ANALISA PEMODELAN 3 DIMENSI SISTEM STRUK

ANALISA PEMODELAN 3 DIMENSI SISTEM STRUKTUR GEDUNG
DENGAN PONDASI DANGKAL DI ATAS TANAH LUNAK UNTUK
MENDAPATKAN PENURUNAN KONSOLIDASI MERATA
Putu Tantri kumala sari1, Indrasurya B.Mochtar2
1,2

Jurusan Teknik Sipil, FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
1
tantri_itu_aku@yahoo.co.id

Abstrak
Penggunaan pondasi dangkal dengan berbagai tipe pondasi semakin sering dipilih dengan alasan lebih
menghemat biaya jika dibandingkan dengan pondasi tiang, terutama bila letak lapisan tanah keras relatif dalam
(> 20m). Para perencana struktur sering menganggap bahwa struktur tertumpu secara sempurna baik secara
terjepit maupun tersendi. Hal tersebut berarti perenca na menganggap bangunan struktur terpisah dengan
pondasi (tanah) padahal pada kenyataannya struktur dan pondasi merupakan satu kesatuan yang apabila
dipisahkan maka terjadinya retak pada struktur tidak dapat dihindari.
Adapun permasalah yang ada, sudah pernah dilakukan peninjauan bentuk pembebanan menghasilkan
penurunan yang merata yang dapat mengintegrasikan tanah dan struktur serta dengan peninjauan untuk analisa
2 dimensi. Namun sampai saat ini belum pernah ditinjau bagaimana bentuk pembebanan dengan pemodelan 3
dimensi. Untuk mengetahui pengaruh tanah dan model struktur terhadap permasalahan yang ada dilakukan

beberapa variasi. Terdapat 3 variasi struktur dengan perbedaan panjang dan lebar namun tidak terjadi variasi
pada jenis tanahnya. Dengan variasi-variasi yang dilakukan dengan model struktur dan tumpuan diperoleh
nilai perhitungan yang berbeda antara metode konvensional dan tanah-struktur. Umumnya didapatkan nilai

penurunan yang merata jika rekasi tanah yang terjadi tidak merata dan penurunan tanah yang tidak
merata jika reaksi tanah yang merata.selain itu rasio momen juga mengalami perbedaan hingga
mencapai 7 kalinya.
Kata kunci : pondasi dangkal, differensial settlement,konsolidasi,analisa interaksi tanah-struktur,pemodelan
struktur 3 dimensi.

1. Pendahuluan
Dewasa ini penggunaan pondasi dangkal
dengan berbagai tipe pondasi semakin sering dipilih
dengan alasan lebih menghemat biaya jika
dibandingkan dengan pondasi tiang, terutama bila
letak lapisan tanah keras relatif dalam (>20m)
sehingga biaya tiang pancang yang dibutuhkan juga
cukup besar. Pilihan pondasi dangkal seperti pondasi
pelat penuh (Mat foundation), pondasi sarang labalaba dan pondasi cakar ayam sering digunakan untuk
gedung-gedung 2 sampai 4 lantai.

Para perencana struktur sering menganggap
bahwa struktur tertumpu secara sempurna baik
secara terjepit maupun tersendi. Hal tersebut berarti
perencana menganggap bangunan struktur terpisah
dengan pondasi (tanah) padahal pada kenyataannya
struktur dan pondasi merupakan satu kesatuan.
Perencana struktur sering tidak mempertimbangkan
kondisi tanah tempat bangunan tersebut akan
dibangun. Kalaupun telah dilakukan perbaikan
kondisi tanah dengan suatu metode , tidak hanya

daya dukung yang ditinjau tetapi juga settlement.
Sehingga akibat beban struktur diatasnya tanah akan
mengalami penurunan/ pemampatan. Seperti pada
Gambar
1
berat
bangunan
menyebabkan
melengkungnya

(pemampatan)
daerah
yang
terbebani, maka dasar struktur tersebut juga akan
melengkung dan keseluruhan kerangka bangunan
akan berubah yang akan berpengaruh pada
perubahan gaya-gaya dalam pada struktur. (Lastiasih
dan Mochtar,2004 ),(Wicaksono dan Mochtar,2007).

