Perbandingan Efek Koloding Hes dan Ringer Laktat Terhadap Hipotensi Akibat Spinal Anestesi pada Wanita Hamil yang Menjalani Seksio Sesaria

(1)

PERBANDINGAN EFEK KOLODING HES DAN RINGER LAKTAT

TERHADAP HIPOTENSI AKIBAT SPINAL ANESTESI PADA WANITA

HAMIL YANG MENJALANI SEKSIO SESARIA

TESIS

SONNY LESMANA SURYA

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS

DEPARTEMEN/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

2011


(2)

PERBANDINGAN EFEK KOLODING HES DAN RINGER LAKTAT

TERHADAP HIPOTENSI AKIBAT SPINAL ANESTESI PADA WANITA

HAMIL YANG MENJALANI SEKSIO SESARIA

TESIS

   

Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif/M.Ked pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

SONNY LESMANA SURYA

     

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS

DEPARTEMEN/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

2011


(3)

Judul : Perbandingan Efek Koloding Hes dan Ringer Laktat Terhadap Hipotensi Akibat Spinal Anestesi pada Wanita Hamil yang Menjalani Seksio Sesaria

Nama : Sonny Lesmana Surya Program Magister : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Anestesiologi dan Terapi Intensif

Menyetujui

           

MENGETAHUI

 

Ketua Program Magister

Dr.Hasanul Arifin,SpAn,KAP,KIC  NIP: 19510423197021003

Ketua TKP – PPDS

Dr.H.Zainuddin Amir, SpP(K) NIP. 195406201980111001

PEMBIMBING I : PEMBIMBING II :

Dr.Akhyar H Nst, SpAn, KAKV Dr.Hasanul Arifin, SpAn, KAP, KIC

NIP. 196007011987021002 NIP: 19510423197021003


(4)

Telah diuji pada Tanggal : 10 Oktober 2011  

 

PANITIA PENGUJI TESIS

1. Prof.dr.Achsanuddin Hanafie, SpAn, KIC NIP. 195208261981021001

2. Dr.dr.Nazaruddin Umar, SpAn, KNA NIP. 1951071219810310002

3. dr.Yutu Solihat


(5)

KATA PENGANTAR

Assalamu’Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Segala puji dan syukur hanya kepada Allah SWT karena atas ridho, rahmat dan karunia– Nya kepada saya sehingga dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara serta menyusun dan menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian pendidikan keahlian dibidang Anestesiologi dan Terapi Intensif . Shalawat dan salam saya sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-nya Radhiallahu’anhum ajma’in yang telah membawa perubahan dari zaman kejahiliyahan ke zaman berilmu pengetahuan seperti saat ini.

Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti Program Pendidkan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif di Universitas ini. Bapak Direktur RSUP H Adam Malik Medan, Direktur RS Pirngadi Medan dan Direktur RS Haji Mina Medan, Direktur RSUD FL Tobing Sibolga, Direktur Rumkit Tk II Putri Hijau Medan yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk belajar dan bekerja di lingkungan rumah sakit tersebut.

Dengan penuh rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC sebagai ketua Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP H Adam Malik Medan. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada dr. Hasanul Arifin, SpAn. KAP. KIC sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif dan pembimbing I saya, Dr. dr. Nazaruddin Umar, SpAn. KNA sebagai Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, dr. Akhyar Hamonangan Nasution, SpAn. KAKV sebagai Sekretaris Program Studi dan sebagai pembimbing II.


(6)

Rasa hormat dan terima kasih kepada semua guru-guru kami, dr. A. Sani P. Nasution, SpAn.KIC, dr. Chairul M. Mursin, SpAn, Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC, dr. Hasanul Arifin, SpAn. KAP. KIC, Dr. dr. Nazaruddin Umar, SpAn. KNA, dr. Asmin Lubis, DAF. SpAn, KAP. KMN, dr. Akhyar H. Nasution, SpAn. KAKV, dr. Yutu Solihat, SpAn. KAKV, dr. Nadi Zaini, SpAn, Dr. Soejat Harto, SpAn.KAP, dr. Muhammad A R, SpAn, dr. Syamsul Bahri, SpAn, dr. Walman Sitohang, SpAn, dr. Tumbur, SpAn, dr. Veronica HY, SpAn KIC, dr Tjahaya Indra Utama,SpAn, dr. Nugroho K.S, SpAn, dr. Dadik Wahyu Wijaya, SpAn, dr. M. Ihsan, SpAn, dr. Guido M. Solihin, SpAn.

Kepada dr. Arlinda Sari Wahyuni, MKes sebagai pembimbing statistik yang banyak membantu dalam penelitian ini khususnya dalam hal metodologi penelitian dan analisa statistik.

Terima kasih kepada seluruh teman-teman residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU terutama kepada dr .Jalaluddin A.Chalil, dr. Ahmad Rusdy Nasution, dr. Muhammad Arsad, dr. Rahmad Dhani, dr. cut meliza Zainumi, dr. Dewi Yusmeliasari, dr. Rika Dhanu, dr. Ester Lantika Silaen, dr. John Frans Sitepu dan dr. Dony Siregar atas kerja sama dan bantuan serta dorongannya selama ini. Terima kasih kepada teman-teman residen Ilmu Kebidanan dan Kandungan , Ilmu bedah, THT, Penyakit Mata dan bidang ilmu kedokteran lainnya yang banyak berhubungan dengan bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif. Terima kasih kepada rekan-rekan kerja perawat dan penata Anestesiologi, perawat ICU dan perawat lainnya yang banyak berhubungan dengan kami. Terima kasih juga kepada seluruh pasien dan keluarganya sebagai “guru” kedua kami dalam menempuh pendidikan spesialis ini.

Terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orangtua saya, ayahanda Surya Putra Sani, S.E. BSc. dan ibunda tercinta, Dharmawaty, terhadap kasih sayangnya tidak berkesudahan, pengorbanannya tidak terkira, jerih payahnya tidak terbalaskan serta adik saya tersayang dr.Maesyara Adinda Sari untuk doa dan semangatnya. Terima kasih kepada kekasihku tercinta, Cindy Ayuningtias Sitompul atas pengorbanannya, kesabarannya dan kesetiaannya. Terima kasih kepada dr.Nazrin Bey Sitompul, Sp.PD dan Ibu Rosella Sabar Prawira, SE untuk dukungannya selama ini. Terima kasih kepada Dr.Yuris Danilwan, SE, Msi dan Hj. Linda Yarnita untuk bantuan serta dorongannya dalam menempuh pendidikan spesialis ini.


(7)

Akhirnya hanya kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, kita berserah diri dan memohon rahmat dan pengampunan. Mudah-mudahan ilmu yang didapat, bermanfaat sebanyak-banyaknya untuk masyarakat, agama,bangsa dan negara.

Medan, September 2011


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... v

LAMPIRAN ... vi

BAB 1 ... 1

PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 RUMUSAN MASALAH ... 4

1.3 HIPOTESIS ... 4

1.4 TUJUAN PENELITIAN ... 4

1.4.1 Tujuan umum ... 4

1.4.2 Tujuan khusus ... 4

1.5 MANFAAT PENELITIAN ... 5

1.5.1 Manfaat akademis ... 5

1.5.2 Manfaat praktis ... 5

BAB 2 ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Molaritas, molalitas, dan ekuivalen ... 6

2.2 Osmolaritas, osmolalitas dan tonisitas ... 6


(9)

2.4 Cairan intraseluler ... 9

2.5 Cairan ekstraseluler ... 9

2.6 Cairan interstisial (ISF) ... 10

2.7 Cairan intravaskular (IVF) ... 10

2.8 Perpindahan cairan antar kompartemen ... 11

2.9 Pengaturan faal dari cairan dan elektrolit ... 12

2.10 Respon hemodinamik terhadap kekurangan volume cairan ... 13

2.11 Hetastarch... 15

2.11.1 Fitur ... 15

2.11.2 Kekurangan ... 15

2.12 Spinal anestesi ... 15

2.12.1 Indikasi spinal anestesi ... 16

2.12.2 Kontra indikasi absolut ... 16

2.12.3 Kontra indikasi relatif ... 17

2.13 Anatomi ... 17

2.14 Teknik spinal anestesi ... 18

2.15 Obat-obat yang dipakai ... 19

2.16 Pengaturan level analgesia ... 19

2.17 Komplikasi/masalah anestesi spinal ... 21

2.18 Perubahan fisiologi wanita hamil ... 24

2.18.1 Sistim respirasi ... 24

2.18.2 Perubahan volume darah ... 26


(10)

2.18.4 Perubahan pada ginjal ... 27

2.18.5 Perubahan pada GIT ... 28

2.18.6 Perubahan SSP dan susunan saraf perifer ... 29

2.18.7 perubahan sistim muskuloskeletal, dermatologi, mammae dan mata 30 2.18.8 Uteroplasental blood flow ... 30

KERANGKA TEORI ... 32

KERANGKA KONSEP ... 33

BAB 3 ... 34

3.1. DESAIN ... 34

3.2. TEMPAT DAN WAKTU ... 34

3.2.1 Tempat ... 34

3.2.2 Waktu ... 34

3.3. POPULASI DAN SAMPEL ... 34

3.3.1 Populasi ... 34

3.3.2 Sampel ... 34

3.4. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI ... 35

3.4.1 Kriteria inklusi ... 35

3.4.2 Kriteria eksklusi ... 35

3.5. BESAR SAMPEL ... 35

3.6. CARA KERJA ... 36

3.6.1 Persiapan pasien ... 36

3.6.2 Pelaksanaan penelitian ... 36


(11)

3.8. RENCANA MANAJEMEN DAN ANALISIS DATA ... 38

3.9. DEFINISI OPERASIONAL ... 38

3.10. MASALAH ETIKA ... 39

3.11. ALUR PENELITIAN ... 40

BAB 4 ... 41

4.1. KARAKTERISTIK UMUM SUBJEK PENELITIAN ... 41

4.2. JENIS SUKU DAN PEKERJAAN PADA KEDUA KELOMPOK PENELITIAN ... 42

4.3. TINGKAT PENDIDIKAN PADA KEDUA KELOMPOK PENELITIAN ... 43

4.4. PS-ASA ... 44

4.5. KARAKTERISTIK KLINIS PERUBAHAN HEMODINAMIK PADA KEDUA KELOMPOK ... 44

4.6. RATE PRESSURE PRODUCT (RPP) ... 50

4.7. KEJADIAN HIPOTENSI ... 50

BAB 5 ... 52

5.1. GAMBARAN UMUM ... 52

5.2. PERUBAHAN HEMODINAMIK ... 52

5.2.1 Perubahan Tekanan Darah ... 52

5.2.2 Kejadian Hipotensi ... 53

5.2.3 Laju Nadi ... 54

BAB 6 ... 55


(12)

6.2. SARAN ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56 DAFTAR LAMPIRAN ... 58


(13)

DAFTAR GAMBAR  

Gambar 4.1 Perubahan tekanan darah sistolik ... 46

Gambar 4.2 Perubahan tekanan darah diastolik ... 47

Gambar 4.3 Perubahan tekanan arteri rerata (MAP) ... 48


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.3.1 Air tubuh total dalam persentase berat badan ... 7

... 42

Tabel 4.3 ... 43

Tabel 4.4 Tabel 2.3.2 Komposisi cairan elektrolit ... 8

Tabel 2.12.8 PenyebabPenurunan Uterine Blood Flow ... 31

Tabel 4.1 Karakteristik Umum Sampel Penelitian pada Kedua Kelompok .... 41

Tabel 4.2 Jenis Suku dan Pekerjaan pada Kedua Kelompok Penelitian ... Karakteristik Tingkat Pendidikan Pada Kedua Kelompok Penelitian ... Status Fisik ASA ... 44

Tabel 4.5.1 Karakteristik klinis hemodinamik pre induksi ... 45

Tabel 4.5.2 Tekanan darah sistolik rerata pada kedua kelompok ... 45

Tabel 4.5.3 Tekanan darah diastolik rerata pada kedua kelompok ... 46

Tabel 4.5.4 Tekanan darah arteri rerata (MAP) pada kedua kelompok ... 47

Tabel 4.5.5 Perubahan laju nadi pada kedua kelompok ... 49

Tabel 4.6.1 Rate pressure product (RPP) ... 50


(15)

ABSTRAK

Latar belakang dan tujuan : Penggunaan anestesi spinal pada ibu hamil yang akan

enjalaniprosedurseksio sesariasecara

lik kelompok A terjadi penurunan yang bermakna dimana menjalani seksio sesaria selalu menimbulkan gejolak hemodinamik dalam hal ini perubahan tekanan darah sistolik, diastolik, Mean Arterial Pressure (MAP), dan laju nadi. Penelitian ini menggunakan metode tersamar tunggal, acakterkontrol, dengan tujuan untukmengetahui efektifitas pemberian loading cairan koloid dalam mencegah hipotensi dibandingkan ko-loading kristaloid pada pasien-pasien yang menjalani section caesaria dengan spinal anestesi.

