Tanggung Jawab Penjamin (Avalist) Terhadap Utang Debitur Yang Wanprestasi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 1436.K/Pdt/2001)

(1)

NASKAH PUBLIKASI

TANGGUNG JAWAB PENJAMIN (AVALIST) TERHADAP UTANG DEBITUR YANG WANPRESTASI (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH

AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1436.K/Pdt/2001)

OLEH

NAMA : SAMANTO TARIGAN

NIM : 087011113

PROGRAM STUDI : MAGISTER KENOTARIATAN

MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010


(2)

TANGGUNG JAWAB PENJAMIN (AVALIST) TERHADAP UTANG DEBITUR YANG WANPRESTASI

(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1436.K/Pdt/2001)

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH

SAMANTO TARIGAN 087011113/MKn

PROGRAM PASCA SARJANA JURUSAN MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : TANGGUNG JAWAB PENJAMIN

(AVALIST) TERHADAP UTANG DEBITUR YANG WANPRESTASI (Studi Kasus Putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 1436.K/Pdt/2001).

Nama Mahasiswa : SAMANTO TARIGAN

Nomor Induk : 087011113

Program Studi : Kenotariatan Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN Ketua

Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,M.Hum Chairani Bustami,SH,Sp.N,MKn Anggota Anggota

Ketua Program Dekan Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN Prof Dr.Runtung Sitepu,SH,M.Hum Tanggal Lulus : 14 Agustus 2010.


(4)

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Telah diuji pada : Tanggal 14 Agustus 2010

____________________________________________________________________

Panitia penguji tesis

Ketua : PROF.DR.MUHAMMAD YAMIN SH, MS, CN Anggota : PROF.DR.BUDIMAN GINTING, SH, M.HUM

: CHAIRANI BUSTAMI, SH, SpN, MKn : SYAHRIL SOFYAN, SH, MKn


(5)

TANGGUNG JAWAB PENJAMIN (AVALIST) TERHADAP UTANG DEBITUR YANG WANPRESTASI

(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 1436.K/Pdt/2001, tanggal 29 Januari 2004)

Samanto Tarigan) Muhammad Yamin∗∗)

Budiman Ginting∗∗∗) Chairani Bustami ∗∗∗)

INTISARI

Bank sebagai lembaga keuangan, disamping memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang, usaha pokok bisnisnya adalah memberikan pelayanan kredit kepada para nasabahnya. Bank dalam memberikan kredit selalu meminta nasabah debitur untuk menyediakan jaminan pokok dan jaminan tambahan. Dalam jaminan tambahan selain berupa jaminan kebendaan, juga dapat berupa jaminan perorangan. Dalam KUHPerdata, adapun jaminan perorangan ini berupa penjaminan utang atau borgtocht, jaminan perusahaan, perikatan tanggung menanggung dan garansi bank. Namun, jaminan perorangan (borgtocht) yang diatur dalam KUHPerdata, bagi bank (kreditur) merasa piutangnya belum cukup aman apabila debitur wanprestasi, sebab bank tidak dapat mengetahui secara pasti barang-barang apa milik penjamin yang dapat disita dan dijual lelang. Disini tidak jarang bank (kreditur) meminta dan mengikat barang tertentu untuk menjamin utang debitur. Jadi pihak ketiga selain sebagai penjamin utang debitur juga menyerahkan barang tertentu untuk menjamin pelunasan utang debitur apabila wanprestasi. Pemberian jaminan seperti diatas dapat ditemui dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang seperti kasus hutang piutang antara Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara melawan PT.Twin Jaya Steel dan Faisal Oloan Nasution, SH sebagai penjamin (avalist) yang telah diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan Nomor : 1436.K/Pdt/2001, tanggal 29 Januari 2004. Sebagai penjamin utang dalam perjanjian jaminan seperti tersebut diatas tentu seorang penjamin mempunyai tanggung jawab, dasar hukum pengikatan penjamin dan barang yang diserahkan penjamin (avalist).

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang menggunakan pendekatan normatif kualitatif. Oleh karena itu penelitian ini melakukan penelitian kepustakaan.

Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa penjamin (avalist) tidak

) Mahasiswa Magister Kenotariatan FH USU.

∗∗ ) Ketua Program Magister Kenotariatan FH USU, Staff Pengajar Magister Kenotariatan FH. USU ∗∗∗ ) Staff Pengajar Magister Kenotariatan FH USU.


(6)

bertanggung jawab atas utang debitur (PT.Twin Jaya Steel), disebabkan PT.Twin Jaya Steel belum menjadi subjek hukum karena belum mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman sebagai badan hukum. Dasar hukum pengikatan penjamin (avalist) adalah berdasarkan perjanjian yang hanya berupa pernyataan dalam surat

wesel yang ditanda tangani penjuamin (avalist). Kekuatan eksekusi/sita jaminan

terhadap benda yang diserahkan penjamin (avalist) tidak dapat dieksekusi melalui Grosse Akta Pengakuan Hutang Dengan Pemberian Jaminan karena jaminan tersebut bukan jaminan kebendaan jadi harus dilakukan dengan proses melakukan gugatan perdata biasa ke Pengadilan Negeri.


(7)

THE RESPONSIBILITY OF THE AVALIST FOR THE DEBT OF THE DEFAULTING DEBTOR

(Case Study of the Verdict of the Supreme Court of the Republic of Indonesia, Number 1436.K/Pdt/2001, on January 29, 2004)

Samanto Tarigan ) Muhammad Yamin ∗∗)

Budiman Ginting ∗∗∗) Chairani Bustami ∗∗∗)

ABSTRACT

Banks as the financial institution, not only serves the payment and the circulation of money, but also as the main business which gives the loan to their clients. In giving the loan, banks always ask the clients to give principal guarantee and additional guarantee, which can be either collateral or surety. Collateral usually takes a long time and costs a lot of money. Therefore, a company which needs a loan from a bank for its capital, usually uses surety or personal guarantee. In this case, there will be an individual or corporate body that will take the responsibility for the paying off the debt if the debtor defaults. Some of the banks want the manager of a certain company who gets the loan to be bound by borgtocht. Not all companies can do this kind of binding, but only the companies which have legal entities. The company which has no legal entity, such as a business firm, and a limited company which has no legal entity can hardly do this borgtocht binding because its founder or manager is only responsible for his own assets. Therefore, a company which has not legal entity, will involve the third party as the guarantor. But it is very seldom for someone (third party) to guarantee other people’s debts. In the borgtocht which is regulated in the Civil Code, the bank (creditor) is not sure if its credit is secure because the debtor may default, because the bank does not know what collateral will be confiscated or auctioned. Therefore, the bank (creditor) usually asks for a mortgage to guarantee the debt. The regulation concerning the mortgage is found in the Code of Commercial Law, about giving aval guarantee in paying the bill of exchange (B/E).

The aim of the guarantor in giving the aval as the contract of giving surety, he, of course, will be responsible for the contract; in this case, he will be responsible for thedebt of the defaulting debtor of the limited company which has no legal entity. The example of this case is the debt and credit between BPDSU (Regional Development of North Sumatera Bank) and PT. Twin Jaya Steel, and Faisal Oloan

) Student of Masters of Notarial, Faculty of Law, University of north Sumatera.

∗∗ ) Head of The Program of Master of Notarial, Faculty of Law, University of North Sumatera. ∗∗∗ ) Lecturer of Maters of Notarial, Faculty of Law, University of North Sumatera.


(8)

Nasution SH., as the avalist which was in the verdict of the supreme Court of the Republic Indonesia Number 1436 K/Pdt/2001, on January 29, 2004.

This research was legal normative, using normative qualitative approach; therfore, it used library research. The Primary and secondary law’s data were obtained from library study,and the results of the research showed that, the avalist was not responsible for the debtor’s (PT.Twin Jaya Steel) debt because PT.Twin Jaya Steel hat not yet become the legal subject because there was no legalization from Menkumham (Minister of Justiceand Human Rights), the arrangement of the aval contract is found in the Code of Commercial Law, Article 130. In the Code of Commercial Law, it is in the provision about the form and the technique of the aval guarantee.The Binding of Both Parties in the aval contract is only based on signatures and the posisition of the execution/foreclosure on the collateral handed out by an avalist cannot be executed throught executory copy about IOU by giving the collateral because it must be done by process by making a claim a common civil case to the District Court.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah Subhana Wata’ala, karena atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul : ”Tanggung Jawab Penjamin (avalist) atas Utang Debitur Yang Wanprestasi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 1436.K/Pdt/2001, tanggal 29 Januari 2004)”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini telah banyak mendapat bimbingan pengarahan dan bantuan dari semua pihak. Terima kasih diucapkan khusus kepada Bapak pembimbing terhormat, Prof. Dr. Muhammmad Yamin, SH, MS, CN., Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, atas kesediaan memberikan bimbingan dan petunjuk serta saran-saran sejak dari awal penyusunan proposal sampai pada penulisan tesis ini.

Selanjutnya terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM),Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(10)

2. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak-bapak dan ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar pada Program Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis, khususnya dalam bidang Ilmu Kenotariatan.

5. Para pihak yang yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah bersedia memberikan informasi maupun bantuan yang diperlukan demi kelancaran pelaksanaan penulisan tesis ini.

6. Rekan-rekan dari Program Studi Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan semangat dan dorongan serta bantuan pada penulis untuk kelancaran menyelesaikan studi pada Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Akhirnya ucapan terima kasih penulis persembahkan kepada ayahanda H. Djenda Kami Ridwan Tarigan (Almarhum) dan Ibunda Hj. Kamariah Br S. Meliala, serta ayah mertua Ahmad Sayuti Nasution dan Ibunda Sarah Tanjung, BA yang selalu mendoakan penulis agar dapat menyelesaikan studi ini. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada isteri tercinta Dr. Zuhriah


(11)

Nasution dan ananda tersayang Muhammmad Hasyim Ashari Tarigan serta Chairunnisa Iman Br Tarigan yang selalu mendoakan dengan tulus dan penuh kasih sayang memberikan dorongan dan semangat pada penulis.

Akhirnya terhadap semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan dalam penulisan tesis ini, sekali lagi diucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT membalas dan memberkahinya.

