nyai dan pergundikan di HINDIA BELANDA

Kehidupan ‘Nyai’ dan Pergundikan di Hindia Belanda
Mata Kuliah : Sejarah Wanita
Dosen pengampu : Dr. Dyah Kumalasari, M.Pd

Disusun Oleh :
1. Devi Ciptyasari
2. Tio Anggara

11406244008
11406244015

Program Studi Pendidikan Sejarah
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta
2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat
limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas mata kuliah Sejarah Wanita yang berjudul Kehidupan ‘Nyai’ dan Pergundikan di

Hindia Belanda.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dosen pembimbing Dr. Dyah
Kumalasari M.Pd. Serta semua pihak yang telah membatu selesainya makalah ini.
Tentunya dalam menyusun makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk menjadi yang lebih
baik lagi. Selanjutnya semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk pembelajaran
kuliah dan untuk semua semua yang membaca. Amin.

Yogyakarta, 26 September 2013
Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Cornelis de Houtman pada tahun 1596 beserta armadanya berhasil berlabuh di
pantai utara Jawa dalam rangka mencari rempah-rempah yang sangat dibutuhkan di
negara-negara Eropa. Keberhasilan ini diikuti pelaut-pelaut Belanda lainnya.
Mayoritas penduduk kulit putih adalah bujangan. Jan Pieterzoen Coen (Gubernur
Jendral VOC tahun 1618-1623 dan tahun 1627-1629) yang menentang hubungan di

luar perkawinan mendukung kaum perempuan pendatang dari Negeri Belanda.
Namun dalam SK tahun 1632, Kompeni memutuskan untuk tidak mensponsori lagi
perempuan-perempuan yang hendak ke Hindia Belanda. Oleh karena itu Kompeni
menempuh kebijakan, lelaki Belanda diijinkan beristri penduduk Asia. Bahkan untuk
mendukung hal tersebut Kompeni membeli budak perempuan untuk dijadikan istri
bujangan.
Dalam era VOC orang Eropa selalu memerlukan ijin untuk menikah. Karena
keadaan ini menyebabkan banyak pergundikan, di mana lelaki Eropa (Belanda) hidup
bersama perempuan Asia tanpa pernikahan. Pejabat-pejabat VOC di kalangan yang
lebih tinggi umumnya mempunyai hubungan lebih erat dengan perempuan setempat
baik sebagai istri maupun gundik. Anak-anak mereka tumbuh dewasa dan menikah di
Hindia Belanda juga, khususnya anak-anak perempuan sangat dicari-cari untuk
dijadikan calon istri.
Sekalipun terjadi perkawinan resmi, pergundikan waktu itu merupakan hal
yang sering terjadi. Banyak istilah untuk menamakan gundik, dan yang paling umum
adalah “nyai”. Dalam istilah Belanda disebut huishoudster, bijzit, menagerie dan
meid. Seorang “nyai”bisa dikatakan tidak mempunyai hak apapun, tidak punya hak
atas anaknya, juga terhadap posisinya sendiri. Setiap saat ia dapat ditinggalkan begitu
saja oleh majikannya. Di kalangan ketentaraan seorang “nyai” kadang-kadang
diserahkan begitu saja kepada lelaki Eropa lainnya. Anak-anak hasil hubungan ini

sangat banyak jumlahnya. Mereka dengan mudah bisa ditinggalkan begitu saja oleh
bapaknya atau diserahkan ke panti asuhan, atau diambil dan dipisahkan dengan ibu
kandungnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang pergundikan?
2. Bagaimana kehidupan para Nyai?

3. Bagaimana akhir pergundikan di Hindia Belanda?
C. Tujuan
1. Mengetaui latar belakang pergundikan
2. Mengetahui kehidupan para Nyai
3. Mengetahui akhir pergundikan di Hindia Belanda

BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Pergundikan
Pergundikan adalah suatu praktik di masyarakat yang berupa ikatan hubungan
di luar perkawinan antara seorang perempuan (disebut gundik) dan seorang laki-laki
dengan alasan tertentu. Alasan yang paling umum biasanya adalah karena perbedaan

