WACANA KESEPAKATAN PERDAGANGAN BEBAS ASE

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Saat ini pemberitaan di media massa tampil lebih menarik. Berbagai macam
sudut pandang bebas dikembangkan. Tak terkecuali dengan pemberitaan di bidang
ekonomi, baik nasional maupun internasional, semua dikemas lebih transparan, kritis,
mendalam, dan terbuka. Dan diharap pemberitaan tersebut dapat berlakon sebagai
kontrol sosial demi mewujudkan good governance.
Pemerintahan yang baik, bersih, dan kredibel (good governance) dapat
tercermin lewat hubungannya dengan para pelaku industri media. Lembaga Studi Pers
dan Pembangunan (LSPP) (2005, h.ix) memaparkan, ”Hubungan media dan good
governance menjadi penting mengingat proses pengambilan keputusan pemerintah
tidak mungkin dilakukan tanpa partisipasi masyarakat, dan media menjadi wahana
informasi untuk memuat aspirasi masyarakat atas berbagai keputusan yang akan
diambil pemerintah, maupun informasi mengenai keputusan itu sendiri...”.
Dengan demikian, media massa memiliki peranan amat penting berkenaan
dengan tersalurkannya aspirasi rakyat kepada pemerintah. Dalam proses komunikasi
antara rakyat dan pemerintah, media massa berperan sebagai wadah, medium,
saluran, dan perantara yang mengemas aspirasi masyarakat. Tak hanya itu, tapi juga
berfungsi untuk mensosialisasikan kebijakan dan langkah-langkah pemerintah.


1

2

Siglitz sebagaimana yang dikutip Tim LSPP (2005, h. 17) menyatakan,
”Suatu pemerintahan baru bisa dibilang demokratis dan bisa dipercaya (accountable)
jika saja pemerintahan ini mau terbuka tentang apa saja yang dilakukan
pemerintahnya kepada masyarakat luar.”
Artinya, demokratisasi di dalam sebuah negara mutlak memerlukan
keterbukaan dalam proses komunikasi yang efektif. Di sanalah peran media dan pers
bermain.

Yakni,

guna

mengawal

berjalannya


proses

keterbukaan

dalam

berkomunikasi antara pemerintah dengan rakyat. Sebab, bila media massa tidak bisa
menjadi perantara komunikasi pemerintah maka iklim demokrasi di negara tersebut
tak akan berjalan.
Terbukanya informasi secara luas kepada masyarakat begitu penting. Makna
pentingnya terletak pada sisi pengawasan dari masyarakat. Bila pemeritah terbuka
maka rakyat memiliki akses yang luas dan mudah demi memastikan program dan
kebijakan yang ada telah mencapai sasaran sebelumnya.
Lebih jauh LSPP (2005, h. x) menjelaskan, ”Karena itu, peran media dalam
mendorong good governance bisa dilakukan dengan cara: 1. Mempromosikan nilainilai good governance itu sendiri; 2. Memonitor atau mengawasi proses pengambilan
kebijakan dan proses di mana kebijakan itu dilaksanakan (atau tidak dilaksanakan);
serta 3. Bagaimana media menyuarakan kepentingan kaum tak bersuara”.
Penulis memahami, terdapat tiga peran dasar media berkenaan dengan
pelaksanaan good governance, antara lain: Sebagai promotor nilai-nilai pemerintahan


3

yang baik itu sendiri; sebagai pengawal dan pengawas proses pengambilan kebijakan;
serta sebagai mulut dari suara-suara yang tak terdengar.
Adalah kewajiban pemerintah untuk memenuhi tiga fungsi dasarnya
sebagaimana yang dikemukakan Norris dan Zinnbauer (dikutip LSPP) (2005, h.17)
demi mewujudkan good governance, yaitu :
a.

Transparansi dalam proses pembuatan keputusan, baik
menyangkut peraturan yang eksplisit dan prosedur tertentu yang diambil,
dan siapa yang menjadi penanggung jawan dari suatu policy.
b.
Mekanisme institusional untuk mempertanggungjawabkan
kebijakan yang telah mereka pilih.
c.
Sanksi yang tepat bagi mereka yang melanggar, agar terjadi
pertanggungjawaban.
Ketiga poin di atas menampilkan kewajiban pemerintah demi mewujudkan

good governance. Sebab itu, media dapat menjadi pengawas dan pengkritisi
pemerintah bila terjadi ketidaksesuasian antara kriteria di atas dengan yang dilakukan
di lapangan.
Dalam penelitian ini penulis hendak mengangkat salah satu kebijakan
pemerintah di bidang ekonomi. Yakni, kesepakatan perdagangan bebas antara
ASEAN dengan Cina (ASEAN – China Free Trade Agreement). Berbagai respon
masyarakat munculn menyikapi ACFTA ini. Tak sedikit yang setuju, tapi juga banyak
yang menyangsikan manfaatnya.
Wacana dalam pemberitaan di bidang ekonomi yang tengah terjadi di
Indonesia juga beberapa negara di kawasan Asia Tengara yang dikenal dengan nama
ACFTA ini disepakati mulai berlakunya sejak Januari 2010. Setiap kalangan memiliki

