METABOLIT SEKUNDER UNTUK PENANGANAN PASC
TUGAS TERSTRUKTUR
METABOLIT SEKUNDER UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT PASCAPANEN
Oleh :
Dini Sundari
NIM A1L014112
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2016
A. Metabolit Sekunder Agensia Pengendali Hayati
Metabolit sekunder adalah senyawa organik yang dihasilkan tumbuhan yang tidak
memiliki fungsi langsung pada fotosintesis, pertumbuhan atau respirasi, transport solut,
translokasi, sintesis protein, asimilasi nutrien, diferensiasi, pembentukan karbohidrat, protein
dan lipid. Metabolit sekunder yang seringkali hanya dijumpai pada satu spesies atau
sekelompok spesies berbeda dari metabolit primer (asam amino, nukelotida, gula, lipid) yang
dijumpai hampir di semua kingdom tumbuhan (Mastuti, 206). Saat ini, metabolit sekunder
dimanfaatkan untuk mengendalikan Organisme Pengganggu Tanaman baik hama maupun
patogen. Metabolit sekunder dapat bersifat antibiotik yang dapat mengendalikan berbagai
jenis patogen misalnnya jamur pada tanaman. mekanisme metabolit sekunder yang dapat
menekan pertumbuhan jamur menurut Ainy et al., (2015) yaitu senyawa metabolit sekunder
yang bersifat antibiotik akan masuk ke dalam sel jamur dan akan menyebabkan mikolisis.
Mikolisis yaitu hilangnya protoplasma pada struktur dinding sel sehingga enzim tidak larut
pada dinding sel jamur. Mikolisis ini menyebabkan sejumlah gejala, seperti pembengkakan,
pemendekan, dan lisisnya dinding sel serta mengakibatkan pertumbuhan abnormal pada hifa.
Ainy (2015) juga melakukan percobaan secara in vitro pengujian daya hambat Trichoderma
sp dengan jamur Colletotrichum penyebab penyakit antraknosa pada cabai. Pada daerah
persinggungan antara T. harzianum dan Colletotricum terdapat zona bening yang
diperkirakan terbentuk akibat adanya metabolit sekunder. T. harzianum diketahui mampu
menghasilkan sejumlah metabolit sekunder berupa alametichin, paracelsin, trichotoxin yang
dapat menghancurkan sel jamur dengan cara merusak membran sel. Penyakit Antraknosa
pada cabai ini merupakan penyakit yang dapat menimbulkan kehilangan hasil yang cukup
besar pada cabai karena menurunkan kualitas dan kuantitas hasil panen. Penyakit ini bukan
hanya menyerang pada saat prapanen tapi juga dapat menyerang pada tahap pascapanen.
Selain Trichoderma, Bakteri antagonis Pseudomonas fluorescens dilaporkan mampu
menghasilkan metabolit sekunder antara lain siderofor, pterin, pirol, dan fenazin. Siderofor
dapat berperan sebagai fungistasis dan bakteriostatis. Beauveria bassiana Kandungan di
dalam metabolit sekunder B. bassiana di antaranya bassianin, bassiacridin, beauvericin,
bassianolide, siklosporin A, asam oksalat, beauverolides, tenellin and oosporein, Antibakteri,
Antijamur, Antinematodal, Mikotoksin, sitotoksis, Beauvericin, Enniatins, Isarolides, dan
Bassianolide (insecticidal). Metabolit sekunder B. bassiana mampu menghambat
pertumbuhan beberapa jamur patogen tanaman dengan konsentrasi rendah. Jamur patogen
tanaman yang dihambat pertumbuhannya oleh metabolit sekunder B. bassiana, antara lain
jamur Alternaria tenuis, Aspergillus niger, A. parasiticus, Fusarium avenaceum, F.
graminearum, F. moniliforme, F. oxysporum, dan Penicillium sp (Soesanto, 2015).
