BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SECTIO CAESARIA - Perbedaan Perubahan Strong Ion Difference Plasma Setelah Pemberian Larutan Ringer Asetat Malat Dibanding Ringer Laktat Pada Pasien Sectio Caesaria Dengan Anestesi Spinal

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. SECTIO CAESARIA

  

Sectio Caesaria (operasi sesar) didefinisikan sebagai proses kelahiran janin

  melalui insisi pada dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerotomi). Definisi tersebut tidak meliputi pengangkatan janin dari ruang abdomen dalam kasus ruptur uteri atau kehamilan abdominal. Dalam praktek obstetri moderen pada dasarnya tidak terdapat kontraindikasi untuk dilakukan Sectio Caesaria. Namun Sectio Caesaria jarang diperlukan apabila janin sudah mati atau terlalu prematur untuk bisa hidup. Pengecualian untuk pemerataan tersebut mencakup panggul sempit pada tingkatan tertentu di mana persalinan pervaginam beberapa keadaan tidak mungkin dilakukan, sebagian

  3 besar kasus plasenta previa, dan sebagian besar kasus letak lintang kasep.

  2 Tabel 2.1. Keputusan untuk melakukan tindakan sectio caesaria

  • Sectio Caesaria berulang Terjadwal Gagal pervaginam • Distosia Presentasi yang abnormal Transverse •
  • • Presentasi bokong

  Multiple gestasionFetal Distress Riwayat penyakit ibu yang jelek Preeklamsi •

  • • Penyakit jantung

  • Penyakit paru Perdarahan • Plasenta previa
  • Placental abruption

  Sebaliknya bila mekanisme pembekuan darah ibu mengalami gangguan yang serius persalinan dilakukan dengan insisi yang seminimal

  4 mungkin yaitu persalinan pervaginam.

2.2. KESEIMBANGAN ASAM-BASA PADA KEHAMILAN

  Perubahan fisiologis yang dihubungkan dengan kehamilan meliputi hampir seluruh sistem organ. Perubahan ini mulai terjadi segera setelah konsepsi dan ditujukan untuk mempersiapkan ibu maupun janin dalam menghadapi kehamilan dan persalinan. Dua hal prinsip yang merupakan faktor perubahan fisiologis didalam kehamilan yaitu hiperventilasi dan peningkatan volume ekstraseluler dimana hal ini dapat menurunkan nilai SID. Sehingga tidaklah mengejutkan bila

  perubahan variabel independen ini dapat menurunkan nilai H dan HCO

  3 dalam

  kehamilan. Gangguan keseimbangan asam-basa pada maternal akan mempengaruhi kondisi janin secara langsung maupun tidak langsung. Respon hiperventilasi menghasilkan penurunan PCO

  2 dalam kehamilan menjadi berkisar

  30 mmHg. Penurunan konsentrasi CO

  2 akan menurunkan konsentrasi ion

  hidrogen didalam plasma sehingga terjadi peningkatan kadar pH. Penurunan nilai SID pada kehamilan didasari oleh penurunan nilai konsentrasi natrium sehingga akhirnya menurunkan nilai SID. Hal ini akan direspon oleh tubuh dengan memobilisasi klorida ke intraseluler sehingga apabila berlebihan dapat menyebabkan gangguan komposisi elektrolit baik intra maupun ekstraseluler.

  Fakta bahwa konsentrasi HCO

  3 dalam kehamilan nilainya 15% lebih rendah dari

  normal sehingga kondisi ini lebih memicu kejadian asidosis. Pemberian cairan

  10

  rendah Natrium akan memicu penurunan SID dan asidosis. Kondisi asidosis yang terjadi pada fetus akan menyebabkan pintas kanan ke kiri (right to left shunt)

  12 semakin berat sehingga dapat mengganggu fungsi kardiovaskular (gambar 2.2).

  14 Gambar 2.2. Efek asidosis terhadap fetus

2.3. ANESTESI SPINAL

  Spinal anestesia adalah tindakan anestesi dengan menyuntikkan obat anestesi lokal ke Cerebro Spinal Fluid (CSF) di ruang sub arakhnoid. Tindakan ini akan menyebabkan efek terhadap penjalaran saraf sensorik, motorik dan simpatis dihambat. Obat anestesi lokal akan menghambat konduksi dari serabut saraf diameter kecil tidak bermyelin (simpatis) sebelum kemudian memblok serabut saraf yang lebih besar (sensorik dan motorik). Tindakan Sectio Caesaria sangat lazim dilakukan dibawah tindakan anestesi spinal dimana teknik yang dilakukan

  22

  lebih mudah dan mula kerja yang didapat lebih cepat. Efek yang paling sering dijumpai pada anestesi spinal adalah hipotensi dimana hal ini terjadi akibat vasodilatasi yang mengakibatkan tekanan perfusi perifer menurun secara tiba-tiba sehingga tubuh belum sempat berkompensasi dan berakibat pada turunnya

  23

  tekanan darah. Hipotensi akan mempengaruhi tidak hanya pada ibu namun secara tidak langsung dapat mempengaruhi janin sehingga terjadinya hipotensi sebisa mungkin harus dicegah karena efek hipoperfusi juga akan mengganggu keseimbangan asam-basa pada fetus. Anestesi spinal mudah dan murah untuk dilakukan tetapi resiko yang mungkin dapat ditimbulkannya juga tidak sedikit antara lain hipotensi, total blok spinal, radikulopati, abses, hematom, malformasi

  24 arteriovenosa, nyeri punggung, pusing, serta defisit neurologis.

