PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT UNIVE

TUGAS EKOLOGI PANGAN DAN GIZI
KEBIJAKAN PANGAN

DI SUSUN OLEH :
EMMA WAHYU ASTUTI (175059021)
TEGUH RAHAYU (175059

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
JAKARTA
2018

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak seluruh rakyat untuk terus menerus
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan secara adil dan merata dalam segala aspek
kehidupan yang dilakukan secara terpadu, terarah dan berkelanjutan dalam rangka mewujudkan
suatu masyarakat yang adil dan makmur baik material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan
bagian dari hak asasi setiap rakyat Indonesia. Pangan harus senantiasa tersedia secara cukup,
aman dan bermutu, bergizi dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli
masyarakat, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat. Untuk
mencapai semua itu perlu diselenggarakan suatu sistem Pangan yang memberikan perlindungan,
baik bagi puhak yang memproduksi maupun yang mengonsumi pangan.
2. Pengertian Kebijakan Pangan
Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang
memberikan manfaat secara adil, merata dan berkelanjutan dengan berdasarkan pada Kedaulatan
Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan.
Hal itu bararti bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi Pangan masyarakat sampai
pada tingkat perseorangan, negara mempunyai kebebasan untuk menentukan kebijakan
Pangannya secara mandiri, tidak didikte oleh pihak manapun dan para pelaku usaha pangan
mempunyai kebebasan untuk menetapkan dan melaksanakan usahanya sesuai dengan sumber
daya yang dimilikinya. Pemenuhan konsumsi pangan tersebut harus mengutamakan produksi
dalam negri dengan memanfaatkan sumber daya dan kearifan lokal secara optimal.
Untuk mewujudkan hal tersebut, tiga hal pokok yang harus diperhatikan adalah :
(i) ketersediaan pangan yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal.
(ii) keterjangkauan pangan dari aspek fisik dan ekonomi oleh seuruh masyarakat
(iii) pemanfaatan pangan atau konsumsi Pangan dan Gizi untuk hidup sehat, aktif dan produktif.

Perwujudan ketersediaan pangan yang berbasis pada pemanfaaatan sumber daya lokal secara
opimal dilakukan dengan penganekaragaman pangan dan pengutamaan produksi pangan dalam
negri. Perwujudan keterjangkauan pangan dari aspek fisik dan ekonomi dilakukan melalui
pengelolaan stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok, pengelolaan cadangan pangan pokok,
dan pendistribusian pangan pokok. Pemanfaatan pangan atau konsumsi pangan dan gizi akan
menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas sebagai salah satu faktor penentu
keberhasilan pembangunan. Hal itu dilakukan melalui pemenuhan asupan pangan yang beragam,
bergizi seimbang, serta penemuhan persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi
Pangan.

Di Indonesia, pemenuhan kecukupan pangan bagi seluruh rakyat merupakan kewajiban, baik
secara moral, sosial, maupun hukum termasuk hak asasi setiap rakyat Indonesia. Selain itu juga
merupakan investasi pembentukan sumberdaya manusia yang lebih baik di masa datang untuk
melaksanakan pembangunan nasional, dan prasyarat bagi pemenuhan hak-hak dasar lainnya
seperti pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.

BAB II
KEBIJAKAN PANGAN
Politik ekonomi pangan atau kebijakan pangan nasional yang dibangun sejak Indonesia
merdeka, secara filosofis memiliki kerangka dasar yang sama, dan diperkirakan tidak akan

berubah dalam periode 15-20 tahun yang akan datang. Rumusan umum kebijakan pangan
nasional tersebut :
1. Pada tataran makro, pemantapan ketahanan pangan diyakini merupakan salah satu pilar utama
bagi keberlanjutan pembangunan nasional, karena:
(a) ketahanan pangan terkait erat dengan ketahanan ekonomi dan stabilitas politik nasional;
(b) pencapaian ketahanan pangan merupakan basis bagi pembangunan sumber daya manusia
yang berkualitas; dan
(c) pemantapan ketahanan pangan, yang berarti pemenuhan pangan bagi setiap individu,
merupakan perwujudan hak azasi manusia atas pangan.
2. Pada tataran praktis, kebijakan pangan diwarnai sangat dominan oleh kebijakan ekonomi
beras, dengan sasaran utama untuk menyediakan beras dari produksi domestik
(swasembada) dengan harga yang terjangkau oleh sebagian besar penduduk. Definisi
swasembada beras berkembang dari swasembada mutlak, on trend dalam suatu kurun
tahun tertentu, dan proporsional mulai dari 90% sampai 99% pemenuhan kebutuhan
nasional.
Kebijakan pangan pada intinya berkaitan dengan pengaturan dan fasilitasi pemerintah atas segala
aspek ekonomi pangan. Mulai dari cara memproduksinya, mengolahnya, menyediakannya,
memperolehnya, mendistribusikannya hingga mengkonsumsinya merupakan aspek aspek yang
menjadi perhatian utama pemerintah di bidang pembangunan pangan yang diimplementasikan
melalui berbagai regulasi, fasilitasi, dan intervensi.

