BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian 2.1.1 Perspektif Interpretivisme - Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa S

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian

2.1.1 Perspektif Interpretivisme Interpretivisme merupakan perspektif teori dalam konstruktivisme.

  Perspektif ini adalah salah satu bagian dari paradigma yang menolak keberadaan paradigma positivistik. Interpretivisme ini berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada pengalaman orang yang diteliti (Newman, 1997:68). Metodologi seperti ini disebut fenomenologi, yaitu berbagai bentuk objek simbolis yang dihasilkan dari tindakan sosial manusia: percakapan, ungkapan, pikiran, pendapat, persepsi, perasaan dan keinginan. Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan hanya sekedar hubungan sebab akibat yang memang sudah pasti, pemahaman makna ini barang tentu tidak dapat diukur semata secara kuantitatif melainkan kualitatif (Vardiansyah, 2008:60).

  Fenomena sosial adalah bangunan menyeluruh, yang tidak dapat dipilah- pilah, serta bermakna: bersifat kontekstual, konfliktual dan dialektis. Karena itu fenomena sosial adalah berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik, tergantung konteks situasional dan manusia pelakunya, maka dari itu hasil penelitian dengan paradigma atau perspektif interpretivisme ini tidak boleh digeneralisasikan sebagaiman yang dilakukan positivisme, subjek dan objek penelitian merupakan kesatuan interaksi, karenanya menuntut keterlibatan langsung peneliti di lapangan serta menghayati berprosesnya subjek pendukung penelitian. Interpretivisme ini menuntut pendekatan holistik dan menyeluruh: mengamati objek dalam konteks keseluruhan, tidak diparsialkan, tidak dieliminasi dalam variabel-variabel guna mendapatkan pemahaman lengkap apa adanya, karena objek bukan mekanik tetapi humanistis, penelitian tidak bebas nilai, karena memang tidak ada aspek sosial yang benar-benar bebas nilai (Subjektif).

2.2.1 Komunikasi Antarbudaya

2.2.1.1 Pengertian Komunikasi Antarbudaya

  Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, minum, tindakan sosial, ekonomi dan politik juga dilakukan berdasarkan pola kebudayaan yang kita dianut oleh masing-asing individu. Hal ini menunjukkan bahwa semua tindakan komunikasi kita sesuai dengan konsep budaya yang mendarah daging dalam tubuh kita. Dengan demikian budaya tidak bisa dipisahkan dari komunikasi, karena budaya itu sendiri tidak hanya mencakup siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana komunikasi tersebut berlangsung, akan tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana seseorang menyandi pesan, menyampaikan pesan, serta bagaimana konteks dan situasi dalam proses pengiriman pesan, dan proses penafsiran akan pesan tersebut sampai pada akhirnya menemukan makna dibalik pesan. Jadi komunikasi antarbudaya adalah proses komunikasi yang terjadi diantara dua orang atau lebih, dengan latar belakang budaya yang berbeda. Inilah yang menjadi ciri khas dari komunikasi antarbudaya.

  Komunikasi Antarbudaya selalu mempunyai tujuan tertentu yakni menciptakan komunikasi yang efektif melalui pemaknaan yang sama melalui pesan yang dipertukarkan. Dengan demikian, untuk mencapai komunikasi yang efektif itu, individu-individu yang saling berkomunikasi itu haruslah mempunyai makna yang sama terhadap pesan yang disampaikan dan diterima. Secara umum tujuan komunikasi antarbudaya antara lain menyatakan identitas sosial dan menjembatani perbedaan antarbudaya melalui perolehan informasi baru, mempelajari sesuatu yang baru yang tidak pernah ada dalam kebudayaan. Intensifitas kita dalam Komunikasi antarbudaya mampu mengubah persepsi dan sikap kita terhadap lawan bicara kita (Liliweri, 2004:254).

  Komunikasi antarbudaya memiliki perbedaan dari bentuk komunikasi lainnya. Perbedaan tersebut terletak pada latar belakang pengalaman yang relatif Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda budaya, maka akan berbeda pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya. Ada syarat-syarat pokok yang diperlukan individu untuk berkomunikasi secara efektif antar budaya. Syarat-syarat itu adalah : 1. Menghormati anggota budaya lain sebagai budaya, 2. Menghormati budaya lain apa adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki, 3. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak (Mulyana, 2005:6-7).

  Sebagaimana kita ketahui bahwa budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Budaya bertanggung jawab atas perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Namun yang sering menjadi masalah adalah ketika makna yang disandi oleh seseorang dengan budayanya berbeda dengan penyandian balik oleh lawan bicaranya. Cara menilai budaya lain dengan nilai-nilai budaya sendiri dan menolak mempertimbangkan norma-norma budaya lain akan menentukan keefektifan komunikasi yang akan terjadi. Disatu pihak ada orang-orang yang sekaligus mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang lain, dipihak lain ada juga orang-orang yang tidak mengetahui dan menerima, sehingga kemungkinannya tinggi sekali untuk mengalami kegagalan komunikasi.

2.2.1.2 Asumsi-Asumsi Komunikasi Antarbudaya

  Komunikasi Antarbudaya merupakan salah satu kajian dalam ilmu komunikasi, karena memang komunikasi antarbudaya itu memindahkan fokus dari kebudayaan yang satu pada kebudayaan yang dibandingkan, menghubungkan kebudayaan dengan komunikasi, serta membawa kita untuk memperhatikan bahwa kebudayaan yang mendarah daging dalam diri setiap individu mampu mengubah perilaku individu tersebut. hal ini jelas didukung oleh adanya “asumsi- asumsi” teoritik. Asumsi tidak terlepas dari teori, dimana teori itu sendiri diartikan sebagai alat keilmuan yang bertujuan untuk menerangkan hubungan antara berbagai aktivitas manusia yang diamati. sehari-hari, hal inilah yang disebut dengan asumsi, dan dengan adanya asumsi ini orang-orang akan mampu memberikan batas-batas bagi penerapan sebuah teori. Jdi, asumsi teori komunikasi antarbudaya berarti seperangkat pernyataan yang menggambarkan sebuah lingkungan yang valid, tempat dimana sebuah teori komunikasi antarbudaya dapat diterapkan atau diaplikasikan. Berikut ada beberapa asumsi teori komunikasi antarbudaya, yaitu:

  1. Komunikasi Antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan

2. Dalam komunikasi antarbudya terkandung isi dan relasi antarpribadi 3.

  Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi 4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian 5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan 6. Efektifitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya

2.2.2 Persepsi

  Manusia diberi kemampuan oleh Tuhan untuk mempersepsikan apa yang dia lihat dan dia rasakan dari pengalaman dilingkungan tempat dia hidup. Persepsi-persepsi tersebut berasal dari kebudayaan yang mengajarkan kepada individu untuk mencipta, merasa, dan mengkarsa. Jadi kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang turut menentukan persepsi manusia. Berbeda kebudayaan, maka berbeda pula persepsi yang dimiliki oleh masing- masing individu tersebut. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan. Komunikasi antarbudaya akan lebih dapat dipahami sebagai perbedaan budaya dalam mempersepsi objek-objek sosial dan kejadian-kejadian.

