BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Gliserolisis Enzimatis Minyak Inti Sawit Menggunakan Katalis Enzim Lipase Dari Candida Rugosa Serta Variasi Pelarut Etanol, 1-Propanol, 2-Propanol, N-Heptana Dan Isooktana

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Minyak Inti Sawit

  Kelapa sawit didasarkan atas bukti-bukti fosil, sejarah, dan linguistik yang ada, diyakini berasal dari Afrika Barat. Di tempat asalnya ini, kelapa sawit (yang pada saat yang lalu dibiarkan tumbuh liar di hutan-hutan) sejak awal telah dikenal sebagai tanaman pangan yang penting. Oleh penduduk setempat kelapa sawit telah diproses secara amat sederhana menjadi minyak dan tuak sawit.

Gambar 2.1. Tanaman Kelapa Sawit

  Di luar benua Afrika, kelapa sawit mulai diperhitungkan sebagai tanaman komoditas (penghasil produk dagangan) sejak Revolusi Industri bergaung keras di Eropa. Saat itu, di Eropa mulai bermunculan industri atau pabrik (antara lain industri sabun dan margarin) yang membutuhkan bahan mentah/baku untuk operasionalnya. Minyak dibutuhkan untuk bahan mentah/baku tersebut (Satyawibawa, 1993). Minyak inti sawit (Palm Kernel Oil) adalah minyak yang diperoleh secara ekstraksi pelarut dari inti kelapa sawit (Trisakti, 1996). Asam laurat merupakan komposisi asam lemak paling besar di dalam minyak inti sawit, oleh karena itu minyak inti sawit dapat digolongkan ke dalam minyak asam laurat. Minyak inti sawit yang baik berkadar asam lemak bebas yang rendah dan berwarna kuning terang serta mudah dipucatkan (Ketaren, 1986).

Gambar 2.2 Tandan Buah Kelapa Sawit

  Minyak inti sawit mengandung berbagai komponen asam lemak. Komposisi trigliserida yang mendominasi minyak inti sawit adalah trilaurin, yaitu trigliserida dengan tiga asam laurat sebagai ester asam lemaknya. Minyak inti sawit memiliki kandungan asam laurat yang tinggi dan kisaran titik leleh yang sempit, sedangkan minyak sawit mentah hanya memiliki sedikit kandungan asam laurat dan kisaran titik leleh yang luas. Minyak sawit mengandung asam lemak jenuh asam palmitat (C16) sekitar (40-46%), kandungan asam lemak tidak jenuh yaitu asam oleat (C 18:1) sekitar (39-45%) dan asam linoleat (7-11%), sedangkan pada minyak inti sawit didominasi oleh asam laurat (46-52%), asam miristat (14-17%) dan asam oleat (13-19%).

  Tabel 1 : Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit (%) Minyak Inti Sawit (%)

  • Asam kaprilat 3 – 4
  • Asam laurat 46 – 52 Asam miristat 1,1 – 2,5 14 – 17 Asam palmitat 40 – 46 6,5 – 9 Asam stearat 3,6 – 4,7 1 – 2,5 Asam oleat 39 – 45 13- 19 Asam linoleat 7 – 11 0,5 – 2

Tabel 2.1. Komposisi Minyak Kelapa Sawit dan Minyak Inti Kelapa Sawit

  Minyak inti sawit memiliki kemiripan sifat dan komposisi asam lemak dengan minyak kelapa, sehingga dalam penggunaannya dapat bersifat sebagai bahan subtitusi. PKO dan minyak kelapa sering digunakan oleh industri oleokimia sebagai bahan baku untuk menghasilkan produk surfaktan dan emulsifier. Kandungan asam laurat yang cukup tinggi pada minyak sawit menjadi salah satu kelebihan karena karena asam lemak ini memiliki khasiat bagi kesehatan tubuh.

  Pengolahan minyak dari kelapa sawit ini akan mengalami peningkatan seiring dengan semakin tingginya permintaan pasar dan majunya teknologi rekayasa pengolahan minyak. Teknologi tersebut diharapkan dapat menghasilkan produk yang dapat diaplikasikan di berbagai aspek industri pengolahan serta dapat bersaing dengan produk minyak nabati lainnya di pasar dalam negeri maupun internasional.

