Borjuasi Ekonomi Indonesia Era Reformasi

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FISIPOL UGM

LEMBAR COVER TUGAS 2013
Nama

No. Mahasiswa

Nama Matakuliah
Dosen
Judul Tugas

Alan Griha Yunanto
(11/317917/SP/24800)
Adriansyah Dhani Darmawan(11/317979/SP/24860)
Permadi Tunggul S.W.
(11/311843/SP/24442)
Bachrudin Hidayatulloh
(11/312565/SP/24575)
Tissa Karaniya Prametta V. (11/317880/SP/24765)
Indah Ayu Lestari

(11/317795/SP/24685)
M. Gufron
(08/267564/SP/22971)
Sholeh Tri Harjoko
(09/283809/SP/23679)
Masyarakat Ekonomi
M. Adhi Iksanto
Borjuasi Ekonomi Indonesia Era Reformasi: Warisan Orde Baru Akibat
Pengaruh Ekonomi Dunia yang Terlampau Kuat

CHECKLIST
Saya telah:
Mengikuti gaya referensi tertentu secara konsisten................................................................................................... 
Memberikan soft copy tugas...................................................................................................................................... 
Deklarasi
Pertama, saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa:
 Karya ini merupakan hasil karya saya pribadi.




 Karya ini sebagian besar mengekspresikan ide dan pemikiran saya yang disusun menggunakan kata dan gaya
bahasa saya sendiri.
 Apabila terdapat karya atau pemikiran orang lain atau sekelompok orang, karya, ide dan pemikiran tersebut dikutip
dengan benar, mencantumkan sumbernya serta disusun sesuai dengan kaidah yang berlaku.
Tidak ada bagian dari tugas ini yang pernah dikirimkan untuk dinilai, dipublikasikan dan/atau digunakan untuk
memenuhi tugas mata kuliah lain sebelumnya.

Kedua, saya menyatakan bahwa apabila satu atau lebih ketentuan di atas tidak ditepati, saya sadar akan menerima sanksi
minimal berupa kehilangan hak untuk menerima nilai untuk mata kuliah ini.

________________________________________

_____________________________________________
Tanggal

Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai pembentukan borjuasi pada era pasca
pemerintahan Soeharto. Alur dalam menjelaskan pembentukan borjuasi tersebut, akan penulis
mulai dari nostalgia era kepemimpinan Soeharto. Dalam bagian ini kita dapat melihat
pembentukan borjuasi yang sebenarnya menurut penulis sebagai fondasi dasar pembentukan
borjuasi setelah kepemimpinan Soeharto, dengan kata lain penulis ingin mengatakan bahwa

pembentukan borjuasi Indonesia pasca Soeharto itu sebenarnya sangat dipengaruhi atau
mewarisi apa yang telah Soeharto lakukan dalam bidang perekonomian. Karakter yang
ditimbulkan hampir mirip-mirip, karena hanyalah sebatas mewarisi.
Ekonomi Indonesia Masa Orde Baru
Mendengar terminologi “Orde Baru” ingatan kita seakan dilempar pada suatu rezim
yang identik dengan program pembangunannya. Indonesia di bawah rezim tersebut memang
tak ubahnya sebagai suatu bangsa yang memposisikan pembangunan sebagai panglima utama
dalam pemerintahan. Awal pemerintahan rezim Orde Baru dilakukan dengan melakukan
penyelamatan ekonomi nasional yang carut marut tinggalan rezim sebelumnya, Orde Lama.
Penyelamatan difokuskan pada pengendalian tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara
serta melakukan proteksi kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat Indonesia.
Masa transisi dari orde lama menuju orde baru merupakan masa di mana
perekonomian Indonesia sedang berada dalam titik paling ekstrem dan mengkhawatirkan.
Dokumen mencatat tingkat inflasi pada masa awal pemerintahan Soeharto waktu itu
mencapai 650% setahun. Maka dari itu, dibutuhkan kebijakan yang mampu menekan tingkat
inflasi seminimal mungkin. Langkah yang diambil Soeharto ialah memberikan tawaran
kepada beragam kreditor dan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Cara
tersebut bukanlah merupakan cara yang mudah, mengingat pendahulunya, Soekarno sangat
anti bantuan asing. Hal tersebut jelas saja berdampak pada aspek psikologis pihak asing yang
menimbulkan resistensi untuk memberikan bantuan kepada Indonesia, kendatipun

pemimpinnya telah berganti. Untuk itu, Soeharto harus memenuhi syarat-syarat yang
diajukan oleh pihak asing dalam pemberian bantuan tersebut.
IMF (International Monatery Fund) memberikan andil yang besar dalam
memfasilitasi transaksi kredit yang diajukan oleh Indonesia. Menurut Mas’oed (1989) IMF
memiliki peran dalam memperjuangkan Indonesia dihadapan para kreditor asing, salah
satunya dengan memberikan jaminan atas pembayaran hutang Indonesia serta pemberian
kredit baru. Seperti yang telah diulas sebelumnya bahwa bantuan yang diberikan oleh
kreditor asing tersebut merupakan bantuan yang sarat akan pamrih dengan ketentuan yang

harus disepakati oleh kedua belah pihak. Salah satu kesepakatannya yaitu dihapusnya kontrol
terhadap investasi swasta oleh negara.
Lebih dari itu, pada Desember 1996 ketika dilakukan konferensi Inter-Governmental
Group on Indonesia (IGGI) di Paris menghasilkan beberapa butir yang harus dipenuhi bila
ingin mendapatkan bantuan asing. Syarat-syarat tersebut yaitu, pertama, kekuatan pasar akan
memainkan peran pokok dalam rehabilitasi. Kedua, perusahaan-perusahaan negara akan
melakukan kompetisi bebas dengan perusahaan swasta, mengakhiri akses preferensi ke kredit
dan alokasi valuta asing. Monopoli negara di bidang impor diakhiri. Sedangkan di pihak lain,
perusahaan negara dibebaskan dari kewajiban menjual dengan harga rendah yang semu.
Mereka dapat melakukan penjualan berdasarkan harga pasar, bekerja secara ekonomis, maka
dengan demikian subsidi tidak diperlukan lagi.

