orang tuanya. Dari berbagai contoh di atas, putusan yang bersifat deklaratoir (declaratoir vonnis) adalah pernyataan hakim yang tertuang dalam putusan yang dijatuhkannya. Pernyataan itu merupakan penjelasan atau penetapan tentang sesuatu hak atau titel maupun status. Dan pernyataan itu dicantumkan dalam amar atau diktum putusan. Dengan adanya pernyataan itu, putusan telah menentukan dengan pasti siapa yang berhak atau siapa yang mempunyai kedudukan atas permasalahan yang disengketakan.46

Semua putusan tersebut di atas mempunyai kekuatan lain, yaitu kekuatan pembuktian di muka hakim dalam pemeriksaan suatu perkara perdata.

Ada golongan putusan lagi yang juga tidak membutuhkan dijalankan, yaitu putusan hakim yang mengandung suatu penolakan dari gugatan. Putusan semacam ini sangat berarti juga, terutama bagi pihak yang digugat, oleh karena diputuskan tidak adanya atau tidak terbuktinya suatu peristiwa. Dengan putusan semacam ini, tergugat dapat menangkis beberapa tindakan dari orang lain, terutama penggugat.

Kalau seorang hakim dalam suatu negara telah mengambil suatu keputusan, maka sudah jelas keputusan-keputusan itu mempunyai bermacam-macam kekuatan (seperti diuraikan di atas) bagi daerah hukum negara itu. Apakah keadaan hukum semacam ini tidak seharusnya diakui, juga oleh penguasa-penguasa di negara lain, sebagai penghormatan terhadap negara bersangkutan?

46


(43)

B. Pengakuan Putusan Hakim Asing

Istilah pelaksanaan (enforcement) harus dibedakan dengan istilah pengakuan (recognition).47 Menurut Sudargo Gautama : “Pengakuan tidak begitu mendalam akibatnya daripada pelaksanaan. Melaksanakan keputusan meminta lebih banyak, seperti tindakan-tindakan aktif dari instansi tertentu yang berkaitan dengan peradilan dan administrasi, terhadap pengakuan tidak diperlukan atau diharapkan tindakan demikian itu.”48 Oleh karena itu, kiranya mudah dimengerti mengapa orang bisa mudah sampai pada pengakuan keputusan yang diucapkan di luar negeri daripada melaksanakannya. 49

Sudah sejak lama dianut asas bahwa putusan-putusan pengadilan suatu negara tidak dapat dilaksanakan di wilayah negara lain. Putusan hakim suatu negara hanya dapat dilaksanakan di wilayah negaranya saja. 50

Putusan hakim asing tidak dapat dianggap sama dan sederajat dengan putusan hakim Indonesia sendiri yang dapat dilaksanakan di Indonesia. Ketentuan tersebut di atas erat kaitannya dengan prinsip kedaulatan teritorial (principle of territorial sovereignty) dimana berdasar asas ini putusan hakim asing tidak bisa secara langsung dilaksanakan di wilayah negara lain atas kekuatannya sendiri. 51

47

Ridwan Khairandy. Pengantar Hukum Perdata Internasional, (Yogyakarta : FH UII Press, 2007), hal. 220

48

Sudargo Gautama [2], Op.Cit., hal. 278 49

Ridwan Khairandy, Op.Cit., hal. 221 50

Sudargo Gautama [4]. Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, (Bandung : Alumni, 1985), hal. 281

51


(44)

