RUANG PUBLIK AKTIVISME ONLINE and KELAS

RUANG PUBLIK, AKTIVISME ONLINE, & KELAS MENENGAH
INDONESIA1
Oleh
Wasisto Raharjo Jati / Peneliti di Pusat Penelitian Politik – LIPI

A. Pendahuluan
Adanya transisi platform internet yang semula berbasis Web 1.0 menjadi Web 2.0
memberikan dampak signifikan terhadap interaksi netizen di dunia maya. Salah satu
dampakmya adalah terbentuknya interaksi dua arah yang terjadi antara komunikan dengan
komunikator. Bahkan dalam era platform internet sekarang ini, dikotomi fungsi aktor tersebut
mungkin sudah memudar mengingat setiap netizen bisa berperan baik sebagai komunikan
maupun komunikator.
Munculnya sosial media merupakan pionir Web 2.0 tersebut dengan mendorong publik
untuk bisa berpartisipasi secara meluas dalam upaya mengartikulasikan aspirasi maupun juga
membuat alternatif saluran representasi politik baru masyarakat kepada negara. Dimulai dari
kemunculan email pada tahun 1990-an, yang kemudian dilanjutkan pada kemunculan MiRC
dan Friednster pada awal tahun 2000-an, terus berkembangnya dengan munculnya Facebook
dan Twitter pada tahun 2008. Berkembangnya fitur dan layanan platform sosial media itulah
yang kemudian mendorong publik untuk menjadi netizen aktif maupun pasif di media sosial.
Tercatat bahwa, 71,19 juta pengguna internet di Indonesia dengan mayoritas pengguna internet
adalah kelas menengah urban sebesar 83,4 persen berbanding dengan pertumbuhan 6 persen di

pedesaan. Dari sekian banyak juta netizen tersebut, mayoritas penguna adalah pengguna sosial
media dengan angka 85 persen melalui smartphone dan laptop mencapai 32 persen. Prosentase
intensitas frekuensi penggunaan media sosial tersebut seperti halnya Facebook (14 persen),
WhatsApp (12 persen), maupun Twitter (11 persen) (Jati, 2015).
Besarnya atensi publik dalam menggunakan sosial media itulah yang menjadikan internet
tampil sebagai ruang publik baru dalam masyarakat. Melalui sosial media, mereka dapat saling
membangun kohesivitas sosial maupun representasi politik baru. Hal terpenting dari kedua hal

Paper disampaikan pada “Unbreakable Discussion Series: Public Sphere and Online Activism” di Epikurian
Cafe, 9 Januari 2016.
1

itu adalah munculnya kesadaran politik kelas menengah yang besar sehingga mendorong
adanya advokasi dan aktivisme politik baik dalam skal kecil maupun besar. Selain halnya Oleh
karena itulah, penting disimak untuk melihat adanya bentuk ruang publik baru tersebut.
B. Ruang Publik dan Aktivisme Politik
Pembahasan mengenai ruang publik sendiri lebih mengarahkan pada bentuk arena inklusif
yang memnungkinkan adanya partisipasi meluas,

egaliter,


dan juga inklusif sehingga

mendorong masyarakat untuk membicarakan masalah kekinian

ruang publik dideskripsikan

dalam tiga ranah penting yakni 1) ruang publik sebagai arena. Makna tersebut mengindikasikan
bahwa ruang publik menyediakan basis komunikasi antar masyarakat. 2) ruang publik itu
adalah publik itu sendiri. Makna tersebut mengindikasikan bahwa publik adalah aktor penting
dalam menjalankan demokrasi dari tingkatan akar rumput. 3) ruang publik adalah agen.
Maksudnya ruang publik itu merupakan agen / alat penting dalam menyampaikan aspirasi dari
akar rumpur menuju bawah (Schuler & Day, 2004: 4-6).
Dengan kata lain, ruang publik dapat diartikan sebagai bentuk arena deliberasi nilai-nilai
demokrasi kekinian dalam relasi masyarakat. Eksistensi ruang publik sangat dipengaruhi oleh
konteks governance yakni adanya pembagian kekuasaan antara negara, pasar, dan masyarakat
secara lebih luas. Maka, ruang publik tersebut berada dalam domain kekuasaan masyarakat
sipil tersebut. Menguatnya peran ruang publik dan masyarakat sipil pada era post-otoritarian
ini di negara-negara demokrasi baru.


