Gliserolisis Metil Laurat Menggunakan Katalis Kalsium Oksida (CaO) Pada Variasi Suhu Dan Pelarut
GLISEROLISIS METIL LAURAT MENGGUNAKAN
KATALIS KALSIUM OKSIDA (CaO)
PADA VARIASI SUHU
DAN PELARUT
SKRIPSI
DESPITA MASDARIA DAMANIK
090802053
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
(2)
GLISEROLISIS METIL LAURAT MENGGUNAKAN KATALIS KALSIUM OKSIDA (CaO)
PADA VARIASI SUHU DAN PELARUT
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
DESPITA MASDARIA DAMANIK 090802053
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(3)
PERSETUJUAN
Judul : GLISEROLISIS METIL LAURAT MENGGUNAKAN KATALIS KALSIUM OKSIDA (CaO) PADA VARIASI SUHU DAN PELARUT
Kategori : SKRIPSI
Nama : DESPITA MASDARIA DAMANIK Nomor Induk Mahasiswa : 090802053
Program : SARJANA (S1) KIMIA Departemen : KIMIA
Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Disetujui di
Medan, Desember 2013 Komisi Pembimbing :
Pembimbing 2 Pembimbing 1
Dr. Adil Ginting, M.Sc Dr. Juliati br Tarigan, M.Si NIP : 195307041980031002 NIP: 197205031999032001
Diketahui/ Disetujui oleh
Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,
Dr. Rumondang Bulan Nst, MS NIP: 195408301985032001
(4)
PERNYATAAN
GLISEROLISIS METIL LAURAT MENGGUNAKAN KATALIS KALSIUM OKSIDA (CaO)
PADA VARIASI SUHU DAN PELARUT
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, Desember 2013
DESPITA MASDARIA DAMANIK 090802053
(5)
PENGHARGAAN
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya sehingaa penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini sesuai rencana dan kehendakNya. Banyak hal sebagai pembelajaran dan pembentukan diri dalam setiap waktu penulis rasakan sehingga semakin melihat dan merasakan kebaikan dan kebesaranNya. Dalam pelaksanaan penelitian ini hingga penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari banyak mndapat bantuan, dukungan maupun motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Dr. Juliati Tarigan, M.Si sebagai pembimbing I dan Bapak Dr. Adil Ginting, M.Sc sebagai pembimbing II dengan sabar telah memberikan dorongan, bimbingan dan saran sehingga skripsi ini dapat selesai.
2. Ibu Dr. Rumondang Bulan, MS dan Bapak Drs. Albert Pasaribu, M.Sc sebagai Ketua dan Sekretaris Departemen Kimia FMIPA USU.
3. Bapak Prof. Dr. Jamaran Kaban, M.Sc selaku Ketua Bidang Kimia Organik FMIPA USU.
4. Kepala Laboratorium Kimia Organik FMIPA USU Medan Bapak Dr. Mimpin Ginting, MS beserta Dosen dan Staff Laboratorium Kimia Organik FMIPA USU. 5. Seluruh Dosen Departemen Kimia FMIPA USU yang telah memberikan waktunya
untuk memberi bimbingan selama penulis mengikuti kuliah di Departemen Kimia FMIPA USU, terkhusus kepada Bapak Prof. Dr. Zul Alfian, M.Sc sebagai dosen wali yang telah memberikan waktunya untuk memberikan pengarahan dalam menyelesaikan studi selama perkuliahan dan penelitian berlangsung.
6. Teman-teman Asisten Laboratorium Kimia Organik FMIPA USU (K’Sion, bg Bayu, Egitarius, Rimenda, Naomi, Dian, Sopia, Yabes, Inda, Yulia, Friska dan Lianta) dan terkhusus buat b’Cristy Ginting yang selalu setia mendampingi ku baik melalui doa dan perhatian dan semangat.
7. Sahabat-sahabat ku (K’Ony, K’Saulina, Rimenda, Naomi, Ningsih, Melda), abang dan kakak alumni asisten (Silorida, Cristy, Denny, Mutiara, Samuel, Rosidi) , serta teman-teman angkatan 2009.
8. Pihak-pihak yang tidak disebutkan namun dengan tulus membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Akhirnya saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orangtua saya (J. Damanik dan N. br Saragih) yang telah memberi seluruh dukungan sarana dan prasarana dan semangat bahkan dengan setia terus membantu penulis dalam doa, saudara-saudaraku ( Armando Damanik, Nora Damanik dan Juan Randa Damanik) atas doa dan dukungannya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penelitian dan kemajuan Ilmu Pengetahuan Alam demi pengembangan Bangsa dan Negara.
(6)
ABSTRAK
Gliserolisis metil laurat telah dilakukan menggunakan katalis CaO untuk menghasilkan monogliserida, digliserida dan trigliserida. Gliserolisis berlangsung dengan waktu reaksi tetap 9 jam, suhu aktivasi CaO dan gliserol 600C. Aktivasi CaO dan gliserol dilakukan dengan variasi waktu pengadukan 1½ jam dan 3 jam, hasil yang maksimum diperoleh pada waktu pengadukan 1½ jam. Pada variasi suhu reaksi jumlah produk monogliserida dan digliserida yang paling maksimum diperoleh pada suhu 90-1000C yakni 20,4836% pada kondisi refluks, tetapi apabila diikuti dengan destilasi molekular hasilnya menjadi lebih tinggi yakni 31,5828%. Pada variasi pelarut, pada suhu reaksi 90-1000C hasil yang paling maksimum untuk prodak monogliserida menggunakan pelarut 2-butanol (48,1610%) dan digliserida menggunakan pelarut tert-butanol (45,5190%) pada kondisi refluks.
(7)
GLYCEROLYSIS METHYL LAURATE USE CATALYST CALCIUM OXIDE (CaO)
VARIATION IN TEMPERATURE AND SOLVENT
ABSTRACT
Had done glycerolysis of methyl laurate uses CaO catalyst to monoglycerides, diglycerides and triglycerides produce results. Glycerolysis continue with constant reaction time 9 hours, Activation temperature CaO and glycerol is 600C. Activation CaO and glycerol have did with mixture variation time 1,5 hours and 3 hours, maximum results obtained at the mixture time 1,5 hours. At the reaction temperature variation, as product most maximum from monoglycerides and diglycerides obtained at the temperature 90-1000C as 20.4836% at reflux condition, but when followed with molecular distilation, the result be higher as 31.5828%. At solvent variation, at the reaction temperature 90-1000C result most maximum to monoglycerides product uses 2-butanol solvent (48.1619%) and diglycerides uses tert-butanol solvent (45.5190%) at reflux condition.
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
Persetujuan iii
Pernyataan iv
Penghargaan v
Abstrak vi
Abstract vii
Daftar Isi viii
Daftar Gambar x
Daftar Tabel xi
Daftar Lampiran xii
Bab 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1
1.2. Permasalahan 3
1.3. Pembatasan Masalah 3
1.4. Tujuan Penelitian 4
1.5. Manfaat Penelitian 4
1.6. Lokasi Penelitian 4
1.7. Metodologi Penelitian 5
Bab 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oleokimia 6
2.1.1. Gliserida 7
2.1.1.1. Trigliserida 9
2.1.1.2. Monogliserida dan Digliserida 10
2.1.1.3. Fospogliserida 13
2.1.2.Asam Lemak 14
2.2. Gliserolisis 19
2.3. Alkohol 23
2.4. Katalis 26
2.4.1. Katalis Homogen 26
2.4.2. Katalis Heterogen 27
2.4.3. Katalis CaO 29
2.5. Emulsifier 30 2.6. Kromatografi 32 Bab 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat 35
3.2. Bahan 36
3.3. Prosedur Penelitian 3.3.1. Pembuatan Metil Laurat dari Asam Laurat 37
(9)
3.3.3. Pembuatan Asam Sitrat 10% 37 3.3.4. Gliserolisis Metil Laurat
3.3.4.1.Gliserolisis Metil Laurat pada variasi lama pengadukan 38 Antara CaO dengan Gliserol 3.3.4.2. Gliserolisis Metil Laurat dengan variasi suhu 38
pada kondisi Refluks dan dengan destilasi molekular menggunakan soklet
3.3.4.3. Gliserolisis Metil Laurat dengan variasi pelarut 39 pada kondisi Refluks dan dengan destilasi
molekular menggunakan sokhlet 3.4. Bagan Penelitian
3.4.1. Pembuatan Metil Laurat dari Asam Laurat 40
3.4.2. Kalsinasi Katalis CaO 41
3.4.3. Pembuatan Asam Sitrat 10% 41 3.4.4. Gliserolisis Metil Laurat
3.4.4.1. Gliserolisis Metil Laurat pada variasi lama pengadukan 42 antara CaO dengan Gliserol
3.4.4.2. Gliserolisis Metil Laurat dengan variasi 43 suhu pada kondisi refluks dan dengan destilasi
molekular menggunakan soklet
3.4.4.3. Gliserolisis Metil Laurat pada variasi Pelarut pada 44 Kondisi refluks dan dengan destilasi molekular
Menggunakan soklet Bab 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Hasil Analisis Komposisi Metil Laurat 45 4.1.2. Hasil Analisis dengan Spektrofotometer FT-IR Metil Laurat 46 4.1.3. Hasil Reaksi Gliserolisis Metil Laurat 46 4.2. Pembahasan
4.2.1. Pembuatan Metil Laurat 48 4.2.2. Gliserolisis Metil Laurat dengan Katalis CaO 52 Bab 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 62
5.2. Saran 62 DAFTAR PUSTAKA 63
(10)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Reaksi Pembentukan Gliserida dan Asam Lemak 9
Gambar 2.2. Reaksi Pembentukan Trigliserida 10
Gambar 2.3. Reaksi Pembentukan Alkil Ester Asam Lemak 19
Gambar 2.4. Reaksi Gliserolisis Lemak 23
Gambar 4.1. Kromatogram Metil Laurat 45
Gambar 4.2. Mekanisme reaksi pembentukan Metil Laurat 49
Gambar 4.3. Spektrum FT-IR Metil Laurat 50
Gambar 4.4. Puncak Vibrasi stretching ester dalam spektrum FT-IR 51
asam laurat Gambar 4.5. Puncak Vibrasi stretching ester dalam spektrum FT-IR 51
metil Laurat Gambar 4.6. Mekanisme Reaksi Katalis CaO yang diaktivasi dengan 52
Gliserol jika ada sejumlah Air Gambar 4.7. Mekanisme Reaksi Gliserolisis Metil Laurat menggunakan 53
Katalis untuk Membentuk Monogliserida Gambar 4.8. Mekanisme reaksi Gliserolisis Metil Laurat menggunakan 54
katalis CaO Untuk membentuk digliserida Gambar 4.9. Mekanisme reaksi Gliserolisis Metil Laurat menggunakan 55
Untuk membentuk Trigliserida Gambar 4.10.Histogram Kadar Monogliserida, Digliserida dan Trigliserida 57
Pada kondisi reaksi Gliserolisis Metil Laurat Variasi Suhu Dengan pada Refluks dan dengan destilasi molekular menggunakan soklet Gambar 4.11.Histogram Kadar Monogliserida, Digliserida dan Trigliserida 60
pada reaksi Gliserolisis Metil Laurat Dengan Variasi Pelarut pada kondisiRefluks dan dengan destilasi molekular
(11)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Diagram alur Oleokimia dan turunannya 7
Tabel 2.2. Beberapa Asam Lemak yang umum 17
Tabel 2.3. Perbedaan katalis homogen dan katalis heterogen 28
Tabel 2.4. Ciri-ciri Kalsium Oksida 30
Tabel 4.1. Komponen Asam Lemak pada Metil Laurat 45
Tabel 4.2. Hasil Analisis dengan Spektrofotometer FT-IR Metil Laurat 46
Tabel 4.3. Kadar Monogliserida, Digliserida dan Trigliserida pada Reaksi 47
Gliserolisis Metil Laurat pada variasi lama Pengadukan (CaO : Gliserol) 1,5 jam Tabel 4.4. Kadar Monogliserida, Digliserida dan Trigliserida pada Reaksi 47
Gliserolisis Metil Laurat pada variasi Suhu dengan lama Pengadukan (CaO : Gliserol) 1,5 jam Tabel 4.5. Kadar Monogliserida, Digliserida dan Trigliserida pada Reaksi 47
Gliserolisis Metil Laurat pada variasi Pelarut dengan lama Pengadukan (CaO : Gliserol) 1,5 jam Tabel 4.6. Kadar Monogliserida, Digliserida dan Trigliserida pada Reaksi 48