  Perbedaan kerangka berpikir dan pengalaman seseorang (Frame of

  

reference dan Field of experience) menyebabkan perbedaan model komunikasi

  yang dihasilkan. Dan jika dilihat ke belakang, sebenarnya perbedaan tersebut merupakan hasil dari budaya setiap orang yang berbeda. Model komunikasi yang berbeda menyebabkan perbedaan dalam pemaknaan sesuatu. Dan salah satu persepsi masing-masing pihak yang berkomunikasi. Tidak hanya itu, faktor pendukung seperti kebiasaan-kebiasaan, aturan-aturan, sikap pola perilaku, yang semua tercakup dalam perbedaan budaya juga menjadi kendala dalam berkomunikasi antar budaya.

  Komunikasi antara dua orang atau lebih juga akan dipengaruhi oleh iklim komunikasi, antara komunikator dengan komunikan adalah berbeda. Prinsip- prinsip yang terkandung dalam perbedaan latar belakang kebudayaan dan juga iklim komuniaksi diantara individu, umumnya mengimplikasikan bahwa hambatan komunikasi antarbudaya acapkali tampil dalam bentuk perbedaan persepsi terhadap nilai-nilai budaya, norma budaya, pola berpikir dan sistem budaya (Liliweri, 2004:15). Bahkan masalah-masalah yang kecil dalam komunikasi pun sering sekali diperumit oleh perbedaan-perbedaan persepsi ini, jadi mau atau tidak, kita harus paham apa kerangka persepsi dari lawan bicara kita. Belajar bagaimana mempersepsi dunia. Karena dalam komunikasi antarbudaya yang efektif dan ideal itu, yang diharapkan adalah adanya persamaan dalam pengalaman dan persepsi. Namun yang menjadi masalah adalah ketika kita dihadapkan dengan budaya, maka jarang kita menemukan yang namanya persamaan dalam pengalaman dan persepsi.

  Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari luar atau lingkungan eksternal kita (Lubis, 2012). Dengan kata lain persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Secara umum bisa kita lihat bahwa bagaimana orang berperilaku itu adalah hasil dari bagaimana persepsinya terhadap dunia. Inilah yang disebut dengan pengalaman budaya mereka. Kita cenderung memperhatikan, memikirkan dan memberikan respon kepada unsur-unsur lingkungan kita yang penting bagi kita. Misalnya, ketika anak-anak dari penduduk Amerika serikat digabung dengan anak-anak dari penduduk Meksiko, dan dihadapan mereka ada dua jenis pertandingan yang berlangsung, baseball dan adu banteng, secara keseluruhan anak-anak melaporkan bahwa mereka melihat pemaandangan yang adu banteng dan anak-anak Amerika Serikat cenderung melihat pertandingan

  

baseball . Apa yang terjadi adalah bahwa anak-anak membuat pilihan berdasarkan

  latar belakang budaya mereka; mereka cenderung untuk melihat, menyenangi dan melaporkan apa yang biasa bagi mereka (Samovar,2010: 222).

  Persepsi juga membicarakan bagaimana kita memberikan makna pada stimuli yang dikecap oleh alat indera kita. Kebudayaan juga sangat mempengaruhi persepsi, sebab apa yang dianggap sama oleh seorang individu, belum tentu dianggap sama oleh individu yang lain. Misalnya, pada masyarakat yang menitikberatkan kekayaan, akan membagi masyarakat dalam dua kelompok : orang kaya dan orang miskin. Sementara pada masyarakat yang mengutamakan pendidikan akan membagi masyarakat dalam dua golongan yaitu : kelompok terdidik dan tidak terdidik. Pengelompokan budaya erat kaitannya dengan label ; dan yang kita beri label yang sama cenderung untuk kita persepsi sama. Agama, Ideologi, intelektualitas,tingkat ekonomi, pekerjaan dan citra rasa sebagai faktor- faktor internal akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap realitas yang ada (Rakhmat, 2007:61).

  Dengan demikian, persepsi itu terikat oleh budaya dan bersifat subjektif. Semakin besar perbedaan kebudayaan seseorang dengan orang lain, maka akan semakin besar perbedaan persepsi diantara mereka terhadap suatu realitas (Liliweri,2001: 15). Oleh sebab itu, sangat jarang kita temui dua orang yang mempunyai persepsi yang persis sama, karena memang persepsi itu terikat pada budaya yang mendarah daging dalam diri masing-masing. Ada unsur-unsur yang mempunyai pengaruh besar dan langsung atas makna-makna yang dibangun dalam persepsi seseorang yang dibentuk terhadap orang lain ketika berkomunikasi. Unsur-unsur tersebut terdiri atas system kepercayaan (belief), nilai (value), sikap (attitude), pandangan dunia (world view), dan organisasi sosial (social organization). Unsur-unsur tersebut mempengaruhi persepsi manusia dan makna yang dibangun dalam persepsi tersebut. (Liliweri, 2001:160).

  Hampir semua pernyataan manusia baik yang ditujukan pada diri sendiri atau pun yang ditujukan pada orang lain dinyatakan dengan lambang atau simbol. Hubungan antara pihak yang ikut serta didalam suatu proses komunikasi banyak ditentukan oleh lambang-lambang yang digunakan dalam berkomunikasi. Lambang atau simbol adalah hasil kreasi manusia dan sekaligus menunjukkan tingginya kualitas budaya manusia dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Diantara semua bentuk simbol, bahasa merupakan simbol yang paling rumit, halus dan berkembang. Lambang ini bukan hanya tergambar dalam bentuk verbal saja, yang menggunakan kata-kata (bahasa lisan atau tertulis), tetapi juga sangatlah penting untuk meyakinkan lambang verbal dengan lambang non verbal, seperti gerakan anggota tubuh, bunyi-bunyian, bau-bauan. Lambang membawa pernyataan dan diberi makna oleh penerima, karena itu memberi makna terhadap lambang yang dipakai dalam berkomunikasi bukanlah sesuatu hal yang mudah, melainkan suatu persoalan yang cukup rumit (Cangara, 2005:50). Proses pemberian makna terhadap suatu lambang yang diterima ini sangat dipengaruhi oleh faktor budaya dan juga psikologis, karena sebuah pesan yang disampaikan dengan lambang yang sama, bisa saja berbeda arti bilamana individu yang menerima pesan itu berbeda dalam kerangka berpikir dan kerangka pengalaman.