2.4. STRONG ION DIFFERENCE (SID)

  Persamaan Hendersson-Hasselbalch adalah persamaan yang sangat dikenal dalam bidang Biologi. Sayangnya banyak klinisi yang tidak teliti terhadap beberapa anomali dari persamaan ini. Pada penelitian-penelitian yang dilakukan belakangan ini ditemukan bahwa persamaan Hendersson-Hasselbalch tidak dapat secara akurat diterapkan pada darah mamalia in vitro atau hewan poikiloterm. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai untuk pKa didalam plasma dipengaruhi oleh pH, kadar protein dan kadar Natrium. Dan dasar mekanisme hal ini tidak secara jelas diketahui. Dan pendekatan yang lebih jelas ditampilkan

  25

  dengan teori Strong Ion Difference. Teori ini diperkenalkan oleh Stewart dimana secara mendasar teori ini berbeda dengan metode Handersson-Hasselbalch yang

  • selama ini digunakan. Menurut Stewart bahwa konsentrasi dari H ditentukan oleh nilai perbedaan konsentrasi elektrolit kuat (SID), jumlah total asam lemah yang

  26

  terdisosiasi (Atot) dan pCO 2 .

  Perubahan pada SID merupakan mekanisme utama dalam menentukan perbedaan status asam basa antar membran dibandingkan pCO

  2 dan Atot. Ion- ion/elektrolit kuat adalah ion-ion yang sangat kuat berdisosiasi di dalam suatu larutan. Sebagai contoh jika kita melarutkan NaCl ke dalam air maka larutan

  tersebut akan mengandung ion Na , Cl , H , OH dan molekul H

  2 O. Baik Na

  maupun Cl tidak akan berkombinasi dengan H ataupun OH membentuk NaOH

  atau HCl sebab Na , Cl merupakan ion-ion kuat yang selalu berdisosiasi

  sempurna. Ion-ion kuat pada umumnya in-organik (Na , Cl , K ) namun ada juga yang organik seperti laktat. Laktat sebenarnya ion lemah namun karena laktat pKa-nya 3,9 maka pada pH fisiologis laktat akan berdisosiasi secara sempurna. Secara umum dikatakan bahwa setiap zat yang mempunyai konstanta disosiasi >

  • 4

  10 mEq/l dianggap sebagai ion-ion kuat. Namun perlu diingat bahwa perkataan kuat (”strong”) disini bukan berarti ”strong (consentrated) solution” tetapi

  27 ”strongly dissociated” .

  SID adalah jumlah total konsentrasi kation kuat dalam larutan dikurangi jumlah total konsentrasi anion kuat dalam larutan. Sebagai contoh jika suatu

  larutan hanya mengandung Na , K , Cl maka SID adalah [(Na + K ) - Cl ]. SID dianggap sebagai variabel independen sebab ion-ion kuat, Natrium dan Klorida yang dipakai untuk menghitung SID tidak dipengaruhi oleh sistem atau dengan kata lain di dalam suatu larutan encer (mengandung air) ion-ion tersebut tidak dapat dipaksa untuk berkombinasi dengan ion-ion lemah membentuk suatu molekul baru menjadi misalnya NaOH atau HCl namun ion-ion tersebut berdiri sendiri sebagai bentuk ion bermuatan. Karena sifatnya yang demikian maka ion- ion ini sangat kuat mempengaruhi larutan dimana ion tersebut berada dan

  28-29 regulasinya diatur oleh mekanisme di luar sistem.