Definisi umum pangan berdasarkan PP Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan adalah: “segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,
peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun yng tidak diolah yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan,
bahan baku pangan dan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan /
atau pembuatan makanan atau minuman ”.
Dengan definisi komoditas pangan seperti tersebut di atas, akan sangat banyak jenis pangan yang
dapat dikonsumsi. Sebagian besar dari kelompok komoditas tersebut tidak disentuh oleh
pengaturan pemerintah dan memang tidak perlu diatur oleh kebijakan ketat pemerintah.
Pemerintah baru akan berperan apabila pangan tersebut diperdagangkan, dalam rangka menjamin
dipenuhinya standar mutu, kesehatan, dan kehalalan pangan. Penetapan harga pangan secara
umum sebaiknya diserahkan kepada mekanisme pasar. Untukbeberapa pangan pokok atau
pangan strategis bagi perekonomian nasional dan pada waktu-waktu tertentu, intervensi

pemerintah dalam penyediaan, distribusi, dan harga pangan memang perlu dilakukan guna
menjamin stabilitas ketahanan pangan.
Di Indonesia dalam tataran kebijakan ekonomi makro, sering kali pembangunan ketahanan
pangan direduksi sebagai upaya pencapaian ketahanan pangan beras, karena beras telah dijadikan
komoditas strategis secara ekonomi dan politik. Kebijakan pangan pada umumnya terkonsentrasi
pada upaya penyediaan beras yang cukup untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat

sepanjang waktu. Persepsi ini tidak hanya dianut oleh unsur unsur pemerintah saja, tetapi juga
dipahami oleh komponen bangsa lainnya, seperti anggota legislatif, wakil-wakil organisasi
kemasyarakatan, dan pengasuh media massa.
Lebih jauh Arifin (1997) mengemukakan, beras mempunyai kedudukan yang teramat vital dan
fatal. Vital karena beras adalah kebutuhan dasar manusia Indonesia dan fatal apabila
penyediaannya defisit lantas dapat dijadikan alat oleh kekuatan politik, baik yang sedang
berkuasa maupun yang di luar kekuasaan saat ini. Penilaian tersebut masih sangat relevan sampai
kini. Oleh karena itu, beras selalu ditempatkan sebagai komoditas utama dalam penyusunan
konsep dan implementasi kebijakan perekonomian Indonesia (Kasryno dan Pasandaran 2004).
Untuk mencapai pertumbuhan produksi beras dalam negeri yang tinggi dalam rangka mengejar
pertambahan permintaannya, dalam kurun waktu lebih dari 60 tahun merdeka telah dilaksanakan
berbagai program peningkatan produksi padi,seperti Padi Sentra, Bimas (Bimbingan Massal)
dengan berbagai variasinya seperti Bimas Gotong Royong, Bimas Baru, Inmas (Intensifikasi
Massal), Insus (Intensifikasi Khusus), Supra Insus, dan Gema Palagung (Gerakan Masyarakat
Agribisnis Peningkatan Produksi Padi, Kedelai, Jagung) untuk peningkatan produksi pangan
(Nataatmadja et al. 1988; Hafsah dan Su Sudaryanto 2004; Dewan Ketahanan Pangan 2006).
Sejalan dengan upaya peningkatan produksi beras domestik, berbagai bentuk kebijakan
operasional pada aspek distribusi dan konsumsi juga diimplementasikan.
Pada intinya kebijakan itu berupa:
1. Intervensi pasar input berupa penerapan subsidi (pupuk, pestisida, benih) disertai penerapan

