Pengaruh Penetapan Sni Gempa 2012 Pada (1)

PENGARUH PENETAPAN SNI GEMPA 2012 PADA DESAIN
STRUKTUR RANGKA MOMEN BETON BERTULANG DI
BEBERAPA KOTA DI INDONESIA
Yoyong Arfiadi

ABSTRAK
Dalam tulisan ini ditinjau pengaruh beban gempa pada struktur rangka momen beton
bertulang akibat pemberlakuan SNI 1726: 2012 (SNI Gempa 2012). Mengingat SNI
Gempa 2012 mengacu pada ASCE/SEI 7-10 dan IBC 2009, sedangkan SNI 03-17262002 (SNI Gempa 2002) mengacu pada UBC 1997, maka perlu diperhatikan perbedaan
gaya gempa yang mungkin timbul akibat diberlakukannya peraturan yang baru ini. Untuk
itu spektra desain yang ada dalam SNI Gempa 2012 dibandingkan dengan spektra
desain dalam SNI Gempa 2002, untuk 22 kota-kota di Indonesia yaitu: Yogyakarta,
Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Surakarta, Denpasar, Medan, Banda Aceh,
Padang, Makassar, Palu, Manado, Palembang, Jayapura, Bogor, Depok, Tangerang
(termasuk Tangerang Selatan), Bekasi, Mataram, Kupang, dan Ambon.
Dari
perbandingan tersebut, tampak bahwa beberapa kota mengalami kenaikan nilai spektra
desain, sedangkan beberapa kota mengalami penurunan nilai spektra desainnya.
Kenaikan dan penurunan terjadi baik untuk spektra desain pada perioda pendek maupun
perioda 1 detik. Dari hasil perbandingan spektra desain, umumnya selisih terbesar
antara spektra desain berdasarkan SNI Gempa 2012 dan SNI Gempa 2002 adalah pada

kondisi tanah keras (situs klas C), kemudian berkurang untuk tanah sedang (situs klas
D), dan selisih yang terkecil adalah pada kondisi tanah lunak (situs klas E). Selanjutnya
diambil contoh perencanaan gaya gempa untuk kota Denpasar, yang mewakili
penurunan nilai spektra percepatan desain yang cukup signifikan. Dalam hal ini
penentuan gaya geser dasar ditentukan dengan memperhatikan koefisien modifikasi
respons gempa yang sesuai berdasarkan SNI Gempa 2012 dan SNI gempa 2002. Hasil
analisis menunjukkan nilai gaya internal akibat SNI Gempa 2012 masih lebih kecil, tetapi
perbedaannya semakin kecil pula. Hal ini dikarenakan kombinasi pembebanan pada SNI
Gempa 2012 memperhitungkan pengaruh gempa vertikal dan faktor redundansi struktur.
Mengingat hal ini, maka kenaikan nilai gaya internal diprediksi akan terjadi pada kotakota yang mengalami kenaikan spektra respons percepatan. Untuk kota-kota yang
mengalami kenaikan spektra desain yang cukup besar tersebut diperlukan perhatian
khusus terhadap gedung-gedung yang telah didesain berdasarkan SNI Gempa 2002.
Kata kunci: SNI Gempa 2012, perbandingan spektra desain, koefisien modifikasi
respons, rangka momen beton bertulang

1. PENDAHULUAN
SNI 1726-2012: tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan
gedung dan non gedung (selanjutnya disebut SNI Gempa 2012) telah disahkan oleh
Badan Standardisasi Nasional yang menjadi dasar perencanaan struktur tahan gempa di