Gliserolisis Metil Laurat pada variasi suhu diikuti dengan Destilasi molekular menggunakan soklet dengan lama Pengadukan (CaO : Gliserol) 1,5 jam Tabel 4.7. Kadar Monogliserida, Digliserida dan Trigliserida pada Reaksi 48
Gliserolisis Metil Laurat pada variasi Pelarut diikuti dengan Destilasi molekular menggunakan soklet dengan lama Pengadukan (CaO : Gliserol) 1,5 jam
(12)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Kromatogram GC Metil Laurat 70
Lampiran 2. Spektrum FT-IR Asam Laurat 71
Lampiran 3. Spektrum FT-IR Metil Laurat 71
Lampiran 4. Kromatogram Hasil Analisa GC Reaksi Gliserolisis dengan 73
Lama Waktu Pengadukan Gliserol:CaO selama 1,5 jam Lampiran 5. Kromatogram Hasil Analisa GC Reaksi Gliserolisis dengan 74
Lama Waktu Pengadukan Gliserol:CaO selama 3 jam Lampiran 6. Kromatogram Hasil Analisa GC Reaksi Gliserolisis pada 75
Suhu 70-800C pada kondisi refluks Lampiran 7. Kromatogram Hasil Analisa GC Reaksi Gliserolisis pada 76
Suhu 90-1000C pada kondisi refluks Lampiran 8. Kromatogram Hasil Analisa GC Reaksi Gliserolisis pada 77
Suhu 110-1200C pada kondisi refluks Lampiran 9. Kromatogram Hasil Analisa GC Reaksi Gliserolisis pada suhu 78
90-1000C pada kondisi refluks dengan pelarut 2-Propanol Lampiran 10.Kromatogram Hasil Analisa GC Reaksi Gliserolisis pada suhu 79
90-1000C pada kondisi refluks dengan pelarut 1-Butanol Lampiran 11.Kromatogram Hasil Analisa GC Reaksi Gliserolisis pada suhu 80
90-1000C pada kondisi refluks dengan pelarut 2-Butanol Lampiran 12.Kromatogram Hasil Analisa GC Reaksi Gliserolisis pada suhu 81
90-1000C pada kondisi refluks dengan pelarut Tert-Butanol Lampiran 13.Kromatogram Hasil Analisa GC Reaksi Gliserolisis pada 82
Suhu 70-800C dengan destilasi molekular menggunakan soklet Lampiran 14.Kromatogram Hasil Analisa GC Reaksi Gliserolisis pada 83
Suhu 90-1000C dengan destilasi molekular menggunakan soklet Lampiran 15.Kromatogram Hasil Analisa GC Reaksi Gliserolisis pada 84
Suhu 110-1200C dengan destilasi molekular menggunakan soklet Lampiran 16.Kromatogram Hasil Analisa GC Reaksi Gliserolisis pada suhu 85
90-1000C dengan destilasi molekular menggunakan soklet dengan pelarut 2-Propanol Lampiran 17.Kromatogram Hasil Analisa GC Reaksi Gliserolisis pada suhu 86
90-1000C dengan destilasi molekular menggunakan soklet dengan pelarut 2-Butanol Lampiran 18.Kromatogram Hasil Analisa GC Reaksi Gliserolisis pada suhu 87
90-1000C dengan destilasi molekular menggunakan soklet dengan pelarut 1-Butanol Lampiran 19.Kromatogram Hasil Analisa GC Reaksi Gliserolisis pada suhu 88 90-1000C dengan destilasi molekular menggunakan soklet
(13)
ABSTRAK
Gliserolisis metil laurat telah dilakukan menggunakan katalis CaO untuk menghasilkan monogliserida, digliserida dan trigliserida. Gliserolisis berlangsung dengan waktu reaksi tetap 9 jam, suhu aktivasi CaO dan gliserol 600C. Aktivasi CaO dan gliserol dilakukan dengan variasi waktu pengadukan 1½ jam dan 3 jam, hasil yang maksimum diperoleh pada waktu pengadukan 1½ jam. Pada variasi suhu reaksi jumlah produk monogliserida dan digliserida yang paling maksimum diperoleh pada suhu 90-1000C yakni 20,4836% pada kondisi refluks, tetapi apabila diikuti dengan destilasi molekular hasilnya menjadi lebih tinggi yakni 31,5828%. Pada variasi pelarut, pada suhu reaksi 90-1000C hasil yang paling maksimum untuk prodak monogliserida menggunakan pelarut 2-butanol (48,1610%) dan digliserida menggunakan pelarut tert-butanol (45,5190%) pada kondisi refluks.
(14)
GLYCEROLYSIS METHYL LAURATE USE CATALYST CALCIUM OXIDE (CaO)
VARIATION IN TEMPERATURE AND SOLVENT
ABSTRACT
Had done glycerolysis of methyl laurate uses CaO catalyst to monoglycerides, diglycerides and triglycerides produce results. Glycerolysis continue with constant reaction time 9 hours, Activation temperature CaO and glycerol is 600C. Activation CaO and glycerol have did with mixture variation time 1,5 hours and 3 hours, maximum results obtained at the mixture time 1,5 hours. At the reaction temperature variation, as product most maximum from monoglycerides and diglycerides obtained at the temperature 90-1000C as 20.4836% at reflux condition, but when followed with molecular distilation, the result be higher as 31.5828%. At solvent variation, at the reaction temperature 90-1000C result most maximum to monoglycerides product uses 2-butanol solvent (48.1619%) and diglycerides uses tert-butanol solvent (45.5190%) at reflux condition.
(15)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Selama ini Indonesia masih mengimpor monogliserida dan digliserida yang dibutuhkan oleh industri (Anggoro dan Budi, 2008). Monogliserida dan digliserida dapat dibuat dari semua senyawa gliserida yang berasal dari lemak maupun minyak. Monogliserida atau monoester gliserol dari asam lemak terdiri dari suatu gugus hidroksil (OH) yang bersifat hidrophilik dan gugus karboksil yang bersifat lipophilik sehingga dapat digunakan pada makanan, deterjen, pemlastis, kosmetik, formulasi farmasi (Feretti et al., 2010). Dalam industri farmasi, monogliserida digunakan sebagai binders pada tablet dan sebagai emmolient untuk transdermal, dan memperlambat kerja obat. Dalam industri makanan, monogliserida dapat digunakan sebagai emulsifier pada pembuatan roti, margarin, produk susu dan saus, sedangkan dalam industri kosmetik dapat digunakan sebagai zat pembentuk dan meningkatkan konsistensi krim dan lotion (Kaewthong et al., 2005).
Sintesis monogliserida untuk pertama kali dilakukan tahun 1853 dan sejak tahun 1960, monogliserida telah diproduksi dalam skala industri dengan proses gliserolisis dari suatu trigliserida. Akhir-akhir ini monogliserida dapat diproduksi dari reaksi berbagai substrat dengan gliserol (Awang et al., 2004). Feretti et al., (2010), menunjukkan bahwa monogliserida dapat disintesis dari gliserol menggunakan trigliserida, asam lemak dan metil ester asam lemak. Gliserolisis dari lemak atau minyak menghasilkan monogliserida dan digliserida yang sangat penting. Dimana monogliserida asam lemak dan turunannya mempunyai banyak aplikasi (Noureddini
(16)
and Medikonduru, 1997). Namun gliserolisis dari metil ester asam lemak lebih menguntungkan dibandingkan dengan asam lemak dan trigliserida, dimana metil ester asam lemak kurang korosif daripada asam lemak, dan memiliki sifat hidrofobik yang lebih rendah daripada trigliserida, kemampuan untuk dapat bercampur yang lebih tinggi dengan gliserol. Sehingga suhu reaksi dapat berlangsung lebih rendah (120-2300C) dibandingkan dengan transesterifikasi dari trigliserida (≈2600C) (Feretti et al., 2010).
Monogliserida diproduksi secara komersial melalui suatu reaksi gliserolisis lemak dan minyak melalui reaksi transesterifikasi dengan gliserol. Prosesnya merupakan proses kimia fisika dan membutuhkan suhu yang tinggi (210-2600C) dan menggunakan katalis anorganik, seperti natrium, kalium, atau kalsium hidroksida. Esterifikasi secara langsung dari asam lemak atau alkil ester dengan gliserol dapat menghasilkan monogliserida dan digliserida dan mungkin trigliserida dan reaksi ini bersifat reversibel (Noureddini and Medikonduro, 1997).
Menurut Feretti et al., (2009), Untuk menghasilkan monogliserida dari gliserol dapat dilakukan dari beberapa cara, yaitu: (i) esterifikasi dari asam lemak menggunakan katalis asam mineral kuat seperti asam sulfat dan asam fosfat pada suhu antara 90-1200C. (ii) gliserolisis transesterifikasi dari trigliserida (TG) atau metil ester asam lemak menggunakan katalis basa cair yang kuat seperti Ca(OH)2 dan KOH pada suhu 120-2600C. Penggunaan katalis padat pada sintesis monogliserida tidak hanya ramah lingkungan dan keuntungan yang praktis tetapi juga meningkatkan produksi monogliserida (Ferretti, et al., 2009).
Pembuatan Monogliserida telah dilakukan oleh beberapa peneliti, yaitu : Anggoro dan Budi, (2008), telah melakukan reaksi gliserolisis minyak kelapa sawit menjadi monogliserida dan digliserida dengan pelarut 1-butanol dan katalis MgO pada suhu 70-1000C dan hasilnya sebesar 93-98%. Demikian juga Yanuar dan Sri, (2009), juga telah melakukan reaksi gliserolisis CPO menjadi monogliserida dan digliserida menggunakan katalis MgO dan pelarut tert-butanol dan 1-butanol. Penggunaan pelarut tersebut dapat menurunkan suhu reaksi.
(17)
Ferretti et al., (2010), membuat monogliserida dari reaksi gliserolisis metil oleat menggunakan katalis MgO pada suhu 220-2500C menghasilkan monogliserida sebesar 77%. Manik, (2008), telah melakukan gliserolisis minyak kelapa dengan katalis NaOH pada temperatur 2100C dan 2300C. Zulfikar, (2009), telah melakukan gliserolisis RBD PO dengan menggunkan katalis CaCO3 pada suhu 210-2150C dengan konversi produk yang diperoleh 50,91%.
Berdasarkan hal ini peneliti tertarik untuk meneliti gliserolisis metil laurat dengan gliserol menggunakan katalis kalsium oksida (CaO) dengan variasi suhu (70-800C, 90-1000C dan 110-1200C) dan pelarut (2-propanol, 1-butanol, 2-butanol dan tert-butanol) pada kondisi refluks dan dengan destilasi molekular menggunakan soklet. Produk gliserolisis yang diperoleh dianalisa dengan GC.
1.2. Permasalahan
Bagaimanakah produk gliserolisis yang diperoleh dari hasil gliserolisis metil laurat dengan gliserol menggunakan katalis kalsium oksida (CaO) dengan variasi suhu (70-800C, 90-1000C dan 110-1200C) dan pelarut (2-propanol, 1-butanol, 2-butanol dan tert-butanol) pada kondisi refluks dan dengan destilasi molekular menggunakan soklet.
1.3. Pembatasan Masalah
1. Pembuatan metil laurat yang diperoleh dari esterifikasi asam laurat dengan metanol menggunakan katalis H2SO4(p).
2. Analisis metil laurat yang diperoleh dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer FT-IR untuk penentuan perubahan gugus fungsi dan GC untuk menentukan kadar metil laurat.
3. Gliserolisis metil Laurat diperoleh melalui reaksi gliserolisis metil laurat menggunakan katalis kalsium oksida (CaO) dengan variasi suhu (70-800C,
(18)
90-1000C dan 110-1200C) dan pelarut (2-propanol, 1-butanol, 2-butanol dan tert butanol) pada kondisi refluks dan dengan destilasi molekular menggunakan soklet. 4. Analisis hasil gliserolisis yang diperoleh dilakukan dengan menggunakan GC
untuk menentukan kadar monogliserida, digliserida dan trigliserida.