  “Meskipun kita hidup dalam satu bahasa yang sama (Inggris), tetapi kita banyak berbeda dalam kerangka budaya (McNamara, 1966).” Bahasa menjadi media yang utama dalam budaya untuk menyampaikan maksud dan tujuan melalui interaksi di antara individu dalam melihat realitas sosial. Bagimana otak menanggapi stimuli yang diterima, kemudian masuk dalam tahap proses berpikir untuk memberikan sebuah makna atas stimuli, hingga pada akhirnya mengekspresikan makna lewat pendapat, yang disebut dengan persepsi. Bahasa yang berbeda sebenarnya mempengaruhi pemakainya untuk berpikir, melihat lingkungan, dan alam semesta di sekitarnya dengan cara yang berbeda, dan karenanya berperilaku secara berbeda pula. Benjamin Lee Whorf (1956) menyatakan pandangannya bahwa (1) Tanpa bahasa kita tidak dapat berpikir; (2) Bahasa mempengaruhi persepsi; (3) Bahasa mempengaruhi pola berpikir kitalah yang memberikan makna terhadap kata-kata itu, dan makna yang kita berikan pada satu kata bisa lebih dari satu atau dua makna, tergantung pada konteks ruang dan waktu. Kata-kata yang membangkitkan makna dalam pikiran orang. Jadi makna ada di kepala bukan pada lambang atau simbol. Contoh, orang Sunda menggunakan kata bujur yag berarti “pantat”, ternyata bagi orang Batak Karo itu artinya “Terimakasih”, dan “benar” bagi orang di Kalimantan Selatan. Bagaimana jika dua, tiga orang ini berkomunikasi, apa yang akan terjadi? Kemungkinan akan tergambar seperti ilustrasi di bawah ini: Seorang cowok Batak dan cewek Sunda berada di sebuah angkutan kota.

  Si cowok berlagak sok akrab dengan cewek terseebut dan ia langsung membayar ongkos si cewek. “Biarin saya yang bayar, Neng.” Si cewek tidak bisa berbuat apa-apa. “Terima kasih, Mas” katanya. Si cowok pun menjawab, “Bujur kembali”. Tentu saja si cewek marah dan menamparkan uang ke wajah si cowok, sambil berucap, “Enak saja, nih uangmu!” Menurut Gudykunst dan Kim (1984) untuk mencapai komunikasi yang efektif, maka komunikator harus mengetahui apa yang ingin dibicarakan, sehingga pesan yang ingin disampaikan jelas dan membuat komunikan bisa menerima dengan cermat. Pola berpikir seorang individu yang berasal dari budaya lain dituntut untuk bisa memahami sebagaimana budaya lawan bicaranya (Lubis, 2012). Dengan mengerti pola-pola dasar pengetahuan verbal dan non verbal dari suatu kebudayaan, kita dapat mengetahui sikap-sikap dasar dari kebudayaan tersebut. Misalnya dengan memperhatikan cara pemberian salam dari pihak keluarga laki-laki dalam acara pernikahan adat Batak Toba, terhadap keluarga perempuan, kita dapat melihat dan mempelajari sedikit tentang sikap orang batak yang sangat menghormati pihak pemberi isteri. Dengan demikian, kita juga bisa melihat bagaimana sistem nilai suatu budaya.

2.2.2.2 Pandangan Dunia (World View)

  Pandangan dunia berkaitan dengan orientasi suatu budaya terhadap hal-hal seperti Tuhan, kemanusiaan, alam semesta, juga masalah filosofis lainnya. Pandangan dunia ini membantu kita untuk mengetahui posisi dan tingkatan kita dalam alam semesta. Oleh karena pandangan dunia begitu kompleks, kita sulit pandangan seorang kristiani dengan muslim, dengan khatolik, juga dengan seorang atheis. Pandangan dunia sangat mempengaruhi budaya. Efeknya sering sekali dalam hal-hal yang tampak nyata dan remeh seperti pakaian, isyarat dan perbendaharaan kata. Pandangan dunia mempengaruhi kepercayaan, nilai, sikap, penggunaan waktu dan banyak aspek budaya lainnya, sehingga pandangan dunia ini pun akhirnya mempengaruhi komunikasi antarbudaya, oleh karena sebagai anggota suatu budaya setiap pelaku komunikasi mempunyai pandangan dunia yang tertanam dalam pada jiwa yang sepenuhnya dianggap benar dan ia otomatis menganggap bahwa pihak lain juga memandang dunia sama seperti pandangannnya.

  a.

  Sistem Kepercayaan Pada dasarnya, manusia yang memiliki naluri untuk menghambakan diri kepada yang Maha Kuasa, yaitu dimensi lain di luar dirinya dan lingkungannya, yang dianggap mampu mengendalikan hidup manusia. Dorongan ini sebagai akibat atau refleksi ketidakmampuan manusia dalam menghadapi tantangan- tantangan hidup, dan hanya Yang Maha Kuasa saja yang mampu memberikan kekuatan dalam mencari jalan keluar dari permasalahan hidup dan kehidupan.

  Dalam komunikasi antarbudaya, tidak ada hal yang benar dan hal yang salah sejauh itu berkaitan dengan kepercayaan. Sistem kepercayaan ini merupakan produk manusia sebagai homo religius. Manusia yang memiliki kecerdasan pikiran dan perasaan luhur tanggap bahwa diatas kekuatan dirinya terdapat kekuatan lain yang maha besar. Karena itu manusia takut sehingga menyembahnya dan lahirlah kepercayaan yang sekarang menjadi agama. Fungsi sosial agama adalah memperkuat struktur sosial dan prinsip-prinsip moral, secara keseluruhan berfungsi untuk memperbaiki akhlak manusia. Agama menjelaskan apa yang seharusnya dan memadukannya dengan alam dan sekitar. Pada dasarnya peranan agama dalam etnis manapun merupakan unsur utama karena agama mengandung nilai-nilai universal yang berisikan pendidikan dan pembinaan dan pembentukan moral dalam keluarga. Misalnya seseorang percaya bahwa hembusan angin dapat mengarahkan perilakunya ke arah yang benar, maka kita menghadapi kepercayaan tersebut bila kita ingin menjalin komunikasi yang baik dengan orang tersebut.

  b.