  Monogliserida adalah monoester asam lemak dari gliserol. Monogliserida merupakan lemak yang terdiri dari suatu kepala lipofilik dan ekor hidrofilik, yang memberikan sifat detergen. Sifat inilah yang dapat mengurangi tegangan antar muka dari sistem minyak-air, sehingga monogliserida dapat digunakan sebagai zat pengemulsi dan penstabil dalam industri makanan (Birkhahn et al, 1997). Monogliserida dan digliserida adalah emulsifier anionik w/o yang umum digunakan dalam makanan, kosmetik dan farmasi (kristensen et al, 2005). Sifat dari bahan pengemulsi ini adalah mudah larut dengan bentuk yang bervariasi yakni cair, plastis, maupun padat, bergantung pada proses dan bahan baku yang digunakan. Selain itu mono- dan digliserida digunakan sebagai bahan intermediet dalam industri kimia seperti detergen dan alkalin resin (Pantzaris, 1995). Seringkali campuran monogliserida dan digliserida digunakan dalam aplikasi-aplikasi tersebut, dikarenakan keduanya lebih ekonomis dan memberikan performa yang sesuai (Fregolente, 2008). Penggunaannya dalam bahan-bahan yang dipanggang, industri permen, es krim, margarin, selai kacang, whipped cream, suatu emulsifier dengan konsentrasi monogliserida yang tinggi yang disebut monogliserida terdistilasi sangat penting peranannya. Monogliserida terdiri dari beberapa jenis, salah satunya adalah gliserol monolaurat atau monolaurin adalah senyawa multifungsi yang memiliki sifat antimikroba . Keistimewaan dari monolaurin adalah dapat menghambat sel vegetatif

  

Bacillus cereus (Cotton et al, 1997). Monolaurin dapat menghambat aktivitas Listeria

dan B. cublitis (Kabara, 1983). monocytogenes, B. stearothermophilus

  Gliserida dalam bentuk digliserida tidak hanya digunakan bersama-sama dengan monogliserida sebagai emulsifier, namun juga sebagai tujuan untuk meningkatkan nutrisi dari bahan pangan tersebut sebagai pengganti dari minyak trigliserida yang menguntungkan secara luas mengenai kemampuannya untuk mengurangi berat badan (Meng, 2006).

  Dewasa ini, monogliserida diproduksi dengan sintesis kimia menggunakan gliserol, lemak, dan suatu katalis alkali yang dicampur dan dipanaskan pada suhu hampir

  2

  250 digunakan sebagai katalis dalam produksi monogliserida untuk ˚C. Ca(OH) industri makanan (Sonntag, 1982). Produksi ini menghasilkan yield 40-60% monogliserida; sisanya adalah campuran digliserida dan trigliserida (Krog, 1990).

  Karena digliserida tidak cukup baik digunakan sebagai emulsifier (Henry, 1995) destilasi vakum harus digunakan untuk memperoleh jumlah monogliserida yang tinggi, biasanya 95% (Krog, 1990). Namun proses tersebut membutuhkan penggunaan energi yang sangat tinggi untuk sintesis kimia dan dan destilasi untuk memperoleh produk. Temperatur yang tinggi juga mengubah warna dan rasa dari produk. Oleh karena itu penggunaan sintesis enzimatis menggunakan lipase lebih diminati, yang membutuhkan temperatur yang rendah dan menghasilkan produk yang lebih baik (Berger, 1992).

2.3. Modifikasi Lemak dan Minyak yang Dikatalisis Enzim Lipase

  Umumnya interesterifikasi dalam kimia secara umum memproduksi lemak dan minyak termodifikasi. Enzim lipase dapat mengkatalisis reaksi hidrolisis trigliserida, digliserida, dan monogliserida, dalam kondisi air berlebi, namun di bawah kondisi air yang terbatas dapat terjadi reaksi balik yakni pembentukan ester. Interesterifikasi dan hidrolisis yang dikatalisis enzim lipase mengikuti reaksi Ping Pong Bi Bi untuk multi substrat. (Macata et al, 1992) bersifat tidak spesifik menghasilkan posisi sebaran yang sama yang dinilai kurang efisien dari segi biaya dan peralatan untuk aplikasi ini. Spesifitas posisi 1 dan 3 dari trigliserida disebabkan oleh ketidakmampuan dari enzim lipase untuk berikatan pada posisi 2 dikarenakan halangan sterik mencengah jalan masuk dari asam lemak pada posisi sn-2 terhadap sisi aktif enzim. Posisi dan spesifitas asam lemak dari enzim lipase yang berbeda telah digunakan reaksi yang dikatalisis enzim lipase yakni meliputi transesterifikasi, asidolisis, gliserolisis, dan esterifikasi untuk mengembangkan kualitas lemak dan minyak.

