Tesis Gaya Kepemimpinan kepala sekolah

HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH
DAN GAYA MANAJEMEN KONFLIK DENGAN PENINGKATAN
PROFESIONALISME GURU PADA SEKOLAH DASAR NEGERI
DI KECAMATAN BEJI KOTA DEPOK

TESIS
Disampaikan untuk memenuhi persyaratan
menulis tesis Program Studi Magister Administrasi Pendidikan

Oleh

IKA MULYATI
NIM: 0808036197

PROGRAM STUDI MAGISTER ADMINISTRASI PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
Jakarta
2011
1


ABSTRAK
Ika Mulyati, Hubungan antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Gaya
Manajemen Konflik dengan Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar Negeri
di Kecamatan Beji Kota Depok. Tesis. Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, 2011
Tesis ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan antara Gaya
Kepemimpinan dan Gaya Manajemen Konflik dengan Peningkatan Profesionalisme
Guru Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Beji Kota Depok.
Hipotesis yang diuji adalah : (1) terdapat hubungan antara gaya kepemimpinan
kepala sekolah dengan Peningkatan Profesionalisme Guru, (2) terdapat hubungan antara
Gaya Manajemen Konflik dengan Peningkatan Profesionalisme Guru dan (3) terdapat
hubungan antara gaya kepemimpinan kepala sekolah dan Gaya Manajemen Konflik
secara bersama-sama dengan Peningkatan Profesionalisme Guru.
Metode yang digunakan adalah metode penelitian survey dengan desain
korelasional.

Instrumen penelitian berupa kuesioner, pembobotan nilai pernyataan

menggunakan skala Likert 1 sampai dengan 5. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan
pada 30 orang responden, dengan


sampel penelitian menggunakan rumus slovin

sebanyak 81 orang yang diambil dari guru Sekolah Dasar di Kecamatan Beji Kota
Depok. Hasil evaluasi dapat disimpulkan sebagai berikut :
Pertama, terdapat hubungan positif antara Gaya Kepemimpinan Kepala sekolah
dengan Peningkatan Profesionalisme Guru dengan persamaan regresi Ŷ = 26,964 +
0,813 X1 dengan koefisien korelasi ry1 = 0,683 pada taraf nyata a= 0,05 yang berarti
bahwa setiap kenaikan Peningkatan Profesionalisme Guru disumbang sebesar 0,813
oleh variabel Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah pada konstanta 26,964. Kontribusi
Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah terhadap Peningkatan Profesionalisme Guru
46,64%.
Kedua, terdapat hubungan positif antara Gaya Manajemen Konflik dengan
Peningkatan Profesionalisme Guru dengan persamaan regresi Ŷ = 55,036 + 0,665X2
dengan koefisien korelasi ry2 = 0,583 pada taraf nyata α = 0,05 yang berarti bahwa
setiap kenaikan Peningkatan Profesionalisme Guru disumbang sebesar 0,665 oleh

1

variabel Gaya Manajemen Konflik pada konstanta 55,036. Kontribusi Gaya Manajemen

Konflik terhadap Peningkatan Profesionalisme Guru 33,99%.
Ketiga, terdapat hubungan positif antara Gaya kepemimpinan Kepala sekolah
dan

Gaya

Manajemen

Konflik

secara

bersama-sama

dengan

Peningkatan

Profesionalisme Guru dengan persamaan regresi Ŷ = 2,4 + 0,619 X1 + 0,338 X2 dengan
koefisien korelasi ry12 = 0,726 pada taraf nyata α = 0,05 yang berarti bahwa setiap

kenaikan Peningkatan Profesionalisme Guru disumbang sebesar 0,619 dan 0,338 oleh
variabel Gaya Kepemimpinan Kepala sekolah dan Gaya Manajemen Konflik pada
konstanta 2,4. Kontribusi Gaya kepemimpinan Kepala sekolah dan Gaya Manajemen
Konflik secara bersama-sama terhadap Peningkatan Profesionalisme Guru sebesar
52,70%.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa antara Gaya Kepemimpinan
Kepala Sekolah dan Gaya Manajemen Konflik baik secara sendiri-sendiri maupun
secara bersama-sama memberikan sumbangan yang sangat berarti terhadap Peningkatan
Profesionalisme Guru. Dengan kata lain Peningkatan Profesionalisme Guru pada
Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Beji Kota Depok dapat ditingkatkan melalui Gaya
Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Gaya Manajemen Konflik yang kondusif dan
menyenangkan bagi guru.

2

ABSTRACT

Ika Mulyati, Relationships between Principal Leadership Style and Conflict
management style with increased professionalism of teachers of Elementary School in
District Beji Depok. Thesis. Muhammadiyah University Prof. Dr.Hamka, Pascasarjana

Program 2011.
This thesis aims to identify and analyze the relationship between Principal leadership
style, and Conflict management style with increased professionalism of teachers of
elementary school in District Beji Depok.
Hypotheses tested were: (1) there was a relationship between Principal
Leadership Style with increased professionalism of teachers, (2) there was a relationship
between conflict management style and increased professionalism of teachers (3) there
was a relationship between principal leadership styles and Conflict management style
together with increased professionalism of teachers
The method used is survey research methods with a correlational design. The
instrument was a questionnaire, the weighted value of the statement using a Likert scale
of up to five. Validity and reliability test conducted on 30 respondents, with the sample
using the formula slovin of 81 people taken from the elementary school teacher in
District Beji Depok. Evaluation results can be summarized as follows:
First, there is a positive relationship between Principal leadership style with
increased professionalism of teachers with the regression equation Y = 26.964 + 0.813
X1 ry1 correlation coefficient = 0.683 at significant level a = 0.05 which means that any
increase in labor increased professionalism of teachers donated by 0.813 by variables
Principal leadership style the constant 26.964. Principal leadership style Contributions
to increased professionalism of teachers 46.64%.

Second, there is a positive relationship between Cultural Organization to
increased professionalism of teachers with the regression equation Y = 55.036 + 0.665
X2 ry2 correlation coefficient = 0.583 significant at level a = 0.05 which means that any
increase in labor increased professionalism of teachers donated by 0.665 by variables

3

Conflict management style the constant 55.036. Conflict management style
Contributions to increased professionalism of teachers 33.99%.
Third, there is a positive relationship between Principal leadership style and
Conflict management style together with increased professionalism of teachers with the
regression equation Y = 2.4 + 0.619 X1 + 0.338 X2 ry12 correlation coefficient = 0.726
significant at level a = 0.05 which means that any increase in employment of increased
professionalism of teachers donated by 0.619 and 0.338 by the variables of Principal
Leadership Style and Conflict Management Style on the constant 2.4. The contribution
of Principal leadership style and Conflict management style

jointly to increased

professionalism of teachers at 52.70%.