B. Macam-macam Metabolit Sekunder untuk Mengendalikan Penyakit Pascapanen
Teknologi yang menjanjikan hasil yang baik dalam pengendalian penyakit pascapanen
adalah penggunaan snyawa alami yang diduga dapat merangsang respon resistnsi pada buah
dan sayuran. Salah satu senyawa alami yang dapat digunakan, yaitu senyawa alami chitosan
yang dapat menghambat perkembangan pnyakit penting pada produk pascapanen. Penelitian
Suryani (2003) membuktikan bahwa pemanfaatan senyawa alami chitosan yang diekstraksi
dari cangkang kepiting mampu menekan perkembangan penyakit pascapanen antraknosa
yang disebabkan oleh jamur Colletorrichum musae pada buah pisang Amboon Curup secara
in vitro dan in vivo. Pemberian chitosan akan menghambat pertumbuhan hifa cendawan
patogen dengan adanya aktifitas dari enzim-enzim kitinase, glukanase, serta senyawa
antifungal lain yang dikandung oleh chitosan (Rogis et al,. 2007)
Selain penggunaan chitosan, salah satu cara yang dapat mengatasi kontaminasi jamur
pada buah adalah dengan menggunakan bahan antimikroba. Mekanisme penghambatan
terhadap pertumbuhan mikroba oleh senyawa antimikroba dapat berupa perusakan dinding
sel dengan cara menghambat pembentukannya atau mengubahnya setelah selesai terbentuk,
perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan keluarnya bahan
makanan dari dalam sel, perubahan molekul protein dan asam nukleat, penghambata kerja
enzim dan penghambatan sintesis asam nukleat dan protein. Hasil penelitian Johannes (2008),
menemukan senyawa bioaktif dari metabolit sekunder hydroid Aglaophenia cupressina L.
yang memiliki sifat antimikroba dan dapat dikembangkan sebagai bahan dasar sanitizer.
Senyawa metabolit sekunder yang diisolasi dari Aglaophenia cupressina L. yaitu senyawa
asam at dan ß-sitoserol. Berdasarkan hasil penelitiannya bahwa senyawa tersbut efektif dalam
menghambat pertumbuhan jamur pembusuk buah mangga Mangifera indica. heksadekano
Senyawa aktif metabolit sekunder dari ekstrak mengkudu berdasarkan penelitian dari
Ali et al. (2013) mampu menekan pertumbuhan jamur Colletotrichum gloeosporoises
penyebab penyakit antraknosa pada buah alpukat dan C. capsici penyebab penyakit
antraknosa pada cabai merah. Sesuai dengan penelitian Suwarta et al. (2005) bahwa masa
inkubasi jamur patogen C. gloeosporoides pada buah alpukat yang diberi ekstrak buah
mengkudu lebih lama dibandingkan dengan buah alpukat tanpa diberi ekstrak buah
mengkudu sehingga dapat memperpanjang masa simpan buah. Hal ini dapat disebabkan
karena ekstrak buah mengkudu mengandung bahan aktif seperi Scopolein, Anthraquinnon
dan Terpenten yang tergolong dalam senyawa alkaloid, falvonoid dan terpenoid yang mampu
berfungsi sebagai antijamur.
Metabolit sekunder pada jarak pagar juga aktif mengendalikan bakteri Xanthomonas
campestris penyebab penyakit busuk hitam pada tanaman kubis. Berdasarkan penelitian dari
Pratama et al (2015) daun dan biji jarak mengandung senyawa fenol, terpenoid, falvonod,
saponin dan alkaloid. Brdasarkan penelitiannya, ekstrak daun jarak pagar menghasilkan zona
hambat yang paling besar dibandingkan ekstrak biji. Karena ekstrak daun meniliki kadar
metabolit sekunder yang lebih tinggi dibanding ekstrak biji dikarenakan daun merupakan
organ tempat terjadinya fotosintesis, dimana pada proses fotosintesis menghasilkan
karbohidrat, lemak, dan asam amino paling banyak dibandingkan dengan organ lainnya.
Metabolit sekunder terbentuk dari metabolit primer yang dihasilkan dari hasil fotosintesis.
Mekanisme senyawa metabolit sekunder pada jarak pagar berbeda-beda. Penghambatan
pertumbuhan bakteri oleh senyawa metabolit sekunder dimulai dari membran sel, dinding sel,
dan komponen sel. Penghambatan pada membran sel dilakukan oleh senyawa flavonoid dan
fenol. Senyawa flavonoid bersifat lipofilik yang akan merusak membran bakteri. Mekanisme
kerja flavonoid sebagai antibakteri adalah membentuk senyawa kompleks dengan protein
ekstraseluler dan terlarut sehingga dapat merusak membran sel bakteri dan diikuti dengan
keluarnya senyawa intraseluler. Senyawa fenolik dapat memutuskan ikatan peptidoglikan
ketika melewati dinding sel.