  Nilai Menjelaskan apa itu suatu nilai bukanlah hal yang mudah. Setidak-tidaknya bisa kita katakan bahwa nilai itu bagi kita adalah sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu hal yang kita inginkan dan pastinya semua itu adalah sesuatu yang baik. Nilai selalu mempunyai konotasi positif. Sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan berharga (nilai kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai moral) dan juga nilai religius. Tidak pernah ada komunitas masyarakat yang terbentuk dan berdiri tanpa adanya sistem nilai. Nilai dalam masyarakat tercakup dalam adat kebiasaan dan tradisi, yang secara tidak sadar diterima dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat. Dalam suatu komunitas masyarakat yang secara cepat mengalami perubahan, nilai menjadi bahan pertentangan. Nilai mempunyai tiga ciri, sebagai berikut: 1). Nilai berkaitan dengan subjek. Kalau tidak ada subjek yang menilai, maka tidak akan ada nilai. 2). Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, dimana subjek ingin membuat sesuatu. 3). Nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambah oleh subjek pada sifat-sifat yang dimiliki objek (Bertens, 2004: 139).

  Tidak bisa dipungkiri bahwa nilai sering dikacaukan dengan keyakinan dan juga kepercayaan. Keyakinan itu berisi kepercayaan pada suatu argumentasi yang sungguh-sungguh dianggap benar. Keyakinan tidak butuh bukti empiris. Nilai- nilai adalah perasaan-perasaan tentang apa yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan, atau tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh. Dalam suatu komunitas mayarakat, setiap individu akan mengikuti nilai-nilai yang sudah ditanamkan oleh leluhurnya. Mereka akan menjunjung tinggi nilai itu sehingga menjadi salah satu faktor penentu untuk berperilaku. Dalam hal ini, seorang anggota dalam suatu komunitas masyarakat tertentu dan yang terdahulu, akan memberitahukan nilai apa yang berlaku dalam komunitas itu, memberitahukan apa yang boleh dilakukan dan hal yang tabu atau tidak boleh dilakukan. tidak tersebar secara sembarangan, tetapi menunjukkan serangkaian hubungan yang bersifat timbal balik, yang menjelaskan adanya tata tertib dalam suatu komunitas masyarakat. Jadi, nilai-nilai itu tidak bersifat universal karena kecenderungannya berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya. Misalnya, dalam komunitas masyarakat suku Batak Karo, ada satu nilai yang dipegang kuat, yaitu menantu perempuan tidak boleh mengajak berbicara mertuanya laki-laki. Ternyata nilai seperti ini tidak berlaku bagi masyarakat suku Batak Toba. Tidak ada batasan dalam masyarakat suku Batak Toba untuk bicara kepada mertua atau menantunya, namun yang pasti berbicaralah dengan sopan.

  Wujud nilai lainnya yang berlaku bagi kedua suku ini adalah sistem kekerabatan yang sangat kuat, dalam bahasa Batak Toba dikatakan Dalihan Na

  Tolu , sementara dalam suku Batak Karo disebut Sangkep Sitelu, Artinya, ada tiga

  golongan kedudukan yang sama dan sederajat di dalam sub suku Batak, ketiga golongan inilah yang melahirkan istilah-istilah kekerabatan dalam masyarakat batak yang harus diutamakan dan dihormati. Golongan pertama yaitu Menghormati dan sujud pada pihak pemberi isteri dalam suatu perkawinan, “Somba marhula-hula” (Batak Toba), “Kalimbubu” (Batak Karo), golongan kedua adalah tetap berhati-hati dan menjaga persaudaraan yang baik dengan Saudara/i kandung kita, “manat mardongan tubu”(Batak Toba), “Senina” (Batak Karo), golongan ketiga adalah menghormati serta bisa mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga anak-anaknya, serta orangtua dari suaminya (bagi anak perempuan yang telah menikah), disebut “Elek marboru” (Batak Toba), Beru (Batak Karo). Dalam sub suku Batak Toba, ketiga golongan ditambah lagi dengan satu pelengkap, yaitu Sopan dan baik dalam persahabatan satu kampung. Istilah kekerabatan yang kita temukan di dalam sub suku Batak Karo juga jauh berbeda dengan sub suku Batak Toba, Simalungun, Angkola- Mandailing dan Pakpak Dairi. Demikianlah sedikit perbedaan yang bisa dijelaskan penulis, dari sekian banyak perbedaan yang ada diantara kedua sub suku Batak tersebut. Sehingga terbersit dalam pikiran penulis, bagaimana menjalin hubungan lebih dari sekedar teman diantara kedua sub suku Batak simbol, nilai budaya dan juga adat istiadat diantara keduanya.

  Menurut Williams (1960), dalam sistem nilai tersebut, kadang-kadang terdapat berbagai konsepsi yang hidup di dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang dianggap bernilai dalam hidup. Nilai-nilai budaya adalah aspek penilaian daripada sistem kepercayaan, nilai dan sikap. Nilai-nilai tersebut pada dasarnya bersifat normatif, yang dapat menjadi rujukan kepada anggota budaya tentang perkara yang baik, buruk, benar, salah, positif, negatif dan sebagainya. Nilai-nilai budaya ini juga menekankan perilaku-perilaku yang penting dan yang harus dikesampingkan. Nilai budaya menjadi suatu pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia dalam suatu komunitas masyarakat. Nilai-nilai budaya adalah sesuatu aturan yang tersusun untuk membuat pilihan- pilihan dan mengurangkan konflik dalam masyarakat. Sistem nilai budaya itu demikian kuatnya meresap dan berakar dalam jiwa masyarakat, sehingga sulit diganti atau diubah dalam waktu yang singkat (Soelaeman, 2005).

  c.