(a)

(b)

Gambar 1. Struktur gedung diatas tanah lunak yang
sebelumnya tidak memampat (a) kemudian
memanpat (b) karena tanah lunak

Sebelumnya
telah
dilakukan

studi
perencanaan struktur 2 dimensi dengan tanah dan
struktur merupakan satu kesatuan dan menghasilkan
penurunan yang merata pada tanah dibawahnya oleh
Lastiasih dan Mochtar, 2004. hal tersebut dilakukan
untuk menghindari terjadinya perubahan gaya dalam
pada struktur akibat perbedaan pemampatan pada
tanah lunak dibawahnya. Masalah yang sering
timbul pada pondasi dangkal seperti pondasi telapak,
pelat penuh, sarang laba-laba maupun cakar ayam
diatas tanah lempung lunak berdasarkan pengalaman
dilapangan (Mochtar, 1997) adalah Terjadi
kerusakan dalam bentuk retak-retak pada dinding,
balok dan kolom struktur akibat penurunan yang
tidak sama (differensial settlement) dan kerusakan
tersebut terus terjadi walaupun sudah diperbaiki
sehingga menghabiskan biaya perbaikan yang sangat
banyak. Kesalahan dalam asumsi perencanaan
merupakan salah satu masalah yang menjadi
penyebab kerusakan dari gedung pondasi dangkal

diatas tanah lunak.
Asumsi perhitungan yang lainnya secara
numerik dimana tanah dianggap sebagai pegas elatis.
Asumsi dikenal sebagai Winkler foundation
(Winkler, 1867). Dengan asumsi ini didapatkan hasil
yang tidak jauh berbeda dengan cara konvensional.
Bila pembebanan yang merata akan mendapatkan
penurunan tanah yang merata pula. Namun
kenyataan yang ada membuktikan bahwa tanah lebih
mendekati sifat sesungguhnya dilapangan jika
dianggap sebagai media elastis (elastic half
space).Seperti pada Gambar 2 , beban merata diatas
media elastis tidak akan menyebabkan penurunan
yang merata; dan sebaliknya, penurunan yang
merata disebabkan oleh beban yang tidak merata.


















Gambar 2 Penurunan tanah akibat beban diatas
media tanah yang elastis (elastis half space).
Lastiasih (2004: )
Untuk menghindari terjadinya retak (rusak)
pada struktur gedung pemodelan 2 dimensi yang
dibangun diatas tanah lunak, maka beberapa syarat
yang di teliti oleh Lastiasih dan Mochtar (2004)
harus dipenuhi adalah sebagai berikut:

1. Gedung harus cukup kaku untuk melawan
perbedaan penurunan (differential settlement)
sehingga diharapkan tidak terjadi perbedaan
penurunan pada tanah dasar akibat beban diatasnya.
Jadi konsolidasi tanah akibat beban gedung merata
(uniform) seperti pada Gambar 2.
2. Gedung tersebut haruslah mengakibatkan reaksi
perlawanan tanah yang tidak merata sedemikian
rupa sehingga dihasilkan penurunan konsolidasi
yang merata.

Gambar 3. Struktur gedung diatas tanah yang
menghasilkan penurunan merataLastiasih dan
Mochtar (2004)



3. Jumlah reaksi total tanah dasar haruslah sama
dengan berat gedung jadi  .dA  W = Berat gedung.


 = reaksi perlawanan tanah, dA = luasan kecil
tanah.
4. Penurunan konsolidasi tanah memenuhi toleransi
differential settlement untuk bangunan beton yaitu
0.002 s/d 0.003.
Hasil studi oleh Lastiasih dan Mochtar 2004
didapatkan bahwa untuk mendapatkan gedung yang
cukup kaku sehingga menghasilkan penurunan
merata perlu adanya modifikasi dimensi balok dan
kolom dari gedung (dibandingkan dengan dimensi
gedung konvensional menumpu diatas pondasi yang
tidak mengalami penurunan). Didapatkan kolom dan
balok yang harus diperbesar dimensinya, karena
gaya-gaya dalam yang bekerja (momen dan gaya
geser) ternyata jauh lebih besar dari pada hasil
perhitungan konvensional. Studi yang yang
dilakukan ini adalah untuk gedung 2 dimensi.
Sampai saat ini belum pernah dicoba
pendekatan diatas karena adanya kesulitan dalam
mendapatkan konfigurasi tegangan reaksi tanah yang