1.4. Tujuan Penelitian
Untuk menentukan kondisi optimum dan produk gliserolisis metil laurat dengan gliserol menggunakan katalis kalsium okasida (CaO) dengan variasi suhu (70-800C, 90-1000C dan 110-1200C) dan pelarut (2-propanol, 1-butanol, 2-butanol dan tert-butanol) pada kondisi refluks dan dengan destilasi molekular menggunakan alat soklet.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perkembangan produk-produk oleokimia khususnya dalam gliserolisis antara metil laurat dengan gliserol menggunakan katalis kalsium oksida (CaO) dengan variasi suhu (70-800C, 90-1000C dan 110-1200C) dan pelarut (2-propanol, 1-butanol, 2-butanol dan tert-butanol) pada kondisi refluks dan dengan destilasi molekular menggunakan alat soklet.
1.6. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Organik FMIPA USU Medan. Aktivasi katalis CaO dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA USU Medan, analisa GC dilakukan di salah satu Laboratorium Swasta di Medan dan analisa spektroskopi FT-IR dilakukan di Laboratorium Kimia Organik FMIPA UGM.
(19)
1.7. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan eksperimen laboratorium, dimana bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan produk-produk dari E’Merck seperti: dietil eter, n-heksan, asam sulfat, metanol, benzena. Gliserol yang digunakan diperoleh dari PT SOCI, pabrik pengolahan minyak nabati. Asam laurat selanjutnya diesterifikasi dengan metanol menggunakan katalis H2SO4(p) pada suhu 70-800C selama 5 jam. Metil Laurat yang diperoleh digliserolisis dengan gliserol menggunakan katalis CaO dengan variasi suhu (70-800C, 90-1000C, dan 110-1200C) dan variasi pelarut (2-propanol, 1-butanol, 2-butanol dan tert-butanol) selama 9 jam. Hasil esterifikasi metil laurat yang diperoleh dianalisa dengan Spektrofotometer FT-IR dan hasil gliserolisis yang diperoleh ditentukan kadar monogliserida, digliserida dan trigliseridanya dengan menggunakan analisa GC.
(20)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Oleokimia
Oleokimia merupakan bahan kimia yang berasal dari minyak atau lemak alami, baik dari tumbuhan maupun hewani. Pada saat ini dan pada waktu yang akan datang produk oleokimia akan semakin banyak berperan menggantikan produk-produk turunan minyak bumi (petrokimia). Oleokimia memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan produk petrokimia, seperti harga, sumber yang dapat diperbaharui dan produk yang ramah lingkungan (Tambun, 2008).
Oleokimia dapat diproduksi dengan pemisahan dan reaksi lebih lanjut dari suatu lemak dan minyak, seperti asam lemak, gliserin, metil ester asam lemak, alkohol asam lemak dan amina. Beberapa bahan-bahan oleokimia dapat diperoleh dari petrokimia. Perbedaanya adalah oleokimia alami merupakan turunan dari minyak atau lemak, oleokimia sintesis diperoleh dari bahan-bahan petrokimia seperti asam lemak dari bahan etilena dan parafin, dan gliserin dari bahan propilena ( Richtler and Knaut, 1984). Diagram alur oleokimia dapat digambarkan pada tabel 2.1. di bawah ini
(21)
Tabel.2.1. Diagram alur oleokimia dan turunanya
Bahan Dasar Bahan Dasar Oleokimia Turunan
Oleokimia
Minyak / Lemak
Asam Lemak Diikuti reaksi-reaksi
seperti : Aminasi Klorinasi Dimerisasi
Etoksidasi Guebetisasi Hidrogenasi Kuarternisasi Sulfasi
Transesterifikasi Esterifikasi Saponifikasi Amina Asam Lemak
Alkohol Asam Lemak
Amina Asam Lemak
Metil Ester Asam Lemak
Gliserol
Propilen, Parafin dan Etilen
Sumber : Richtler dan Knaut, 1984 : Alami
: Sintesis
2.1.1. Gliserida
Gliserida disebut juga asil gliserol yang merupakan senyawa ester antara gliserol dan asam lemak. Gliserida yang berwujud padat pada suhu kamar disebut lemak sedangkan gliserida yang berwujud cair pada suhu kamar disebut dengan minyak. Lemak biasanya berasal dari hewan, sedangkan minyak berasal dari tanaman (Wingrove and Caret, 1939). Karena itu biasa terdengar ungkapan lemak hewani (lemak babi, lemak sapi) dan minyak nabati (minyak jagung, minyak bunga matahari) (Fessenden dan Fessenden, 1986). Sebagian besar minyak nabati berbentuk cair karena mengandung sejumlah asam lemak tidak jenuh, yaitu asam oleat, linoleat atau asam linolenat dengan titik cair yang rendah. Lemak hewani pada suhu kamar umumnya berwujud padat pada suhu kamar karena banyak mengandung asam lemak
(22)
jenuh, misalnya asam palmitat dan stearat yang mempunyai titik cair yang lebih tinggi.
Adapun perbedaan umum dari lemak nabati dan hewani adalah :
1. Lemak hewani mengandung kolesterol sedangkan minyak nabati mengandung fitosterol
2. Kadar asam lemak tidak jenuh dalam lemak hewani lebih kecil daripada lemak nabati
3. Lemak hewani mempunyai bilangan Reichert-Meissl lebih besar dan bilangan
Polenske yang lebih kecil dibandingkan dengan lemak nabati (Ketaren, 1986).
Kebanyakan lemak dan minyak yang terdapat di alam merupakan trigliserida campuran, artinya ketiga bagian dari asam lemak dari gliserida tersebut tidaklah sama (Fessenden dan Fessenden, 1986). Struktur umum dari lemak dan minyak :
O O
O
O O O
C
C R
R R CH2
CH2 CH
C Trigliserida Lemak dan Minyak
Lemak dan Minyak dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya, sebagai berikut :
1. Bersumber dari tanaman
a. Biji-bijian palawija : minyak jagung, biji kapas, kacang, wijen, kedele, bunga matahari.
b. Kulit buah tanaman tahunan : minyak zaitun dan minyak kelapa sawit. c. Biji-bijian dari tanaman tahunan : kelapa, coklat, inti sawit
2. Bersumber dari hewan
a. Susu hewan peliharaan : lemak susu
b. Daging hewan peliharaan : lemak sapi dan turunanya. c. Hasil laut: minyak ikan sardin, minyak ikan paus.
(23)
Minyak dan lemak tidak larut dalam air, kecuali minyak jarak (castor oil). Minyak dan lemak hanya sedikit larut dalam alkohol, tapi akan melarut sempurna dalam etil eter, karbon disulfida dan pelarut-pelarut halogen. Ketiga jenis pelarut ini memiliki sifat non polar sebagaimana halnya minyak dan lemak netral. Kelarutan dari minyak dan lemak ini dipergunakan sebagai dasar untuk mengekstraksi minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak (Ketaren, 1986).
Gliserida juga merupakan gabungan dari trihydric alkohol gliserol dengan beberapa asam lemak. Pada pembentukan suatu gliserida, molekul gliserol diesterifiksai dengan asam lemak, dan pada prosesnya melepas tiga molekul air (H2O) (Minifie, 1989). Esterifikasi dari gliserol dengan asam lemak menghasilkan suatu gliserida netral. Esterifikasi ini dapat terjadi pada satu, dua atau pada semua posisi untuk menghasilkan monogliserida, digliserida atau trigliserida (Denniston, 2001). Dengan cara lain, Gliserida dapat dihidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Prosesnya dapat ditunjukkan sebagai berikut:
CH2 CH2 CH OH OH OH OH R1 C
O
OH R2 C
O
OH R3 C
O Esterifiksai Hidrolisis CH2 CH2 CH O O O C C C O O O R1 R2 R3
H2O
Gliserol Asam lemak Gliserida Air
Gambar 2.1. Reaksi Pembentukan Gliserida dan Asam Lemak (Minifie, 1989)
2.1.1.1. Trigliserida
Trigliserida merupakan trihidroksi alkohol dan dapat berbentuk triester dengan satu, dua atau tiga asam lemak yang berbeda. Triester dapat dibentuk dengan tiga atau beberapa residu asil (seperti tripalmitin), yang mana ester dicampur dengan menggunakan dua atau tiga residu asil yang berbeda, seperti dipalmito-olein (P2O) dan palmito-oleo-linolein (POL). Titik lebur dari suatu trigliserida dipengaruhi oleh
(24)
komposisi asam lemak yang terkandung di dalamnya dan pendistribusian daripada molekul gliserida (Belitz and Grosch, 1987). Trigliserida yang tersusun dari asam lemak tidak jenuh akan berwujud cair dan mempunyai titik cair rendah, yang pada umumnya terdapat pada minyak nabati sedangkan trigliserida yang tersusun dari asam lemak jenuh akan berwujud padat dan umumnya mempunyai titik cair yang tinggi dan biasanya terdapat pada minyak hewan (Christie, 1982). Reaksi pembentukan suatu trigliserida :
OH OH OH
R OH
O C
O O O
C C C O
O
O R
R
R
Gliserol Asam lemak Trigliserida
3 H2O
Air
Gambar 2.2. Reaksi Pembentukan Trigliserida (Denniston, 2001)
Trigliserida juga banyak diubah menjadi monogliserida dan digliserida, karena baik monogliserida dan digliserida penggunaannya sangat luas sebagai bahan pengemulsi. Oleh karena itu trigliserida melalui reaksi transesterifikasi dengan gliserol diubah menjadi monogliserida dan digliserida dengan bantuan katalis seperti natrium metoksida dan basa lewis lainnya. Hanya saja proses ini menghasilkan campuran yang terdiri atas 40-80% monogliserida, 30-40% digliserida, 5-10% trigliserida, 0,2-9% asam lemak bebas dan 4-8% gliserol (Tarigan, 2009).
Lemak dan minyak adalah triester dari gliserol yang disebut dengan gliserida atau lebih tepat trigliserida (Sastrohamidjojo, 2009).
2.1.1.2. Monogliserida dan Digliserida
Monogliserida atau monoester gliserol dari asam lemak terdiri dari suatu gugus hidroksil (OH) yang bersifat hidrophilik dan gugus karboksil yang bersifat lipophilik. Monogliserida juga bersifat biodegradable dan dapat digunakan sebagai zat aditif
(25)
pada makanan karena memberikan efek yang baik. Penggunaanya dapat ditemukan pada produk roti, makanan dengan kadar lemak yang rendah, produk susu dan saus, dapat digunakan pada makanan, deterjen, pemlastis, kosmetik, formulasi farmasi (Feretti et al., 2009). Monogliserida dapat dihasilkan dari dua proses, yaitu esterifiksai langsung dari gliserol dengan asam lemak atau gliserolisis dari gliserol dengan minyak atau lemak (esterifiksai tidak langsung). Pembuatan monogliserida saat ini melibatkan gliserolisis kontinu dari lemak dan minyak dengan menggunakan katalis basa anorganik dengan temperatur yang tinggi (220-2500C) di bawah atmosfer nitrogen (McNeill et al., 1991). Namun, proses ini hanya menghasilkan 30-40% monogliserida (McNeill dan Yamane., 1991) dan memiliki beberapa kelemahan seperti hasil yang rendah, warna gelap dan rasa terbakar (Bornscheuer, 1995). Demmering dan Effey, (1981) memperoleh hasil monogliserida yang tinggi sebanyak 60% dari proses transesterifiksai gliserol dengan trigliserida dengan menggunakan katalis alkali pada suhu 3000C.
