Bukan untuk perempuan baik baik seperti

“Bukan untuk perempuan baik-baik seperti saya”:
Media dan citra perempuan ideal yang terus berubah

Khaerul Umam Noer1
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana citra “perempuan baik-baik”, saya
memilih istilah “perempuan ideal”, berkembang dari masa ke masa. Secara spesifik,
tulisan ini memiliki dua tujuan: Pertama, mendedahkan bagaimana citra perempuan
ideal dikonstruksikan dan siapa yang berkepentingan atas konstruksi tersebut? Dalam
hal ini bahwa persoalan konstruksi mengenai perempuan ideal adalah persoalan yang
tidak pernah selesai. Kedua, tulisan ini akan mencoba menggambarkan bagaimana studi
media sesungguhnya bisa bermain lebih, ketimbang sekedar studi teks maupun strategi
komunikasi, dengan melihat bagaimana kelindan antara media, negara, dan agama
bermain dalam satu lokus yang sama: perempuan. Fokus utamanya adalah bagaimana
media membuat gambaran mengenai sosok perempuan ideal di masyarakat. Dimulai
pada masa Orde Baru melalui proyek raksasa bernama ibuisme negara lewat Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Dharma Wanita yang berkepentingan untuk
membuat citra perempuan ideal dalam perspektif Orde Baru, kemudian berlanjut pada
era reformasi hingga saat ini yang membentuk citra perempuan ideal dalam versi yang
berbeda. Tulisan ini akan menunjukkan, bahwa citra perempuan ideal adalah medan
perang yang tidak pernah usai. Peperangan yang melibatkan kepentingan politik dan
sosiokultural di satu sisi, dengan media dan kepentingan kapital di sisi lainnya.

Peperangan yang siapapun pemenangnya, akan menjadikan perempuan sebagai
korbannya.
Kata kunci: perempuan, media, ibuisme negara, reformasi

Pendahuluan
Sekelompok remaja – tiga perempuan dan dua laki-laki – memasuki lounge
sebuah hotel di Surabaya. Mereka duduk di sebelah meja yang kami tempati. Salah
seorang di antara mereka – perempuan – meminta asbak dan langsung menyulut
rokoknya. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk memilih yang mereka inginkan:
dua botol Carlsberg, sebotol Bintang, dan dua dry martini. Sahabat baik saya, seorang
hijaber, ketika melihat pesanan minuman di antar ke meja sebelah seketika menoleh dan
berkata “emang boleh ya ada bir di hotel?.” Saya terdiam. Agaknya sahabat baik saya
lupa, bahwa ada dua botol Guinness dingin dihadapannya, milik saya dan sahabat laki1

Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia, pengajar di Pascasarjana UMJ, dan
anggota Asosiasi Antropologi Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui umam_noer@yahoo.com.

1

laki sebelah saya. Saya hanya mengatakan “itu di depan lo”. Sahabat saya tertawa,

“oke, lo berdua boleh minum karena lo laki-laki, tapi pertanyaannya, kenapa yang
perempuan minum juga?”. Saya tergelitik dan bertanya “masalah buat lo, say?”, dan
sahabat saya menjawab “ga sih, cuma itukan (bir-red) bukan untuk perempuan, well,
setidaknya bukan untuk perempuan baik-baik seperti gue.”
Apa yang dikatakan sahabat saya menggelitik nalar sadar saya, bahwa ada
standar ganda di sana. Ini bukan persoalan benar atau salah, melainkan persoalan apa
yang dianggap baik dan apa yang tidak baik, atau lebih spesifiknya apa yang dianggap
sebagai “perempuan baik-baik” dan “bukan perempuan baik-baik”. Saya memilih untuk
mempergunakan istilah perempuan ideal ketimbang perempuan baik-baik, karena istilah
perempuan baik-baik akan menyeret pula persoalan moralitas yang mana sangat saya
hindari. Secara khusus saya menggarisbawahi, bahwa kata ideal dalam tulisan ini tidak
merujuk pada tubuh fisik melainkan pada konstruksi sosial politik. Istilah “perempuan
ideal” merujuk pada bagaimana pencitraan perempuan dilakukan oleh negara maupun
media (yang tentu saja mendapat restu negara) yang dimunculkan dalam berbagai
konten media, baik cetak maupun elektronik, yang dikonsumsi secara luas oleh
masyarakat. Secara khusus saya ingin tegaskan, bahwa istilah “perempuan ideal” adalah
istilah yang politis, sebab istilah ini selalu berkaitan dengan dimensi sosiokultural dan
politik; dan karenanya, melepaskan konteks sosiokultural dan politik ketika bicara
mengenai citra perempuan ideal jelas merupakan pengabaian historis dan kekeliruan.
Tulisan ini akan mencoba melihat bagaimana sesungguhnya konstruksi tentang

citra perempuan ideal berkembang dari masa ke masa. Secara khusus, tulisan ini akan
menjawab dua pertanyaan, yaitu: Pertama, bagaimana citra perempuan ideal
dikontruksikan – mulai dari masa Orde Baru hingga reformasi? Kedua, bagaimana
keterkaitan antara dinamika sosial, kultural, dan politik dalam memunculkan gambaran
tentang perempuan ideal? Untuk menjawab kedua pertanyaan ini, sangat penting bagi
saya untuk mulai berjalan mundur, sebab untuk memahami bagaimana konstruksi
perempuan ideal saat ini kita harus kembali ke masa lalu.
Tulisan ini dibagi dalam tiga bagian, yaitu: bagian pertama akan membahas
mengenai citra perempuan ideal dalam perspektif Orde Baru. Bagian ini akan berfokus
pada bagaimana kelahiran proyek raksasa bernama ibuisme negara, bagaimana

2

Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Dharma Wanita memainkan perannya,
dan bagaimana TVRI sebagai media milik pemerintah menjadi corong untuk
membentuk gambaran mengenai perempuan ideal versi Orde Baru. Bagian kedua adalah
transisi, yakni masa sebelum tahun 1998 dan pascaruntuhnya Orde Baru. Bagian ini
akan memfokuskan pada munculnya sosok perempuan dalam versi lain dalam media
televisi, bagaimana sosok perempuan ideal versi Orde Baru harus berhadapan dengan
sosok perempuan yang berbeda sepenuhnya, perempuan ideal versi reformasi.

Reformasi yang bergulir melahirkan berbagai media baru, dan dari media-media inilah
yang kemudian akan melahirkan versi baru dari perempuan ideal, sebuah hasil
persilangan dari perempuan ideal versi Orde Baru dengan perempuan ideal versi
reformasi. Bagian ketiga adalah tawaran saya terhadap studi media, yakni bagaimana
memunculkan hibrida dari studi media, studi historis, dan studi perempuan.