Indonesia. Standar ini menggantikan SNI 1726-2002: tata cara perencanaan ketahanan
gempa untuk bangunan gedung (selanjutnya disebut SNI Gempa 2002).
SNI Gempa 2012 didasarkan pada studi yang dilakukan oleh Irsyam dkk. (2010) dan
telah mengacu pada standard dan peraturan terkini di negara maju, khususnya Amerika
Serikat (AS), yaitu ASCE/SEI 7-2010 (2010) dan FEMAP 750 (Building Seismic safety
Council, 2009). Kejadian-kejadian gempa besar setelah SNI 03 1726-2002 disusun,
misal gempa Aceh 2004 (Mw = 9,2), gempa Yogya (Mw = 6,3), gempa Nias 2005 (Mw =
8,7) dan Padang 2009 (Mw = 7,6) merupakan salah satu sebab perlunya dibuat peta
gempa yang baru (Irsyam dkk., 2010). Studi ini telah memperhatikan katalog gempa
terbaru sampai dengan tahun 2009 dan telah memperhatikan fungsi atenuasi yang
sesuai, termasuk fungsi atenuasi dari NGA (Next Generation Attenuation) model.
Perubahan pada standar gempa Indonesia merupakan suatu lompatan karena SNI
Gempa 2002 sebenarnya mengacu pada UBC 1997. Sedangkan di AS sendiri sebelum
diterbitkannya ASCE/SEI 7-10, telah digunakan standar ASCE 7-05, yang berbeda
dengan UBC 1997 dan SNI Gempa 2002.
Penentuan peta gempa menurut ASCE 7-05 didasarkan pada analisis bahaya seismik
probabilistik (probabilistic seismic hazard analysis = PSHA) dan analisis bahaya gempa
deterministik (deterministic seismic hazard analysis). Dalam hal ini analisis bahaya
seismik probabilistik didasarkan pada 2% kemungkinan terlampaui dalam kurun waktu
50 tahun, atau gempa dengan perioda ulang sekitar 2500 tahun. Sedangkan analisis

bahaya seismik deterministik dalam ASCE 7-05 diambil sebagai 1,5 kali median
respons spektral percepatan untuk suatu karakteristik gempa pada patahan aktif yang
diketahui dalam suatu wilayah tertentu. Dengan gempa ini, maka bangunan yang
direncanakan sesuai ASCE 7-05 merupakan bangunan dengan bahaya yang seragam
(uniform hazard), tetapi akan mempunyai kemungkinan keruntuhan
(collapse
probability) yang tidak seragam (Luco dkk., 2007, Building Seismic Safety Council,
2012).
Dalam ASCE/SEI 7-10 peta gempa didasarkan pada analisis bahaya seismik
probabilistik dan deterministik. Analisis bahaya gempa probabilistik dalam ASCE/SEI 710 didasarkan pada gempa dengan risiko tertarget. Gempa maksimum
yang
dipertimbangkan risiko tertarget (MCER) diambil sebagai yang terkecil dari goncangan
tanah probabilistik dan deterministik. Sedangkan untuk analisis bahaya seismik
deterministik, ASCE/SEI 7-10 menggunakan 84th percentile ground motion dan diambil
sama dengan 1,8 nilai mediannya. Pengambilan gempa dengan risiko tertaget dalam
perencanaan diharapkan menghasilkan rerata frekuensi keruntuhan tahunan yang
seragam secara geografis, yaitu dengan 1% risiko keruntuhan dalam 50 tahun.
Perbedaan lain antara ASCE/SEI 7-10 dan ASCE 7-05 adalah dalam ASCE 7-05
digunakan geometric mean ground motion untuk 2 arah horisontal goncangan tanah
yang berbeda, sedangkan dalam ASCE/SEI 7-10 digunakan maximum-direction ground

motion (Building Seismic Safety Council, 2012).
Dalam SNI Gempa 2012 terdapat dua parameter yang penting dalam peta gempa yaitu
parameter respons spektral percepatan gempa tertimbang maksimum redaman 5% pada
perioda pendek (Ss), dan parameter respons spektral percepatan gempa tertimbang
maksimum redaman 5% pada perioda 1 detik (S1). Nilai Ss dan S1 yang dihitung
didasarkan pada fungsi-fungsi atenuasi atau persamaan prediksi goncangan tanah yang
dianggap sesuai.

2. PENGARUH KLASIFIKASI SITUS
Mengingat nilai Ss dan S1 adalah nilai percepatan pada batuan dasar, diperlukan suatu
faktor amplifikasi tertentu untuk memodifikasi nilai-nilai tersebut sesuai dengan kondisi
tanah yang ada. Faktor amplifikasi untuk percepatan ada perioda pendek (Fa) dan factor
amplifikasi pada perioda 1 detik (Fv) diambil sesuai dengan Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Koefisien situs perioda pendek Fa
Klasifikasi situs

Batuan keras (SA)
Batuan (SB)
Tanah sangat padat dan batuan lunak
(SC)

Tanah sedang (SD)
Tanah lunak (SE)
Tanah khusus (SF)