The conclusion of this research is that between Principal Leadership Style and
Conflict management style either individually or jointly significant contribution to
increased professionalism of teachers. In other words increased professionalism of
teachers at Elementary School in District Beji Depok City can be improved through
Principal Leadership Style and Conflict management style of a conducive and fun for
teachers.

4

Persetujuan Komisi Pembimbing

HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH
DAN GAYA MANAJEMEN KONFLIK DENGAN PENINGKATAN
PROFESIONALISME GURU PADA SEKOLAH DASAR NEGERI
DI KECAMATAN BEJI KOTA DEPOK

TESIS
Oleh
IKA MULYATI
NIM: 0808036197


Disetujui
Pembimbing

Tanda tangan

Tanggal

1. Prof. Dr. H. Abdul Madjid Latief, MM. MPd

......................

………

2. Dr. Bambang Dwi Hartono

………….....

………


Jakarta,

Januari 2011

Program Studi Magister Administrasi Pendidikan
Ketua

Anen Tumanggung, Ph.D

5

KATA PENGANTAR
Segala puji kepada Yang Maha Suci, puja kepada yang Maha Kuasa, serta
syukur kepada yang Maha Ghofur, atas rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis,
sehingga penulis diberi kesempatan untuk dapat menyelesaikan tugas terakhir penulisan
tesis yang berjudul "Hubungan Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Gaya
Manajemen Konflik dengan Peningkatan Profesionalisme Guru pada Sekolah Dasar
Negeri di Kecamatan Beji Kota Depok" pada Progam Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah. Prof. DR HAMKA.
Dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat penulis mengucapkan

terimakasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan dan arahan
kepada penulis, diantaranya; Prof. Dr. H. Abdul Madjid Latief, MM, M.Pd, selaku
Pembimbing I, Dr. Bambang Dwi Hartono Pembimbing II, yang telah memberikan
bimbingan dan arahan serta dorongan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan
tesis ini.
Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada Prof. Dr. H. R. Santosa
Murwani, Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. DR.
HAMKA, Bapak Anen Tumanggung, Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister
Administrasi Pendidikan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam
penulisan tesis ini. Bapak dan Ibu Dosen dan segenap staf yang telah memberikan
fasilitas dan pelayanan yang baik selama penulis menempuh pendidikan di Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof . DR. HAMKA.
Tak lupa pula kepada Dr. H. Suyatno, M.Pd., Rektor Universitas
Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk mengikuti pendidikan di Program Pascasarjana Program Studi
Administrasi Pendidikan.
Terima kasih yang tidak terhingga kepada keluargaku tercinta serta anak-anak
ku yang telah banyak kehilangan waktu bersama selama perkuliahan dan penyelesaian
proposal tesis ini. Ayah dan ibu yang sangat saya cintai dengan iringan doa dan
keridhoannya penulis diberi kemudahan selama perkuliahan, serta suamiku terbaik yang

penulis miliki yang tidak pernah putus memberikan motivasi kepada penulis.

6

Rekan-rekan kelas B.20.2 Mahasiswa pada Program Magister Administrasi
Pendidik Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA yang telah memberikan
dorongan dukungan yang tidak pernah putus kepada penulis dan semua pihak yang tidak
dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi semua pembaca, dan semoga segala bantuan dan partisifasi yang telah
diberikan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini akan menjadi ladang amal ibadah
dan akan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, Amin Yaa Robbal `
Aalamiin.
Jakarta,

Januari 2011
Penulis

IKA MULYATI

7

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia pada masa depan
adalah manusia yang mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan
bangsa lain di dunia. Kualitas manusia Indonesia tersebut dihasilkan melalui
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu oleh pendidik profesional. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan
bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Oleh karena itu, guru sebagai
pendidik profesional mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat
strategis. Guru sebagai tenaga profesional mempunyai visi terwujudnya
penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalitas untuk
memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan
yang bermutu.
Kualitas program pendidikan tidak saja bergantung pada konsep-konsep
program yang baik tapi juga pada personil guru yang mempunyai kesanggupan dan
keinginan untuk berprestasi. Tanpa personil yang cakap dan efektif, program
pendidikan yang dibangun di atas konsep-konsep yang baik serta dirancang dengan
teliti pun dapat tidak berhasil.
Mengingat peranan strategis guru dalam setiap upaya peningkatan mutu,
relevansi, dan efisiensi pendidikan, maka peningkatan profesionalisasi guru
merupakan kebutuhan. Benar bahwa mutu pendidikan bukan hanya ditentukan oleh
guru, melainkan oleh mutu masukan (siswa), sarana, manajemen, dan faktor-faktor
1

eksternal lainnya. Akan tetapi seberapa banyak siswa mengalami kemajuan dalam
belajarnya, banyak tergantung kepada kepiawaian guru dalam membelajarkan
siswa.
Guru ( pendidik ) menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Bab XI pasal 39 adalah :“Pendidik merupakan
tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan
pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,
terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”1.
Tenaga guru adalah salah satu tenaga kependidikan yang mempunyai peran
sebagai faktor penentu keberhasilan tujuan organisasi selain tenaga kependidikan
lainnya, karena guru yang langsung bersinggungan dengan peserta didik, untuk
memberikan bimbingan yang profesional, guru menjadi sangat penting karena akan
menghasilkan lulusan yang diharapkan. Untuk itu kemampuan profesional guru
harus selalu ditingkatkan. Upaya-upaya untuk meningkatkan kinerja itu biasanya
dilakukan dengan cara memberikan motivasi, meningkatkan kerja sama tim,
mengadakan supervisi, memberikan insentif, memberikan kesempatan yang baik
untuk

berkembang

dalam

karir,

meningkatkan

kemampuan,

dan

gaya

kepemimpinan yang baik.
Faktor dan aktor utama dari pendidikan adalah manusia, yang di dalam
prosesnya adalah manusia yang satu (pendidik) berusaha membantu dan
menjadikan manusia lainnya (peserta didik) menjadi manusia yang dewasa, baik,
berpengetahuan luas, berbudi pekerti luhur, dan menjadi rohmatan lil Alamin 2.
Manusia memiliki daya upaya untuk membuat dirinya tahu akan segala sesuatu,
1 Depdiknas, 2003. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. hal. 8
2 Iim Imanudin. 2003. Guru sebagai Manusia Pendidik dan Pendidik Manusia. Suara Daerah
Majalah Pendidikan Jawa Barat. No 386. hal. 28