  • Transesterifikasi Transesterifikasi yang dikatalisis oleh enzim lipase didefinisikan sebagai pergantian dari gugus asil antara dua ester yang adalah trigliserida, walaupun juga dapat berbentuk etil ester atau metil ester.
  • Asidolisis Asidolisis didefinisikan sebagai transfer suatu gugus asil antara asam dan ester, dan biasanya menggabungkan asam lemak menjadi trigliserida
  • Gliserolisis Gliserolisis adalah suatu reaksi antara trigliserida dan gliserol, sedangkan esterifikasi adalah reaksi antara gliserol dan asam lemak bebas

2.4. Gliserolisis

  Gliserolisis adalah reaksi penting antara gliserol dengan minyak atau lemak untuk memproduksi mono- dan digliserida. Reaksi gliserol akan berjalan lambat jika dilakukan tanpa menggunakan katalis. Untuk mendapatkan konversi yang tinggi dijalankan dengan adanya katalis asam maupun basa. Reaksi dengan katalis basa biasanya lebih cepat (Kimmel, 2004).

  Proses gliserolisis kimiawi dengan menggunakan metode batch atau proses kontinu. Temperatur tinggi (berkisar antara 220-250

  ˚C) dan katalis alkali anorganik digunakan untuk mempercepat reaksi. Prosedur proses kontinu menghasilkan monogliserida dengan kualitas lebih baik daripada dengan menggunakan metode batch karena proses kontinu menggunakan pemanasan dan waktu reaksi yang singkat. Keterbatasan dalam proses kimia meliputi bentuk warna produk yang gelap dan rasa seperti terbakar. Yield monogliserida yang dihasilkan melalui gliserolisi kimiawi adalah 40-60% dan membutuhkan proses destilasi molekuler yang mahal. Proses gliserolisis kimiawi tidak relevan terhadap aplikasi untuk biologi dan nutrisi (Yamane, 1999).

  Selain menggunakan katalis kimia, reaksi gliserolisis bisa juga dilakukan dengan katalis enzim. Enzim yang sering dipakai adalah enzim lipase. Temperatur yang digunakan reaksi gliserolisis dengan katalis enzim sekitar 30

  ˚C. Hal ini disebabkan katalis enzim tidak bisa bekerja atau akan mati pada suhu yang tinggi. Oleh karena temperatur yang digunakan rendah, reaksi gliserolisis dengan katalis enzim sebagai katalis adalah mahalnya harga enzim (Kaewthong et al, 2005).

  Gliserolisis secara kimia menghasilkan yield 25-35% (McNeill, 1991). Yield tertinggi hanya terjadi jika dalam proses di mana monogliserida dipindahkan dari campuran reaksi. Dalam gliserolisis fase padat, temperatur reaksi dikurangi setelah selang waktu tertentu dan monogliserida mulai menbentuk kristal secara langsung dalam tabung pereaksi. Yield akhir dari 50-95% dihasilkan dengan metode ini. Pada penelitian Berger dan Schneider menggunakan suatu sistem dengan reaktor dan tabung. Pada akhir reaksi di dapat yield mencapai 95-98% (Berger et al, 1992).

  Monogiserida yang dihasikan melalui gliserolisis secara bioteknoogi yang telah dilakukan adalah pemanfaatan lipase terjebak lipase immobil pada pembentukan monogliserida dari minyak zaitun. Pada reaksi enzimatis ini, pembentukan monogliserida dilakukan dengan menggunakan fase padat penjebak mikroba agar dapat dipisahkan kembali dari campurannya dengan hasil reaksi untuk digunakan kembali sehingga menurunkan biaya produksi. Bahan penopang padat yang berfungsi

  3

  4

  2

  2

  2

  7 sebagai adsorben yang berpori adalah CaCO , CaSO .2H O, Ca P O , dan celite.

  Mikroba yang digunakan adalah Pseudomonas sp KWI-56 lipase (PSL),

  

Chromobacterium Viscosum lipase (CPL) dan Pseudomonas pseudoalkali lipase

  (PPL). Reaksi gliserolisis minyak zaitun secara enzimatis di atas dapat menghasilkan 90% monogliserida dengan lama reaksi 72 jam (Rosu dkk, 1997).