status sosial, ras, dan agama. Selain itu, pergundukan terjadi karena adanya larangan
dalam masyarakat untuk memiliki lebih dari satu istri.
Alasan lain yang muncul belakangan adalah strategi dari kaum pendatang agar
dapat diterima oleh masyarakat asli dengan cara menikahi masyarakat pribumi, selain
itu pendatang yang masuk ke nusantara sebagiannya tidak membawa istri sehingga
memperistri masyarakat pribumi atau hanya sekedar berhubungan tanpa setatus yang
lebih dikenal pergundikan.
Dalam kamus besar bahasa indonesia kata gundik diartikan sebagai berikut :
Gundik n 1 istri tidak resmi; selir; 2 perempuan piaraan (bini gelap);
-- candik berbagai-bagai gundik;
mem·per·gun·dik v mengambil sbg gundik; menjadikan gundik: pd zaman dulu
banyak raja ~ wanita-wanita desa yg cantik;
mem·per·gun·dik·kan v mengambil gundik; menjadikan gundik;
per·gun·dik·an n perihal gundik; perihal pemiaraan gundik
Latar belakang pergundikan di Hindia Belanda yaitu dimulai sejak kedatangan
para pegawai VOC di Nusantara. Pegawai VOC yang datang ke nusantara terdiri lakilaki Eropa yang masih lajang. Sehingga mereka memerlukan perempuan pribumi
untuk mengurusi rumah tangga, menemani tidur, dan menjadi ibu bagi anak-anak
mereka. Model kehidupan ini berlangsung dari abad ke abad. Gubernur Jenderal
Hindia Belanda ke-4, Jan Pieterszoon Coen, merasa kehidupan bersama antara lelaki
Eropa dengan budak perempuan pribumi mengarah kepada perilaku janggal, tidak

terkendali dan membahayakan kepentingan kolonial. Untuk itu ia mengeluarkan
larangan untuk memelihara seorang gundik di rumah, tempat tinggal, atau tempat
lainnya dengan penjagaan apapun yang terjadi. Pelarangan ini mulai berlaku pada 11
Desember 1620.
Pada tahun 1622 usaha untuk mengatasi kelangkaan perempuan Eropa
diantisipasi Coen dengan mendatangkan perempuan Eropa melalui Heren van de
Compagnie. Para perempuan yang akan didatangkan ke Hindia Belanda itu haruslah
para gadis atau perempuan muda yang berkelakuan baik dan diutamakan yang pernah
dididik secara ketat di panti asuhan. Sebelumnya juga Coen mengeluarkan kebijakan

membawa perempuan lajang Eropa ke Hindia Belanda dan mempunyai kewajiban
menikah dengan para pegawai VOC. Sebagai kompensasinya, mereka akan mendapat
pelayaran gratis beserta mas kawin.
Setelah berlangsung beberapa lama, ternyata usaha Coen tetap tak menuai
hasil. Jumlah pergundikan di wilayah kolonial ini tidak berkurang secara signifikan.
Apalagi, dia mendapati kenyataan bahwa perempuan lajang yang dahulu didatangkan
dari Eropa untuk kawin dengan pejabat VOC malah hanya membuat masalah.
Menurut dia, mereka hanya mabuk-mabukan dan bertindak di luar aturan Tuhan.
B. Kehidupan Para Nyai Pada Masa Hindia Belanda
Istilah nyai (nyahi) muncul mengacu pada bahasa Bali dengan arti perempuan

muda atau adik perempuan. Selain itu Nyai adalah sebutan umum di Jawa Barat,
khususnya bagi wanita dewasa. Namun, kata ini memiliki konotasinya lain pada
zaman kolonial Hindia Belanda. Ketika itu nyai berarti gundik, selir, atau wanita
piaraan para pejabat dan serdadu Belanda. Nyai bersinonim dengan gundik dan selir.
Baik nyai, gundik maupun selir, dalam KBBI, diartikan sebagai bini gelap, perempuan
piaraan, dan istri yang tidak pernah dikawini resmi. Bini Selir malah berarti istri yang
kedudukannya lebih rendah dari pasa istri terhormat (istri utama). Pergundikan di
Hindia-Belanda di kalangan laki-laki Eropa banya berbagai macam istilah sebutan
selain Nyai, yaitu moentji (mulut kecil), meubel (perabot), inventarisstuk (barang
inventaris), boek (buku), woondenboek (kamus), mina, sarina sebutan di Tangsi
KNIL, Deli Kartina di perkebunan Deli.
Sebutan ini muncul berberengan dengan kedatangan orang Eropa di Nusantara
pada abad XVII. Para perempuan dijadikan budak oleh orang Eropa dan dikondisikan
untuk menjelma nyai dan gundik demi kehidupan kaum lelaki Eropa. Kemunculan
nyai juga terkait dengan kesulitan mendatangkan kaum perempuan Eropa untuk
datang dan mau hidup di Hindia Belanda. Ketika itu Belanda telah memperlihatkan
karakteristik yang akan menjadi kebiasaan di pemukiman-pemukiman mereka di Asia,
sebuah kebiasaan yang tidak ada di negeri asal mereka, yaitu memiliki budak dan
menjadikan perempuan setempat sebagai gundik. Diawali oleh suatu kebijakan yang
melarang kedatangan para perempuan Eropa ke tanah Hindia, maka pergundikan ini

mulai berkembang. Perempuan-perempuan yang dijadikan gundik ialah para budak
perempuan di rumah tangga Eropa yang kebanyakan melakukannya dengan terpaksa.