2

dengan menggunakan akal dan fikirannya, manusia mampu mengenal dan memilih
mana yang baik dan mana yang tidak baik, manusia bisa melakukan latihan,
penelitian dan praktik atas ilmu pengetahuan yang diajarkan. Sementara mahluk
hidup lain yaitu binatang dan tumbuhan tidak dapat melakukannya. Tumbuhan
tidak bisa melakukan aktifitas, tumbuhan bersifat pasif, kehidupannya ditandai
dengan bertambah tinggi dan besar pada bagian-bagian tubuhnya serta pada
produknya, seperti buah, daun, bunga yang hanya menjadi objek untuk dinikmati
mahluk hidup lainnya. Binatang hanya memiliki naluri untuk mewujudkan
keinginannya yang cenderung bersifat nafsu, binatang tidak memiliki akal budi dan
fikiran untuk membedakan baik dan buruk, binatang tidak memiliki keinginan
untuk belajar secara mandiri, binatang hanya menuruti naluri dalam memenuhi
nafsunya.
Guru adalah figur manusia yang mempunyai tugas mengajar, mendidik,
melatih, dan membimbing dalam upaya menciptakan manusia yang mempunyai
bobot pengetahuan, keterampilan dan sikap yang akan menjadi bekal hidupnya
kelak. Guru mengemban amanat bangsa dan negara yang tercantum dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea ke empat, yaitu bahwa guru
mempunyai tugas pokok untuk” menbaikkan kehidupan bangsa”, hal ini berarti
guru mempunyai tugas menumbuhkembangkan berbagai potensi anak didik yang
dapat meningkatkan kualitas kehidupan bangsa Indonesia yang meliputi
kemampuan; ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kemampuan berbudi
pekerti luhur, dan kemampuan semangat kebangsaan yang kokoh serta memiliki
daya juang yang tinggi dalam mempertahankan eksistensi bangsanya di mata dunia,

3

sebagai bangsa yang tangguh dan unggul. Sejalan dengan tugas dan tuntutan guru
harus berperan positif sesuai dengan profesinya di berbagai lingkungan yang secara
formal di sekolah, secara nonformal di masyarakat dan secara informal di
lingkungan

keluarga.

Sebagai

sebuah

jabatan/pekerjaan

profesi

dibidang

pendidikan, guru sebagai manusia pendidik, terbelenggu oleh dua ikatan yang
bersifat pribadi yaitu :
Pertama, guru sebagai seorang manusia yang mempunyai pikiran, perasaan,
dan nafsu yang sama dengan manusia lainnya yang lengkap dengan kekurangan dan
keunggulannya, pada umumnya, memerlukan pemenuhan kebutuhan hidup yang
layak, yang pada prakteknya diatur oleh lembaga pemerintahan, dan pada
kenyataannya tergantung dari kemakmuran suatu negara, serta produk aturan yang
dibuat oleh manusia yang duduk di lembaga pemerintahan negara tersebut. Guru
sebagai manusia mempunyai perbedaan formal dengan manusia lain dan
mempunyai tanggung jawab secara moral terhadap pemerintah yang menugaskan,
dan kepada Tuhan yang mentakdirkan.
Kedua, guru sebagai pendidik mau tidak mau harus menjadi manusia yang
dianggap super serba bisa dianggap tidak mungkin berbuat kesalahan, patut untuk
digugu dan ditiru. Dalam sebuah ungkapan berbunyi Guru ratu wong atuo karo,
yang harus dihormati, guru menempati urutan terdepan, kedudukannya lebih tinggi
dari pemerintah dan orang tua, berarti guru memikul beban tanggung jawab yang
lebih besar sesuai dengan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai manusia
super tidak ada kata tidak tahu, guru harus higienis dari segala bentuk kesalahan,
bila guru berbuat kesalahan dampaknya akan sangat luas, menyangkut nama baik

4

diri sendiri dan korpsnya, guru sebagai pendidik adalah figur yang dilihat banyak
orang dari semua sisi kehidupannya3.
Dengan demikian guru sebagai sebuah pekerjaan profesi harus dapat
membuat keseimbangan dalam bertingkah laku dan berfikir terkait dengan
peranannya sebagai pengajar dan pendidik, guru harus pandai menempatkan jabatan
secara proporsional dengan tepat, akurasi pengambilan keputusan dalam
menentukan mekanisme kebutuhan hidup dan dalam menyampaikan keinginan
untuk menutupi kebutuhan tidak dengan cara yang arogansi, tapi dengan cara yang
wajar dan benar dalam pandangan masyarakat umum. Menumbuhkan rasa memiliki
pada pekerjaan sebagai sumber kehidupan dan sikap hidup. Melalaikan tugas dan
kewajiban sama dengan tidak menghargai diri sendiri. Lebih luasnya lagi, guru
merupakan sumber daya manusia yang menjadi tumpuan harapan bangsa dan
negara atas hasil didikannya yakni generasi penerus berkualitas, sehingga bangsa
ini dapat bangkit dari keterpurukan dan ketertinggalan oleh bangsa-bangsa lain. Inti
dari pendidikan, adalah sebagai sebuah proses memberikan bantuan yang sangat
berbeda dari proses memberikan sesuatu yang berbentuk kebendaan kepada orang
lain, ketika suatu benda diberikan maka sipemberi benda secara langsung
kehilangan benda tersebut karena sudah pindah ke tangan orang lain, sedangkan
bantuan yang diberikan dalam bentuk ilmu pengetahuan tidak membuat sipemberi
bantuan ilmu kehilangan ilmunya, dalam konteks pendidikan setiap orang dapat
mentransfer pengetahuan kepada orang lain tanpa dia sendiri kehilangan ilmu
tersebut. Dari hasil pendidikan, seseorang diharapkan menjadi lebih baik dari