Pada umumnya putusan hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Dikatakan pada umumnya, karena dalam hal tertentu ada putusan hakim yang dapat dilaksanakan di Indonesia. Bagi Indonesia sekiranya hanya ada suatu pasal undang-undang yang mengenai kekuatan putusan hakim dari negara asing, yaitu Pasal 436 “Burgerlijke Reglement Rechtsvordering (R.V)”. Betul undang-undang ini pada umumnya sekarang tidak berlaku, oleh karena sekarang hanya ada satu macam pengadilan untuk pemeriksaan perkara tingkatan pertama, yaitu pengadilan negeri dan untuk pengadilan negeri ini pada pokoknya hanya berlaku HIR (“Herziene Inlandsch Reglement”) bagi Jawa dan Madura dan RBG (“Rechtreglement Buitengewesten”) bagi daerah-daerah lain. Walaupun sebenarnya ketentuan R.V sudah tidak berlaku lagi di Indonesia, namun oleh karena Herziene Inland Reglement (HIR) yang mengatur hukum acara perdata dan yang sekarang digunakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak memiliki ketentuan perihal tata cara eksekusi suatu putusan asing ini, maka ketentuan R.V tersebut kiranya dapat dijadikan pedoman.52 Maka pasal itu dianggap terus berlaku, berdasar atas Pasal 142 Undang-Undang Dasar Sementara RI juncto Pasal 192 Konstitusi RIS juncto Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945.

Pasal 436 B. RV (Reglement Op De Rechtsvordering, Staatsblad Tahun 1847 Nomor 52 juncto Staatsblad Tahun 1849 Nomor 63 berbunyi demikian :53

52 Setiawan. Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung : Alumni, 1992), hal. 37

53

R. Wirjono Prodjodikoro [2]. Asas-Asas Hukum Perdata Internasional, (Jakarta : Sumur Bandung, 1979), hal 74


(45)

1. Di luar keadaan-keadaan yang disebutkan dalam Pasal 724 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan undang-undang lain, maka putusan-putusan hakim negeri asing tidak dapat dijalankan di dalam daerah hukum negara Indonesia.

2. Perkara-perkara yang bersangkutan harus diajukan, diperiksa dan diputuskan lagi di Indonesia. Untuk mendapatkan putusan yang dapat dieksekusi di Indonesia, tuntutan harus diajukan pada atau dilitigasi ulang oleh pengadilan Indonesia yang mempunyai kompetensi. Dalam hal ini, segala ketentuan dalam dokumen yang memperbolehkan proses hukum secara konkuren dilitigasi ulang pada yurisdiksi yang berbeda kemungkinan tidak dapat dieksekusi di Indonesia.54 Menurut M. Yahya Harahap :

Satu-satunya cara untuk mengeksekusi putusan pengadilan asing di Indonesia adalah dengan menjadikan putusan tersebut sebagai dasar hukum untuk mengajukan gugatan baru di pengadilan Indonesia. Kemudian, putusan pengadilan asing tersebut oleh pengadilan Indonesia dapat dijadikan sebagai alat bukti tulisan dengan daya kekuatan mengikatnya secara kasuistik, yaitu:55 a. bisa bernilai sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang

sempurna dan mengikat; atau

b. hanya sebagai fakta hukum yang dinilai secara bebas sesuai dengan pertimbangan hakim.

3. Dalam keadaan-keadaan yang dikecualikan pada ayat 1 putusan-putusan hakim negeri asing hanya dapat dijalankan, sesudah atas permohonan didapatkan izin pelaksanaan (verlof van excutie) dari hakim di tempat dalam Indonesia, dimana putusan itu harus dijalankan.

54

http:// gmraindonesia.co.id, terakhir kali diakses pada tanggal 25 Februari 2012 55


(46)

4. Dalam hal memohon dan memberikan izin ini, perkaranya sendiri tidak akan diperiksa kembali.

Jadi putusan hakim asing mengenai perhitungan avarai umum (grosse avaraij) terhadap pemilik kapal atau pemilik kargo yang diangkut oleh kapal yang bersangkutan dan berdomisili di Indonesia, berdasar ketentuan tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia. Pasal 724, ayat 5, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menentukan bahwa yang dinamakan “averij-grosse” ialah biaya-biaya yang diperlukan mengenai kapal lautan dan kerugian-kerugian yang diderita oleh kapal, barang-barang muatan atau anak buahnya, sebagai yang diperinci dalam Pasal 699 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan yang menurut Pasal 698, ayat 2, harus dibebankan dan dipertanggungjawabkan pada kapal, upah-upah pengangkutan dan barang-barang muatan seluruhnya. 56