4

pendapatnya masing-masing tentang BFTA (Bilateral Free Trade Agreement) atau
kesepakatan perdagangan bebas yang dilakukan oleh lebih dari dua negara, seperti
ACFTA ini. Ada yang menganggap perlu dilakukan pemerintah demi meningkatkan
daya saing industri dalam negeri. Tapi sebagian lainnya menilai Indonesia masih
terlalu lemah untuk mengikuti arus kapitalistik ekonomi BFTA macam itu.
Sejatinya, terdapat sebuah masalah mendasar dari ACFTA, yaitu kurang

terwakilinya kelompok-kelompok masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan
perdagangan bebas ini. Di sinilah letak peranan media yang sesungguhnya, yang
kemudian ingin penulis kaji. LSPP (2006, h. 17), “Adanya media di sini dianggap
sebagai salahs atu cara untuk memastikan bahwa pihak-pihak yang kruang beruntung
dalam pembangunan pun mendapat tempat untuk bersuara lewat media.”
Memang banyak kajian yang menyebutkan berbagai dampak positif
pemberlakuan ACFTA. Daniel Pambudi dan Alexander C. Chandra (2006, h. 42)
menyatakan, “kebanyakan dari kajian yang tersedia mengenai ACFTA masih
cenderung melihat dampak kesepakatan ini dari kacamata ekonomi konvensional,
yang biasanya selalu menekankan potensi keuntungan yang dapat diterima ASEAN
dari pelaksanaan ACFTA.”
Daniel Prambudi (2006, h. 16) mengambahkan, ”Namun demikian,
dikarenakan kepentingan ekonomi dan hal-hal lainnya, negara-negara ASEAN kini
cenderung terpecah belah dan masing-masing mengambil inisiatif BFTA dengan
negara-negara mitra dagang mereka.”

5

Karenanya penulis memahami bahwa fungsi dasar perdagangan bebas
bilateral yang sejatinya bertujuan demi memajukan perekonomian negara, lamakelamaan justru makin menjauh dari fungsi dasarnya. Hal itu tak lain akibat

kepentingan ekonomi yang berbeda di antara negara-negara yang terlibat.
Kesepakatan perdagangan bebas ASEAN dengan Cina serta kesepakatan
BFTA lain pada dasarnya bukan muncul akibat kesulitan yang tengah dihadapi
Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation / WTO). Melainkan,
seperti yang dikemukakan Daniel Pambudi (2006, h. 15), hal itu karena ”Adanya
penguatan regionalisme di kawasan Asia Timur sendiri. Sebagian besar BFTA
dilakukan karena berpotensi sebagai batu lompatan sebelum negara-negara Asia
Timur, termasuk ASEAN, bermain dalam sistem perdagangan bebas pada lingkup
yang lebih luas”.
Bila harus menilik ke belakang, maka perdagangan bebas antara ASEAN dan
Cina ini mengingatkan kita pada 10 tahun silam. Tahun 1990 yang menandai
berangsur tenggelamnya demam perang dingin antara negara-negara di dunia dan
berujung pada meningkatnya keberpihakan bangsa-bangsa tersebut kepada neoliberalisme.
Menghadapi keadaan demikian, tak aneh bila para negara dunia ketiga di
Asia Tenggara merasa kebingungan. Kebimbangan ini dirasa anggota-anggota
ASEAN berkenaan dengan lenggang organisasi mereka kedepannya. Apakah ASEAN
ingin tetap berjalan sebagai organisasi elitis, atau ingin menjadi organisasi yang
menaungi perasaan berat sama dipikul ringan sama dijinjing para anggotanya