3 ibid

5

sebelumnya, dalam bentuk perilaku, sikap, peningkatan pengetahuan, dan
sebagainya.
Untuk menghadapi berbagai tantangan dalam reformasi pendidikan
nasional, diperlukan kualitas guru yang mampu mewujudkan kinerja profesional,
modern, berwawasan luas ke depan, kreatif dan inovatif, dalam nuansa pendidikan
yang nyaman dan menyenangkan dengan dukungan dana dan kesejahteraan yang
memadai, serta berada dalam kepastian dan lindungan hukum yang adil dan merata,
adalah sebuah harapan dari para guru dalam rangka menunaikan tugas sebagai
pendidik demi terwujudnya tujuan pendidikan nasional. Beratnya tantangan dimasa
depan menuntut guru untuk memiliki komitmen terhadap kualitas dan kapasitas
mereka sebagai seorang pendidik.
Guru harus mampu menjadi manusia pembelajar yang baik, dan kreatif
dengan cara belajar, terus berusaha menemukan inovasi-inovasi baru model dan
media pembelajaran yang efektif dan multiguna, menggali dan mengakses seluruh
ilmu pengetahuan dari berbagai sumber ilmu pengetahuan seperti dari buku,
internet, lingkungan sekitar, para nara sumber dan dari lingkungan alam, sehingga
tuntutan terhadap profesi guru dapat terpenuhi dari perwujudan kinerja guru yang
optimal menjadi tenaga profesional yang mantap, bermartabat dan bertanggung
jawab moral, dalam Undang-Undang nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan
Dosen pasal 1 ayat 1, dinyatakan bahwa: ”Guru adalah pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,

6

dan mengevaluasi peserta didik pada anak usia dini, jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar dan pendidikan menengah.”4
Sesuai dengan pernyataan dalam undang-undang tersebut guru profesional
akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang
ditandai dengan keahlian baik dalam penyajian materi, maupun dalam penggunaan
metode pengajaran, rasa tanggung jawab pribadi, sosial, intelektual, moral, dan
spiritual serta kesejawatan di antara sesama guru. Guru adalah profesi atau
pekerjaan yang memerlukan keahlian dan kemahiran sebagaimana diamanatkan
oleh Undang-Undang No 14 tahun 2005 pasal 1 ayat 4,

”Profesional adalah

pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan
yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan
profesi”5.
Guru merupakan sumber daya manusia utama yang akan menentukan maju
mundurnya sekolah, sehingga kualitas guru yang rendah akan berdampak pada
rendahnya mutu pendidikan.6 Begitu pentingnya peran guru dalam menbaikkan
kehidupan bangsa oleh karena itu, faktor guru harus menjadi perhatian utama bagi
penyelenggaraan pendidikan, agar para guru dapat menjalankan tugasnya secara
optimal dan profesional, sehingga dapat melahirkan anak-anak bangsa yang
berkualitas yang sangat dibutuhkan untuk kemajuan sebuah bangsa. Namun hal ini
tidak akan tercapai apabila tidak disertai usaha guru untuk meningkatkan
4 UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dengan penjelasannya. Tahun 2006. Bandung ;
Citra Umbara, hal. 5
5 ibid
6 H.A.R. Tilaar. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Persfektif Abad
21.Magelang : Tera Indonesia.1998. hal. 14.

7

kemampuan profesionalnya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan
pendidik.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 tahun 2007 pasal 1 telah
menegaskan bahwa Setiap guru wajib memenuhi standar kualifikasi akademik dan
kompetensi guru yang berlaku secara nasional.7 Standar Kompetensi Guru meliputi
Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, dan
Kompetensi Profesional.
Upaya meningkatkan profesionalisme antara lain melakukan identifikasi
kompetensi aktual profesi guru, pendidikan dan pelatihan berbasis kebutuhan
kompetensi guru, meningkatkan kemampuan dan minat baca, melakukan penelitian
tindakan kelas, diskusi ilmiah, meningkatkan hubungan kesejawatan, dan
membangun etos kerja guru.
Untuk meningkatkan hubungan kesejawatan dalam satu organisasi,
khususnya sekolah sebagai lembaga pendidikan didalamnya terjadi interaksi antara
satu dengan lainnya, memiliki kecenderungan timbulnya konflik. Dalam institusi
layanan pendidikan terjadi kelompok interaksi, baik antara kelompok guru dengan
guru, staf dengan guru, pimpinan dengan guru, maupun dengan lainnya yang mana
situasi tersebut seringkali dapat memicu terjadinya konflik. Konflik sangat erat
kaitannya dengan perasaan manusia, termasuk perasaan diabaikan, disepelekan,
tidak dihargai, ditinggalkan, dan juga perasaan jengkel karena kelebihan beban
kerja. Perasaan-perasaan tersebut sewaktu-waktu dapat memicu timbulnya
kemarahan. Keadaan tersebut akan mempengaruhi seseorang dalam melaksanakan
kegiatannya secara langsung, dan dapat menurunkan produktivitas kerja organisasi
7 Permendiknas No 16 Tahun 2007, Jakarta : BP. Cipta Jaya. hal. 4

8

secara tidak langsung dengan melakukan banyak kesalahan yang disengaja maupun
tidak disengaja. Dalam suatu organisasi, kecenderungan terjadinya konflik, dapat
disebabkan oleh suatu perubahan secara tiba-tiba, antara lain: kemajuan teknologi
baru, persaingan ketat, perbedaan kebudayaan dan sistem nilai, serta berbagai
macam kepribadian individu.
Konflik akan selalu menyelimuti pengalaman umat manusia. Pasti akan
terjadi, bahkan dalam diri individu sekalipun; biasa disebut konflik intrapersonal
(intrapersonal conflict). Konflik ini, sering muncul akibat pertentangan antara dua
perasaan atau kepentingan, yang mendorong timbulnya stress. Di samping itu,
konflik akan selalu muncul dalam pengalaman sosial, antar individu-individu,
kelompok-kelompok, dan antara masyarakat dan kultur yang lebih luas lagi.
Konflik yang terjadi dapat berupa percekcokan, perselisihan, atau
pertentangan. Konflik tersebut tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikendalikan,
dikelola bahkan disinergikan menjadi sesuatu yang dinamis, karena pada dasarnya
konflik tidak selalu memberikan pengaruh yang negatif bagi tim ataupun
organisasi.
Greenberg dan Baron8 justru melihat sisi positif konflik untuk membuka
penyelesaian permasalahan masa lalu, memotivasi karyawan untuk mengerti posisi
mereka dalam perusahaan, memberikan ide dan inovasi baru, serta membuka
perubahan organisasional, selain itu konflik akan memberikan keputusan yang lebih
baik, dan menambah komitmen organisasi. Sedangkan sisi negatif konflik adalah
memunculkan emosi negatif dan stress, menurunkan komunikasi yang dibutuhkan