Membungkam gerakan perempuan, mendorong ibuisme negara
Adalah Djayadiningrat-Niewenhuis (1992) yang memperkenalkan istilah
priyayitisasi dalam diskursus ilmu sosial di Indonesia. Dalam tulisannya, ia melihat
bagaimana gambaran perempuan di masa Orde Baru yang didasarkan pada citra
perempuan priyayi Jawa. Istilah ini kemudian lebih dipopulerkan oleh Suryakusuma
(2004a) untuk menjelaskan bagaimana negara membentuk citra perempuan yang ideal,
istilah yang dipergunakan adalah ibuisme negara, dalam hal ini, mengutip Tiwon
(1989), negara membagi dua tipe perempuan dalam dua kutub: model dan maniak.
Model adalah citra perempuan ideal: seorang istri yang patuh, taat pada suami, dan
memiliki anak-anak yang pintar yang diasuhnya sendiri. Model adalah citra paling
sempurna dalam kehidupan perempuan. Maniak adalah kebalikan dari model, seorang
perempuan bermoral rendah, tidak berpendidikan, istri yang selalu ngeyel, dan ibu yang
gagal mendidik anak-anaknya. Pertanyaannya adalah, bagaimana penggambaran model
versus maniak itu muncul? Tentu saja kita harus melihat konteks historis yang

mendorong opisisi binari itu muncul, dalam hal ini, ada baiknya kita kembali ke masa di
mana gerakan perempuan muncul dalam rahim sebuah bangsa yang bernama Indonesia.
Gerakan perempuan sejatinya sudah muncul jauh sebelum masa kemerdekaan,
baik dalam tingkat komunitas maupun organisasi formal. Apa yang dituntut oleh

3

berbagai gerakan perempuan pada masa itu nyaris seragam: pendidikan bagi perempuan
(lihat Vreede-de Stuers 2008). Gerakan perempuan banyak berbicara mengenai
pentingnya posisi perempuan sebagai ibu yang merupakan pendidik bagi anak-anak,
yang kelak akan menjadi penerus bangsa. Perdebatan mengenai posisi perempuan
merupakan topik yang terus diperbincangkan. Meskipun tidak mencapai sebuah
konsensus, namun diperkirakan bahwa posisi perempuan yang lebih difokuskan pada
persoalan rumah tangga telah ada, setidaknya sejak masa klasik. Sejak era 1900an telah
banyak perbincangan yang serius untuk meningkatkan posisi perempuan, terutama jika
dikaitkan dengan rencana politik etis yang berkembang di kalangan kolonial. Hal ini
juga dipengaruhi oleh surat-surat seorang perempuan desa di Jepara yang bernama
Kartini (Vreede-de Stuers 2008, Kartini 2014).
Sejak era Kartini telah banyak perubahan yang terjadi, terutama dengan
bangkitnya berbagai organisasi perempuan. Organisasi-organisasi ini banyak bersifat

sosial dan non politis, dan dalam bentuknya yang paling riil adalah lembaga pendidikan
bagi perempuan, dalam hal ini, Kartini dan Dewi Sartika adalah contoh paling
representatif. Pada perkembangan selanjutnya, berbagai gerakan yang muncul lebih
dalam bentuk formal, yakni sebagai sebuah organisasi yang memiliki struktur organisasi
dan tujuan organisasi yang jelas. Beberapa organisasi yang berdiri antara lain
Keutamaan Istri yang didirikan oleh Dewi Sartika tahun 1904, Putri Mardika yang
didirikan di Jakarta tahun 1912, Keradjinan Amai Setia di Kota gadang tahun 1914,
Pawijatan Wanito yang didirikan di Magelang tahun 1915, Wanito Hado yang didirikan
di Jepara tahun 1915, Pikat (Pengasuh Ibu Kepada Anak Turunan) yang didirikan di
Minahasa tahun 1917, dan Wanita Susilo yang didirikan di Pemalang tahun 1918
(Vreede-de Stuers, 2008:84-87). Ada pula organisasi perempuan yang menginduk pada
organisasi lain dengan afiliasi agama tertentu, dalam hal ini Aisyiyah yang secara resmi
berdiri pada 1917, yang menginduk pada organisasi Muhammadiyah (Salman 2005).
Secara umum, berbagai organisasi perempuan tersebut lebih banyak bersifat
sosial, dan tujuan utama organisasi-organisasi tersebut adalah tersedianya pendidikan
bagi setiap perempuan. Pendidikan merupakan tujuan utama yang hendak dicapai oleh
organisasi-organisasi perempuan tersebut. Meskipun demikian, adalah penting untuk
mengingat, bahwa pada era tersebut pendidikan tidak semata diartikan dalam bentuk
pendidikan formal. Pendidikan dalam konteks ini adalah seluruh usaha yang dilakukan
4


untuk meningkatkan kapabilitas perempuan, baik dalam secara intelektual personal
maupun pada kemampuannya dalam mengurus rumah tangga. Mudah dipahami bahwa
gerakan perempuan yang muncul pada era tersebut lebih pada organisasi-organisasi
perempuan yang berbasiskan pendidikan. Pada era tersebut dapat dikatakan bahwa
perempuan mulai menjajaki dunia pendidikan sebagai bagian untuk turut serta dalam
gerakan nasional, yang pada era yang sama juga mencapai momentumnya.
Martyn (2005:30-34) misalnya, melihat bahwa kebangkitan gerakan perempuan
di Indonesia pada tahun antara 1900-1949 memiliki karakteristik khusus, yakni
peningkatan partisipasi perempuan dalam dunia pendidikan. Ketertarikan atas isu
perempuan berjalan beriringan dengan sentimen nasionalisme yang saat itu sangat kuat
digaungkan. Pada masa-masa selanjutnya, berbagai organisasi ini berkumpul dan
mengadakan Kongres Perempuan Indonesia yang untuk kali pertama diselenggarakaan
di Yogyakarta pada tahun 1928, Jakarta tahun 1935, Bandung tahun 1938, dan
Semarang tahun 1941. Dapat dikatakan bahwa pada kongres di Jakarta tahun 1935 isu
mengenai perjuangan nasional semakin menonjol. Meskipun gerakan perempuan dalam
lingkup nasional telah tumbuh sejak tahun 1930, namun hanya perempuan di Serikat
Rakyat dan Wanita Sedar yang secara terbuka mengkritik kebijakan dan politik
pemerintah Hindia Belanda (Wieringa, 1998:13). Pada tahun 1950 berdiri sebuah
organisasi perempuan yang paling besar dalam sejarah Indonesia: Gerwani.