6


(Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, Brunei Darussalam, Vietnam,
Myanmar, Laos, dan Kamboja).
Organisasi elitis di sini maksudnya adalah kelompok yang dibuat dari, oleh,
dan untuk para elit saja, dengan realitas menyedihkan bahwa faktanya ada begitu
banyak masyarakat di negara-negara anggota ASEAN yang bahkan tak tahu-menahu
apapun tentang organisasi yang lahir pada 8 Agustus 1967 ini. Namun di sisi lain,
organisasi perkumpulan bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara ini tak luput dari
desakan kuat pengaruh kapitalisme global.
Hal itu memaksa ASEAN menjiplak dan mengadopsi kebijakan perdagangan
bebas. Tuntutan lingkungan menjadikan seseorang melakukan sesuai apa yang
diinginkan lingkungannya. Itu pula yang dilakoni ASEAN hingga awalnya mereka
membentuk sebuah area perdagangan bebas antara negara-negara di kawasan Asia
Tenggara. Jadilah, ASEAN yang memiliki kawasan perdagangan bebas bernama
AFTA (ASEAN Free Trade Area) pada tahun 2003.
AFTA yang berlangsung sejak 2003 itu akhirnya membawa ASEAN sampai
pada kesepakatan lain, yakni persetujuan perdagangan bebas ASEAN dengan Cina.
Terwujudnya BFTA bertitel FTA antara ASEAN dan Cina merupakan salah satu
contoh pemanfaatan BFTA sebagai steping stone (batu lompatan) bagi ASEAN untuk
bisa mencapai penguatan regionalisasi di kawasannya.

Dalam perdagangan berlaku hukum yang kuat akan memakan yang lemah,
yang besar akan menggilas yang kecil. Hal inilah yang ditakutkan bakal menimpa
Indonesia, sebagai salah satu negara anggota ASEAN yang masuk dalam jajaran

7

negara dunia ketiga. Sebab, kondisi ekonomi Indonesia belum bisa dikatakan kuat
dan stabil. Pemerintah harus lebih cermat menilai keadaan para pelaku ekonomi di
negara kita. Apakah merekah sudah mampu bersaing secara bebas dengan pasar Cina
atau belum.
Memang, tak bisa dipungkiri pemerintah kita telah berusaha keras guna
menciptakan iklim kondusif yang dapat menarik minat para penanam modal asing.
Tapi yang pemerintah lupa, bahwa terwujudnya pemerataan pembangunan di seluruh
bidang adalah kunci awal untuk memutuskan ikut atau tidaknya Indonesia ke dalam
ACFTA.
Dr. Mahatir Mohamad, mantan Perdana Menteri Malaysia, sebagaimana
yang dikutip Daniel Pambudi, dkk (2006, h. 48) memaparkan :
Dalam hal ini, Dr Mahatir melihat BFTA merupakan satu cara untuk
memperlemah industri-industri lokal dengan produk-produk manufaktur yang
lebih murah dari negara-negara maju, seperti AS. Khusus mengenai ACFTA, para

kritik terhadap BFTA sempat mempertanyakan apakah motivasi China yang
sebenarnya itu adalah dominasi atau integrasi dengan negara-negara ASEAN.
Para kritik BFTA khawatif bahwa ambisi Cina yang sebenarnya adalah
mendominasi ASEAN dengan menawarkan BFTA kepada negara-negara ASEAN
sehingga kelompok kawasan ini kesulitan untuk menyelesaikan insisiatif
integrasinya.”
Semua informasi mengenai ACFTA tersebut mengalir hingga akhirnya
sampai di hadapan khalayak tak lain berkat ’rantai’ komunikasi massa. Yakni,
komunikasi yang dijalankan denggan menggunakan media massa. Media massa
tersebut bisa media cetak (surat kabar, majalah, tabloid, dan buletin) maupun
eletronik (televisi, radio, online).

8

Informasi ACFTA tadi dikemas para insan media dalam wujud karya
jurnalistik, seperti berita lempang, berita minat insani, tajuk rencana, dan lain-lain.
Penelitian ini mengkaji khusus karja jurnalistik berwujud berita lempang.
Demi mendorong terwujudnya pemerintahan yang baik, media massa wajib
menyajikan pemberitaan yang berimbang, tak terkecuali berita ekonomi. Meski tak
penulis pungkiri bahwa teks bahasa yang tertuang di dalam berita tak lepas dari

berbagai pengaruh. Sehingga tak lagi tampil sebagai sesuatu yang independen dan
objektif.
Dalam penelitian ini penulis mengkhususkan unit analisis media yang
digunakan adalah surat kabar, yakni Suratkabar KOMPAS. Melalui penelitian ini
penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana praktik wacana yang dilakukan
Suratkabar KOMPAS lewat pemberitaan ACFTA selama bulan Januari 2010.
Dengan asumsi, bulan tersebut merupakan momen terpanas munculnya
pemberitaan mengenai ACFTA ini. Pada bulan Januari masyarakat dapat dikatakan
ada pada fase awal keterkejutan menyikapi pemberlakuan kebijakan ACFTA. Karena
saat itu merupakan bulan pertama diberlakukannya kesepakatan perdagangan bebas
ASEAN dengan Cina ini.
KOMPAS adalah suratkabar yang tampil sebagaimana suratkabar umum
lainnya. Alasan digunakanny KOMPAS karena penulis menilai media ini adalah
media besar sehingga khalayak yang membaca dan mempercayai faktualitas
pemberitaannya pun banyak. Hal itu dapat dilihat dari jumlah oplah KOMPAS yang
diunduh dari sebuah portal berita online Majalahtempointeraktif.com (2009):