Metode: Setelahmendapatkanpersetujuandarikomiteetika,empat puluhduapasienASA1atau2m

acakdialokasikanuntukmenerimacairan ko-loading koloid (kelompok A) dosis 10ml/kg BB dan ko-loading kristaloid (kelompok B) dosis 30ml/kg BB. Selanjutnya diukurtekanan darah sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata dan laju nadi pasiendicatatsetelah spinal anestesi menit ke-1, ke-5, ke-10 dan ke-15.

Hasil :Tekanan darah sisto

diperoleh nilai p untuk uji t berpasangan <0,05. Pada menit ke-0menuju menit ke-1 terjadi penurunan rata-rata yang bermakna 5,5 mmHg (4,4%) dan pada kelompok B, terjadi penurunan yang bermakna (p<0,05). Pada menit ke-0 menuju menit ke-1 terjadi penurunan rata-rata 9,0 mmHg (7,4%). Tekanan darah diastolik kelompok A tidak terdapat perbedaan yang bermakna dimana diperoleh nilai p untuk uji t berpasangan >0,05 tetapi pada kelompok B, terjadi penurunan yang bermakna (p<0,05). Pada menit ke-0 menuju menit ke-1 terjadi penurunan rata-rata 8 mmHg (10,8%). Pada Tekanan Arteri Rerata (MAP) terjadi penurunan yang bermakna pada kedua kelompok, dimana diperoleh nilai p untuk uji t berpasangan <0,05. Pada menit ke-0 menuju menit ke-1 terjadi penurunan rata-rata 4,7 mmHg (4,9%).Demikian juga Tekanan Arteri Rerata (MAP) pada kelompok B, terjadi penurunan yang bermakna (p<0,05). Pada menit ke-0 menuju menit ke- 1 terjadi penurunan rata-rata 8,4 mmHg (9,4%).Perubahan dinamis laju nadi rata-rata terjadi peningkatan yang tidak bermakna pada kelompok A, dimana diperoleh nilai p untuk uji t berpasangan >0,05. Demikian juga pada kelompok B, terjadi peningkatan yang bermakna (p<0,05). Pada menit ke-0 menuju menit ke-1 terjadi peningkatan rata-rata 8,3 mmHg (10,1%).Kejadian hipotensi setelah anestesi spinal didapati jumlah sampel yang mengalami hipotensi pada kelompok B dari menit ke-1 sampai menit ke-10 dengan nilai uji chi square diperoleh hasil p > 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan bermakna di antara kedua kelompok.


(16)

Kesimpulan : Tidak ada perbedaan efek pemberian ko-loading cairan koloid dalam encegah hipotensi dibandingkan ko-loading kristaloid pada pasien-pasien yang menjalani

engan spinal anestesi. m

section caesaria d


(17)

ABSTRACT

Background and purpose: The us ia in pregnant women who will

l from the ethics commitee, forty-two patients ASA 1 or 2

t values obtained e of spinal anesthes

undergo seksio sesaria always caused hemodynamic changes in systolic blood pressure, Diastolic, Mean Arterial Pressure (MAP), and heart rate. This research used a single-blind, randomized, controlled, in order to determine the effectiveness of co-loading colloid in preventing hypotension compared to co-loading crystalloid in patients undergoing spinal anesthesia with caesarian section.

Methods: After obtaining approva

undergo seksio sesaria procedure were randomly allocated to received co-loading of colloid (group A) dose 10ml/kg and co-loading of crystalloid dose 30ml/kg BB. Subsequently measured systolic blood pressure, diastolic, mean arterial pressure and pulse rate were recorded after spinal anesthesia patients minute to-1, the 5th, 10th and 15th.

Results: Systolic blood pressure decreased in group A where the significan

for the paired t test p <0.05. At minute 0 to minute-to-1 decrease significantly the average 5.5 mmHg (4.4%) and in group B, there was a significant reduction (p <0.05). At minute 0 to minute-to-1 decrease on average 9.0 mmHg (7.4%). Diastolic blood pressure in group A there was no significant difference in which values obtained for the paired t test p> 0.05 but in group B, there was a significant reduction (p <0.05). At minute 0 to minute-to-1 decrease an average of 8 mmHg (10.8%). On the Mean Arterial Pressure (MAP) occurred to a significant reduction in both groups, where the values obtained for the paired t test p <0.05. At minute 0 to minute-to-1 decrease an average of 4.7 mmHg (4.9%). Likewise Average Arterial Pressure (MAP) in group B, there was a significant reduction (p <0.05). At minute 0 to minute-to-1 decrease on average 8.4 mmHg (9.4%). Dynamically changes the pulse rate of the average non-significant increase in group A, where the obtained values for paired t test p> 0.05.Similarly in group B, there was a significant increase (p <0.05). At minute 0 to minute-to-1 increased on average 8.3 mmHg (10.1%).Incidence of hypotension after spinal anesthesia was found to have hypotension number in group B from minute 1 to minute 10 by the chi square test p>0,05, which means no significant difference between the two groups.


(18)

xv   

Conclusion: There is no difference in the effect of co-loading colloid in preventing Hypotension compared to the co-loading crystalloid in patients undergoingspinal anesthesia with caesarian sectio.


(19)

ABSTRAK

Latar belakang dan tujuan : Penggunaan anestesi spinal pada ibu hamil yang akan

enjalaniprosedurseksio sesariasecara

lik kelompok A terjadi penurunan yang bermakna dimana menjalani seksio sesaria selalu menimbulkan gejolak hemodinamik dalam hal ini perubahan tekanan darah sistolik, diastolik, Mean Arterial Pressure (MAP), dan laju nadi. Penelitian ini menggunakan metode tersamar tunggal, acakterkontrol, dengan tujuan untukmengetahui efektifitas pemberian loading cairan koloid dalam mencegah hipotensi dibandingkan ko-loading kristaloid pada pasien-pasien yang menjalani section caesaria dengan spinal anestesi.

Metode: Setelahmendapatkanpersetujuandarikomiteetika,empat puluhduapasienASA1atau2m

acakdialokasikanuntukmenerimacairan ko-loading koloid (kelompok A) dosis 10ml/kg BB dan ko-loading kristaloid (kelompok B) dosis 30ml/kg BB. Selanjutnya diukurtekanan darah sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata dan laju nadi pasiendicatatsetelah spinal anestesi menit ke-1, ke-5, ke-10 dan ke-15.

Hasil :Tekanan darah sisto

diperoleh nilai p untuk uji t berpasangan <0,05. Pada menit ke-0menuju menit ke-1 terjadi penurunan rata-rata yang bermakna 5,5 mmHg (4,4%) dan pada kelompok B, terjadi penurunan yang bermakna (p<0,05). Pada menit ke-0 menuju menit ke-1 terjadi penurunan rata-rata 9,0 mmHg (7,4%). Tekanan darah diastolik kelompok A tidak terdapat perbedaan yang bermakna dimana diperoleh nilai p untuk uji t berpasangan >0,05 tetapi pada kelompok B, terjadi penurunan yang bermakna (p<0,05). Pada menit ke-0 menuju menit ke-1 terjadi penurunan rata-rata 8 mmHg (10,8%). Pada Tekanan Arteri Rerata (MAP) terjadi penurunan yang bermakna pada kedua kelompok, dimana diperoleh nilai p untuk uji t berpasangan <0,05. Pada menit ke-0 menuju menit ke-1 terjadi penurunan rata-rata 4,7 mmHg (4,9%).Demikian juga Tekanan Arteri Rerata (MAP) pada kelompok B, terjadi penurunan yang bermakna (p<0,05). Pada menit ke-0 menuju menit ke- 1 terjadi penurunan rata-rata 8,4 mmHg (9,4%).Perubahan dinamis laju nadi rata-rata terjadi peningkatan yang tidak bermakna pada kelompok A, dimana diperoleh nilai p untuk uji t berpasangan >0,05. Demikian juga pada kelompok B, terjadi peningkatan yang bermakna (p<0,05). Pada menit ke-0 menuju menit ke-1 terjadi peningkatan rata-rata 8,3 mmHg (10,1%).Kejadian hipotensi setelah anestesi spinal didapati jumlah sampel yang mengalami hipotensi pada kelompok B dari menit ke-1 sampai menit ke-10 dengan nilai uji chi square diperoleh hasil p > 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan bermakna di antara kedua kelompok.


(20)

Kesimpulan : Tidak ada perbedaan efek pemberian ko-loading cairan koloid dalam encegah hipotensi dibandingkan ko-loading kristaloid pada pasien-pasien yang menjalani

engan spinal anestesi. m

section caesaria d


(21)

ABSTRACT

Background and purpose: The us ia in pregnant women who will

l from the ethics commitee, forty-two patients ASA 1 or 2

t values obtained e of spinal anesthes

undergo seksio sesaria always caused hemodynamic changes in systolic blood pressure, Diastolic, Mean Arterial Pressure (MAP), and heart rate. This research used a single-blind, randomized, controlled, in order to determine the effectiveness of co-loading colloid in preventing hypotension compared to co-loading crystalloid in patients undergoing spinal anesthesia with caesarian section.

Methods: After obtaining approva

undergo seksio sesaria procedure were randomly allocated to received co-loading of colloid (group A) dose 10ml/kg and co-loading of crystalloid dose 30ml/kg BB. Subsequently measured systolic blood pressure, diastolic, mean arterial pressure and pulse rate were recorded after spinal anesthesia patients minute to-1, the 5th, 10th and 15th.

Results: Systolic blood pressure decreased in group A where the significan

for the paired t test p <0.05. At minute 0 to minute-to-1 decrease significantly the average 5.5 mmHg (4.4%) and in group B, there was a significant reduction (p <0.05). At minute 0 to minute-to-1 decrease on average 9.0 mmHg (7.4%). Diastolic blood pressure in group A there was no significant difference in which values obtained for the paired t test p> 0.05 but in group B, there was a significant reduction (p <0.05). At minute 0 to minute-to-1 decrease an average of 8 mmHg (10.8%). On the Mean Arterial Pressure (MAP) occurred to a significant reduction in both groups, where the values obtained for the paired t test p <0.05. At minute 0 to minute-to-1 decrease an average of 4.7 mmHg (4.9%). Likewise Average Arterial Pressure (MAP) in group B, there was a significant reduction (p <0.05). At minute 0 to minute-to-1 decrease on average 8.4 mmHg (9.4%). Dynamically changes the pulse rate of the average non-significant increase in group A, where the obtained values for paired t test p> 0.05.Similarly in group B, there was a significant increase (p <0.05). At minute 0 to minute-to-1 increased on average 8.3 mmHg (10.1%).Incidence of hypotension after spinal anesthesia was found to have hypotension number in group B from minute 1 to minute 10 by the chi square test p>0,05, which means no significant difference between the two groups.


(22)

xv   

Conclusion: There is no difference in the effect of co-loading colloid in preventing Hypotension compared to the co-loading crystalloid in patients undergoingspinal anesthesia with caesarian sectio.


(23)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional dan anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli anestesi akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakannya tersebut.1 Operasi obstetri dan ginekologi di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010, sekitar 22% pasien dilakukan dengan anestesi umum dan 78% dilakukan dengan anestesi regional.