Ss 
0,25
0,8
1,0
1,2

Ss =
0,5
0,8
1,0
1,2

Ss
Ss =
0,75
0,8

1,0
1,1

1,6
2,5
SS

1,4
1,7
SS

1,2
1,2
SS

Ss =
1,0
0,8
1,0
1,0


Ss ≥
1,25
0,8
1,0
1,0

1,1
0,9
SS

1,0
0,9
SS

Tabel 2. Koefisien situs perioda panjang Fv
Klasifikasi situs

Batuan keras (SA)
Batuan (SB)

Tanah sangat padat dan batuan lunak
(SC)
Tanah sedang (SD)
Tanah lunak (SE)
Tanah khusus (SF)

S1 
0,1
0,8
1,0
1,7

S1 =
0,2
0,8
1,0
1,6

S1
S1 =

0,3
0,8
1,0
1,5

S1 =
0,4
0,8
1,0
1,4

S1 ≥
0,5
0,8
1,0
1,3

2,4
3,5
SS


2
3,2
SS

1,8
2,8
SS

1,6
2,4
SS

1,5
2,4
SS

Notasi SS pada Tabel 1 dan 2 menunjukkan situs yang memerlukan investigasi
geoteknik spesifik dan analisis respons spesifik.
Dengan memperhatikan Tabel 1 dan 2, parameter spektrum respons percepatan yang

telah disesuaikan dengan pengaruh klasifikasi situs (jenis tanah), baik untuk perioda
pendek maupun perioda 1 detik, dapat dihitung dengan persamaan:
SMS  Fa Ss
SM1  Fv S1

(1)
(2)

dengan SMS = parameter respons spektral percepatan gempa tertimbang maksimum
dengan risiko tertarget (MCER) pada perioda pendek yang sudah disesuaikan terhadap
pengaruh kelas situs, SM1 = parameter respons spektral percepatan gempa tertimbang
maksimum dengan risiko tertarget (MCER) pada perioda 1 detik yang sudah disesuaikan

dengan pengaruh kelas situs, Fa = koefisien situs untuk perioda pendek (pada perioda
0,2 detik), dan Fv = koefisien situs untuk perioda panjang (pada perioda 1 detik).

3. PARAMETER SPEKTRA DESAIN
Parameter spektral percepatan desain pada perioda pendek dan perioda 1 detik dihitung
dengan persamaan sebagai berikut:
2
SMS
3
2
 SM1
3

SDS 

(3)

SD1

(4)

dengan SDS = parameter respons spektral percepatan pada perioda pendek dengan 5%
redaman kritik, SD1 = parameter respons spektral percepatan pada perioda 1 detik
dengan 5% redaman kritik, SMS = parameter respons spektral percepatan MCER pada
perioda pendek yang sudah disesuaikan terhadap pengaruh kelas situs, dan SM1 =
parameter respons spektral percepatan MCER pada perioda 1 detik yang sudah
disesuaikan dengan pengaruh kelas situs.

4. PERBANDINGAN SPEKTRA DESAIN BEBERAPA KOTA
Dengan diberlakukannya SNI Gempa 2012, tentu akan mempengaruhi perencanaan
bangunan terhadap pembebanan gempa. Untuk itu spektra desain beberapa kota
dibandingkan untuk melihat sejauh mana perbedaan spektral respons percepatannya.
Perbandingan spektra desain dilakukan untuk 22 kota di Indonesia, yaitu: Yogyakarta,
Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Surakarta, Denpasar, Medan, Banda Aceh,
Padang, Makassar, Palu, Manado, Palembang, Jayapura, Bogor, Depok, Tangerang
(termasuk Tangerang Selatan), Bekasi, Mataram, Kupang, dan Ambon. Data ini
merupakan pengembangan dari data sebelumnya (Arfiadi dan Satyarno, 2013). Spektra
percepatan desain untuk SNI Gempa 2012 diambil berdasarkan perangkat lunak Desain
Spektra
Indonesia
(2013),
yang
dapat
dilihat
pada
situs
http://puskim.pu.go.id/Aplikasi/desain_spektra_indonesia_2011/. Dalam SNI Gempa
2002, walaupun notasi SDS dan SD1 tidak dikenal, diambil padanan: (a) bagian datar nilai
C pada SNI Gempa 2002 sebagai SDS, dan (b) angka pada bagian lengkung di T = 1
detik pada SNI Gempa 2002 sebagai nilai SD1. Dengan pendekatan padanan ini maka
khusus untuk tanah lunak dalam SNI 2002 nilai SDS akan sama dengan SD1.
4.1.