Medan, 2010 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

INTISARI...i

ABSTRACT...iii

KATA PENGANTAR...vi

DAFTAR ISI...ix

BAB I. PENDAHULUAN...1

A.Latar Belakang...1

B.Permasalahan...12

C.Tujuan Penelitian...13

D.Manfaat Penelitian ...13

E.Keaslian Penelitian ...14

G.Kerangka Teori Dan Konsepsi... 16

1.Kerangka Teori...16

2.Kerangka Konsepsi...21

F.Metode Penelitian...25

1.Spesifikasi Penelitian...24

2.Sumber Data...25

3.Teknik Pengumpulan Data...25


(13)

BAB.II TANGGUNG JAWAB PENJAMIN ( AVALIST) ATAS UTANG

DEBITUR YANG WANPRESTASI ...27

A.Perjanjian Jaminan Aval Dalam Pembayaran Surat Wesel... 27

B.Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Penjamin (avalist) Terhadap Utang Debitur Yang Wanprestasi... 38

1.Subjek Hukum Dalam Perjanjian... 38

2.Perseroan Terbatas Sebagai Subjek Hukum...45

3.Tanggung Jawab Perseroan Terbatas...47

C.Tanggung Jawab Penjamin (avalist) Atas Utang Debitur Yang Wanprestasi...60

BAB .III DASAR HUKUM PENGIKATAN SEORANG PENJAMIN (AVALIST) DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN JAMINAN...69

A.Macam-Macam Ikatan...70

1.Ikatan Solider... 70

2.Ikatan Alternatif...70

3.Ikatan Bersyarat...71

4.Ikatan Induk Dan Ikatan Tambahan...72

5.Ikatan Dengan Sanksi Hukuman...72

B.Macam-Macam Perjanjian... 72

1.Perjanjian Jaminan Aval ... 74

BAB IV KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JAMINAN TERHADAP EKSEKUSI/SITA JAMINAN TERHADAP BENDA YANG DISERAHKAN PENJAMIN (AVALIST) APABILA DEBITUR WANPRESTASI... 86


(14)

B.Bentuk-Bentuk Grosse Akta... 94

C.Penyitaan Benda Jaminan Milik Penjamin...101

D.Eksekusi Jaminan Kredit... 107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 114

A.Kesimpulan... 114

B.Saran-Saran...116 DAFTAR PUSTAKA


(15)

TANGGUNG JAWAB PENJAMIN (AVALIST) TERHADAP UTANG DEBITUR YANG WANPRESTASI

(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 1436.K/Pdt/2001, tanggal 29 Januari 2004)

Samanto Tarigan) Muhammad Yamin∗∗)

Budiman Ginting∗∗∗) Chairani Bustami ∗∗∗)

INTISARI

Bank sebagai lembaga keuangan, disamping memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang, usaha pokok bisnisnya adalah memberikan pelayanan kredit kepada para nasabahnya. Bank dalam memberikan kredit selalu meminta nasabah debitur untuk menyediakan jaminan pokok dan jaminan tambahan. Dalam jaminan tambahan selain berupa jaminan kebendaan, juga dapat berupa jaminan perorangan. Dalam KUHPerdata, adapun jaminan perorangan ini berupa penjaminan utang atau borgtocht, jaminan perusahaan, perikatan tanggung menanggung dan garansi bank. Namun, jaminan perorangan (borgtocht) yang diatur dalam KUHPerdata, bagi bank (kreditur) merasa piutangnya belum cukup aman apabila debitur wanprestasi, sebab bank tidak dapat mengetahui secara pasti barang-barang apa milik penjamin yang dapat disita dan dijual lelang. Disini tidak jarang bank (kreditur) meminta dan mengikat barang tertentu untuk menjamin utang debitur. Jadi pihak ketiga selain sebagai penjamin utang debitur juga menyerahkan barang tertentu untuk menjamin pelunasan utang debitur apabila wanprestasi. Pemberian jaminan seperti diatas dapat ditemui dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang seperti kasus hutang piutang antara Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara melawan PT.Twin Jaya Steel dan Faisal Oloan Nasution, SH sebagai penjamin (avalist) yang telah diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan Nomor : 1436.K/Pdt/2001, tanggal 29 Januari 2004. Sebagai penjamin utang dalam perjanjian jaminan seperti tersebut diatas tentu seorang penjamin mempunyai tanggung jawab, dasar hukum pengikatan penjamin dan barang yang diserahkan penjamin (avalist).

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang menggunakan pendekatan normatif kualitatif. Oleh karena itu penelitian ini melakukan penelitian kepustakaan.

Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa penjamin (avalist) tidak

) Mahasiswa Magister Kenotariatan FH USU.

∗∗ ) Ketua Program Magister Kenotariatan FH USU, Staff Pengajar Magister Kenotariatan FH. USU ∗∗∗ ) Staff Pengajar Magister Kenotariatan FH USU.


(16)

bertanggung jawab atas utang debitur (PT.Twin Jaya Steel), disebabkan PT.Twin Jaya Steel belum menjadi subjek hukum karena belum mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman sebagai badan hukum. Dasar hukum pengikatan penjamin (avalist) adalah berdasarkan perjanjian yang hanya berupa pernyataan dalam surat

wesel yang ditanda tangani penjuamin (avalist). Kekuatan eksekusi/sita jaminan

terhadap benda yang diserahkan penjamin (avalist) tidak dapat dieksekusi melalui Grosse Akta Pengakuan Hutang Dengan Pemberian Jaminan karena jaminan tersebut bukan jaminan kebendaan jadi harus dilakukan dengan proses melakukan gugatan perdata biasa ke Pengadilan Negeri.


(17)

THE RESPONSIBILITY OF THE AVALIST FOR THE DEBT OF THE DEFAULTING DEBTOR

(Case Study of the Verdict of the Supreme Court of the Republic of Indonesia, Number 1436.K/Pdt/2001, on January 29, 2004)

Samanto Tarigan ) Muhammad Yamin ∗∗)

Budiman Ginting ∗∗∗) Chairani Bustami ∗∗∗)

ABSTRACT

Banks as the financial institution, not only serves the payment and the circulation of money, but also as the main business which gives the loan to their clients. In giving the loan, banks always ask the clients to give principal guarantee and additional guarantee, which can be either collateral or surety. Collateral usually takes a long time and costs a lot of money. Therefore, a company which needs a loan from a bank for its capital, usually uses surety or personal guarantee. In this case, there will be an individual or corporate body that will take the responsibility for the paying off the debt if the debtor defaults. Some of the banks want the manager of a certain company who gets the loan to be bound by borgtocht. Not all companies can do this kind of binding, but only the companies which have legal entities. The company which has no legal entity, such as a business firm, and a limited company which has no legal entity can hardly do this borgtocht binding because its founder or manager is only responsible for his own assets. Therefore, a company which has not legal entity, will involve the third party as the guarantor. But it is very seldom for someone (third party) to guarantee other people’s debts. In the borgtocht which is regulated in the Civil Code, the bank (creditor) is not sure if its credit is secure because the debtor may default, because the bank does not know what collateral will be confiscated or auctioned. Therefore, the bank (creditor) usually asks for a mortgage to guarantee the debt. The regulation concerning the mortgage is found in the Code of Commercial Law, about giving aval guarantee in paying the bill of exchange (B/E).

The aim of the guarantor in giving the aval as the contract of giving surety, he, of course, will be responsible for the contract; in this case, he will be responsible for thedebt of the defaulting debtor of the limited company which has no legal entity. The example of this case is the debt and credit between BPDSU (Regional Development of North Sumatera Bank) and PT. Twin Jaya Steel, and Faisal Oloan

) Student of Masters of Notarial, Faculty of Law, University of north Sumatera.

∗∗ ) Head of The Program of Master of Notarial, Faculty of Law, University of North Sumatera. ∗∗∗ ) Lecturer of Maters of Notarial, Faculty of Law, University of North Sumatera.


(18)

Nasution SH., as the avalist which was in the verdict of the supreme Court of the Republic Indonesia Number 1436 K/Pdt/2001, on January 29, 2004.

This research was legal normative, using normative qualitative approach; therfore, it used library research. The Primary and secondary law’s data were obtained from library study,and the results of the research showed that, the avalist was not responsible for the debtor’s (PT.Twin Jaya Steel) debt because PT.Twin Jaya Steel hat not yet become the legal subject because there was no legalization from Menkumham (Minister of Justiceand Human Rights), the arrangement of the aval contract is found in the Code of Commercial Law, Article 130. In the Code of Commercial Law, it is in the provision about the form and the technique of the aval guarantee.The Binding of Both Parties in the aval contract is only based on signatures and the posisition of the execution/foreclosure on the collateral handed out by an avalist cannot be executed throught executory copy about IOU by giving the collateral because it must be done by process by making a claim a common civil case to the District Court.


(19)

PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Bank sebagai salah satu lembaga keuangan, disamping memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang, usaha pokok bisnisnya adalah memberikan pelayanan kredit kepada para nasabahnya.

Pada umumnya Bank dalam memberikan kredit selalu meminta nasabah debitur untuk menyediakan jaminan pokok dan jaminan tambahan. Dalam jaminan tambahan selain berupa jaminan kebendaan, juga dapat berupa jaminan perorangan. *

Dalam pemberian kredit antara debitur dan bank tersebut dibuat sebuah perjanjian tertulis, di dalam perjanjian di perjanjikan pula bahwa pemberian kredit itu dibebani oleh jaminan yang selanjutnya diikuti dengan pengikatan jaminan kebendaan atau perorangan.

Sebenarnya baik perjanjian jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan keduanya timbul dari perjanjian, dalam jaminan kebendaan yaitu adanya suatu kebendaan tertentu yang dibebani dengan utang. Sedangkan jaminan yang bersifat perseorangan yaitu adanya seseorang tertentu atau badan hukum yang bersedia menjamin pelunasan utang tertentu bila debitur wanprestasi.

Adapun jaminan perseorangan adalah hak yang memberikan kepada kreditur sesuatu kedudukan yang lebih baik, karena adanya lebih dari seorang debitur yang dapat ditagih. Adanya lebih dari seorang debitur, bisa karena ada debitur serta

*

Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, Jakarta,1995, hal.80


(20)

tanggung menanggung atau karena adanya orang pihak ketiga yang mengikatkan dirinya sebagai borg.