8 Greenberg J, and Baron, RA 2000. Behavior in Organizations, Prentice Hall Inc. Seventh Edition.

9

untuk koordinasi, memberikan stereotyping negatif, dan menekankan loyalitas pada
salah satu kelompok.
Konflik merupakan suatu bagian yang alamiah dari proses-proses sosial dan
terjadi pada setiap organisasi, yang selalu muncul saat ada benturan kepentingan.
Kondisi organisasi dan perwujudan kepemimpinan kepala sekolah sehari-hari tidak
sedikit diantaranya yang menjadi penyebab terjadinya ketegangan, prosedur kerja
yang terlalu sulit, persaingan dan perebutan wewenang, gaya kepemimpinan yang
tidak bertanggung jawab, cara kerja yang tidak manusiawi, dan lain-lain. Kondisi
seperti ini merupakan penyebab terjadinya ketegangan di lingkungan organisasi,
sehingga menimbulkan konflik, karena konflik merupakan sebuah proses interaksi
yang muncul dari ketidaksepakatan atas tujuan yang hendak diraih, atau
ketidaksepakatan metode yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan.
Konflik merupakan suatu fenomena yang sering kali tidak bisa dihindari dan
menghambat pencapaian tujuan organisasi. Konflik dapat mengganggu perhatian
serta mengalihkan energi dan kemampuan anggota organisasi untuk mencapai visi,
misi, dan tujuan yang strategis dari organisasinya. Jika tidak dikelola dengan baik,
konflik akan berkembang menjadi konflik destruktif yang merugikan bagi pihakpihak yang terlibat konflik.
Pada akhirnya mereka memfokuskan diri pada konflik bukan pada
pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. Bila dihubungkan dengan pengelolaan
konflik berarti Gaya Manajemen Konflik ditujukan untuk mencegah gangguan
kepada anggota organisasi untuk memfokuskan diri pada visi, misi, dan tujuan
organisasi.

10

Dalam melaksanakan tugasnya, para guru dalam suatu organisasi tidak
mungkin bekerja sendiri, tetapi memerlukan bantuan rekan kerjanya. Ia harus
berkomunikasi dengan baik kepada rekannya. Untuk itu ia harus memahami bahwa
rekan kerjanya memiliki berbagai perbedaan pola pikir. Maka Gaya Manajemen
Konflik harus diarahkan agar pihak-pihak yang terlibat konflik memahami
keragaman.
Pengendalian konflik merupakan salah satu tugas pempimpin dalam
kepemimpinannya, efektivitas kepemimpinan seseorang dapat dinilai dari
bagaimana ia mampu mengendalikan dan mengelola konflik. Kegagalan seorang
pemimpin dalam mengendalikan konflik akan menimbulkan sesuatu yang tidak
bermanfaat dan menimbulkan kerusakan. Sebaliknya jika seorang pemimpin dapat
mengendalikan dan mengelola konflik secara baik, maka konflik dapat bermanfaat
untuk menciptakan kreativitas, perubahan sosial yang lebih maju, membangun
keterpaduan kelompok dan peningkatan fungsi kebersamaan atau kekeluargaan.
Kepala sekolah sebagai pemimpin bertanggung jawab dalam pengelolaan
sekolah sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam menentukan arah dan kebijakan
sekolah, maka kepala sekolah mempunyai otoritas dalam menciptakan iklim kerja
yang baik dan kondusif bagi proses kegiatan pendidikan di sekolah. Oleh karena
itu, dalam menjalankan fungsinya kepala sekolah harus mampu menguasai tugastugasnya dan melaksanakan tugasnya dengan baik.
Kepala sekolah juga merupakan motor penggerak dari sumber daya yang
tersedia di sekolah, sehingga orang-orang yang ada di bawah kendalinya suka dan
mau bekerja secara sadar. Kepala sekolah bertanggung jawab terhadap seluruh

11

aktivitas sekolah, mengelola sumber-sumber daya yang ada baik sumber daya
manusia, maupun sumber daya yang bersifat materi agar semua itu dapat
menunjang terciptanya efektifitas kerja dalam proses pencapaian tujuan pendidikan
di sekolah. Selain itu tugas kepala sekolah adalah membantu guru mengembangkan
potensi pribadi dan mempersatukan kehendak, pikiran dan tindakan antara guru,
siswa, dan orang tua murid dalam kegiatan bersama secara efektif dan menciptakan
iklim sekolah yang menyenangkan sehingga profesionalisme guru dapat terwujud.
Sekolah merupakan salah satu bentuk organisasi pendidikan. Kepala sekolah
merupakan pemimpin pendidikan di sekolah. Jika pengertian kepemimpinan
tersebut diterapkan dalam organisasi pendidikan, maka kepemimpinan pendidikan
bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk menggerakkan orang-orang yang ada
dalam organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Nawawi9 yang mengemukakan bahwa kepemimpinan pendidikan
adalah proses

mempengaruhi, menggerakkan, memberikan motivasi, dan

mengarahkan orang-orang yang ada dalam organisasi pendidikan untuk mencapai
tujuan pendidikan.
Salah satu prasyarat terbinanya profesionalisme adalah gaya kepemimpinan
kepala sekolah. Kepala sekolah sebagai leader harus mampu memberikan petunjuk
dan pengawasan, meningkatkan kemauan dan kemampuan tenaga kependidikan,
membuka komunikasi dua arah dan mendelegasikan tugas.
Wahjosumijo10 mengemukakan bahwa kepala sekolah sebagai leader harus
memiliki karakter khusus yang mencakup kepribadian, keahlian dasar, pengalaman
9 Nawawi, H. 2000. Administrasi Pendidikan. Jakarta: Armas Duta Jaya. hal. 47

10 Wahjosumidjo. 2005. Kepemimpinan Kepala Sekolah, PT Raja Grafindo Persada ; Jakarta.
hal.110

12

dan pengetahuan profesional serta pengetahuan administrasi dan pengawasan.
Keberhasilan kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya banyak ditentukan oleh
kepemimpinan kepala sekolah. Kepemimpinan merupakan faktor yang paling
penting dalam menunjang tercapainya tujuan organisasi sekolah. Keberhasilan
kepala sekolah dalam mengelola kantor, mengelola sarana prasarana sekolah,
membina guru, atau mengelola kegiatan sekolah lainnya banyak ditentukan oleh
kepemimpinan kepala sekolah. Apabila kepala sekolah mampu menggerakkan,
membimbing, dan mengarahkan anggota secara tepat, segala kegiatan yang ada
dalam organisasi sekolah akan bisa terlaksana secara efektif. Sebaliknya, bila tidak
bisa menggerakkan anggota secara efektif, tidak akan bisa mencapai tujuan secara
optimal.
Pada kenyataan di lapangan masih ditemukan adanya pengaruh terhadap
gaya kepemimpinan bagi seseorang yang lahir dari jaman orde baru atau orde lama,
dalam banyak hal seperti kepribadian dan gaya memimpin yang muncul, cenderung
pada gaya feodal yang merasa paling pintar dan paling benar, merasa tidak suka
jika ada bawahan yang lebih tahu, sehingga segala keputusan meskipun tidak
disetujui oleh bawahan tetap harus dilaksanakan.
Gaya Manajemen Konflik merupakan pola tingkah laku orang dalam
menghadapi situasi konflik yang erat hubungannya dengan gaya kepemimpinan
dalam suatu organisasi demikian juga dengan peningkatan profesionalisme guru,
maka peneliti tertarik untuk mengkaji masalah tersebut dengan melakukan
penelitian “Hubungan Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Gaya Manajemen