  Reaksi gliserolisis enzimatis pada suhu rendah memiliki kelemahan karena mengandung tiga fase, yaitu fase hidrofobik minyak, fase gliserol hidrofilik, dan fase enzim padat. Karena enzim memiliki karakteristik hidrofilik, gliserol sering mengikat partikel enzim dan membuat akses molekul minyak ke partikel enzim menjadi sulit. Hal ini menyebabkan rendemen monogliserida menjadi relatif rendah dan waktu reaksi tidak praktis dari sudut pandang industri.

Gambar 2.3. Reaksi Gliserolisis

2.5. Trigliserida

  Trigliserida merupakan ester antara gliserol dengan asam lemak. Trigliserida ini secara alami terdapat hewan dan minyak nabati. Lemak hewan sebenarnya bukan terminologi yang tepat karena ada juga trigliserida dari hewan yang dikategorikan sebagai minyak misalnya minyak ratif yang berasal dari jenis burung unta dan kaswari, di samping itu trigliserida yang berasal dari ikan juga adalah kategori minyak seperti minyak ikan.

  Minyak nabati tidak semua dapat dimakan, karena minyak nabati seperti minyak jarak dan minyak tall tidak dapat digunakan sebagai minyak makan. Minyak jarak luas penggunaannya sebagai pelapis pelindung, bahan dasar pembuatan plastik dengan menggubahnya terlebih dahulu menjadi asam azelat, plastisizer, pelumas dan cairan hidrolik. Sedangkan minyak yang dapat dimakan seperti minyak kelapa, minyak kelapa sawit, minyak inti sawit, minyak kacang kedelai dan sebagainya (Austin, 1998). yang jenuh maupun yang tidak jenuh. Asam lemak jenuh diantaranya butirat (C4), kaprilat (C8), kaprat (C10), laurat (C12), palmitat (C16), stearat (C180) dan arakhidat (C20); sedangkan asam lemak tak jenuh di antara oleat (C18:1), linoleat (C18:2), linolenat (C18:3) dan sebagainya (Meyer, 1973).

Gambar 2.4. Struktur Trigliserida

  Trigliserida yang tersusun dari asam lemak tidak jenuh akan berrwujud cair dan mempunyai titik cair yang rendah, umumnya trigliserida ini terdapat pada minyak nabati. Trigliserida yang tersusun dari asam lemak jenuh akan berwujud padat dan mempunyai titik didih cair yang lebih tinggi, umumnya trigliserida ini terdapat pada minyak hewani. Gliserida dalam minyak dan lemak bukan merupakan gliserida sederhana (tiga gugus hidroksinya berikatan dengan tiga asam dari jenis yang sama pada gliserol, tetapi merupakan gliserida campuran (Christie, 1982).

2.6. Gliserol

  Gliserol adalah senyawa yang ttidak berwarna, larutan kental, tidak berbau, dengan rasa yang sangat manis, mempunyai titik lebur 20 ih 290 ˚C, titik did ˚C (sedikit dalam eter, tidak larut dalam koroform (Austin, 1985). Gliserol mengandung tiga gugus hidroksi yang terdiri dari dua gugus alkohol primer dan satu gugus akohol sekunder. Atom karbon yang terdapat dalam giserol dapat ditunjukan sebagai atam karbon α, β, dan γ.

  CH2OH.CHOH.CH2OH α β γ

Gambar 2.5. Struktur Gliserol

  Gliserol juga merupakan produk sampingan dari produksi biodiesel melalui transesterifikasi, membentuk gliserol mentah yang berwarna gelap dan kental seperti sirup. Reaksi pembentukan gliserol melalui transesterifikasi sebagai berikut .

Gambar 2.6. Pembentukan Gliserol Melalui Reaksi Transesterifikasi

2.7. Pelarut

  Penggunaan pelarut yang cocok pada sistem akan memperbaiki bercampurnya substrat sehingga sistem akan homogen dan meningkatkan konversi substrat, waktu reaksi, dan distribusi produk membentuk monogliserida (Damstrup et al, 2005). Pelarut seperti n-heksan, n-heptan, dioksan, asetonitril, aseton, isooktan, 2-metil 2- pelarut akan berguna untuk reaksi interesterifikasi. Tabel II menunjukkan kandungan monogliserida setelah reaksi gliserolisis dalam berbagai pelarut :