  Perilaku Dengan adanya sistem nilai dan juga kepercayaan yang dipegang oleh setiap individu, maka berbeda juga perilaku yang dilahirkan. Sikap adalah suatu keadaan internal atau keadaan yang masih ada dalam diri manusia. Keadaan internal ini berupa keyakinan yang diperoleh dari sebuah proses belajar dari kebudayaan, proses akomodasi dan asimilasi pengetahuan yang mereka dapatkan, sebagaimana telah dikemukakan oleh Peaget’s tentang perkembangan kognitif manusia (Wadworth, 1971)akses tanggal 09 Maret 2013

  Keyakinan diri yang ada dalam diri individu inilah yang mempengaruhi respon pribadi terhadap obyek dan lingkungan sosialnya. Jika kita yakin bahwa mencuri adalah perbuatan tercela, maka ada kecenderungan dalam diri kita untuk menghindar dari perbuatan mencuri atau menghidar terhadap lingkungan pencuri. Jika seseorang meyakini bahwa dermawan itu baik, maka mereka merespon positif terhadap para dermawan, dan bahkan mungkin ia akan menjadi dermawan. Sekilas, di atas terlihat bahwa antara sikap dan perilaku ada kesamaan. Namun, kehidupan manusia yang menurut Wikipedia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau genetika. Sedangkan prilaku itu sendiri adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Para psikolog, di antaranya Morgan dan King, Howard dan Kendler, Krech, Crutchfield dan Ballachey, mengatakan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan hereditas. diakses tanggal

  09 Maret 2013 Secara hereditas, misalnya, mempengaruhi kecerdasan, kemampuan sensasi, dan emosi jiwa. Sistem ini juga mempengaruhi mekanisme biologis, tetapi juga psikologis. Sehingga beberapa tahun terakhir ini banyak juga manusia yang berusaha mengendalikan perilaku manusia melalui manipulasi genetis. Oleh karena itu sangatlah penting untuk kita ketahui pengaruh biologis terhadap perilaku yang terbentuk dalam diri seorang individu. Namun secara faktor lingkungan, perilaku yang terbentuk itu adalah proses belajar dari pendidikan yang didapat, nilai dan budaya masyarakat, politik, dan sebagainya. Bagaimana seorang anak berperilaku dan bagaimana ia memandang dunia adalaah tergantung bagaimana anak tersebut dididik dalam sebuah keluarga yang menanamkan sistem nilai, kepercayaan dan mewarisi kebudayaan yang akan melekat pada diri si anak. Dengan kata lain, perilaku itu timbul dari bagaimana pandangan dunia yang tertanam dalam pribadi si anak, yang sepenuhnya dianggap benar dan mengenggap bahwa pihak lain juga memandang cara yang sama seperti dirinya.

  Cara bagaimana suatu budaya mengorganisasikan dirinya dan lembaga- lembaganya juga mempengaruhi bagaimana anggota-anggota budaya itu mempersepsi dunia dan bagaimana mereka berkomunikasi. Ada dua organisasi sosial yang turut berperan dalam pembentukan individu, mengembangkan wawasan individu dan mewariskan budaya dalam diri individu, yaitu keluarga dan sekolah.

  a). Keluarga Keluarga adalah organisasi sosial terkecil dalam suatu budaya, namun memiliki pengaruh yang cukup besar. Dalam suatu lembaga sosial, keluarga ini merupakan salah satu institusi non formal yang paling berperan dalam mengembangkan seorang anak. Keluarga memberikan banyak pengaruh budaya kepada anak, bahkan sejak pembentukan sikap pertamanya. Keluarga juga yang membimbing anak dalam memilih kata-kata hingga komunikasi dengan dialeknya. Melalui keluarga, individu belajar mengenal kebudayaannya dan menilai kebudayaannya paling baik dibandingkan dengan kebudayaan etnis lain.

  Menurut Galvin dan Bromel (1991), keluarga adalah institusi dasar dan tertua dibandingkan yang lainnya. Keluargalah yang menjadi dasar dari segala sesuatunya, dimana anak dilahirkan, dibesarkan dan juga dididik sebaik mungkin, diwarisi nilai-nilai dan juga budaya yang berlaku, hingga akhirnya individu itu paham dan dewasa, membentuk keluarga sendiri, yang pada akhirnya akan mewarisi hal yang sama pada anak-anaknya (Lubis, 2012). Hal-hal seperti disebutkan diatas sering disebut dengan fungsi keluarga sebagai lembaga sosialisasi. Dimana dalam keluarga, anak diajak dan diberitahu bagaimana harus hidup bersama dengan orang lain, diajak dan diberitahu bagaimana anak harus hadir dalam kehidupan yang luas di kalangan masyarakat. Dalam keluarga, kita diajari bagaimana menyapa orang lain dengan sebutan ibu guru, bapak guru, dan lain-lain. diakses tanggal 2013-03-12.

  Dari keluargalah kita belajar mengenal ada sopan santun yang harus dipakai di tengah-tengah kehidupan bersama. Dengan demikian, anak yang lahir Dalam interaksi, anak diajak mempelajari status dan peranan masing-masing anggota. Ayah, ibu, kakak dan adik, dan mereka mempunyai peranan yang berbeda. Dengan demikian, secara perlahan-lahan anak ditatapkan pada kehidupan nyata yang ada di masyarakat yang kompleks dengan status dan peranan. Namun, walau demikian, interaksi komunikasi antara keluarga yang satu dengan keluarga lainnya juga bisa terhambat, apalagi dengan keluarga yang berbeda latar belakang budaya, karena memang setiap keluarga mempunyai persepsi masing-masing yang tentunya berbeda antara satu dengan lainnya dalam menanamkan pandangan, nilai-nilai yang pada akhirnya terwujud dalam bentuk perilaku (Lubis, 2012:78). Proses belajar dalam kehidupan keluarga akan sangat mempengaruhi pandangan atau perspektif seorang individu pada dunianya sendiri dan dunia lain.

  b). Sekolah Sekolah adalah organisasi sosial lainnya yang juga berpengaruh. Sekolah diberikan tanggung jawab besar dalam mewariskan dan memelihara suatu budaya.

  Banyak hal yang diajarkan di sekolah, namun apapun yang diajarkan di sekolah,

  pelajaran itu ditentukan oleh budaya tempat sekolah itu berada. Menurut Webster (1991), sekolah merupakan tempat atau institusi/lembaga yang secara khusus didirikan untuk menyelenggarakan proses belajar-mengajar atau pendidikan.

  Sebagai institusi, sekolah merupakan tempat untuk engajar murid-murid, tempat untuk melatih murid, memberikan instruksi tentang keterampilan dan keilmuan di lapangan. Berdasarkan pendapat itu, maka sekolah terdiri dari dua bagian, yaitu secara fisik yaitu bangunan-bangunannya, dan secara non fisik terdiri dari sistem- sistem hubungan diantara mereka yang bertugas untuk mengaajar dan yang diajar. Kedua bagian tersebut saling berkaitan satu dengan yang lainnya, misalnya seorang tenaga pengajar akan berhasil mensosialisasikan nilai-nilai dengan sempurna apabila didukung dengan adanya fasilitas yang mamadai (Lubis, 2012).