Pada awalnya organisasi ini bernama Gerakan Wanita Sedar (Gerwis), dengan
jumlah anggota sekitar 500 orang, di mana hampir seluruh anggotanya adalah mereka
yang berpendidikan tinggi dan memiliki kesadaran politik. Secara ideologis, gerakan ini
adalah kelajutan dari Istri Sedar, di mana anggota Gerwis umumnya memiliki hubungan
dengan anggota Istri Sedar. Tahun 1954, Gerwis membuka diri bagi semua perempuan
dan berencana menarik perempuan dari kalangan massa yang lebih luas, dan untuk
kepentingan inilah nama organisasi ini berubah menjadi Gerakan Wanita Indonesia atau
Gerwani. Tujuan organisasi ini tidak lah jauh berbeda dengan organisasi lainnya:
pendidikan untuk perempuan dan politik agitasi untuk mendukung perempuan duduk di
institusi pemerintah. Organisasi ini juga memiliki hubungan khusus dengan berbagai
berbagai kalangan perempuan, tidak hanya kaum perempuan kelas menengah perkotaan,
namun juga perempuan pedesaan dan para buruh pabrik. Keberadaan organisasi ini
mengalami kehancuran secara ideologis dan politis sejak tragedi 1965 (Rahayu 2008).
5

Pada saat itu terjadi peristiwa pembunuhan terhadap enam orang jenderal Angkatan
Darat dan seorang perwira menengah. Gerwani, meskipun tidak memiliki afiliasi resmi
dengan PKI, kemudian turut menjadi korban propaganda dan akhirnya dibubarkan
secara paksa pada Oktober 1965 (Wieringa 1998).
Berbagai organisasi perempuan yang kemudian semakin berkembang. Pasca

dibubarkannya Gerwani, tujuan berbagai organisasi perempuan ini kembali ke jalur
pendidikan dan organisasi asosiasi, pun di jalur agitasi politik, nampaknya tidak sekeras
Gerwani (Wieringa 1998). Berbagai gerakan yang muncul pun lebih banyak pada
upaya-upaya perempuan untuk turut serta dalam proses-proses sosial ekonomi
ketimbang turut serta dalam kegiatan politik, meskipun pada era 1950an cukup banyak
gerakan perempuan yang juga bergerak dalam politik nasional (Martyn 2005). Di sisi
yang berbeda, kemunduran organisasi perempuan di bidang politik, memicu munculnya
organisasi perempuan yang dikontrol oleh pemerintah, terutama pada masa Orde Baru,
organisasi itu bernama Pembinaan Kesejahteraan Keluarga dan Dharma Wanita
(Suryakusuma 2004a).
Orde Baru secara khusus mengatur mengenai organisasi perempuan, dalam hal
ini, seluruh organisasi perempuan harus keluar dari cangkang pergerakan untuk masuk
ke dalam organisasi yang sepenuhnya diatur oleh negara. Negara secara resmi hanya
mengakui organisasi perempuan yang tujuan dan aktivitasnya tidak menyimpang dari
ideologi gender yang dibentuk oleh pemerintah (Blackburn 2005, Ida 2002). Negara
bahkan membuat beberapa organisasi resmi perempuan khas pemerintah, yakni Dharma
Wanita, Dharma Pertiwi, dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga atau PKK pada tahun
27 Desember 1972 (Suryakusuma 2004b). Ada pula yang secara resmi dipaksa masuk
dalam struktur Golkar seperti Perwari pada tahun 1978, bahkan negara bertindak lebih
jauh, yakni menutup seluruh organisasi perempuan yang berbeda arah dengan kebijakan

pemerintah yang telah digariskan (Wieringa 1998).
Melalui berbagai organisasi itulah negara menciptakan satu citra perempuan
ideal: perempuan baik-baik versus perempuan tidak baik-baik. Mereka yang “bukan
perempuan baik-baik” secara stigmatif akan langsung diasosiasikan dengan Gerwani,
dengan ilusi lagu genjer-genjer dan tarian harum bunga. Definisi mengenai “perempuan
baik-baik” versus “bukan perempuan baik-baik” kemudian berkembang menjadi

6

penggambaran

citra

perempuan

ideal

yang

disebarluaskan


ke

masyarakat.

Pertanyaannya, jika negara membagi perempuan ke dalam dua kutub yang saling
bertolakbelakang, dengan cara apa kedua kutub tersebut disebarluaskan dalam
masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus menengok pada media.

Dari PKK sampai Keluarga Cemara
Pada tahun 1961 pemerintah mendirikan Televisi Republik Indonesia atau TVRI.
Sejak awal didirikan, TVRI ditempatkan sebagai kanal resmi pemerintah, sebagai salah
satu persiapan menyambut acara Asian Games pada tahun 1962. Siaran percoban
pertama TVRI adalah peringatan ulangtahun Republik Indonesia pada 17 Agustus 1962,
dan baru secara resmi diluncurkan pada 24 Agustus 1962 ketika pembukaan Asean
Games di Jakarta. Secara bertahap, TVRI mulai membuka kanal cabang di berbagai
provinsi di Indonesia. Peran penting TVRI baru mulai terasa sejak TVRI secara resmi
masuk menjadi bagian dari Kementerian Penerangan pada tahun 1974, hal ini ditandai
dengan hadirnya siaran Berita Nasional, Dunia Dalam Berita, dan Berita Terakhir.
Siapa yang bisa melupakan program acara Berita Nasional dan Dunia Dalam
Berita? Keduanya adalah bagian dari memori kolektif Orde Baru. Berita Nasional
adalah program yang menayangkan berbagai informasi dalam negeri, seperti olahraga,
ramalan cuaca, hingga kegiatan PKK dan Kelompencapir. Berita Nasional tayang setiap
hari mulai pukul 19.00-19.30, terkadang masih dilanjutkan dengan Pidato Presiden
Republik Indonesia atau informasi dari Menteri Penerangan. Sedangkan Dunia Dalam
Berita adalah program yang menayangkan berbagai informasi mancanegara, tayang
setiap hari mulai pukul 21.00-21.30. Hingga 31 Juli 2000, seluruh stasiun televisi
swasta (RCTI, SCTV, TPI, ANTV, dan Indosiar) wajib menayangkan ulang siaran Berita
Nasional dan Dunia Dalam Berita.
Sebagai satu-satunya televisi yang mengudara di Indonesia, hingga tahun 1989
ketika RCTI muncul sebagai televisi swasta pertama, TVRI memainkan domain penting
sebagai media milik pemerintah yang berkepentingan untuk membangun visi
pemerintah, yang terefleksi melalui slogannya “membangun persatuan dan kesatuan.”
Melalui persatuan dan kesatuan, pemerintah membentuk satu gambaran mengenai sosok
dan kepribadian manusia Indonesia, salah satunya adalah citra perempuan. Medio