Ketiga, sektor swasta harus dirangsang dengan menghapuskan pembatasan lisensi
impor bahan baku dan peralatan. Keempat, investasi swasta asing akan digalakkan dengan
dikeluarkannya undang-undang investasi baru yang akan menjamin insentif perpajakan dan
lainnya (Robison 2012: 107). Negosiasi tersebut merupakan gerbang masuk dominasi asing
terhadap perekonomian Indonesia. Hasilnya, investor asing mulai marak menancapkan
modalnya dan memberikan bantuan-bantuan finansial untuk menunjang perekonomian
Indonesia.
Kapitalisme tumbuh subur dalam permainan ekonomi Indonesia. Praktik kapitalisme
yang dilakukan oleh negara tersebut melahirkan borjuasi-borjuasi yang memiliki domain di
lingkaran kuasa Soeharto, seperti militer ataupun pengusaha Cina. Keikutsertaan militer
dalam pemerintahan nyatanya tidak sebatas dalam konteks politik melainkan juga ekonomi.
Pada masa itu, militer memiliki kelompok bisnis sebagai bentuk kekuasaan sosial ekonomi di
Indonesia. Salah satu bentuk bisnisnya terlihat dalam sebuah perusahaan bernama PT Tri
Usaha Bhakti (TUB). Perusahaan ini didirikan pada tahun 1969 oleh Hankam yang bergerak
dalam bidang perdagangan kecil, pergudangan, pengankutan truk serta di sektor manufaktur.
Sedangkan untuk pengusaha Cina, dapat dilihat dari adanya Grup Astra milik William
Soerjadjaja (Tjia Kian Liong) dan Grup milik Liem Sioe Liong.
Demikianlah potret kondisi perekonomian di bawah komando Soeharto, sebuah rezim
yang dikenal dengan sebutan Orde Baru. Usaha untuk memperbaiki kondisi perekonomian di
awal pemerintahannya memaksa Soeharto membuka keran penanaman modal asing serta

bantuan kredit asing untuk menekan tingkat inflasi yang kala itu mencapai 650% setahun.
Investasi yang ditanamkan oleh pemodal asing tersebut menuntut pemberlakuan suatu kondisi
politik yang stabil sehingga memberikan kenyamanan bagi para investor untuk berkiprah di

Indonesia. Selain itu, stabilitas politik yang ada mendorong dan melancarkan proses
pembangunan yang digalakkan oleh Soeharto waktu itu.
Tiga Pemerintahan dengan Corak Borjuasi yang Sama
Baharudin Jusuf Habibie merupakan wakil presiden yang sedang menjabat sampai
turunnya 32 tahun kepemimpinan soeharto. Habibie menjabat sebagai presiden RI ke-tiga
setelah berbagai rangkaian krisis ekonimi politik melanda Indonesia. Naiknya Habibie
dianggap sebagai sebuah kemenangan pahit manis bagi gerakan pro-demokrasi karena
anggapan bahwa habibie merupakan tangan kanan dari rezim sebelumnya1. Pada masa rezim
orde baru habibie tidaklah terlalu vokal menyuarakan visi politiknya kecuali dukungannya
kepada kekuasaaan orde baru.
Seperti yang dijelaskan oleh Jan Luiten dalam bukunya Ekonomi Indonesia 18002010. Pada saat mulai menjabat presiden habibie dihadapkan kepada perekonomian Indonesia
yang terus terjun bebas, dengan GDP yang turun hingga 20 persen per tahun. Nilai tukar
rupiah terhadap dolar naik hingga dua kali lipat dibulan Mei dari Rp. 8.000,- menjadi Rp.
16.000,- pada pertengahan Juni dan inflasi yang hampir mendekati 100 persen. Hal ini
menyebabkan segala kebutuhan pokok tidak terjangkau bagi kalangan menengah hingga
menyebabkan angka kemiskinan melambung menjadi 27 persen (Horfman et. Al 2004:54)2.

Habibie sebagai presiden baru dia berhasil menyelanggarakan pemilihan umum parlementer
pada pertengahan 1999. Habibie juga menyadari dengan memulihkan kondisi perekonomian
negara membuka penawaran lebih besar bagi dirinya untuk terpilih kembali (boediono
2002:387)3. Langkah awal yang dia lakukan untuk perbaikan ekonomi adalah dengan meilih
Ginanjar Kartasasmita sebagai mentri ekonomi senior dan Widjojo Nitisastro dan Ali
Wardhana, dua orang teknokrat sebagai penasihat ekonomi. Ketiga orang itu memiliki
hubungan yang baik dengan komunitas pendonor internasional (Schwarz 2000:373)4.
Pada bulan Oktober rupiah berhasil menguat menjadi sekitar Rp. 8.000,- terhadap Dolar AS
dan inflasi menurun drastis. Selain itu juga beberapa ekspor kunci nonmigas mulai
menunjukkan tanda-tanda kepulihan5. Dari sini bisa dilihat habibie sedikit berhasil
memperbaiki kekacauan ekonomi yang ditinggalkan oleh rezim orde baru menjadi lebih baik.
1 Jan Luiten van Zanden Daan Marks (2012), Ekonomi Indonesia 1800-2010 Antara Drama dan Keajaiban
Pertumbuhan, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
2 Hofman, Bert, Ella Rodrick-Jones and Thee Kian Wie (2004), Indonesia: Rapid Growth, Weak Institusions,
Jakarta: World Bank.
3 Boediono. (2002). “The Internasional Monetary Fund Support Program in Indonesia: Comparing
Implementation under Three Presidents”, Bulletin of Indonesian Econimic Studies, Vol. 38, No 2, pp. 385-391.
4 Schwarz, Adam (2000), A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability, Boulder; Colorado: Westview
Press
5 Ibid. 471