menghasilkan penurunan konsolidasi yang merata.
Hal ini karena konfigurasi tegangan yang
menyebabkan penurunan konsolidasi yang merata
tersebut juga sangat tergantung dari antara lain :
tebal lapisan tanah yang memampat, jumlah lapisan,
jenis lapisan dan parameter pemampatan dan
dimensi gedungnya. Studi yang sebelumnya telah
dilakukan merupakan pemodelan struktur 2 dimensi
yang dapat menghasilkan pemampatan yang merata
pada tanah, untuk itu perlu dilakukan studi lebih
lanjut guna mendapatkan pemodelan struktur 3
dimensi diatas tanah lunak yang menghasilkan
pemampatan yang merata.
2. Konfigurasi pembebanan.
Mencari
konfigurasi
pembebanan
yang
menghasilkan penurunan yang merata pada
kedalaman yang ditinjau. Pertama-tama perlu

dilakukan perhitungan untuk mencari tegangan yang
dihasilkan oleh beban bangunan diatas tanah yang
diasumsikan beban merata namun di konfersikan
menjadi beban titik. Dimana beban titik tersebut

merupakan beban bangunan yang disalurkan ke
tanah melalui kolom-kolom pada bangunan.
Perhitungan untuk mencari nilai tegangan ini
dilakukan pada setiap layer tanah dari beban titik
dari suatu kolom pada bangunan bila ditinjau dengan
3 dimensi. Dari nilai tegangan tersebut, kemudian
dapat digunakan untuk menghitung nilai penurunan
pada tiap layer tanah. Penurunan tiap layer tanah
akibat suatu titik itu kemudian dijumlah untuk
mendapatkan nila penurunan total. Lastiasih
(2004:13)
Dengan mendapakan nilai penurunan total
tersebut maka dapat dilihat bahwa ternyata terjadi
perbedaan penurunan pada tanah dibawah bangunan.
Untuk mendapatkan penurunan yang sama maka

perlu adanya iterasi pembebanan pada bangunan.
Caranya yaitu dengan menambahkan beban diujungujung dan mengurangi beban ditengah-tengah.
Untuk lebih jelasnya maka dapat dilihat
ilustrasi sebagai berikut:
1. Mula-mula diasumsikan beban di sembarang
titik sama seperti iluatrasi di bawah ini.

dapat dicari besarnya penurunan yang terjadi pada
tiap-tiap lapisan akibat beban-beban yang ada. Maka
pada penurunan di titik ke-1 pada lapisan ke-1
diperoleh besarnya penurunan Sc 1.1, sedangkan
besarnya penurunan yang lain-lain berturut-turut di
titik-titik yang lain pada lapisan 1 adalah Sc 2.1, Sc
Sc n.1. sedangkan besarnya penurunan
3.1......
dilapisan lain berturut-turut adalah sebagai berikut
Sc 1.j, Sc 2.j .....Sc.n.j . setelah mengetahui besarnya
penurunan ditiap-tiap lapisan akibat beben diatasnya
pada setiap titik maka dapat diperoleh penurunan
total yang terjadi yaitu:
Sc total 1 = Sc 1.1 + Sc 1.2 + Sc 1.3 +.......Sc 1.j = Sc total
pada titik 1 akibat settlement dari j lapisan tanah.
Sc total 2 = Sc 2.1 + Sc 2.2 + Sc 2.3 +…...Sc 2.j = Sc total
pada titik 2 akibat settlement dari j lapisan tanah.
……
Dst
……
Sc total n = Sc n.1 + Sc n.2 + Sc n.3 +.......Sc n.j = Sc total
pada titik n akibat settlement dari j lapisan tanah.
Dengan konfigurasi beban yang sama disembarang
titik maka yang terjadi adalah Sc total 1 ≠ Sc total 2 ≠ Sc
total 3≠…. Sc total n
2. Karena konfigurasi yang sama akan
menghasilkan penurunan yang berbeda disembarang
titik maka konfigurasi beban diubah dengan cara
menambahkan beban di ujung ujung dan
mengurangi beban ditengah-tengah. Terus dilakukan
Gambar 4 asumsi beban merata di sembarang
pengiterasian beban hingga menghasilkan penurunan
titik(Lastiasih,2004 )
yang merata Sc total 1≈ Sc total 2 ≈ Sc total 3 ≈…. Sc total n.
Lapisan 1
walaupun penurunan yang terjadi tidak sama persis,
tapi toleransi yang diambil untuk selisih penurunan
adalah sebesar 0.1 inchi maka penurunan tersebut
3
3
3
3
3
3Pn1 .z1
3Pn .z1 .
3.P3 .z1
3P1 .z1
3.P2 .z1
 1.1 