Senyawa alkaloid dapat menghambat pembentukan peptidoglikan pada sel bakteri
sehingga lapisan dinding sel pada sel bakteri tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan
kematian sel. Senyawa terpenoid bersifat mudah larut dalam lipid.Hal tersebut
mengakibatkan senyawa terpenoid lebih mudah menembus dinding sel bakteri baik pada
bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Rusaknya porin mengakibatkan sel bakteri akan
kekurangan nutrisi sehingga pertumbuhan bakteri tersebut terhambat. Dinding sel yang rusak
menyebabkan senyawa metabolit sekunder dapat masuk kedalam membran sel dan
mengakibatkan kerusakan sel. Mekanisme senyawa terpenoid sebagai antibakteri dengan
membentuk ikatan polimer yang kuat dengan porin sehingga mengakibatkan rusaknya porin
tersebut (Pratama, 2015). Senyawa saponin dapat menghambat sintesis protein karena
terakumulasi dan menyebabkan kerusakan komponen-komponen penyusun sel bakteri.
Sintesis protein merupakan proses metabolisme utama pada bakteri yang sangat berhubungan
langsung dengan kelangsungan hidup bakteri dimana rusaknya komponen sel terutama
rusaknya DNA, RNA, dan protein memegang peranan amat penting dalam sel. Hal tersebut
mengakibatkan kerusakan total pada sel sehingga bakteri tidak bisa replikasi karena lisis
(Pratama, 2015).
Penelitian dari Istianto (2009) juga menunjukan bahwa minyak atsiri dapat menekan
perumbuhan jamur C. capsici
penyebab penyakit antraknosa pada cabai. berdasarkan
penelitiannya, minyak atsiri tersebut diekstral dari daun kayu manis (Cinnamomum
burmanni)i, sereh wangi (Cymbopogon nardus), dan kulit jeruk besar (Citrus grandis).
Berdasarkan uji in vitro minyak atsiri tersebut menunjukan penghambatan dalam
pertumbuhan jamur C. capsici. Efek penghambatan terhadap Colletotrichum sp. dapat
disebabkan oleh senyawa dominan yang terkandung dalam ketiga minyak atsiri tersebut,
yaitu benzofuran dan cinnamil asetat ( minyak daun kayu manis), sitronella (minyak sereh
wangi), dan limonen (minyak kulit jeruk besar). senyawa limonen memiliki aktivitas
antijamur yang tinggi terhadap Fussarium verticillioides. Senyawa sitronella memiliki
aktivitas penghambatan terhadap jamur Aspergillus dan Penicillium. Senyawa benzofuran
memiliki aktivitas antijamur terhadap Candida albicans.
Penggunaan mikroba antagonis dalam mengendalikan penyakit pascapanen juga telah
dicoba. Agens hayati yang pertama kali dikembangkan adalah strain Bacillus subtilis. Strain
bakteri ini mengendalikan busuk coklat pada peach, tetapi saat formulasi komersial dibuat,
pengendalian memadai tidak dapat dicapai. Belakangan ini strain Pseudomonas syringae van
Hall didapatkan mengendalikan Blue dan Gray Mold terhadap pome fruit. Sekarang ini dijual
secara komersial untuk pengendalian penyakit pascapanen. Walau biocontrol tidak diragukan
lagi keefektivannya, namun sering tidak memberikan hasil yang konsisten. Hal ini mungkin
disebabkan efikasinya juga dipengaruhi langsung oleh jumlah inokulum pathogen yang ada
(Utama, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M., F. Puspita., M.M Siburian. 2013. Uji beberapa ekstrak buah mengkudu terhadap
penyakit antraknosa yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici pada buah
cabai merah pascapanen. Fakultas Pertanian, Universitas Riau.