7

1980an, menjadi masa ketika TVRI secara berkala menyiarkan kegiatan PKK, Dharma
Wanita dan Dharma Pertiwi melalui kanal berita, utamanya dalam acara Berita
Nasional.
Dalam acara Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pirsawan)
misalnya, meski pada awalnya dikhususkan sebagai ajang adu kepintaran dan
pengetahuan antarkelompok petani di desa, namun juga mencakup perwakilan PKK dari
desa yang ikut bertanding. Keberadaan wakil PKK dalam acara Kelompencapir selalu
dijelaskan bahwa PKK adalah salah satu soko guru bagi terwujudnya swasembada
pangan di Indonesia. Perkembangan lebih lanjut dari acara Kelompencapir, adalah
lahirnya program yang secara khusus membahas tentang perempuan di TVRI. Pada
tahun 1986 misalnya, TVRI memiliki program keterampilan yang disiarkan pada sabtu
dan minggu, seperti menjahit maupun tata boga, yang lagi-lagi diisi oleh perwakilan
PKK. Dalam acara tersebut, biasanya diisi oleh seorang narasumber yang mengajarkan
praktek membuat kue atau kerajinan tangan kepada audiens yang hadir di studio, yang
merupakan perwakilan PKK dari berbagai desa.
PKK adalah organisasi yang ada di seluruh wilayah desa di Indonesia. Sebagai
sebuah organisasi bentukan pemerintah, PKK dikepalai oleh istri dari kepala desa atau
istri dari sekretaris desa – jika kepala desanya kebetulan perempuan. PKK adalah
organisasi yang menarik, bahwa PKK adalah organ di dalam desa namun tidak memiliki
akses atas setiap keputusan desa secara resmi – meski hal ini tidak perlu, sebab
pengaruh PKK atas kepala desa tidak berada di domain kantor desa, melainkan ada di
dalam gatra rumah. Secara organisasi, ketua PKK tingkat desa membawahi PKK di
tingkat RT/RW, setelah itu baru ke para anggota PKK. Medio 1980an adalah titik
puncak PKK di Indonesia. Sebagai organisasi perempuan yang secara resmi diakui,
maka menjadi kewajiban bagi ketua PKK untuk mensukseskan setiap kebijakan kepala
desa yang merupakan pengejawantahan dari kebijakan pemerintah di tingkat pusat.
Sejak berubah nama menjadi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga pada tahun
1972, PKK memiliki sepuluh program utama yang memiliki benang merah yang amat
jelas: bahwa PKK menjadi organisasi perempuan yang bertugas untuk meningkatkan
kapasitas perempuan sekaligus membentuk perempuan sebagai makhluk sosial dan
memiliki penghayatan terhadap nilai-nilai Pancasila. Sesuai dengan tujuan utama PKK,

8

maka seluruh kegiatan PKK ditujukan bagi perempuan. Berbagai kegiatan seperti tata
boga, tata laksana rumah tangga, kerajinan dan keterampilan, maupun kegiatan
koperasi, bertujuan untuk membentuk citra perempuan ideal versi Orde Baru.
Selama satu dekade lebih, berbagai kegiatan PKK terus menerus diperkenalkan
melalui TVRI, namun kontennya hanya sebatas aktivitas PKK dan sesekali Dharma
Wanita dan Dharma Pertiwi, tidak lebih dari itu. Ibuisme negara hanya muncul dalam
gambaran yang sangat awal: perempuan ideal adalah perempuan yang mampu berperan
dalam rumah tangga, yakni sosok perempuan sebagai istri dan sebagai ibu. Siapa yang
dapat melupakan serial Losmen, tayang pada medio 1980an, dengan Deborah alias Bu
Broto (Mieke Wijaya) sebagai istri dari Pak Broto (Purnomo), yang memiliki anak Jeng
Sri (Dewi Yull) yang bersuami sontoloyo bernama Jarot (Eeng Saptahadi). Dalam serial
yang sama, kita masih ingat bagaimana Mbak Pur (Ida Leman) selalu diolok-olok
sebagai perawan tua karena tidak ada lelaki yang berminat meminangnya menjadi istri
(lihat Wardhana 2013). Saya harus mengatakan, bahwa bukan tidak ada sinetron yang
berkutat pada persoalan emansipasi, tentu saya harus menyebut Suci Sang Primadona
dan Karina – bahkan Karina menang FFI 1987 sebagai sinteron terbaik – sebagai salah
satunya, namun gambaran awal tentang perempuan ideal selalu dilagukan dalam nada
yang sama: bahwa perempuan ideal adalah perempuan yang membaktikan hidupnya
dalam gatra rumah tangga.
Meskipun gambaran itu begitu massif, namun belum hadir sosok yang begitu
ikonik, sosok yang begitu diingat dan representatif mengenai perempuan ideal versi
Orde Baru. Adalah RCTI, sebagai televisi swasta pertama yang membuka ruang
konstruksi lebih jauh dengan melahirkan sebuah program yang bernama Keluarga
Cemara. Pertama kali tayang pada Minggu 6 Oktober 1996, Keluarga Cemara langsung
menyedot perhatian publik Indonesia, terbukti sinetron ini mampu bertahan selama
sembilan tahun sampai akhirnya resmi berhenti pada 28 Februari 2005. Keluarga
Cemara adalah gambaran mengenai sebuah keluarga sederhana, dengan tokoh sentral
Emak (Novia Kolopaking), Abah (Adi Kurdi), dan tiga orang anak perempuannya: Euis
(Ceria Hade), Cemara (Anisa Fujianti), dan Agil (Pudji Lestari).
Bagi saya, program televisi Keluarga Cemara membuka babak baru dalam
kerangka konstruksi ibuisme negara. Sosok Emak adalah sosok paling ikonik sepanjang