teknologi rekomendasi untuk meningkatkan produktivitas.
2. Intervensi pasar output (padi dan beras) berupa insentif harga bagi petani agar termotivasi
untuk meningkatkan penyediaan beras domestik. Pada waktu tertentu “operasi pasar”
dilaksanakan pemerintah dengan menambah pasokan beras ke pasar pada harga tertentu agar
harga beras yang tinggi kembali turun pada level yang dapat terjangkau oleh sebagian besar
konsumen.
3. Intervensi sistem distribusi beras untuk meningkatkan keseimbangan distribusi antarwaktu
(time) dan antarwilayah (spasial) serta menjamin alokasi beras bagi rakyat miskin dengan harga
subsidi (raskin) melalui pengelolaan cadangan dan distribusi pangan pemerintah.

SEJARAH KEBIJAKAN PANGAN
1. Masa Kerajaan-Kerajaan Kuno/Klasik. Aktivitas tanaman pangan di masa itu lebih
condong pada jenis tanaman untuk pemenuhan kebutuhan karbohidratnya. Misalnya
seperti padi dan jagung. Tetapi kedua jenis tanaman tersebut tidak merata tersebar di

seluruh wilayah, tergantung dari budaya tanaman pangan lokal seperti di Kalimantan,
Sulawesi, Ambon, dan Papua. Tanaman padi nampaknya lebih dominan ditemukan di
Pulau Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Di wilayah Maluku hinga Ternate tidak banyak
penemuan pertanian kuno yang menunjukkan ciri khas bekas penggunaan teknologi
tanaman padi. Di Ternate itu pun baru mulai ditanami beras setelah masuk ke era

kemerdekaan. Mengingat perdagangan tanaman pangan masih didominasi oleh jenis
tanaman kebutuhan pokok, maka jenis tanaman seperti rempah-rempah dan komoditi
untuk bumbu-bumbu masakan relatif belum terlalu dominan.
2. Pertanian Di Masa Pemerintahan Kolonial Belanda. Secara keseluruhan, sejak masa
VOC hingga pemerintahan Hindia Belanda, pihak kolonial lebih memfokuskan pada jenis
tanaman pangan utama dan jenis tanaman industri. Diversifikasi tanaman pangan
sesungguhnya sudah mulai diterapkan sejak lama, tetapi ditekan (dibatasi) untuk hanya
ditanam jenis tanaman utama seperti padi dan jagung. Budidaya perikanan darat yang
sudah dikembangkan oleh sejumlah kerajaan-kerajaan Nusantara menjadi tidak
berkembang. Rakyat pribumi tidak diperkenankan memiliki empang sendiri, kecuali
empang yang komoditinya telah dipesankan oleh pemerintah kolonial.
3. Masa Kemerdekaan. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, pemerintah Indonesia langsung
berkonsentrasi untuk membangun sektor pertanian di segala bidang.Untuk pertama
kalinya, pemerintahan republik membentuk badan penyangga pangan yang disebut Badan
Urusan Logistik atau Bulog pada tanggal 14 Mei 1967. Tugas pokok dari Bulog adalah
berfungsi sebagai agen pembeli beras tunggal. Berdirinya Bulog sejak awal
diproyeksikan untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia melalui dua mekanisme yakni
stabilisasi harga beras dan pengadaan bulanan untuk PNS dan militer. Pada prinsipnya,
Bulog nantinya akan menjadi lumbung nasional yang tugas utamanya untuk menjaga
pasokan (supply) komoditi pangan dan menjaga stabilitas harga tanaman pangan utama.

4. Masa Orde Baru. Setelah masuk ke era Orde Baru, pembangunan di sektor pertanian
tetap menjadi prioritas program kerja kabinet. Selama dua periode PELITA
(Pembangunan Lima Tahun) dari tahun 1969-1979, kebijakan pembangunan lebih banyak
dikonsentrasikan untuk memperkuat basis sektor pertanian. Program revolusi hijau (green
revolution) guna mendukung percepatan pencapaian swasembada beras pada tahun 1974.