Meskipun situasi politik masih tidak menentu dan kondusif yang mengakibatkan para
investor enggan menanam modalnya karena masih belum jelas siapa yang akan menjamin
dan memegang kewenangan kebijakan ekonomi. situasi politik dan masalah sosial yang
masih krusial sangat menyulitkan pemulihan ekonomi karena pengaruhnya terhadap
kepercayaan investor (Fane 1999:18)6. Namun dengan terbongkarnya berbagai skandal
korupsi dan kekerasan di Timor-Timur semakin menghambat pemulihan ekonomi.
Dari sini menunjukkan bahwa selama B. J Habibie menjabat sebagai Presiden dengan
waktu satu tahun tujuh bulan hanya dapat membawa sedikit perbaikan dibidang ekonomi
yang sempat porak poranda. Kondisi perpolitikan yang tidak mendukung perekonomian sulit
adanya muncul borjuasi yang baru. Kemungkinan adanya borjuasi hadir dari warisan yang
ditinggalkan oleh pemerintahan orde baru. Hal ini menjelaskan bahwa dalam era
pemerintahan Habibie keunculan borjuasi baru terhambat oleh masih carut marutnya
perpolitikan Indonesia pada saat itu dan hanya menyisahkan beberapa borjuasi yang masih
bisa bertahan.
Melanjutkan estafet kepemimpinan, Gus Dur atau yang bernama asli Abdul Rahman
Wahid merupakan presiden keempat negara Indonesia. Beliau terpilih pada bulan Oktober
tahun 1999 setelah berakhirnya masa kepemimpinan presiden sebelumnya yaitu BJ Habibie.
Pada awal kepemimpinannya, keadaan Indonesia sejak diselenggarakannya pemilu yang
demokratis tersebut menjadi lebih stabil. Kondisi sosial politik yang ada pun juga cenderung

mengalami kestabilan. Akan tetapi untuk aspek ekonomi, pada masa ini hal tersebut yang
masih menjadi pergunjingan. Sebab pemulihan perekonomian masih saja belum dapat
berjalan dengan selaras. Hal itu terjadi karena pemulihan perekonomian masih menjadi
tawanan politik (Mc Leod, 2000:5 dalam (Jan Luiten, 2012:419)).
Pada awal kepemimpinan Gus Dur, disini masih mengalami ketidakstabilan dalam
kabinetnya. Disana Gus Dur dianggap gagal mengelola cabinet dan juga perekonomian,
dimana kedua hal tersebut merupakan indicator dari keberhasilan kepemimpinan suatu
pemimpinan sebagai hasil dari adanya kompromi politik. Hal tersebut dapat dilihat dari
seringnya pergantian menteri yang ada pada masa pemerintahan Gus Dur. Dengan terjadinya
hal tersebut juga menimbulkan ketidakstabilan kondisi perekonomian pada masa itu.
Selain itu, pada saat itu juga banyak terjadi pergolakan-pergolakan di daerah dan juga
banyaknya tuduhan adanya keterlibatan skandal korupsi. Sehingga legitimasi Gus Dur
sebagai pimpinan mulai memudar. Hal itu juga berpengaruh terhadap stabilitas perekonomian
6 Fane, George (1999), “Survey of Recent Developments”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 36,
No. 1, PP. 13-45

pada saat itu. Akan tetapi walaupun kondisi saat itu tidak stabil, Gus Dur pun tetap menolak
untuk melakukan kompromi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Apalagi jika Gus
Dur dituntut untuk turun dari jabatannya, beliau tidak mau melakukan hal tersebut. Akan
tetapi setelah pergolakan-pergolakan yang terjadi di tubuh pemerintahan, hal itu berakhir

pada tanggal 23 Juli tahun 2000 dengan turunnya Gus Dur sebagai presiden dan digantikan
dengan Megawati Soekarno Putri yang sebelumnya menjabat sebagai wakilnya.
Megawati hadir sebagai presiden republik Indonesia menggantikan Abdurrahman
Wahid. Pada tahun 2001, MPR mengadakan sidang istimewa MPR sebagai langkah lanjutan
atas pembekuan MPR/DPR dan Golkar yang dilakukan oleh Abdurrahman Wahid. Kemudian
secara resmi ia memimpin Indonesia pada tanggal 21 Juli 2001.
Nama Megawati sebenarnya sudah lama berkecimpung di panggung politik nasional.
Ia pernah menjabat sebagai anggota DPR, Ketua Umum PDI-Perjuangan, dan bahkan
sebelumnya ia pernah menjadi aktivis mahasiswa di GmnI.
Ketika menjabat sebagai seorang presiden RI, Megawati melakukan beberapa langkah
konkrit dalam konteks membangun kembali perekonomian Indonesia yang sempat runtuh
akibat gerusan krisis ekonomi yang melanda sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara.
Beberapa kebijakan ekonominya antara lain otonomi daerah, pengurangan subsidi,
pertumbuhan pendapatan per kapita, penundaan utang, dan sebagainya.
Langkah pertama yang ia lakukan sesaat setelah menjabat sebagai presiden adalah
menyelamatkan anggaran yang porak-poranda pasca krisis. Seperti layaknya paradigma yang
berkembang di pemerintahan saat itu, langkah-langkah untuk melakukan penyelamatan
defisit anggaran adalah dengan memotong subsidi yang dilakukannya sebagai pilihan tercepat
akibat pemasukan negara yang belum maksimal. Selain itu, Megawati juga melakukan lobi
penundaan pembayaran utang luar negeri sebesar US$ 5,8 milyar. Beberapa kebijakan itu