9

masa karena menjadi figur sentral tempat di mana seluruh hal baik tentang perempuan
diletakkan: Emak adalah sosok yang penyabar meski ditempa berbagai masalah
ekonomi, sosok pendidik yang harus mengajarkan nilai-nilai kepada anak-anaknya yang
selalu membuat onar, sosok istri yang selalu mengikuti apa kata suami meski
permintaannya acapkali tidak masuk akal, sosok perempuan yang meski penuh dalam
aktivitas domestik namun tetap mampu bersosialisasi dengan tetangga dan aktif di
masyarakat, dan lebih penting lagi, sosok perempuan yang tidak pernah terlibat dalam
organisasi politik resmi atau tidak resmi. Sosok Emak adalah representasi paling ideal
tentang bagaimana perempuan ideal dalam visi Orde Baru. Sosok Emak muncul secara
berkala, sekali setiap minggu, dan setiap kemunculannya, sosok ini tidak pernah keluar
dari gambaran perempuan yang lembut, pemaaf, setia, dan membaktikan sepenuh diri
dan waktunya bagi keluarga.
Program acara Keluarga Cemara adalah titik puncak dari konstruksi ibuisme
negara yang selama lebih dari dua dekade dikonstruksikan melalui berbagai program
Pembinaan Kesejahteraan Keluarga yang diinisiasi oleh pemerintah. Keluarga Cemara
adalah gambaran final tentang bagaimana keluarga seharusnya dimunculkan. Menarik
untuk dilihat, bahwa program Keluarga Cemara dapat bertahan hingga tahun 2005,
terlepas dari menurunnya rating acara tersebut, namun setidaknya kita dapat mengambil
kesimpulan awal, bahwa gambaran mengenai keluarga ideal pada akhir masa Orde Baru
hingga masa reformasi sesungguhnya masih bicara dalam nada yang sama: sosok ibu
yang baik, sosok istri yang setia, dan sosok perempuan yang aktif di masyarakat. Sosok
ini akan segera mengalami perubahan mendasar, terutama dengan lahirnya reformasi
dan masuknya agama – dalam hal ini agama Islam – yang turut memberikan bentuk
tentang bagaimana perempuan ideal itu dicitrakan.

Reformasi dan kontestasi citra perempuan ideal di media
Salah satu hal paling menarik dari runtuhnya Orde Baru adalah lepasnya
penguasaan negara atas media. Masa pemerintahan BJ. Habibie membuka keran media
yang bukan sekedar mengalirkan air, namun juga membanjiri semua sisi kehidupan. Jika
diperhatikan dengan seksama, periode 1998 hingga medio 2000an, media di Indonesia
mengalami gejolak luar biasa. Sebagian menyebutnya sebagai kemerdekaan berekspresi

10

dan kemerdekaan pers, sebagian lainnya menyebutnya sebagai kemunduran dan involusi
pers. Di tengah gejolak media yang terus berkembang, citra perempuan ideal versi Orde
Baru menemukan lawan tandingnya. Setidaknya terdapat dua sosok perempuan dari dua
sinetron yang berbeda: Sarah dari Si Doel Anak Sekolahan dan Anisa dari Doaku
Harapanku.
Si Doel Anak Sekolahan adalah salah satu program televisi yang paling
fenomenal. Alur ceritanya sederhana: bagaimana sosok insinyur Kasdoellah, anak
betawi asli dari Maknyak (Aminah Cendrakasih) dan Babeh (Bunyamin Sueb), kakak
dari Atun (Suti Karno) dan ipar adik Maknyak, Mandra. Doel adalah seorang anak dari
keluarga betawi miskin yang lulus sarjana permesinan yang hati dan cintanya
diperebutkan oleh dua orang perempuan: Sarah (Cornelia Agatha) dan Jaenab (Maudy
Kusnaedi). Si Doel Anak Sekolahan diangkat dari novel berjudul Si Doel Anak Betawi
karya Aman Datuk Majoindo dan telah diangkat ke layar lebar oleh Sjumandjaja pada
tahun 1972. Si Doel Anak Sekolahan tercatat sebagai sinetron terlama di Indonesia,
mencapai 162 episode dan terbagi dalam tujuh musim, dimulai pada tahun 1994 dan
berakhir pada tahun 2002. Apa yang membuat Si Doel Anak Sekolahan menarik bukan
hanya pada gambaran mengenai masyarakat betawi yang sedang berubah, namun lebih
dari itu, Si Doel Anak Sekolahan menggambarkan dua sosok perempuan yang berbeda
latar belakang namun memperebutkan sosok laki-laki yang sama.
Jika kita cermat melihat Si Doel Anak Sekolahan, kita akan segera menyadari
betapa sinetron ini dengan amat baik menciptakan dua sosok perempuan yang saling
berkontestasi. Memang yang diperebutkan adalah Doel, namun bagi saya, menjadi lebih
penting ketika kita melihat bagaimana sosok Sarah dan sosok Jaenab dimunculkan
dalam konteks ibuisme negara. Sarah adalah gambaran perempuan kota, berpendidikan,
mandiri, dan berasal dari kelas menengah. Jaenab adalah kebalikan dari Sarah,
merupakan gambaran perempuan desa, kurang berpendidikan, peragu, dan berasal dari
kelas bawah. Sosok Jaenab sedikit banyak mengingatkan kita pada sosok Nyi Iteung
dari film Kabayan, yakni sebagai sosok perempuan lugu dan setia pada pasangan.
Dalam dari kaca mata ibuisme negara, kita dapat segera melihat bagaimana dua
perempuan yang berasal dari dua dunia yang berbeda saling diperlawankan satu sama
lain. Kontestasi ini sejatinya tidak terlepas dari dinamika sosial politik yang terjadi pada