Perundang-undangan negeri Belanda pada Pasal 431 B. Rv. dari negeri Belanda dan perundang-undangan Indonesia (Hindia-Belanda) pada Pasal 436 B. RV Indonesia mengambil suatu sikap tertentu terhadap putusan-putusan hakim negara asing, yaitu pada hakekatnya menolak dapat dijalankannya putusan-putusan itu di negeri Belanda dan di Indonesia. 57

56

Sudargo Gautama [2], Op.Cit., hal. 281 57

Kedaulatan yang diperoleh Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan de jure diakui oleh negeri Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 adalah sempurna dan tidak bersyarat. Maka dengan sendirinya sejak tanggal 17 Agustus 1945 bagi daerah de facto Republik Indonesia dan sejak pada tanggal 27 Desember 1949 bagi seluruh daerah negara Indonesia prinsip dari pasal 436 B. Rv. harus berlaku juga terhadap putusan-putusan hakim di negeri Belanda, oleh karena sejak tanggal-tanggal tersebut negeri Belanda adalah negeri asing bagi Indonesia.


(47)

Pasal 436 B. Rv. hanya mengenai hal menjalankan putusan hakim asing, maka yang disinggung oleh pasal tersebut ialah hanya satu macam kekuatan dari putusan hakim yang mengandung suatu penghukuman seseorang untuk melakukan suatu perbuatan (condemnatoir). Maka oleh pasal tersebut sama sekali tidak disinggung kekuatan lain dari putusan semacam itu dan kekuatan putusan dari lain macam, yaitu putusan menolak gugatan, putusan menciptakan suatu keadaan hukum, putusan memberikan suatu hak hukum.58

Hal ini tidak berarti semua putusan hakim asing tertutup sama sekali kemungkinannya untuk dilaksanakan di Indonesia. Terhadap putusan hakim yang bersifat deklaratif dan konstitutif pada umumnya tidak diperlukan pelaksanaan (ten uitvoerlegging).59 Putusan semacam ini hanya menciptakan hak dan kewajiban bagi orang-orang yang bersangkutan dalam hubungan tertentu. Putusan-putusan semacam ini tentu mudah diakui di luar negeri.

Ridwan Khairandy menambahkan:

Jika diperlukan pelaksanaan, mengenai hal perubahan Daftar-Daftar Catatan Sipil, karena perubahan status (nama, perkawinan, kematian), daftar-daftar mana kebetulan berada di dalam wilayah negara Indonesia, maka instansi-instansi administratif dapat memperhatikannya dan melaksanakan perubahan catatan bersangkutan itu dalam Daftar mereka. Kalau pun diperlukan pelaksanaan tidaklah banyak menimbulkan persoalan, misalnya hakim asing telah memutuskan perubahan status seorang anak, maka Daftar Catatan Sipil di Indonesia dapat diadakan perubahan berdasarkan putusan hakim tersebut.60

58

R. Wirjono Prodjodikoro [2], Op.Cit., hal. 65 59

Setiawan, Op.Cit., hal. 41 60


(48)

Tentang kekuatan-kekuatan yang lain, oleh karena tiada pasal undang-undang yang menentukan hal sesuatu perihal itu, dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya kekuatan putusan hakim negara asing, bagi negara Indonesia tidak ada, akan tetapi ini tidak dapat menghalang-halangi bahwa hakim Indonesia memperhatikan sedikit banyak adanya putusan hakim asing itu. Perihal ini Hakim Indonesia sama sekali tidak terikat oleh suatu peraturan. Maka hakim Indonesia dapat bertindak seperti halnya pada umumnya dalam hal hukum perdata internasional, yaitu menentukan bagaimana kekuatan putusan hakim asing harus dilihat dan diperhatikan dari sudut tujuan hukum perdata internasional untuk memenuhi rasa keadilan. Kalau misalnya untuk seorang Filipina A, yang belum cukup umur, di Indonesia bertindak seorang Filipina lain B, yang oleh hakim Filipina dianggap sebagai wali dari A itu, dan B di muka hakim Indonesia untuk membuktikan hal itu, memperhatikan suatu turunan sah dari putusan hakim asing itu, maka sekiranya sama sekali tiada keberatan bagi hakim Indonesia untuk mengakui kekuatan pembuktian dari putusan hakim asing itu.