diharapkan secara cepat dapat menstabilkan keadaan ekonomi Indonesia yang sedang
mengalami proses pembangunan kembali.
Pengurangan subsidi terhadap pos-pos strategis seperti BBM, listrik, telepon, dan
lain-lain merupakan kebijakan yang berjangka pendek. Artinya tidak dilakukan berdasarkan
pengamatan yang matang maupun konteks ideologis yang diusung oleh Megawati sebagai
pelopor adagium “wong cilik”. Pengurangan terhadap subsidi di pos tersebut pada akhirnya
mengurangi permintaan di level masyarakat kelas bawah. Pada tingkatan yang lebih jauh, hal
ini kemudian akan mengakibatkan gap yang semakin menganga antara pengusaha makro
dengan masyarakat kelas bawah yang setiap hari berjibaku dengan kebutuhan pokok yang
terus meroket.

Logika yang digunakan pemerintah saat itu (bahkan saat ini) dalam konteks ekonomi
dinilai sangat absurd. Dikatakan begitu karena secara sederhana, hal tersebut akan menutup
lubang dengan menggali lubang yang lebih besar. Impact-nya secara sistemik akan justru
menimbulkan permasalahan yang lebih riil dan mendasar di level daya beli masyarakat, serta
mempengaruhi psikologi masyarakat yang sedang menunggu kehadiran pemimpin yang
benar-benar mengejawantahkan mandat yang mereka berikan kepada negara. Namun, di
dalam konteks politik maka hal tersebut bukanlah sebuah upaya penyelamatan ekonomi.
Sebagian masyarakat sadar bahwa kegiatan tersebut tidak memberikan dampak apapun selain
bentuk kegagalan negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Lebih jauh lagi,
beberapa diskusi politik mengatakan bahwa ini adalah bentuk keputusan yang mengada-ada.
Sebab, dihitung dari segi ekonomi apapun, kenaikan tarif tersebut adalah keputusan yang
fatal bagi perekonomian jangka panjang, terlebih lagi bagi ekonomi berskala rumah tangga.
Kecurigaan yang muncul dari masyarakat kemudian adalah bahwa hal ini merupakan
proses tawar-menawar politik. Kecurigaan tersebut dilandasi dengan analisis sebelumnya
yang mengatakan bahwa kenaikan tarif justru menggerus perekonomian mikro. Tawarmenawar politik dapat dikaitkan dengan keberadaan elit-elit politik yang berkecimpung di
ranah politik nasional. Elit ini dapat kita sebut sebagai borjuasi politik. Mereka melakukan
tawar-menawar politik menjelang Pemilu yang akan diselenggarakan beberapa tahun setelah
kebijakan tersebut digelontorkan pemerintah. Borjuasi politik yang ada kemudian
mempengaruhi proses politik di lingkaran istana untuk membuat kebijakan yang
menguntungkan pihak mereka. Hal ini merupakan sesuatu yang menjadi habit buruk
pemerintahan Indonesia. Sebabnya tak lain adalah aktor-aktor ini merupakan warisan orde
sebelumnya. Elit-elit tersebut masih ada dan berpengaruh di lingkungan birokrasi dari level
yang paling rendah sekalipun.
Keputusan presiden kala itu memang tak bisa dibaca dalam waktu singkat.
Maksudnya adalah pengaruh-pengaruh dari borjuasi politik dan ekonomi tidak dapat
dikesampingkan. Borjuasi politik terbentuk akibat rezim yang memusatkan kekuasaannya di
dalam istana. Sementara borjuasi ekonomi hadir atas dasar ikatan kekuasaan dengan para
pengusaha dalam membangun kekuatan politik yang membutuhkan cost politics yang besar.
Borjuasi ekonomi merasuk ke dalam lingkaran kekuasaan dan mempengaruhi setiap proses
kebijakan sehingga kebijakan tersebut tidak menggangu atau bahkan mendukung kegiatan
ekonomi mereka.
Tak dapat dipungkiri, setiap rezim yang berkuasa di Indonesia dapat dipastikan
memiliki borjuasi-nya masing-masing; dengan aktor yang kurang lebih sama, cara yang