13

Konflik dengan Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar Negeri di
Kecamatan Beji Kota Depok.”

B. Identifikasi Masalah
Pada penilitian pendahuluan yang dilakukan di sekolah dasar negeri
sekecamatan Beji yang ada di wilayah Kota Depok menunjukkan bahwa sekolahsekolah tersebut menghadapi sejumlah masalah yang perlu mendapatkan perhatian
khusus sebagai berikut :
1. Profesionalisme Guru, fenomena ini sangat jelas nampak pada sikap profesional
guru dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Profesionalisme yang rendah akan
berdampak pada rendahnya hasil pembelajaran peserta didik.
2. Kualifikasi Guru, hasil wawancara terhadap beberapa guru menunjukkan bahwa
tingkat

pendidikan

yang

tidak

memenuhi

kualifikasi

mempengaruhi

profesionalisme guru.
3. Standar Kompetensi, yang seharusnya dikuasai guru profesional meliputi
kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional yang ditunjukkan
guru selama ini terkesan rendah. Guru dalam melaksanakan tugasnya hanya
sekedar menggugurkan kewajiban. Inovasi bukan merupakan suatu tantangan,
kreatifitas bukan merupakan suatu prestasi. Pembaharuan dalam metode
pembelajaran merupakan hal-hal membuang waktu dalam pembelajaran.
4. Penghargaan terhadap guru, di wilayah Beji belum membudaya. Kepala
sekolah seharusnya berupaya memberikan pengakuan atau penghargaan bagi
guru yang menunjukkan profesionalismenya dalam bekerja. Karena secara

14

sosiologis, adanya pengakuan (recognition) terhadap suatu profesi itu pada
dasarnya secara implisit mengimplikasikan adanya penghargaan, meskipun tidak
selalu berarti finansial (uang) melainkan dapat juga yang mengandung makna
status sosial.
5. Pembinaan dan pengembangan profesionalisasi guru, belum dilakukan
berdasarkan kebutuhan institusi, kelompok, maupun individu guru itu sendiri.
Dari perspektif institusi, pengembangan profesionalisme dimaksudkan untuk
merangsang, memelihara, dan meningkatkan kualitas staf dalam memecahkan
masalah-masalah organisasi sekolah. Karena substansi kajian dan konteks
pembelajaran selalu berkembang dan berubah menurut dimensi ruang dan
waktu, guru dituntut untuk selalu meningkatkan kompetensinya.
6. Keterampilan guru, sebagai agen pembelajaran, guru seharusnya dapat
mengelola proses pembelajaran, besikap inovatif dan kreatif. Seperti pembuatan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan alat peraga, dimana pada
kenyataannya tidak semua guru mampu membuat RPP sesuai standar proses
yang merupakan salah satu dari komponen Standar Nasional Pendidikan (SNP).
7. Penelitian

pendahuluan

menemukan

rendahnya

profesionalisme

guru.

Peningkatan profesionalisme melalui program sertifikasi baik langsung maupun
melalui portofolio belum mampu mendongkrak kemampuan profesional guru
karena guru yang sudah bersertifikasi profesional dalam menjalankan tugas
masih sama seperti sebelumnya atau sama seperti guru yang belum
bersertifikasi.

15

8. Penilitian pendahuluan menyimpulkan kecilnya penghasilan mempengaruhi
semangat dalam melaksanakan tugas.
9. Komunikasi antar personal, dari penelitian pendahuluan menunjukkan
kurangnya kemampuan komunikasi antar personal merupakan penghambat bagi
terciptanya iklim dan suasana kerja yang harmonis.
10. Gaya Kepemimpinan, merupakan salah satu faktor penentu bagi terciptaya
profesionalisme guru di sekolah. Dari penilitian pendahuluan menunjukkan
masih banyak kepala sekolah menerapkan gaya kepemimpinan yang otokratis
dan birokratis.
11. Penelitian

pendahuluan

menemukan

adanya

hubungan

antara

gaya

kepemimpinan kepala sekolah dan sikap terhadap profesi, secara bersama-sama
dengan Peningkatan Profesionalisme Guru. Hal ini nampak pada beberapa
sekolah yang memiliki gaya kepemimpinan partisipatif mempunyai kekuatan
dinamik untuk mendorong, memotivasi dan mengkoordinasikan organisasi, serta
memberdayakan bawahan agar dapat melaksanakan tugasnya dengan sungguhsungguh.
12. Kecerdasan emosional kepala sekolah, dari wawancara awal terhadap beberapa
guru Sekolah Dasar Negeri di kecamatan Beji menunjukkan bahwa kepala
sekolah masih kurang memiliki kemampuan dalam kecerdasan emosional yang
meliputi kemampuan mengelola emosi, persepsi diri, memahami emosi orang
lain, dan interaksi dengan bawahan sehingga terjadi hubungan yang kurang
harmonis dengan bawahan.

16

13. Iklim Organisasi Sekolah, ilkim organisasi sekolah pada umumnya kurang
kondusif. Di sejumlah sekolah terjadi konflik antara guru dengan guru dan guru
dengan kepala sekolah sehingga menyebabkan suasana kerja yang tidak
menyenangkan.
14. Konflik yang terjadi di lingkungan organisasi sekolah cenderung tidak dapat
diselesaikan secara tepat dan akurat. Berdasarkan penelitian pendahuluan,
konflik-konflik yang terjadi di lingkungan sekolah berlangsung lama tanpa ada
penyelesaian sehingga berdampak pada upaya meningkatkan kemampuan
profesional guru.
15. Gaya Manajemen Konflik, belum diarahkan untuk meningkatkan produktivitas
organisasi, untuk mencapai peningkatan profesional guru. Banyak para kepala
sekolah belum memahami Gaya Manajemen Konflik dan menerapkannya sesuai
dengan situasi.
16. Kinerja Kepala Sekolah, melalui wawancara terhadap beberapa guru
menunjukkan bahwa kepala sekolah kurang menunjukkan kinerja yang baik.
Ditunjukkan dengan kurang adanya ide/gagasan untuk kemajuan organisasi,
kurang mampu menciptakan lingkungan yang nyaman dalam bekerja, tidak
dapat menyelesaikan konflik dengan tepat sehingga berakibat pada terganggunya
peningkatan profesional guru.