Adapun reaksi pembentukan monogliserida dan digliserida adalah sebagai berikut :
(26)
CH CH
CH2 CH2
Metil ester
asam lemak Gliserol
CH2
Monogliserida Basa metil ester
asam lemak
CH3OH metil ester
asam lemak basa CH3OH
CH CH2
Trigliserida 1,2-diester 1,3-diester Digliserida
CH3OH R C C O OH OH OH OCH3
O CH2 R
O OH OH OH CH CH2 C O CH2 R O OH OH
CH2 O C R O C O R O C O R O CH CH2
CH2 O C R
O C O R O CH CH2
CH2 O C R O
C
O R
O OH
2. Reaksi gliserolisis trigliserida (Ferretti, et al., 2010)
CH2 CH2 CH O O O O O O C C C R R R CH2 CH2 CH OH OH OH CH2 CH2 CH O O O OH O C C R R CH2 CH2 CH O O OH OH C R
Trigliserida Gliserol Monogliserida Digliserida
CH2 CH2 CH O O O OH O C C R R Digliserida CH2 CH2 CH OH OH OH Gliserol CH2 CH2 CH O O OH OH C R Monogliserida 2
(27)
CH2 CH2 CH O O O O O O C C C R R R Trigliserida CH2 CH2 CH O O OH OH C R Monogliserida CH2 CH2 CH O O O OH O C C R R Digliserida 2
3. Esterifikasi asam lemak dengan gliserol (Prasetyo, dkk., 2012)
CH2 CH2 CH OH OH OH Gliserol R C O OH CH2 CH2 CH O O OH OH C 1-Mono
R CH2
CH2 CH OH OH O 2-Mono O
C R H2O
Asam Lemak Air
Monogliserida
Pembentukan dari monogliserida dan digliserida pada minyak yang dapat dimakan atau lemak atau pada makanan mentah adalah terjadi sangat lambat. Monogliserida dan digliserida diproduksi secara komersial dengan gliserolisis suatu lemak. Monogliserida dan digliserida merupakan agen pengaktif permukaan. Keduanya dapat dimodifikasi secara lebih lanjut melalui esterifikasi dengan asetat, laktat, fumarat, tartarat dan asam sitrat (Belitz and Grosch, 1987). Untuk mendapatkan suatu monogliserida yang murni yang akan digunakan dalam bahan makanan, farmasi dan kosmetika maka harus dilakukan destilasi molekuler (Tarigan, 2009). Monogliserida tidak larut dalam air, larut dalam etanol, kloroform dan benzena. Monogliserida dan digliserida dapat diproduksi baik secara batch maupun kontinyu. Sebagian besar produksi di Amerika Serikat masih menggunakan proses batch dimana waktu reaksi, temperatur dan katalis yang digunakan bervariasi. Untuk proses kontinyu, waktu proses biasanya lebih pendek sekitar 30 menit dibandingkan waktu proses sistem batch (Prakoso dan Sakanti, 2007).
(28)
2.1.1.3. Fospogliserida
Fosfogliserida merupakan suatu senyawa yang biasanya mengandung ester asam lemak pada dua posisi gliserol dengan suatu ester fosfat pada posisi ketiga. Fosfogliserida mengandung gugus asil yang berasal dari asam lemak rantai panjang pada C-1 dan C-2 dari gliserol-3-posfat. Pada C-3 gugus fosforil bergabung dengan gliserol membentuk ikatan fosfodiester. Fosfogliserida sederhana mengandung gugus fosforil bebas dan dikenal dengan phosphatidate (Denniston, 2001). Fosfogliserida bersifat jelas terbedakan (distinctive) karena molekul-molekulnya berisi dua ekor hidrofobik yang panjang dan suatu gugus hidrofilik yang sangat polar – suatu gugus ion dipolar (Fessenden dan Fessenden, 1986). Molekul ini membentuk struktur agregat lebih mudah daripada sabun dan deterjen sintetik, sebagaimana tercermin dengan nilai CMC yang rendah (Streitwieser et al., 1992). Oleh karena itu fosfogliserida bersifat surfaktan netral. Dan merupakan zat pengemulsi yang sangat bagus. Dalam mayonnaise, fosfogliserida dari kuning telur menjaga agar minyak nabati tetap teremulsi dalam cuka. Dua tipe fosfogliserida adalah sebagai berikut :
R'CO O
C CH2OCR
O
CH2OPOCH2CH2N(CH3)3
O O
-N kuaterner H
suatu lesitin, atau fosfatidilkolina
R'CO O
C
CH2OCR
O
CH2OPOCH2CH2NH3
O O
-N primer H
suatu sefalin, atau fosfatdiletanolamina
Simbol umum suatu fosfogliserida :
O
kepala hidrofilik dipolar ekor hidrofobik
Lesitin (lecithin) dan sefalin (cephalin) merupakan dua tipe fosfogliserida yang dijumpai terutama dalam otak, sel saraf, dan hati hewan dan juga dijumpai dalam
(29)
kuning telur, kecambah gandum, ragi, kedelai dan makanan lainnya (Fessenden dan Fessenden, 1986).
2.1.2. Asam Lemak
Asam lemak adalah asam karboksilat yang diperoleh dari hidrolisa suatu lemak atau minyak, yang pada umumnya memiliki rantai hidrokarbon panjang dan tidak bercabang (Fessenden dan Fessenden, 1986). Asam lemak dapat berasal dari hewan maupun tumbuhan. Dengan rumus umum :
R C OH
O
Dimana R adalah rantai karbon yang jenuh atau yang tidak jenuh dan terdiri atas 4 sampai 24 buah atom karbon. Rantai karbon jenuh merupakan rantai karbon yang tidak mengandung ikatan rangkap, sedangkan rantai karbon tidak jenuh merupakan rantai karbon yang mengandung ikatan rangkap. Pada umumnya asam lemak mempunyai jumlah atom karbon genap (Poedjiadi, 1994), hal ini disebabkan karena asam ini dibiosintesis dari gugus asetil berkarbon-dua dalam asetilkoenzime A.
8 CH3C SCoA O
asetilkoenzime A
banyak tahap
CH3(CH2)14CO2H asam palmitat
dua karbon jumlah karbon genap
(Fessenden dan Fessenden, 1986).
Asam lemak yang mempunyai berat molekul yang paling besar di dalam molekul gliserida juga merupakan bagian yang reaktif. Hingga dapat dimengerti bahwa asam lemak mempunyai pengaruh yang besar terhadap lemak dan minyak. Asam lemak yang menyusun lemak ini masih dibedakan antara asam lemak yang jenuh dan tak jenuh.
(30)
Asam lemak disebut jenuh bila semua atom-C dalam rantainya diikat tidak kurang daripada dua atom H, hingga dengan demikian tidak ada ikatan rangkap.
H
H H
H H
H H
H
C C C C
H C
O OH
Asam-asam lemak jenuh yang telah dapat diidentifikasi sebagai bagian dari lemak mempunyai atom C4 hingga C26. Asam palmitat C16 terdapat paling banyak; senyawa tersebut merupakan bagian dari hampir semua lemak. Asam-asam lemak jenuh yang banyak pemakaiannya antara lain: laurat (C12), miristat (C14) dan stearat (C18). Asam-asam lemak tidak menunjukkan kenaikan yang teratur di dalam titik cairnya dengan kenaikan panjang rantainya ( Sastrohamidjojo, 2009). Asam lemak jenuh yang mempunyai rantai karbon pendek, yaitu asam butirat dan kaproat mempunyai titik lebur yang rendah. Ini berarti bahwa kedua asam tersebut berupa zat cair pada suhu kamar. Makin panjang rantai karbon, makin tinggi titik leburnya. Asam palmitat dan stearat berupa zat padat pada suhu kamar (Poedjiadi, 1994).
Asam laurat atau disebut juga dengan asam dodekanoat merupakan asam lemak jenuh yang tersusun dari 12 atom karbon. Asam laurat mengandung gugus hidrokarbon non polar pada bagian ekornya dan gugus karboksilat yang polar pada bagian kepala sehingga dapat berinteraksi dengan air. Asam laurat merupakan satu diantara tiga asam lemak jenuh yang paling banyak dijumpai daripada asam miristat, asam palmitat dan asam stearat. Asam laurat paling banyak dijumpai pada cinnamon (80-90%), minyak kelapa (40-60%) dan minyak inti sawit (40-50%). Asam laurat banyak digunakan pada pembuatan sabun, sampo, kosmetik dan bahan aktif permukaan lainnya. Adapun struktur dari asam laurat adalah sebagai berikut :
C11H23C O
OH Asam Laurat
Sifat-sifat asam laurat adalah sebagai berikut : - Rumus molekul : C12H24O2
- Berat molekul : 200,31 gr/mol - Densitas : 0.869 gr/cm3
(31)
- Titik didih : 2250C - Titik lebur : 440C - Kristal serbuk berwarna putih
- Tidak larut dalam air, 1 gram larut dalam 1 ml alkohol, 2,5 ml dalam propil alkohol dan larut sempurna dalam benzena dan eter (Anonimous. 1976).
Asam-asam lemak yang berantai pendek dapat larut dalam air, semakin panjang rantai asam-asam lemak maka kelarutannya di dalam air semakin berkurang. Asam kaprilat pada 300C mempunyai nilai kelarutan 1, yang artinya 1 gram asam kaprilat dapat larut dalam setiap 100 gram air pada suhu 300C (Ketaren, 1986).
Asam lemak tidak jenuh adalah asam lemak yang di dalamnya rantai karbonnya mengandung ikatan rangkap. Apabila dibandingkan dengan asam lemak jenuh, asam lemak tidak jenuh mempunyai titik lebur lebih rendah. Asam oleat mempunyai rantai karbon sama panjang dengan asam stearat, akan tetapi suhu kamar asam oleat berupa zat cair. Disamping itu makin banyak jumlah ikatan rangkap, makin rendah titik leburnya. Hal ini tampak pada titik lebur asam linoleat yang lebih rendah dari titik lebur asam oleat (Poedjiadi, 1994). Derajat ketidakjenuhan dari minyak tergantung pada jumlah rata-rata dari ikatan rangkap di dalam asam lemak. Pada asam lemak tidak jenuh, masih dibedakan antara asam yang mempunyai bentuk “
non-conjugated”, yaitu ikatan rangkap dalam rantai C selalu dipisahkan oleh dua ikatan
tunggal. Bentuk yang lain adalah asam yang “conjugated”, dimana antara atom-atom C yang tertentu terdapat ikatan tunggal dan ikatan rangkap berganti-ganti.
H H H H H H C C C C H C O OH
Rantai karbon dari asam lemak tidak jenuh
H H H H C C C H H C C H H C
Rantai asam lemak yang "conjugated" terkonjugasi
H C OOH
H H H H H H C C C C H H C C H H C
Rantai asam lemak yang "non-conjugated" Tidak terkonjugasi
H C
O OH :
(32)
Beberapa asam lemak yang umum terdapat sebagai ester dalam tumbuhan atau hewan tertera pada tabel 2.2. berikut :
Tabel 2.2. Beberapa asam lemak yang umum
Nama Rumus Asam lemak jenuh
Asam butirat C3H7COOH
Asam Laurat C11H23COOH
Asam palmitat C15H31COOH
Asam stearat C17H35COOH
Asam Lemak tak Jenuh
Asam oleat C17H33COOH
Asam linoleat C17H31COOH
Asam linolenat C17H29COOH
(Poedjiadi, 1994).
Ester asam lemak di alam terdapat dalam bentuk ester antara gliserol dengan asam lemak ataupun terkadang ada gugus hidroksilnya yang teresterkan tidak dengan asam lemak tetapi dengan phospat seperti pada phospolipid. Ester asam lemak sering juga dimodifikasi baik untuk bahan makanan maupun untuk bahan surfaktan, aditif, detergen dan lain sebagainya (Endo, dkk., 1997).
Senyawa ester dapat dibentuk dengan beberapa cara :
a. Esterifikasi yaitu reaksi antara asam karboksilat dengan alkohol menghasilkan ester dengan hasil samping air.
R C
O
OH + R' C
O
O R' + H2O
R OH
b. Interesterifikasi yaitu reaksi antara ester yang satu dengan ester yang lain menghasilkan ester yang baru.
R C
O
O R + R" C O
O R* '
R C
O
O R + R C
O
O R
* " '
(33)
R C O
OR' + R" OH R C
O
OR" + R' OH
d. Asidolisis yaitu reaksi pembentukan suatu ester baru antara asam karboksilat dengan ester yang lain
R C
O
OR' + R C O
OH R C
O OR
" " ' + R C
O OH
Ketiga reaksi yang terakhir diatas dikelompokkan menjadi reaksi transesterifikasi (Gandhi, 1997). Sintesis metil ester asam lemak merupakan hasil dari suatu reaksi transesterifikasi dari suatu minyak (trigliserida) menjadi alkil ester menggunakan alkohol dengan katalis asam, basa atau katalis enzim yang menghasilkan alkil ester asam lemak dengan berbagai kelompok alkil yang dimanfaatkan sebagai biodiesel dalam industri.
CH2OCOR1
CH2OCOR3 CHOCOR2
Trigliserida
CHOH R1-COO-R
CH2OH 3 ROH
R3-COO-R R2-COO-R
CH2OH
Alkohol Alkil ester
asam lemak Gliserol
Gambar 2.3. Reaksi Pembentukan Alkil Ester Asam Lemak (Lee, et al., 2009).
Metil ester asam lemak, selain digunakan sebagai pengganti solar, juga digunakan dalam kosmetik, detergen, aditif pada tekstil dan kertas (Kimmel et al., 2004).