Istianto, M dan Eliza. 2009. Aktivitas sntijamur minyak atsiri terhadap penyakit antraknosa
buah pisang di penyimpanan pada kondisi Laboratorium. Jurnal Hortikultura 19(2) :
192-198.
Johannes, E. 2008. Isolasi, karakterisasi dan uji Bioaktifitas Metabolit Sekunder dari Hydrois
Aglaophenia cupressina L. Sebagai Bahan Dasar Anti Mikroba. Program Pascasarjana,
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Pratama, R.D., Yuliani., G. Trimulyo. 2015. Efektivitas ekstrak daun dan biji jarak pagar
(Jatropha curcas) sebagai antibakteri Xanthomoonas campestris penyebab penyakit
busuk buah hitam pada tanaman kubis. Lenterabio 4(1) : 112-118.
Rogis, A. , T. Pamekas., Mucharomah. 2007. Karakteristik dan uji efikasi bahan senyawa
alami chitosan terhadap patogen pascapanen antraknosa Colletotrichum musae. Jurnal
Ilmu-ilmu pertanian 9(1) : 58-63.
Soesanto loekas. 2015. Metabolit Sekunder Agensia Pengendali Hayati: Terobosan Baru
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman Perkebunan. Fakultas pertanian,
universitas jenderal soedirman, purwokerto
Suwarta, K., Efri dan Sudiono. 2005. Pengaruh Beberapa Konsentrasi Ekstrak Buah
Mengkudu (Morinda citrifolia L) Terhadap Keparahan Penyakit Antraknosa
(Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Pada Buah Alpukat. Kumpulan Abstrak
Jurusan Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian.Universitas Lampung.
Utama, I Made Supharta. 2006. Pengendalian Organisme Pengganggu Pascapanen Produk
Hortikultura dakam Mendukung GAP. Makalah disajikan pada Pemberdayaan Petugas
Dalam Pengelolaan OPT Hortikultura Dalam Rangka Mendukung Good Agriculture
Practices (GAP). Dilaksanakan oleh Dept. Pertanian, Dirjen Hortikultura, Direktorat
Perlindungan Tanaman Hortikultura di Bali Tanggal 3 – 8 Juli 2006.Pusat Pengkajian
Buah-buahan Tropika, Universitas Udayana, Bali.
METABOLIT SEKUNDER UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT PASCAPANEN
Oleh :
Dini Sundari
NIM A1L014112
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2016
A. Metabolit Sekunder Agensia Pengendali Hayati
Metabolit sekunder adalah senyawa organik yang dihasilkan tumbuhan yang tidak
memiliki fungsi langsung pada fotosintesis, pertumbuhan atau respirasi, transport solut,
translokasi, sintesis protein, asimilasi nutrien, diferensiasi, pembentukan karbohidrat, protein
dan lipid. Metabolit sekunder yang seringkali hanya dijumpai pada satu spesies atau
sekelompok spesies berbeda dari metabolit primer (asam amino, nukelotida, gula, lipid) yang
dijumpai hampir di semua kingdom tumbuhan (Mastuti, 206). Saat ini, metabolit sekunder
dimanfaatkan untuk mengendalikan Organisme Pengganggu Tanaman baik hama maupun
patogen. Metabolit sekunder dapat bersifat antibiotik yang dapat mengendalikan berbagai
jenis patogen misalnnya jamur pada tanaman. mekanisme metabolit sekunder yang dapat
menekan pertumbuhan jamur menurut Ainy et al., (2015) yaitu senyawa metabolit sekunder
yang bersifat antibiotik akan masuk ke dalam sel jamur dan akan menyebabkan mikolisis.
Mikolisis yaitu hilangnya protoplasma pada struktur dinding sel sehingga enzim tidak larut
pada dinding sel jamur. Mikolisis ini menyebabkan sejumlah gejala, seperti pembengkakan,
pemendekan, dan lisisnya dinding sel serta mengakibatkan pertumbuhan abnormal pada hifa.