Adapun jaminan perorangan ini adalah berupa penjaminan utang atau

borghtoch, jaminan perusahaan, perikatan tanggung menanggung, dan garansi bank.

Dalam KUH Perdata mengenai jaminan perorangan ini diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 tentang penanggungan hutang.

Selain diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata diatur juga mengenai jaminan perorangan lainnya tentang perikatan tanggung menanggung (perikatan tanggung renteng) yang diatur mulai Pasal 1278 sampai dengan Pasal 1295 dan Pasal 1316 KUH Perdata mengenai perjanjian garansi.

Yang dimaksud penanggungan dalam Pasal 1820 KUHPerdata adalah suatu persetujuan yang mana, seorang pihak ketiga guna kepentingan siberpiutang (kreditur) mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya siberhutang (debitur) manakala orang itu sendiri tidak memenuhinya.§

Dari defenisi tersebut, maka jelaslah ada tiga pihak yang terkait dalam perjanjian penanggungan hutang yaitu pihak kreditur, debitur dan pihak ketiga. Kreditur berkedudukan sebagai pemberi kredit (berpiutang), debitur sebagai penerima kredit (berhutang) dan pihak ketiga sebagai penjamin (penanggung) utang debitur kepada kreditur, manakala debitur tidak memenuhi janjinya.

Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.77

Ibid.

§


(21)

Gunawan Wijaya dan Kartini Mulyadi mengemukakan ada tiga hal yang meliputi unsur penanggungan hutang, yaitu :

1. Penanggungan hutang diberikan untuk kepentingan kreditur

2. Utang yang ditanggung tersebut haruslah suatu kewajiban prestasi, atau perikatan yang sah demi hukum.

3. Kewajiban penanggung untuk memenuhi atau melaksanakan kewajiban debitur baru ada setelah debitur wanprestasi.**

Unsur kepentingan kreditur adalah mutlak untuk membedakan dari kepentingan debitur itu sendiri. Dalam suatu perikatan yang melibatkan lebih dari satu debitur, maka untuk melindungi kepentingan di antara para debitur, yang terjadi adalah perikatan tanggung menanggung pasif, yang diatur dalam Pasal 1280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.††

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan suatu pengertian atau defenisi perikatan tanggung menanggung atau perikatan tanggung renteng pasif. Namun berdasarkan pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 1278 dan Pasal 1280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :

Pasal 1278 :

“Suatu perikatan tanggung menanggung atau perikatan tanggung renteng terjadi antara beberapa kreditur, jika di dalam persetujuan secara tegas kepada masing-masing diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh utang, sedang pembayaran yang dilakukan kepada

**

Gunawan Widjaya, Kartini Mulyadi, Penanggungan Utang Dan Perikatan Tanggung

Menanggung, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 16


(22)

salah satu membebaskan debitur meskipun perikatan itu menurut sifatnya dapat dipecah dan dibagi diantara para kreditur tadi”.‡‡

Pasal 1280 :

“Adalah terjadi suatu perikatan tanggung menanggung di pihaknya debitur, manakala mereka kesemuanya di wajibkan melakukan suatu hal yang sama, sedemikian bahwa salah satu dapat dituntut untuk seluruhnya, dan pemenuhan oleh satu membebaskannya para debitur yang lainnya terhadap kreditur.” §§

Dalam konteks demikian berarti dikenal adanya dua macam perikatan tanggung renteng atau tanggung menanggung, yaitu :

1. Perikatan tanggung renteng atau perikatan tanggung menanggung aktif yaitu suatu perikatan dengan lebih satu kreditur berhak untuk menuntut pemenuhan perikatannya dari debitur, dan pemenuhan perikatan kepada salah satu kreditur adalah pemenuhan perikatan kepada semua kreditur.

2. Perikatan tanggung renteng atau perikatan tanggung menanggung pasif yaitu perikatan dengan lebih satu debitur, dimana masing-masing debitur dapat dituntut untuk memenuhi seluruh isi perikatannya oleh kreditur, dan pemenuhan perikatan oleh salah satu debitur adalah pemenuhan perikatan oleh semua debitur.***

Menurut rumusan yang diberikan Pasal 1280 KUHPerdata bahwa para debitur secara bersama-sama mengikatkan dirinya untuk memenuhi suatu kewajiban yang sama, dengan demikian berarti siapapun yang memenuhi perikatan tersebut adalah

‡‡

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1278

§§

Ibid, Pasal 1280

***


(23)

berarti pemenuhan perikatan oleh para debitur dalam perikatan tanggung menanggung pasif tersebut .†††

Konstruksi hukum perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng pasif tersebut selain diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga dapat ditemui dalam ketentuan BAB VI kitab Undang-Undang Hukum Dagang tentang surat wesel dan surat order dan BAB VIII tentang Cek, Promes, dan Kwitansi kepada pembawa.

Pasal 102 KUHDagang :

“Ada surat wesel yang dibuat kepada orang yang ditunjuk oleh penarik, ada yang ditarik atas diri penarik sendiri dan ada yang ditarik atas tanggungan orang ketiga.

Tiap-tiap penarik surat wesel dianggap telah menariknya atas tanggungan diri sendiri, apabila dari surat wesel itu atau dari surat pemberitahuannya tidak ternyata, atas tanggungan siapa surat itu ditariknya.”‡‡‡

Pasal 107 KUHDagang :

“Tiap-tiap orang yang menaruh tanda tangannya dalam sesuatu surat

wesel sebagai wakil orang lain, atas nama siapa ia berwenang, untuk

bertindak, ia pun dengan diri sendiri terikat dengan surat wesel itu, dan apabila telah membayarnya, memperoleh juga hak-hak yang sama yang sedianya ada pada orang yang katanya diwakili itu. Akibat-akibat yang sama berlaku juga bagi seorang wakil yang bertindak dengan melampaui batas kewenangannya.” §§§

Dari rumusan diatas dapat diketahui bahwa undang-undang menetapkan setiap penarik surat wesel untuk bertanggung jawab atas setiap penerbitan wesel olehnya,

†††

Ibid, hal 17

‡‡‡

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pasal 102

§§§


(24)

meskipun wesel tersebut ialah ditarik atas tanggungan atau dengan kewajiban pihak ketiga untuk memenuhinya.

Penarik yang telah membubuhkan tanda tangannya pada surat wesel adalah demi hukum juga bertanggung jawab atas pemenuhan kewajiban oleh tertarik yang bukan dirinya sendiri.

Ini berarti dalam penarikan surat wesel dimana pihak penarik adalah berbeda dari pihak tertarik. Terdapat suatu perikatan tanggung menanggung pasif antara penarik dan tertarik yang keduanya bertanggung jawab secara renteng atas pemenuhan kewajiban pembayaran surat wesel tersebut kepada kreditur yang menguasai wesel tersebut secara sah. Dalam keadaan demikian berlakulah ketentuan mengenai tanggung renteng yang bersifat pasif dalam Pasal 1280 KUH Perdata .****

Selanjutnya dalam Pasal 129 KUHDagang menyatakan bahwa pembayaran sesuatu surat wesel bisa dijamin dengan jaminan aval untuk seluruh atau sebagian dari jumlah uangnya.

Jaminan ini bisa diberikan oleh orang ketiga, bahkan oleh orang yang tanda tangannya termuat dalam surat wesel itu.††††

Marjanne Termorshuizen mengartikan istilah aval (Pasal 129 – 131, 202 – 204 KUHDagang) adalah perjanjian jaminan ‡‡‡‡ dan si pemberi jaminan disebut

avalist.§§§§

****

Gunawan Widjaya, Kartini Mulyadi, Op.cit, hal 21

††††

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pasal 129

‡‡‡‡

Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1999, hal 28


(25)

Penjamin (avalist) dengan meng-aval atau memberi aval kepada salah seorang penghutang wesel yang sebelumnya telah ada, menjadi berkedudukan sebagai penghutang wesel yaitu sebagai penghutang wesel yang khusus yang kewajibannya timbul dari pemberian aval.*****

Emmy Pangaribuan Simanjuntak mengemukakan bahwa:

”Perikatan dari avalist itu adalah berdiri sendiri lepas dari perikatan pokoknya. Ini dapat disimpulkan dari bunyi Pasal 131 ayat (2) KUHDagang yang menyebutkan : Perikatannya sah bahkan bilamana perikatan yang dijaminnya itu batal karena sebab lain dari pada cacat bentuk. Disinilah letak perbedaan borgtocht dari aval. Borgtocht sebagai peraturan hukum itu tidak berdiri sendiri, akan tetapi asessoir dengan perikatan pokoknya.†††††

.

Sebagai peraturan hukum yang mempunyai kedudukan setaraf antara perjanjian borgtocht dalam KUHPerdata dan perjanjian aval dalam KUHDagang berdasarkan azas lex specialis derogaat lex generalis maka KUHDagang merupakan suatu lex specialis terhadap KUHPerdata sebagai lex generalisnya. Sebagai lex

specialis, kalau dalam KUHDagang ada ketentuan yang mengatur sesuatu yang diatur

juga dalam KUHPerdata, maka ketentuan dalam KUHDagang yang berlaku.‡‡‡‡‡ Dalam praktek memang jarang ditemui ada orang secara sukarela yang sengaja mengikatkan diri kepada kreditur menjadi penjamin utang.

§§§§

Lihat JCT, Simorangkir, Rudi T.Erwin, J.T.Prasetyo, Kamus Hukum, Bumi Aksara, Jakarta,1995, hal.11

*****

Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Dagang Surat-Surat Berharga, diterbitkan oleh Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1993, hal 77

†††††

Ibid, hal 81

‡‡‡‡‡


(26)

Namun alasan adanya perjanjian jaminan pembayaran surat wesel dalam KUHDagang ini adalah adanya kesediaan menolong (accommodates) orang lain agar mendapatkan dana pinjaman.