2.2. Gliserolisis
Gliserolisis adalah peruraian suatu lemak atau ester yang lain oleh gliserol. Giserol merupakan trihidroksi alkohol (C2H5(OH)3) atau 1,2,3-propanetriol. Struktur kimia dari gliserol adalah sebagai berikut :
(34)
CH2OH
CHOH
CH2OH Gliserol
Gliserol dapat dihasilkan dari berbagai hasil proses, seperti :
1. Fat splitting, yaitu reaksi hidrolisa minyak oleh air menghasilkan gliserol dengan
asam lemak.
CH2OCOR
CH2OCOR
CHOCOR 3 H2O
CH2OH
CHOH
CH2OH 3RCOOH
Air Asam Lemak Gliserol
Minyak/Lemak
2. Safonifikasi lemak dengan NaOH , menghasilkan gliserol dengan garam asam lemak.
CH2OCOR
CH2OCOR
CHOCOR 3 NaOH
CH2OH
CHOH
CH2OH 3RCOONa
Minyak/Lemak Natrium hidroksida Sabun Gliserol
3. Transesterifikasi lemak dengan metanol menggunakan katalis, menghasilkan gliserol dengan metil ester asam lemak.
CH2OCOR
CH2OCOR
CHOCOR 3CH3OH
CH2OH
CHOH
CH2OH 3RCOOCH3
Minyak/Lemak Metanol Metil Ester Gliserol Katalis
Sifat fisik dari gliserol, yaitu : - Berat molekul : 92.09
(35)
- Titik didih : 2900C - Titik lebur : 18,170C - Densitas : 1,261
- Merupakan cairan tidak berwarna - Tidak berbau
Gliserol banyak digunakan dalam berbagai keperluan industri :
- Kosmetik : Digunakan sebagai body agent, emolient, lubricant, sabun, detergen. - Peledak : Digunakan untuk membuat nitrogliserin sebagai bahan dasar peledak. - Resin : Digunakan untuk poliuretan dan asam ptalat
(Tambun, 2006). Gliserol juga dapat digunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan monogliserida, digliserida dan trigliserida melalui proses reaksi esterifikasi atau interesterifikasi secara kimia dan enzimatis. Bila suatu radikal asam lemak berikatan dengan gliserol, akan terbentuk suatu monogliserida. Sedangkan trigliserida akan terbentuk bila tiga asam lemak teresterifikasi dengan satu molekul gliserol (Winarno, 2002).
Industri gliserolisis dapat dilakukan dengan mereaksikan suatu trigliserida dengan gliserol sehingga menghasilkan monogliserida. Reaksi antara trigliserida dengan gliserol biasanya dilakukan pada suhu 2500C untuk meningkatkan kelarutan gliserol dengan fase minyak, sedangkan pada temperatur ruang kelarutannya hanya 4%. Untuk mempercepat reaksi dapat digunakan katalis alkali seperti, NaOH, KOH dan Ca(OH)2. Dan reaksi biasanya berlangsung selama 4 jam, dan pada akhir reaksi katalis dinetralisasi dan campuran reaksi didinginkan dengan cepat (Temelli et al., 1996). Kelemahan reaksi gliserolisis dengan katalis alkali yaitu suhu reaksi yang cukup tinggi. Dimana dengan tingginya temperatur dapat menyebabkan produk yang dihasilkan berwarna gelap dan terbentuk bau yang tidak diinginkan.
Kimmel, (2004), menunjukkan reaksi tanpa katalis akan berlangsung lambat, namun reaksi dapat dipercepat dengan menggunkan katalis asam atau katalis basa. Reaksi dengan katalis basa lebih cepat dibandingkan dengan katalis asam.
(36)
Kaewthong et al., (2003), gliserolisis juga dapat dilakukan dengan menggunakan katalis enzim. Dimana enzim yang biasa digunakan yaitu enzim lipase, dengan temperatur reaksi sekitar 300C, hal ini disebabkan karena katalis enzim tidak bisa bekerja atau akan mati pada suhu yang tinggi. Kelemahan enzim sebagai katalis yaitu mahalnya harga enzim dan reaksi enzimatik yang relatif lambat.
Gliserolisis dengan metil ester, pembentukan daripada metanol menunjukkan terbentuknya gliserida (ikatan ester). Akan tetapi, penghilangan dari metanol ini sangat penting untuk dilakukan dalam pembentukan monogliserida dan digliserida. Metanol dapat dihilangkan dengan menggunakan alat vakum atau dengan menggunakan gas nitrogen. Gliserolisis dengan lemak merupakan transesterifiksai dari gliserol dengan trigliserida menjadi monogliserida dan digliserida dengan adanya katalis alkali. Reaksi gliserolisis ini merupakan reaksi reversible, dengan tahapan reaksi sebagai berikut :
(37)
CH2 CH2 CH O O O O O O C C C R R R CH2 CH2 CH OH OH OH CH2 CH2 CH O O O OH O C C R R CH2 CH2 CH O O OH OH C R
Trigliserida Gliserol Monogliserida Digliserida
CH2 CH2 CH O O O OH O C C R R Digliserida CH2 CH2 CH OH OH OH Gliserol CH2 CH2 CH O O OH OH C R Monogliserida 2 CH2 CH2 CH O O O O O O C C C R R R Trigliserida CH2 CH2 CH O O OH OH C R Monogliserida CH2 CH2 CH O O O OH O C C R R Digliserida 2
Gambar 2.4. Reaksi Gliserolisis Lemak (Noureddini and Medikonduru, 2004).
Dimana dengan adanya jumlah gliserol yang berlebih (secara stoikiometri) dapat meningkatkan pembentukan monogliserida dan digliserida (Noureddini and Medikonduru, 1997).
Gliserolisis dari lemak atau minyak dalam industri sangat penting untuk menghasilkan monogliserida dan digliserida. Dimana monogliserida asam lemak dan turunannya memiliki banyak aplikasi seperti, sebagai surfaktan dan emulsifier pada berbagai makanan, kosmetik dan produk farmasi (Meffert, 1984; Lauridsen, 1976). Penggunaan suhu yang tinggi dalam proses gliserolisis dapat menyebabkan produk yang dihasilkan berwarna gelap dan terbentuk bau yang tidak diinginkan. Sehingga diperlukan suatu pelarut yang diperkirakan dapat meningkatkan kalarutan daripada
(38)
minyak dengan gliserol sehingga gliserolisis dapat dilakukan pada suhu yang lebih rendah untuk menghindari terbentuknya warna coklat dan bau yang tidak sedap akibat terbakarnya bahan dan produk.
2.3. Alkohol
Alkohol adalah senyawa yang mempunyai gugus fungsi hidroksil yang terikat pada atom karbon jenuh. Alkohol mempunyai rumus umum ROH, dimana R merupakan alkil, alkil tersubstitusi, atau hidrokarbon siklik. Alkohol dapat dianggap turunan dari air (H-O-H), dimana satu atom hidrogennya diganti dengan gugus alkil. Alkohol diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu alkohol primer, alkohol sekunder dan alkohol tersier.
CH3CH2-OH
alkohol primer
CH3-CH-CH3 OH
alkohol sekunder alkohol tersier CH3-C-CH3
OH CH3
etanol 2-propanol t-butil alkohol CH3-OH
metanol
(Siswoyo, 2009)
Dalam proses gliserolisis digunakan pelarut alkohol yang diperkirakan dapat meningkatkan kelarutan minyak dalam gliserol supaya reaksi gliserolisis dapat dilakukan pada temperatur yang lebih rendah. Pelarut yang dapat meningkatkan kelarutan minyak dalam alkohol adalah senyawa alkohol alifatis, seperti 1-butanol, isopropil alkohol, tert-butanol.
Isopropil alkohol atau isopropanol merupakan alkohol sekunder. Dengan struktur sebagai berikut :
CH3-CH-CH3 OH 2-propanol
Yang mana dibuat dari propilena yang diperoleh dari cracking minyak bumi, atau reduksi dari aseton. Isopropanol merupakan cairan yang mudah terbakar. Baunya sedikit merupai campuran antara etanol dan aseton dan sedikit pahit.
(39)
Sifat-sifat isopropil alkohol adalah sebagai berikut : - Berat molekul 60,09 gram/mol - Rumus empiris C3H8O
- Cairan tidak berwarna
- Titik didih 82,50C - Titik beku -89,50C - Titik cair -88,50C
- Densitas 0,78505gram/cm3
- Larut pada benzena, kloroform, etanol, eter dan gliserin
Isopropil alkohol digunakan sebagai zat antibeku. Sebagai pelarut untuk getah, lak, minyak esensial, pelarut pada ekstraksi alkaloida, komponen minyak pengeringan cepat dan tinta, denaturasi etil alkohol. Pada tubuh digunakan sebagai antiseptik untuk lotion tangan, lotion setelah bercukur dan kosmetik lainnya. Juga digunakan sebagai pelarut untuk resin, getah dan creosote (Anonimous,1976). Harismawati dan Prasetyo, (2011), menggunakan pelarut isopropil alkohol dalam produksi monogliserida dan digliserida untuk mempercepat kelarutan dari minyak dan gliserol sehingga proses gliserolisis dapat dilakukan pada temperatur lebih rendah.
1-butanol atau butil alkohol merupakan kelompok alkohol primer yang terdiri dari 4 atom karbon. Dapat dibuat dari butaraldehida dengan natrium borohidrida, dari etilena oksida dan trietilaluminium, dengan oksidasi tributilborane. 1-Butanol merupakan cairan yang sangat bias, luka bakaran dengan api sangat bercahaya, bau yang mirip dengan minyak fusel tetapi lemah. Dengan struktur sebagai berikut :
C C
H C C OH
H H H
H
H
H H H 1-butanol
Sifat-sifat 1-butanol adalah sebagai berikut : - Densitas 0,810 gram/cm3 - Titik didih 117-1180C - Titik cair -900C - Titik nyala 36-380C
(40)
1-butanol digunakan sebagai pelarut untuk lemak, lilin, resin, lak, pernis, getah dan lain-lain. 1-butanol juga digunakan dalam pembuatan lak, rayon, deterjen dan senyawa butil lainnya. Dalam mikroskopi digunakan sebagai material pengikat parafin(Anonimous,1976). Anggoro dan Budi, (2008), menggunakan pelarut 1-butanol dalam proses gliserolisis minyak kelapa sawit menjadi monogliserida dan digliserida untuk mempercepat kelarutan dari minyak kelapa sawit dengan gliserol.
2-butanol atau 2-hidroksi butana merupakan senyawa organik dengan rumus CH3CH2CH(OH)CH3. 2-butanol merupakan kelompok akohol sekunder yang dapat dibuat dari reduksi dari 2-butanon. Dengan struktur sebagai berikut :
C C
H C C H
H H H
H
H
H H OH 2-butanol
Sifat-sifat dari 2-butanol adalah sebagai berikut : - Titik didih 99,50C
- Titik beku -114,70C - Densitas 0.808 gram/cm3 - Larut dengan alkohol, eter
2-butanol digunakan dalam sintesis flotation agents, rasa, parfum, zat warna dan zat pembasah (wetting agents). Dalam industri, sebagai pembersih, penghilang cat. 2-butanol juga banyak digunakan sebagai pelarut untuk banyak resin alami, minyak biji rami dan minyak jarak (Anonimous,1976).
tert-butil alkohol atau 2-metil-2-propanol merupakan alkohol tersier yang memiliki rumus empiris C4H10O. Dapat dibuat dari asetil klorida dan dimetilseng. Dapat juga dihasilkan dari hidrasi katalitik isobutilena. tert-butanol memiliki struktur sebagai berikut :
CH3 CH3
CH3 C OH tert-butanol
(41)
Sifat-sifat dari tert-butanol adalah sebagai berikut : - Titik cair 25,60C
- Titik didih 82,410C - Titik beku 25,70C
- Densitas 0,78581 gram/cm3 - Larut dengan alkohol dan eter
tert-butanol digunakan untuk denaturant etanol, pabrik zat pengapungan
(flotation agents), rasa, parfum dan sebagai pelarut pada penghilang cat
(Anonimous,1976). Pramana dan Mulyani, (2009), menggunakan pelarut tert-butanol dalam proses gliserolisis CPO menjadi monogliserida dan digliserida untuk mempercepat kelarutan dari CPO dengan gliserol sehingga proses gliserolisis dapat berlangsung pada temperatur yan lebih rendah.