Pada umumnya Nyai ditugaskan untuk bekerja sebagai pengurus dalam rumah
kehidupan antara dua budaya yang sangat jauh berbeda. Hal inilah yang
mengakibatkan nyai hanya dianggap sebagai pemuas nafsu, selain mengurus rumah
tangga. Namun nyai tetap bertindak sebagai kepala rumah tangga. Pembantupembantu lain dan kuli-kuli kontrak patuh dan tidak berani membantahnya. Wanita
pribumi begitupun nyai sangat piawai dalam masalah obat-obatan tradisional dari
tanaman atau akar alami. Sehingga walaupun mereka hidup serumah bersama lakilaki Eropa, saat menderita sakit ringan mereka lebih senang menggunakan obatobatan tradisional daripada berkonsultasi pada dokter yang mendalami ilmu
kedokteran barat. Bidang ini memberi kekayaan pengetahuan pada wanita.
Nyai dan gundik memiliki peran penting dalam menginformasikan dan
mengajarkan pelbagai hal tentang Nusantara pada lelaki Eropa. Mereka juga
menyerap bahasa, pengetahuan, dan kultur Eropa untuk ditransmisikan pada kaum
pribumi. Memasuki abad ke-19, muncul suatu titik balik terhadap pergundikan,
dimana pada awalnya pergundikan merupakan suatu sistem paksa bagi para budak
pribumi, menjadi suatu kesukarelaan dari mereka.
Meski peraturan pemerintah pada 1818 telah melarang perdagangan budak
internasional (berkaitan dengan penjualan budak rumah tangga di Hindia Belanda),
namun perbudakan nasional di Hindia Belanda baru benar-benar dihapuskan pada
1860. Akhirnya, para pemuda Eropa yang senang dengan dunia pergundikan harus

mencari gundik atau nyai mereka di antara orang-orang pribumi bebas atau bukan
budak. Kepengurusan rumah tangga merupakan sarana yang tepat untuk menjalani
kebiasaan ini dengan mudah.
C. Akhir Pergundikan Di Hindia Belanda

Sekitar tahun 1870 pembudidayaan tanaman ekspor meledak dan perkebunanperkebunan bermunculan. Untuk mencari daerah yang cocok asisten perkebunan bahkan
menjajaki daerah-daerah yang cukup terpencil. Oleh karena itu untuk asisten perkebunan
dicari yang masih bujangan. Di samping biaya hidup lebih ringan, seorang istri (Eropa)
dianggap tidak cocok hidup sebagai perintis. Baru setelah enam tahun diijinkan menikah.
Tahun 1922 barulah larangan itu dihapus. Tetapi bukan berarti selama itu mereka hidup
sendiri. Mereka bisa hidup bersama dengan seorang “nyai”, yang akan mengajari bahasa
dan adat istiadat setempat. Merupakan hal yang biasa apabila seorang asisten perkebunan
setelah enam tahun cuti dan pulang ke negeri Belanda untuk menikah. Setelah kembali

bersama istrinya, mau tidak mau harus menghadapi masa lampau seorang bekas “nyai”
dan anak-anak sebelumnya (voorkinderen, anak sebelum bapaknya menikah/anak dengan
“nyainya”).
Memudarnya Pergundikan Di Hindia Belanda :
a. Pergundikan di hindia belanda mulai surut pada saat Jepang masuk.
b. Merupakan hal yang biasa ketika masa jabatan para pegawai eropa habis, mereka

kemudian pulang ke negeri Belanda. Ada yang membawa serta nyai dan anaknya.
Namun banyak juga yang hanya membawa anaknya saja
c. Para nyaipun kembali mengalami masa sulit karena mereka harus menanggung beban
ekonomi sendiri dan kehidupan sosial disekitarnya yang mengecapnya sebagai bekas
nyai.

BAB III

PENUTUP
Kesimpulan
Latarbelakang kemunculan pergundikan di indonesia muncul pada masa pemerintahan
hindia belanda hal ini dikarenakan berbagai alasan. Diantaranya adalah 1). Kedatangan orang
eropa tidak semuanya membawa isteri sehingga mereka menjadikan orang pribumi sebagai
isteri atau hanya sekedar gundik, 2). Perkawinan antara orang eropa dengan masyarakat
pribumi sebagai salah satu strategi untuk mendapatkan simpati masyarakat nusantara, 3).
Serta karena kultur nusantara yang secara tidak langsung melarang lelaki memiliki lebihdari
satu isteri.
Status sosial seorang gundik/nyai memiliki derajat yag lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita pribumi lainnya, namun dari segi sikologis dan moralitas nyai/gundik hanya
dianggap sebagai wanita rendahan bagi lelaki belanda. Pada dasarnya meskipun ststus sosial

gundik meningkat tapi hal tersebut tidak membawa perubahan yang bersifat positif karena
gundik disini hanya seorang budak bagi lelaki belanda.

DAFTAR PUSTAKA

Baay, Reggie. 2010. Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda. Depok: Komunitas
Bambu
Hayu Adi Darmarastri. 2006. Nyai Batavia. Yogyakarta: CV Centra Grafindo
Hellwig, Tineke. 2007. Citra Perempuan di Hindia Belanda. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24