..... 
5 sudah dianggap sama. Penurunan total yang sama
5
5
5
5
2
2
2
2
2 ( x 2 n 1.1  2.z1 ) 2 2 ( x 2 n  2.z1 ) 2 pada sembarang titik bukan berarti penurunan pada
2 ( x 21.1  2 z1 ) 2 2 ( x 2 2.1  2.z1 ) 2 2 ( x 2 3.1  2.z 2 ) 2
tiap lapisan disembarang titik juga sama besarnya,
3
3
3
3
3
3P 1 .z1
3P .z1 . begitu juga dengan besarnya tegangan yang terjadi
3.P3 .z1
3P1 .z1
3.P2 .z1
 2.1 




.....
5
5
5
5
5
2
2
2
2
2 ( x 2 1.2  2.z1 ) 2 2 ( x 2 2  2.z1 ) 2 akibat beban yang berada diatas permukaan tanah
2 ( x 21.2  2 z1 ) 2 2 ( x 2 2.2  2.z1 ) 2 2 ( x 2 3.2  2.z 2 ) 2
juga tidak sama.
Untuk pemodelan tanah supaya dapat dicapai
 3.1 
kondisi penurunan yang sama, maka tanah dianggap
sebagai sekumpulan pegas yang memiliki konstanta
dst
pegas sebesar k. Menurut Bowless, 1992, konstanta
3.P .z
3P . z
3P . z .
3P . z
3.P .z
pegas k diperoleh dari ks x B, dimana Ks adalah
 



..... 
 2.z ) 2 ( x  2.z ) modulus reaksi tanah dan B adalah lebar balok.
2 ( x  2 z ) 2 ( x  2.z ) 2 ( x  2.z )
2 ( x
Dengan jarak antar pegas sama, maka akan
(1)
diperoleh variasi nilai K akibat reaksi yang terjadi
Dimana:
sehingga penurunan dianggap merata disembarang
Pn
= Gaya atau beban yang terjadi diatas
titik seperti dapat dilihat pada gambar berikut:
permukaan tanah dititik ke-n
zj
= kedalaman tanah yang ditinjau
penurunannya pada lapisan ke-j
xn-1.n
= jarak horisontal dari titik ke-(n-1) sampai
titik ke-n
∆n,j = besarnya tegangan yang terjadi akibat beban
diatas permukaan tanah pada lapisan ke-j dibawah
titik n.
Gambar 5. Dengan pembebanan yang tidak merata
Setelah mengetahui besarnya tegangan yang
akan menghasilkan penurunan yang merata.
terjadi yang diakibatkan oleh beban diatasnya maka
(Lastiasih,2004)
n