  9 Nilai SID normal berkisar 40-44 mEq/L .

  Gangguan asam-basa akut dapat disebabkan karena perubahan pada SID. Mekanismenya

  27

  adalah :

  1. Perubahan volume air dalam plasma (contraction alkalosis dan dilutional

  acidosis)

  2. Perubahan konsentrasi ion klorida dalam plasma (hyperchloremic acidosis and

  hypochloremic alkalosis)

  3. Peningkatan konsentrasi anion-anion yang tidak teridentifikasi Analisis secara matematis menunjukkan bahwa bukannya konsentrasi

  • absolut dari ion-ion kuat tersebut yang menentukan (H ) namun perbedaan aktifitas ion ion kuat tersebut yang berperan dan disebut dengan SID. Untuk mempermudah pemahaman, berikut sketsa (gambar 2.4) hubungan antara SID
    • 27 + terhadap konsentrasi (H ) dan (OH ) menurut Jonathan Waters.
    • 27 +

Gambar 2.4. Sketsa hubungan antara SID, H & OH

  Dari gambar tersebut ditunjukkan bahwa setiap perubahan komposisi

  elektrolit dalam suatu larutan akan menghasilkan perubahan pada (H ) atau (OH ) dalam rangka mempertahankan prinsip kenetralan muatan listrik (electrical-

  

neutrality ). Misalnya, peningkatan ion klorida yang bermuatan negatif akan

  • menyebabkan peningkatan (H ) untuk mempertahankan kenetralan muatan list

  Peningkatan (H ) ini disebut asidosis. Karena hubungan terbalik antara H dengan

  • OH , maka akan lebih mudah menilai perubahan pH melalui perubahan pada OH .
  • Peningkatan OH menyebabkan alkalosis, sedangkan penurunannya akan menyebabkan asidosis. Sebagai contoh pada keadaan hiperkloremia setiap peningkatan klorida akan menurunkan SID. Secara normal karena SID plasma selalu positif maka akan sama saja jika kita menyebutkan setiap penurunan SID
  • 10 akan menurunkan (OH ).

  10,12

  Faktor-faktor lain yang mempengaruhi SID adalah :

  1. Hiperkapni Jika hiperkapni tetap tidak berubah maka terjadilah kompensasi dimana SID akan

  • meningkat untuk mengkompensasi peningkatan (H ) caranya dengan membuang Klorida dari plasma. Hiperkapni bisa terjadi rasio antara eliminasi dan produksi dari CO tidak adekuat maka CO akan meningkat.

  2

  2

  2. Hipokapni Respiratori alkalosis merupakan gangguan asam basa yang paling sering ditemukan. Penyebabnya misalnya berada pada ketinggian tertentu, nyeri, atau keadaan patologis seperti intoksikasi salisilat, sepsis, gagal hati dll.

  3. Gangguan organ-organ yang berperan dalam regulasi SID

  a. Ginjal Perlu diketahui bahwa setelah plasma mengalir ke ginjal dengan kecepatan 600 ml/menit, selanjutnya difiltrasi oleh glomerulus yang menghasilkan cairan filtrat

  120 ml/menit. Filtrat akan direabsorpsi atau sekresi sepanjang tubulus sampai ke ureter dan lebih dari 99% filtrate akan direabsorpsi kembali ke plasma. Jadi jelas bahwa ginjal hanya mensekresi sejumlah kecil ion-ion kuat ke dalam urin perjamnya dalam rangka mempertahankan SID. Setiap klorida yang difiltrasi namun tidak direabsorpsi akan meningkatkan SID plasma (alkalosis) atau sebaliknya setiap natrium yang difiltrasi namun tidak direabsorpsi akan menurunkan SID (asidosis).

  b. Interaksi ginjal dan hati Amoniagenesis (glutaminogenesis) dalam hati juga berperan dalam menjaga keseimbangan asam basa. Hal ini dibuktikan bahwa glutaminogenesis di hati

  27 distimulasi oleh keadaan asidosis.

  c. Saluran cerna Regulasi ion-ion kuat sepanjang saluran cerna berbeda-beda. Di lambung Klorida dipompa keluar dari plasma dan masuk ke lumen mengakibatkan SID cairan lambung turun (pH lambung turun). Akibatnya plasma sekitar lambung akan alkalosis sebab Klorida dipompa keluar sehingga SID plasma meningkat. Di duodenum klorida secara fisiologis seharusnya diabsorpsi kembali ke dalam plasma agar pH plasma normal kembali. Namun jika dilakukan penyedotan

  10 lambung atau terjadi muntah maka dalam plasma akan tetap alkalosis.

2.5. LARUTAN KRISTALOID

2.5.1 Ringer Laktat (RL)

  RL merupakan cairan kristaloid yang l a z i m diberikan pada kebutuhan volume dalam jumlah besar. RL banyak digunakan sebagai replacement therapy, antara lain untuk syok hipovolemik, diare, trauma, dan luka bakar. Laktat yang terdapat di dalam larutan RL akan dimetabolisme oleh hati menjadi Bikarbonat yang berguna untuk memperbaiki keadaan seperti asidosis metabolik. Larutan RL tidak mengandung glukosa, sehingga bila akan dipakai sebagai cairan rumatan, perlu ditambahkan glukosa yang berguna untuk mencegah terjadinya

  20 ketosis.

  30 2.5.1.1.

