BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Bakteriuria Asimtomatik - Perbandingan Profil Bakteriuria Asimtomik pada Wanita Hamil dan Wanita Tidak Hamil di RSUP Haji Adam Malik Medan

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Bakteriuria Asimtomatik

  lnfeksi saluran kemih merupakan gangguan yang sering timbul baik pada wanita hamil maupun wanita tidak hamil. Bakteriuria pada wanita hamil perlu mendapatkan perhatian yang serius oleh karena dapat

  5 menimbulkan gangguan pada ibu dan janin.

  Bakteriuria asimtomatik merupakan suatu keadaan adanya bakteri dalam urin dengan jumlah ≥ 100.000 / ml tanpa disertai gejala -gejala

  2,3,5 infeksi saluran kemih.

  Sebagian besar pemahaman tentang bakteriologi dalam infeksi saluran kemih diawali oleh upaya dari Kass (Harvard Medical School). Ia memberikan perhatian khusus pada pasien-pasien dengan infeksi saluran kemih asimtomatik. Beliau dalam penelitiannya mengemukakan bahwa dengan kultur urin secara kwantitatif dapat dibedakan antara bakteriuria yang berasal dari saluran kemih dan kontaminasi. Melalui penelitiannya dalam bidang ini di Amerika Serikat (Harvard MS), memperlihatkan pada 95% kasus klinik pyelonefritis ditemukan lebih dari 100.000 bakteri per ml urin. Sedangkan urin yang terkontaminasi jarang melebihi 1.000 bakteri

  15,16 per ml urin.

  Insiden bakteriuria asimtomatik pada wanita hamil di negara-negara maju berkisar 2-12%, dan tergantung paritas, ras, dan keadaan sosio ekonomi, sementara di RSCM Jakarta insidennya cukup tinggi yakni 25%, dan di RSUD Dr. Pirngadi Medan Yushar dkk mendapatkan insiden

  2,4,7,8 bakteriuria asimtomatik pada tahun 1982-1983 sebesar 10-17%.

  Bakteriuria asimtomatik pada wanita hamil, insidennya Iebih tinggi dibanding wanita tidak hamil. Olusanya dkk (1992) mendapatkan insiden 122 (23,9%) pada wanita hamil dan 37 (12,2%) pada wanita tidak hamil (p<0,001). Ada hubungan antara piuria dan bakteriuria signifikan dalam 45 (8,8%) perempuan hamil dan 11(3,6%) dari wanita yang tidak hamil, bakteriuria signifikan terkait dengan nulipara. Sebagian besar wanita hamil dengan bakteriuria signifikan adalah kelompok sosial ekonomi rendah, organisme yang paling lazim dalam penelitian ini adalah staphylococcus aureus. Tingginya insiden masalah dalam lingkungan dari urin untuk bakteriuria signifikan harus menjadi bagian dari antenatal pada layanan

  18 klinik setidaknya pada kunjungan pertama ibu hamil.

  Gebre (1998) dalam penelitiannya dalam studi ini, 326 wanita hamil

  dan 100 wanita yang tidak hamil di skrining untuk bakteriuria asimtomatik yang signifikan dari penyakit dan penilaian mikrobiologis dari agen penyebab Skrining bakteriologis midstream menggungkapkan bahwa 24/326 (7%) dan 3/100(3%) positif untuk bakteriuria asimtomatik dalam kelompok studi dan control, masing-masing (P 0,05). Identifikasi spesies menunjukkan bahwa Escherichia coli ditemukan 24/11(46%) staphylococcus 8/24 (33%) dan Citrobacter freundii 2/24 (8%) juga ditemukan dalm jumlah yang lebih kecil masing-masing 1/24(4%) termasuk staphylococcus aureus, Enterobacter cloacae dan proteus tanpa bakteri.Uji kerentanan antimikroba menunjukkan bahwa 10/11(91%) dari isolate Escherichia coli resisten terhadap ampicillin dan amoxicillin dan

  19 10/11(91%) sensitive terhadap nitrofurantoin.

  Sebagian besar wanita hamil yang menderita bakteriuria asimtomatik tanpa diobati tetap tidak menunjukkan gejala, namun 30%

  2

  berkembang menjadi suatu infeksi saluran kemih simtomatik yang akut Meskipun bakteriuria asimtomatik dalam kehamilan berhubungan dengan peningkatan timbulnya pyelonefritis, tetapi efektifitas dan program penapisan (screening) untuk mengurangi resiko masih kontraversi.

  Gratacos dkk (1994) dalam penelitiannya mendapatkan suatu penurunan

  drastis insiden pyelonefritis (1,8% menjadi 0,6% P<0,001), terjadi setelah pengenalan program penapisan dan pengobatan terhadap bakteriuria

  20 asimtomatik pada wanita hamil.

  Bakteriuria asimtomatik pada wanita hamil disamping berhubungan dengan timbulnya pyelonefritis, juga berkaitan dengan terjadinya abortus, partus prematurus, dan bayi dengan berat badan lahir rendah, kematian

  3,21,22,23 janin dalam kandungan, ketuban pecah dini, dan pre eklamsia.