mirip, dan korban yang senantiasa sama. Sebagai contoh lain adalah kebijakan tentang
privatisasi BUMN. Secara faktual, pemerintahan Megawati menjalankan kebijakan privatisasi
berdasarkan desakan dari luar, khsusunya IMF dan bank dunia. Bedanya adalah Megawati
hanya melanjutkan kesepakatan yang dibuat pemerintahan sebelumnya melalui stuctrual
adjustment program (SAP).
Selain itu, pertimbangan melakukan privatisasi oleh Megawati adalah untuk mencari
pendanaan untuk menutupi defisit APBN. Seperti diketahui, Megawati mewarisi sebuah
kondisi ekonomi yang compang camping akibat krisis ekonomi 1997. Dalam periode 19912001, pemerintah Indonesia telah 14 kali melakukan privatisasi terhadap BUMN. Dari sekian
jumlah tersebut, yang berhasil terprivatisasi sebanyak 12 BUMN. Eksepsi yang dilontarkan
Megawati adalah program itu dilangsungkan agar keuangan negara tidak mengalami
kebocoran dan merupakan program yang diteruskan dari rezim sebelumnya7.
Tekanan dari luar untuk melepas Indosat datang dari IMF, dalam Letter of Intent (LoI)
dengan IMF, ada kewajiban bagi Indosat untuk melepaskan

anak perusahaannya yang

seluruhnya berjumlah sekitar 30-an. Dalam hal ini, negara sebagai gerbang terakhir intervensi
asing gagal melaksanakan kedaulatan-nya secara politik. Situasi politik kala itu memanas
ketika dedengkot BUMN dihadap-hadapkan dengan Ketua MPR. Kecaman keras datang dari
berbagai elemen, khususnya oleh Amien Rais dan Fraksi PKB yang menentang keputusan
penjualan aset-aset milik negara tersebut.
Pada dasarnya analisis terhadap konteks politik saat itu tak ubahnya hanya mengulang
kembali peta politik di rezim Orde Baru. Namun yang membedakan adalah pada era
Megawati semuanya serba terlihat sebagai akibat dari dengung demokrasi yang masih barudi
telinga masyarakat. Sehingga, prinsip demokrasi tentang akuntabilitas dan transparansi
sedang hangat-hangatnya digencarkan di berbagai lini pemerintahan.
Pembahasan-pembahasan sebelumnya yang berkaitan dengan bidang ekonomi
menjadi dasar dalam melihat pola borjuasi ekonomi. Sebelumnya telah secara singkat
dijelaskan motif kedekatan borjuasi ekonomi dengan borjuasi politik. Pola kedekatan kedua
borjuasi tersebut hampir mirip dengan apa yang terjadi di era Orde Baru. Selingkuh kaum
politisi dengan pebisnis menjadi rahasia umum di lingkaran kekuasaan. Terlebih lagi, pos-pos
yang ada di pemerintahan kemudian “dibagi-bagikan” kepada borjuasi-borjuasi tersebut
sebagai timbal balik atas keberhasilan mereka melakukan konsolidasi politik.
Kurang lebih, keadaan borjuasi yang ada di Indonesia masih sama dengan periodeperiode kepemimpinan sebelumnya. Keadaan tersebut didukung oleh sistem yang masih
7 http://news.detik.com/read/2011/05/31/161620/1651076/608/megawati-sang-presiden-setengah

korup di berbagai lini pemerintahan. Meskipun pada periode Megawati telah dibentuk Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), hal itu tidak banyak membantu ketika lagi-lagi wahana antikorupsi tersebut diambil alih atau justru dibentuk oleh “mereka” sebagai bentuk afirmasi
terhadap gerakan pemberangusan korupsi yang marak terjadi di negara-negara transisi
menuju demokrasi.
Karakteristik Borjuasi Ekonomi di Masa Pemerintahan SBY
Meskipun dikepung oleh wacana globalisasi yang cenderung mengarah ke proses
neolibealisme ekonomi, nyatanya Pemerintah Indonesia tidak serta merta menelan mentahmentah gagasan tersebut untuk kemudian diterapkan ke dalam berbagai kebijakan ekonomi
dalam negeri.

Mahzab Freiburg merupakan salah satu ordo dari neoliberalisme yang

dikembangkan oleh para ekonom Jerman. Berbeda dengan aliran neoliberalsme yang
dikembangkan oleh tokoh liberal The Mont Pelerin Society (MPS), Mahzab Freiburg
merupakan pemikiran yang berusaha menawarkan gagasan neoliberal namun dengan
mengakomodasi kritik-kritik yag dilancarkan oleh pengikut Marxisme.
Mahzab ini menitikberatkan akan pentingnya ekonomi pasar sosialis atau sistem
ekonomi bebas namun dijaga dengan berbagai kerangka regulasi pemerintah agar terhindar
dari konsentrasi kekuasaan ekonomi sekaligus untuk menjaga keadilan dan efisiensi.
[Deliarnov,2005). Tujuan Politik dari kebijakan neoliberal yang “sosialis” tersebut tidak lain
adalah untuk menghindari kesenjangan [ekonomi maupun politik). Langkah pemerintah
biasanya

berusaha

memberikan

jaminan

kemanan

sosial

bagi

seluruh

rakyat,

mengembangkan kewirausahaan, dan tidak menghapus kebijakan subidi. Sebagai sebuah
sistem ekonomi, mahzab ini berusaha memerangi kekuasaan sektor publik maupun privat atas
pasar sekaligus memerangi pasar bebas tanpa aturan [Friedlich,1955).
Meskipun demikian, kita tidak bisa memungkiri bahwa neoliberalisme pernah
memiliki pengaruh yang kuat di Indonesia. Sebagaimana yang terjadi ketika mulai
berkembang di Inggris dan Amerika Serikat yang kemudian menyebar hingga ke Negaranegara Eropa barat dan Negara industri maju (Newly Industrialized Countries, NICs),
layaknya tsunami,gelombang ideology pasar bebas tersebut sampai juga ke negara-negara
“NICs” kawasan Asia timur dan beberapa Negara berkembang di Asean termasuk Indonesia.
Dalam konteks pengaruh neoliberalisme, misalnya, tentu kita masih ingat betapa Indonesia
bersusah payah untuk lepas dari IMF karena kerangka kerjasama yang terjalin ternyata tidak
berdampak signifikan bagi pemulihan ekonomi Indonesia. Justru yang terjadi, pemerintah