Klas situs SE (tanah lunak)

Nilai-nilai SDS dari SNI Gempa 2002 dan SNI Gempa 2012 untuk 22 kota di Indonesia
dibandingkan seperti terlihat pada Gambar 1. Sedangkan rasio nilai SDS SNI Gempa
2012 terhadap SNI Gempa 2002 dapat dilihat pada Gambar 2. Label angka pada
Gambar 1 menunjukkan nilai SDS untuk SNI Gempa 2012. Dari Gambar 1 dan 2 tampak
bahwa ada beberapa kota yang mengalami kenaikan nilai SDS dan ada beberapa kota
yang mengalami penurunan nilai SDS pada kondisi tanah lunak.
Kenaikan nilai SDS terbesar terjadi pada kota Palu sebesar 1,39 kali SDS SNI gempa
2002. Yang menarik adalah penurunan nilai SDS untuk kota Banda Aceh dan Padang,
yang telah dilanda gempa besar pada tahun 2006 dan 2009 setelah diberlakukannya
SNI Gempa 2002. Nilai SDS kota Palu dan Bandung juga lebih besar dari kota Banda
Aceh dan Padang.

Penurunan nilai SDS tanah lunak yang cukup signifikan terjadi pada kota Denpasar dan
Manado, yaitu berturut-turut 0,67 dan 0,69 kali nilai SDS pada SNI Gempa 2002.

Gambar 1. SDS tanah lunak SNI Gempa 2002 dan SNI Gempa 2012

Gambar 2. Rasio SDS tanah lunak

Untuk nilai SD1 tanah lunak, kota yang mengalami kenaikan adalah Palu dan Semarang,
sedangkan kota-kota lain umumnya mengalami penurunan nilai SD1 atau hampir sama.
Kota-kota yang mengalami penurunan signifikan nilai SD1 pada tanah lunak adalah
Kupang, Makassar, Denpasar, Tangerang dan Manado, dengan rasio penurunan
berturut-turut sebesar 0,62; 0,65; 0,67; 0.67; dan 0,69.

Gambar 3. SD1 tanah lunak SNI Gempa 2002 dan SNI Gempa 2012

Gambar 4. Rasio SD1 tanah lunak

4.2.

Klas situs SD (tanah sedang)

Nilai-nilai SDS dan rasio SDS untuk tanah sedang dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.
Hampir sama dengan SDS pada tanah lunak, nilai SDS tanah sedang beberapa kota
umumnya mengalami kenaikan. Rasio kenaikan terbesar terjadi pada kota Semarang
dan Palu (Gambar 6). Sedangkan nilai SDS terbesar pada kota yang diamati adalah di
kota Palu.

Gambar 5. SDS tanah sedang SNI Gempa 2002 dan SNI Gempa 2012

Dari Gambar 5, tampak pula bahwa nilai SDS tanah sedang kota Bandung, Jayapura dan
Ambon lebih besar daripada nilai SDS kota Banda Aceh dan Padang. Sedangkan kotakota yang mengalami penurunan SDS tanah sedang yang cukup signifikan adalah kotakota Palembang, Tangerang, Tangerang Selatan, Denpasar, Makassar, dan Medan
dengan rasio penurunan berturut-turut 0,74; 0,83; 0,85; 0,87; 0,87 dan 0,88.

Gambar 6. Rasio SDS tanah sedang

Untuk SD1 tanah sedang, sebagian besar kota mengalami kenaikan nilai SD1 seperti
tampak pada Gambar 7 dan 8. Hal ini agak berbeda dengan nilai SD1 pada tanah lunak
di mana sebagian besar kota mengalami penurunan nilai SD1.

Gambar 7. SD1 tanah sedang SNI Gempa 2002 dan SNI Gempa 2012

Untuk kondisi tanah sedang ini, nilai SD1 terbesar dan kenaikan terbesar juga terjadi
pada kota Palu. Berbeda dengan kondisi pada tanah lunak, pada kondisi tanah sedang
nilai SD1 kota Bandung lebih kecil dari SD1 kota Banda Aceh dan Padang. Rasio
penurunan terbesar untuk SD1 tanah sedang terjadi pada kota Kupang dan Denpasar
dengan rasio berturut-turut 0,71 dan 0,80.

Gambar 8. Rasio SD1 tanah sedang

4.3.