Lain contoh : Perkawinan seorang Inggris A dengan seorang perempuan Inggris di negeri Inggris dipecahkan dengan suatu putusan hakim di Inggris. Kemudian A pergi ke Indonesia dan di sini berkawin lagi. Selanjutnya ia dituduh melakukan kejahatan bigami (beristeri dua) menurut Pasal 279, ayat 1 ke -1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan ia membela diri memperlihatkan turunan putusan hakim Inggris tersebut. Kinipun sekiranya tiada keberatan bagi Hakim Indonesia untuk mengakui kekuatan dari putusan Hakim Inggris itu.


(49)

Contoh lain lagi : Seorang India A di negerinya pernah digugat di muka hakim perihal mempunyai suatu hutang kepada seorang India B dan gugatannya ditolak. Kemudian ia datang di Indonesia dan di sini ia dimintakan, supaya ia oleh Hakim Indonesia dinyatakan pailit, berdasar antara lain atas adanya hutang tersebut di atas. Dalam pembelaannya ia memperlihatkan turunan putusan Hakim India yang mengandung penolakan gugatan tadi. Putusan Hakim India ini barangkali tidak akan dapat membuktikan 100% tidak adanya hutang itu, akan tetapi tiada keberatan pula bagi hakim Indonesia untuk memperhatian putusan hakim India itu seperlunya.61

Tentunya harus ada syarat-syarat bagi putusan hakim asing itu yang pada umumnya juga diperlukan untuk putusan hakim di Indonesia, misalnya hakimnya memang harus berkuasa untuk mengambil putusan dan putusan itu harus sah, artinya tidak batal oleh karena suatu kekurangan dalam mengambilnya.

Dalam teori tentunya ada kemungkinan suatu negara mempunyai peraturan tentang susunan dan kekuasaan pengadilan yang oleh negara lain dianggap demikian jeleknya sehingga dianggap bertentangan dengan ketertiban umum di negara lain itu, dengan akibat, bahwa putusan hakim asing itu sama sekali tidak akan diakui. Menurut J.G. Castel : “Pengadilan tidak akan mengakui atau melaksanakan hukum asing atau putusan asing atau status, kewenangan, dan kewajiban serta kemampuan atau ketidakmampuan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum yang diciptakan

61


(50)

berdasar hukum asing jika hal tersebut bertentangan ketertiban umum hukum hakim atau pengadilan mengadili perkara yang bersangkutan (lex fori).” 62

Selain Pasal 724 KUH Dagang, ada juga putusan hakim asing yang menurut undang-undang lain dapat dilaksanakan di Indonesia, atau berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral antara Indonesia dengan suatu atau beberapa negara, sesuai dengan asas resiprositas, yaitu tentang pengakuan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Suatu arbitrase dianggap internasional apabila para pihak pada saat dibuatnya perjanjian yang bersangkutan mempunyai tempat usaha mereka (place of business) di negara-negara berbeda. Misalnya salah satu pihak memiliki tempat usaha di Amerika, dan pihak lain memiliki tempat usaha di Indonesia. Jika terjadi perselisihan di antara mereka, dan mereka memilih cara penyelesaian melalui arbitrase, maka arbitrase ini tergolong arbitrase internasional.

Secara internasional, pengaturan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing ini diatur dalam Konvensi New York Tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing (convention on the recognition and enforcement of Foreign Arbitral Award), yang mulai berlaku sejak tanggal 7 Juni 1959.63

62

J.G. Castel. Introduction to Conflict of Law, (Toronto : Butterworth, 1986), hal. 50 63


(51)

Konvensi New York 1958 tersebut telah diratifikasi pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) No.34 Tahun 1981 dan ditindaklanjuti oleh Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.