C. Pembatasan Masalah
Dari latar belakang masalah dan identifikasi masalah yang ada di Sekolah
Dasar Negeri Kecamatan Beji Kota Depok

17

tersebut, masalah utama yang ada

hubungannya dengan Peningkatan Profesionalisme Guru

dengan : Gaya

Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Gaya Manajemen Konflik. Oleh karena itu,
peneliti membatasi permasalahan penelitian sebagai berikut : Peningkatan
Profesionalisme Guru sebagai variabel dependen, Gaya Kepemimpinan Kepala
Sekolah dan Gaya Manajemen Konflik sebagai variabel independen.

D. Perumusan Masalah
Bertolak dari identifikasi dan pembatasan masalah seperti yang telah
dikemukakan di atas, maka masalah penelitian ini dapat di rumuskan sebagai
berikut:
1. Apakah terdapat hubungan Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dengan
Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Beji
Kota Depok ?
2. Apakah terdapat hubungan antara Gaya Manajemen Konflik dengan
Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Beji
Kota Depok ?
3. Apakah terdapat hubungan antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan
Gaya Manajemen Konflik dengan Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah
Dasar Negeri di Kecamatan Beji Kota Depok ?

E. Kegunaan Penilitian

18

Hasil penelitian hubungan gaya kepemimpinan kepala sekolah dan Gaya
Manajemen Konflik dengan peningkatan profesionalisme guru, diharapkan akan
dapat berguna baik secara teoritis maupun praktis.
Secara teoritis diharapkan memberikan wawasan dalam pengembangan teori
dan konsep tentang gaya kepemimpinan, Gaya Manajemen Konflik dan peningkatan
profesionalisme guru.
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menemukan faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap peningkatan profesionalisme guru, jika ternyata dari
penelitian ini dapat diketahui secara empirik bahwa peningkatan profesionalisme
guru mempunyai hubungan yang positif dengan gaya kepemimpinan dan Gaya
Manajemen Konflik maka hasil penilitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan
masukan bagi bagi pemimpin pada umumnya khususnya Kepala Sekolah untuk
menentukan kebijakan yang berlaku dan dalam menerapkan pola kepemimpinan
yang efektif untuk meningkatkan profesionalisme guru.
Sementara itu bagi Pimpinan Unit Pelaksana Teknis Pendidikan TK/SD
Kecamatan Beji dan Kepala Dinas Pendidikan Kota Depok. Hal ini dapat dijadikan
bahan masukan untuk menentukan arah kebijakan pendidikan di Kota Depok dalam
rangka meningkatkan profesionalisme guru.
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dipakai sebagai landasan
penilitian lanjutan, khususnya yang berkaitan dengan variabel yang diteliti, maupun
penilitian yang melibatkan variabel lain yang lebih kompleks pada semua jenjang
pendidikan

di

dalam

mengelola

pendidikan

profesionalisme guru.

19

yang

berhubungan

dengan

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerhati
pendidikan baik di lembaga pemerintah atau non pemerintah, balai-balai diklat, dan
masyarakat awam yang peduli akan usaha peningkatkan profesionalisme guru.

20

BAB II
KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. Deskripsi Teori
1. Pengertian Profesionalisme Guru
Istilah profesionalisme berasal dari profession. Dalam Kamus Inggris
Indonesia, “profession berarti pekerjaan”0. Arifin dalam buku Kapita Selekta
Pendidikan mengemukakan bahwa profession mengandung makna yang sama
dengan kata occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang
diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus0.
Dalam buku yang ditulis oleh Kunandar yang berjudul Guru
Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
disebutkan pula bahwa profesionalisme berasal dari kata profesi yang
artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh
seseorang. Profesi juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan
tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus
yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif. Jadi, profesi
adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian tertentu0.
Menurut Martinis Yamin profesi mempunyai pengertian seseorang yang
menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik, dan prosedur
berlandaskan intelektualitas0. Jasin Muhammad yang dikutip oleh Yunus Namsa,
beliu menjelaskan bahwa profesi adalah “suatu lapangan pekerjaan yang dalam
melakukan tugasnya memerlukan teknik dan prosedur ilmiah, memiliki dedikasi
serta cara menyikapi lapangan pekerjaan yng berorientasi pada pelayanan yang
ahli”. Pengertian profesi ini tersirat makna bahwa di dalam suatu pekerjaan
0 John M. Echols dan Hassan Shadili, 1996, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT.Gramedia, Cet.
Ke-23, hal. 449.
0 Arifin.1995, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). Jakarta: Bumi Aksara, Cet. Ke- 3, hal.
105.
0 Kunandar, 2007. Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-1, hal. 45.
0 Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP, hal. 3.

21

profesional diperlukan teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan
intelektual yang mengacu pada pelayanan yang ahli.0
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
profesi adalah suatu pekerjaan atau keahlian yang mensyaratkan kompetensi
intelektualitas, sikap dan keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses
pendidikan secara akademis.
Dengan demikian, Kunandar mengemukakan profesi guru adalah
keahlian dan kewenangan khusus dalam bidang pendidikan, pengajaran,
dan pelatihan yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam
memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan. Guru sebagai profesi
berarti guru sebagai pekerjaan yang mensyaratkan kompetensi (keahlian
dan kewenangan) dalam pendidikan dan pembelajaran agar dapat
melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif dan efisien serta
berhasil guna0.
Profesi pada hakikatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji
terbuka yang menyatakan bahwa seseorang itu mengabdikan dirinya pada suatu
jabatan atau pelayanan karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat
pekerjaan itu. Mulyasa0 dalam bukunya Menjadi Guru Profesional mengutip
pendapat Hughes bahwa istilah profesi merupakan simbol dari suatu pekerjaan
dan selanjutnya menjadi pekerjaan itu sendiri.
Menurut Munadi0 Profesi adalah suatu pekerjaan yang memerlukan
pendidikan lebih lanjut dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dipergunakan sebagai perangkat dasar dan diimplementasikan dalam berbagai
kegiatan yang bermanfaat.