11

masa itu. Jika kita mengingat dengan baik, ada pergeseran menarik dalam tujuh musim
sinetron Si Doel. Kedekatan Doel dengan Sarah sesungguhnya baru terjalin dengan baik
pada musim kelima yang tayang pada medio 1999, kedekatan yang perlahan mendorong
sosok Sarah tampil lebih dominan, sebuah pertarungan panjang yang akhirnya
dimenangkan oleh Sarah pada 17 episode di musim terakhir Si Doel pada tahun 2002.
Di sisi yang berbeda, pada akhir tahun 1998, sebuah citra perempuan ideal lain
muncul di televisi nasional melalui sinetron Ramadan pertama di Indonesia. Adalah
sinetron Doaku Harapanku – mulai tayang pada Desember 1998 hingga Januari 2000 –
yang menjadi tonggak awal kelahiran sinetron bernapas Islam, yang memang muncul
sebagai sinetron Ramadan. Mengisahkan kehidupan seorang istri bernama Anisa
(Krisdayanti) yang bersuamikan Andika (Dicky Wahyudi) yang selalu berkonflik
dengan ibu tiri Andika yang bernama Lela (Leily Sagita). Sinetron ini mengisahkan
bagaimana sosok perempuan ideal itu: istri yang sayang pada suami (meskipun si suami
hilang ingatan), patuh pada mertua (meskipun hanya ibu tiri) dan tidak pernah menolak
sekejam apapun tindakan sang mertua, mencintai keluarganya, memilih keluarga
ketimbang karir, anggota masyarakat yang aktif dalam kehidupan sosial namun tidak
pernah mau membicarakan persoalan rumahtangganya, dan yang lebih penting adalah
taat beragama dan berkerudung.
Jika diperhatikan dengan baik, sosok Anisa mengingatkan kita pada sosok
Emak, hanya saja Anisa ditampilkan sebagai sosok yang religius. Agama, dalam hal ini
Islam, membawa nuansa baru dalam konstruksi citra perempuan ideal. Sepanjang
proyek ibuisme negara versi Orde Baru, Islam atau setidaknya nuansa keislaman, belum
masuk dalam daftar resmi konstruksi citra perempuan ideal versi Orde Baru. Bahkan
sosok paling ikonik seperti Emak tidak pernah dimunculkan sebagai sosok yang
religius, meski dimainkan oleh Novia Kolopaking yang notabene seorang muslim.
Meski bisa saja diambil justifikasi kehadiran nuansa keislaman karena memang sinetron
Doaku Harapanku dibuat untuk konsumsi umat Islam yang sedang menjalankan ibadah
puasa, namun sosok Anisa jelas mencoba membuat satu gambaran lain mengenai
perempuan ideal, setidaknya gambaran mengenai citra perempuan ideal yang coba
dikembangkan lewat sosok Anisa ditujukan secara spesifik bagi muslimah.

12

Kehadiran sosok Emak, Sarah dan Anisa dalam perebutan citra ideal perempuan
di media sesungguhnya bukan barang baru (lihat Santoso 2010, Wardhana 2010, Annisa
dan Nurjanah 2012), meskipun demikian, ada satu hal yang, bagi saya, menjadikan
sosok Sarah penting untuk diperhatikan. Sarah begitu berbeda karena Sarah membuat
kategori perempuan ideal versi Orde Baru menemukan lawan tandingnya. Jika selama
ini citra perempuan ideal adalah sosok ibu dan istri yang membaktikan seluruh hidupnya
untuk orang lain, seperti sosok Emak dan Anisa, maka sosok Sarah adalah antitesa dari
sosok tersebut. Citra perempuan ideal versi reformasi mewujud dalam citra perempuan
mandiri, cerdas, mampu mengutarakan apa yang ingin disampaikan, dan lebih penting
lagi, sadar politik. Meskipun Sarah tidak pernah digambarkan sebagai aktivis partai,
namun kehadiran Sarah dalam kehidupan kampus yang dinamis mengisyaratkan
hadirnya sosok-sosok perempuan yang mampu mengutarakan pendapat dan mendebat
orang lain untuk kepentingannya sendiri, bahkan sosok perempuan yang tidak lagi ragu
untuk bertanya apakah pasangannya sungguh-sungguh mencintainya atau tidak. Secara
sederhana, sosok Sarah mendobrak pakem tentang citra perempuan ideal yang selama
ini dikonstruksikan oleh proyek ibuisme negara Orde Baru.
Di sisi yang berbeda, kontestasi citra perempuan ideal juga merembet ke dunia
media cetak, hanya saja citra ini tidak lagi menampilkan “pemberontakan” atas
gambaran perempuan sebagai istri maupun ibu, melainkan lebih berfokus pada tubuh
fisik perempuan. Reformasi tidak hanya membuka kotak pandora yang membuka keran
media mainstream, namun juga melahirkan media dalam kategori koran kuning atau
media syur. Reformasi melahirkan media yang menjadikan sensualitas tubuh sebagai
sampulnya dan skandal sebagai jualannya. Adalah penting untuk mengingat bahwa
koran kuning sejatinya telah muncul jauh sebelum reformasi. Saya harus menyebut Pos
Kota, yang didirikan oleh Harmoko pada 15 April 1970, yang memulai masuknya
konten seks pada media massa. Meski kita dapat berdebat panjang apakah Pos Kota
termasuk dalam koran kuning atau tidak, namun kita dapat bersepakat bahwa Pos Kota
membuka kotak pandora tentang kehidupan masyarakat yang memang penuh skandal.
Secara sepintas Pos Kota adalah anomali bagi Orde Baru yang begitu
menggaungkan citra perempuan ideal. Bagi saya, keberadaan Pos Kota justru
memperkuat visi ibuisme negara, bahwa gambaran perempuan dalam Pos Kota selalu
dimunculkan dalam gambaran yang sama sekali berbeda. Perempuan dalam berita Pos
13

Kota adalah maniak sebagaimana digambarkan oleh Tiwon. Jika Pos Kota hanya
menampilkan skandal, maka tabloid panas menampilkan jauh lebih berani. Beberapa
contoh tabloid panas seperti Bliz, Prahara, Lipstik dan Lelaki adalah segelintir tabloid
panas yang mengusung nuansa yang sama: pornografi. Saya tidak ingin masuk pada
perdebatan apakah suatu materi dianggap pornografi atau karya seni – sebagaimana
pernah terjadi dalam kasus Sophia Latjuba atau Inneke Koesherawati, namun yang ingin
saya katakan adalah, bahwa momentum reformasi membuka jalan bagi munculnya
berbagai media cetak yang menjadikan perempuan berpakaian minim sebagai
sampulnya dan berita mengenai perselingkuhan sebagai kontennya. Melalui Lelaki,
Bliz, dan Lipstik inilah diskursus mengenai citra perempuan ideal mengalami
pergeseran. Jika sebelumnya cita perempuan ideal selalu diwujudkan dalam bentuk
karakter, namun media-media semacam ini tidak lagi berfokus pada karakter. Bahwa
citra perempuan ideal termanifestasi melalui tubuh si perempuan itu sendiri.
Menarik untuk dicermati bahwa di era yang sama muncul lawan tanding dari
media yang mengusung sensualitas perempuan sebagai jualan, pada Oktober 1998
muncul satu majalah yang memiliki konten yang amat berbeda, yang bernama Hidayah.
Pada awal kemunculannya, Hidayah secara sadar disegmentasikan bagi pembaca
muslim, segmentasi yang sesungguhnya sudah digarap oleh Republika sejak terbit
pertama kali pada 4 Januari 1993. Berbeda dengan Republika yang berfokus pada surat
kabar harian, majalah Hidayah berfokus pada kisah sehari-hari. Konten dari Hidayah
pada dasarnya sama: cerita mengenai seseorang yang mendapatkan balasan atas amal
ibadahnya ketika orang tersebut meninggal dunia. Munculnya Hidayah, yang kelak akan
disusul oleh berbagai majalah dan tabloid yang sejenis, mau tidak mau, akan membuat
kita berpikir bahwa kehadiran tabloid tersebut sedikit-banyak menjadi seteru utama dari
berbagai tabloid dan majalah panas.
Meskipun tidak dapat dipastikan apakah yang dikisahkan dalam Hidayah itu
diambil dari kisah nyata atau semata rekaan pengarangnya, namun Hidayah
memberikan pesan yang amat jelas bagi para pembacanya: berbuatlah baik agar matimu
tidak sengsara dan dapat masuk surga. Jika kita membaca Hidayah di edisi-edisi awal,
kita akan dapat melihat bahwa Hidayah lebih banyak memfokuskan pada kisah
kehidupan perempuan. Bagaimana kisah seorang istri salehah yang meninggal saat salat,
kisah seorang ibu yang mayatnya berbau harum, atau kisah istri yang kasar pada suami
14