   Siklus Cori

  Dikenal juga dengan siklus asam laktat. Siklus ini menjelaskan bagaimana terjadinya pembentukan laktat dan metabolisme laktat.Setiap satu mol asetat yang

  30 di oksidasi akan dihasilkan satu mol bikarbonat.

  30 Gambar. 2.5.1. Siklus Cori

  31 Tabel 2.5.1. Komposisi elektrolit Ringer Laktat

  Na ⁺ 131 mmol/L

  

K ⁺ 5 mmol/L

2+

  

Ca 2 mmol/L

Cl

⁻ 111 mmol/L

Laktat 29 mmol/L

  

Osmolaritas 278 mOsm/L

2.5.2 Ringer Asetat Malat (RAM)

  Konsep di balik perkembangan larutan Ringer Asetat Malat ( RAM ) adalah untuk pengelolaan cairan yang pakai untuk memenuhi kebutuhan pasien di segala keperluan klinik serta memelihara dan memulihkan homeostasis cairan ekstraselular dan kondisi tekanan osmotik. Ringer Asetat malat merupakan larutan elektrolit isotonis seimbang (balanced solution). Balanced solution (larutan seimbang) adalah larutan yang mempunyai tampilan elektrolit fisiologis plasma seperti Natrium, Kalium, Kalsium, Magnesium, Klorida dan osmolaritas yang mendekati plasma serta dapat menjaga keseimbangan asam-basa dengan

  31 kandungan ion yang dapat dimetabolisme menjadi bikarbonat.

  32

2.5.2.1. Siklus Asam Sitrat

  Malat dapat langsung dimetabolisme menjadi bikarbonat. Setiap satu mol malat

  32

  yang di oksidasi akan dihasilkan dua mol bikarbonat. Satu mol asetat di oksidasi

  20 menjadi satu mol bikarbonat.

  32 Gambar. 2.5.2. Siklus Asam Sitrat Na ⁺ 145 (mmol/L) Cl ⁻ 128 (mmol/L) K ⁺ 4 (mmol/L) Ca² ⁺ 2.5 (mmol/L) Mg² ⁺ 1 (mmol/L) Malate 5 (mmol/L) Asetat 24 (mmol/L) Osmolaritas 309 (mOsm/L)

  33 Tabel 2.5.2. Komposisi elektrolit Ringer Asetat Malat

2.6. PERPINDAHAN DAN KOMPOSISI CAIRAN TUBUH

  Cairan tubuh dan zat-zat terlarut didalamnya berada dalam mobilitas yang konstan. Ada proses menerima dan mengeluarkan cairan yang berlangsung terus- menerus, baik di dalam tubuh secara keseluruhan maupun diantara berbagai bagian untuk membawa zat-zat gizi, oksigen kepada sel, membuang

  

34

sisa dan membentuk zat tertentu dari sel.

  Pertama; oksigen, zat gizi, cairan dan elektrolit diangkut ke paru-paru dan saluran cerna, dimana mereka menjadi bagian cairan intravaskuler dan kemudian dibawa ke seluruh tubuh melalui sistem sirkulasi. Kedua; cairan intravaskuler dan zat-zat yang terlarut didalamnya secara cepat akan saling bertukar dengan cairan interstisial melalui membran kapiler yang semipermeabel. Ketiga; cairan interstisial dan zat-zat yang terlarut didalamnya saling bertukar dengan cairan

  1 intraseluler melalui membran yang permeabel selektif.

  Meskipun keadaan di atas merupakan proses pertukaran dan pergantian yang terus menerus namun komposisi dan volume cairan relatif stabil dan keadaan ini disebut dengan keseimbangan dinamis atau homeostasis. Sedangkan perpindahan cairan tubuh melibatkan mekanisme transport aktif dan pasif, dimana transport aktif memerlukan energi sedangkan transport pasif tidak

  34 memerlukan energi (difusi dan osmosis).

  Pembatas utama dari perpindahan zat-zat terlarut adalah membran sel dan yang dapat dengan mudah menembusnya adalah zat-zat yang larut dalam lemak. Hampir semua zat terlarut berpindah dengan transportasi pasif. Difusi sederhana merupakan perpindahan partikel-partikel dalam segala arah melalui larutan atau gas. Beberapa faktor yang menentukan mudah tidaknya menembus membran kapiler dan sel antara lain permeabilitas membran, konsentrasi, potensial

  35 listrik, dan perbedaan tekanan. Permeabilitas merupakan perbandingan ukuran dari partikel zat yang akan lewat terhadap ukuran pori-pori membran. Dalam proses difusi zat terlarut berpindah dari daerah dengan konsentrasi lebih tinggi ke daerah dengan konsentrasi yang lebih rendah hingga terjadi keseimbangan konsentrasi pada kedua sisi membran. Selain itu difusi dari partikel bermuatan (elektrolit) juga dipengaruhi oleh perbedaan muatan listrik atau potensial listrik dari kedua sisi membran, dimana partikel yang bermuatan positif cenderung berpindah ke sisi membran sel yang bermuatan negatif, begitupun sebaliknya. Kedua proses

  35 difusi tersebut disebut sebagai potensial elektrokimiawi.