n

n

3

2

2

1.n

5
2 2

1

2

2.n

n 1

3

3

1 1

n.1

3

1

5
2 2

1

2

3.n

1

5
2 2

2

n 1.n

n

3

3

1

n

5
2 2

1

2

n .n

1

5
2 2

1

Setelah
mengetahui
konfigurasi
pembebanan melalui iterasi yang menghasilkan
penurunan yang merata, maka akan dapat diketahui
juga reaksi yang terjadi pada tanah. Tanah
diasumsikan sebagai suatu media elastis sehingga
tanah dapat diidealisasikan sebagai sekumpulan
pegas yang memiliki nilai konstanta yang harus
dicari. Adapun perumusan yang digunakan untuk
mencari nilai konstanta pegas adalah :
(2)
Fi  ksi xi
Dimana :
Fi
= Gaya atau beban yang terjadi di titik ke-i
ksi
= konstanta pegas di titik ke-i
δi
= Penurunan yang terjadi di titik ke-i
dengan nilai δi yang sama maka akan diperoleh nilai
ksi yang berbeda. Dapat dilihat dari perumusan
berikut yang diperoleh dari persamaan 2.12 :

k si 

i

Fi

Gambar 6(a) pemodelan struktur 35-7-7 ( 3 dimensi
dan tampak atas )

(3)

Apabila diatas tanah yang diasumsikan sebagai
media elastis terdapat bangunan gedung maka akan
diketahui nilai-nilai F, δi, dan ksi masing-masing titik
akan diketahui berat total dari struktur tersebut.
Adapun berat total dari struktur tersebut dpat dicari
dari perumusan sebagai berikut :

 F .dA  W

W   Fi

Gambar 6 (b) pemodelan struktur 28-14-7 ( 3
dimensi dan tampak atas )

n

(4)

i 1

W    i .k s .i
n

t 1

W   i  k si    k si

Karena δ1 = δ2 = δ3 = .... δn = δ, maka didapat :
n

i 1

n

i 1

(5)

Gambar 6(c) pemodelan struktur 21-21-7 ( 3 dimensi
dan tampak atas )
4. Metodologi penelitian

3. Pemodelan struktur gedung
Variasi pemodelan tipe struktur ini dibagi
menjadi 3 macam. Model struktur 35-7-7 seperti
pada Gambar 6a dengan bentuk gedung memanjang,
model 28-14-7 seperti pada gambar 6b dengan
gedung agak memanjang dan sedikit melebar serta
model 21-21-7 seperti pada gambar 6 c dengan
gedung simetris baik memanjang maupun melebar
adalah dimaksudkan untuk mengetahui hasil
perhitungan untuk sistem iterasi gedung dan tanah
sebagai media elastis bila dibandingkan dengan
sistem konvensional gedung berada pada tumpuan
pondasi jepit atau sendi, sistem struktur 2 dimensi
dengan hanya memperhitungkan satu portal yang
terberat, dan sistem struktur 3 dimensi. Tumpuan
pada sistem struktur pada gambar dibawah ini adalah
pegas dengan jarak antar pegasnya 1 meter.

Langkah-langkah
penelitian
yang
dikembangkan dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Mencari nilai tegangan pertitik pada tiap
kedalaman tinjauan dengan beben gedung yang
belum dimodifikasi.
2. Mencari nilai settlement dan membandingkan
perbedaan settlement yang terjadi antar titik satu
dengan yang lainnya. Perbedaan nilai settlement
ini disesuaikan dengan tabel toleransi
differential settlement yang dikeluarkan oleh
NAVAC DM7 sesuai dengan tipe strukturnya.
3. Jika perbedaan settlement tersebut tidak
memenuhi syarat yang ditetapkan NAVAC DM
7 yaitu 0.1 inch atau sekitar 2.5 mm pada setiap
titiknya, maka perlu dilakukan iterasi
pembebanan dengan memperbesar beban
diujung-ujung gedung dan mengurangi beban
ditengahnya.

4.

5.

6.

5.