  Dengan demikian berarti sekolah yang merupakan lembaga formal tidak kalah pentingnya dengan lembaga non formal keluarga. Sekolah itu memelihara kebudayaan dengan menceritakan atau meregenerasikan kepada murid atau siswa apa yang telah terjadi (sejarah), memberikan fakta-fakta, menanamkan nilai-nilai kebudayaan. Jadi, sekolah merupakan salah satu agen sosialisasi norma dan nilai, sekolah merupakan tempat lembaga (institusi) pendidikan yang menyelenggarakan seluruh kegiatannya baik praktis maupun substantif.

  Terkait dengan fungsi sekolah sebagai salah satu agen sosialisasi nilai dan norma, maka masyarakat akan menghadapi dua msalah, yaitu: (1) keadaan sosial budaya yang turut mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan, sebagimana kita ketahui bahwa masyarakat indonesia adalah masyarakat yang majemuk yang terlihat dari keanekaragaman suku, agama, golongan dalam masyarakat. Hal ini tentunya turut mewarnai pola-pola kontak, interaksi, relasi dan komunikasi intrabudaya maupun antarbudaya sehingga orang indonesia lebih menyukai hubungan-hubungan “kekeluargaan, kekerabatan dan kesukuan”. Sekolah umum yang menampung anak didik dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda sering sekali mengahadapi konflik antar etnik, yaang berujung pada komunikasi non efektif. Hal ini terbkti dari pendirian lembaga atau sekolah yang berkaitan erat dengan kepentingan suatu kelompok etnik tertentu, satu suku, satu agama, satu ras, dan sama golongan. (2) Keadaan di bidang pendidikan. Semakin hari semakin banyak lemabaga yang beridiri untuk memajukan anak didik dari segi keterampilan dan bakat, seperti SMK, STM dan lainnya.

  Ada tiga nilai yang disosialisasikan dalam lembaga pendidikan atau sekolah, yaitu (1) profesionalisme, dimana seorang individu itu dibina untuk menguasai seccara tuntas bidang keahliannya, yang disertai dengan komitmen dan dorongan untuk mencapai prestasi setinggi-tingginya, (2) toleransi terhadap keanekaragaman, yaitu menghargai adanya perbedaan pendapat. Kurikulum sekolah dapat memasukkan pelajaran muatan materi antar etnik, apakah itu mengenal kebudayaan suku bangsa lain. Materi antaretnik berwawasan, kognisi; misalnya materi yang membuka wawasan anak didik untuk mengetahui, memahami dan menguraikan komponen kebudayaannya sendiri dengan kebudayaan lain dalam masyarakat, (3) keterbukaan, yaitu kesediaan dan kesiapan untuk menerima informasi, gagasan dan nilai-nilai baru yang konstruktif tanpa memaksakan dari mana asal gagasan dan nilai tersebut. dengan demikian kita mengutamakan peningkatan dan pengembangan kemampuan anak didik untuk mampu memandang dunia dari berbagai perspektif. Jadi, anak didik diharuskan untuk mengetahui dan menghargai hakikat nilai, struktur, sistem, fungsi, ajaran dogma sesuai kepercayaan antarbudaya. Selain sekolah, peranan organisasi kemasyarakatan seperti serikat tolong menolong, arisan dan perkumulan sosial lainnya juga mempengaruhi individu dalam mempersepsi sesuatu. Disini jugalah individu mencoba untuk saling belajar dan memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat pada masing-masing budayanya.

2.2.3 Hambatan dalam Komunikasi Antarbudaya

  Dalam kenyataannya, manusia tidak dikatakan berinteraksi apabila tidak terjadi komunikasi. Setiap komunikasi yang terjadi pasti memiliki tujuan yaitu mencapai pemahaman yang sama diantara komunikator dan komunikan. Sama halnya dengan komunikasi antarbudaya yang mempunyai tujuan yakni mencapai komunikasi yang efektif dengan adanya penafsiran serta pemahaman yang sama terhadap suatu rangsangan atau stimuli. Tujuan komunikasi antarbudaya ini akan tercapai apabila bentuk-bentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk memperbaharui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan dan memperbaharui manajemen komunikasi yang efektif, adanya semangat kesetiakawanan, persahabatan, hingga kepada mengurangi konflik.

  Efektifitas komunikasi antarbudaya tergantung pada situasi dan hubungan sosial antara komunikator dengan komunikan yang berbeda latar belakang kebudayaan, terutama dalam luasnya lingkup pengalaman diantara mereka. Pengertian bersama terhadap suatu rangsangan yang muncul adalah hal yang sangat penting sekali, bahkan menentukan dalam proses komunikasi. Menurut William Howell (1982) dalam buku Lubis (2012), setiap individu mempunyai tingkat kesadaran dan kemampuan yang berbeda dalam menjalin komunikasi antarbudaya. Tingkat kesadaran dan kemampuan itu dibagi kedalam empat kemungkinan, seperti tabel dibawah ini:

  Hubungan antara kesadaran dan kemampuan Berkomunikasi Antarbudaya

  SADAR bahwa TIDAK SADAR MAMPU bahwa MAMPU

  TIDAK SADAR bahwa TIDAK SADAR bahwa TIDAK MAMPU MAMPU

  Sumber: Lubis (2012) 1.

  Seseorang sadar bahwa dia tidak mampu memahami budaya orang lain.

  Kesadaran ini dapat mendorong orang untuk melakukan eksperimen bagi komunikasi antarbudaya yang efektif. Dengan adanya kesadaran maka seseorang akan mencari tahu bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan orang lain di luar buadyanya sendiri.

  2. Dia sadar bahwa dia mampu memahami budaya orang lain. Kesadaran akan kemampuan itu dapat mendorong untuk memahami, melaksanakan, memelihara dan mengatasi komunikasi antarbudaya. Komunikasi efektif akan tercapai dengan adanya kesadaran kemampuan memahami budaya orang lain, sehingga akan sangat sedikit peluang untuk hambatan komunikasi antarbudaya seperti stereotip, persepsi, etnosentrisme, dan diskriminasi.

  3. Dia tidak sadar bahwa dia mampu memahami budaya orang lain. Dia sebenarnya mempu berbuat untuk memahami orang lain, dan kemungkinan orang lain menyadari kemampuannya itu. Sikap seperti ini juga tidak baik, karena dalam kondisi tertentu akan membuat dia untuk lebih menarik diri dari suatu pergaulan, karena adanya rasa tidak percaya diri dalam hatinya, yang disebabkan oleh ketidaksadarannya terhadap kemampuan yang dimiliki.