Ainy (2015) juga melakukan percobaan secara in vitro pengujian daya hambat Trichoderma
sp dengan jamur Colletotrichum penyebab penyakit antraknosa pada cabai. Pada daerah
persinggungan antara T. harzianum dan Colletotricum terdapat zona bening yang
diperkirakan terbentuk akibat adanya metabolit sekunder. T. harzianum diketahui mampu
menghasilkan sejumlah metabolit sekunder berupa alametichin, paracelsin, trichotoxin yang
dapat menghancurkan sel jamur dengan cara merusak membran sel. Penyakit Antraknosa
pada cabai ini merupakan penyakit yang dapat menimbulkan kehilangan hasil yang cukup
besar pada cabai karena menurunkan kualitas dan kuantitas hasil panen. Penyakit ini bukan
hanya menyerang pada saat prapanen tapi juga dapat menyerang pada tahap pascapanen.
Selain Trichoderma, Bakteri antagonis Pseudomonas fluorescens dilaporkan mampu
menghasilkan metabolit sekunder antara lain siderofor, pterin, pirol, dan fenazin. Siderofor
dapat berperan sebagai fungistasis dan bakteriostatis. Beauveria bassiana Kandungan di
dalam metabolit sekunder B. bassiana di antaranya bassianin, bassiacridin, beauvericin,
bassianolide, siklosporin A, asam oksalat, beauverolides, tenellin and oosporein, Antibakteri,
Antijamur, Antinematodal, Mikotoksin, sitotoksis, Beauvericin, Enniatins, Isarolides, dan
Bassianolide (insecticidal). Metabolit sekunder B. bassiana mampu menghambat
pertumbuhan beberapa jamur patogen tanaman dengan konsentrasi rendah. Jamur patogen
tanaman yang dihambat pertumbuhannya oleh metabolit sekunder B. bassiana, antara lain
jamur Alternaria tenuis, Aspergillus niger, A. parasiticus, Fusarium avenaceum, F.
graminearum, F. moniliforme, F. oxysporum, dan Penicillium sp (Soesanto, 2015).
B. Macam-macam Metabolit Sekunder untuk Mengendalikan Penyakit Pascapanen
Teknologi yang menjanjikan hasil yang baik dalam pengendalian penyakit pascapanen
adalah penggunaan snyawa alami yang diduga dapat merangsang respon resistnsi pada buah
dan sayuran. Salah satu senyawa alami yang dapat digunakan, yaitu senyawa alami chitosan
yang dapat menghambat perkembangan pnyakit penting pada produk pascapanen. Penelitian
Suryani (2003) membuktikan bahwa pemanfaatan senyawa alami chitosan yang diekstraksi
dari cangkang kepiting mampu menekan perkembangan penyakit pascapanen antraknosa
yang disebabkan oleh jamur Colletorrichum musae pada buah pisang Amboon Curup secara
in vitro dan in vivo. Pemberian chitosan akan menghambat pertumbuhan hifa cendawan
patogen dengan adanya aktifitas dari enzim-enzim kitinase, glukanase, serta senyawa
antifungal lain yang dikandung oleh chitosan (Rogis et al,. 2007)
Selain penggunaan chitosan, salah satu cara yang dapat mengatasi kontaminasi jamur
pada buah adalah dengan menggunakan bahan antimikroba. Mekanisme penghambatan
terhadap pertumbuhan mikroba oleh senyawa antimikroba dapat berupa perusakan dinding
sel dengan cara menghambat pembentukannya atau mengubahnya setelah selesai terbentuk,
perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan keluarnya bahan
makanan dari dalam sel, perubahan molekul protein dan asam nukleat, penghambata kerja
enzim dan penghambatan sintesis asam nukleat dan protein. Hasil penelitian Johannes (2008),
menemukan senyawa bioaktif dari metabolit sekunder hydroid Aglaophenia cupressina L.
yang memiliki sifat antimikroba dan dapat dikembangkan sebagai bahan dasar sanitizer.