Dalam perkembangannya, tata cara pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase di luar negeri telah diatur undang-undang, yakni UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Dalam Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999 juncto Pasal 3 Perma Tahun 1990 dinyatakan bahwa putusan hanya diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 64

1. Putusan itu dijatuhkan oleh badan arbitrase atau arbiter perorangan di suatu negara yang dengan negara Indonesia ataupun secara bersama-sama negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing. Pelaksanaannya didasarkan atas timbal balik (resiprositas).

2. Putusan-putusan arbitrase asing tersebut di atas hanyalah terbatas pada putusan-putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang.

3. Putusan-putusan arbitrase asing tersebut di atas hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. 65

C. Perceraian di Luar Negeri dilihat dari aspek Hukum Perdata Internasional

Seperti diketahui menurut kenyataan peraturan-peraturan cerai di berbagai dunia ini tak sama adanya. Menurut Sudargo Gautama:

64

Ridwan Khairandy, Op.Cit., hal. 231 65


(1)

Hukumonline.com, Tanya Jawab Hukum Perkawinan dan Perceraian, Kataelha, Jakarta, 2010

HR Damanhuri, H.A, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Mandar Maju, Bandung, 2007

Ka’bah, Rifyal, Hakim Agung MARI, Permasalahan Perkawinan, Makalah, Varia Peradilan Nomor 271, Juni 2008

Kahn.O-Freund, General Problems of Private International Law, AW Sijthoff International Publishing Company BV, Netherlands, 1976

Kamello, Tan dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Perdata : Hukum Orang & Keluarga, USU Press, Medan, 2011

Khairandy, Ridwan, Pengantar Hukum Perdata Internasional, FH UII Press, Yogyakarta, 2007

Kuncoro, N.M. Wahyu, Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2010

Kusumaatja Mochtar, Pengantar Internasional, Binacipta, Bandung, 1978 Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994 Manaf, Abdul, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Istri

dalam Penjaminan Harta Bersama pada Putusan Mahkamah Agung, CV. Mandar Maju, Bandung, 2006

Manan, Abdul, Eksekusi dan Lelang Dalam Hukum Acara Perdata, Makalah Hakim Agung Dalam Rakernas, 2011

Mayss, Abla J, Principles of Conflict of Laws, Cavendish Publishing Limited Company, London, 1999

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2006


(2)

_______________, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993

Moloeng, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002

Nurcholish, Ahmad, dan Ahmad Baso, Pernikahan Beda Agama, Komnas HAM & ICRP , Jakarta, 2010

Nygh, P.E., Conflict of Law in Australia, Butterworth, Sidney, 1984

Prodjodikoro, R. Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1991

_______________, Asas-Asas Hukum Perdata Internasional, Sumur Bandung, Bandung, 1979

Prodjohamidjojo, Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia, PT. Abadi, Jakarta, 2001

Purbacakara, Purnadi dan Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata Internasional, Suatu Orientasi, Alumni, Bandung, 1983

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 Runtung, Menuju Unifikasi Hukum Harta Perkawinan di Indonesia, Makalah,

tt

Saleh, K. Wantjik, Uraian Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, Ichtiar Baru- Van Hoeve, Jakarta, 1975


(3)

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986 Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu

Tinjauan Singkat, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2007

Soemartono, Triyuni dan Sri Hendrastuti, Administrasi Kependudukan Berbasis Registrasi, Yayasan Bina Profesi Mandiri, Bandung, 2011 Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 2002 Sofyan, Syahril, Beberapa Dasar Teknik Pembuatan Akta, Pustaka Bangsa,

Medan, 2011

Sugeng, Bambang, dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011

Susanto, Happy, Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian, Visimedia, Jakarta, 2008

Susilo, Budi, Prosedur Gugatan Cerai, Pustaka Yustisia, Jakarta, 2007

Tutik, Titik Triwulan, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008

Wognjodipuro, Surojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Djambatan, Jakarta, 1973

Wuisman, J.J.J.M, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting : M. Hisyam, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1996 Zein, Satria Effendi M., Analisis Yurisprudensi dalam Mimbar Hukum Nomor


(4)

B.PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Algemeene Bepalingen van Wetgeving (A.B)

C.INTERNET

Asia Maya. Harta Gono-Gini, diakses dari

http://asiamaya.com/konsultasi_hukum/harta_perkawinan/gono_gini.htm, pada tanggal 23 Januari 2012.