  4. Dia tidak sadar bahwa dia tidak mampu menghadapi perbedaan antarbudaya. Seseorang sama sekali tidak menyadari bahwa sebenarnya dia tidak mampu mengahadapi perilaku budaya orang lain. Pribadi seperti ini sering menjadi masalah dalam komunikasi antarbudaya, dimana hubungan komunikasi antarbudaya tersebut. Setiap manusia pasti ingin menjalin sebuah komunikasi yang efektif, supaya apa yang disampaikan bisa dimengerti orang lain dengan baik. Demikian juga halnya dalam hubungan komunikasi antarbudaya. Namun, ada beberapa hal yang menjadi penghambat bagi kita untuk mencapai sebuah komunikasi efektif, seperti prasangka sosial, stereotip, diskriminasi dan juga etnosentrisme yang tinggi. Hal ini jelas akan menghambat, karena semua faktor tersebut memandang pada self-centre, yang membuat seseorang memaksakan apa yang dipikirkan pada orang lain.

2.2.3.1 Prasangka Sosial

  Prasangka Sosial merupakan satu bentuk sikap yang secara psikologis menjadi sangat penting dalam hubungan interaksi dalam masyarakat. Interaksi Sosial

dalam komunitas masyarakat akan sangat rentan bagi munculnya prasangka sosial,

yang dapat mengarah pada perilaku-perilaku yang merusak keharmonisan hubungan

antarkelompok dalam masyarakat.

  Istilah prasangka sering digunakan untuk menggambarkan kecenderungan untuk menganggap hal lain dengan cara negatif. Menurut Effendy (1981), prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat bagi suatu kegiatan komunikasi oleh karena orang-orang yang mempunyai prasangka, belum apa-apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang sedang menyampaikan pesan (Liliweri, 2001: 175). Prasangka sosial merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan, yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka hanya hasil dari ketidakmampuan individu untuk menyadari keterbatasan dalam berpikir etnosentris dan stereotip-nya. Johnson (1986) dalam Liliweri (2001), menyatakan bahwa prasangka disebabkan karena: (1) gambaran perbedaan antara kelompok; (2) nilai yang dimiliki kelompok lain nampaknya sangat menguasai kelompok minoritas; (3) adanya stereotip; (4) karena perasaan superior pada kelompok sendiri atau adanya etnosentrisme.

  Brislin dalam Lubis (2012), menyatakan bahwa prasangka itu mencakup hal-hal berikut: memandang kelompok lain lebih rendah, sifat memusuhi kelompok lain dalam waktu tertentu, namun menjaga jarak pada saat lain. Sebenarnya hingga derajat tertentu, kita berprasangka terhadap suatu kelompok. Hal ini tidak bisa dipungkiri, kita tidak bisa tidak berprasangka. Dengan adanya prasangka, maka proses komunikasi sering menjadi korbannya, terganggu dan akhirnya menghambat komunikasi. Pada umumnya, orang-orang yang mempunyai prasangka yang sama akan lebih cocok dan senang ketika menjalin hubungan komunikasi daripada mereka yang tidak kenal, dengan perbedaan prasangka yang tinggi.

  Prasangka merupakan suatu konsep yang sangat dekat dengan stereotip, akan tetapi tidaklah demikian. Prasangka memiliki dua komponen: komponen (berpikir) kognitif, dan komponen (perasaan) afektif. Stereotip menjadi dasar dari komponen kognitif dari prasangka. Komponen afektif terdiri dari satu perasaan pribadi terhadap kelompok orang lain. Perasaan ini mungkin termasuk kemarahan, penghinaan, kebencian, penghinaan, kasih sayang dan simpati. Disisi lain, stereotip ini bisa bersifat negatif bisa juga bersifat positif, beda halnya dengan prasangka yang memang cenderung bersifat negatif. Alport (1954) dalam Mulyana (2005), mendefinisikan bahwa prasangka etnik sebagai suatu antipati berdasarkan suatu generalisasi yang salah dan kaku. Prasangka mungkin dinyatakan atau dirasakan. Budaya dan kepribadian sangat mempengaruhi prasangka.

  Prasangka sangat berkaitan dengan persepsi seseorang atau kelompok lain, dan sikap serta perilakunya terhadap mereka. Prasangka terhadap anggota suatu kelompok ternyata sangat merusak. Sebuah contoh mengenai prasangka sosial ialah attitude orang Jermanterhadap keturunan orang-orang Yahudi di Negaranya yang sudah lama terdapat di masyarakat masyarakat Jerman. Hal ini terjadi sejak abad ke-19 dan memuncak pada zaman Jerman-Hitler dengan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk meniadakan sama sekali golongan Yahudi disana. Satu contoh lagi seperti di Amerika Serikat, di sana terdapat prasangka social terhadap golongan Negro atau golongan kulit hitam terutama di Amerika bagian selatan. Dari prasangka social tersebut keduanya sama-sama melahirkan tindakan-tindakan tindakan-tindakan diskriminatif yang berdasarkan prasangka social akan merugikan masyarakat Negara itu sendiri, akibatnya perkembangan potensi- potensi manusia masyarakat tersebut akan sangat diperhambat. Apabila kita berprasangka bahwa orang kulit hitam pemalas, orang Jepang itu militeristik, orang China itu mata duitan, wanita sebagai objek seks, politisi itu penipu, tanpa didukung dengan data yang memadai dan akurat, maka komunikasi kita akan sering macet karena berlandaskan persepsi kita yang keliru, yang pada akhirnya orang lain pun akan salah mempersepsi kita.

  Sekarang ini telah diusahkan untuk mengubah dan menghilangkan prasangka-prasangka sosial yang picik dan yang menghambat perkembangan masyarakat dengan wajar. Usaha-usaha memerangi prasangka sosial antargolongan itu kiranya jelas harus dimulai dari : (1) didikan anak-anak dalam keluarga oleh orangtuanya dan di sekolah nantinya oleh gurunya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa organisasi non formal (keluarga) dan formal (sekolah) sangatlah berpengaruh pada pembentukan karakter seorang anak terlebih bagaimana dia nantinya memandang dunia sekitarnya; (2) Kemudian kita bisa menghindarkan anak dari pengajaran-pengajaran yang dapat menimbulkan prasangka-prasangka sosial, dan ajaran-ajaran yang sudah berprasangka sosial; (3) menjalin interaksi antargolongan yang cukup intensif (Gerungan, 1991).

