Peran dan Politisasi Lembaga Adat di Kab
Peran dan Politisasi Lembaga Adat di Kabupaten Sigi
(Studi kasus Lembaga Adat di Kulawi)
Oleh Ferry Rangi
I.
Pendahuluan
Istilah adat dalam Bahasa Indonesia memiliki arti kebiasaan atau tradisi , serta
mengandung konotasi tata tertib yang tertram serta konsensus. Akan tetapi, dalam
beberapa tahun terakhir, istilah ini serta-merta menjadi memiliki arti yang diasosiasikan
dengan aktivisme, protes, dan konflik disertai kekerasan. Sejak turunnya Presiden Soeharto
pada tahun 1998 atas nama adat di beberapa daerah di Indonesia secara terang-terangan,
lantang, dan kadang-kadang dengan kekerasan, menuntut haknya melaksanakan unsurunsur adat atau hukum adatnya dalam wilayah kampung halaman mereka. Juga
mengatasnamakan adat, para aktivis di daerah ataupun Jakarta menjalin kekuatan bersama
untuk membentuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sebuah organisasi
masyarakat adat tingkat nasional yang pertama di Indonesiasebagai upaya mempengaruhi
kebijakan. kalau negara tidak mengakui kami, kamipun tidak akan mengakui negara
merupakan semboyan provokatif AMAN yang didengungkan dalam kongres Masyarakat
Adat Nusantara pertama pada tahun 1999 (Li,2010:367).
Adat tidak akan dapat berfungsi tanpa adanya orang-orang sebagai pendukung
legitimasi serta penganutnya, oleh sebab itu, dibutuhkan lembaga adat. Lembaga adat hadir
di tengah masyarakat selaku hakim bagi pelanggar adat. Adat disini dipahami sebagai
aturan-aturan yang dianut oleh suatu kelompok secara turun temurun, tidak tertulis, dan
mengandalkan daya ingat sang pemangku adat. Sayangnya saat ini, setelah terbentuknya
negara, sejarah migrasi dan masuknya agama, adat yang digunakan saat ini tentunya tidak
semurni saat dahulu, telah terjadi penyesuaian dan perubahan mengikuti jaman.
Hal inilah yang menurut saya menjadi menarik, dengan menghubungkan bagaimana
PEMILUKADA di Kabupaten SIGI yang mencerminkan sistem demokrasi negara Indonesia
1
justru dimanfaatkan oleh segelintir orang melalui legitimasi Lembaga Adat, terutama di
wilayah Kecamatan Kulawi. Memahami kondisi tersebut, melahirkan pertanyaan seperti apa
adat bagi masyarakat Kulawi?, dan sejauh mana peran elit pemangku adat dalam
pengambilan keputusan pada setiap libu (musyawarah)
dalam hidup ber adat bagi
masyarakat kulawi?, serta bagaimana PEMILUKADA menciptakan posisi Lembaga dalam
pusaran pragmatisme politik praktis?
II.
Pembahasan
Ada dua hal penting yang menjadi faktor perubahan terhadap struktur dan tatanan
adat pada masyarakat Kulawi. Pertama, masuknya agama melalui misionaris kewilayah
Sulawesi Tengah, terutama oleh gereja Bala Keselamatan (The Salvation Army) pada tanggal
15 Septembar 1913 (Brouwer,1977: 4). Kedua terbentuknya negara Indonesia serta sistem
pemerintahan negara yang mempengaruhi sistem pemerintahan wilayah kulawi. Masuknya
agama di Kulawi telah merubah hampir seluruh ritual agama suku yang dianut oleh
masyarakat Kulawi sebelumnya. Pengaruh Sistem Negara Indonesia telah mampu merubah
sistem pemerintahan dan berimbas pada struktur masyarakat. Wilayah Kulawi mulai
terpetakan oleh kecamatan, desa, RT dan RW. Hal ini mengakibatkan wilayah kekuasaan
Kulawi semakin menyempit. Sistem politik demokrasi yang dianut oleh negara, juga
berdampak terhadap sistem politik lokal yang dahulunyamemiliki karakter tersendiri dan
bersifat lokal menjadi lebih demokratis yang bersifat seragam di seluruh pelosok wilayah
Indonesia, terutama saat PEMILUKADA berlangsung. Demokrasi yang digembor-gemborkan
menjadi jalan keluar dari sistem otoritarian gaya Orde Baru, justru tanpa diprediksi
sebelumnya, melahirkan elit-elit baru yang bersifat lokalan .