  Bakteriuria asimtomatik juga dapat berguna sebagai pertanda dari adanya gangguan ginjal yang tersembunyi. Abboth menjumpai 57,14% kasus bakteriuria asimtomalik mengalami refluks vesikoureteral.

  

Liddenberg dkk mendapatkan kelainan atau refluks pada 21,55% wanita

  1 dengan bakteriuria asimtomatik.

  2.2. Patogenesa Bakteriuria Asimtomatik

  Beberapa faktor predisposisi terjadinya bakteriuria asimtomatik, di antaranya adalah :

  1. Uretra wanita terlalu pendek, sehingga kontaminasi bakteri dari vagina dan rektum sering kali terjadi.

  2. Obstruksi mekanis akibat pembesaran uterus sehingga ureter menjadi melekuk (kinking), dan aliran urin dan ginjal ke vesika urinaria menjadi lambat. Bahkan kadang-kadang bisa terjadi stagnasi sehingga menimbulkan hidronefrosis. Keadaan-keadaan seperti ini dapat memperbesar kemungkinan infeksi.

  3. Efek progesteron terhadap aktifitas dan tonus otot, yang menyebabkan dilatasi traktus urinarius dan penurunan tonus otot, sehingga pengosongan kandung kemih menjadi tidak sempurna.

  Hansson dkk (1990) menyatakan bahwa gangguan pengosongan

  kandung kemih merupakan faktor predisposisi terjadinya infeksi saluran kemih, dan hal ini akan menyebabkan kekambuhan meskipun telah diberikan antibiotik. Dalam penelitiannya didapati 42% dari wanita yang bakteriuria asimtomatik mengalami gangguan pengosongan kandung kemih dan 71% di antaranya dengan urin

  2,21,26 residu > 5 ml.

  2.3. Diagnostik

  Beberapa pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya bakteriuria asimtomatik, di antaranya adalah :

  1. Pemeriksaan urin segar tanpa di sentrifus positif apabila satu atau lebih bakteri perlapang pandang dengan minyak emersi.

  2. Kultur Urin, pemeriksaan ini dapat mengetahui jumlah bakteri per ml urin, sekaligus jenis kuman penyebab dan bakteriuria asimtomatik.

  Dengan pemeriksaan kultur urin, dikatakan bakteriuria bermakna bila dijumpai ≥100.000 bakteri per ml urin, dan pemeriksaan kultur unin ml merupakan baku emas untuk mendiagnosis bakteriuria. Simanjuntak

  

dkk (1982-1983) menjumpai kuman penyebab bakteriuria asimtomatik

  pada wanita hamil : Klebsiella 45%, Escherichia coIi 32%, Proteus 12%, Pseudomonas 7%, dan Alcaligenes 4%. Sedangkan Gebre (1998) menemukan:

  Escherichia coli 46%, Staphylococcus 33%, Citrobacter freundii 2,19,21 8%.

  3. Uji Nitrit, berdasarkan prinsip bahwa sebagian besar bakteri penyebab infeksi saluran kemih dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit (reaksi

  

Griess). Uji ini memerlukan beberapa kondisi lagi selain bakteri, yaitu

  lamanya bakteri dalam kandung kemih paling sedikit 4 jam, dan dalam urin terdapat cukup nitrat. Uji nitrit memiliki sensitivitas 0,05 mg/dl ion nitrit dalam urin dengan berat jenis yang normal dan kadar asam askorbat yang sedang. Pemeriksaan ini khusus untuk nitrit dan tidak dipengaruhi oleh pH urin ataupun zat-zat lainnya yang biasa dikeluarkan oleh urin. Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya negatif palsu pada uji nitrit di antaranya kemungkinan bakteri penyebabnya tidak menghasilkan enzim nitrat reduktase sehingga tidak dapat mengubah nitrat menjadi nitrit, waktu bakteri dalam kandung kemih terlampau pendek (kurang dari 4 jam), atau tidak adanya nitrat dalam urin. Sensitivitas uji nitrit juga dapat terganggu bila berat jenis urin tinggi atau konsentrasi asam askorbat 25 mg/dl.

  Sedangkan hasil positif palsu pada uji nitrit dapat ditimbulkan bila urin dalam keadaan sudah basi, dimana nitrit telah terbentuk oleh

  16,28,2 kontaminasi sekunder.

  4. pH urin, Dzen (1987) menyatakan bahwa sulit untuk menentukan adanya bakteriuria hanya dengan pemeriksaan pH urin saja, namun bila didapatkan pH urin < 5 pada pemeriksaan beberapa kali dalam waktu 24 jam hasilnya tetap < 5, maka adanya infeksi saluran kemih tidak diragukan lagi. Namun Harlass dkk, dari penelitiannya terhadap wanita hamil dengan bakteriuria asimtomatik, ternyata bahwa pemeriksaan pH urin tidak mempunyai nilai diagnostik untuk

  30,31 mendeteksi bakteriuria asimtomatik.