Hal itu berkembang seiring dengan berkembangnya

representasi popular di kalangan masyarakat. Berkembangnya representasi popular tersebut
dapat dianalisis dalam ketiga faktor yakni 1) semakin elitisnya pemerintahan paska otoritarian
yakni ditandai dengan menggejalanya praktik oligarki kekuasaan dan juga berkembangnua
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, 2) jaringan representasi politik dan artikulasi
kepentingan dari akar rumpur tidak berjalan secara maksimal dimana peran partai politik dan
media tidak berfungsi dengan baik, 3) liberalisasi politik tidak berlinier dengan liberalisasi
individu, adanya nalar majoritarian dalam demokrasi melemahkan eksistensi minoritas
(Tornquist & Stokke, 2009: 2-3).
Adanya ketiga faktor itulah yang mendorong adanya praktik representasi popular dari
masyarakat. Adapun secara harfiah, representasi popular dapat dianalisis dalam tiga faktor
tersebut yakni 1) publik sebagai demos, 2) masalah publik , 3) intermediary agent seperti
halnya forum warga (Tornquist & Stokke, 2009: 10). Pengedepanan semangat kewargaan
menjadi penting dikarenakan untuk menumbuhkembangkan adanya semangat representasi dan

partisipasi politik publik secara meluas.

Representasi terkait dengan upaya membangun


saluran artikulasi kepentingan publik kepeada tingkat negara, sedangkan partisipasi diartikan
sebagai keikutsertaan publik dalam mengawal isu tersebut agar menjadi sebuah produk
kebijakan.

Menurut Tornquist dan Stokke, representasi popular tersebut sebenarnya lebih

terkait dengan upaya pembuatan kebijakan publik yang lebih afirmatif kepada publik.
Penekanan terhadap kebijakan publik dikarenakan selama ini banyak kepentingan publik tidak
terwadahi secara meluas dan justru dibajak oleh kepentingan elite. Masalah-masalah publik
yang tidak tertampung aspirasinya dalam jalur politik formal, kemudian dialihkan melalui jalur
politik informal. Salah satunya adalah terbentuknya jejaring warga di media sosial yang kini
sedang mewabah di kalangan perkotaan.
Dibandingkan dengan penggunaan forum warga maupun institusi korporatisme masyarakat
lainnya, penggunaan media sosial dipandang lebih efektif dan efisien dalam menyampaikan
pesan politik secara efektif dan efisien. Bahkan media sosial kini menjadi alat advokasi dalam
memperjuangkan isu spesifik dalam masyarakat untuk diafirmasi dan dipenuhi pelaksanaannya
oleh negara.
C. Internet dan Media Sosial sebagai Ruang Publik Baru
Berbeda halnya dengan tawaran ruang publik yang ditawarkan oleh Habermas lebih pada
berbasis spasial sektoral seperti halnya kafe, alun-alun, restoran, dan lain sebagainya. Internet

melalui media sosial menawarkan ruang deliberasi meluas bagi masyarakat lintas negara, lintas
benua, maupun lintas etnis. Hal ini merupakan bentuk manifestasi dari adanya technoscape
yakni teknologi memudahkan adanya arena komunikasi bagi warga lintas benua untuk saling
berbagi dan mendiskusikan informasi tertentu sehingga berkembang menjadi isu global. Dalam
kasus Indonesia,

media sosial semula digunakan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan

leisure and pleasure, namun kini sudah berkembang menjadi kegiatan exposure advokasi
kegiatan politik.
Adanya transformasi fungsi media sosial tersebut merupakan bentuk implikasi dari adanya
berbagai macam advokasi politik

masyarakat

seperti halnya

kasus

#KoinCintaPrita,


#KPKvsPolri, #AkhirnyaMilihJokowi, dan lain sebagainya. Kesemuanya tagar pesan tersebut
merupakan

bentuk implikasi dari aktivisme online kelas menengah dalam menginisiasi dan

mengadvokasi adanya gerakan politik. Sosial media mendorong adanya egalitarian dan
voluntarisme bagi kelas menengah untuk bisa ikut berpartisipasi secara aktif dan meluas. Pada
dasarnya yang menjadi pendorong aktivisme politik kelas menengah dalam media sosial adalah

adanya kohesivitas sosial dan juga pembangunan jejaring yang cepat dan instan sehingga isu
tersebut dapat menjadi membesar. Selain halnya kohesivitas, pembangunan perasaan afeksi
juga menjadi faktor penting dalam membincangkan media sosial dan kelas menengah hari ini.
Kelas menengah dengan mudah bisa terbakar emosi, tersentuh hati, maupun meletup
semangatnya tergantung pada isu sosial – politik yang menjadi pembicaraan hangat dalam
masyarakat.
Dalam hal ini, membincangkan ruang publik cyberspace di Indonesia sangatlah tergantung
pada ketiga posisi ini yakni influencer, endorser, dan juga follower. Ketiga aktor tersebut
merupakan aktor berpengaruh dalam membentuk, membesarkan, mempengaruhi isu tertentu
untuk menjadi trending topics dalam media sosial. Bekembangnya ketiga aktor tersebut

sangatlah berpengaruh dengan preferensi politik kelas menengah Indoensia yang masih
bernuansa social proofing yakni berusah meniru dan menjadi bagian dari mayoritas dari
masyarakat.