Pada bab ini, saya gambarkan dengan terlebih dahulu menjelaskan adat Kulawi yang
ter-manifestasi melalui simbol ruang yaitu Lobo. Hal ini saya maksudkan, untuk melihat
peran elit lembaga adat sebelum terjadinya perubahan akibat masuknya agama serta
terbentuknya Negara Indonesia dengan sistem politiknya yang berpengaruh pada sistem
politik daerah. Perlu diketahui, bahwa artikel maupun buku yang menuliskan mengenai elit
lokal dan lembaga adat di Sulawesi Tengah secara umum masih sangat minim, yang ada
2
sekalipun masih mengunakan bahasa Kolonial, yaitu Belanda. Saya bergantung pada
pengalaman saya, pada beberapa kesempatan saat saya ke Kulawi dan menyempatkan diri
untuk melakukan wawancara terhadap beberapa Pemangku Adat serta pengamatan
langsung selama proses PEMILUKADA di Kabupaten Sigi, dan saat itu saya berada di
Kecamatan Kulawi yang merupakan bagian dari Kabupaten Sigi hal ini saya maksudkan
untuk menunjukan politisasi pemangku adat sebagai elit lokal.
A. Lobo sebagai manisfestasi Peran Lembaga adat masyarakat Kulawi
Lembaga adat Kulawi dikukuhkan berdasarkan garis keturunan dan dipilih
berdasarkan tingkat pengetahuan serta pengalaman akan adat yang di terapkan. Terdapat
empat wilayah jaringan keadatan kerajaan Kulawi yang disebut opo ngota berdasarkan sub
etniknya, yaitu ;(1) Moma : Kulawi, (2) Uma ; Pipikoro, (3) Tado : Lindu, dan (4)Tobaku :
Pipikoro. Jaringan tersebut terbentuk berdasarkan garis kekerabatan atas wilayah dan
pengaruh penjajahan Belanda di wilayah tersebut. Garis kekerabatan yang terjalin akibat
proses kawin mawin diantara ke empat wilayah. Walaupun keempat wilayah tersebut
sebelumnya terjadi perang antar kelompok-kelompok hingga, masuknya Belanda Tahun
1905 dan terjadi pertempuran di Bulu Momi antara masyarakat Kulawi melawan kolonial
Belanda dibawah pimpinan seorang pahlawan Kulawi yaitu Towualangi yang juga disebut
Taentorengke. Ketika perang berlangsung, pada saat itu pula kolonial Belanda mulai
berkuasa di Kulawi untuk menjadikan Kulawi sebagai daerah kerajaan, maka pada tahun
1906 Kolonial Belanda mengangkat Towualangi menjadi raja Kulawi yang pertama dan
menjadikan pusat administrasi dan militer untuk menguasai ke empat wilayah sub etnik
moma, Uma, tado dan ompa dan melakukan pendekatan pada elit di Kulawi (Magau dan
Maradika) yang kemudian secara tidak langsung juga berpengaruh pada kerajaan Kulawi
3
untuk memperluas wilayah ekspansinya pada ke empat wilayah sub etnik uma, ompa dan
tado (http://infosulawesitengah.wordpress.com/2010/08/kulawi).
Sumber Peta: Perkumpulan KARSA Sulawesi Tengah
Saya menyempatkan diri berdiskusi dengan majelis adat tersebut, sebut saja
namanya Tama Dei1 (nama disamarkan). Tama Dei banyak menceritakan perihal bagaimana
sejarah dan kejayaan Lembaga Adat Kulawi. Dan data-data tulisan saya pada artikel ini
banyak berasal dari informasi Tama Dei dan Pendeta Mohyanto yang telah mengalami
perubahan dan penyesuaian kata tanpa merubah maknanya. Berbicara lembaga adat
Kulawi, tidak lepas dari peran Lobo yang merupakan bangunan dengan beberapa fungsi,
1
Saat saya bertemu dengan beliau, menjabat sebagai Majelis Adat Kecamatan Kulawi
4
yaitu; (1)Tempat peradilan Adat, (2) Tempat melakukan ritual adat dan, (3) Tempat Tempat
penginapan (digunakan bagi tamu yang sedang melakukan perjalanan dan membutuhkan
tempat istirahat di wilayah Kulawi serta tidak memiliki sanak saudara jadi mereka dapat
tidur di tempat tersebut sebelum melanjutkan perjalanan), (4) tempat musyawarah untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di ngata2. Kecamatan Kulawi mayoritas dihuni
oleh sub etnis moma dan sebagian lagi Uma serta beberapa suku-suku pendatang baik dari
Bugis, Toraja, Pamona, Batak dan Jawa. Dalam penelitian saya di Kecamatan Kulawi
mengenai Lobo dan Lembaga Adat, dengan mengambil desa Mataue dan Sungku. Saya
membatasi penjelasan fungsi lobo, (1) dan (2), dengan pertimbanagn telah cukup
menjelaskan apa yang saya maksudkan dalam penulisan ini.