Pada tahun 1971, Bulog mendapatkan tugas/peran baru, yaitu mempunyai tugas sebagai
pengimpor gula dan gandum. Biaya besar untuk mendukung program pertanian tersebut
ditopang oleh ekspor migas yang mencapai puncak harga tertinggi pada pada pertengahan
dekade 1970an. Soeharto punya ambisi yang kuat untuk mempercepat swasembada beras
yang belum pernah dicapai sejak masa kemerdekaan. Salah satunya adalah dengan
mengadopsi program revolusi hijau sejak tahun 1974. Sayangnya, program yang berbiaya
mahal tersebut ternyata hanya menghasilkan swasembada beras pada tahun 1984, 1985,
dan 1986 (berdasarkan laporan statistik pertanian dari BPS). Sesudahnya, Indonesia
kembali menjadi pengimpor beras, bahkan menjadi pengimpor beras terbesar di Asia
Tenggara. Program revolusi hijau ini pun hanya menguntungkan petani kaya atau pemilik
lahan dengan luas lahan lebih dari 1 hektar. Sayangnya, upaya untuk memabangun
kemandirian di sektor pertanian justru berakhir menjadi drama pergantian kekuasaan.
Nyaris sama situasinya menjelang tahun 1965 di mana harga-harga kebutuhan pokok
melambung tinggi. Pada tahun 1994, pemerintah mengambil kebijakan yang cukup

kontroversial, yaitu menghapuskan subsidi pupuk dan bibit. Kebijakan tersebut terpaksa
harus diambil, karena semakin beratnya beban anggaran yang ditanggung di dalam
APBN. Petani pun mengalami kesulitan bercocok tanam mengingat biaya bercocok
tanam yang semakin sulit untuk ditutupi dengan hanya menanam padi. Penjaminan
melalui Koperasi tidak lagi memberikan harapan bagi petani untuk mendongkrak tingkat
kesejahteraan, terutama di kalangan petani kecil yang luas lahannya kurang dari 1 hektar.
Akibatnya, impor beras pun semakin diperbanyak untuk mengamankan pasokan beras di
dalam negeri. Nilai tukar mata uang Rupiah yang semakin anjlok sejak tahun 1990
mengakibatkan tingkat volatilitas harga beras dan sejumlah kebutuhan pokok menjadi
semakin tinggi. Akibatnya, harga-harga kebutuhan pun terus merangkak naik dan tidak
terkendali. Angka inflasi selama tahun 1998 sudah mencapai di atas angka 70%.
5. Pemerintahan Transisi. Gejolak harga pangan sejak tahun 1985 mulai mencapai
puncaknya pada pertengahan tahun 1997. Stabilisasi harga ternyata harus ditebus cukup
mahal dengan meminimalkan peran pemerintah (intervensi), termasuk menanggalkan
peran Bulog. Penandatanganan Letter of Intent (LoI) pada tanggal 21 Oktober 1997 yang
di dalamnya berisikan poin penting di bidang kebijakan pertanian. Bulog harus
meninggalkan praktik monopoli beras dan peran pengawasan terhadap harga-harga

produk pertanian ataupun kebutuhan pokok seperti beras, gula, cengkeh, kedelai, dan
lain-lain. Dalam hal ini, pemerintah tidak lagi diberikan wewenang untuk melakukan

kontrol

(intervensi)

langsung

atas

harga

komodit-komoditi

utama

pangan.

Paska kejatuhan Soeharto di tahun 1998 akan menjadi penanda babak baru kebijakan di
sektor pertanian. Liberalisasi di sektor pertanian sudah mulai resmi diterapkan sejak
tahun 1998. Harga-harga kebutuhan pokok pangan diserahkan kepada mekanisme pasar.
Pemerintah hanya berperan sebagai regulator atau mengatur tata kelolanya, tetapi tidak