Indonesia banyak disetir oleh kepentingan-kepentingan IMF yang pada akhirnya merugikan
Indonesia sendiri.
Kini, meskipun kebijakan ekonomi pasar bebas telah diadopsi oleh Indonesia, campur
tangan pemerintah sama sekali tidak surut. Dalam bidang ketenagakerjaan misalnya, kini
format hubungan industrial yang bercorak outsourching atau kerja kontrak telah diatur dan
dibatasi dalam kerangka regulasi yang ketat. Selain itu, kebijakan subsidi energi [listrik dan
BBM) sampai sekarang masih tetap dipertahankan meskipun hal tersebut berdampak negatif
pada postur APBN. Kebijakan “sosialis” yang lain misalnya upaya pemerintah untuk
menyediakan fasilitas perlindungan jaminan sosial bagi rakyat melalui pengesahan UU BPJS
beberapa waktu yang lalu.
Beberapa kebijakan tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia tidak sepenuhnya
menganut ideologi neoliberal. Yang terjadi adalah, seperti yang penulis katakan di awal,
Indonesia di masa pasca reformasi banyak menerapkan logika mahzab Freiburg sebagai cara
untuk meredam semangat neoliberalisme dalam setiap pengambilan keputusan kebijakan di
sektor ekonomi. Yang kemudian menjadi catatan penting dan bisa dijadikan kesimpulan
adalah, Indonesia tidak menganut ideologi ekonomi yang jelas. Di satu sisi tidak bisa
mengelak dari pengaruh neoliberalisme, di sisi yang lain juga menerapkan liberalisme
mahzab Freiburg sebagai jalan tengah.
Masa pemerintahan SBY telah berjalan hampir selama dua periode atau selama 10
tahun. Ada yang menyuarakan pendapat optimis, namun tidak sedikit pula yang merasakan
pesimis dan sinis melihat kondisi Indonesia di bawah pemerintahan SBY. Dihasilkan dari
kompetisi politik yang diklaim paling demokratis, tidak serta merta jalannya pemerintahan
sesuai dengan apa yang diharapkan oleh publik. Liberalisme ekonomi pasca reformasi
ternyata berjalan beriringan dengan liberalisasi politik. Pengalaman Orde Baru telah
menghadirkan semacam alergi terhadap segala bentuk otoritarianisme. Oleh karenanya bisa
dipahamai ketika tuntutan untuk menghasilkan pemerintahan yang lebih demokratis menguat,
semua orang seolah latah untuk ikut menyuarakan demokratisasi di bidang politik.
Masyarakat sipil tidak lagi bisa dikebiri, militer tidak lagi represif, kebebasan pers dibuka
seluas-luasnya, dan masih banyak indikator lain yang bisa dijadikan acuan masifnya
demokratisasi.
Pemerintahan SBY adalah salah satu yang lahir dari rahim liberalisasi politik melalui
mekanisme pemilu secara langsung oleh rakyat. Sayangnya, setelah 15 tahun reformasi
berjalan dan menghasilkan demokratisasi di berbagai bidang, kesejahteraan rakyat yang lebih
merata belum bisa dicapai. Ketimpangan ekonomi semakin melebar dan distribusi kekayaan

hanya dikuasai oleh sebagian kecil golongan orang-orang kaya. Angka pengangguran masih
tergolong tinggi, data per September 2012 BPS mencatat bahwa pengangguran berada di
level 11,70 % [Okezone.com,2012).
Sektor ekonomi nasional yang masih bertumpu pada segmen padat karya seperti
pemerintah ternyata tidak menjadi prioritas pembangunan. Padahal, sebagian besar penduduk
Indonesia masih bergantung pada sektor tradeable seperti dibidang pertanian misalnya.
Sekitar 42,72 % penduduk Indonesia bekerja di bidang pertanian dan tersebar di seluruh
Indonesia. Bahkan jika ditotal, sektor pertanian berpotensi menyerap 52 % angakatan kerja
dengan pertumbuhan setiap tahun sekitar 0,30 % (Aviliani,2010). Meskipun dilihat dari sisi
angka inflasi, PDB dan penduduk miskin mengalami perbaikan, hal tersebut tidak dapat
dijadikan sebagai indikator perbaikan kondisi ekonomi secara fundamental. Dari data yang
dirilis Badan Pusat Statistik, PDB Indonesia pada tahun 1997 berada di kisaran Rp 627,70
triliun naik menjadi Rp 8.241,86 triliun pada tahun 2012. Inflasi yang tadinya berada di
angka 10,27 % turun menjadi 5,68 %, kemudian angka kemiskinan juga mengalami
penurunan dari 34,01 juta menjadi 28,60 juta jiwa pada akhir tahun 2012 yang lalu
(Kompas,21 Mei 2013).
Demokratisasi dan reformasi yang seharusnya diarahkan untuk mensejahterakan
rakyat secara merata nyatanya hanya digunakan oleh elit ekonomi dan politik. Akibat
liberalisasi ekonomi, sumber daya alam yang menjadi penopang utama ekonomi
diprivatisasikan ke korporasi transnasional. Tidak ada arah kebijakan dari politik energi yang
jelassehingga Negara belum mampu memenuhi kebutuhan BBM dan listrik yang murah. Di
sisi lain, hingga saat ini pemerintahan SBY belum mampu mengajukan renegosiasi kontrak
karya Freeport dan TNC besar lain yang menguasai eksplorasi sumber daya alam kita.
Padahal amanat konstitusi menyatakan bahwa bumi, air, udara dan kekayaan yang terkandung
di dalamnya harus dikuasai oleh Negara untuk dikelola sepenuhnya bagi kesejahteraan
rakyat. Akibat liberalisasi ekonomi, struktur ekonomi Negara kita didominasi oleh kekuatan
ekonomi asing. Hampir 87 % investasi yang masuk ke Indonesia merupakan dana-dana
penanaman modal asing atau PMA. Gejala tersebut tidak lain sebagai implikasi dari
dianutnya liberalisasi ekonomi. Maka tidak heran jika sebagian besar aset di Indonesia
dikuasai oleh segelintir elit. Bahkan sekitar 75 % APBN dikuasai hanya oleh 300 orang
kelompok borjuasi ekonomi, tentu saja sebagian besar dari mereka adalah ekspatriat asing.
Mungkin di satu sisi masuknya investasi memang berdampak baik bagi pertumbuhan
ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Namun disadari atau tidak,
liberalisasi ekonomi tersebut justru akan memperlebar jurang kesenjangan ekonomi. Data