Klas situs SC (tanah keras)

Untuk kondisi tanah keras, nilai SDS sebagian besar mengalami kenaikan seperti terlihat
pada Gambar 9 dan 10. Kota yang mengalami kenaikan terbesar adalah Semarang dan
Palu yang mengalami kenaikan sebasar 2,18 kali nilai SDS pada SNI Gempa 2002. Kotakota yang mengalami penurunan nilai SDS pada kondisi tanah keras di antaranya adalah
Denpasar, Medan, Makassar, Palembang dan Tangerang.

Gambar 9. SDS tanah keras SNI Gempa 2002 dan SNI Gempa 2012

Gambar 10. Rasio SDS tanah keras

Untuk nilai SD1 pada kondisi tanah keras, hampir semua kota mengalami kenaikan nilai
SD1, kecuali untuk kota Denpasar dan Kupang seperti ditunjukkan pada Gambar 11 dan
12. Rasio kenaikan terbesar terjadi pada kota Semarang dan Palu, yaitu berturut-turut
sebesar 2,15 dan 2,10.

Gambar 11. SD1 tanah keras SNI Gempa 2002 dan SNI Gempa 2012

Gambar 12. Rasio SD1 tanah keras

Mengamati rasio nilai SDS dan SD1 dari Gambar 2, 4, 6, 8, 10, dan 12, tampak bahwa nilai
rasio baik SDS maupun SD1 meningkat dengan meningkatnya klas situs, yaitu dari tanah
lunak, tanah sedang dan tanah keras. Hal ini berarti untuk kota yang mengalami
kenaikan nilai SDS atupun SD1 maka semakin meningkat kekerasan tanah akan semakin
besar rasio kenaikan nilai SDS maupun SD1. Sebaliknya untuk kota-kota yang mengalami
penurunan nilai SDS dan SD1 pada SNI Gempa 2012, rasio penurunan akan semakin kecil
(selisih semakin besar) jika kekerasan tanah berkurang.

5. PERENCANAAN GAYA GESER DASAR
Gaya geser dasar seismik
persamaan:

dalam arah yang ditetapkan dapat

dihitung

V  Cs W

dengan

(5)

dengan C s = koefisien respons seismik, dan W = berat seismik efektif.
Koefisien respons seismik dihitung berdasarkan persamaan:
Cs 

SDS
R / Ie 

(6)

dengan R = koefisien modifikasi respons (Tabel 9, SNI Gempa 2012), dan Ie = faktor
keutamaan gempa (Tabel 2, SNI Gempa 2012).
Nilai Cs yang dihitung dengan persamaan (6) tidak perlu lebih besar dari
SD1
Cs 
TR / Ie 
dengan T = perioda fundamental struktur.

(7)

Nilai Cs minimum ditentukan dengan persamaan:
Cs min  0,044SDS Ie  0,01

Untuk daerah dengan nilai S1  0,6 g , nilai Cs minimum harus diambil sebesar:
0,5 S1
Cs min 
R / Ie 

(8)

(9)

Nilai koefisien modifikasi respons R dalam SNI Gempa 2012 tergantung dari jenis
struktur penahan gaya seismik. Sedangkan sistem penahan gaya seismik yang dapat
dipilih perencana ditentukan berdasarkan KDS (Kategori Desain Seismik).
KDS ditentukan berdasarkan level spektral percepatan S1 dan Ss, atau SD1 dan SDS,
serta kategori risiko dari bangunan yang akan dirancang. Kategori risiko bangunan
ditentukan berdasarkan jenis pemanfaatan bangunan tersebut. Untuk bangunan dengan
pemanfaatan yang kurang penting mempunyai kategori risiko yang rendah. Kategori
risiko untuk bangunan gedung dan non gedung dapat dilihat pada Tabel 1 SNI Gempa
2012.
Jika S1 >0.75 g dan pemanfaatan gedung termasuk ke dalam kategori risiko I/II/III,
maka KDS E; sedangkan untuk bangunan dengan pemanfaatan kategori risiko IV, maka

KDS F. Untuk nilai spektral percepatan yang rendah, yaitu jika S1  0,04 g dan Ss  0,15
g, maka KDS A.
Untuk nilai spektral percepatan yang lain, KDS ditentukan berdasarkan nilai SDS dan SD1
sesuai dengan Tabel 3 dan 4, dan dipilih yang paling menentukan (yang tingkatannya
paling tinggi). Tabel 3 dan 4 merupakan adopsi dari Tabel 6 dan 7 SNI Gempa 2012.

Tabel 3. Kategori Desain Seismik (KDS) berdasarkan kategori risiko dan SDS
Nilai SDS
SDS < 0,167
0,167  SDS

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52