  Pelarut Kandungan Monogliserida

  Tidak menggunakan pelarut 0.0 ± 0.00 Kloroform

  0.0 ± 0.00 n-Heptan 1.1 ± 0.02 n-Heksan 1.4 ± 0.03

  Iso-oktan 1.5 ± 0.17

  Asetonitril 2.0 ± 0.07

  Toluen 2.9 ± 0.20

  2-Butanon 5.4 ± 0.10

  Aseton 11.5 ± 0.73

  Isopropanol 18.0 ± 0.31

  Etanol 21.0 ± 0.18

  3-Pentanon 29.4 ± 0.26

  Tert-pentanol 64.9 ± 1.12

  Tert-Butanol 83.6 ± 0.14

Tabel 2.2. Yield Monogliserida dengan Perbandingan Jenis Pelarut

  Pelarut tunggal yang dapat mengikat minyak dan gliserol dalam sistem homogen sebenarnya sangat sulit didapatkan, terutama mengenai dampak pelarut tersebut bagi aplikasi makanan. Pelarut hidrokarbon umumnya tidak mungkin digunakan untuk tujuan ini, di samping bersifat toksin pelarut hidrokarbon juga jarang dipakai dalam proses ini, dan efeknya terhadap aktivitas katalitik enzim. Sementara itu, beberapa alkohol yang memiliki lebih dari lima atom karbon dapat digunakan karena terdiri dari gugus –OH yang bersifat polar dan rantai karbon yang bersifat nonpolar. Pelarut tersebut memberikan kemungkinan untuk dapat mengikat minyak dan gliserol dalam satu sistem. Alkohol sebenarnya bersifat kompetitif terhadap gliserol, khususnya alkohol primer. Penggunaan alkohol tersier walau bagaimanapun adalah pertimbangan utama karena struktur alkohol tersier memiliki

  

hydrant sterik yang kuat untuk aktivitas enzim. Asumsi ini juga telah dikemukakan

oleh studi terdahulu dengan penggunaan alkohol tert-butanol (Rendon et al, 2001).

2.8. Enzim

  Kata enzim berasal dari bahasa Yunani enzyme yang berarti di dalam sel. Willy Kuchne (1876) mendefinisikan enzim sebagai fermen (ragi) yang bentuknya tidak tertentu dan tidak teratur, yang dapat bekerja tanpa adanya mikroba dan dapat bekerja di luar mikroba. Definisi tersebut berubah setelah dilakukan penelitian lanjutan oleh Buchner pada tahun 1897. Enzim dapat diproduksi oleh mikroba atau bahan lainnya seperti hewan dan tumbuhan. Enzim juga dapat diisolasi dalam bentuk murni (Winarno, 1986). asam amino yang terikat satu sama lain dengan ikatan peptida. Karena merupakan suatau protein, maka sifat yang dimiliki oleh suatu protein tentunya dimiliki oleh enzim juga. Enzim dapat didenaturasi dan dipresipitasi dengan garam, pelarut, dan reagen lain. Enzim merupakan senyawa protein yang dapat mengkatalisis seluruh reaksi kimia dalam sistem biologis. Semua enzim murni yang telah diamati sampai saat ini adalah protein. Aktivitas katalitiknya bergantung kepada integritas strukturnya sebagai protein. Enzim dapat mempercepat reaksi biologis, dari reaksi yang sederhana, sampai ke reaksi yang sangat rumit. Enzim bekerja dengan cara menempel pada permukaan molekul zat-zat yang bereaksi sehingga mempercepat proses reaksi. Percepatan reaksi terjadi karena enzim menurunkan energi pengaktifan yang dengan sendirinya akan mempermudah terjadinya reaksi. Enzim mengikat molekul substrat membentuk kompleks enzim substrat yang bersifat sementara dan lalu terurai membentuk enzim bebas dan produknya (Lehninger, 1995).