Regional anestesi terbagi atas spinal anestesi, epidural anestesi dan blok perifer. Spinal & anestesi epidural ini telah secara luas digunakan di ortopedi, obstetri dan anggota tubuh bagian bawah operasi abdomen bagian bawah. Spinal anestesi, diperkenalkan oleh Bier Agustus 1898, adalah teknik regional pertama utama dalam praktek klinis. Operasi seksio sesariamemerlukananestesiyang efektifyaitu regional(epidural atautulang belakang) atauanestesiumum. Denganepiduralanestesi, obat anestesiyangdimasukkan kedalamruangdi sekitartulang belakangibu, sedangkandenganspinal anestesi yaitu obat anestesi disuntikkansebagaidosistunggalke dalamtulang belakangibu. Denganduajenisanestesiregional ini ibuterjagadalam proses persalinan, tetapi mati rasadari pinggang kebawah. Dengananestesiumum, ibutidak sadardalam prosespersalinandan obat anestesi yang digunakan dapat mempengaruhiseluruh tubuhnya serta bayi yang akan dilahirkan.1,2

Resiko utama yang berhubungan dengan anestesi umum adalah permasalahan pada jalan nafas. Resiko yang signifikan terjadi adalah aspirasi dari isi saluran pencernaan dan hanya 30 ml dari cairan aspirasi tersebut yang menyebabkan sindroma Mendelson. Intubasi menjadi lebih sulit dibandingkan dari pada pasien-pasien yang tidak hamil, terutama pada ibu yang gemuk. Permasalahan lainnya adalah leher pendek dan oedem laring.1

Saat ini, dokter anestesidan dokter kandunganpercaya bahwaneuraxialanestesilebih aman daripadaanestesi umumkarenakurangmorbiditasibu danrisiko kematianterkait dengan masalahjalan napasyang sulit. Neuraxialanestesitermasukspinal anestesi, epidural anestesi, dan kombinasi spinal-epidural anestesi.Prosedur inidilakukandengan sterilisasi

danidentifikasianatomi terlebih dahulu. Pendekatanuntuk mencapairuang


(24)

sebuah teknik lebihsulit, tapi menawarkanfleksibilitas yang lebih besardibandingkanspinalanestesi dalam haldurasi. Potensikelanjutan darianalgesiapascaoperasi dengannarkotika atauobat bius lokaltelah secara dramatis meningkatkanpopularitasanestesi epidural. Keuntungan darispinalanestesidibandingkan dengan anestesi epiduraladalah kecepatanonsetnya.Kerugian spinal anestesi adalah tingginya kejadian hipotensi, ada mual-muntah intrapartum, kemungkinan adanya post spinal headache, lama kerja obat anestesi terbatas.4,6

Komplikasi yang paling umum ditemui dengan anestesi spinal adalah hipotensi, yang disebabkan blokade sistem saraf simpatik. Akibatnya, penurunan resistensi vaskuler sistemik dan perifer terjadi penurunan cardiac output. Dalam beberapa kasus, efek kardiovaskular dapat bermanifestasi sebagai hipotensi mendalam & bradikardia. Hipotensi merupakan masalah yang serius yang terjadi dalam spinal anestesi pada operasi seksio sesaria, dengan insiden yang dilaporkan dari literatur hampir di atas 83%. Selama 25 tahun, pergeseran uterus ke kiri dengan manipulasi mengganjal panggul dan pengisian cairan sebelum dilakukannya spinal anestesi merupakan beberapa cara untuk mencegah terjadinya hipotensi.2,3

Karena spinal anestesi mempunyai keuntungan-keuntungan untuk seksio caesarea, berbagai usaha dilakukan untuk mencegah hipotensi maternal. Dicoba dengan pemberian 1000-1500 ml Ringer laktat 15-30 menit sebelum spinal anestesi. Bila diberikan larutan dextrose untuk mengisi volume, beberapa peneliti melihat adanya hiperglikemia feotal, asidosis dan ahkirnya neonatal hipoglikemia. Sebaliknya beberapa peneliti menganjurkan pemberian sedikit dekrose (1% dekrose di dalam RL) untuk mempertahankan euglikemia. Penggunaan sejumlah kecil koloid dikombinasikan dengan kristaloid tidak menunjukkan hasil yang konsisten untuk menurunkan kejadian hipotensi maternal. Pada pasien-pasien yang tidak hamil, pemberian ko-loading cairan lebih baik dalam mempertahankan cardiac output setelah spinal anestesi.Banyak metode untuk mencegah hipotensi selama anestesi spinal untuk section caesaria telah diteliti, namun tidak ada satu teknik yang telah terbukti efektif dan dapat diandalkan.1,3,5,6

Ueyama dkk. (1999) menunjukkan bahwa cairan kristaloid "coload" (administrasi cepat dari bolus cairan pada saat mulai injeksi intratekal) adalah lebih unggul dibandingkan kristaloid preload konvensional (cairan diberikan sebelum injeksi intratekal) untuk mencegah hipotensi.10


(25)

Manu dkk. (2008) menemukan ko-loading dengan 15 ml/kg BB ringer laktat lebih efektif pemberiannya dibandingkan dengan pemberiannya sebagai preloading dalam hal mencegah hipotensi. 11

Dahlgren dkk. (2005) melaporkan koloid preloading mengurangi angka kejadian hipotensidibandingkan denganlarutan Ringer.13

Teoh dkk. (2009) meneliti bahwa 15ml/kg BB HES 130/0,4 yang digunakan sebagai preload secara signifikan meningkatkan curah jantung 5 menit pertama setelah spinal anestesi pada seksio sesaria dibandingkan sebagai ko-loading.5

Siddik-sayid dkk (2009) juga menemukan bahwa tidak ada perbedaan dalam kejadian hipotensi pada wanita yang menerima preloading koloid dibandingkan dengan ko-loading koloid pada saat dilakukan tindakan anestesi.12

Nishikawa dkk. (2007) melaporkan bahwa ko-loading koloid mempunyai efektivitas yang sama dengan preloading koloid dalam mengatasi hipotensi yang terjadi.3

Untuk itu, peneliti ingin mengetahui apakah pemberian ko-loading koloid memberikan efek dalam mencegah hipotensipada pasien-pasien yang menjalani seksio sesaria dengan spinal anestesi?

1.2 RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang masalah di atas memberikan dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Apakah ada perbedaan efek pemberian ko-loading cairan koloid dalam mencegah hipotensi dibandingkan ko-loading kristaloid pada pasien-pasien yang mejalani section caesaria dengan spinal anestesi?

1.3 HIPOTESIS

Ada perbedaan efek pemberian ko-loading cairan koloid dalam mencegah hipotensidibandingkan ko-loading kristaloid pada pasien-pasien yang menjalani section caesaria dengan spinal anestesi.


(26)

1.4 TUJUAN PENELITIAN 1.4.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui efektifitas pemberian ko-loading cairan koloid dalam mencegah hipotensidibandingkan ko-loading kristaloid pada pasien-pasien yang menjalani section caesaria dengan spinal anestesi.

1.4.2 Tujuan khusus

a. Untuk menilai hipotensi yang terjadi karena pemberian ko-loading kristaloid b. Untuk menilai hipotensi yang terjadi karena pemberian ko-loading koloid.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

1.5.1 Manfaat akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber rujukan tambahan dalam penelitian lanjutan tentang usaha-usaha pencegahan hipotensi yang signifikan pada wanita hamil yang akan menjalani operasi seksio sesaria dengan spinal anestesi.

1.5.2 Manfaat praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan dalampemberian cairan yang efektif dalam hal mencegah hipotensipada pasien-pasien yang menjalani operasi caesaria dengan spinal anestesi.


(27)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Semua sel dan jaringan tubuh mausia terendam dalam cairan yang komposisinya mirip dengan air laut, yang mencerminkan awal evolusi manusia. Agar fungsi sel berlangsung normal komposisi cairan harus relatif konstan. Komposisi cairan tersebut terdiri dari air dan zat terlarut baik yang termasuk elektrolit ataupun yang non elektrolit dimana keduanya saling berhubungan dan saling menyeimbangkan.

Cairan dalam tubuh manusia terbagi manjadi cairan intraselular dan ekstraselular, dan cairan ekstraselular dibagi menjadi cairan interstisial dan intravaskular. Semua pembagian ini pada prinsipnya saling menyeimbangkan. Jika tubuh melewati batas kompensasinya maka diperlukan sejumlah besar cairan intravena untuk mengkoreksi kekurangan cairan. Jika kompensasi ini tidak terjadi atau tidak adanya penanganan yang adekuat maka akan berdampak perfusi ke jaringan akan terganggu bahkan akan mengakibatkan kematian jaringan.

2.1 Molaritas, Molalitas, dan Ekuivalen

Satu mol menyatakan berat molekul yang dinyatakan dalam gram. Satu milimol 1/1000 dari 1 mol, atau beratnya dinyatakan dalam miligram. Molaritas adalah jumlah mol dari zat terlarut perliter larutan. Molalitas menyatakan mol dari zat terlarut per kilogram pelarut. Ekuivalensi biasanya digunakan pada zat yang mengandung ion. Jumlah ekuivalen dari sebuah ion dalam larutan adalah jumlah mol dikalikan dengan muatannya (valensi).6,9

2.2 Osmolaritas, Osmolalitas, dan Tonisitas

Osmosis adalah proses pergerakan dari air yang melewati membran semipermeabel yang disebabakan oleh perbedaan konsentrasi. Proses pergerakan air ini dari yang konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Tekanan osmotik adalah daya dorong air yang dihasilkan oleh partikel-partikel zat terlarut didalamnya. Tekanan osmotik tergantung dari jumlah zat yang tak terlarut didalamnya. Satu osmol sama dengan satu mol pada zat yang tidak dapat dipisahkan. Perbedaan 1 mili osmol per liter antara dua larutan menghasilkan tekanan osmotik sebesar 19,3 mmHg. Osmolaritas dari larutan adalah sama dengan jumlah osmol per


(28)

liter larutan, dimana osmolalitas sama dengan jumlah osmol per kilogram pelarut.Tonisitas adalah istilah yang sering dipertukarkan dengan osmolaritas dan osmolalitas. Sebenarnya, tonisitas menggambarkan efek dari larutan terhadap volume sel. Larutan isotonik tidak mempunyai efek terhadap volume sel, sedangkan larutan hipotonik dan hipertonik akan meningkatkan dan menurunkan volume sel.6,9

2.3 Distribusi cairan tubuh

Komponen terbesar tunggal dari tubuh adalah air. Air bersifat pelarut bagi semua yang terlarut. Air tubuh total atau total body water (TBW) adalah persentase dari berat air dibandingkan dengan berat badan total, bervariasi menurut kelamin, umur, dan kandungan lemak tubuh. Air membentuk sekitar 60% dari berat seorang pria dan sekitar 50% dari berat badan wanita.1 Berikut ini adalah tabel persentase air (TBW) berdasarkan umur;

Tabel 2.3.1 Air tubuh total dalam presentase berat badan

Bayi baru lahir 75%

Dewasa

Pria (20-40 tahun) 60%

Wanita (20-40 tahun) Usia lanjut (60+ tahun)

50% 45-50%

Jaringan lemak pada dasarnya bebas air. Oleh karena itu jika dibandingkan dengan orang gemuk dengan kurus maka orang gemuk memiliki TBW yang relaif kecil. Jaringan otot memiliki kandungan air yang tinggi. Maka jika wanita dibandingkan dengan pria, akan ditemukan bahwa TBW pria lebih besar karena sedikit jaringan lemak dan banyaknya masa otot.9

Air didistribusikan antara dua kompartemen yang dipisahkan oleh membran sel. Pada orang dewasa kira-kira 40% berat badannya atau 2/3 dari TBWnya berada di cairan intrasel atau intracellular fluid (ICF) dan sisanya 1/3 dari TBW atau 20% berada cairan ekstra sel atau extraxellular fluid (ECF). Cairan ekstrasel terbagi lagi kedalam kompartemen cairan


(29)

intravaskular (IVF) sebesar 5% dari TBW dan cairan interstisial (ISF) sebesar 15%. Sebesar 1-2% tergolong kedalam cairan transeluler seperti cairan serebrospinal, intraokular dan sekresi saluran cerna dan kesemua bagian ini memiliki komposisi elektrolit masing-masing.6,9

Zat terlarut yang ada dalam cairan tubuh terdiri dari elektrolit dan non elektrolit. Non elektrolit adalah zat terlarut yang tidak terlarut dan tidak bermuatan lisrtrik yang terdiri dari protein, urea, glukosa, oksigen, kardondioksida dan asam-asam organik. Garam yang terurai didalam air menjadi satu atau lebih partikel-partikel bermuatan disebut ion atau elektrolit. Elektrolit tubuh terdiri dari natrium (Na+), kalium (K+), kalsium (Ca2+), magnesium (Mg2+), klorida (Cl-), bikarbonat (HCO3-), fosfat (HPO42-) dan sulfat (SO42-). Ion yang bermuatan posisitf disebut kation dan yang bermuatan negatif disebut anion9.