  Transport aktif membutuhkan energi dalam bentuk Adenosin Trifosfat (ATP) dan yang umum terjadi adalah sistem ATPase diaktifasi oleh Na-K pump (pompa natrium-kalium) yang berlangsung pada membran sel. Molekul enzim

  tunggal ini memompa 3 molekul ion Na dan K dan membutuhkan satu molekul ATP. Sistem NaK-ATP ase berperan penting dalam mempertahankan

  konsentrasi yang benar dari Na dan K di dalam dan luar sel sehingga

  • mempertahankan elektropotensial membran. Konsentrasi Na pada cairan ekstraseluler tinggi (142 mEq/L) dan rendah pada cairan intraseluler (10
  • >mEq/L). K eadaan ini merupakan kebalikan dari K , dimana jumlahnya rendah pada cairan ekstraseluler (4 mEq/L) dan tinggi pada cairan intraseluler (155 mEq/L). Selain itu membran sel yang beristirahat bersifat selektif perme

  36 bagi K dan cukup impermeabel bagi Na .

  • Potensial membran terjadi karena K menembus keluar membran sel sedangkan muatan negatif (terutama protein dan Posfat) terlalu besar untuk
  • dapat ikut menembus keluar. Na juga berdifusi ke dalam sel mengikuti

  • perbedaan konsentrasi tetapi jauh lebih lambat daripada keluarnya K . H

  difusi Na dan K di seimbangkan oleh transportasi aktif kedua ion ini dengan arah yang berlawanan dalam menembus membran sel. Secara klinis keseimbangan kalium sangat penting karena kelebihan atau kekurangan ion

  36 ini bisa mengakibatkan disritmi yang fatal.

  Perpindahan air berbeda dari zat terlarut dan elektrolit, karena perpindahannya dipengaruhi oleh tekanan osmotik dan tekanan hidrostatik.

  Tekanan osmotik adalah daya dorong air yang dihasilkan oleh partikel-partikel

  34

  zat terlarut didalamnya. Tekanan osmotik (gambar 2.4) dapat diilustrasikan dari bejana yang mana salah satu sisinya (sisi B) diisi dengan NaCl dan sisi yang lain (sisi A) diisi dengan air dan keduanya dipisahkan dengan membran

  semipermeabel. Air bebas menembus membran tersebut tetapi ion Na dan Cl

  35 tidak dapat melewatinya.

  35 Gambar 2.6.1. Osmosis. Efek penambahan zat terlarut yang impermeabel pada satu sisi dari membran semipermeabel. Air berpindah secara bebas dari larutan dengan konsentrasi rendah pada sisi B ke larutan dengan konsentrasi tinggi pada sisi A sehingga menyebabkan perbedaan tinggi permukaan cairan pada kedua lengan.

  Besarnya tekanan hidrostatik yang terjadi pada sisi B (diukur dengan tingginya cairan), akan menjadi sama dengan tekanan osmotik pada saat mencapai keseimbangan. Jumlah tekanan yang dibutuhkan untuk menghentikan osmosis 28 disebut dengan tekanan osmotik larutan tersebut. Akibat perpindahan air dari sisi A ke sisi B, maka menghasilkan volume yang lebih besar pada B. Tekanan hidrostatik (daya tekan dari cairan) pada sisi B yang menahan difusi air ke arahnya, sama besarnya dengan tekanan osmotik dari larutan itu. Osmosis sendiri merupakan proses difusi air yang disebabkan oleh perbedaan konsentrasi. Difusi air terjadi pada daerah dengan konsentrasi zat terlarut yang rendah (larutan encer) ke daerah dengan konsentrasi zat terlarut yang tinggi

  3 (larutan pekat).

  Tekanan osmotik dapat diukur dengan penurunan titik beku dan dinyatakan dengan istilah osmolalitas, jumlah osmol per kilogram larutan

  1 (mOsmol/kg) atau osmolaritas jumlah osmol per liter larutan (mOsmol/L).

  Konsentrasi osmotik dari sebuah larutan hanya tergantung pada jumlah partikel-partikel tanpa melihat ukuran, muatan, atau massanya. Partikel zat terlarut dapat berupa kristaloid (zat yang membentuk larutan sejati seperti garam natrium) atau koloid (zat yang tidak mudah terurai menjadi larutan sejati, seperti molekul protein yang besar). Partikel yang bekerja sebagai

  • osmol efektif harus terdapat dalam jumlah besar dalam bagian tertentu. Na (dan anion-anionnya) sangat menentukan osmolalitas dari cairan ekstraseluler karena merupakan partikel terbanyak pada cairan ekstraseluler dan membrane
  • selnya relatif impermeabel baginya sedangkan K mempunyai peran yang

  36 sama dalam cairan intraseluler.