2.4. Katalis
Katalis adalah suatu zat yang mengakibatkan reaksi lebih cepat mencapai kesetimbangan. Katalis berperan untuk menurunkan energi bebas pengaktifan (Cotton and wilkinson, 1989). Katalis dapat dibedakan dalam 2 golongan utama yaitu katalis homogen dan katalis heterogen.
2.4.1. Katalis Homogen
Katalis homogen adalah katalis yang mempunyai fasa yang sama dengan fasa campuran reaksinya. Katalis homogen dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu katalis homogen asam dan katalis homogen basa. Pada katalis asam, katalis akan bertindak sebagai asam terhadap reaktan, sedangkan pada katalis basa, katalis akan bertidak sebagai basa terhadap reaktan (Hattori, 2003). Katalis homogen lebih efektif dibandingkan dengan katalis heterogen tetapi pada katalisis homogen katalis sukar dipisahkan dari produk dan sisa reaktannya sedangkan pada katalisis heterogen pemisahan daripada katalis dan produknya serta sisa reaktan mudah dipisahkan (Setyawan, 2003).
(42)
Pada proses transesterifikasi terhadap suatu lemak dan minyak, penggunaan daripada katalis basa homogen alkali tidak dapat langsung digunakan, karena keberadaan daripada asam lemak bebas. Untuk penggunaan katalis ini pada suatu lemak dan minyak konsentrasi asam lemak bebasnya harus kurang dari 0,5% (w/w) untuk menghindari terjadinya proses penyabunan antara asam lemak bebas dengan katalis. Contoh reaksi salah satu asam lemak bebas dengan katalis basa alkali,
R C OH NaOH R C ONa H2O
O O
Asam lemak bebas Natrium hidroksida Sabun Air
Dimana sabun dapat menyebabkan downstream dalam pemisahan produk karena pembentukan emulsi (Serio et al, 2007). Contoh lain daripada katalis basa homogen yaitu KOH dan Na2CO3 yang dicampur dengan alkohol, yang mana akan terbentuk katalis yang sebenarnya. Ini adalah kelompok alkoksida ;
Na OH CH3OH H
2O CH3O Na
yang mana akan menyerang atom karbon karbonil dari molekul trigliserida. Penggunaan katalis alkoksida (NaOCH3, KOCH3) dapat secara langsung dipakai sebagai katalis.
2.4.2. Katalis Heterogen
Katalis heterogen merupakan katalis yang berbeda fasanya dengan campuran reaksinya. Katalis heterogen juga dibedakan menjadi dua jenis, yaitu katalis heterogen asam dan katalis heterogen basa. Keuntungan menggunakan katalis heterogen asam adalah mampu mengesterifikasi asam lemak pada minyak Rapeseed. Jenis dari katalis asam heterogen seperti logam sulfat oksida, asam poli hetero, karbon amorf sulfonat, resin asam penukar ion. Namun, katalis asam heterogen secara umum mempunyai aktivitas katalis yang lemah, memerlukan suhu reaksi yang tinggi dan waktu reaksi yang lama. Sedangkan katalis basa heterogen memiliki kereaktivitasan yang tinggi.
(43)
Jenis katalis basa heterogen seperti oksida logam, zeolit, hidrotalcites dan resin penukar anion. Di antara katalis basa ini, CaO merupakan katalis basa yang sering diteliti karena kebasaanya tinggi, kelarutannya lebih rendah, harganya lebih murah, lebih mudah penanganannya daripada KOH.
Jenis katalis logam alkali tanah yang lain adalah MgO, SrO, BaO. SrO mempunyai aktivitas yang tinggi tetapi ikut terlarut dalam media reaksi sehingga dapat menyerupai katalis homogen. Sementara Magnesium oksida dapat diperoleh secara langsung dari pemanasan magnesium karbonat atau magnesium hidroksida yang mana mempunyai kekuatan basa yang paling lemah dan kelarutan pada metanol pada kelompok II oksida (Refaat, 2011). Kekuatan aktivitas katalisisnya yaitu CaO < SrO <BaO.
Katalis heterogen memiliki keuntungan lebih dari katalis homogen karena katalis heterogen tidak larut dalam campuran, sehingga pemisahan cukup dilakukan dengan penyaringan atau dekantasi (Indah sari, dkk., 2011). Perbedaan katalis homogen dan heterogen dapat dilihat pada tabel 2.3. berikut :
Tabel 2.3. Perbedaan katalis homogen dan heterogen
Faktor Katalis Homogen Katalis Heterogen Waktu reaksi Waktu reaksi cepat dan
konversinya tinggi
Moderate conversion Katalis Katalis tidak bisa didapatkan
kembali, harus di netralisasi untuk memisahkan produk kinia buangan
Bisa didapatkan kembali katalisnya
Metodologi Proses Digunakan terbatas Digunakan kontinu Air / asam lemak bebas Sensitif Tidak sensitif Penggunaan katalis
kembali
Tidak mungkin Mungkin
Biaya Harganya dapat dibandingkan Berpotensi murah (Canakci and VanGerpen, 1994).
(44)
2.4.3. Katalis CaO
Gryglewicz, 1999, meneliti kemungkinan penggunaan logam alkali tanah hidroksida, oksida dan alkoksida sebagai katalis dalam transesterifikasi dari minyak
rapeseed pada temperatur refluks metanol. Dia menemukan bahwa NaOH merupakan
katalis yang paling aktif, Ba(OH)2 sedikit kurang reaktif dan Ca(OCH3)2 menunjukkan aktivitas yang sedang. Laju reaksi sangat rendah ketika menggunakan serbuk CaO sebagai katalis sementara MgO dan Ca(OH)2 menunjukkan tidak ada aktivitas katalisis. Aktivitas yang tinggi dari Ba(OH)2 adalah kelarutannya yang tinggi pada metanol sehubungan dengan senyawa lain. Urutan reaktivitasnya adalah Ca(OH)2 < CaO < Ca(OCH3)2 sesuai dengan teori basa lewis. Metoksida dari logam alkali tanah lebih basa dari oksida dan oksida lebih basa daripada hidroksida.
Kalsium oksida merupakan katalis yang sering digunakan dalam sintesis biodiesel, mungkin karena harganya yang murah, toksisitas yang rendah dan ketersediaanya yang tinggi. Katalis ini dapat di sintesis dari sumber yang murah seperti batu kapur dan kalsium hidroksida (Lee et al., 2009). Peningkatan kinerja CaO dapat diperoleh dengan menggunakan CaO nanokristalin. CaO nanokristalin (ukuran kristal = 20 nm, luas permukaan spesifik = 90 m2/g) memberikan konversi 100% dari minyak kedelai pada temperatur ruang setelah 12 jam sementara konversi yang diperoleh dengan penggunaan CaO komersial (ukuran kristal = 43 nm, luas permukaan spesifik = 1 m2/g) hanya 2% (Reddy et al, 2006). L�́pez Granados et al., 2007, mempelajari aktivitas dari aktivasi CaO sebagai katalis untuk menghasilkan biodiesel pada proses transesterifikasi dari trigliserida dengan metanol. Permukaan sisi aktif dari CaO adalah beracun oleh air atmosfer dan CO2. Aktivitas katalisis dari CaO dapat ditingkatkan jika CaO diaktivasi terlebih dahulu pada temperature yang tinggi (≥ 7000C) sebelum reaksi untuk menghilangkan racun (gugus karbonat) pada permukaan. Kouzu et al.,2007, meneliti kalsinasi katalis CaO pada suhu 9000C selam1,5 jam dimana CaO menjadi sangat reaktif. Ciri-ciri kalsium oksida dapat dilihat pada tabel 2.4. berikut :
(45)
Tabel 2.4. Ciri-ciri Kalsium Oksida (CaO)
Ciri-ciri
Nama Kimia Kalsium Oksida
Rumus Kimia CaO
Nama Umum Lime, catx, burnt lime, unstaked lime, fluxing lime, caustic lime
Densitas (g/cm3) 3,40 Titik lebur (0C) 2572 Titik didih (0C) 2850 Formasi dari pemanasan (kcal/mol) 151.9 Hidrasi dari pemanasan (kcal/mol) 15,1 Kelarutan dari Ca(OH)2 (g/ 100g H2O) 0,219 Temperatur dekomposisi (0C) 547
Aplikasi Pembuatan kaca, Agen pengering,
Pupuk, Pemurnian air, Industri kertas dan pulp, Gula dan industri selulosa
( Boey et al., 2011)
2.5. Emulsifier
Emulsi adalah dispersi koloid dimana zat terdispersi dan medium pendispersi merupakan cairan yang tidak saling bercampur. Agar terjadi suatu campuran koloid, maka harus ditambahkan suatu bahan yang disebut zat pengemulsi atau emulgator. Contoh umum dari emulsi adalah susu dan mayonaise. Kedua emulsi ini terdiri dari minyak yang terdispersi dalam fasa air. Pada emulsi biasanya terdapat tiga bagian utama, yaitu :
1. Bagian zat yang terdispersi, biasanya terdiri dari butir-butir minyak.
2. Medium pendispersi yang dikenal juga sebagai continuos phase, biasanya terdiri dari air.
3. Emulgator yang berfungsi sebagai penstabil koloid, untuk menjaga agar butir-butir
(46)
Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk zat pengemulsi diantaranya
emulgator, emulsifier, stabilizer atau emulsifying agent. Bahan ini dapat berupa sabun,
detergen, protein atau elektrolit (Yazid, 2005). Contoh emulsifier yaitu lesitin, propilena glikol, mono- dan digliserida, polisorbat seperti polioksietilena, sorbitan monooleat atau tristearat.
Lesitin adalah nama yang sangat umum untuk suatu emulsifier alami dan bahan aktif permukaan (surface active agent). Yang mana terjadi secara alami pada semua materi kehidupan, hewan dan tumbuhan, dengan kandungan tertinggi pada kuning telur (8 – 10%). Mentega mengandung 0,5-1,2% dan minyak kacang kedelai, yang saat ini merupakan lesitin nabati yang utama dan termurah, menghasilkan 2,5 persen. Sekarang ini lesitin nabati dikenal sebagai zat aditif pada makanan. Pada makanan, digunakan pada coklat, margarin, lemak nabati, serbuk instan untuk minuman dan dipanggang, diindustri juga digunakan pada cat, karet, plastik, dan kosmetik. Struktur lesitin memiliki gugus lipopilik dan hidropilik sehingga dapat digunakan sebagai agen pengemulsi (emulsifier) dan pembasahan (wetting agent) (Minifie, 1989).
Berikut ini adalah contoh emulsifier yang umum digunakan dalam bahan pangan :
- Monogliserida dan digliserida , merupakan zat pengemulsi yang umum digunakan. Contohnya, gliserol monolaurat, polietilen monogliserol, gliseril laktil palmitat. - Stearoil lactylat, yang sering dugunakan dalam produk-produk bakery.
- Sorbitan ester, pada umumnya digunakan dalam pembuatan kue, pelindung buah dan sayuran segar.
- Poligliserol ester, yang digunakan dalam pangan yang diaerasi mengandung lemak. - Ester-ester sukrosa, penggunaanya dalam pangan umumnya pada pembuatan roti
dan produk olahan susu.
- Lesitin, paling banya diperoleh dari kacang kedeli dan kuning telur. Yang biasanya digunakan untuk emulsifier pada margarin, roti, kue
(47)
Budi suarti (2008), mengatakan asam lemak sangat cocok untuk produk emulsifier karena struktur molekulnya spesifik. Asam lemak yang ada di pasaran kebanyakan merupakan hidrokarbon berantai lurus dengan jumlah atom karbon antara 12 sampai 18 (C12 hingga C18) dan diakhiri oleh gugus karboksil yang reaktif. Bagian ekor hidrokarbon akan memiliki afinitas terhadap lemak, alifatik hidrokarbon dan senyawa rantai panjang lainnya, sedangkan bagian lainnya yaitu gugus hidroksi akan memiliki daya tarik terhadap air.
Kegunaan dari mengemulsikan suatu zat cair adalah sebagai berikut :
- Untuk mengencerkan, suatu zat tidak larut dalam air dapat diemulsikan dalam air dengan penambahan air atau pengenceran sehingga viskositasnya berkurang. Beberapa jenis obat dapat diencerkan dengan membentuk emulsi.
- Memperbesar luas permukaan, dengan mengemulsikan suatu zat, maka luas permukaan suatu partikel koloid menjadi bertambah. Contoh emulsi cat dan insektisida akan memudahkan pelapisan dan penyemprotan. Pada emulsi bahan kecantikan, memudahkan penetrasi kulit.