  E + S ES E + P E = enzim S = substrat P= Produk Enzim memiliki keunggulan sifat, antara lain mempunyai aktivitas yang tinggi, efektif, spesifik dan ramah lingkungan (Lidya dan Djenar, 2000), sedangkan menurut (Saktiwansyah, 2001), enzim memiliki sifat yang khas, yaitu sangat aktif walaupun konsentrasinya amat rendah, sangat selektif dan bekerja pada kondisi yang ramah (mild), yaitu tanpa temperatur atau tekanan tinggi dan tanpa logam yang umumnya beracun. Hal inilah yang menyebabkan reaksi yang dikatalisis secara enzimatik menjadi lebih efisien dibandingkan dengan reaksi yang dikatalisis oleh katalis kimia (August, 2000). terhadap satu reaksi atau beberapa reaksi yang sejenis saja. Jadi dapat melibatkan beberapa jenis substrat (Winarno, 1986). Sifat spesifik (spesifisitas enzim) didefinisikan sebagai kemampuan suatu enzim untuk mendiskriminasikan substratnya berdasarkan perbedaan afinitas substrat-substrat untuk mencapai sisi aktif enzim (August, 2000). Sifat spesifinitas ini dapat dimanfaatkan untuk tujuan reaksi atau jenis produk yang diharapkan. Sifat ini sangat menguntungkan karena tidak akan dijumpai reaksi-reaksi samping, sehingga lebih ramah lingkungan. Berdasarkan biosintesisnya, enzim dibedakan menjadi enzim konstitutif dan enzim induktif. Enzim konstitutif adalah enzim yang selalu tersedia di dalam sel mikroba dalam jumlah yang relatif konstan, sedangkan enzim induktif adalah enzim yang ada dalam jumlah sel yang tidak tetap, tergantung pada adanya induser. Enzim induktif ini jumlahnya akan bertambah sampai beberapa ribu kali bahkan lebih apabila dalam medium mengandung substrat yang menginduksi terutama bila substrat penginduksi merupakan satu-satunya sumber karbon (Lidya dan Djenar, 2000). Berdasarkan tempat bekerjanya, enzim dapat dibedakan dalam 2 golongan, yaitu endoenzim dan eksoenzim. Endoenzim disebut juga enzim intraseluler, dihasilkan di dalam sel yaitu pada bagian membran sitoplasma dan melakukan metabolisme di dalam sel. Eksoenzim (enzim ekstraseluler) merupakan enzim yang dihasilkan sel kemudian dikeluarkan melalui dinding sel sehingga terdapat bebas dalam media yang mengelilingi sel dan bereaksi memecah bahan organik tanpa tergantung pada sel yang melepaskannya (Soedigdo, 1988).

  1. Kemampuan katalitik Enzim merupakan katalis yang paling efisien, bisa meningkatkan kecepatan sampai sejuta kali lebih

  Enzim bersifat sangat spesifik, baik jenis reaksi maupun substratnya

  3. Kemampuan untuk diatur (regulasi) Enzim tidak ikut bereaksi dengan substrata tau produknya . Aktifitas dapat dikontrol sesuai dengan kebutuhan organismeitu sendiri. Beberapa enzim disintesis dalam bentuk tidak aktif, dan akan diaktifkan dalam kondisi dan waktu yang sesuai, precursor yang tidak aktif disebut zymogen.

  Interaksi enzim-substrat merupakan interaksi yang lemah, khususnya ketika atom terlibat lebih dari satu amstrong dari yang lainnya. Sehingga kesuksesan pengikatan enzim dengan substrat memerlukan kedua molekul untuk berdekatan dengan permukaan yang bersentuhan lebar. Hal ini memerlukan konfigurasi yang saling berkomplemen antara substrat dengan enzim, dan hal ini menjelaskan spesifitas kebanyakan enzim yang diberikan dalam mengkatalisis hanya satu macam reaksi kimia (Saryono, 2011).

2.8.1. Enzim Lipase

  Lipase merupakan salah satu enzim yang telah diaplikasikan pada proses proses industri baik industri pangan maupun non pangan. Lipase dikenal sebagai lipolytic

  

enzyme dan didefinisikan sebagai long chain fatty acid ester hydrolase atau sebagai

any esterase capable of hydrolyzing esters of oleic acid berfungsi sebagai katalis pada

  reaksi hidrolisis trigliserida dan ester selain dari asilgliserol (Ngom, 2000) dan juga beberapa jenis lipase seperti Lipase Candida rugosa digunakan dalam reaksi esters) di- atau monogliserida asam lemak. (Crueger et al, 1984).

Gambar 2.7. Struktur Enzim Lipase

2.8.2. Spesifisitas dan Klasifikasi Enzim Lipase

  Spesifitas enzim didefinisikan sebagai ekspresi kemampuan suatu enzim untuk membedakan substrat-substratnya berdasarkan pada perbedaan afinitas substrat dalam berasosiasi dengan sisi aktif enzim untuk membentuk komplek enzim substrat dan akhirnya menghasilkan produk. Sifat spesifisitas dari enzim tersebut sangat bermanfaat untuk menghasilkan produk yang diinginkan serta dapat digunakan secara optimal untuk tujuan reaksi. Spesifisitas lipase terhadap substrat dapat dikelompokkan menjadi spesifisitas jenis lipid, spesifisitas posisi, spesifisitas asam lemak, spesifisitas alkohol, dan spesifisitas gabungan (Saktiwansyah, 2001).