Dibawah ini adalah tabel komposisi elektrolit yang mengisi masing-masing kompartemen.

Tabel 2.3.2 Komposisi cairan elektrolit

Extracellular

Gram-Molecular Weight

Intracellular (mEq/L)

Intravaskular (mEq/L)

Interstitial (mEq/L)

Sodium 23.0 10 145 142

Potasium 39.1 140 4 4

Calcium 40.1 < 1 3 3

Magnesium 24.3 50 2 2

Chloride 35.5 4 105 110

Bicarbonate 61.0 10 24 28

Phosphorus 31.01 75 2 2


(30)

2.4 Cairan intraselular

Membran sel bagian luar memegang peranan penting dalam mengatur volume dan

komposisi intraselular. Pompa membran-bound ATP-dependent akan mempertukarkan Na

dengan K dengan perbandingan 3:2. Oleh karena membran sel relativ tidak permeable tehadap ion Na dan ion K, oleh karenanya potasium akan dikonsentrasikan di dalam sel sedangkan ion sodium akan dikonsentrasiksn di ekstra sel. Potasium adalah kation utama ICF dan anion utamanya adalah fosfat. Akibatnya, potasium menjadi faktor dominant yang menentukan tekanan osmotik intraselular, sedangkan sodium merupakan faktor terpenting yang menentukan tekanan osmotik ekstraselular.6,9

Impermeabilitas membran sel terhadap protein menyebabkan konsentrasi protein intraselular yang tinggi. Oleh karena protein merupakan zat terlarut yang nondifusif (anion),rasio pertukaran yang tidak sama dari 3 Na+ dengan 2 K+ oleh pompa membran sel adalah hal yang penting untuk pencegahan hiperosmolaritas intraselular relativ. Gangguan pada aktivitas pompa Na-K-ATPase seperti yang terjadi pada keadaan iskemi akan menyebabkan pembengkakan sel.6

2.5 Cairan ekstraselular

Fungsi dasar dari cairan ekstraselular adalah menyediakan nutrisi bagi sel dan memindahkan hasil metabolismenya. Keseimbangan antara volume ektrasel yang normal terutama komponen sirkulasi (volume intravaskular)adalah hal yang sangat penting. Oleh sebab itu secara kuantitatif sodium merupakan kation ekstraselular terpenting dan merupakan faktor utama dalam menentukan tekanan osmotik dan volume sedangkan anion utamanya adalah klorida (Cl-), bikarbonat (HCO3-). Perubahan dalam volume cairan ekstraselular berhubungan dengan perubahan jumlah total sodium dalam tubuh. Hal ini tergantung dari sodium yang masuk, ekskeri sodium renal dan hilangnya sodium ekstra renal.6,9


(31)

2.6 Cairan interstisial (ISF)

Normalnya sebagian kecil cairan interstisial dalam bentuk cairan bebas. Sebagian besar air interstisial secara kimia berhubungan dengan proteoglikan ekstraselular membentuk gel. Pada umumnya tekanan cairan interstisial adalah negatif ( kira-kira -5 mmHg). Bila terjadi peningkatan volume cairan iterstisial maka tekanan interstisial juga akan meningkat dan kadang-kadang menjadi positif. Pada saat hal ini terjadi, cairan bebas dalam gel akan meningkat secara cepat dan secara klinis akan menimbulkan edema. Hanya sebagian kecil dari plasma protein yang dapat melewati celah kapiler, oleh karena itu kadar protein dalam cairan interstisial relatif rendah (2 g/Dl). Protein yang memasuki ruang interstisial akan dikembalikan kedalam sistim vaskular melalui sistim limfatik.6,9

2.7 Cairan intravaskular (IVF)

Cairan intravaskular terbentuk sebagai plasma yang dipertahankan dalam ruangan intravaskular oleh endotel vaskular. Sebagian besar elektrolit dapat dengan bebas keluar masuk melalui plasma dan interstisial yang menyebabkan komposisi elektrolit keduanya yang tidak jauh berbeda. Bagaimanapun juga, ikatan antar sel endotel yang kuat akan mencegah keluarnya protein dari ruang intravaskular. Akibatnya plasma protein (terutama albumin) merupakan satu-satunya zat terlarut secara osmotik aktif dalam pertukaran cairan antara plasma dan cairan interstisial. Peningkatan volume ekstraselular normalnya juga merefleksikan volume intravaskular dan interstisial. Bila tekanan interstisial berubah menjadi positif maka akan diikuti dengan peningkatan cairan ekstrasel yang akan menghasilkan ekspansi hanya pada kompartemen cairan interstisial. Pada keadaan ini kompartemen interstisial akan berperan sebagai reservoir dari kompartemen intravaskular. Hal ini dapat dilihat secara klinis sebagai edema jaringan.6

Koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Seperti disebutkan sebelumnya, koloid adalah molekul besar yang tidak melintasi hambatan diffusional secara mudah seperti kristaloid. Cairan koloid dimasukkan ke dalam ruang


(32)

vaskuler. Olehkarena itu koloid memiliki kecendrungan yang lebih besar untuk tetap bertahan dan meningkatkan volume plasma dibandingkan dengan cairan kristaloid.6

2.8 Perpindahan cairan antar kompartemen

Cairan tubuh dan zat terlarut didalamnya berada dalam mobilitas yang konstan. Pertama cairan akan dibawa melalui pembuluh darah, dimana mereka bagian dari IVF. Kemudian secara cepat cairan dari IVF akan saling bertukar dengan ISF melalui membran kapiler yang semipermeabel dan akhirnya ISF akan bertukar dengan ICF melalui membran sel yang permeable selektif. Difusi adalah gerakan acak dari molekul yang disebakan energi kinetik yang dimilikinya dan bertanggung jawab terhadap sebagian besar pertukaran cairan dan zat terlarutnya antara kompartemen satu dengan yang lain. Kecepatan difusi suatu zat melewati sebuah membran tergantung pada (1) permeabilitas zat terhadap membran, (2) perbedaan konsentrasi antar dua sisi, (3) perbedaan tekanan antara masing-masing sisi karena tekanan akan memberikan energi kinetik yang lebih besar, dan (4) potensial listrik yang menyeberangi membran akan memberi muatan pada zat tersebut.6,14

Difusi antara cairan interstisial dan cairan intraselular dapat terjadi melalui beberapa mekanisme: (1)secara langsung melewati lapisan lemak bilayer pada membran sel, (2) melewati protein chanel dalam membran, (3) melalui ikatan dengan protein carier yang

reversible yang dapat melewati membran (difusi yang difasilitasi). Molekul-molekul yang

larut seperti oksigen, CO2, air, dan lemak akan menembus membran sel secara langsung. Kation-kation seperti Na+, K+,dan Ca2+ sangat sedikit sekali yang dapat menembus membran oleh karena tegangan potensial transmembran sel ( dengan bagian luar yang positif) yang diciptakan oleh pompa Na+-K+. Dengan demikian kation-kation ini dapat berdifusi hanya melalui chanel protein yang spesifik. Pada akhirnya ion-ion ini akan berpindah dan saling menetralkan. Misalnya jika diluar sel terjadi muatan positif yang terlalu besar maka tubuh akan mengkompensasinyua dengan mengeluarkan muatan negatif dari intraselular begitu juga sebaliknya. Glukosa dan asam amino berdifusi dengan bantuan ikatan membran-protein karier.6,14

Pertukaran cairan antara ruangan interstisial dan intraselular dibangun oleh daya osmotik yang diciptakan oleh perbedaan konsentrasi zat terlarut nondifusif. Perpindahan air dari kompartemen yang hipoosmolar menuju kompartemen yang hiperosmolar. Dinding


(33)

membran. Celah interseluler mempunyai jarak 6-7 nm, memisahkan masing-masing sel dari sel didekatnya. Hanya substansi dengan berat molekul rendah yang larut dalam air seperti sodium, klorida, potasium, dan glukosa yang dapat melewati celah intersel. Substansi dengan molekul yang besar seperti plasma protein sangat sulit untuk menembus celah endotel (kecuali pada hati dan paru-paru dimana terdapat celah yang lebih besar).6,15

Pertukaran cairan melewati kapiler berbeda dengan melewati membran sel. Hal ini terjadi mengikuti hukum starling pada kapiler, yang menyatakan bahwa kecepatan dan arah pertukaran cairan diantara kapiler dan ISF, ditentukan oleh tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik koloid (ditentukan oleh albumin). Pada ujung arteri dari kapiler, tekanan hidrostatik dari darah (mendorong cairan keluar) melebihi tekanan osmotik koloid (menahan cairan tetap didalam) sehingga mengakibatkan perpindahan dari bagian intravaskular ke interstisial. Pada ujung vena dari kapiler, cairan berpindah dari ruang interstisial ke ruang intravaskular karena tekanan osmotik koloid melebihi tekanan hidrostatik. Normalnya10% dari cairan yang difiltrasi akan direabsorbsi kembali kedalam kapiler. Cairan yang tidak direabsorbsi (kira-kira 2ml/mnt) akan memasuki cairan interstisial dan dikembalikan melalui aliran limfatik menuju kompartemen intravaskular kembali.6,9

2.9 Pengaturan faal dari cairan dan elektrolit

Intake cairan yang normal dari seorang dewasa rata-rata sebanyak 2500ml, dimana kira-kira 300 ml merupakan hasil dari metabolisme substrat untuk menghasilkan energi.. Kehilangan air harian rata-rata mencapai 2500 ml dan secara kasar diperkirakan 1500 hilang melalui urin, 400 ml melalui pengauapn di saluran napas, 400 ml melalui pengaupan di kulit, 100 ml melalui keringat, dan 100 ml melalui feses. Osmolalitas ECF dan ICF keduanya diregulasi hampir sama dalam pengaturan keseimbangan cairan yang normal dalam jaringan. Perubahan dalam komposisi cairan dan volume sel akan menyebabkan timbulnya kerusakan fungsi yang serius terutama pada otak. Nilai normal dari osmolalitas bervariasi antara 280 sampai 290 mosm/kg.6

Rumus menghitung osmolalitas plasma;

Plasma osmolalitas (mosm/kg) =[Na+] x 2 + BUN + Glukosa 2,8 18


(34)

Dalam keadaan fisiologis plasma osmolaliti hanya dipengaruhi oleh natrium sementara jika dalam keadaan patologis urea dan glukosa turut menentukan osmolalitas plasma. Hal ini misalnya terlihat pada; ditemukan penunrunan natrium tiap 1 mEq/L terhadap peningkatan glukosa tiap 62mg/dl. Pengaturan keseimbangan cairan dilakukan melalui mekanisme fisiologis yang kompleks. Yang banyak berperan adalah ginjal, sistem kardiovaskuler, kelenjar hipofisis, kelenjar paratiroid, kelenjar adrenal dan paru-paru. TBW dan konsentrasi elektrolit sangat ditentukan oleh apa yang disimpan di ginjal.6

2.10 Respon hemodinamik terhadap kekurangan volume cairan

Respon tubuh terhadap dehidrasi dan perdarahan adalah respon tubuh terhadap hipovolemia.Jika kondisi ini tidak ditangani dengan baik maka akan timbul syok. Syok adalah suatu kondisi dimana ketidak normalan sistem pembuluh darah sehingga menyebabkan perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat yang berdampak kepada kematian sel dan jaringan. Dehidrasi dan perdarahan akan menyebabkan

berkurangnya curah jantung atau cardic out put (CO). Penurunan curah jantung akan

menyebabkan penurunan tekanan darah sekaligus mean arterial pressure (MAP) dimana