- Mengubah sifat, suatu zat yang diemulsikan dapat berubah sifatnya. Emulsi minyak ikan menjadi kurang rasa amisnya. Bahan makanan menjadi lebih mudah di cerna dan rasanya berubah, seperti mayonaise dan susu (Yazid, 2005).
2.6. Kromatografi
Merupakan suatu proses pemisahan yang mana analit-analit dalam sampel terdistribusi antara 2 fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam dapat berupa bahan padat atau porusdalam bentuk molekul kecil, atau dalam bentuk cairan yang dilapiskan pada pendukung padat atau dilapiskan pada dinding kolom. Fase gerak dapat berupa cairan atau gas. Jika gas digunakan sebagai fase gerak, maka prosesnya dikenal sebagai kromatografi gas. Dalam kromatografi cair dan juga kromatografi lapis tipis, fase gerak yang digunakan selalu cair.
Kromatografi gas adalah metode kromtografi pertama yang dikembangkan pada zaman instrumen dan elektronika yang telah merevolusikan keilmuan selama
(48)
lebih dari tiga puluh tahun. Sekarang kromatografi gas dipakai secara rutin disebagian besar laboratorium industri dan perguruan tinggi. Kromatografi gas adalah suatu proses dengan mana suatu campuran menjadi komponen-komponennya oleh fase gas yang bergerak melewati suatu lapisan serapan (sorben) yang stasioner (Bassett et al, 1994). Kromatografi gas dapat dipakai untuk sebagian campuran yang komponennya, atau akan lebih baik lagi jika semua komponennya mempunyai tekanan uap yang berarti pada suhu yang dipakai untuk pemisahan. Tekanan uap atau keatsirian memungkinkan komponen menguap dan bergerak bersama-sama dengan fase gerak yang berupa gas. Disamping itu, pada kromatografi gas, senyawa yang tak atsiri sering dapat diubah menjadi turunan yang lebih atsiri dan lebih stabil sebelum kromatografi (Gritter, 1985).
Kromatografi gas merupakan metode yang tepat dan cepat untuk memisahkan campuran yang sangat rumit. Waktu yang dibutuhkan beragam, mulai dari beberapa detik untuk campuran sederhana sampai berjam-jam untuk campuran yang mengandung 500-1000 komponen. Komponen campuran dapat diidentifikasi dengan menggunakan waktu tambat (waktu retensi) yang khas pada kondisi yang tepat. Waktu tambat adalah waktu yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan dalam kolom.
Dalam kromatografi gas, fase bergeraknya adalah gas dan zat terlarut terpisah sebagai uap. Pemisahan tercapai dengan partisi sampel antara fase gas bergerak dan fase diam berupa cairan dengan titik didih tinggi (tidak mudah menguap) yang terikat pada zat padat penunjangnya. Sedangkan dalam kromatografi padat-gas, digunakan suatu zat padat penyerap (Khopkar, 2003). Sistem gas-padat ini telah dipakai secara luas dalam pemurnian gas dan penghilangan asap, tetapi kurang kegunaanya dalam kromatografi. Pemakaian fase cair memungkinkan kita memilih dari sejumlah fase diam yang sangat beragam yang akan memisahkan hampir segala macam campuran. Satu-satunya pembatas pada pemilihan cairan yang demikian ialah bahwa zat cair itu harus stabil dan tidak atsiri pada kondisi kromatografi.
Ada beberapa kelebihan kromatografi gas, diantaranya kita dapat menggunakan kolom lebih panjang untuk menghasilkan efisiensi pemisahan yang
(49)
tinggi. Gas dan uap mempunyai viskositas yang rendah, demikian juga kesetimbangan partisi antara gas dan cairan berlangsung cepat, sehingga analisi relatif cepat dan sensitivitasnya tinggi. Fase gas dibandingkan sebagian besar fase cair tidak bersifat reaktif terhadap fase diam dan zat-zat terlarut. Kelemahannya adalah teknik ini adalah terbatas untuk zat yang mudah menguap. Gritter, 1985, mengatakan bahwa kromatografi gas ini tidak mudah dipakai untuk memisahkan campuran dalam jumlah besar.
Cara kerja kromatografi gas antara lain adalah, sampel diinjeksikan melalui suatu sampel injection port yang temperaturnya dapat diatur, senyawa-senyawa dalam sampel akan menguap dan akan di bawa oleh gas pengemban menuju kolom. Zat terlarut akan teradsorpsi pada bagian atas kolom oleh fase diam, kemudian akan merambat dengan laju rambatan masing-masing komponen yang sesuai dengan nilai Kd masing-masing komponen tersebut. Komponen tersebut terelusi sesuai dengan
urut-urutan makin membesarnya nilai koefisien partisi (Kd) menuju ke detektor.
Detektor mencatat sederetan sinyal yang timbul akibat perubahan konsentrasi dan perbedaan laju elusi. Pada alat pencatat sinyal ini akan tampak sebagai kurva antara waktu terhadap komposisi aliran gas pembawa (Khopkar, 2003).
(50)
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1.Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
- Alat vakum Fisions - Kertas Saring Biasa
- Neraca Analitis Mettler PM 480 - Gelas Ukur 100 ml Pyrex
- Gelas Ukur 10 ml Pyrex - Gelas Beaker 500 ml Pyrex - Gelas Beaker 250 ml Pyrex - Gelas Beaker 50 ml Pyrex - Labu Takar 100 ml Pyrex - Tabung CaCl2 Pyrex - Corong Pisah 500 ml Pyrex - Corong Penetes 50 ml Pyrex - Corong
- Botol Akuades - Magnetik Bar
- Labu leher tiga 500 ml Pyrex - Labu leher dua 500 ml Pyrex - Termometer 1100C Fision - Termometer 3600C Fisher - Kondensor Bola Pyrex - Rotarievaporator Heidolph
(51)
- Hotplate Stirer Fision - Desikator
- Statif dan Klem - Kaca Porselin
- Labu Rotarievaporator 250 ml Duran - Kertas Perkamen
- Botol Vial
- Oven Memmert
- Tanur Nabertherm
- Alat Sokhlet Duran - Spektrofotometer FT-IR Shimadzu
- Alat GC Agilant
3.2.Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : - Asam Laurat
- Benzena p.a. (E. Merck) - Metanol p.a. (E. Merck) - n-Heksana p.a. (E. Merck) - Dietil eter p.a. (E. Merck) - Na2SO4 Anhidrous p.a. (E. Merck) - CaCl2 Anhidrous p.a. (E. Merck) - H2SO4 98% p.a. (E. Merck)
- Gliserol PT SOCI
- Asam Sitrat p.a. (E. Merck) - Akuades
- CaO p.a. (E. Merck)
- 2-Propanol p.a. (E. Merck) - 1-Butanol p.a. (E. Merck) - 2-Butanol p.a. (E. Merck) - Tert-Butanol p.a. (E. Merck)
(52)
3.3. Prosedur Penelitian
3.3.1. Pembuatan Metil Laurat dari Asam Laurat
Sebanyak 0,25 mol (50 gram) asam laurat dimasukkan ke dalam labu leher dua 500 ml, kemudian ditambahkan 5 mol (100 ml) metanol dan 100 ml benzena. Dirangkai alat refluks yang dilengkapi dengan tabung CaCl2(s). Kemudian sambil diaduk diteteskan 1,5 ml H2SO4(p) secara perlahan-lahan melalui corong penetes dalam keadaan dingin, direfluks pada suhu 70-800C selama 5 jam. Kemudian didinginkan hingga suhu kamar. Kemudian diuapkan kelebihan metanol dan pelarut dengan rotarievaporator. Residunya diekstraksi dengan 100 ml n-heksan, dicuci dengan 10 ml aquadest sebanyak 2 kali. Lapisan atas dikeringkan dengan CaCl2 anhidrous selama 1 jam kemudian disaring, filtratnya dikeringkan kembali dengan Na2SO4 anhidrous kemudian disaring. Filtrat yang diperoleh diuapkan dengan menggunakan alat rotarievaporator. Metil ester yang diperoleh dianalisis dengan Kromatografi Gas Cair (KGC) dan spektrofotometer FT-IR.
3.3.2. Kalsinasi Katalis CaO
Sebanya 100 gram CaO (s), dihaluskan, dan di saring dengan saringan 212 µm lalu dimasukkan kedalam cawan porselin, lalu diaktifasi didalam tanur pada suhu 9000C selama 1,5 jam (Kouzu, et al,2008).
3.3.3. Pembuatan Asam Sitrat 10% (b/v)
Ditimbang 10 gram kristal asam sitrat dilarutkan dengan akuades dalam labu takar 100 ml sampai garis tanda.
(53)
3.3.4. Gliserolisis Metil Laurat
3.3.4.1.Gliserolisis Metil Laurat pada variasi lama pengadukan antara CaO dengan Gliserol
Gliserol sebanyak 0,4 mol (30 ml) dimasukkan ke dalam labu leher dua 500 ml, kemudian ditambahkan 1 gram CaO. Dirangkai alat refluks yang dilengkapi dengan tabung CaCl2. Kemudian dipanaskan pada suhu 600C selama 1,5 jam sambil diaduk selanjutnya melalui corong penetes diteteskan sebanyak 0,1 mol (24 ml) metil laurat secara perlahan-lahan. Direfluks pada suhu 70-800C selama 9 jam. Hasil reaksi didinginkan pada suhu kamar, kemudian dimasukkan kedalam corong pisah dan diekstraksi dengan 75 ml dietil eter. Fase dietil eter ditambahkan dengan larutan asam sitrat 10% sebanyak 20 ml dan dicuci dengan akuades sebanyak 3 kali masing-masing sebanyak 25 ml. Kemudian diuapkan pelarutnya dengan menggunakan rotarievaporator. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan KGC. Dilakukan perlakuan yang sama untuk lama pengadukan selama 3 jam. Hasil yang maksimum digunakan sebagai acuan untuk gliserolisis metil laurat pada variasi suhu dan variasi pelarut pada kondisi refluks dan dengan destilasi molekular menggunakan soklet.
3.3.4.2. Gliserolisis Metil Laurat dengan variasi suhu pada kondisi refluks dan dengan destilasi molekular menggunakan soklet
Gliserol sebanyak 0,4 mol (30 ml) dimasukkan ke dalam labu leher dua, kemudian ditambahkan 1 gram CaO. Dirangkai alat refluks yang dilengkapi dengan tabung CaCl2. Kemudian dipanaskan pada suhu 600C selama 1,5 jam sambil diaduk selanjutnya melalui corong penetes diteteskan sebanyak 0,1 mol (24 ml) metil laurat secara perlahan-lahan. Direfluks pada suhu 70-800C selama 9 jam. Hasil reaksi didinginkan pada suhu kamar, kemudian dimasukkan kedalam corong pisah dan diekstraksi dengan 75 ml dietil eter. Fase dietil eter ditambahkan dengan larutan asam sitrat 10% sebanyak 20 ml dan dicuci dengan akuades sebanyak 3 kali masing-masing sebanyak 25 ml. Kemudian diuapkan pelarutnya dengan menggunakan rotarievaporator. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan KGC. Dilakukan perlakuan
(54)
yang sama untuk suhu 90-1000C dan 110-1200C. Diulangi perlakuan yang sama dengan destilasi molekular menggunakan soklet. Hasil yang maksimum digunakan sebagai acuan untuk gliserolisis metil laurat pada variasi pelarut pada kondisi refluks dan dengan destilasi molekular menggunakan soklet.
3.3.4.3. Gliserolisis Metil Laurat dengan variasi pelarut pada kondisi refluks dan dengan destilasi molekular menggunakan soklet
Gliserol sebanyak 0,4 mol (30 ml) dimasukkan ke dalam labu leher dua, kemudian ditambahkan 1 gram CaO. Dirangkai alat refluks yang dilengkapi dengan tabung CaCl2. Kemudian dipanaskan pada suhu 600C selama 1,5 jam sambil diaduk selanjutnya melalui corong penetes diteteskan sebanyak 0,1 mol (24 ml) metil laurat secara perlahan-lahan dan 40 ml pelarut 2-Propanol. Direfluks pada suhu 90-1000C selama 9. Hasil reaksi didinginkan pada suhu kamar, kemudian dimasukkan kedalam corong pisah dan diekstraksi dengan 75 ml dietil eter. Fase dietil eter ditambahkan dengan larutan asam sitrat 10% sebanyak 20 ml dan dicuci dengan akuades sebanyak 3 kali masing-masing sebanyak 25 ml. Kemudian diuapkan pelarutnya dengan menggunakan rotarievaporator. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan KGC. Dilakukan perlakuan yang sama untuk pelarut 1-butanol, 2-butanol dan tert-butanol. Diulangi perlakuan yang sama dengan destilasi molekular menggunakan soklet.