  Proses perpindahan cairan dari kapiler ke ruang interstisial disebut dengan ultrafiltrasi karena air, elektrolit, dan zat terlarut lainnya (kecuali protein plasma dan sel darah) dengan mudah menembus membran kapiler. Berdasarkan hukum Starling ( g a m b a r 2 . 6 . 2 ) bahwa kecepatan dan arah pertukaran cairan diantara kapiler dan cairan interstisial ditentukan oleh tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik koloid dari kedua cairan. Pada ujung arteri dari kapiler tekanan hidrostatik dari darah (mendorong cairan keluar) melebihi tekanan osmotik koloid (menahan cairan tetap didalam) sehingga mengakibatkan perpindahan dari

  bagian intravaskuler ke interstisial. Pada ujung vena dari kapiler cairan berpindah dari ruang interstisial ke ruang intravaskuler karena tekanan osmotic koloid melebihi tekanan hidrostatik. Proses ini melepaskan oksigen dan zat gizi kepada sel mengangkut karbondioksida dan produk-produk sisa. Bagian interstisial juga mempunyai tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik koloid, tapi biasanya sangat kecil. Pada kasus inflamasi atau trauma yang mengakibatkan bocornya protein plasma ke dalam ruang interstisial maka tekanan osmotik

  37 koloid akan meningkat cukup tinggi.

  35 Gambar 2.6.2. Hukum Starling pada kapiler.

  Sistem limfatik secara normal akan mengembalikan kelebihan cairan

  34

  interstisial dan protein ke sirkulasi umum. Prinsip osmosis dapat diterapkan pada pemberian cairan intravena, yang dapat berupa isotonik, hipotonik, atau hipertonik ( g a m b a r 2 . 6 . 3 ) tergantung pada keadaan konsentrasi partikel apakah sama, kurang atau melebihi cairan sel tubuh. Pada dasarnya larutan isotonik secara fisiologis isoosmotik terhadap plasma dan cairan sel. Osmolalitas plasma yang normal berkisar 287 mOsmol/kg. Jika sel-sel darah merah ditempatkan pada larutan garam isotonik (NaCl 0,9%) maka tidak akan mengalami perubahan volume. Konsentrasi osmolalitas dari larutan garam isotonik (NaCl 0,9%) tepat sama dengan isi sel (isoosmotik) sehingga hasil akhir difusi air kedalam dan keluar sama dengan nol. Jika sel darah merah ditempatkan dalam larutan hipotonik misalnya larutan NaCl 0,45% maka sel- sel itu akan membengkak. Sebaliknya, jika sel-sel darah merah ditempatkan dalam larutan NaCl 3% akan menyebabkan sel-sel mengkerut karena larutan

  35 tersebut hiperosmotik terhadap sel.

  35 Gambar 2.6.3. Efek pemberian cairan Intra Vena.

  Mekanisme pengaturan keseimbangan volume terutama tergantung pada perubahan volume sirkulasi efektif yang mana merupakan bagian dari CES pada ruang vaskuler yang melakukan perfusi aktif pada jaringan. Sistem renin angiotensin aldosteron merupakan mekanisme yang paling penting dalam mengatur CES dan ekskresi natrium oleh ginjal. Aldosteron merupakan hormone yang disekresi di daerah glomerulosa korteks adrenal yang produksinya terutama dirangsang oleh reflek yang terdapat pada arteriol aferen ginjal. Penurunan volume sirkulasi efektif akan dideteksi oleh baroreseptor yang mengakibatkan sel-sel jukstaglomerular ginjal memproduksi renin yang bekerja sebagai enzim yang melepaskan angiotensin I dari protein plasma angiotensinogen. Angiotensin I kemudian dirubah menjadi Angiotensin II pada paru-paru. Angiotensin II merangsang korteks adrenal untuk mensekresi aldosteron yang bekerja pada duktus kolektif ginjal dan mengakibatkan retensi natrium (dan air). Selain itu Angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi pada

  35 otot polos arteriol.

  Kedua mekanisme ini membantu memulihkan volume sirkulasi efektif. Penurunan konsentrasi natrium dalam plasma yang hanya sebanyak 4-5 mEq/L bisa merangsang pengeluaran aldosteron, akan tetapi hal ini berperan penting pada orang normal karena konsentrasi natrium dalam plasma relatif konstan akibat efek ADH. Namun pada kenyataannya meskipun terjadi keadaan hiponatremia efek pada aldosteron sering dikalahkan oleh perubahan volume CES. Oleh karena itu, sekresi aldosteron meningkat pada pasien hiponatremia yang volumenya menurun tetapi menurun pada pasien dengan volume CES yang meningkat akibat adanya retensi air. Pada dasarnya aldosteron merupakan komponen pengendali utama bagi sekresi kalium pada nefron distal ginjal, dimana peningkatannya menyebabkan reabsorbsi natrium (dan air) dan ekskresi kalium, sedangkan penurunannya menyebabkan ekskresi natrium (dan air) dan penyimpanan kalium. Sekresi aldosteron dirangsang oleh penurunan volume

  35 sirkulasi efektif atau penurunan kalium serum.