memiliki kewenangan lagi untuk mempengaruhi secara langsung atas harga-harga
kebutuhan pokok. Operasi pasar yang selama ini dilakukan oleh pemerintah belum bisa
disebut intervensi, karena dampaknya hanya bersifat sementara. Melalui SK
Memperindag No 439 Tentang Bea Masuk (Impor), peran Bulog yang selama ini
memonopoli impor beras sudah dihilangkan, sehingga pihak manapun sesuai dengan
ketentuan diperkenankan untuk mengimpor beras.
6. Era Pemerintahan Reformasi. Antara tahun 1998 hingga 2000, merupakan tahun-tahun
yang kelam bagi Bulog. Setelah hak atas monopoli beras dicabut, Bulog pun tidak
memiliki kekuatan untuk turut berperan menjadi penyeimbang pasar perberasan nasional.
Peran impor maupun distribusinya sudah diserahkan kepada mekanisme pasar. Di saatsaat yang terakhir itu pula, Bulog tidak diberikan kewenangan lagi untuk menyalurkan
beras yang telah ditetapkan harganya kepada TNI dan Polri. Akibatnya, Bulog tidak
memiliki segmentasi pasar yang jelas, sehingga berimplikasi pada ketidakefektifannya
peran Bulog sebagai lembaga stabilisasi harga gabah dan beras.
Wacana tentang keberagaman pangan ataupun diversifikasi tanaman pangan sesungguhnya telah
dihidupkan kembali di masa kepemimpinan Presiden Yudhoyono. Indonesia merupakan satusatunya neagra di dunia yang memiliki potensi keberagaman tanaman pangan paling banyak.
Kebutuhan karbohidrat tidak hanya dapat dicukupi dengan tanaman beras, melainkan dapat
dipenuhi dari tanaman singkong, jagung, ketela, kentang, ubi jalar, sagu, ataupun sejenis umbiumbian. Diversifikasi pangan sesungguhnya pula telah diperkenalkan secara resmi sejak era
Soekarno, kemudian terakhir dimunculkan pada tahun 1974. Andai saja, program diversifikasi
pangan yang diperkenalkan kembali pada tahun 2010 tersebut bisa dilaksanakan dengan serius,

maka Indonesia tidak perlu lagi harus mengeluarkan lebih banyak uang hanya untuk
mewujudkan program swasembada beras yang belum tentu akan tercapai setiap tahunnya.

BAB III
PENUTUP

Pembangunan di sektor pertanian pada akhirnya akan mengkerucut pada satu tujuan untuk
membangun ketahanan pangan. Setiap negara memilikinya, bahkan di negara-negara yang sama
sekali tidak memiliki lahan pertanian itu pun memiliki pula lembaga yang khusus mengurusi
ketahanan pangan. Bukan semata mengurusi soal stabilitas harga ataupun stabilitas stok pangan
di dalam negeri, melainkan membangun sebuah perencanaan jangka pendek ataupun jangka
panjang dengan mengoptimalkan segenap sumber daya lahan dan potensi tanaman (lokal) di
suatu wilayah. Ketahanan pangan meliputi segala aspek (sub sektor) di sektor pertanian,
termasuk peternakan, perkebunan, maupun perikanan. Diversifikasi pangan adalah satu-satunya
faktor (keunggulan) yang akan menentukan keberhasilan dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Masalah utama dari kebijakan pangan terletak pada aspek perencanaan. Setelah memasuki era
Orde Baru, kebijakan pangan terjebak ke dalam upaya untuk mewujudkan swasembada beras.
Hampir seluruh wilayah, bahkan di Papua pun diberdayakan untuk hanya mengejar target
swasembada beras. Akibatnya, tingkat ketergantungan pangan terhadap tanaman beras menjadi
sangat sulit untuk dihilangkan. Di era Soekarno sebenarnya sudah memberikan landasan
pemikiran yang ideal dengan memperkenalkan swasembada di dua komoditi, yaitu beras dan
jagung. Masyarakat di Sulawesi misalnya lebih cocok dengan menanam tanaman jagung, selain
menanam beras. Di Maluku maupun Papua masih terbuka peluang untuk dibudidayakan tanaman
sagu yang bisa diorientasikan untuk keperluan promosi ekspor.

DAFTAR PUSTAKA
Undang Undang Republik Indonesia (2012) Nomer 18
Achmad Suryana (2008) MENELISIK KETAHANAN PANGAN, KEBIJAKAN
PANGAN,DANSWASEMBADABERAS1,
http://pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/ip011081.pdf
Leo Kusuma, 2013, SEJARAH KEBIJAKAN PANGAN DI INDONESIA
http://leo4kusuma.blogspot.co.id/2013/03/sejarah-kebijakan-pangan-diindonesia.html#.WmLMBKiWbIV
Kasryno,

F.

1997.

Peran

kebijaksanaan

pengendalian

harga

dalam

mendukung ketahanan pangan di Indonesia. Dalam 30 Tahun Peran Bulog
dalam Ketahanan Pangan. Badan Urusan Logistik,