Abdurrahman A, mengemukakan ada suatu bill of exchange (wesel) yang ditarik dan disetujui tanpa pertimbangan yang harus diadakan mengenai nilai yang diberikan atau yang diterima. Jika disetujui, maka ini pada hakekatnya, adalah suatu

promissory note untuk kepentingan si penarik wesel itu dengan pembayaran yang

ditanggung oleh acceptor (bank) itu.§§§§§

Dalam arti, si peminjam yang menolong (accommodates) atau menyediakan uang untuk orang yang pinjam uang,tanpa konsiderasi, dengan maksud untuk memberi kesempatan kepada orang lain akan mendapatkan dana pinjaman.******

Dalam praktek pemberian kredit oleh bank dalam konteks perjanjian jaminan seperti tersebut diatas dapat terjadi antara lain pemberian jaminan oleh pihak ketiga sebagai penjamin (avalist) terhadap utang debitur yang berupa sebuah perseroan terbatas yang belum mendapat pengesahan sebagai badan hukum dari Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia).

Triwidiyono mengemukakan bahwa ;

”Perbuatan hukum atas nama perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota-anggota direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota-anggota

§§§§§

Abdurrahman, A, Ensiklopedia, Keuangan dan Perdagangan , Pra Pancha, Jakarta, 1963, hal 103

******


(27)

dewan komisaris perseroan dan semua bertanggung jawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut.”††††††

Oleh karena itu penjamin (avalist) dalam menjamin utang perseroan terbatas yang belum berstatus badan hukum tersebut, yang terjadi adalah perjanjian tanggung renteng pasif dimana penjamin (avalist) bertanggung jawab secara tanggung renteng bersama para pendiri perseroan tersebut terhadap perbuatan hukumnya.

Keterikatan penjamin (avalist) dalam perbuatan hukum tersebut dalam KUHDagang dapat ditemui dalam Pasal 131 ayat (1) KUHDagang yang berbunyi

Pasal 131 KUHDagang ayat (1):

“Pemberi aval, ia pun sama terikatnya seperti mereka untuk siapa aval (perjanjian jaminan) diberikannya.‡‡‡‡‡‡

Berdasarkan Pasal 131 ayat (1) KUHDagang tersebut maka penjamin (avalist) yang memberi jaminan aval kepada orang yang diberi aval maka penjamin (avalist) terikat seperti orang yang diberi aval tersebut dan dengan demikian maka penjamin

(avalist) itupun menjadi penghutang yang wajib dituntut pembayarannya hutangnya.

Pada pokoknya bahwa kedudukan hukum dari seorang penjamin (avalist) itu adalah sama sebagai kedudukan hukum dari orang yang diberi aval.§§§§§§.

Berhubungan dengan perbuatan hukum mengambil kredit di bank oleh pendiri perseroan terbatas yang mengatas namakan perseroan terbatas belum berstatus badan hukum, sering terjadi penyimpangan-penyimpangan yang mengakibatkan kerugian

††††††

Tri Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, Keberadaan ,Tugas, Wewenang Dan

Tanggung Jawab, Ghalia, Indonesia, Jakarta, 2008, hal.30

‡‡‡‡‡‡

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pasal 131 ayat (1)

§§§§§§


(28)

tidak hanya terhadap usaha perseroan terbatas tersebut atau pihak bank, tetapi juga merugikan pihak ketiga sebagai penjamin (avalist).

Dalam praktek ternyata dana pinjaman sering tidak digunakan untuk kepentingan perseroan terbatas melainkan untuk kepentingan pribadi pendiri perseroan tersebut. Dalam keadaan para pendiri tidak mampu membayar pinjamannya, pailit ataupun wanprestasi, akibatnya timbul perselisihan antara pendiri perseroan terbatas, pihak penjamin (avalist) dan bank. Bahkan harus diselesaikan lewat proses pengadilan.

Dalam keadaan seperti ini tak jarang pendiri perseroan terbatas tersebut berpura-pura miskin dan tidak mempunyai harta kekayaan lagi untuk digunakan sebagai pelunasan hutangnya pada bank.

Sebagai ganti pelunasan hutang para pendiri perseroan terbatas yang belum berstatus badan hukum tersebut maka bank pun menyita benda jaminan yang diberikan oleh penjamin (avalist) berdasarkan surat pengakuan utang yang ditanda tangani oleh semua para pendiri perseroan terbatas dan pihak penjamin (avalist). Tak jarang pula pihak penjamin menolak memberikan benda yang dijadikan jaminan itu disita oleh bank, karena penjamin (avalist) merasa tidak wajib membayar pinjaman itu disebabkan penyimpangan yang dilakukan oleh para pendiri perseroan terbatas tersebut.

Kasus tentang permasalahan tanggung jawab penjamin (avalist) ini dapat ditemukan di dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.


(29)

1436.K/Pdt/2001, tanggal 29 Januari 2004 tentang : “Tanggung jawab penjamin (avalist) terhadap utang debitur yang wanprestasi”.

Kasus ini telah diputus oleh Mahkamah Agung pada tahun 2004 yaitu sengketa antara Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPD SUMUT) dengan perseroan terbatas PT.TWIN JAYA STEEL (PT.TJS) yang diwakili Direktur Utama : Hanafi, komisaris utama : Siti Aminah dan Faisal Oloan Nasution, SH dan istrinya Kushadiningsih sebagai penjamin (avalist).

Dalam kasus ini Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPD SUMUT) memberi pinjaman kredit sebesar Rp. 75.000.000 (tujuah puluh lima juta rupiah) dengan bunga 2,5% perbulan dalam jangka waktu 12 bulan kepada debitur PT. Twin Jaya Steel (PT TJS) yang berkedudukan di Medan yang diwakili oleh Direktur Utama : Hanafi dan Komisaris Utama : Siti Aminah. Pinjaman kredit dari Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPD SUMUT) kepada PT. Twin Jaya Steel dijamin oleh Faisal Oloan Nasution, SH dan istrinya Kushandiningsih sebagai

penjamin (avalist) dengan membuat Surat Pernyataan Penyerahan

Tanah/Melepaskan Hak atas Tanahnya yaitu Tanah atas nama Faisal Oloan Nasution,SH.

Hal yang menarik dalam putusan Mahkamah Agung tersebut adalah dimana penjamin (avalist) tidak turut bertanggung jawab dan benda jaminannya tidak dapat disita untuk pelunasan hutang/kredit Perseroan Terbatas PT .Twin Jaya Steel (PT.TJS) yang belum berstatus sebagai Badan Hukum yang wanprestasi yang


(30)

tertuang dalam Perjanjian Kredit dan Akta Notaris Pengakuan Hutang dan Pemberian Jaminan yang ikut ditanda tangani oleh penjamin (avalist).

Dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut juga menyatakan bahwa akta Notaris Pengakuan Hutang dan Pemberian Jaminan yang dibuat dihadapan Notaris Alina Hanum SH tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap penjamin (avalist).

Hal tersebut pulalah yang menjadi latar belakang penulisan tesis ini guna mengkaji dasar-dasar hukum tentang tanggung jawab penjamin (avalist) terhadap utang debitur berupa perseroan terbatas yang belum berstatus badan hukum yang wanprestasi, dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No : 1436/K/Pdt/2001, tanggal 29 Januari 2004 tersebut, sehingga dengan demikian, akan terjawab kesimpulan yang sesuai permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

Ada yang janggal dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No : 1436/K/Pdt/2001, tanggal 29 Januari 2004 tersebut, yaitu tidak memberikan rasa keadilan dalam pihak tergugat antara debitur dan penjamin (avalist), yang terikat dalam suatu perjanjian tanggung menanggung (tanggung renteng) dalam pembayaran surat wesel seperti tersebut diatas dimana penjamin (avalist) dan debitur tidak bertanggung jawab secara tanggung menanggung (tanggung renteng) atas hutang mereka terhadap bank (kreditur). Sekilas memang hubungan antara penjamin dan debitur adalah berbeda tapi dalam perjanjian tanggung menanggung (tanggung renteng) pembayaran surat wesel adalah merupakan satu karena terikat sebagai pihak–pihak yang berhutang.


(31)

Berdasarkan uraian latar belakang terdahulu diatas, maka permasalahan yang dirumuskan untuk dibahas dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana penjamin (avalist) tanggung jawabnya terhadap utang debitur yang merupakan perseroan terbatas yang belum mendapat pengesahan sebagai badan hukum oleh Menteri Kehakiman bila debitur tersebut wanprestasi? 2. Apakah yang menjadi dasar hukum pengikatan terhadap seorang penjamin

(avalist) dalam perikatan pemberi jaminan aval?

3. Bagaimana kekuatan hukum perjanjian pemberian jaminan terhadap eksekusi/sita jaminan terhadap benda jaminan yang diserahkan penjamin (avalist) apabila debitur wanprestasi.

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab seorang penjamin (avalist) terhadap utang debitur yang merupakan perseroan terbatas yang belum mendapat pengesahan sebagai badan hukum oleh Menteri Kehakiman dalam perjanjian pemberian jaminan aval apabila debitur tersebut wanprestasi.

2. Untuk mengetahui dasar hukum pengikatan seorang penjamin (avalist) dalam perikatan pemberian jaminan aval.

3. Untuk mengetahui sejauh mana kekuatan hukum perjanjian pemberian jaminan aval dapat mengeksekusi/menyita benda jaminan dari penjamin


(32)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan masukan untuk menambah ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum jaminan yang dapat digunakan untuk pihak-pihak yang membutuhkan sebagai bahan kajian ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan ilmu hukum bidang perbankan pada khususnya yaitu mengenai perikatan pemberian jaminan aval dalam perjanjian kredit di bank.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat, pihak-pihak instansi perbankan, pejabat notaris, aparat hukum yang berwenang secara hukum dan menangani urusan pembuatan perjanjian pemberi jaminan, perjanjian kredit di bank yang secara umum sering terjadi di bank-bank diseluruh Indonesia dan di Sumatera Utara maupun di Medan khususnya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai tanggung jawab penjamin (avalist) terhadap utang debitur yang wanprestasi yaitu studi kasus putusan Mahmakah Agung RI No :


(33)

1436.K/Pdt.2001, tanggal 29 Januari 2004, belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya.

Meskipun ada peneliti-peneliti terdahulu, yang pernah melakukan penelitian namun bukan merupakan studi kasus dari putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia seperti yang ada dalam penelitian ini dan yang menjadi pokok pembahasan berbeda dengan penelitian ini.