MAP: CO X Total Peripheral Resistente (TPR). Respon dini yaitu vasokonstriksi pembuluh darah kulit, otot dan sirkulasi viseral dengan tujuan untuk menjamin sirkulasi ke ginjal, jantung dan otak. Hampir selalu bahwa takikardia segagai gejala awal syok. Karena terjadi kehilangan darah, maka timbul usaha tubuh untuk mengkompensasinya, sama seperti dehidrasi. Tubuh berusaha meningkatkan denyut jantungnya sebagai usaha untuk

meningkatkan cardiac output. Pelepasan katekolamin endogen akan meningkatkan tahan

pembuluh darah sehingga akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan akan mengurangi tekanan nadi.6

Respon simpatik ini berupa vasokonstriksi perifer, peningkatan denyut dan kontraktilitas jantung dimana semuanya bertujuan untuk mengembalikan curah jantung dan perfusi jaringan yang normal sehingga mencegah terjadinya syok. Pengurangan volume cairan serta vasokonstriksi menyebabkan perfusi ke ginjal terganggu sehingga merangsang mekanisme renin-angiotensin-aldosteron. Angiotensin II merangsang vasokonstriksi sisitemik dan aldosteron meningkatkan reabsorbsi natrium (dan air) oleh ginjal. Perubahan-perubahan ini meningkatkan curah jantung dengan memulihkan volume sirkulasi efektif dan tekanan darah. Jika kekurangan cairan tidak banyak (500ml), aktivitas simpatik umumnya memadai untuk memulihkan curah jantung. Jika terjadi hipovolemia yang lebih berat (1000ml atau


(35)

lebih), maka vasokonstriksi simpatik dan yang diperantarai oleh angiotensi II juga meningkat. Terjadi penahanan aliran darah menuju ginjal, saluran cerna, otot, dan kulit. Sedangkan aliran yang menuju koroner dan otak relatif dipertahankan.7,9

Terapi cairan intravena terdiri dari cairan kristaloid, koloid, atau suatu kombinasi kedua-duanya. Solusi cairan kristaloid adalah larutan mengandung ion dengan berat molekul rendah (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid berisi ion dengan berat molekul tinggi seperti protein atau glukosa. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan mengisi intravaskular, sedangkan cairan kristaloid dengan cepat didistribusikan keseluruh ruang cairan ekstraselular (interstisial).8,13

Ada kontroversi mengenai penggunaan cairan koloid dan kristaloid. Para ahli mengatakan bahwa koloid dapat menjaga tekanan onkotik plasma, koloid lebih efektif dalam mengembalikan volume intravaskular dan curah jantung. Ahli yang lain mengatakan bahwa pemberian cairan kristaloid efektif bila diberikan dalam jumlah yang cukup. Beberapa pernyataan dibawah ini yang mendukung :

1. Kristaloid, jika diberikan dalam jumlah cukup sama efektifnya dengan koloid dalam

mengembalikan volume intravaskular.

2. Mengembalikan defisit volume intravaskular dengan kristaloid biasanya memerlukan 3-4 kali dari jumlah cairan jika menggunakan koloid.

3. Kebanyakan pasien yang mengalami pembedahan mengalami defisit cairan extraseluler

melebihi defisit cairan intravaskular.

4. Defisit cairan intravaskular yang berat dapat dikoreksi dengan cepat dengan

menggunakan cairan koloid.

5. Pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar (> 4-5 L) dapat menimbulkan edema


(36)

2.11 Hetastarch

Hetastarch adalah koloid sintetik yang tersedia sebagai cairan 6% dalam saline isotonik. Hetastarch berisi molekul amilopektin yang bervariasi dalam ukuran beberapa ratus hingga satu juta Dalton lebih. Berat molekul rata-rata dari molekulnya setara dengan albumin 5%. Hetastarch sangat efektif sebagai plasma expander dan lebih murah dibandingkan dengan albumin. Lebih jauh, hetastarch bersifat non antigenik dan reaksi anafilaksisnya jarang terjadi tetapi pruritus pernah dijumpai pada beberapa kasus. 20

2.11.1 Fitur

Hetastarch sedikit lebih kuat dari albumin 5% sebagai koloid. Memiliki COP lebih tinggi dari albumin 5% dan menyebabkan ekspansi volume plasma yang lebih besar (sampai 30% lebih besar dari volume infus). Ini juga memiliki waktu paruh eliminasi yang panjang (17 hari), tetapi hal ini menyesatkan karena efek onkotik hetastarch hilang dalam waktu 24 jam.20

2.11.2. Kekurangan

Molekul hetastarch terus dihancurkan oleh enzim amilase dalam aliran darah sebelum dibersihkan ginjal. Kadar serum amilase sering meningkat (2 sampai 3 kali di atas normal) selama beberapa hari pertama setelah infus hetastarch, dan kembali normal pada hari ke-5 sampai hari ke-7 setelah pemberiannya. Reaksi anafilaksis untuk hetastarch yang jelas jarang terjadi (insiden terendah 0,0004%). Uji laboratorium koagulopati dapat terjadi tetapi tidak disertai dengan perdarahan.20

2.12 Spinal Anestesi

Disebut juga spinal analgesia atau subarachnoid nerve block, terjadi karena deposit obat anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid. Terjadi blok saraf yang reversibel pada

radix anterior dan posterior, radix ganglion posterior dan sebagian medula spinalis yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan otonom.6,14

Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula spinalis misalnya temperatur, sakit, aktivitas otonom, rabaan, tekanan, lokalisasi rabaan, fungsi motoris dan proprioseptif. Secara umum fungsi-fungsi tersebut dibawa oleh serabut saraf yang berbeda dalam ketahanannya terhadap obat anestesi lokal. Oleh sebab itu ada obat anestesi lokal yang lebih mempengaruhi


(37)

sensoris daripada motoris. Blokade dari medulla spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah sephalad.6

Serabut saraf yang bermielin tebal (fungsi motoris dan propioseptif) paling resisten dan kembalinya fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan konsentrasi tinggi obat anestesi lokal untuk memblokade saraf tersebut.6

Level blokade otonom 2 atau lebih dermatom ke arah sephalik daripada level analgesi kulit, sedangkan blokade motoris 2 sampai 3 segmen ke arah kaudal dari level analgesi.6

2.12.1 Indikasi Spinal Anestesi :

1. Operasi ekstrimitas bawah, baik operasi jaringan lunak, tulang atau pembuluh darah.

2. Operasi di daerah perineal : Anal, rectum bagian bawah, vaginal, dan urologi. 3. Abdomen bagian bawah : Hernia, usus halus bagian distal, appendik, rectosigmoid, kandung kencing, ureter distal, dan ginekologis

4. Abdomen bagian atas : Kolesistektomi, gaster, kolostomi transversum. Tetapi spinal anestesi untuk abdomen bagian atas tidak dapat dilakukan pada semua pasien sebab dapat menimbulkan perubahan fisiologis yang hebat.

5. Seksio Sesarea (Caesarean Section).

6. Prosedur diagnostik yang sakit, misalnya anoskopi, dan sistoskopi.

2.12.2 Kontra Indikasi Absolut :

1. Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal menusuk pembuluh darah, terjadi perdarahan hebat dan darah akan menekan medulla spinalis.

2. Sepsis, karena bisa terjadi meningitis.

3. Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi pergeseran otak bila terjadi kehilangan cairan serebrospinal.


(38)

5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan ditusuk jarum spinal.

6. Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia pernikiosa,

neurosyphilys, dan porphiria. 7. Hipotensi.

2.12.3 Kontra Indikasi Relatif :

1. Pasien dengan perdarahan. 2. Problem di tulang belakang. 3. Anak-anak.

4. Pasien tidak kooperatif, psikosis.

2.13 Anatomi :

Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4

coccygeal. Medulla spinalis berakhir di vertebra L2, karena ditakutkan menusuk medulla

spinalis saat penyuntikan, maka spinal anestesi umumnya dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4, L2-L3. Ruangan epidural berakhir di vertebra S2.6

Ligamen-ligamen yang memegang kolumna vertebralis dan melindungi medulla spinalis, dari luar ke dalam adalah sebagai berikut :

1. Ligamentum supraspinosum.

2. Ligamentum interspinosum.

3. Ligamentum flavum.

4. Ligamentum longitudinale posterior. 5. Ligamentum longitudinale anterior.


(39)

2.14 Teknik Spinal Anestesi :

1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika kita visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk spinal anestesi.

2. Posisi pasien : a) Posisi Lateral.

Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm, lutut dan paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.

b) Posisi duduk.

Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan seorang asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila diinginkan sadle block.

c) Posisi Prone.

Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah menginginkan posisi Jack Knife

atau prone.

3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol, kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.

4. Cara penusukan.

Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi komplikasi sakit kepala (PSH=post spinal headache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stylet

dari jarum spinal akan menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan spinal analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter sampai yang keluar adalah likuor


(40)

yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).6,14

2.15 Obat-obat yang dipakai

Obat anestesi lokal yang biasa dipakai untuk spinal anestesi adalah lidokain, bupivakain, levobupivakain, prokain, dan tetrakain. Lidokain adalah suatu obat anestesi lokal yang poten, yang dapat memblokade otonom, sensoris dan motoris. Lidokain berupa larutan 5% dalam 7,5% dextrose, merupakan larutan yang hiperbarik. Mula kerjanya 2 menit dan lama kerjanya 1,5 jam. Dosis rata-rata 40-50mg untuk persalinan, 75-100mg untuk operasi ekstrimitas bawah dan abdomen bagian bawah, 100-150mg untuk spinal analgesia tinggi. Lama analgesi prokain < 1 jam, lidokain  1-1,5 jam, tetrakain 2 jam lebih.6,14

2.16 Pengaturan Level Analgesia :

Level anestesia yang terlihat dengan spinal anestesi adalah sebagai berikut : level segmental untuk paralisis motoris adalah 2-3 segmen di bawah level analgesia kulit, sedangkan blokade otonom adalah 2-6 segmen sephalik dari zone sensoris. Untuk keperluan klinik, level anestesi dibagi atas :

--. Sadle block anesthesia : zona sensoris anestesi kulit pada segmen lumbal bawah dan sakral.

--. Low spinal anesthesia : level anestesi kulit sekitar umbilikus (T10) dan termasuk segmen torakal bawah, lumbal dan sakral.

--. Mid spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T6 dan zona anestesi termasuk segmen torakal, lumbal, dan sacral.

--. High spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T4 dan zona anestesi termasuk segmen torakal 4-12, lumbal, dan sacral.


(41)

Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi.6

Level anestesi tergantung dari volume obat, konsentrasi obat, barbotase, kecepatan suntikan, valsava, tempat suntikan, peningkatan tekanan intra-abdomen, tinggi pasien, dan gravitas larutan. Makin besar volume obat, akan semakin besar penyebarannya, dan level anestesi juga akan semakin tinggi. Barbotase adalah pengulangan aspirasi dari suntikan obat anestesi lokal. Bila kita mengaspirasi 0,1ml likuor sebelum menyuntikkan obat; dan mengaspirasi 0,1ml setelah semua obat anestesi lokal disuntikkan, akan menjamin bahwa ujung jarum masih ada di ruangan subarakhnoid. Penyuntikan yang lambat akan

mengurangi penyebaran obat sehingga akan menghasilkan low spinal anesthesia,

sedangkan suntikan yang terlalu cepat akan menyebabkan turbulensi dalam liquor dan menghasilkan level anestesi yang lebih tinggi. Kecepatan yang dianjurkan adalah 1ml per 3 detik.6,14

Berdasarkan berat jenis obat anestesi lokal yang dibandingkan dengan berat jenis likuor, maka dibedakan 3 jenis obat anestesi lokal, yaitu hiperbarik, isobarik dan

hipobarik. Berat jenis liquor cerebrospinal adalah 1,003-1,006. Larutan hiperbarik : 1,023-1,035, sedangkan hipobarik 1,001-1,002.6,14

Perawatan Selama pembedahan.