Family Court of Singapore, Divorce Law In Singapore, diakses dari http://www.international-divorce.com/d-singapore/htm, pada tanggal 28 Maret 2012

Mohammad Thoha (Hakim Pengadilan Agama Ponorogo). Hukum Perceraian

di Luar Negeri, diakses dari

http://pa-ponorogo.net/index.php?option=com_content&task=view.., pada tanggal 23 Januari 2012

Matrimonial Law of Singapore, diakses dari http://en.wikipedia.org.wiki/ matrimonial_law_of Singapore.htm, pada tanggal 28 Maret 2012

Singapore Council of Women’s Organizations (SCWO), The Women’s Charter, diakses dari http://www.scwo.org.sg.index.php/ resources/htm, pada tanggal 28 Maret 2012


(5)

The Subordinate Courts of Singapore, FAQs : Matrimonial Property, diakses dari: http://app.subcourts.gov.sg.family/faqs_print. aspx?pageid/3704/htm terakhir kali pada tanggal 28 Maret 2012

Wikipedia. Women’s Charter (Singapore), diakses dari http://en.wikipedia. org/w/index.php?title=Women%27s_Charter_(Singapore)&oldid=439887 612, pada tanggal 28 Maret 2012

How does the court divide matrimonial assets in a divorce? diakses dari http://singaporelegaladvice.com/2011/05/how- does-the-court-divide-matrimonial-assets-in-a-divorce/htm, pada tanggal 28 Maret 2012

http:// gmraindonesia.co.id, terakhir kali diakses pada tanggal 25 Februari 2012 http://app.supremecourt.gov.sg/default/aspx?pgID=43/htm, terakhir kali diakses


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Yunita

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 22 Juni 1988

Status : Belum Menikah

Agama : Buddha

Alamat : Jalan Rahmadsyah Nomor 164/132 D Medan II. KELUARGA

Ayah : Choa Tek Tjhin

Ibu : Kang Siaw Ling

Adik : Irawan Chandra

Rudy Chandra III. PENDIDIKAN

SD Swasta Hang Kesturi Medan : 1994-2000 SLTP Swasta Hang Kesturi Medan : 2000-2003 SMU Swasta Hang Kesturi Medan : 2003-2006

S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan : 2006 - 2010 S1 Fakultas Ekonomi (Accounting) STIE IT & B Campus, Medan : 2006 -2010 S2 Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan : 2010 -2012


Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Kajian Yuridis Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian (Putusan Mahkamah Agung Nomor : 255 K/Ag/2012)

0 6 10

KAJIAN YURIDIS PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN (PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 255 K/AG/2012)

1 13 16

BAB II KEABSAHAN PUTUSAN PERCERAIAN YANG DIKELUARKAN OLEH PENGADILAN DARI NEGARA LAIN TERHADAP WARGA NEGARA INDONESIA A. Macam-macam Kekuatan Putusan Pengadilan Ditinjau dari sifatnya, kekuatan putusan hakim dapat bercorak macam-macam, - Analisis Terhadap

0 0 36

Analisis Terhadap Keabsahan Putusan Perceraian Dan Pembagian Harta Bersama Yang Dikeluarkan Oleh Hakim Dari Negara Lain (Singapura) Terhadap Warga Negara Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003), 2012

0 0 23

Analisis Terhadap Keabsahan Putusan Perceraian Dan Pembagian Harta Bersama Yang Dikeluarkan Oleh Hakim Dari Negara Lain (Singapura) Terhadap Warga Negara Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003), 2012

0 0 14