koefisien Gini memamaparkan adanya peningkatan kesenjangan tersebut. Pada Tahun 1997
angka koefisien berada di angka 0,35, sedangkan pada tahun 2012 mencapai 0,41. Data
tersebut mengkonfirmasi terpusatnya kepemilikan aset ekonomi di Indonesia. Dari laporan
majalah Forbes bisa diambil kesimpulan bahwa sekitar 40 orang terkaya Indonesia menguasai
aset setara separuh APBN (Erani,2013). Mungkin fundamental ekonomi Indonesia relatif
baik, hal tersebut dibuktikan dengan kinerja pertumbuhan ekonomi yang baik meskipun
berada di tengah-tengah resesi ekonomi global. Pasca resesi ekonomi global pada 2008,
pertumbuhan ekonomi cukup konsisten, padahal Negara-negara maju seperti AS, Jerman,
China, Jepang dan lainnya justru sibuk mengatasi resesi ekonomi.
Borjuasi Ekonomi Warisan Orde Baru Akibat Besarnya Kekuatan Ekonomi Dunia
Setelah melihat beberapa pemaparan diatas, tentunya hal yang mungkin pertama kali
terlintas dibenak kita adalah suatu kebingungan, lantas bagaimana borjuasi ekonomi
Indonesia itu tumbuh? Bagian ini akan membahas kondisi borjuasi ekonomi secara analitik
melalui beberapa kondisi diatas. Tidak bisa dipungkiri bahwa pembentukan borjuasi ekonomi
di Indonesia memang kurang jelas keberadaanya, terlebih pada masa pasca pemerintahan
Soeharto atau masa reformasi. Rezim yang cepat berganti dengan karakter yang sama disetiap
rezimnya tak ubahnya hanya melempar sebuah estafet kepemimpinan tanpa perubahan.
Kita dapat menganalisa dari pemaparan kondisi pemerintahan Orde Baru yang
menancapkan tonggak borjuasi ekonomi dengan didorongnya penanaman modal asing ini
sangat kuat pengaruhnya terhadap rezim pemerintahan yang selanjutnya. Orde Baru berhasil
tampil dengan output yang menggembirakan, pembangunan nasional, dan swasembada.
Itulah hasil nyata pemerintah dibidang ekonomi Indonesia kala itu. Borjuasi yang muncul
karena penanaman modal asing di Indonesia disetir oleh IMF, dengan berbagai macam syarat
yang ditawarkan IMF agar Indonesia dapat menerima suntikan dana. Sehingga pada waktu itu
terbentuklah borjuasi-borjuasi ekonomi yang dapat dikatakan, ini akibat kebaikan dari
Negara, dan memang Negara mau tidak mau harus mengambil langkah ini untuk
menyelamatkan perekonomian Negara.
Lebih lanjut dalam wawancara dengan John S. Keban (salah satu petinggi partai
Golkar di Yogyakarta) mengatakan bahwa semenjak Orde Baru berangsung, sebenarnya
Indonesia ini sudah terkapling habis oleh kekuatan ekonomi internasional, walaupun secara
tampak kasat mata kita masih dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini yang
sebenarnya terjadi, sejak Soeharto dilantik menjadi presiden seluruh menteri di-briefing di
Genewa dan yang mem-briefing konglomerat dunia. Untuk menjaga kelangsungan

pemerintahan maka Soeharto harus mempunyai prioritas pembangunan.

Ini yang

memberikan perimbangan kepada kekuatan cengkraman, trickle down effect. Yang penting
masyarakat kecil waras wareg dan lain-lain. Dibangunlah pasar, SD Inpres, masjid dan lainlain. GBHN itulah merupakan arah tujuan nasional.
Begitulah gambaran singkat yang mungkin akan memeberikan penjelasan mengapa
borjuasi ekonomi pada saat pemerintahan Orde Baru yang keluar banyak dipegang oleh
aktor-aktor asing. Indonesia tidak berdaya dengan kekuatan ekonomi dunia, Kapitalisme
dunia sebenarnya sudah dirasakan semenjak Orde Baru itu dimulai, sesuai dengan perkataan
Fukuyama bahwa kita tidak bias melawan Kapitalisme, mereka ada dimana-mana.
Kondisi ini tentunya tidak berhenti sampai disini saja, setelah Orde Baru berakhir,
lantas apakah kekuatan ekonomi dunia juga berakhir? Tidaklah semudah itu untuk
melepaskan dari cengkraman dunia, melalui IMF ini Indonesia dan termasuk Negara-negera
lain yang mendapatkan kucuran dana dibuat tidak berdaya. Rezim selanjutnya hanyalah
sebagai pelengkap penderitaan saja, warisan hutang Orde Baru itu memang benar adanya dan
pada waktu Habibie, Gus Dur, dan Megawati menjabat, hutang itu masih tetap ada, dan
terakumulasi. Bahkan kita dapat mengetahui, pada era pemerintaha Megawati ditanda
tanganinya perpanjangan kontrak Freeport di Indonesia untuk mengeruk kekayaan alam
Indonesia di Papua. Rakyat yang memang tidak tahu menahu, pasti akan berteriak, dan
membodoh-bodohkan