1. Posisi yang enak untuk pasien. 2. Kalau perlu berikan obat penenang.

3. Operator harus tenang, manipulasi tidak kasar. 4. Ukur tekanan darah, frekuensi nadi dan respirasi.

5. Perhatikan kesulitan penderita dalam pernafasan, adanya mual dan pusing. 6. Berikan oksigen per nasal.

Perawatan Pascabedah.

1. Posisi terlentang, jangan bangun / duduk sampai 24 jam pascabedah. 2. Minum banyak, 3 lt/hari.


(42)

3. Cegah trauma pada daerah analgesi. 4. Periksa kembalinya aktifitas motorik.

5. Yakinkan bahwa perasaan yang hilang dan kaki yang berat akan pulih. 6. Cegah sakit kepala, mual-muntah.

7. Perhatikan tekanan darah dan frekuensi nadi karena ada kemungkinan penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi.

2.17 Komplikasi / Masalah Anestesi Spinal :

1. Sistim Kardiovaskuler :

a) Penurunan resistensi perifer :

--. Vasodilatasi arteriol dan arteri terjadi pada daerah yang diblokade akibat penurunan tonus vasokonstriksi simfatis.

--. Venodilatasi akan menyebabkan peningkatan kapasitas vena dan venous return. --. Proksimal dari daerah yang diblokade akan terjadi mekanisme kompensasi, yakni

terjadinya vasokonstriksi.

b) Penurunan Tekanan Sistolik dan Tekanan Arteri Rerata

Penurunan tekanan darah tergantung dari tingginya blokade simfatis. Bila tekanan darah turun rendah sekali, terjadi risiko penurunan aliran darah otak. Bila terjadi iskemia medulla oblongata terlihat adanya gejala mual-muntah. Tekanan darah jarang turun >

15 mmHg dari tekanan darah asal. Tekanan darah dapat dipertahankan dengan pemberian cairan dan atau obat vasokonstriktor. Duapuluh menit sebelum dilakukan spinal anestesi diberikan cairan RL atau NaCl 10-15 ml/kgBB. Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah efedrin. Dosis efedrin 25-50 mg i.m. atau 15-20 mg i.v. Mula kerja-nya 2-4 menit pada pemberian intravena, dan 10-20menit pada pemberian intramuskuler. Lama kerja-nya 1 jam.6


(43)

c) Penurunan denyut jantung.

Bradikardi umumnya terjadi karena penurunan pengisian jantung yang akan mempengaruhi myocardial chronotropic stretch receptor, blokade anestesi pada serabut saraf cardiac accelerator simfatis (T1-4). Pemberian sulfas atropin dapat meningkatkan denyut jantung dan mungkin juga tekanan darah.6

2. Sistim Respirasi

Bisa terjadi apnoe yang biasanya disebabkan karena hipotensi yang berat sehingga terjadi iskemia medula oblongata. Terapinya : berikan ventilasi, cairan dan vasopressor. Jarang disebabkan karena terjadi blokade motoris yang tinggi (pada radix n.phrenicus C3-5). Kadang-kadang bisa terjadi batuk-batuk kering, maupun kesulitan bicara.6

3. Sistim Gastrointestinal :

Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan karena hipotensi, hipoksia, pasien sangat cemas, pemberian narkotik, over-aktivitas parasimfatis dan traction reflex

(misalnya dokter bedah manipulasi traktus gastrointestinal).6

4. Headache (PSH=Post Spinal Headache)

Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena adanya kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai, semakin besar kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi kemungkinan terjadinya sakit kepala pascaspinal anestesi. Bila duramater terbuka bisa terjadi kebocoran cairan serebrospinal sampai 1-2minggu. Kehilangan CSF sebanyak 20ml dapat menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post spinal headache (PSH) ini pada 90% pasien terlihat dalam 3 hari postspinal, dan pada 80% kasus akan menghilang dalam 4 hari. Supaya tidak terjadi postspinal headache dapat dilakukan pencegahan dengan :


(44)

--. Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25,27,29).

--. Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga jarum tidak merobek dura tetapi menyisihkan duramater.

--. Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari, hal ini akan menambah produksi CSF sebagai pengganti yang hilang.

Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan : --. Memakai abdominal binder.

--. Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang epidural tempat kebocoran.

--. Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari.

Kejadian post spinal headache 10-20% pada umur 20-40 tahun; > 10% bila dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum no.22 ke atas. Wanita lebih banyak yang mengalami sakit kepala daripada laki-laki.

5. Backache

Sakit punggung merupakan masalah setelah suntikan di daerah lumbal untuk spinal anestesi.

6. Retensio Urinae

Penyebab retensio urine mungkin karena hal-hal-hal sebagai berikut : operasi di daerah perineum pada struktur genitourinaria, pemberian narkotik di ruang subarachnoid, setelah anestesi fungsi vesica urinaria merupakan yang terakhir pulih.

7. Komplikasi Neurologis Permanen

Jarang sekali terjadi komplikasi neurolois permanen. Hal-hal yang menurunkan kejadiannya adalah karena : dilakukan sterilisasi panas pada ampul gelas, memaki


(45)

syringedan jarum yang disposible, spinal anestesi dihindari pada pasien dengan penyakit sistemik, serta penerapan teknik antiseptik.

8. Chronic Adhesive Arachnoiditis

Suatu reaksi proliferasi arachnoid yang akan menyebabkan fibrosis, distorsi serta obliterasi dari ruangan subarachnoid. Biasanya terjadi bila ada benda asing yang masuk ke ruang subarachnoid.

2.18 Perubahan fisiologi wanita hamil

Pada Seksio sesaria dengan pasien normal, harus diperhatikan perubahan-perubahan fisiologi dan anatomi, karena perubahan tersebut akan mempengaruhi tindakan anestesi. Bila pasien disertai penyulit lain seperti preeklampsi, asthma bronkhiale, maka tindakan anestesinya akan lebih spesifik lagi. Untuk hal itu diperlukan pengetahuan yang mendalam mengenai fisiologi ibu hamil, fisiologi foetal, aliran darah uterus sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas.6,21

Pada wanita hamil mulai 3 bulan terakhir, terjadi perubahan fisiologi sistim respirasi, kardiovaskuler, susunan saraf pusat, susunan saraf perifer, gastrointestinal, muskuloskeletal, dermatologi, jaringan mammae, dan mata.6

2.18.1 Sistim Respirasi

Perubahan pada parameter respirasi mulai pada minggu ke-4 kehamilan. Perubahan fisiologi dan anatomi selama kehamilan menimbulkan perubahan dalam fungsi paru, ventilasi dan pertukaran gas.

Ventilasi semenit meningkat pada aterm kira-kira 50% diatas nilai waktu tidak hamil. Peningkatan volume semenit ini disebabkan karena peningkatan volume tidal (40%) dan peningkatan frekuensi nafas (15%). Ventilasi alveoli meningkat seperti volume tidal tetapi tanpa perubahan pada dead space anatomi.21


(46)

Pada kehamilan aterm PaCO2 menurun (32-35mmHg). Peningkatan konsentrasi

progesteron selama kehamilan menurunkan ambang pusat nafas di medula oblongata terhadap CO2.21

Pada kehamilan aterm functional residual capacity, expiratory reserve volume dan

residual volume menurun. Perubahan-perubahan ini disebabkan karena diafragma terdorong

keatas oleh uterus yang gravid. FRC (Functional Residual Capacity) menurun 15-20%,

menimbulkan peningkatan "Shunt" dan kurangnya reserve oksigen. Dalam kenyataannya, "airway closure" bertambah pada 30% gravida aterm selama ventilasi tidal. Kebutuhan oksigen meningkat sebesar 30-40%. Peningkatan ini disebabkan kebutuhan metabolisme untuk foetus, uterus, plasenta serta adanya peningkatan kerja jantung dan respirasi. Produksi CO2 juga berubah sama seperti O2. Faktor-faktor ini akan menimbulkan penurunan yang

cepat dari PaO2 selama induksi anestesi, untuk menghindari kejadian ini, sebelum induksi

pasien mutlak harus diberikan oksigen 100% selama 3 menit (nafas biasa) atau cukup 4 kali nafas dengan inspirasi maksimal (dengan O2 100%). Vital capacity dan resistensi paru-paru

menurun.6,21

Penurunan functional residual capacity, peningkatan ventilasi semenit, juga

penurunan MAC akan menyebabkan parturien lebih mudah dipengaruhi obat anestesi inhalasi dari pada penderita yang tidak hamil.6,21 Cepatnya induksi dengan obat anestesi inhalasi karena :

 hiperventilasi akan menyebabkan lebih banyaknya gas anestesi yang masuk ke alveoli.  pengenceran gas inhalasi lebih sedikit karena menurunnya FRC.

 MAC menurun.

Pada kala 1 persalinan, dapat terjadi hiperventilasi karena adanya rasa sakit (his) yang dapat menurukan PaCO2 sampai 18 mmHg, dan menimbulkan asidosis foetal. Pemberian analgetik

(misal : epidural analgesia) akan menolong. Semua parameter respirasi ini akan kembali ke nilai ketika tidak hamil dalam 6-12 minggu post partum.21


(47)

2.18.2 Perubahan Volume Darah

Volume darah ibu meningkat selama kehamilan, termasuk peningkatan volume plasma, sel darah merah dan sel darah putih. Volume plasma meningkat 40-50%, sedangkan sel darah merah meningkat 15-20% yang menyebabkan terjadinya anemia fisiologis (normal Hb : 12gr%, hematokrit 35%). Disebabkan hemodilusi ini, viskositas darah menurun kurang lebih 20%. Mekanisme yang pasti dari peningkatan volume plasma ini belum diketahui, tetapi beberapa hormon seperti renin-angiotensin-aldosteron, atrial natriuretic peptide, estrogen, progesteron mungkin berperan dalam mekanisme tersebut. Volume darah, faktor I, VII, X, XII dan fibrinogen meningkat. Pada proses kehamilan, dengan bertambahnya umur kehamilan, jumlah thrombosit menurun. Perubahan-perubahan ini adalah untuk perlindungan terhadap perdarahan katastropik tapi juga akan merupakan predisposisi terhadap fenomena thromboemboli. Karena plasenta kaya dengan tromboplastin, maka bila pada solusio plasenta, ada risiko terjadinya DIC.6,21

Peningkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi penting :

 Untuk memelihara kebutuhan peningkatan sirkulasi karena ada pembesaran uterus dan

unit foeto-placenta.

 Mengisi peningkatan reservoir vena.

 Melindungi ibu dari perdarahan pada saat melahirkan.  Selama kehamilan ibu menjadi hiperkoagulopati.