Senyawa metabolit sekunder yang diisolasi dari Aglaophenia cupressina L. yaitu senyawa
asam at dan ß-sitoserol. Berdasarkan hasil penelitiannya bahwa senyawa tersbut efektif dalam
menghambat pertumbuhan jamur pembusuk buah mangga Mangifera indica. heksadekano
Senyawa aktif metabolit sekunder dari ekstrak mengkudu berdasarkan penelitian dari
Ali et al. (2013) mampu menekan pertumbuhan jamur Colletotrichum gloeosporoises
penyebab penyakit antraknosa pada buah alpukat dan C. capsici penyebab penyakit
antraknosa pada cabai merah. Sesuai dengan penelitian Suwarta et al. (2005) bahwa masa
inkubasi jamur patogen C. gloeosporoides pada buah alpukat yang diberi ekstrak buah
mengkudu lebih lama dibandingkan dengan buah alpukat tanpa diberi ekstrak buah
mengkudu sehingga dapat memperpanjang masa simpan buah. Hal ini dapat disebabkan
karena ekstrak buah mengkudu mengandung bahan aktif seperi Scopolein, Anthraquinnon
dan Terpenten yang tergolong dalam senyawa alkaloid, falvonoid dan terpenoid yang mampu
berfungsi sebagai antijamur.
Metabolit sekunder pada jarak pagar juga aktif mengendalikan bakteri Xanthomonas
campestris penyebab penyakit busuk hitam pada tanaman kubis. Berdasarkan penelitian dari
Pratama et al (2015) daun dan biji jarak mengandung senyawa fenol, terpenoid, falvonod,
saponin dan alkaloid. Brdasarkan penelitiannya, ekstrak daun jarak pagar menghasilkan zona
hambat yang paling besar dibandingkan ekstrak biji. Karena ekstrak daun meniliki kadar
metabolit sekunder yang lebih tinggi dibanding ekstrak biji dikarenakan daun merupakan
organ tempat terjadinya fotosintesis, dimana pada proses fotosintesis menghasilkan
karbohidrat, lemak, dan asam amino paling banyak dibandingkan dengan organ lainnya.
Metabolit sekunder terbentuk dari metabolit primer yang dihasilkan dari hasil fotosintesis.
Mekanisme senyawa metabolit sekunder pada jarak pagar berbeda-beda. Penghambatan
pertumbuhan bakteri oleh senyawa metabolit sekunder dimulai dari membran sel, dinding sel,
dan komponen sel. Penghambatan pada membran sel dilakukan oleh senyawa flavonoid dan
fenol. Senyawa flavonoid bersifat lipofilik yang akan merusak membran bakteri. Mekanisme
kerja flavonoid sebagai antibakteri adalah membentuk senyawa kompleks dengan protein
ekstraseluler dan terlarut sehingga dapat merusak membran sel bakteri dan diikuti dengan
keluarnya senyawa intraseluler. Senyawa fenolik dapat memutuskan ikatan peptidoglikan
ketika melewati dinding sel.
Senyawa alkaloid dapat menghambat pembentukan peptidoglikan pada sel bakteri
sehingga lapisan dinding sel pada sel bakteri tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan
kematian sel. Senyawa terpenoid bersifat mudah larut dalam lipid.Hal tersebut
mengakibatkan senyawa terpenoid lebih mudah menembus dinding sel bakteri baik pada
bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Rusaknya porin mengakibatkan sel bakteri akan
kekurangan nutrisi sehingga pertumbuhan bakteri tersebut terhambat. Dinding sel yang rusak
menyebabkan senyawa metabolit sekunder dapat masuk kedalam membran sel dan
mengakibatkan kerusakan sel. Mekanisme senyawa terpenoid sebagai antibakteri dengan
membentuk ikatan polimer yang kuat dengan porin sehingga mengakibatkan rusaknya porin
tersebut (Pratama, 2015). Senyawa saponin dapat menghambat sintesis protein karena
terakumulasi dan menyebabkan kerusakan komponen-komponen penyusun sel bakteri.
Sintesis protein merupakan proses metabolisme utama pada bakteri yang sangat berhubungan
langsung dengan kelangsungan hidup bakteri dimana rusaknya komponen sel terutama
rusaknya DNA, RNA, dan protein memegang peranan amat penting dalam sel. Hal tersebut
mengakibatkan kerusakan total pada sel sehingga bakteri tidak bisa replikasi karena lisis
(Pratama, 2015).
Penelitian dari Istianto (2009) juga menunjukan bahwa minyak atsiri dapat menekan
perumbuhan jamur C. capsici
penyebab penyakit antraknosa pada cabai. berdasarkan
penelitiannya, minyak atsiri tersebut diekstral dari daun kayu manis (Cinnamomum
burmanni)i, sereh wangi (Cymbopogon nardus), dan kulit jeruk besar (Citrus grandis).