pemerintahan

pada

saat

itu,

karena

tidak

bisa

mengurus

sumberdayanya sendiri. Tidak bisa mandiri, atau apalah yang biasanya diteriakkan oleh
pendemo.
Padahal yang terjadi didalamnya jikalau kita dapat menganalisa secara mendalam,
cengkraman kekuatan ekonomi dunia itu masih kuat adanya. Bahkan pada era SBY sekalipun
yang dinilai lebih baik. Indonesia masih sulit untuk melepaskan cengkraman itu. Sehingga
sampai saat ini, Indonesia masih disetir oleh kekuatan yang tidak kasat oleh mata itu, ini yang
tidak banyak diungkapkan oleh berbagai media. Sehingga kita tidak mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi. Bahkan sering ada sindiran, bayi lahir di Indonesia, menanggungg beban
hutang sebesar 8 juta per kepala. Ini benar-benar terjadi, kalkulasi yang mungkin banyak
orang hanya tertawa menyangsikan kebenarannya, namun ini benar-benar terjadi.
Kesimpulan
Sehingga pola borjuasi ekonomi yang terjadi pada era Reformasi dapat dikatakan
masih mewarisi tradisi borjuasi ekonomi pada masa Orde Baru. Karena terdapat kekuatankekuatan yang tidak kasat oleh mata namun mengatur perekonomian Indonesia. Borjuasi

ekonomi yang terbentuk hanyalah ekspatriat asing yang masih tetap berjaya akibat kebaikan
pemerintahan Orde Baru, dan ketidak berdayaan pemimpin-pemimpin setelah Soeharto untuk
menanggulanginya. Karena pekerjaan rumah yang berat menurut hemat penulis untuk
memutus hubungan antara ekonomi Indonesia dengan ekonomi dunia yang sangat
kapitalistik. Kita hanya dapat bertahan untuk memperpanjang kekuatan ekonomi dunia
supaya tidak menjajah secara lebih besar ekonomi Indonesia.
Faktor yang membuat Indonesia mampu bertahan adalah karena sektor riil yang
menjadi penggerak ekonomi juga ditopang oleh sektor UMKM atau usaha berskala mikro.
Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar memiliki daya beli dan konsumsi yang besar.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang cukup konsisten di kisaran 6-7 % telah mendorong
lahirnya kelas menengah baru yang lebih banyak. Mengutip peryataan Wakil Menteri
Keuangan, Mahendra Siregar, kelas menengah Indonesia dalam survey World Bank
berjumlah sekitar 55 %. Setiap harinya, kelas menengah tersebut menghabiskan US$ 2 – US$
20 per hari. Data tersebut menjadi fenomena menarik bagi Indonesia. petumbuhan kelas
menengah baru hampir sekitar 7% setiap tahun. Potensi tersebut bisa sangat berdampak bagi
perekonomian Indonesia ke depannya. Namun yang harus menjadi catatan adalah, tetap saja
kesenjangan ekonomi semakin membesar. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian
serius bagi pemerintah.

Referensi:
Aviliani. 2010. Prospek Ekonomi Indonesia 2010:Peluang dan Tantangan Kabinet Indonesia
Bersatu Jilid II. Makalah disampaikan pada acara Dies Natalis XXIV Universitas Mercu
Buana.
Badan Pusat Statistik. 2012. Laporan Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial
Ekonomi Indonesia. Mei 2012.
Boediono (2002), “The Internasional Monetary Fund Support Program in Indonesia:
Comparing Implementation under Three Presidents”, Bulletin of Indonesian Econimic
Studies, Vol. 38, No 2, pp. 385-391.
Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta : Erlangga.
George Fane (1999), “Survey of Recent Developments”, Bulletin of Indonesian Economic
Studies, Vol. 36, No. 1, PP. 13-45
Hofman, Bert, Ella Rodrick-Jones and Thee Kian Wie (2004), Indonesia: Rapid Growth,
Weak Institusions, Jakarta: World Bank.
Mas’oed Mohtar, 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES.

Robison, Richard, 2012, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, Jakarta:
Komunitas Bambu.
Schwarz, Adam (2000), A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability, Boulder;
Colorado: Westview Press.
Zanden, Jan Luiten Van dan Daan Marks. 2012. Ekonomi Indonesia 1800-2010: Antara
Drama dan Keajaiban Pertumbuhan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas & KITLV-Jakarta.

Website
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/05/21/07403940/twitter.com
http://economy.okezone.com/read/2013/01/10/20/744079/angka-kemiskinan-2013ditargetkan-turun-0-3
http://www.kopindo.co.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=481:aset-indonesia-dan-dominasiasing&catid=39:koperasi-pemuda&Itemid=107

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1