Adapun penelitian yang berkaitan dengan judul penelitian ini yang pernah dilakukan adalah tentang : Tanggung jawab penjamin terhadap debitur yang wan prestasi kepada Bank Danamon, Tbk, oleh Teddy Taufik (NIM : 027011063). Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah :

1.Bagaimana persyaratan seorang penanggung hutang yang disetujui oleh Bank Danamon Tbk?

2.Apakah hak istimewa dari penanggung hutang masih dapat diterapkan atau berlaku dalam perjanjian penanggungan hutang pribadi?

3.Apakah setelah penanggung hutang membayar hutang debitur dengan dieksekusi hartanya oleh Pengadilan Negeri/dilelang dapat meminta kembali pembayaran hutang terhadap hartanya yang sudah dilelang kepada debitur?

Selain penelitian tersebut diatas yang berkaitan dengan judul penelitian ini adalah tentang : Analisa Yuridis Atas Eksistensi Surat Kuasa Memasang Hak Tanggungan (SKMHT) Yang Diingkari Debitur, oleh Egawaty Siregar, SH, MKn (NIM: 087011169). Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah:


(34)

1.Bagaimanana ketentuan hukum pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan?

2.Bagaimana tata cara pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan? 3.Bagaimana eksistensi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang

diingkari debitur?

Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan secara akademis dapat dipertanggung jawabkan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan teori harus diuji dengan menghadapkan fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.*******

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan sebagai pegangan teoritis.

Seperti yang telah dikemukakan di latar belakang penulisan tesis ini tentang perjanjian jaminan pembayaran suatu surat wesel yang diatur dalam KUHDagang adalah merupakan suatu perjanjian maka sebagai suatu bentuk perjanjian yang menjadi bahan perbandingannya adalah KUHPerdata.

*******

JJJ, Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting M.Hisyam, UI Press, Jakarta, 1993, hal 203


(35)

Rachmadi Usman, mengemukakan hukum perikatan yang termuat dalam buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka (open system) dalam arti siapa saja dapat membuat perjanjian, baik sudah dikenal dengan buku III KUHPerdata maupun perjanjian baru diluar buku III KUHPerdata. Sehubungan dengan itu dalam kaitan dengan system terbuka, maka dianutlah azas, siapa saja atau setiap orang (masyarakat luas) memberikan kebebasan untuk membuat atau mengadakan perjanjian dengan siapa saja, bagaimana bentuknya dan isinya, sepanjang perjanjian dimaksud dibuat tidak melawan hukum dan berlawanan dengan kepatuhan, kesusilaan dan ketertiban umum.†††††††

Didalam perbandingan hukum perdata dikenal juga sistem pengaturan yang tertutup dan terbuka. Sistem pengaturan hukum Romawi bersifat tertutup, artinya di dalam hukum Romawi mengatur ketentuan hukum secara sistematis, bulat dan lengkap di dalam sebuah kodifikasi hukum, sehingga para hakim memutuskan perkara terikat pada ketentuan hukum yang tercantum dalam undang-undang tersebut. Lain halnya dengan sistem hukum common law, sistem pengaturan hukumnya terbuka. Artinya, norma hukum yang adil dan benar dapat ditemukan dalam sistem perkara yang diadili. Berdasarkan fakta-fakta dalam perkara tersebut yang berpedoman pada apa yang dirasakan adil dalam setiap perkara.‡‡‡‡‡‡‡

Dalam perkembangan hukum modern, perjanjian di buat bukan hanya oleh orang dengan orang (manusia) sebagai subjek hukum tetapi ada juga perjanjian yang

†††††††

Rachmadi Usman, Op.cit, hal.26

‡‡‡‡‡‡‡

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 13-14


(36)

dibuat oleh orang (manusia) sebagai subjek hukum dengan subjek hukum lainnya yaitu badan hukum atau perjanjian dibuat oleh badan hukum dengan badan hukum.

Perjanjian yang dibuat badan hukum dengan orang bisa terjadi antara lain perjanjian pemberian kredit oleh bank sebagai badan hukum dan orang yang membutuhkan kredit.

Perjanjian yang dibuat badan hukum dengan badan hukum bisa terjadi antara lain perjanjian pemberian kredit antara bank sebagai bentuk badan hukum dengan perseroan terbatas sebagai suatu bentuk badan hukum yang lain.

Secara formal, pendirian Perseroan Terbatas dimulai pada saat akta pendirian dibuat oleh notaris. Dalam fase ini perseroan terbatas bukanlah merupakan badan hukum. Perseroan Terbatas sebagai badan hukum adalah tergantung pengesahan yang diperoleh dari Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia).

Terhadap pihak ketiga sebagai penjamin (avalist) hutang dari debitur yang berupa perseroan yang belum berstatus badan hukum seperti tersebut diatas, sementara perseroan terbatas nya sendiri belum berstatus badan hukum berarti belum menjadi sebagai subjek hukum, sehingga pihak ketiga (penjamin) dengan menyerahkan agunan untuk menjadi penjamin berarti yang dijamin juga belum ada.

Adapun teori yang dipakai untuk menganalisa permasalahan dalam penelitian ini adalah teori jaminan.

R. Subekti mengatakan bahwa sistem adalah suatu susunan atau catatan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama


(37)

lain tersusun menurut suatu rencana atau pola hasil dari satu pemikiran untuk mencapai satu tujuan. Bellefroid, mengatakan pula bahwa sistem hukum yang disusun secara terpadu berdasarkan azas-azas tertentu.§§§§§§§

Berdasarkan defenisi tersebut, maka perlu diketahui sistem hukum jaminan melalui asas-asas yang mendukung hukum jaminan tersebut baik jaminan kebendaan maupun perorangan. Artinya sistem jaminan kebendaan dan jaminan perorangan tentulah memiliki dasar-dasar yang tersendiri.

Menurut Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT),Hak Tanggungan merupakan satu-satunya lembaga jaminan atas tanah ,******** hal ini berarti setiap pemberian jaminan berupa tanah haruslah berdasarkan Undang-Undang. Salah satu azas yang mendukung jaminan kebendaan yang diatur oleh undang-undang adalah azas sistem tertutup yaitu bahwa selain dari hak kebendaan yang diatur dalam Undang-Undang yaitu Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman Nomor 4 Tahun 1992 (UUPP) dan Undang-Undang Jaminan Fidusia (UUJF) tidak dapat diadakan hak jaminan kebendaan lain berdasarkan kesepakatan antara para pihak. Hak kebendaan ini bersifat absolut, karena itu bersifat limitatif.††††††††

§§§§§§§

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasai Hukum Jaminan, PT.Mandar Maju, Bandung , 2004, hal 11

********

Ibid, hal 10

††††††††


(38)

Asas-asas lain yang mendukung dari sistem hukum jaminan adalah asas

assesoir yaitu perjanjian penjaminan adalah perjanjian ikutan yang lahir dari

perjanjian pokok.

Fasilitas kredit dengan agunan milik pihak ketiga secara hukum diperbolehkan sepanjang dalam pemberiannya di berikan dan ditandatangani oleh seluruh pemilik benda.‡‡‡‡‡‡‡‡

Namun jaminan perorangan berbeda dengan jaminan kebendaan. Dalam jaminan perorangan tidak ada benda yang tertentu diikat sebagai jaminan sehingga tidak jelas benda apa yang dapat dijadikan jaminan apabila debitur wanprestasi. Oleh karena itu hal tersebut belum menjamin pelunasan pengembalian utang debitur. Disini tak jarang ditemui kreditur (bank) mengikat barang-barang penjamin untuk menjamin utang debitur.§§§§§§§§

Dalam jaminan kebendaan pada prinsipnya yang dapat dijaminkan adalah barang-barang milik debitur. Barang-barang milik pihak ketiga dapat dijaminkan, setelah pihak ketiga memberi kuasa kepada debitur untuk menjaminkan barang-barangnya. Dengan demikian kalau seorang penjamin menjaminkan barangnya langsung kepada kreditur (bank) untuk kepentingan debitur, maka tidak dapat dilakukan karena menyimpang dari ketentuan hukum jaminan kebendaan, kalaupun

‡‡‡‡‡‡‡‡

Tri Widiyono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009, hal.62

§§§§§§§§


(39)

dijaminkan melalui debitur, dan nilai jaminan diperkirakan dapat menutup utang debitur, tentu jaminan perorangan tidak ada gunanya.*********

Sebaliknya dalam jaminan perseorangan, barang-barang yang diserahkan oleh penjamin sebagai jaminan tentu benda jaminan tersebut tidak memberikan jaminan yang diikat dengan yuridis sempurna karena bukan jaminan kebendaan yang diikat secara yuridis sempurna karena ada undang-undang yang mengaturnya.

Memang tidak terdapat ketentuan kewajiban bahwa bank (kreditur) harus mengikat agunan fasilitas kredit yang diberikan secara yuridis sempurna. Bagi kreditur yang terpenting adalah bahwa kredit tersebut terdapat agunan yang cukup memadai.

Namun demikian pihak ketiga sebagai penjamin (avalist), baik menyerahkan agunan atau tidak dalam jaminan perorangan tetap diperlukan karena paling tidak dapat dijadikan dasar menggugat kepailitan terhadap yang bersangkutan .

2. Kerangka Konsepsi

Konsepsi adalah merupakan unsur pokok dalam usaha penelitian atau membuat karya ilmiah. Sebenarnya yang dimaksud konsepsi adalah suatu pengertian mengenai sesuatu fakta atau dapat berbentuk batasan (defenisi) tentang sesuatu yang akan dikerjakan.

Jadi jika teori berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, sedangkan konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.†††††††††

*********


(40)

Kegunaan dari adanya konsepsi adalah agar ada pegangan dalam melakukan penelitian atau penguraian sehingga memudahkan bagi orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan.

Dalam praktek perbankan, perjanjian pemberian jaminan bersifat perorangan ada tiga pihak yang terkait yaitu debitur, kreditur dan penjamin (avalist).