2.2.3.2 Stereotip

  Sering sekali kita dengarkan kalau prasangka itu bergandengan dengan stereotip. Stereotip adalah gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang atau golongan lain yang bercorak negatif. Stereotip mengenai orang lain itu sudah tertanam dalam orang yang berprasangka sebelum ia mempunyai kesempatan untuk bergaul sewajarnya dengan orang yang dikenai prasangka itu. Stereotip ini memegang peranan yang sangat besar pada orang yang berprasangka dalam pergaulan sosialnya dengan orang yang dikenai prasangka. Misalnya, stereotip orang berkulit hitam yang tertanam dalam benak orang Amerika berkulit putih adalah bodoh, pemalas, kurang ajar dan tidak berkesusilaan. Stereotip ini jelas akan menentukan sikap orang Amerika berkulit pendidikan dan kebudayaannya.

  Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (1991), mendefenisikan stereotip sebagai kepercayaan yang kita anut mengenai kelompok-kelompok atau individu- individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih dulu terbentuk (Mulyana, 2005). Misalnya, orang Batak Toba pekerja keras, agak kasar, jujur dan menjunjung tinggi nilai anak laki-laki dalam keturunan, orang Sunda suka kawin cerai, pelit dalam hal uang belanja, orang Batak Karo pemalas, jorok, pendendam, menyukai hal yang berbau mistis, dan masih banyak contoh stereotip lainnya. Ada beberapa faktor yang berperan dalam terbentuknya stereotip, yaitu: (1) sebagai manusia kita cenderung membagi dunia ini ke dalam dua kategori, yaitu kita dan mereka; (2) stereotip bersumber dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja kognitif sesedikit mungkin, dalam berpikir mengenai orang lain. Kita seolah-olah sudah diberikan bayangan apa yang ada di depan kita, sebelum kita memasuki dunia itu, seperti yang diungkapkan oleh Lippman, bahwa kita tidak melihat dulu baru memberikan defenisi; kita mendefenisikan dahulu baru melihat; kita diberitahukan dahulu tentang dunia sebelum kita melihatnya; kita membayangkan banyak hal sebelum kita mengalaminya. Dan prakonsepsi itu mempengaruhi keseluruhan proses persepsi.

  Sekalipun dikatakan bahwa stereotip itu bisa negatif bisa positif, namun pada umumnya stereotip itu bersifat negatif. Sebenarnya tidak salah ketika setiap suku dalam bangsa itu memiliki stereotip tersendiri, dan sangatlah baik ketika stereotip itu memang kita simpan dalam benak kita. Tetapi yang berbahaya itu adalah ketika kita mengaktifkan stereotip itu dalam menjalin hubungan dengan orang lain yang berasal dari luar golongan atau suku kita, dengan kata lain kita membentuk suatu hubungan komunikasi antarbudaya yang terhambat dikarenakan stereotip yang ada dalam benak kita terhadap orang yang kita ajak berbicara. Ada Empat alasan mengapa Stereotip menghambat komunikasi antarbudaya: 1.

  Sejenis penyaring, dimana suatu hal yang benar memiliki peluang yang sangat kecil untuk diungkapkan dan diketahui.

  Stereotip ini mempengaruhi pandangan kita untuk mengeneralisasi suatu sifat atau watak pada suatu komunitas tertentu.

  3. Dengan adanya stereotip, maka kita mengarahkan orang lain untuk menerima pendapat kita sesuai dengan cara kita sendiri.

  4. Sekali terbentuk stereotip akan sangat jarang berubah, karena dipegang kuat dalam suatu kelompok. Stereotip juga bisa berkembang dari pengalaman negatif. Jika kita memiliki pengalaman tidak menyenangkan dengan orang-orang dari kelompok atau golongan tertentu, kita bisa mengeneralisasi ketidaknyamanan yang mencakup semua anggota kelompok tersebut, seperti kutipan berikut ;

  “Stereotypes can also develop out of negative experiences. If we have unpleasant cantact with certain people, we may generalize that unpleasantness to include all members of that particular group (Marthin, Judith N dan Thomas K. Nakayama. 2008).”

  Misalnya, kita bersahabat dengan seseorang dari Padang, selama menjalin hubungan dengan dia, kita merasa bahwa dia sangat pelit dalam berbagai hal. Sifat pelit itu mendominasi sifatnya. Dengan demikian, akan tersimpan dalam memori otak kita bahwa orang Padang itu memang pelit, dan yang berbahaya kita langsung mengeneralisasikan stereotip itu pada individu lain yang berasal dari suku yang sama. Menurut Psikologi kognitif, pengalaman-pengalaman baru akan dimasukkan dalam laci kategori yang ada dalam memori kita, berdasarkan dengan kesamaannya dengan pengalaman masa lalu. Dengan cara seperti ini, orang memperoleh informasi tambahan dengan segera, sehingga membantu meramalkan peristiwa atau kejadian yang dihadapi. Inilah yang disebut dengan stereotip yang sangat erat kaitannya dengan emosi, nilai, dan inti diri, yang dengan demikian sulit untuk mengubahnya.

2.2.3.3 Etnosentrisme

Dokumen yang terkait

Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Ant

1 91 173

Hubungan Perilaku Martarombo dengan Kepedulian Suku Batak Toba Terhadap Sesama Batak Toba

35 167 106

Persepsi tentang sehat dan kebiasaan mengonsumsi Tuak Suku Batak Toba di Desa Meat Kecamatan Tampahan Kabupaten Toba Samosir

13 212 90

Hubungan Persepsi Kongruensi Budaya dengan Intergroup Contact Pada Masyarakat Suku Batak Toba Terhadap Masyarakat Suku Nias di Kabupaten Simalungun

3 74 80

Komunikasi Masyarakat Batak Toba Dalam Upacara Pernikahan Adat (Studi Kasus Tentang Proses Komunikasi Antarbudaya Dalam Upacara Pernikahan Adat Batak Toba Pada Masyarakat di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara)

9 129 118

Perubahan Perlakuan terhadap Anak Perempuan pada Masyarakat Batak Toba (Studi Deskriptif pada Masyarakat Batak Toba di Desa Pollung, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

11 112 129

Motivasi Berprestasi Dan Pola Pengasuhan Pada Suku Bangsa Batak Toba Di Desa Parparean II

0 36 2

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BATAK TOBA DAN BIOGRAFI ROTUA PARDEDE 2.1 Suku Batak Toba - Studi Deskriptif Manghirap Tondi Di Desa Lintong Nihuta Kecamatan Tampahan Dalam Masyarakat Batak Toba Oleh Ibu Rotua Pardede: Kajian Terhadap Tekstual Dan Musikal

0 0 24

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Batak Toba - Dalihan Na Tolu” Sebagai Katup Pengaman Bagi Potensi Konflik Dalam Masyarakat Batak Toba Yang Berbeda Agama (Studi : Sidabaribaparapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun)

0 0 17

Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Anta

0 1 12