9

“Sebaliknya Kompas, dari total oplah 500 ribu eksemplar, 80 persen beredar di

Jakarta, 5 persen di Jawa Timur, dan sisanya di kota-kota lain...”
Dengan penjelasan di atas, penulis dalam menyimpulkan bahwa oplah
KOMPAS yakni sebesar 500 ribu eksemplar per harinya. Dengan jumlah tersebut
KOMPAS ditempatkan sebagai suratkabar dengan oplah tertinggi, otomatis
pembacanya pun paling banyak. Dengan begitu KOMPAS memiliki daya pengaruh
yang sangat kuat terhadap khalayak.
Bila dikaitkan dengan permasalahan yang dikaji, penulis merasa KOMPAS
adalah media yang tepat. Terkait tagline KOMPAS: Amanat Hati Nurani Rakyat.
Mengacu pada moto tersebut, penulis hendak melihat bagaimana sesungguhnya
KOMPAS mewacanakan kebijakan perdagangan bebas (Free Trade Agreement /
FTA), yang efektivitasya banyak disangsikan masyarakat, lewat pemberitaan di rubrik
Bisnis & Keuangan.
Pertimbangan utama meneliti rubrik tersebut terkait dengan jenis produk
jurnalistik yang dihasilkan. Karena berita yang hendak penulis angkat diberitakan di
rubrik ini saja. Seandainya dimuat di rubrik lain, maka penyajiannya tidak sebagai
berita lempang, melainkan berita minat insani (news feature). Penulis pun menilai,
selain di rubrik Bisnis & Keuangan, pemberitaan terkait topik tersebut sedikit banyak
memiliki sentuhan politis dan pendapat pribadi karena tertuang tidak sebagai berita
lempang.
Dengan demikian, rubrik Bisnis & Keuangan dianggap yang paling tepat
untuk digunakan dalam menganalisis permasalahan pada penelitian ini. Karena, berita

10

di rubrik tersebut jelas menampilkan, bagaimana pengaruh dan reaksi para pelaku
industri dalam negeri menghadapi Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-Cina
2010 (ASEAN-Cina Free Trade Agreement / ACFTA).
Penulis menilai segala permasalahan yang diberitakan Suratkabar KOMPAS
memiliki potensi menjadi wacana. Salah satunya berita mengenai kesepakatan
perdagangan bebas ASEAN-Cina 2010 ini. Karena informasi tentang permasalahan
ini di dalamnya terkandung pula tindak konstruksi atas realitas yang ada oleh
Suratkabar Harian KOMPAS.
Terdapat kecurigaan yang dirasa penulis atas wacana ACFTA yang dikemas
lewat pemberitaan KOMPAS. Penulis hendak mengupas bagaimana sesungguhnya
pernyataan dalam wacana tersebut ditampilkan bukan hanya dari soal teknis
jusnalistik tapi juga adanya konsekuensi motif tertentu dari pihak redaksi. Titik
perhatian penulis terletak pada bagaimana wacana Kesepakatan Perdagangan Bebas
ASEAN-CINA 2010 berkembang lewat politik bahasa dan subjektifitas pemberitaan
KOMPAS.

1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang penulis kemukakan, muncul
rumusan masalah, ”Bagaimana Wacana Kesepakatan Perdagangan Bebas
ASEAN-CINA 2010 dalam pemberitaan di rubrik Bisnis & Keuangan pada
Surat Kabar Harian KOMPAS?”
Dari rumusan masalah itu, maka judul seminar ini, adalah :

11

WACANA KESEPAKATAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CINA
2010 DALAM PEMBERITAAN DI RUBRIK BISNIS & KEUANGAN PADA
SURAT KABAR KOMPAS

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana surat kabar
KOMPAS memberitakan wacana seputar Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEANCina 2010 di rubrik Bisnis & Keuangan.

1.4 Kegunaan Penelitian
Secara teoritis, kegunaan penelitian ini untuk mengaplikasikan pengetahuan
tentang metode analisis wacana kritis guna menambah pengetahuan penulis seputar
Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-Cina 2010.
Sedangkan secara praktis, penelitian ini hendak memberi masukan kepada
redaksi mengenai wacana perdagangan bebas ASEAN-Cina 2010 dan diharapkan
dapat menjadi pertimbangan bagi redaksi KOMPAS dalam mengemas sebuah realitas
dalam berita.