  1. Spesifisitas Jenis Lipid Spesifisitas jenis lipid merupakan kemampuan suatu lipase untuk bereaksi dengan jenis lipid tertentu. Lipase yang memiliki kemampuan ini misalnya adalah lipase dibandingkan dengan diasilgliserol dan monoasilgliserol. Lipase P. cyclopium memiliki tingkat hidrolitik yang lebih tinggi terhadap diolein dan monoolein daripada terhadap triolein. Lipase Aspergillus oryzae mampu menghidrolisis monoasilgliserol dan diasilgliserol, tetapi tidak pada triasilgliserol.

  2. Spesifisitas Posisi Spesifisitas posisi merupakan kemampuan lipase untuk membedakan substrat berdasarkan posisi ikatan ester pada triasilgliserol. Perbedaan spesifisitas posisi lipase didasarkan atas kemampuan lipase untuk menghidrolisis ikatan ester pada triasilgliserol pada posisi primer (sn-1 dan atau sn-3) atau posisi sekunder (sn-2).

  Lipase mikroorganisme yang memiliki spesifikasi posisi pada sn-1(3) adalah lipase

Mucor javanicus, R. javanicus, R. delemar, Penicillium sp., Aspergillus niger dan R.

  miehei.

  3. Spesifisitas Asam Lemak Spesifisitas asam lemak merupakan kemampuan lipase untuk membedakan substrat berdasarkan panjang rantai dan derajat kejenuhan dari asam lemak.

  4. Spesifisitas Alkohol Spesifisitas alkohol merupakan spesifisitas yang berhubungan dengan reaksi sintesis ester, dimana dalam aktifitas esterifikasinya setiap jenis lipase memiliki perbedaan terhadap jenis alkohol selain terhadap jenis asam lemaknya. Lipase yang berasal dari

  

A. niger, R. delemar, G. candidum dan P. cyclopium mampu mensintesis berbagai

  jenis ester dari asam oleat dengan alkohol primer, namun hanya lipase G. candidum yang mampu mensintesis ester asam oleat dengan alkohol sekunder

  5. Spesifisitas gabungan Spesifisitas ini merupakan gabungan dari beberapa jenis spesifisitas yang menyebabkan suatu lipase dapat mempunyai lebih dari satu spesifisitas. Dilaporkan bahwa lipase lipoprotein dari air susu ibu menghidrolisis triasilgliserol dengan asam menghidrolisis triasilgliserol dengan asam lemak berantai sedang pada posisi sn-3. Berdasarkan kemampuannya dalam mensintesis ikatan ester, lipase diklasifikasikan ke dalam 3 golongan menurut kekhasannya (Deman, 1997), yaitu:

  1. Golongan pertama adalah lipase yang tidak khas. Enzim ini tidak menunjukkan kekhasan dari segi posisi ikatan ester dalam molekul gliserol atau sifat asam lemak. Contoh enzim golongan ini ialah lipase dari Candida cylindracae, Corynebacterium acnes , dan Staphylococcus aureus.

  2. Golongan kedua mencakup lipase yang mempunyai kekhasan posisi untuk posisi-1 dan -3 gliserida. Hal ini umum untuk lipase mikroba dan merupakan akibat dari ketidakmampuan ikatan ester posisi-2 untuk memasuki pusat aktif enzim (active

  

center ) karena hambatan ruang. Lipase ini diperoleh dari Aspergillus niger, Mucor

javanicus , dan Rhizopus arrhizus.

  3. Golongan lipase ketiga menunjukkan kekhasan untuk asam lemak tertentu. Contohnya lipase dari Geothricum candidum, yang mempunyai kekhasan menonjol untuk asam lemak rantai panjang yang mengandung ikatan rangkap dua cis pada posisi ke 2.

2.9. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Pemisahan KLT dikembangkan oleh Ismailoff dan Schraiber pada tahun 1938.