0 M.Yunus Namsa, Kiprah Baru Profesi Guru Indonesia Wawasan Metodologi Pengajaran Agama
Islam, hal. 29.
0 Kunandar, opcit, h. 46
0 Mulyasa 2007, Menjadi Guru Profesional. Bandung :PT Remaja Rosdakarya, hal.13
0 Munadi. 1999. Pengaruh Profesionalisme Guru Terhadap Prestasi Belajar Siswa

22

Sedangkan menurut Dedi Supriyadi dalam Munadi 0 menyatakan bahwa
profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para
petugasnya, maksudnya pekerjaan yang disebut profesi itu tidak bisa dilakukan
oleh orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus terlebih dahulu
untuk melakukan pekerjaan itu. Secara sederhana pekerjaan yang bersifat
profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang
secara khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh
mereka yang karena tidak ada pekerjaan lain. Dengan demikian untuk menjadi
seorang guru yang profesional harus mempersiapkan diri secara khusus baik
dalam pendidikan maupun penguasaan materi.
Ornstein dan Levine dalam Sutjipto0 menyatakan bahwa profesi adalah
jabatan yang sesuai dengan pengertian profesi di bawah ini :
a) Melayani masyarakat, merupakan karier yang akan dilaksanakan
sepanjang hayat (tidak berganti-ganti pekerjaan); b) Memerlukan
bidang ilmu dan keterampilan tetrtentu di luar jangkauan khalayak
ramai (tidak setiap orang dapat melakukannya); c) Menggunakan hasil
penelitian dan aplikasi dari teori ke praktek (teori baru dikebangkan
dari hasil penelitian); d) Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu
yang panjang; e) Terkendali berdasarkan lisensi baku dan atau
mempunyai persyaratan masuk (untuk menduduki jabatan tersebut
memerlukan izin tertentu atau ada persyaratan khusus yang ditentukan
untuk mendudukinya); f) Otonomi dalam membuat keputusan tentang
ruang lingkup kerja tertentu (tidak diatur oleh orang luar)....0
Tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri di atas, Sanusi et al. Dalam
Sutjipto0 mengutarakan ciri-ciri utama profesi itu sebagai :

0 ibid
0 Sutjipto 2004. Profesi Keguruan, Jakarta : PT Rineka Cipta hh.15-17
0 Ibid
0 ibid

23

a. Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosial yang
menentukan.
b. Jabatan yang menuntut keterampilan/keahlian tertentu.
c. Keterampilan/keahlian yang dituntut jabatan itu didapat melalui pemecahan
masalah dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
d. Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh manajemen konflik ilmu yang
jelas, sistematik, ekspilit, yang bukan hanya sekedar pendapat khalayak
umum.
e. Jabatan itu memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu
yang cukup lama.
f. Proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi
nilai-nilai profesional itu sendiri.
g. Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, anggota profesi itu
berpegang teguh pada kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi.
h. Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan judgment
terhadap permalsalahan profesi yang dihadapinya.
i. Dalam prakteknya melayani masyarakat, anggota profesi otonom dan bebas
dari campur tangan orang luar.
j. Jabatan ini mempunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat, dan oleh
karenanya memperoleh imbalan yang tinggi pula.
Bila kita bandingkan kriteria yang dipakai Sanusi et al. Dengan kriteria
Ornstein dan Levine dapat disimpulkan bahwa hampir mirip, keduanya saling

24

melengkapi. Sementara itu National Education Association (NEA) dalam
Sutjipto0, menyarankan kriteria berikut :
a. Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.
b. Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
c. Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama (bandingkan
dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka)
d. Jabatan yang memerlukan “latihan dalam jabatan” yang berkesinambungan.
e. Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen.
f. Jabatan yang menentukan bakunya (standarnya) sendiri.
g. Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
h. Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa profesi
adalah jabatan yang memerlukan keahlian khusus dalam memberikan layanan
kepada masyarakat berpegang teguh pada kode etik profesionalnya.
Profesi keguruan mempunyai tugas utama melayani masyarakat dalam
dunia pendidikan, oleh karena itu profesionalisasi dalam bidang keguruan
mengandung arti peningkatan segala daya dan usaha dalam rangka pencapaian
secara optimal layanan yang akan diberikan kepada masyarakat.
Ahmad Sanusi0 mengajukan enam asumsi yang melandasi perlunya
profesionalisme dalam pendidikan , yakni sebagai berikut :
a. Subjek pendidikan adalah manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan,
emosi, dan perasaan, dan dapat dikembangkan segala potensinya; sementara
0 Sutjipto, ibid.
0 Ahmad Sanusi, et al.1991. Studi Pengembangan Model pendidikan Profesional Tenaga
Kependidikan. Bandung : IKIP Bandung. h. 58

25

itu pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang menghargai
martabat manusia.
b. Pendidikan dilakukan secara intensional, yakni secara sadar dan bertujuan,
maka pendidikan menjadi normatif yang diikat oleh norma-norma dan nilainilai yang baik secara universal, nasional maupun lokal, yang merupakan
acuan para pendidik, peserta didik, dan pengelola pendidikan.
c. Teori-teori pendidikan merupakan kerangka hipotesis dalam menjawab
permasalahan pendidikan.
d. Pendidikan bertolak pada asumsi pokok tentang manusia, yakni manusia
mempunyai potensi yang baik untuk berkembang. Oleh sebab itu, pendidikan
adalah usaha untuk mengembangkan potensi unggul tersebut.
e. Inti pendidikan terjadi dalam prosesnya, yakni situasi di mana terjadi dialog
antara peserta didik dengan pendidik, yang memungkinkan peserta didik
tumbuh ke arah yang dikehendaki oleh pendidik dan selaras dengan nilainilai yang dijunjung tinggi masyarakat.
f. Sering terjadi dilema antara tujuan utama pendidikan, yakni menjadikan
manusia sebagai manusia yang baik (dimensi intrinsik), dengan misi
instrumental yakni yang merupakan alat untuk perubahan atau mencapai
suatu.
Seseorang harus profesional terhadap bidang tugas / kerjanya kalau
tidak maka bisa tergusur oleh yang lain yang dianggap lebih profesional. Dalam
hal ini maka profesionalisme selalu mendorong untuk berkompetisi dan
meningkatkan kemampuan profesionalitasnya.

26

Adapun mengenai kata