Setelah
memperoleh
nilai
konfigurasi
pembebanan yang menghasilkan pemampatan
tanah yang sama, kemudian dilakukan
perhitungan nilai konstanta pegar yang
merupakan reaksi tanah yang bersifat elastic
ketika dibebani gedung diatasnya.
Analisa gaya dalam pada struktur dengan
menggunakan program bantu untuk struktur
dengan nilai konstanta pegasnya sebagai
tumpuan. Analisa struktur gedung dilakukan
dengan melakukan pendimensian balok dan
kolom hingga memperoleh penurunan pada
tanah yang sesuai dengan tabel NAVAC DM 7
yaitu 0.002 s/d 0.003 setengah bentang gedung.
Jika reaksi bangunan diatas sekumpulan pegas
tidak menyebabkan terjadinya perbedaan
penurunan pada tanah dibawahnya, maka
kemudian dilakukan pengecekan kekuatan
struktur. Karena iterasi dilakukan dengan
memperbesar ataupun mengecilkan kolom pada
bangunan, maka yang perlu dilakukan adalah
mengecek apakah Hubungan balok kolom yang
ada sudah kuat.
Hasil analisa

Hasil studi yang didapat dari perhitungan
analisa tanah-struktur dengan variasi dimensi
bangunan adalah sebagai berikut:
1. Struktur dengan beban yang merata dan berdiri
diatas tanah lunak yang diasumsikan sebagai
tumpuan pegas akan menghasilkan nilai
settlement pada tanah yang berbeda (differential
settlement) dan tidak sesuai dengan syarat yang
ada untuk nilai pemampatan pada bangunan
gedung. Hal tersebut dapat mengakibatkan
kerusakan struktur. Maka dengan memperbesar
beban struktur pada bagian tepinya dan
mengurangi beban pada bagian tengahnya akan
menghindari terjadinya differential settlement.
2. Jika gedungnya kaku dan penurunannya relative
merata maka reaksi media elastis yang terjadi
tidak merata. Nilai reaksi tersebut akan relative
besar pada tanah yang menerima tumpuan
struktur paling tepi dan semakin mengecil pada
bagian tengah. Inilah yang membedakan dengan
perhitungan metode konvensional dimana reaksi
yang terjadi pada tanah merata sehingga
menghasilkan penurunan yang tidak merata.
3. Perbandingan gaya dalam untuk struktur gedung
yang menumpu pada tumpuan jepit,sendi dan
pegas merata dengan tumpuan pegas sebagai
asumsi tanah yang bersifat elastis,pada nilai
momen mencapai nilai 7 kali lipat dan terjadi
pada balok lantai 1 yang menumpu langsung
dengan tanah sebagai media elastis. Momen yang
terjadi pada struktur dengan tumpuan pegas jauh
lebih besar dari pada tumpuan dengan metode
konvensional. Sehingga defleksi dan lebar retak
yang terjadi akan sangat besar jika tetap

digunakan metode konvensional. Karena itu
perlu dilakukan perencanaan ulang pada struktur
terutama pada elemen-elemen yang mengalami
defleksi dan lebar retak yang besar. Untuk itu,
perlu dilakukan penambahan tulangan pada balok
lantai 1 pada daerah tarik untuk menghindari
adanya retak akibat tulangan longitudinal yang
terpasang pada balok. Selain itu juga perlu
dilakukan perbesaran dimensi balok untuk
menghindari deffleksi yang terlalu besar melebihi
peratuan yang berlaku. Perbesaran dimensi yang
dilakukan adalah : pada struktur 35-7-7 dan 2814-7 balok lantai 1 diperbesar dimensinya
menjadi 75x55 yang semula 60x40 cm dan pada
struktur 21-21-7 balok lantai 1 bagian tepi
diperbesar menjadi 90x60 dan balok lantai 1
tengah diperbesar menjadi 70x50 cm.
4. Semakin lebar bangunan perbandingan momen
antara 2 dimensi dan 3 dimensi semakin
mendekati sama dan bahkan bisa lebih besar.
Pada tipe struktur 35-7-7 rasio perbandingan
tinjauan 3 dimensi lebih besar dari pada 2
dimensi tetapi pada tipe struktur 28-14-7 rasio
perbandingan momen 2 dimensi lebih besar dari
pada tinjauan 3 dimensi hal demikian juga terjadi
pada tipe struktur 21-21-7. Perbedaan tersebut
disebabkan oleh perbedaan nilai gaya pegas
antara tinjauan struktur 2 dimensi dan 3 dimensi.
Sedangkan untuk nilai perbandingan momen
dengan tumpuan antara tumpuan sendi,jepit dan
pegas merata tidak jauh berbeda sehingga
perbandingan momen antara jepit-pegas, sendi
pegas dan pegas merata-pegas tidak jauh berbeda
dan nilainya saling mendekati satu sama lain.
Dengan nilai perbandingan metode tumpuan
pegas merata yang sama nilainya dengan sendi
dan jepit maka metode ini bisa disamakan
dengan metode konvensional sama dengan
tumpuan jepit maupun sendi yang bisa
digunakan. Sehingga jika metode ini digunakan
maka perubahan gaya dalam pada struktur yang
dapat menyebabkan retak struktur tidak dapat
dihindari.
6.