Berdasarkan uji in vitro minyak atsiri tersebut menunjukan penghambatan dalam
pertumbuhan jamur C. capsici. Efek penghambatan terhadap Colletotrichum sp. dapat
disebabkan oleh senyawa dominan yang terkandung dalam ketiga minyak atsiri tersebut,
yaitu benzofuran dan cinnamil asetat ( minyak daun kayu manis), sitronella (minyak sereh
wangi), dan limonen (minyak kulit jeruk besar). senyawa limonen memiliki aktivitas
antijamur yang tinggi terhadap Fussarium verticillioides. Senyawa sitronella memiliki
aktivitas penghambatan terhadap jamur Aspergillus dan Penicillium. Senyawa benzofuran
memiliki aktivitas antijamur terhadap Candida albicans.
Penggunaan mikroba antagonis dalam mengendalikan penyakit pascapanen juga telah
dicoba. Agens hayati yang pertama kali dikembangkan adalah strain Bacillus subtilis. Strain
bakteri ini mengendalikan busuk coklat pada peach, tetapi saat formulasi komersial dibuat,
pengendalian memadai tidak dapat dicapai. Belakangan ini strain Pseudomonas syringae van
Hall didapatkan mengendalikan Blue dan Gray Mold terhadap pome fruit. Sekarang ini dijual
secara komersial untuk pengendalian penyakit pascapanen. Walau biocontrol tidak diragukan
lagi keefektivannya, namun sering tidak memberikan hasil yang konsisten. Hal ini mungkin
disebabkan efikasinya juga dipengaruhi langsung oleh jumlah inokulum pathogen yang ada
(Utama, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M., F. Puspita., M.M Siburian. 2013. Uji beberapa ekstrak buah mengkudu terhadap
penyakit antraknosa yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici pada buah
cabai merah pascapanen. Fakultas Pertanian, Universitas Riau.
Istianto, M dan Eliza. 2009. Aktivitas sntijamur minyak atsiri terhadap penyakit antraknosa
buah pisang di penyimpanan pada kondisi Laboratorium. Jurnal Hortikultura 19(2) :
192-198.
Johannes, E. 2008. Isolasi, karakterisasi dan uji Bioaktifitas Metabolit Sekunder dari Hydrois
Aglaophenia cupressina L. Sebagai Bahan Dasar Anti Mikroba. Program Pascasarjana,
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Pratama, R.D., Yuliani., G. Trimulyo. 2015. Efektivitas ekstrak daun dan biji jarak pagar
(Jatropha curcas) sebagai antibakteri Xanthomoonas campestris penyebab penyakit
busuk buah hitam pada tanaman kubis. Lenterabio 4(1) : 112-118.
Rogis, A. , T. Pamekas., Mucharomah. 2007. Karakteristik dan uji efikasi bahan senyawa
alami chitosan terhadap patogen pascapanen antraknosa Colletotrichum musae. Jurnal
Ilmu-ilmu pertanian 9(1) : 58-63.
Soesanto loekas. 2015. Metabolit Sekunder Agensia Pengendali Hayati: Terobosan Baru
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman Perkebunan. Fakultas pertanian,
universitas jenderal soedirman, purwokerto
Suwarta, K., Efri dan Sudiono. 2005. Pengaruh Beberapa Konsentrasi Ekstrak Buah
Mengkudu (Morinda citrifolia L) Terhadap Keparahan Penyakit Antraknosa
(Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Pada Buah Alpukat. Kumpulan Abstrak
Jurusan Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian.Universitas Lampung.
Utama, I Made Supharta. 2006. Pengendalian Organisme Pengganggu Pascapanen Produk
Hortikultura dakam Mendukung GAP. Makalah disajikan pada Pemberdayaan Petugas
Dalam Pengelolaan OPT Hortikultura Dalam Rangka Mendukung Good Agriculture
Practices (GAP). Dilaksanakan oleh Dept. Pertanian, Dirjen Hortikultura, Direktorat
Perlindungan Tanaman Hortikultura di Bali Tanggal 3 – 8 Juli 2006.Pusat Pengkajian
Buah-buahan Tropika, Universitas Udayana, Bali.