Delapan minggu setelah melahirkan volume darah kembali normal. Jumlah perdarahan normal partus pervaginam kurang lebih 400-600ml dan 1000ml bila dilakukan seksio sesaria, tapi pada umumnya tidak perlu dilakukan tranfusi darah.21

2.18.3 Perubahan sistim Kardiovaskuler

Curah jantung meningkat sebesar 30-40% dan peningkatan maksimal dicapai pada kehamilan 24 minggu. Permulaannya peningkatan denyut jantung ketinggalan dibelakang peningkatan curah jantung dan kemudian akhirnya meningkat 10-15 kali permenit pada kehamilan 28-32 minggu. Peningkatan curah jantung mula-mula bergantung pada


(48)

peningkatan stroke volume dan kemudian dengan peningkatan denyut jantung, tetapi lebih besar perubahan stroke volume daripada perubahan denyut jantung.6,21

Dengan ekhokardiografi terlihat adanya peningkatan ukuran ruangan pada end

diastolic dan ada penebalan dinding ventrikel kiri. Curah jantung bervariasi bergantung pada besarnya uterus dan posisi ibu saat pengukuran dilakukan.6,21

Pembesaran uterus yang gravid dapat menyebabkan kompresi aortocaval ketika wanita hamil tersebut berada pada posisi supine dan hal ini akan menyebabkan penurunan

venous return dan maternal hipotensi, menimbulkan keadaan yang disebut supine hypotensive

syndrome. Sepuluh persen dari wanita hamil menjadi hipotensi dan diaforetik bila berada

dalam posisi terlentang, yang bila tidak dikoreksi dapat menimbulkan penurunan aliran darah uterus dan foetal asfiksia. Efek ini akan lebih hebat lagi pada pasien dengan polihidramnion atau kehamilan kembar. Curah jantung meningkat selama persalinan dan lebih tinggi 50% dari saat sebelum persalinan. Segera pada periode post partum, curah jantung meningkat secara maksimal dan dapat mencapai 80% diatas periode pra persalinan dan kira-kira 100% diatas nilai ketika wanita tersebut tidak hamil, hal ini disebabkan karena pada saat kontraksi uterus terjadi plasental ototranfusi sebanyak 300-500ml. CVP meningkat 4-6cm H2O karena

ada peningkatan volume darah ibu. Peningkatan stroke volume dan denyut jantung adalah untuk mempertahankan peningkatan curah jantung. Peningkatan curah jantung ini tidak bisa ditoleransi dengan baik pada pasien dengan penyakit jantung valvula (misal : aorta stenosis, mitral stenosis) atau penyakit jantung koroner. Decompensatio cordis yang berat dapat terjadi pada kehamilan 24 minggu, selama persalinan dan segera setelah persalinan. Curah jantung, denyut jantung, stroke volume menurun ke sampai nilai sebelum persalinan pada 24-72 jam post partum dan kembali ke level saat tidak hamil pada 6-8 minggu setelah melahirkan. Kecuali peningkatan curah jantung, tekanan darah sistolik tidak berubah selama kehamilan, tetapi, tekanan diastolik turun 1-15mmHg. Ada penurunan MAP sebab ada penurunan resistensi vaskuler sistemik. Hormon-hormon kehamilan seperti estradiol-17- dan progesteron mungkin berperan dalam perubahan vaskuler ini.6,21

2.18.4 Perubahan pada Ginjal

GFR meningkat selama kehamilan karena peningkatan renal plasma flow. Renal blood flow dan Glomerular filtration rate meningkat 150% pada trimester pertama kehamilan,


(49)

tetapi menurun lagi sampai 60% diatas wanita yang tidak hamil pada saat kehamilan aterm. Hal ini akibat pengaruh hormon progesteron. Kreatinin, blood urea nitrogen, uric acid juga menurun tapi umumnya normal. Suatu peningkatan dalam filtration rate menyebabkan penurunan plasma blood urea nitrogen (BUN) dan konsentrasi kreatinin kira-kira 40-50%. Reabsorpsi natrium pada tubulus meningkat, tetapi, glukosa dan asam amino tidak diabsorpsi dengan efisien, maka glikosuri dan amino acid uri merupakan hal yang normal pada Ibu hamil. Pelvis renalis dan ureter berdilatasi dan peristaltiknya menurun. Nilai BUN dan kreatinin normal pada parturien (BUN 8-9 mg/dl, kreatinin 0,4 mg/dl) adalah 40% lebih rendah dari yang tidak hamil. Maka bila pada wanita hamil, nilainya sama seperti yang tidak hamil berarti ada kelainan ginjal. Pasien preeklampsi mungkin ada diambang gagal ginjal, walaupun hasil pemeriksaan laboratorium normal. Diuresis fisiologi pada periode post partum, terjadi antara hari ke-2 dan ke-5. GFR dan kadar BUN kembali ke keadaan sebelum hamil pada minggu ke-6 post partum.6,21

2.18.5 Perubahan pada GIT

Perubahan anatomi dan hormonal pada kehamilan merupakan faktor predisposisi terjadinya oesophageal regurgitasi dan aspirasi paru. Uterus yang gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan merubah posisi normal gastro oesophageal junction. Alkali fosfatase meningkat. Plasma cholinesterase menurun kira-kira 28%, kemungkinan disebabkan karena sintesanya yang menurun dan karena hemodilusi. Walaupun dosis moderat succynil choline umumnya dimetabolisme, pasien dengan penurunan aktivitas cholinesterase ada risiko pemanjangan blokade neuro-muskuler.6,21

Disebabkan karena peningkatan kadar progesteron plasma, pergerakan GIT, absorpsi makanan dan tekanan sphincter oesophageal bagian distal menurun. Peningkatan sekresi hormon gastrin akan meningkatkan sekresi asam lambung. Obat-obat analgesik akan memperlambat pengosongan gaster. Pembesaran uterus akan menyebabkan gaster terbagi menjadi bagian fundus dan antrum, sehingga tekanan intragastrik akan meningkat.6,21

Aktivitas serum cholin esterase berkurang 24% sebelum persalinan dan paling rendah (33%) pada hari ke-3 post partum. Walaupun aktivitas lebih rendah, dosis normal succinyl choline untuk intubasi (1-1,5 mg/kg) tidak dihubungkan dengan memanjangnya blokade


(50)

neuromuskuler selama kehamilan. Karena perubahan-perubahan tersebut wanita hamil harus selalu diperhitungkan lambung penuh, dengan tidak mengindahkan waktu makan terakhir misalnya walaupun puasa sudah > 6 jam lambung bisa saja masih penuh. Penggunaan antasid yang non-partikel secara rutin adalah penting sebelum operasi Caesar dan sebelum induksi regional anestesi. Walaupun efek mekanis dari uterus yang gravid pada lambung hilang dalam beberapa hari tetapi perubahan GIT yang lain kembali ke keadaan sebelum hamil dalam 6 minggu post partum .6,21

2.18.6 Perubahan SSP dan susunan saraf perifer.

Susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer berubah selama kehamilan, MAC menurun 25-40% selama kehamilan. Halotan menurun 25%, isofluran 40%, methoxyflurane 32%. Peningkatan konsentrasi progesteron dan endorfin adalah penyebab penurunan MAC tersebut. Tetapi beberapa penelitian menunjukan bahwa konsentrasi endorfin tidak meningkat selama kehamilan sampai pasien mulai ada his, maka mungkin endorfin tidak berperan dalam terjadinya perbedaan MAC tetapi yang lebih berperan adalah akibat progesteron.6

Terdapat penyebaran dermatom yang lebih lebar pada parturien setelah epidural anestesi bila dibandingkan dengan yang tidak hamil. Hal ini karena ruangan epidural menyempit karena pembesaran plexus venosus epidural disebabkan karena kompresi

aortocaval oleh uterus yang membesar. Tetapi penelitian-penelitian yang baru menunjukkan bahwa perbedaan ini sudah ada pada kehamilan muda (8-12 minggu) dimana uterus masih kecil sehingga efek obstruksi mekanik masih sedikit ada maka faktor-faktor lain

penyebabnya.6,21 Faktor-faktor lain itu adalah :  Respiratory alkalosis compensata.

 Penurunan protein plasma atau protein likuor cerebro spinal.

 Hormon-hormon selama kehamilan (progesteron).

Walaupun mekanisme pasti dari peningkatan sensitivitas susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer pada anestesi umum dan antesi regional belum diketahui tetapi dosis obat anestesi pada wanita hamil harus dikurangi. Peningkatan sensitivitas terhadap lokal anestesi untuk epidural atau spinal anestesi tetap ada sampai 36 jam post partum.21


(51)

2.18.7 Perubahan sistim muskuloskeletal, dermatologi, mammae dan mata :

Hormon relaxin menyebabkan relaksasi ligamentum dan melunakkan jaringan kolagen. Terjadi hiperpigmentasi kulit daerah muka, leher, garis tengah abdomen akibat melanocyt stimulating hormon.Buah dada membesar. Tekanan intra oculer menurun selama kehamilan karena peningkatan kadar progesteron, adanya relaxin, penurunan produksi humor aqueus disebabkan peningkatan sekresi chorionic gonado trophin. Akibat relaksasi ligamentum dan kalogen pada kolumna vertebralis dapat terjadi lordosis.21

2.18.8 Uteroplasental Blood Flow

Maintenance uteroplasental blood flow (UPBF) sangat penting untuk berlangsungnya kehidupan foetus yang baik, maka pengetahuan tentang UPBF ini sangat penting untuk tenaga medis dan paramedis yang merawat penderita hamil. UPBF dirumuskan sebagai berikut :

UAP UVP

UBF = ---

UVR

UBF =uterine blood flow UAP =uterine arterial pressure

UVP =uterine venous pressure UVR=uterine vascular

resistance

Maka semua keadaan yang menurunkan tekanan darah rata-rata ibu atau meningkatkan resistensi vaskuler uterus akan menurunkan UPBF dan akhirnya menurunkan umbilical blood flow (UmBF). Pada kehamilan aterm, 10% dari curah jantung atau sekitar 500-700ml/menit akan memasok uterus dimana 80%-nya akan memasuki plasenta. Pembuluh plasenta berdilatasi secara maksimal, jadi placental blood flow sangat tergantung pada tekanan perfusi.


(52)

Tabel 2.18.8 Penyebab Penurunan Uterine Blood Flow Penurunan tekanan perfusi

Penurunan tekanan arteri uterus

 Posisi supine (penekanan aortocaval)

 Perdarahan/hipovolemia

 Obat-obatan yang menyebabkan

hipotensi

 Hipotensi selama blok simpatis Peningkatan tekanan vena uterus

 Penekanan Vena kava

 Kontraksi uterus

 Obat-obatan yang merangsang

hipertonus uterus (oxytocin)  Hipertonus otot rangka (kejang)

Peningkatan tahanan vaskuler uterus

Vasokonstriktor endogen Catecholamines (stres)

Vasopressin (sebagai respon terhadap hipovolemia)

Vasokonstriktor eksogen

 Epinephrine

 Vasopressors (phenylephrine  ephedrine)

 Anestesi lokal (dalam konsentrasi tinggi)

Dua arteri uterina merupakan sumber utama pasokan darah ke uterus, sedangkan pasokan dari arteri ovarica sangat bervariasi tergantung dari spesiesnya. Kompleksnya pasokan arteri ini menyebabkan pengukuran langsung UBF sangat sulit, terutama pada manusia, dan pada kebanyakan kasus keadekuatan perfusi plasenta dapat diperkirakan secara tidak langsung dengan monitor denyut jantung foetus dan keadaan asam-basa.21


(53)

KERANGKA TEORI

Hemodinamik

Tekanan darah sistolik Tekanan darah

diastolik MAP (Mean Arterial

Pressure) Laju nadi Hipotensi Koloading

koloid

Spinal anestesi

Blokade simpatis

Vasodilatasi perifer

Preload jantung ↓↓

Cardiac Output ↑↑

Koloading kristaloid


(54)

KERANGKA KONSEP

Spinal anestesi

Ko-loading kristaloid Ko-loading koloid

Hipotensi Laju nadi MAP (Mean Arterial

Pressure) Tekanan darah

diastolik Tekanan darah sistolik


(55)

BAB 3 METODOLOGI

3.1 DESAIN

Desain pada penelitian ini adalah penelitian prospektif, random, single blind.

3.2 TEMPAT DAN WAKTU

3.2.1 Tempat:RSUP Haji Adam Malik Medan, RS Pirngadi Medan, RS Haji Mina Medan

3.2.2 Waktu :Agustus - September 2011

3.3.1 POPULASI DAN SAMPEL 3.3.1 Populasi

Populasi adalah seluruh pasien hamil yang menjalani seksio sesariaelektif maupun emergensi dengan spinal anestesi di RSUP Haji Adam Malik Medan, RS Pirngadi Medan, RS Haji Mina Medan.