yang saat dikubur ternyata kuburnya menyempit. Kisah-kisah yang mendorong
pembacanya untuk berpikir ulang tentang kehidupannya dan bagaimana kehidupan itu
berkorelasi dengan kematian. Secara tersirat, Hidayah ingin menggambarkan sosok
ideal perempuan sebagai sosok istri yang taat, ibu yang perhatian, dan perempuan yang
mampu menjaga harga diri dan imannya.
Kehadiran Emak, Anisa, dan Jaenab versus Sarah; atau kehadiran Hidayah
versus Lelaki (dan majalah lainnya) adalah perebutan citra perempuan ideal yang terus
berlangsung dan saling berebut pengaruh. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa
sosok Sarah versus Jaenab adalah representasi dari banalitas media yang ahistoris dan
pragmatis, melainkan kehadiran dua sosok dan/atau dua media yang amat berbeda ini
sesungguhnya adalah dua sisi dari koin yang sama. Keduanya muncul dari rahim yang
sama: reformasi. Reformasi menjadi ajang penting bagi kontestasi dua representasi
perempuan: perempuan baik-baik versus perempuan tidak baik-baik. Apa yang terjadi di
televisi di Indonesia pada era reformasi (medio 1990an hingga awal 2000an) adalah
perang lama yang menemukan medannya kembali. Sebuah kisah kembali terulang,
peristiwa 1965 yang membuat berbagai citra perempuan di luar versi pemerintah
menjadi maniak, kini muncul dan menemukan pentasnya.

Studi media plus-plus? Penutup
Jadi apa sesungguhnya “perempuan baik-baik” itu? Bagaimana sesungguhnya
citra perempuan ideal itu dibentuk? Sepanjang sejarahnya, citra perempuan ideal adalah
citra yang selalu berubah, yang perubahannya itu sangat bergantung pada dinamika
sosial dan politik. Lihat saja Krisdayanti yang memainkan sosok Anisa, atau Novia
Kolopaking yang memainkan sosok Emak. Bagaimana kita memandang kedua sosok
tersebut? Atau bagaimana kita menjelaskan rivalitas antara Sarah dan Jaenab? Bagi saya
untuk memahami kehadiran Anisa, yang dalam banyak hal adalah sisi agamis dari Emak
dan Jaenab, yang berarti menjadi antitesa dari Sarah (atau sebaliknya), maka kita harus
memahami bagaimana gejolak media pada jelang akhir masa Orde Baru hingga awal
masa reformasi – setidaknya sampai akhir pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
Sepanjang tulisan ini saya mencoba mempertanyakan batasan yang selama ini
menjadi kerangkeng studi media: bahwa model diakronik dengan melihat konteks

15

historis dan sosial politik dapat memperkaya pemahaman kita tentang media. Jika saat
ini kita melihat karakter Hana dalam Catatan Harian Seorang Istri atau karakter Aisyah
Putri, sesungguhnya karakter tersebut bukanlah barang baru atau anomali dalam televisi
kita. Sosok Hana misalnya sedikit banyak dapat kita temukan kesamaannya dengan
sosok Anisa: sama-sama istri yang selalu diabaikan suami, dan sama-sama ibu yang
bertahan demi anak padahal mengalami depresi akut, sama-sama berkerudung dan
selalu menampilkan adegan klise berdoa dengan deraian air mata di waktu salat
(salatnya pun selalu malam hari di kamar yang sepi). Apa yang tersaji dalam media
televisi kita saat ini tidak lain dari lagu lama yang diaransemen ulang dan diputar secara
terus menerus ke hadapan penonton dengan harapan bahwa si penonton akan merasakan
suasana dan mencapai puncaknya dengan merefleksikan kehidupan sosok di televisi
dengan sosok mereka sendiri.
Sebagaimana telah coba saya gambarkan dalam tulisan ini, studi media
sesungguhnya memiliki peran yang sangat unik karena berada di tengah perlintasan
antara studi historis dan studi perempuan. Studi media memberikan solusi paling cerdas
dalam keterbatasan saya dalam menjelaskan bagaimana konstruksi ibuisme negara
berlangsung di tingkat masyarakat. Dalam kasus Hana misalnya, jika saya berkeras
hanya pada studi media, boleh jadi saya hanya akan mengkajinya pada teks, atau jika
saya meminjam pisau analisis gender, boleh jadi hanya menghasilkan konklusi bahwa
struktur sosial memang menjadikan perempuan sebagai liyan, bahkan dalam sinetron.
Lalu apa manfaatnya studi tersebut, baik secara keilmuan maupun sosial? Hanya dengan
menggabungkan studi media, studi historis, dan studi perempuan saya bisa memberikan
argumen bahwa Hana bukanlah fenomena media baru – jauh sebelumnya sudah ada
sosok Hana yang lain, dan bahwa Hana adalah citra politis yang dimunculkan untuk
memberikan suatu konstruksi perempuan ideal. Sebuah citra yang selalu berubah sesuai
dengan dinamika sosial, politik dan kultural yang ada. Disinilah letak pentingnya studi
media plus-plus, studi media yang menggabungkan studi historis dan studi perempuan
dalam melihat dinamika media.
Bagi saya hal ini penting, sebab studi media tanpa melihat konsteks historis
hanyalah studi kosong, sebab studi tersebut hanya mengambil satu fragmen, yang dari
fragmen tersebut ditarik sebuah kesimpulan yang seringkali berupa simplifikasi yang
berlebihan. Bagaimana studi media menjelaskan kehadiran Keluarga Cemara atau Si
16