  Hipervolemia, penurunan Kalium serum atau peningkatan Natrium serum akan menyebabkan penurunan aldosteron. Ekskresi kalium juga dipengaruhi oleh keadaan asam-basa dan kecepatan aliran di tubulus distal. Pada keadaan alkalosis, ekskresi kalium akan meningkat dan pada keadaan asidosis akan

  menurun. Pada tubulus distal ion H dan ion K bersaing untuk diekskresi

  • sebagai pertukaran dengan reabsorbsi Na untuk mempertahankan muatan
listrik tubuh yang netral. Jika terjadi keadaan alkalosis metabolik yang disertai

  dengan kekurangan ion H , tubulus akan menukar Na dengan K demi

  mempertahankan ion H dan menurunkan ekskresi K . Mekanisme ini menjelaskan mengapa hipokalemia disertai dengan alkalosis dan hiperkalemia disertai asidosis. Kecepatan aliran kemih yang tinggi pada tubulus distal akan

  • mengakibatkan peningkatan ekskresi K total dan kecepatan aliran yang rendah

  35 akan menurunkan ekskresinya.

  Paru-paru juga berperan penting dalam menjaga homeostasis karena

  • mengatur H dengan mengendalikan kadar karbondioksida dalam CES. Asidosis metabolik menyebabkan kompensasi berupa hiperventilasi, sehingga terjadi pengeluaran karbondioksida oleh paru-paru dan mengurangi keasaman CES. Sedangkan alkalosis akan menyebabkan kompensasi berupa hipoventilasi sehingga karbondioksida tertahan dan menambah keasaman CES. Akhirnya, ginjal juga turut berperan dalam homeostasis asam-basa dengan
  • mengekskresikan kelebihan H dan mampu mengkompensasi asidosis dan alkalosis respiratorik dengan meningkatkan atau menurunkan reabsorbsi bikarbonat. Pada pemberian cairan yang berlebihan dan tidak terkontrol, dapat menimbulkan edema, yang merupakan suatu keadaan ketidakseimbangan dimana air dan larutan dapat berkumpul di kompartemen interstisial, yang menimbulkan “visible swelling” (edema) dan sering disebut dengan “pitting” edema. Bila seseorang mengalami edema yang menyeluruh, maka orang tersebut akan mengalami pengembangan volume interstisial. Selama volume tersebut terisi air dan larutan yang terdapat dalam ruang interstisial, maka orang tersebut
  • juga akan mengalami kenaikan total natrium tubuh, karena Na (dan disertai

  33, 36 anion-anion) merupakan larutan terbesar CES.

  Berdasarkan hukum Starling, maka sudah jelas bahwa edema dapat disebabkan oleh karena peningkatan tekanan hidrostatik intrakapiler (misalnya pada jantung) atau karena berkurangnya tekanan osmotik akibat rendahnya protein plasma. Pada peningkatan tekanan hidrostatik intrakapiler volume plasma juga mengembang sedangkan pada berkurangnya tekanan osmotik akan cenderung mengakibatkan pengkerutan volume plasma. Pada kasus yang berbeda edema mengindikasikan adanya pengembangan volume interstisial dan berapapun luas volume plasma, maka implikasinya juga pada peningkatan total natrium tubuh. Peningkatan permeabilitas dinding kapiler akan mendukung pembentukan edema, tetapi jarang terjadi yang menyeluruh. Keadaan ini

  36

  disebut dengan edema lokal atau inflamasi. Selain pembuluh darah kapiler terdapat pembuluh limfe yang mampu mentranspor cairan interstisial kembali ke dalam kompartemen plasma. Akibatnya bila terjadi sumbatan limfatik akan dapat menyebabkan kenaikan edema lokal yang biasanya “non-pitting”. Pada keadaan edema aliran limfatik akan meningkat. Selain itu sirkulasi limfatik juga mampu membawa molekul-molekul protein yang bocor ke dalam interstisial dan mengembalikannya ke dalam kompartemen plasma melalui

  37 limfatik sentral dan duktus torasikus.