Istilah avalist dalam judul tesis ini adalah orang yang memberikan jaminan yang mengakibatkan dirinya sebagai penjamin suatu utang, cek atau wesel.‡‡‡‡‡‡‡‡‡

Yang dimaksud wesel adalah seperti yang didefenisikan oleh T he Uniform

Negotiable Instruments Law (di Amerika Serikat) ialah suatu perintah tertulis tanpa

syarat, yang ditujukan oleh seseorang kepada orang lain, yang minta atau mendesak orang yang kepadanya wesel itu ditujukan untuk membayar, atas permintaan atau pada suatu waktu tertentu atau yang dapat ditentukan dikemudian hari, sejumlah uang atas perintah seseorang tertentu atau kepada si pembawa.§§§§§§§§§

Guna penjamin (avalist) adalah untuk menjamin pelunasan utang debitur kepada kreditur manakala debitur tidak mampu membayar atau wanprestasi dengan memberikan jaminan aval.

Aval (Pasal 129-131,202-204 KUHDagang) adalah perjanjian jaminan yang

bertujuan untuk menambah jaminan bahwa pembayaran atas wesel itu akan

†††††††††

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya, Bandung, 2003, hal 5

‡‡‡‡‡‡‡‡‡

AF. Elly Erawaty, Kamus Hukum Bahasa Belanda-Bahasa Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Jakarta, 1997-1998, hal 15

§§§§§§§§§


(41)

terlaksana, dengan menambah seorang penghutang wesel lagi kepada penghutang-penghutang wesel yang telah ada.**********

Perjanjian Aval berdiri sendiri terlepas dari perikatan pokoknya, sedangkan

borgtocht adalah asessoir terhadap perikatan pokoknya.††††††††††

Yang dapat memberikan aval menurut Pasal 129 ayat (2) ialah : 1.oleh seorang ketiga

2.oleh seorang yang tanda tangannya telah terdapat pada surat wesel.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Yang dimaksud kreditur dalam pengertian tersebut diatas adalah pihak yang memberikan kredit atau pihak yang berpiutang atau bank.

Yang dimaksud debitur adalah pihak penerima kredit atau pihak yang berhutang.

Kreditur dan debitur dapat berupa perorangan dan badan usaha. Badan usaha dibedakan menjadi dua yaitu badan usaha yang bukan badan hukum dan badan usaha yang berstatus badan hukum.

Yang dimaksud dengan pengertian badan hukum tersebut diatas adalah suatu subjek hukum yang diciptakan manusia dengan cara memfiksikan badan hukum tersebut seolah-olah mempunyai fungsi dan kehendak seperti orang.§§§§§§§§§§

Yang dimaksud subjek hukum dalam pengertian diatas adalah manusia yang berkepribadian hukum (legal personality) dan segala sesuatu yang berdasarkan

**********

Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Op.cit, hal 77

††††††††††

Ibid.

‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

Ibid.

§§§§§§§§§§

Tri Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, Keberadaan, Tugas, Wewenang Dan


(42)

tuntutan kebutuhan masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.***********

Dalam ilmu hukum ada dua subjek hukum yaitu manusia (orang) dan badan hukum. Salah satu badan hukum adalah berbentuk Perseroan Terbatas.

Perseroan terbatas menjadi badan hukum adalah tergantung pengesahan dari Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum Dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia).

Yang dimaksud kredit dalam penulisan tesis ini adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.†††††††††††

Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia dalam pemberian kredit haruslah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

Bentuk perjanjian tertulis dapat dilakukan dengan akta dibawah tangan dan akta otentik. Akta dibawah tangan adalah suatu akta yang dibuat dan ditanda tangani para pihak saja dengan tanpa bantuan seorang pejabat umum atau akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang tidak berwenang. Sementara itu akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang

***********

Ibid, hal 11

†††††††††††

UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 selanjutnya telah diubah dengan Undang -Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 angka 12

‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡


(43)

berwenang untuk itu, seperti notaris, dimana bentuk aktanya juga telah ditentukan oleh undang-undang. §§§§§§§§§§§ Perjanjian tertulis ini lebih mudah untuk dipergunakan sebagai bukti apabila dikemudian hari terjadi wanprestasi, karena dalam hukum perdata, bukti tertulis merupakan bukti utama.

Yang dimaksud wanprestasi dalam pengertian diatas adalah cidera janji, tidak menepati kewajiban dalam perjanjian (Pasal 1243 KUHPerdata).************

Istilah tanggung jawab adalah suatu kewajiban bagi seseorang untuk melaksanakan sesuatu yang telah diwajibkan atau yang telah disanggupinya .††††††††††††

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder saja.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

Penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan upaya menganalisis permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan-pendekatan dan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan.

2. Sumber Data §§§§§§§§§§§

Rachmadi Usman,Op.cit, hal 77

************

Budiarto, Kamus Hukum , Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Jakarta, 2004, hal 261

††††††††††††

Zainul Bahri, Kamus Umum, Angkasa, Jakarta, 1996, hal 323

‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Metode Penelitian Hukum Normatif, Suatu


(44)

Sumber data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer ini yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 selanjutnya telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan putusan Mahkamah Agung Nomor 1436.K/Pdt/2001.

b.Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer, antara lain: buku-buku teks, hasil penelitian, artikel, majalah, hasil karya ilmiah yang berhubungan dengan penelitian ini.

c.Bahan Hukum Tertier yaitu yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus umum dan internet juga menjadi tambahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi relevan dengan penelitian yang dilakukan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sebagai penelitian hukum normatif, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research), dikumpulkan melalui literatur, yakni dengan mempelajari ketentuan-ketentuan perundang-undangan tentang pemberi jaminan dan peraturan perundang-undangan tentang perjanjian pemberi jaminan dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan materi penelitian.


(45)

4. Analisis Data.

Metode analisis data digunakan untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul, dimana pada penelitian ini digunakan metode normatif kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak pada usaha penemuan azas-azas dan informasi-informasi. Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat.


(46)

BAB II

TANGGUNG JAWAB PENJAMIN (AVALIST) ATAS UTANG DEBITUR YANG WANPRESTASI A. Perjanjian Jaminan Aval Dalam Pembayaran Surat Wesel.

Dalam kegiatan perdagangan,terutama dalam lalu lintas pembayaran, bank sebagai suatu lembaga keuangan mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan perbankan yang sangat menonjol dalam kegiatan perdagangan adalah digunakannya berbagai fasilitas-fasilitas jasa perbankan dalam transaksi perdagangan guna melancarkan lalu lintas pembayaran dengan menerbitkan berbagai jenis surat-surat berharga seperti wesel, cek, bilyet giro, promes dan lain-lain.

Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 selanjutnya telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dinyatakan bahwa surat berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang.

Munir Fuady merumuskan bahwa surat berharga (Negotiable Instrument) adalah sebuah dokumen yang diterbitkan oleh penerbitnya sebagai pemenuhan suatu prestasi berupa pembayaran sejumlah uang sehingga berfungsi sebagai alat pembayaran yang didalamnya berisikan suatu perintah untuk membayar kepada pihak-pihak yang memegang surat tersebut, baik pihak yang yang diberikan surat


(47)

berharga oleh penerbitnya atau pihak ketiga kepada siapa surat berharga tersebut telah dialihkan.§§§§§§§§§§§§

Secara yuridis surat berharga mempunyai fungsi sebagai berikut : 1.Sebagai alat pembayaran

2.Sebagai alat pemindahan hak tagih (karena bisa diperjual belikan). 3.Sebagai surat legitimasi (surat bukti hak tagih).*************

Fungsi surat berharga sebagai alat pembayaran yang penting dalam lalu lintas pembayaran dalam kegiatan perbankan dan perdagangan yang berkaitan dengan kegiatan perbankan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang selanjutnya telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah meliputi pemberian kredit.†††††††††††††

Ada beberapa cara bank dalam menyalurkan kredit kepada nasabah debitur. Salah satu pokok ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia dalam pemberian kredit adalah dibuat dalam perjanjian tertulis.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

Selain dibuat perjanjian dalam bentuk tertulis ditentukan pula cara pembayaran kredit tersebut. Salah satu cara pembayaran kredit tersebut adalah dengan menggunakan alat pembayaran diantaranya adalah surat wesel. Surat wesel

§§§§§§§§§§§§

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, di tinjau menurut

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hal 93

*************

Ibid, hal.93-94

†††††††††††††

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 selanjutnya telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 6 huruf b

‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡


(48)

yang diterbitkan oleh bank dan diuangkan pada bank kreditur disebut wesel bank (bank assignate, bank draft).§§§§§§§§§§§§§

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dikemukakan bahwa bertitik tolak pada perjanjian kredit maka barulah diterbitkan surat wesel. Artinya surat wesel itu hanyalah merupakan suatu pelaksanaan dari perjanjian kredit tersebut.

Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan, suatu fasilitas kredit harus terdapat adanya agunan, namun terhadap agunan tersebut tidak terdapat kewajiban untuk diikat secara yuridis sempurna, Jadi agunan merupakan salah satu faktor yang membentuk ”keyakinan ” bahwa fasilitas kredit yang diberikan dapat kembali seperti yang diharapkan, aman dan menguntungkan.**************

Pola-pola pemberian agunan dalam dalam bisnis perbankan bervariasi dan bermacam-macam diantaranya adalah melalui jaminan perorangan, jaminan perusahaan,hak tanggungan dan lain-lain. Ini berarti pengaturan tentang pemberian agunan tersebut tidak hanya terpaku pada suatu peraturan saja.

Seperti dalam perjanjian hutang piutang, soal agunan ikut mempengaruhi jalannya perkreditan, maka dalam pembayaran surat wesel juga kemungkinan-kemungkinan dimana pihak ketiga menyediakan diri untuk bertindak sebagai penjamin pembayaran wesel itu. Apa bila dalam perjanjian keperdataan hal ini

§§§§§§§§§§§§§

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Beharga, Citra Aditya , Bandung, 1993, hal 39

**************


(49)

disebut borgtocht maka dalam perweselan hal ini disebut aval, karena itu aval adalah

borgtocht dengan akibat-akibat yang ditentukan menurut hukum wesel.††††††††††††††

Kalau mengenai jaminan perorangan (borgtocht) diatur dalam KUHPerdata maka jaminan perorangan tentang jaminan aval dalam pembayaran surat wesel diatur dalam KUHDagang.