(55)
3.4. Bagan Penelitian
3.4.1. Pembuatan Metil Laurat dari Asam Laurat 50 gram asam laurat
Dimasukkan ke dalam labu leher dua 500 ml Ditambahkan 100 ml metanol
Ditambahkan 100 ml benzena
Dirangkai alat refluks yang dilengkapi dengan tabung CaCl2 Ditambahkan 1,5 ml H2SO4(p) secara perlahan-lahan dalam keadaan dingin melalui corong penetes
Direfluks selama 5 jam pada suhu 70-800C
Didinginkan pada suhu kamar
Diuapkan kelebihan metanol dengan rotarievaporator Campuran
Residu
Diekstraksi dengan 100 ml n-heksan
Dicuci dengan 10 ml aquades sebanyak 2 kali Lapisan atas
Dikeringkan dengan CaCl2 anhidrous selama + 1 jam Disaring
Lapisan bawah
Filtrat Residu
Dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrous Disaring
Filtrat
Analisa FT-IR
Destilat
Residu Diuapkan pelarutnya dengan alat rotarievaporator
Hasil Destilat
(56)
3.4.2. Kalsinasi katalis CaO
Dihaluskan
Dimasukkan kedalam cawan porselen
Di aktivasi dalam tanur pada suhu 900oC selama 2 jam
Dimasukkan kedalam desikator CaO (s)
CaO (s) aktif
3.4.3. Pembuatan Asam Sitrat 10%
Asam sitrat
Ditimbang 10 gram
Dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml Dilarutkan dengan akuades sampai garis tanda
(57)
3.3.4. Gliserolisis Metil Laurat
3.3.4.1.Gliserolisis Metil Laurat pada variasi lama pengadukan antara CaO dengan Gliserol
30 ml gliserol
Dimasukkan ke dalam labu leher dua 500 ml
Dirangkai alat refluks yang dilengkapi dengan tabung CaCl2
Ditambahkan 1 gram CaO
Dipanaskan pada suhu 600C sambildiaduk dengan magnetik stirer selama 1,5 jam
Ditambahkan 24 ml metil laurat setetes demi setetes melalui corong penetes
Direfluks kembali pada suhu 70-800C sambil diaduk dengan magnetik stirer selama 9 jam
Campuran
Didinginkan pada suhu kamar Dimasukkan ke dalam corong pisah Diekstraksi dengan 75 ml dietil eter
Lapisan bawah
Ditambahkan asan sitrat 10% sebanyak 20 ml
Dicuci dengan aquades sebanyak 3 kali masing-masing 25 ml Lapisan atas
Lapisan atas Lapisan bawah
Diuapkan dengan rotarievaporator
Hasil Destilat
Analisis KGC
Dilakukan perlakuan yang sama untuk lama pengadukan selama 3 jam. Hasil yang maksimum digunakan sebagai acuan untuk gliserolisis metil laurat pada studi pengaruh suhu dan variasi pelarut pada kondisi refluks dan dengan destilasi molekular
(58)
3.3.4.2.Gliserolisis Metil Laurat dengan variasi suhu pada kondisi refluks dan dengan destilasi molekular menggunakan soklet
30 ml gliserol
Dimasukkan ke dalam labu leher dua 500 ml Dirangkai alat refluks yang dilengkapi dengan tabung CaCl2
Ditambahkan 1 gram CaO
Dipanaskan pada suhu 600C sambildiaduk dengan magnetik stirer selama 1,5 jam
Ditambahkan 24 ml metil laurat setetes demi setetes melalui corong penetes
Direfluks kembali pada suhu 70-800C sambil diaduk dengan magnetik stirer selama 9 jam Campuran
Didinginkan pada suhu kamar Dimasukkan ke dalam corong pisah Diekstraksi dengan 75 ml dietil eter
Lapisan bawah Ditambahkan asan sitrat 10% sebanyak 20 ml
Dicuci dengan aquades sebanyak 3 kali masing-masing 25 ml Lapisan atas
Lapisan atas Lapisan bawah
Diuapkan dengan rotarievaporator
Hasil Destilat
Analisis KGC
Dilakukan perlakuan yang sama untuk suhu 90-1000C dan 110-1200C. Diulangi perlakuan yang sama dengan destilasi molekular menggunakan soklet. Hasil yang maksimum digunakan sebagai acuan untuk gliserolisis metil laurat pada variasi pelarut pada kondisi refluks dan dengan destilasi molekular menggunakan soklet.
(59)
3.3.4.3. Gliserolisis Metil Laurat dengan variasi pelarut pada kondisi refluks dan dengan destilasi molekular menggunakan soklet
30 ml gliserol
Dimasukkan ke dalam labu leher dua 500 ml Dirangkai alat refluks yang dilengkapi dengan tabung CaCl2
Ditambahkan 1 gram CaO
Dipanaskan pada suhu 600C sambildiaduk dengan magnetik stirer selama 1,5 jam
Ditambahkan 24 ml metil laurat setetes demi setetes
Direfluks kembali pada suhu 90-1000C sambil diaduk dengan magnetik stirer selama 9 jam Campuran
Didinginkan pada suhu kamar Dimasukkan ke dalam corong pisah Diekstraksi dengan dietil eter
Lapisan bawah Ditambahkan asan sitrat 10% sebanyak 20 ml
Dicuci dengan aquades sebanyak 3 kali masing-masing 25 ml Lapisan atas
Lapisan atas Lapisan bawah
Diuapkan dengan rotarievaporator
Hasil Destilat
Analisis KGC
Ditambahkan 40 ml pelarut 2-propanol setetes demi setetes
Dilakukan perlakuan yang sama untuk pelarut 1-butanol, 2-butanol dan tert-butanol. Diulangi perlakuan yang sama dengan destilasi molekular menggunakan soklet.
(60)
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Hasil Analisis Komposisi Metil Laurat
Hasil analisis metil laurat dengan kromatografi gas menghasilkan komponen senyawa asam lemak seperti pada Tabel 4.1. dan Kromatogram pada Gambar 4.1.
Tabel 4.1. Komponen Asam Lemak pada Metil Laurat (Lampiran 1)
Nama Asam Lemak Rumus molekul Persentase asam lemak Asam Laurat C12H24O2 98,2809
Asam Miristat C14H28O2 0,0926 Asam Stearat C18H36O2 0.0457
Asam Oleat C18H34O2 1,1064
(61)
4.1.2. Hasil Analisis dengan Spektrofotometer FT-IR Metil Laurat
Metil laurat diperoleh dari hasil esterifikasi antara asam laurat dengan metanol dalam pelarut benzena dengan menggunakan katalis asam sulfat pekat pada suhu 70-800C. Rendemen Metil Laurat yang diperoleh sebesar 98,29%. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan Spektrofotometer FT-IR memberikan spektrum dengan puncak serapan seperti pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Hasil Analisis dengan Spektrofotometer FT-IR Metil Laurat
No Parameter Bilangan Gelombang ( cm-1) 1 Vibrasi stretching –CH2 asymetris 2924,09
2 Vibrasi stretching –CH2 symetris 2854,65 3 Vibrasi stretching karbonil (C=O) 1743,65 4 Vibrasi bending –CH3 asymetris 1442,75 5 Vibrasi bending –CH3 symetris 1365,60
6 Vibrasi stretching C – O (C – O – C) 1172,72; 1111,00 ; 1018,41
7 Vibrasi stretching C=C 1597,06
(Silverstein et al., 1981)
4.1.3. Hasil Reaksi Gliserolisis Metil Laurat
Gliserolisis Metil Laurat menggunakan katalis CaO menghasilkan senyawa campuran yang terdiri dari monogliserida, digliserida dan trigliserida. Hasil gliserolisis terhadap metil laurat menggunakan katalis CaO (1 gram) pada kondisi reaksi suhu pengadukan (CaO dan Gliserol) 600C (Kawashima et al, 2009), waktu reaksi 9 jam, perbandingan mol gliserol : metil laurat ( 4:1) dan waktu pengadukan 1½ jam dan 3 jam ditunjukkan pada Tabel 4.3. Untuk variasi suhu (70-800C, 90-1000C dan 110-1200C) dan variasi pelarut pelarut (2-propanol, 1-butanol, 2-butanol dan tert-butanol) dengan menggunakan lama pengadukan 1½ jam (CaO dan gliserol) ditunjukkan pada Tabel 4.4. dan Tabel 4.5.
(62)
Apabila diikuti dengan destilasi molekular untuk variasi suhu (70-800C, 90-1000C dan 110-1200C) hasilnya ditunjukkan pada Tabel 4.6. dan untuk variasi pelarut (2-propanol, 1-butanol, 2-butanol dan tert-butanol) hasilnya ditunjukkan pada Tabel 4.7.
Tabel.4.3. Kadar Monogliserida, Digliserida dan Trigliserida pada Reaksi Gliserolisis Metil Laurat pada Variasi lama Pengadukan (CaO : Gliserol) 1,5 jam (Lampiran 4 dan 5)
Waktu pengadukan
% Monogliserida % Digliserida % Trigliserida
1½ Jam 5,8752 8,6297 0.8010
3 Jam 4,8197 6,3759 0,3328
Tabel.4.4. Kadar Monogliserida, Digliserida dan Trigliserida pada Reaksi Gliserolisis Metil Laurat pada variasi Suhu dengan lama Pengadukan (CaO : Gliserol) 1,5 jam (Lampiran 6,7 dan 8)
Suhu % Monogliserida % Digliserida % Trigliserida
70-800C 6,4670 8,1055 0,9926
90-1000C 5,3579 15,1257 4,2828
110-1200C 10,7549 11,8209 2,5866
Tabel.4.5. Kadar Monogliserida, Digliserida dan Trigliserida pada Reaksi Gliserolisis Metil Laurat pada Variasi Pelarut dengan lama Pengadukan (CaO : Gliserol) 1,5 jam pada (Lampiran 9, 10, 11 dan 12)
Pelarut % Monogliserida % Digliserida % Trigliserida
2-Propanol 25,5058 38,3521 1,5070
1-Butanol 31,8445 4,4839 0
2-Butanol 48,1610 2,3758 0
(63)
Tabel. 4.6. Kadar Monogliserida, Digliserida dan Trigliserida pada Reaksi Gliserolisis Metil Laurat pada Variasi Suhu diikuti dengan destilasi molekular menggunakan soklet dengan lama Pengadukan (CaO : Gliserol) 1,5 jam (Lampiran 13, 14 dan 15)
Suhu % Monogliserida % Digliserida % Trigliserida
70-800C 6,6356 5,0162 0,2661
90-1000C 12,4866 19,0962 6,0124
110-1200C 36,4727 1,3706 0
Tabel.4.7. Kadar Monogliserida, Digliserida dan Trigliserida pada Reaksi Gliserolisis Metil Laurat pada Variasi Pelarut diikuti dengan destilasi molekular menggunakan soklet dengan lama Pengadukan (CaO : Gliserol) 1,5 jam (Lampiran 16, 17, 18 dan 19)
Pelarut % Monogliserida % Digliserida % Trigliserida
2-Propanol 21,6688 2,3788 0,0573
1-Butanol 37,2366 5,9957 0,0515
2-Butanaol 31,8872 2,1841 0,0381
Tert-Butanol 9,4095 24,6377 0,0361
4.2. Pembahasan
4.2.1. Pembuatan Metil Laurat
Metil laurat dapat diperoleh melalui reaksi esterifikasi antara asam laurat dengan metanol dalam pelarut benzena menggunakan katalis asam sulfat pekat pada suhu 70-800C. Senyawa metil laurat diperoleh sebesar 98,29%. Adapun mekanisme reaksi esterifikasi ini dapat ditunjukkan pada gambar 4.2.
(1)
(2)
(3)
1000C dengan destilasi molekular menggunakan soklet dengan pelarut 2-Propanol
(4)
pelarut 2-Butanol
(5)
1000C dengan destilasi molekular menggunakan soklet dengan pelarut 1-Butanol
(6)
pelarut Tert-Butanol