  Dalam tubuh terbagi beberapa kompartemen dimana cairan tubuh

  26, 36

  terdistribusi dengan pembagian sebagai berikut :

  1. Cairan Intrasel : 40% BB

  2. Cairan Ekstrasel (20% BB), yang terdiri dari :

  • Cairan intravaskuler : 5% BB
  • Cairan Interstitial : 15% BB

  2. Cairan Transeluler (1-3% BB) : LCS, sinovial, Gastrointestinal dan Intraorbital

  • Volume kompartemen sangat tergantung pada kadar Na dan protein plasma.
  • Na merupakan penentu utama osmolalitas dan tonisitas, yang lebih banyak terdapat pada ruang ekstraseluler, dengan kadar yang hampir sama (± 140 mEq/L) terdapat dalam ruang interstisial dan plasma volume. Sedangkan cairan
  • intraseluler hampir tidak mengandung Na (hanya 5 mEq/L). Konsentrasi fosfat dalam plasma sedikit sekali dan diatur sepenuhnya oleh regulasi kalsium sehingga transfer fosfat melewati membran juga tidak berkontribusi secara

  37 bermakna dalam interaksi asam-basa.

  CO ) sangat mudah melewati membran sehingga tidak

  2 (PCO

  2 berkontribusi dalam menyebabkan perbedaan status asam-basa antar membran.

  Protein (Atot) tidak dapat melewati membran, sehingga tidak berperan menyebabkan perbedaan status asam-basa antar membran. Sedangkan ion-ion kuat dapat melewati membran, sehingga merupakan kontributor yang utama dalam keseimbangan asam-basa antar membran. Perdarahan yang tidak teratasi selama operasi berlangsung selain dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan asam-basa juga menimbulkan hipovolemia. Perdarahan yang terjadi akan menurunkan tekanan pengisian sistemik dan akibatnya curah

  38 jantung akan turun di bawah normal dan terjadilah syok.

2.7. KERANGKA TEORI

  

Wanita hamil

SID Plasma Pre operasi

  Kristaloid RAM Kristaloid RL

  • Operasi SC

  • >Anestesi Spinal • Volume preloading
  • Cairan rumatan<>Volume preloading
  • Ion kuat
  • Asetat &amp; M
  • Volume preloading
  • Ion kuat
  • Laktat Ion kuat : Na ⁺,K⁺ Ca²⁺, Mg²⁺,

  SID Plasma Paska operasi

  Cl ⁻

  2.8. KERANGKA KONSEP

  Kristaloid Wanita hamil Kristaloid

Operasi SC

Ringer Asetat Malat

  Ringer Laktat

Spinal Anestesi

  (RL) (RAM)

SID Plasma

  Keterangan : Kel-A : Kelompok Ringer Asetat Malat Kel-B : Kelompok Ringer Laktat

   Variabel bebas  Variabel tergantung

Dokumen yang terkait

Perbandingan Kadar Gula Darah Antara Pemberian Anestesi Spinal dengan Anestesi Epidural pada Pasien Sectio Caesaria

1 43 65

Kejadian Dan Tingkat Keparahan Post Dural Puncture Headache Setelah Tindakan Anestesi Spinal Dengan Jarum 26g Atraucan Dibandingkan Dengan 26g Quincke Pada Pasien Bedah Sesar

1 62 90

Perbedaan Perubahan Strong Ion Difference Plasma Setelah Pemberian Larutan Ringer Asetat Malat Dibanding Ringer Laktat Pada Pasien Sectio Caesaria Dengan Anestesi Spinal

3 90 99

Perbandingan Efek Koloding Hes dan Ringer Laktat Terhadap Hipotensi Akibat Spinal Anestesi pada Wanita Hamil yang Menjalani Seksio Sesaria

5 339 88

Changes in Strong Ion Difference after Fluid Resuscitation with Ringer Lactate and Normal Saline in Children with Shock

0 2 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sepsis 2.1.1. Infeksi dan Inflamasi - Penurunan Kadar Laktat Pada Pemberian Norepinefrin Dengan Plasebo Dan Norepinefrin Dengan Adjuvan Vasopresin Pada Pasien Syok Sepsis

0 0 31

BAB II PENGELOLAAN KASUS 2.1 Konsep Dasar Sectio Caesaria 2.1.1 Definisi Sectio Caesaria - Asuhan Keperawatan Pada Ny. S Dengan Gangguan Aman Nyaman: Nyeri pada Post Operasi Sectio Caesaria di RSUD. dr. Pirngadi Medan

0 0 35

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Resin Akrilik - Perubahan Warna Resin Akrilik Polimerisasi Panas Setelah Perendaman Dalam Larutan Kunyit

0 1 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Elektrolit - Analisis Varian Pengaruh Suhu dan Konsentrasi Terhadap Perubahan Konduktivitas Larutan Asam Asetat (CH3COOH) dan Asam Klorida (HCl)

0 0 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kecemasan Pada Anak-Anak - Perbandingan Tingkat Sedasi Klonidin Syrup 2 mcg/kgBB Dengan Diazepam Syrup 0.4 mg/kgBB Sebagai Premedikasi Pada Pasien Anak Yang Menjalani Pembedahan Dengan General Anestesi

0 0 18