Dengan kata lain, sebenarnya itu merupakan bentuk patronase yang masih

terpelihara dalam budaya politik masyarakat Indonesia yang masih subjektif-pasif.
Influencer biasanya adalah figur pengaruh yang berperan dalam menangkap isu dalam
masyarakat dan kemudian mengolahnya menjadi common interest.

Ada lebih dari dua

influencer yang menawarkan common interest untuk bisa ditawarkan menjadi masalah
bersama. Hal itu sekali lagi tergantung pada endorser yang bertugas untuk “mengesahkan” isu
tersebut menjadi masalah bersama. Peran endorser bisa datang dari kalangan media ataupun
NGO, namun bisa dari kalangan lainnya yang intinya bisa memberikan penilaian terhadap isu
tersebut.

Sedangkan followers sendiri adalah masyarakat kelas menengah itu yang menjadi


kelompok tersugesti melalui proses crafting isu tersebut.
Jika disimak secara lebih rinci, sebenarnya dalam cyberspace terdapat pola strukturasi isu
yang dikedepankan untuk ditanggapi oleh kelas menengah. Namun kemudian, logika
strukturasi tersebut bisa diubah dimana follower bisa menjadi endorser, sehingga terjadi proses
timbal balik atas keduanya. Kedua arus itulah yang sebenarnya kemudian menciptakan adanya
aktivisme online dalam kelas menengah Indonesia. Mereka berupaya untuk menciptakannya
adanya representasi popular

untuk mengadvokasi maupun juga berupaya untuk membuat

saluran partisipasi inklusif bagi masyarakat secara keseluruhan.
D. Kesimpulan: Tantangan Ruang Publik dan Aktivisme Online
Pada akhirnya, perbincangan mengenai aktivisme online kelas menengah Indonesia
berujung pada hal yakni slacktivism atau hacktivism. Pengertian pertama yakni, aktivisme

online hanya sekedar menjadi partisipan pasif dalam ruang cyberspace media sosial.
Masyarakat secara sadar politik, namun kesadaran itu hanya dalam dunia online saja,
sedangkan pengertian kedua adalah bentuk transformasi pesan aktivisme online menjadi
aktivisme offline. Adanya transformasi tersebut sebenarnya juga membutuhkan daya dan uaya
kuat bagaimana mengajak kelas menengah untuk menjadi gerakan politik jalanan kuat dalam

mendukung demokrasi.
Adanya isu dan figuritas kuat menjadi syarat penting dalam menyelaraskan ruang publik,
aktivisme online, dan juga gerakan demonstrasi jalanan. Ketiga alur tersebut merupakan mara
rantai yang tidak terpisahkan satu sama lainnya.

Selan itu, tantangan lain yang patut untuk

menjadi perhatian adalah adanya UU No.11 Tahun 2008 yang memuat banyak pasal karet
mengenai penangkapan orang karena pencemaran nama baik. Banyak pasal tersebut digunakan
untuk menjerat dan memenjarakan orang hanya karena tuduhan penyebaran dan pencemaran
nama baik, padahal hal itu belum tentu benar.
Kedua hal itulah yang mungkin menjadi dua tantangan besar dalam menganalisis ruang
publik internet di kasus kelas menengah Indonesia. Maka untuk kedepannya diperlukan riset
lebih elaboratif kembali mengenai prospek ruang publik cyberspace ini di Indonesia

E. Referensi
Jati, Wasisto. 2015. Prospek Politik Digital dalam Kelas Menengah Indonesia. Retrieved from
http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1012-wasisto-raharjo-jati.
Accesed 8 Januari 2016.
Schuler, Douglas & Day, Peter. 2004. Shaping the Network Society: The New Role of Civil

Society in Cyberspace. London: MIT Press.
Tornquist, Olle & Stokke, Kristian. 2009. Rethinking Popular Representation. London:
Palgrave MacMillan.