3.3.2 Sampel


(56)

3.4 KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI 3.4.1 Kriteria inklusi:

a. Bersedia mengikuti penelitian

b. Pasien ASA 1 dan 2

c. Usia 18 – 40 tahun

3.4.2 Kriteria eksklusi:

a. Kontraindikasi untuk dilakukan neuraxial blok b. Riwayat alergi terhadap obat-obatan

3.5 BESAR SAMPEL

Estimasi besar sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus sebagai

berikut: 2

n = besar sampel

Z = 1,96 (adalah deviat baku pada  0,05) Z = 0,842 (adalah deviat baku  0,02)

S = simpang baku, diambil dari kepustakaan sebesar 7,0

X1-X2 = Perbedaan klinis yang diinginkan (clinical judgment) 6

Dari perhitungan dengan rumus diatas, maka diperoleh besar sampel: n1 = n2 = 20


(57)

3.6 CARA KERJA 3.6.1 Persiapan pasien

a. Setelah mendapat informed consent dan disetujui oleh komisi etik penelitian bidang kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, seluruh sampel dinilai ulang dan dimasukkan ke dalam kriteria inklusi dan eksklusi.

b. Kepada pasien dijelaskan pada saat kunjungan pemeriksaan para bedah tentang

rencana tindakan pembiusan spinal dan prosedur penelitian meliputi pemeriksaan hemodinamik.

c. Sampel dibagi secara acak menjadi 2 kelompok yaitu Kelompok A yang akan

diberikan HES setelah induksi spinal anestesi (coload) dan Kelompok B yang akan diberikan kristaloid setelah induksi spinal anestesi (coload). Lalu dilakukan randomisasi tersamar ganda oleh relawan I yang sudah dilatih.

d. Randomisasi dilakukan dengan cara blok, masing-masing blok terdiri dari 6 subjek, dengan jumlah kemungkinan kombinasi sekuens sebanyak 20 (terlampir). Kemudian dijatuhkan pena di atas angka random. Angka yang ditunjuk oleh pena tadi merupakan nomor awal untuk menentukan sekuens yang sesuai. Kemudian pilihlah 3 angka dengan digit 2 ke bawah dari angka pertama tadi sampai diperoleh jumlah sekuens yang sesuai dengan besarnya sampel. Kemudian sekuens yang diperoleh disusun secara berurutan sesuai dengan nomer amplop.

e. Cairan disiapkan oleh relawan yang melakukan randomisasi. Setelah melakukan

randomisasi dan menyiapkan cairan, relawan tersebut memberikan kepada relawan II di dalam amplop putih untuk diberikan pada hari pelaksanaan penelitian.

3.6.2 Pelaksanaan penelitian

a. Setelah pasien tiba di ruang tunggu kamar bedah, pasien diperiksa ulang terhadap identitas, diagnosa, rencana tindakan pembedahan, dan akses infus. Dilakukan pemasangan dua kanul infus dengan abbocath no.18G, satu jalur intravena untuk masuk cairan rumatan dan abbocath no 14G, satu jalur intravena untuk masuknya


(58)

b. Kemudian pasien dibawa ke kamar operasi, lalu dilakukan pemeriksaan tekanan darah, laju nadi, laju nafas, saturasi oksigen dan temperatur. Tidak ada diberikan sedasi sebelum dilakukan tindakan anestesi.

c. Pada kedua kelompok dilakukan pemasangan monitor yang menilai tekanan darah

sistolik, tekanan darah diastolik, MAP (Mean arterial Pressure), denyut jantung (DJ), dan saturasi O2 serta dilakukan ganjal panggul kanan.

d. Pada kelompok A, RL diganti menjadi HES dengan dosis 10 ml/kb BB selama 15

menit setelah spinal anestesi. Pada kelompok B, pasien diberikan kristaloid dengan dosis 30 ml/kb BB selama 15 menit setelah spinal anestesi.

e. Setelah pemberian cairan secara cepat tersebut, infus diganti dengan RL dosis 5 ml/kb BB/jam pada kedua grup.

f. Tingkat dermatom dari blok sensorik dinilai dengan kasa alkohol dengan waktu 5, 10, 15 menit setelah penyuntikan lokal anestesi. Hipotensi dinyatakan bila terjadi penurunan sistolik lebih dari 20%.

g. Hemodinamik diukur pada menit 1, 5, 10, 15 setelah spinal anestesi. Ketika hipotensi terjadi, maka diatasi dengan pemberian efedrine 10 mg.

h. Bradikardi dinyatakan bila denyut jantung< 60x/menit dan diatasi dengan pemberian atropin 0,5 mg.

i. Hasil utama yang dievaluasi adalah tekanan darah terendah, insidensi hipotensi, dan jumlah efedrin yang digunakan untuk mengatasi hipotensi tersebut.

3.7 IDENTIFIKASI VARIABEL

Penelitian ini memiliki dua variabel:

Variabel dependent : perubahan hemodinamik ( tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, MAP, dan laju nadi).


(59)

3.8 RENCANA MANAJEMEN DAN ANALISIS DATA

a. Setelah data yang diperlukan telah terkumpul, kemudian data tersebut diperiksa

kembali tentang kelengkapannya sebelum ditabulasi dan diolah. Lalu data tersebut diberikan pengkodean untuk memudahkan dalam mentabulasi. Data ditabulasi ke dalam master tabel dengan menggunakan softwareMicrosoft office exel 2007.

b. Data numerik ditampilkan dalam nilai rata-rata + SD (standard deviasi), sedangkan data katagorik ditampilkan dalam jumlah (persentase).

c. Data demografi : Uji kenormalan data numerik digunakan uji Shapiro-Wilk,

sedangkan untuk data katagorik digunakan uji chi-square.

d. Hipotesa penelitian diuji dengan menggunakan uji T independent.

e. Interval kepercayaan 95% dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna secara signifikan.

3.9 DEFINISI OPERASIONAL

a. Ko-loading : pemberian cairan pada saat tindakan induksi anestesi dalam hal ini sesaat setelah CSF keluar ketika spinal anestesi.

b. Pre-loading : pemberian cairan sesaat sebelum induksi tindakan anestesi dalam hal ini 10 menit sebelum tindakan spinal anestesi.

c. Tekanan darah : hasil kali cardiac output dan tahanan perifer sistemik. Nilai normal untuk tekanan sistolik 90-120 mmHg dan tekanan diastolik 60-90 mmHg.

d. Tekanan arteri rerata (MAP) adalah rata-rata tekanan di dalam pembuluh darah arteri selama satu siklus lengkap dari satu denyut jantung. Nilai diperoleh dengan penambahan tekanan darah sistol dengan dua kali tekanan darah diastol, kemudian dibagi tiga.

e. Laju nadi : jumlah pulsasi yang dirasakan pada suatu arteri permenit. Normalnya 60-100 x permenit.

f. Hipertensi adalah tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan atau tekanan darah


(60)

g. Hipotensi adalah tekanan darah sistol < 90 mmHg ataupun penurunan tekanan darah sistol lebih dari 20% dari tekanan darah sistol awal.

h. Takikardi adalah jumlah pulsasi > 100 x/menit. i. Bradikardi adalah jumlah pulsasi < 60 x/menit.

3.10 MASALAH ETIKA

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dari komisi etik penelitian bidang kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Pasien ataupun keluarga pasien sebelumnya diberi penjelasan tentang tujuan, manfaat serta resiko dari hal yang terkait dengan penelitian. Kemudian diminta mengisi formulir kesediaan menjadi subjek penelitian

(informed consent).

Tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah tindakan yang sudah lazim dikerjakan pada pemeriksaan pasien dan dikerjakan sesuai standar. Bila terjadi kegawat daruratan selama proses tindakan, baik yang berhubungan langsung akibat tindakan ataupun suatu proses dari perjalanan penyakitnya, maka langsung dilakukan penanganan sesuai dengan teknik, alat dan obat standar seperti yang telah disiapkan sebelumnya.


(61)

3.11 ALUR PENELITIAN

Populasi

Eksklusi Inklusi

Sampel

Randomisasi

Kelompok A Kelompok B

Infus RL dosis 5 ml/kg BB/jam

Spinal anestesi

Infus RL dosis 5 ml/kg BB/jam

Infus RL dosis 5 ml/kg BB/jam RL diganti HES

dosis 10 ml/kg BB selama 15

menit

RL diganti kristaloid dosis

30 ml/kg BB selama 15 menit

Diukur tekanan sistolik, tekanan diastolik,MAP, laju nadi, SpO2,

kejadian hipotensi

Infus RL dosis 5 ml/kg BB/jam


(1)

LAMPIRAN 4 : LEMBARAN OBSERVASI PERIOPERATIF PASIEN Nama

Jenis kelamin Umur/Tgl.Lahir Pekerjaan Agama Alamat

Pendidikan terakhir

TB: BB: BMI: MR

Diagnosa Tindakan PS-ASA


(2)

Pre-operasi Menit-1 Menit-5 Menit-10 Menit-15 Tekanan darah

sistolik Tekanan darah

diastolik MAP (Mean

Arterial Pressure) Laju nadi


(3)

LAMPIRAN 5 : RANDOMISASI BLOK SAMPEL DAN DAFTAR SAMPEL

Nomor Sekuens

00-04 AAABBB 05-09 AABABB

10-14 AABBAB 15-19 AABBBA 20-24 ABAABB 25-29 ABABAB 30-34 ABABBA 35-39 ABBAAB 40-44 ABBABA 45-49 ABBBAA 50-54 BAAABB 55-59 BAABAB 60-64 BAABBB 65-69 BABAAB 70-74 BABABA 75-79 BABBAA 80-84 BBAAAB 85-89 BBAABA 90-94 BBABAA 95-99 BBBAAA 3

Kelompok A : ko-loading koloid 10ml/kbBB Kelompok B : ko-loading kristaloid 30ml/kgBB


(4)

LAMPIRAN 6

DAFTAR SAMPEL

NO NAMA KELOMPOK NO NAMA KELOMPOK

1 F A 22 D B

2 W A 23 M A

3 T A 24 S A

4 Y B 25 J A

5 M B 26 J B

6 S B 27 D B

7 A A 28 R A

8 M B 29 C B

9 T B 30 M A

10 I A 31 A B

11 R A 32 S A

12 J B 33 D A

13 W A 34 A B

14 S B 35 R B

15 I A 36 V B

16 M A 37 A B

17 N B 38 N A

18 S B 39 M B

19 R B 40 N A

20 S B 41 I B


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Perbedaan Perubahan Strong Ion Difference Plasma Setelah Pemberian Larutan Ringer Asetat Malat Dibanding Ringer Laktat Pada Pasien Sectio Caesaria Dengan Anestesi Spinal

3 90 99

Perbandingan Efektivitas Antara Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0.4 Dengan Efedrin 10 mg Dalam Mencegah Hipotensi Pada Pasien Seksio Sesarea Dengan Anestesi Spinal

3 41 91

Perbandingan Efek Anestesi Spinal dengan Anestesi Umum terhadap Kejadian Hipotensi dan Nilai APGAR Bayi pada Seksio Sesarea | Flora | Jurnal Anestesi Perioperatif 304 1044 1 PB

0 1 12

Insidensi dan Faktor Risiko Hipotensi pada Pasien yang Menjalani Seksio Sesarea dengan Anestesi Spinal di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung | Rustini | Jurnal Anestesi Perioperatif 745 2771 1 PB

0 0 8

Efek Penggunaan Leg Wrapping terhadap Kejadian Hipotensi Se Anestesi Spinal pada Pasien Seksio Sesarea | Putri | Jurnal Anestesi Perioperatif 903 3290 1 PB

0 0 7

PERBANDINGAN EFEK EFEDRIN PERORAL DAN EFEDRIN INTRAMUSKULER SEBAGAI PROFILAKSIS TERHADAP HIPOTENSI PADA ANESTESI SPINAL - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 54

Perbandingan Efek Pemberian Cairan Kristaloid Sebelum Tindakan Anestesi Spinal (Preload) dan Sesaat Setelah Anestesi Spinal (Coload) terhadap Kejadian Hipotensi Maternal pada Seksio Sesarea | Fikran | Jurnal Anestesi Perioperatif 818 3048 1 PB

0 1 7

Perbandingan Efek Pemberian Norepinefrin Bolus Intravena dengan Norepinefrin Infus Kontinu dalam Tatalaksana Hipotensi, Laju Nadi, dan Nilai APGAR pada Seksio Sesarea dengan Anestesi Spinal | Sumardi | Jurnal Anestesi Perioperatif 375 1248 1 PB

0 1 10

Perbandingan antara Penggunaan Asam Amino dan Ringer Laktat terhadap Penurunan Suhu Inti Pasien yang Menjalani Operasi Laparotomi Ginekologi dengan Anestesi Umum | Hujjatulislam | Jurnal Anestesi Perioperatif 606 2088 1 PB

0 0 7

PERBEDAAN PERUBAHAN STRONG ION DIFFERENCE PLASMA SETELAH PEMBERIAN LARUTAN RINGER ASETAT MALAT DIBANDING RINGER LAKTAT PADA PASIEN SECTIO CAESARIA DENGAN ANESTESI SPINAL TESIS

0 1 21