Doel Anak Sekolahan jika studi media tidak mempertimbangkan konteks historis yang
melahirkan sinetron tersebut? Di sisi lain, studi media tanpa melihat perspektif
perempuan hanya akan menghasilkan studi yang kering tanpa jiwa. Bagaimana studi
media menjelaskan sosok Anisa, Emak, Sarah, atau Jaenab jika studi media
mengabaikan konsteks sosio kultural yang membentuk konstruksi perempuan yang
selalu bermuatan politis?
Saya harus menyampaikan apologi saya mengingat saya tidak dibesarkan dalam
tradisi studi media, namun saya meletakkan harapan yang tinggi terhadap studi media.
Saya tidak mengatakan bahwa kajian blog, analisis wacana dan iklan, atau strategi
komunikasi tidak penting, namun kajian-kajian tersebut seringkali terjebak pada satu
persoalan serius: bahwa kajian-kajian tersebut menjadi ahistoris dan buta gender. Studi
media dapat menarik konteks studinya jauh ke atas, dengan menarik konsteks sosial
politik, historis, dan gender, sehingga dengan melihat konteks yang lebih luas studi
media dapat menghasilkan sebuah narasi yang tidak hanya naratif namun juga
argumentatif. Lebih dari itu, studi media juga dapat keluar dari kerangkengnya: sebuah
studi yang seringkali terlalu canggih mempergunakan teori padahal abai bahwa
kecanggihan teori tidak selalu berbanding lurus dengan kecanggihan argumentasinya.
Studi media seringkali melupakan satu fakta mendasar, bahwa tidak setiap pisau cocok
dipergunakan untuk setiap kesempatan, lebih celaka lagi, pisaunya tersedia namun yang
apa yang akan diiris tidak jelas substansinya.
Saya percaya jika para pengkaji studi media bersedia meminjam perspektif studi
historis dan analisis studi perempuan, studi media dapat melahirkan opus yang
mengagumkan. Berbeda dengan, sebut saja kajian antropologis yang karena alasan
kebudayaan kemudian bicara terlalu banyak hal di banyak domain sehingga seringkali
sulit dibayangkan, studi media sesungguhnya lebih mudah untuk dicerna oleh
masyarakat awam. Hal ini tentu saja karena semua manusia Indonesia saat ini pasti
bersinggungan dengan media dalam kehidupan sehari-hari, sehingga media dapat
menjadi pintu masuk paling ideal untuk menjelaskan bagaimana suatu fenomena sosial
berlangsung. Meskipun demikian, media – bagi saya – lebih cocok dipakai sebagai pintu
masuk, bukan tujuan itu sendiri. Menjadikan media sebagai tujuan hanya akan
menghasilkan studi yang mengabaikan konteks-konteks yang lebih luas, yang
sesungguhnya bisa dieksplorasi lebih dalam. Namun menjadikan media sebagai pintu
17

masuk akan memberikan keleluasaan, tidak hanya bagi peneliti media namun juga bagi
masyarakat luas untuk memahami bagaimana media berperan dalam kehidupan mereka.
Hal ini penting, sebab untuk memahami mengapa sahabat saya sampai berani
mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai “perempuan baik-baik” dan mengkritik
perempuan perokok dan peminum bir sebagai “bukan perempuan baik-baik”, maka saya
harus menengok ke kebiasaan sahabat saya yang penggemar fanatik Hana, dan untuk
menjelaskan sosok Hana, penting untuk meletakkannya dalam konteks yang tepat, dan
konteks itu saya dapat dari studi historis dan studi perempuan – yang sayangnya tidak
diberikan oleh studi media.

Daftar pustaka
Annisa, Firly dan Adhianty Nurjanah. 2012. “Self and others: women’s body in
Indonesian “Islamic” soap opera Sampeyan Muslim?”, makalah disampaikan dalam
Internation Conference ‘Rethinking Multiculturalism: Media in Multicultural
Society, Departemen Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan
Universiti Sains Malaysia, Yogyakarta 7-8 Nopember.
Blackburn, Susan. 2004. Women and the State in Modern Indonesia. Cambridge, UK:
Cambridge University Press
Ida, Rachmah. 2001. “The Construction of Gender Identity in Indonesia: Between
Cultural Norms, Economic Implication, and State Formation”, Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik 14(1):21-34
Martyn, Elizabeth. 2005. The Women’s Movement in Post-colonial Indonesia, Gender
and Nation in a New Democracy. London: RoutledgeCurzon
Rahayu, Ruth Indiah. 2008. “Emansipasi Menuju Unilinear: Gerakan Feminis
“Indonesia” Paro Abad Ke-20” dalam Cora Vrede-de Stuers Sejarah Perempuan
Indonesia: Gerakan dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu. hlm.ix-xvi
Salman, Ismah. 2005. Keluarga Sakinah dalam ‘Aisyiyah: Diskursus Jender di
Organisasi Perempuan Muhammadiyah. Jakarta: PSAP
Santoso, Widjajanti. 2010. “Membangun kesadaran perempuan melalui sinetron:
strategi atau utopia?”, makalah disampaikan dalam Konferensi I Tentang Hukum
dan Penghukuman, Program Studi Kajian Wanita UI dan Komnas Perempuan,
Depok 28 Nop-1 Des.
Suryakusuma, Julia I. 2004a. “Seksualitas dalam Pengaturan Negara” dalam Liza Hadiz
(ed.) Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru, Pilihan Artikel Prisma. Jakarta:
LP3ES. Hlm. 354-377
_______. 2004b. Sex, Power and Nation: The Anthology of Writings, 1979-2003.
Jakarta: Metafor Publishing

18

Vrede-de Stuers, Cora. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian.
Jakarta: Komunitas Bambu
Wardhana, Veven SP. 2010. “Perempuan dalam sinetron Indonesia: petaka atau
perkasa”, dalam Ashadi Siregar (ed.) Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme dan
Hiburan. Yogyakarta: LP3Y.
_______. 2013. Budaya Massa, Agama, Wanita. Jakarta: KPG
Wieringa, Saskia E. 1998. Kuntilanak Wangi: Organisasi-Organisasi Perempuan
Indonesia Sesudah 1950. Jakarta: Kalyanamitra

19