Dalam KUHDagang, aval diatur dalam dalam Pasal 129 sampai dengan Pasal 131. Berdasarkan ketentuan Pasal 129 KUHDagang, aval adalah pembayaran surat

wesel dapat dijamin untuk seluruhnya atau sebagian dari jumlah wesel dengan suatu

penanggungan (aval). Penanggungan ini dapat diberikan oleh seorang pihak ketiga atau bahkan oleh seorang yang tanda tangannya terdapat pada surat wesel (Pasal 129 ayat (2)).

Sebagai suatu penanggungan maka jaminan aval merupakan lex specialis dari jaminan pribadi (borgtocht).‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

HMN Purwosutjipto mengemukakan ada persamaan antara kedua jenis jaminan itu, tetapi ada juga perbedaannya yaitu :

”a.Perjanjian jaminan aval masih berlaku,meskipun perjanjian pokok yang dijamin aval itu menjadi batal (Pasal 131 ayat (2) KUHDagang).

b.Perjanjian jaminan pribadi menjadi batal,bilamana perjanjian pokok yang dijamin dengan jaminan pribadi (borgtocht) itu menjadi batal (Pasal 1821 KUHPerdata).

c.Perjanjian jaminan aval itu turut batal, kalau perjanjian pokok

††††††††††††††

Achmad Ichsan, Hukum Dagang , Lembaga Perikatan Surat-Surat Berharga

Aturan-Aturan Angkutan, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hal 340-341 ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

HMN. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Hukum Surat Berharga, Djambatan, Jakarta, 1990, hal 96


(50)

yang dijamin itu menjadi batal, karena tidak dibentuk dengan cara sebagai yang ditentukan dalam undang-undang, misalnya :

jaminan aval diberikan untuk menjamin surat wesel tapi surat weselnya tanpa kata ”wesel” didalamnya, maka surat wesel itu

menjadi batal (Pasal 100 sub (1) KUHDagang), sehingga jaminan aval tersebut menjadi batal (Pasal 131 ayat (2) KUHDagang).”§§§§§§§§§§§§§§

Kedudukan jaminan aval tidak sama dengan jaminan pribadi yang diatur dalam Pasal 1821 KUHPerdata. Jika jaminan pribadi (borgtocht) ini merupakan perikatan yang tidak berdiri sendiri, maka perikatan yang timbul dari aval adalah berdiri sendiri.

Sedangkan kedudukan penjamin (avalist) dalam perjanjian aval dalam Pasal 131 ayat (1) KUHDagang, undang-undang menentukan penjamin (avalist) sama terikatnya dengan yang diberi aval (debitur ). Artinya, kewajiban penjamin masih terus hidup, meskipun perikatan yang dijamin itu menjadi batal, asal kebatalan itu tidak disebabkan karena cacat pada bentuknya (Pasal 131 ayat (2) KUHDagang).

Ketentuan Pasal 131 ayat (1) KUHDagang tersebut menunjukkan pula bahwa kalau penjamin (avalist) telah memberikan aval dan menandatanganinya pada surat

wesel, maka kedudukannya pun sama seperti yang diberi aval. Penjamin (avalist)

mendapatkan hak-hak yang dimiliki oleh yang terjamin aval, yang dapat dilaksanakan terhadap mereka yang terikat pada kewajiban-kewajiban yang timbul dari wesel tersebut (Pasal 131 ayat (3).***************

§§§§§§§§§§§§§§

Ibid.

***************


(51)

Selanjutnya dalam Pasal 146 ayat (1) menyatakan bahwa mereka yang telah menerbitkan suatu surat wesel, atau telah memberikan akseptasinya, atau telah mengandosemen atau telah menandatangani untuk aval, secara tanggung menanggung terikat pada pemegang. Dan lagi orang ketiga, atas tanggungan siapa surat wesel diterbitkan, dan yang untuk itu telah menikmati harga nilainya, ia pun bertanggung jawab pula terhadap pemegang.†††††††††††††††

Pernyataan dalam Pasal 146 ayat (1) diatas dapat dikemukakan bahwa diantara orang-orang yang disebutkan adalah termasuk orang yang menandatangani menjadi pemberi aval (avalist) terikat dan bertanggung jawab pada pemegang atau kreditur (bank).

Mengenai kasus tanggung jawab penjamin (avalist) yang timbul dari perjanjian jaminan aval pembayaran surat wesel ini dapat disimak dalam kasus sengketa antara Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPD SUMUT) dengan Perseroan Terbatas PT Twin Jaya Steel (PT TJS), berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 1436.K/Pdt/2001.

Dalam kasus ini Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPD SUMUT) sebagai kreditur memberikan pinjaman kredit kepada PT Twin Jaya Steel (PT.TJS) sebagai debitur. Pinjaman kredit tersebut dijamin oleh Faisal Oloan Nasution, SH dan isterinya Kushandiningsih sebagai penjamin (avalist) dengan memberikan jaminan

aval berupa Surat Pernyataan Melepaskan Hak Atas Tanah atas nama Faisal Oloan

Nasution, SH.

†††††††††††††††


(52)

Pinjaman kredit dari BPD SUMUT kepada PT.Twin Jaya Steel (PT.TJS) tersebut dituangkan dalam perjanjian kredit dimana dalam pembuatan akta perjanjian kredit tersebut PT.Twin Jaya Steel (PT.TJS) diwakili oleh Direktur Utama : Hanafi , dan Komisaris Utama : Siti Aminah.

Guna mencairkan pinjaman kredit tersebut maka diterbitkanlah surat wesel sebagai alat pembayaran kredit tersebut. Kalau penjamin (avalist) telah memberikan

aval dan menandatangani surat wesel tersebut, maka kedudukan penjamin (avalist)

sama dengan yang diberi aval dimana penjamin (avalist) juga mendapatkan hak-hak seperti yang didapatkan terjamin aval. (Pasal 131 ayat (1) KUHDagang). Artinya jika debitur memperoleh pinjaman kredit berupa dana dari bank maka penjamin (avalist) juga memperoleh dana dari pencairan kredit tersebut, dengan demikian debitur dan penjamin (avalist) adalah merupakan pihak-pihak yang berhutang pada bank (kreditur).

Berkaitan dengan tanggung jawab penjamin (avalist) dalam jaminan pembayaran surat wesel ditinjau dari perikatannya maka Pasal 130 KUHDagang telah mengatur bentuk dan cara penulisan jaminan aval didalam surat wesel, yakni : a.Aval tersebut harus dituliskan dalam surat wesel yang dijamin atau pada

kertas pada sambungannya.

b.Ia dinyatakan dengan kata-kata ”baik untuk aval” atau kata-kata lain yang semakna, dan harus ditanda tangani oleh pejamin (avalist).

c.Hanya tanda tangan penjamin aval saja yang dibubuhkan dihalaman muka, surat wesel sudah berlaku sebagai aval.


(53)

d.Aval juga bisa diterbitkan dengan sebuah naskah tersendiri atau sepucuk surat yang menyebutkan tempat mana ia diberikan.

e.Didalam aval juga harus diterangkan untuk siapa jaminan aval diberikan bila keterangan itu tidak dimuat maka aval itu dianggap diberikan untuk debitur.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

Mengacu pada bentuk dan cara penulisan jaminan aval dalam surat wesel yang diatur dalam Pasal 130 KUHDagang tersebut diatas, dapat dikemukakan bahwa perjanjian jaminan aval dalam pembayaran surat wesel hanyalah sebagai tanda bukti adanya perikatan si penandatangan saja. Dan karena adanya perikatan dengan membubuhkan tanda tangan saja maka kreditur (bank) mempunyai hak menagih. Dengan demikian perikatan jaminan aval dalam pembayaran surat wesel tidak mengatur secara lengkap tentang apa yang menjadi hak-hak maupun kewajiban-kewajiban sebagai dasar timbulnya tanggung jawab dari penjamin (avalist). Artinya disini dalam surat wesel tidak mencantumkan apa yang menjadi hak maupun kewajiban seorang penjamin (avalist) seperti akta perjanjian sewa rumah yang jelas diatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban si penyewa dan yang menyewakan rumah.

Seperti halnya perjanjian kredit antara debitur dan kreditur sebagai dasar diterbitkannya surat wesel maka akta perjanjian kredit tersebut mengatur tentang hak dan kewajiban kreditur maupun debitur dan dari hak dan kewajiban tersebut barulah muncul tanggung jawab debitur dan kreditur tersebut.

‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang , FH UII Press, Yogyakarta, 2006, hal 154


(54)

Akta tersebut ditanda tangani oleh pihak kreditur dan debitur.

Menaruh tanda tangan pada suatu akta itu adalah perbuatan hukum, yaitu tanggung jawab atas terlaksananya perikatan sebagai yang terkandung dalam akta, karena pada akta perjanjian kedua belah pihak, baik kreditur maupun debitur, sama-sama menaruh tanda tangannya, maka baik kreditur maupun debitur masing-masing bertanggung jawab atas perikatannya sendiri sebagai yang ditentukan dalam akta. Akibat dari keaadan ini, maka perjanjian itu merupakan alat bukti bagi kreditur maupun debitur.§§§§§§§§§§§§§§§

Walaupun surat wesel sebagai satu bentuk surat berharga yang berfungsi sebagai alat bukti adanya perbuatan hukum, akan tetapi jika penjamin (avalist) menyerahkan jaminan aval berupa agunan tanah tentu diperlukan perjanjian yang bersifat riil atau bukan sekedar kata sepakat saja. Artinya sesudah adanya penyerahan benda itu penjamin (avalist) dan debitur lalu membuat akta yang ditanda tangani yang diserahkan kepada kreditur (bank). Akta ini hanya di tanda tangani oleh debitur dan penjamin (avalist) saja sebagai pihak yang berhutang yaitu Akta Pengakuan Hutang dengan Pemberian Jaminan. Setelah ditanda tangani berarti bahwa si penandatangan yaitu debitur dan penjamin (avalist) bertanggung jawab atas terlaksananya perikatan yang disebutkan dalam Akta Pengakuan Hutang dengan Pemberian Jaminan tersebut. Perikatan yang disebut dalam akta tersebut adalah perikatan yang harus dilakukan debitur dan penjamin (avalist) dibelakang hari, yakni membayar kembali uang yang dipinjam dengan tambahan bunga sebagai yang telah diperjanjikan.