Kesimpulan dan saran.

Perhitungan
dengan
mengasumsikan
konstanta pegas sebagai tumpuan struktur bangunan
dengan menganggap tanah sebagai media elastic
dapat menghindari keretakan struktur akibat
perbedaan pemampatan yang terlalu besar pada
tanah. Perhitungan konvensional yang menganggap
tumpuan sebagai jepit maupun sendi akan
menghasilkan gaya dalam pada struktur menjadi
lebih kecil dan sebaliknya nilai gaya dalam struktur
dengan tumpuan pegas akan relative lebih besar
hingga mencapai 7 kalinya. Dengan asumsi
konvensional, nilai gaya dalam yang kecil
menyebabkan desain perkuatan struktur yang tidak
kuat karena pada kenyataannya dengan kondisi

tanah yang elastic seperti pegas gaya dalam struktur
adalah lebih besar. Kesalahan asumsi tumpuan itulah
yang menyebabkan keretakan-keretakan struktur
sering terjadi pada bangunan berpondasi dangkal.
Sehingga pada intinya, perlu adanya
pendekatan yang harus dilakukan oleh perencana
gedung yaitu pendekatan cara geoteknik teoritis
dengan mengasumsikan gedung berdiri diatas pegas
-pegas non-uniform, dan pendekatan rekasaya
dengan cara perbaikan tanah untuk meningkatkan
daya dukung tanahnya dan memperkecil penurunan
tanah jangka panjang.

Daftar Pustaka:
C.Hardiyatmo,Hary(2002)Mekanika
Tanah
2,
Yogyakarta,Gadjah Mada University Press
E.Bowles,Joseph (1984). Sifat-Sifat Fisis dan
Geoteknis (Mekanika Tanah),Jakarta,erlangga
Lastiasih,Yudhi (2004) ,Study Perencanaan Sistem
Struktur Gedung Dengan Pondasi Dangkal

Yang
Dapat Mengakibatkan
Penurunan
Konsolidasi Merata , Thesis Pasca Sarjana
Jurusan Teknik SipilFTSP-ITS.
Lastiasih,Y., Mochtar,I.B., (2009) : Solusi geoteknik
untuk merancang gedung berpondasi dangkal
diatas lapisan tanah lempung lunak yang
memiliki potensi pemampatan konsolidasi yang
besar , Prosiding Pertemuan ilmiah tahunan-XIII
HATTI, P: 59-69, Bali 2009.
M. Das, Braja.(1985). Mekanika Tanah 1 (prinsipprinsip rekayasa geoteknis), Jakarta,Erlangga
Nawy,Edward G (1998), Beton Bertulang suatu
pendekatan dasar ,Bandung,PT Refika Aditama.
Purwono,Rahmat (2005). Perencanaan Struktur
Beton Bertulang Tahan Gempa penerbit
itspress.
Purwono,Rachmat,dkk
(2007)
Tata
cara
perhitungan struktur beton untuk bangunan
gedung [SNI 03-2847-2002] ,Surabaya,itspress
Vis,W.C, Kusuma,Gideon (1993) Dasar-dasar
Perencanaan
Beton
Bertulang,
Jakarta,
Erlangga.