  5. Leukosit esterase, uji ini menunjukkan adanya reaksi enzim granulosit esterase. Enzim esterase memecah derivat asam amino ester tiazol menjadi derivat bebas hidroksi tiazol. Tiazol ini bersama dengan garam diazonium akan menghasilkan warna ungu. Uji ini umumnya dapat

  28 mendeteksi sedikitnya 5-15 hitung lekosit / µl.

  3

  6. BD spesifik gravity < 1,00

2.3.1.Cara pengambilan urin untuk pemeriksaan kultur :

  Beberapa cara yang dapat digunakan untuk pengambilan urin yang akan dikultur, di antaranya adalah :

  1. Spesimen acak (random), urin dikumpulkan pada sembarang waktu

  11,24,34 tapi dengan satu kali pengambilan.

  2. Urin Porsi Tengah (Midstream), spesimen diambil selama pertengahan proses miksi, sedangkan bagian awal dan akhir dari miksi dibuang.

  Cara ini dilakukan saat kandung kemih penuh, sebaiknya urin pagi hari. Sedikitnya 200 cc urin keluar terlebih dahulu untuk membersihkan

  11,24,34 urethra sebelum diambil untuk pemeriksaan. ,

  3. Clean catch method pada prosedur ini genitalia eksterna dicuci terlebih dahulu dengan dan air tidak boleh menggunakan sabun atau antiseptik, lalu kedua labia dikuakkan agar urin tidak menyentuh kulit guna mencegah kontaminasi. Kemudian urin disimpan dalam tabung

  11,24,34 steril.

  4. Katerisasi, sering dipakai untuk pemeriksaan mikrobiologis, namun belakangan diketahui bahwa kateterisasi meningkatkan resiko infeksi

  11,24,34 saluran kemih, sehingga kini cara ini tidak dianjurkan.

  5. Aspirasi jarum suprapubik, dengan anestesi lokal dilakukan pengambilan urin menggunakan spuit 20 G. Cara ini sederhana dan aman, juga dilakukan saat kandung kemih penuh. Tehnik ini bebas dari

  34 kontaminasi.

  6. Urin 24 jam, berguna untuk pemeriksaan kimiawi, dan kurang

  11,24,34 bermanfaat untuk pemeriksaan mikrobiologis.

  7. Urin pagi hari, urin telah tertahan di kandung kemih untuk beberapa

  11,24,34

  jam

  8. Aspirasi Kandung Kemih Transvaginal (Simpson dkk). Cara ini dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Dari 2.480 kasus hanya 2 kasus yang mengalami efek samping hematuria. Lokasi punksi pada dinding vagina depan sedikit ke proksimal dari sambungan urethrovesikal, dengan angka kegagalan 2,5%, namun cara ini tidak nyaman karena

  35 dapat menyebabkan perdarahan.

2.4. Penatalaksanaan

  Jika kulturnya positif maka pasien harus diberi pengobatan yang tepat sesuai kuman penyebabnya dan uji kepekaan, pemeriksaan kultur urin ulangan secara periodik diperlukan selama kehamilannya untuk mengetahui adanya kekambuhan. Wanita dengan bakteriuria asimtomatis yang persisten membutuhkan supressi antibiotik hingga persalinan dan

  2,36,37,38 perlu melakukan pemeriksaan urologis setelah persalinan.

  Semua kasus bakteriuria asimtomatik harus diobati,sebab jika tidak

  25,39,40,41 25-40% akan menjadi pyelonefritis akut.

  Setelah hasil kultur urin negatif, < 1,5% pasien yang mendapatkan lagi infeksi saluran kemih selama bulan-bulan berikutnya sebelum

  2 melahirkan.

  Escherichia coli merupakan kuman terbanyak yang dijumpai pada

  bakteriuria asimtomatik, maka terapi selaIu dimulai dengan antibiotik sensitif terhadap Escherichia .coli, antara lain Sulfosoxazole, Ampicillin.

2.5. Prognosis

  Eradikasi bakteriuria dengan obat antibiotik telah terbukti efektif sebagai pencegahan terhadap hampir semua infeksi dengan bukti

  2,45 klinis.

  Pengobatan terhadap bakteriuria asimtomatik mencegah > 80% kasus-kasus pyelonefritis, dan mengurangi resiko terjadinya partus prematurus.

  Wanita dengan bakteriuria asimtomatik yang persisten selama kehamilannya, harus mendapatkan pemeriksaan urografi intra venous setelah melahirkan. Sekitar 20% dari kelompok ini dapat dijumpai kelainan

  37,

  41 struktural dari ginjal, ureter, atau kandung kemih .

2.6.Kerangka teori

Gambar 2.1. Kerangka Teori

  Wanita Uretra Efek progesteron pendek Obstruksi Aliran Pengosongan Kontaminasi lambat/stagnansi vesika urinaria terganggu Pertumbuhan bakteri Bakteriuria asimtomatik