§§§§§§§§§§§§§§§


(55)

Perikatan tersebut diatas adalah mengandung perikatan debitur dan penjamin (avalist) saja. Jadi kalau akta perjanjian kredit antara debitur dan kreditur merupakan alat bukti bagi debitur dan kreditur, tetapi akta Pengakuan Hutang dengan Pemberian Jaminan merupakan alat bukti bagi kreditur saja.

Selain pembuatan akta seperti disebut diatas dalam sebuah perjanjian kredit hal terpenting juga adalah pengikatan agunan yang diserahkan oeh penjamin (avalist) kepada kreditur (bank).****************

Masalah pengikatan agunan dalam jaminan aval dalam pembayaran surat

wesel seperti pada kasus perdata dalam putusan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor : 1436.K/Pdt/2001 ini telah dibahas oleh Egawaty SH, MKn dengan judul tesis ”Analisa Yuridis Atas Eksistensi Surat Kuasa Memasang Hak Tanggungan (SKMHT) Yang Diingkari Debitur”. Jadi dalam penelitian ini tidak perlu dibahas lagi.

Menyimak kasus tentang tanggung jawab penjamin (avalist) terhadap utang debitur yang wanprestasi dalam sengketa antara BPD SUMUT dengan PT.Twin Jaya Steel, berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor :

****************

)Klausula terpenting perjanjian kredit adalah syarat pencairan,secara garis besar syarat pencairan ini dibagi tiga, yaitu: 1). Syarat administrasi yaitu perjanjian kredit , provisi, komisi, dan lain-lain.2). Syarat pengikatan agunan secara yuridis sempurna yaitu atas benda-benda yang dijadikan agunan kredit tersebut telah diikat secara yuridis sempurna. Untuk pola pembiayaan tertentu, seperti untuk perkebunan atau untuk fasilitas kredit pertama kali, biasanya benda tersebut harus dilakukan pengikatan. Jika pensertifikatan tanah masih dalam proses, maka dimintakan kepada debitur surat pernyataan yang menyatakan bersedia untuk mengagunkan harta benda untuk menjamin fasilitas kredit tersebut apabila proses pensertifikatan selesai. 3). Dalam pola pemeberian kredit tertentu, adakalanya kredit cair, agunan belum diikat secara yuridis sempurna. Untuk kenyamanan bagi debitur, biasanya debitur meminta cover note notaris.(Triwidiyono, Agunan Kredit Dalam Financial


(1)

agunan tersebut hanya dapat dilakukan dengan melakukan penyitaan dengan sita jaminan (conservatoir beslag) untuk memberi jaminan kepada kreditur (bank) bahwa benda yang dijaminkan itu tetap utuh. Setelah sita jaminan itu mempunyai kekuatan hukum yang tetap barulah sita jaminan (conservatoir beslag) tersebut otomatis berubah menjadi sita eksekusi (executoriale beslag), selanjutnya barulah benda yang dijadikan jaminan itu dapat dijadikan pemenuhan atas hutang debitur yang wanprestasi kepada kreditur (bank) dengan melakukan pelelangan.

B.Saran-Saran.

1.Sebaiknya bank (kreditur) yang terkait dalam pembuatan perjanjian pemberian jaminan aval harus lebih hati-hati dalam membuat perjanjian dengan pihak yang berupa sebuah perusahan seperti perseroan terbatas yang belum mendapat pengesahan sebagai badan hukum dari Menteri Kehakiman ( sekarang Menteri Hukum Dan Hak Azasi Manusia). Pihak Bank (kreditur) seharusnya tidak mengucurkan kredit secara sekaligus pada debitur, dan bank seharusnya meminta cover note notaris yang membuat akta pendirian perseroan terbatas tersebut sebagai jaminan perseroan terbatas tersebut akan dilakukan pengurusannya hingga mendapat pengesahan menjadi badan hukum.

2.Sebaiknya pihak kreditur (bank) harus lebih berhati-hati dalam melakukan perjanjian pemberian kredit dengan jaminan aval dalam pembayaran surat wesel. Jaminan aval sebagai bentuk dari jaminan perorangan memungkinkan si penjamin memberi benda jaminan berupa benda-benda seperti tanah yang belum bersertifikat, oleh karena sebagai jaminan perorangan tentulah benda jaminan yang dijadikan


(2)

jaminan tersebut tidak diikat secara yurudis sempurna. Sebaiknya haruslah ditentukan sebelum melakukan perjanjian kredit dipastikan terlebih dahulu bentuk jaminannya berbentuk kebendaan atau perorangan, jika jaminannya berupa kebendaan tertentu sebaiknya diikat dengan jaminan kebendaan atau bila yang dijadikan jaminan adalah tanah maka tanah tersebut haruslah tanah yang bersertifikat jadi dapat diikat melalui ketentuan yang berlaku dalam jaminan kebendaan seperti Hak Tanggungan. Sebaliknya jika bentuk jaminannya adalah jaminan perorangan sebaiknya cukuplah orangnya dijadikan jaminan tanpa memberikan jaminan kebendaan tertentu.

3.Kemanfaatan putusan Mahkamah Agung ini dalam masyarakat khususnya untuk pihak kreditur (bank) sebagai pedoman bagi mereka agar sebaiknya berhati-hati membuat grosse akta pengakuan hutang, agar dibuat sesuai dengan undang-undang yang berlaku hingga grosse akta tersebut memiliki kekuatan eksekutorial.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdurrahman, A, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan Dan Perdagangan, Pra Pancha, Jakarta, 1963.

Asikin, Zainal, Pokok-Pokok Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.

Bahsan, M, Hukum Jaminan Dan Jaminan Kredit Perbankan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Budiarto, Editor Syaiful, Suradji, Theodrik Simorangkir, Kamus Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Jakarta, 2004.

Budiarto, Agus, Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Perseroan Terbatas, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.

Darus Mariam, Badrulzaman, Serial Hukum Perdata, Buku II, Kompilasi Hukum Jaminan, Mandar Maju, Bandung, 2004.

Darus Mariam, Badrulzaman, Remy Syahdeini, Heru Soepratomo, H, Faturrahman Jamil, Taryana Soenandar, Kompilasi Hukum Perikatan, Dalam Rangka menyambut Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001

Dirdjosisworo, Soedjono, Hukum Perusahaan Mengenai Bentuk-Bentuk Perusahaan (Badan Usaha) Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1997.

Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Emerzon, Joni, Hukum Surat Berharga dan Perkembangannya di Indonesia, Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Penhallindo, Jakarta, 2002.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Citra Aditya, Bandung, 2003. Harahap, M.Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.


(4)

_______________, Permasalahan Dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, Pustaka, Bandung, 1990.

_______________, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grosse Akta Serta Putusan Pengadilan Dan Arbitrase Dan Standar Hukum Eksekusi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

_______________, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986. Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Prenada Media, Jakarta , 2005.

Ichsan, Achmad, Hukum Dagang, Lembaga Perserikatan Surat-Surat Berharga, Aturan-Aturan Angkutan, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993.

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Khairandy, Ridwan, Pengantar Hukum Dagang, FH UII, Yogyakarta, 2006. Liliawaty, Eugenia, Muldjono, Amin, Widjaya, Tunggal, (Editor), Eksekusi Grosse Akta Hipotik Oleh Bank, Rineka Cipta, Jakarta, 1996.

Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Berharga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.

Panggabean, HP, Himpunan Putusan Mahkamah Agung R.I. Mengenai Perjanjian Kredit, Jilid i, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.

Partadireja, Iting, Pengetahuan dan Hukum Dagang, Erlangga , Jakarta, 1978.

Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara Karya Aksara, Jakarta,1982.

Purwosutjipto, HMN, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia ,Hukum Surat Berharga, Djambatan, Jakarta, 1990.

Rusli , Hardijan, Perseroan Terbatas dan Aspek Hukumnya, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.


(5)

Sastradipoera, Komaruddin, Strategi Manajemen Bisnis Perbankan, Kappa-sigma, Bandung, 2004.

Satrio,J, Hukum Pribadi Bagian I, Persoon Alamiah , Citra Aditya Bakti, Bandung,1999.

Simanjuntak, Pangaribuan Emmy, Hukum Dagang Surat Surat Berharga, diterbitkan oleh Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 1993

Simorangkir, JCT, Erwin, Rudi. T, Prasetyo, JT. Kamus Hukum, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.

Situmorang, Victor. M, Sitanggang Cormentyna, Grosse Akta Dalam Pembuktian Dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta, 1992.

Soekanto, Soerjono, Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT.Raja Grafindo Persada , Jakarta, 2003.

Supramono, Gatot, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, Jakarta, 1995.

_______________ Kedudukan Perusahaan Sebagai Subjek Hukum Dalam Gugatan Perdata di pengadilan, Rineka Cipta, Jakarta, 2007.

Sutrisno, Komentar Atas Undang-Undang Jabatan Notaris, Buku I, Medan, 2007.

_______, Komentar Atas Undang-Undang Jabatan Notaris, Buku II, Medan, 2007.

Salim, HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Tresna, R, Komentar H.I.R, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979.

Termorshuizen, Marjanne, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1999.


(6)

Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.

________________, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008

________________, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Alumni, Bandung, 2004.

Widiyono, Try, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Ghalia, Jakarta, 2009.

_______________, Direksi Perseroan Terbatas Keberadaan, Tugas, Wewenang Dan Tanggung Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2008.

Widjaya, Gunawan dan Muljadi, Kartini, Penanggungan Utang Dan Perikatan Tanggung Menanggung, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Wuisman, JJJ, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting M. Hisyam, UI Press, Jakarta, 1996.

Zainul Bahri, Kamus Umum, Angkasa, Jakarta, 1996.

B. Undang-Undang.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan perubahannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007.

Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

C. Putusan Mahkamah agung.


Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122

ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM PENJAMIN UTANG DEBITUR YANG MELEPASKAN HAK-HAK ISTIMEWANYA DALAM PERJANJIAN KREDIT ANTARA KREDITUR DENGAN DEBITUR (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 030PK/N/2001)

0 4 77

TANGGUNG JAWAB PENJAMIN (PERSONAL GUARANTEE) TERHADAP UTANG DEBITUR DALAM HAL TERJADINYA KEPAILITAN.

0 2 15