  Tekniknya menggunakan penyokong fase diam berupa lapisan tipis seprti lempeng kaca, aluminium atau pelat inert. Adsorben yang digunakan biasanya terdiri dari silika gel atau alumina dapat langsung atau dicampur dengan bahan perekat misalnya kalsium sulfat untuk disalutkan (dilapiskan) pada pelat. Pada pemisahannya, fase bergerak akan membawa komponen

  Pemisahan yang terjadi berdasarkan adsorpsi dan partisi. Kelebihan KLT dibandingkan kromatografi jenis lain adalah :

  1. Waktu pemisahan lebih cepat

  2. Sensitif, artinya meskipun jumlah cuplikan sedikit masih dapat dideteksi

  3. Daya resolusi tinggi, sehingga pemisahan lebih sempurna Penentuan harga Rf pada KLT sama dengan pada kromatografi kertas. Harga Rf dapat digunakan untuk identifikasi kualitatif. Untuk tujuan penentuan kadar, bercak komponen dapat dikerok lalu dilarutkan dalam pelarut yang sesuai untuk dianalisa dengan metode lain yang tepat.

Gambar 2.8. Kromatografi Lapis Tipis Aplikasi KLT sangat luas, termasuk dalam bidang organik dan anorganik.

  Kebanyakan senyawa yang dapat dipisahkan bersifat hidrofob seperti lipida-lipida dan hidrokarbon di mana sukar bila dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga penting untuk pemeriksaan identitas dan kemurnian senyawa obat, kosmetika, tinta, formulasi pewarna dan bahan pewarna (Yazid, 2005).

2.10. Kromatografi Gas

  komponennya dengan menggunakan gas sebagai fase bergerak yang melewati suatu lapisan serapan (sorben) yang diam. Fase diam yang berupa zat padat yang dikenal dengan kromatografi gas-padat (GSC) dan zat cair sebagai kromatografi gas-cair (GLC). Keduanya hampir sama kecuali dibedakan dalam hal cara kerjanya. Pada GSC pemisahan berdasarkan adsorpsi sedangkan GLC berdasarkan partisi. Dalam pembicaraan kromatografi gas biasanya yang dimaksud adalag GLC. Kromatografi gas digunakan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif terhadap cupikan yang komponen-komponennya dapat menguap pada suhu percobaan. Keuntungan kromatografi gas adalah waktu analisa yang singkat dan ketajaman pemisahan yang tinggi. Gas pembawa (biasanya digunakan helium, argon atau nitrogen) dengan tekanan tertentu dialirkan seacara konstan melalui kolom yang berisi fase diam. Selanjutnya sampel diinjeksikan ke dalam injektor (injector port) yang suhunya dapat diatur. Komponen-komponen dalam sampel akan segera menjadi uap dan akan dibawa oleh aliran gas pembawa menuju kolom. Komponen-komponen akan teradsorpsi oleh fase diam pada kolom kemudian akan merambat dengan kecepatan berbeda sesuai dengan nilai Kd masing-masing komponen sehingga terjadi pemisahan. Komponen yang terpisah menuju detektor dan akan terbakar menghasilkan sinyal listrik yang besarnya proporsional dengan komponen tersebut. Sinyal lalu diperkuat oleh amplifier dan selanjutnya oleh pencatat (recorder) dituliskan sebagai kromatogram berupa puncak (peak). Puncak konsentrasi yang diperoeh menggambarkan arus detector terhadap waktu.

Gambar 2.9. Kromatografi Gas

  Untuk tujuan identifikasi dan penetapan kadar dibuat kromatogram komponen zat uji dan larutan baku (standar) lalu keduanya dibandingkan. Salah satu cara pada analisa kualitatif adalah dengan membandingkanwaktu retensi antara kromatogram komponen zat uji dengan larutan baku pembanding. Waktu retensi yang dihasilkan oleh masing- masing senyawa diukur mulai saat disuntikkan atau dimasukkan ke dalam alat sampai terjadinya respon detektor. Waktu retensi karakyteristik untuk tiap komponen dan sebanding dengan jumlah komponen yang dikandung. Bila waktu retensi zat uji dan baku pembanding sama berarti kedua senyawa identik. Pada analisa kuantitatif saah satu caranya dapat dilakukan dengan membandingkan luas area puncak komponen zat uji dengan luas area baku pembanding (Yazid, 2005).

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1. Bahan-Bahan

  • Minyak inti sawit

  PT. SMART

  • Gliserol

  p.a E’merck

  • Kloroform

  p.a E’merck

  • Silika Gel 60 G

  p.a E’merck

  • N-heksan

  p.a E’merck

  • Dietil eter

  p.a E’merck