1.
Tempat Melakukan Peradilan Adat
Lobo di sini sebagai sarana dalam melakukan libu3. Bagi orang Kulawi mengenal 3
jenis tingkatan Libu, yaitu:
1).
Libu Bohe : Pertemuan yang bertujuan memilih raja dan diikuti oleh seluruh
elemen masyarakat, yang terdiri dari ;Maradika (keluarga kerajaan), Totua
ngata (kaum bangsawan serta tokoh-tokoh adat) dan Todea (Rakyat jelata).
2).
Libu ngkokotio : pertemuan yang bersifat pribadi dan tertutup yang hanya
dihadiri oleh kelurga yang dianggap bersalah bersama dengan tokoh-tokoh
adat. Pertemuan ini dilakukan secara tertutup dengan maksud agar menjaga
2
3
Dapat diartikan Desa.
Musyawarah, pertemuan bisa juga diartikan sebagai proses peradilan adat.
5
harga diri pelaku dan keluarganya serta berusaha mencari solusi terbaik
sebelum di bawa ke libu todea. Libu ini tidak dilakukan di lobo melainkan di
rumah yang dianggap bersalah.
3).
Libu todea : yaitu pertemuan yang dilakukan di Lobo setelah Libu ngkokotio.
Dengan maksud melakukan peradilan adat yang disksikan oleh ;Maradika
(Magau/ Rajadan kerabatnya), Totuangata (Tokoh adat), Todea (Masyarakat
jelata) serta Batua (Pembatu atau budak).
Setiap libu yang dilakukan, selalu dipimpin oleh Pampou Poromu,4 dan keputusan
diambil oleh pampou poromu setelah mendengar pertimbangan dari totua ngata5 dan
maradika.Setiap libu, kaum todea dan batua tidak diberikan hak untuk mengemukakan
pendapat dan mereka tidak boleh masuk dalam Lobo saat libu sedang berlangsung, mereka
hanya boleh menyaksikan dari luar lobo. 6
Apabila dalam libu, tidak terdapat penyelesaian masalah dan tampaknya akan
terjadi
kekacauan,
maka
seorang
wanita
(
yang
disebut
Ova/Tina
Ngata7=
pendingin/pengambil keputusan)dan ditokohkan oleh masyarakat, wajib mengambil
keputusan akhir dan semua peserta libu wajib menghargai dan menerima keputusan
tersebut. Wanita sebagai pengambil keputusan akhir karena orang meyakini bahwa wanita
Orang tua yang dianggap paling berpengaruh diantara totua ngata.
Sama dengan pemangku adat. Terdiri dari beberapa orang yang ditokohkan, semuanya berjenis
kelamin laki-laki.
6
Keluarga dan keturunan Raja
7
Perempuan yang ditokohkan.
4
5
6
sebagai Tua Tambi/tina ngata yang artinya penyimpan semua kekayaan atau sebagai ahli
waris.
Dalam libu orang Kulawi, memiliki filosofis keputusan yang diistilahkan Bohe-bohe,
kodi-kodi
yang artinya, besar-besar, kecil-kecil
maksudnya, setiap perkara yang
diselesaikan ke lobo dan diselesaikan oleh lembaga adat , masalah yang sanksinya kecil
dapat menerima sangksi yang berat atau sebaliknya. Hal ini tergantung dari pengakuan
orang yang diadili, apabila ia mengakui kesalahan maka sanksi yang di jatuhkan akan
diperingan demikian pula sebaliknya, apabila orang tersebut tidak mengakui kesalahannya
maka sanksi yang dijatuhkan sangat berat walaupun pelanggaran yang dilakukan ringan.
Sanksi adat dalam masyarakat Kulawi dikenal dalam bahasa lokal yaitu waya (denda).
2. Tempat Melakukan Ritual Adat
Dalam hal ini, lobo difungsikan sebagai tempat untuk melakukan upacara adat
seperti Vunca, yaitu upacara ritual pendirian Lobo.Lobo memiliki simbol tanduk kerbau di
depan dan terletak di bumbungan atas, yang maksudya persatuan yang kuat, hal ini di ilhami
dari pola perilaku kerbau yang hidup bergerombol dan selalu bersama-sama dihubungkan
dengan orang kulawi yang memiliki persatuan yang kuat. Semangat persatuan ini dimaknai
berlakunya sistem gotong-royong (mosiala pale) dalam sistem pengolahan tanah dan hasil
pertanian hal ini menjadi bentuk penerapan filososfis dalam kepemimpinan orang kulawi
yang
hidup
berdasarkan
tiga
(1)Momepanimpu(mengayomi/mempersatukan),
(3)Nepotolawai (Melindungi).
7
falsafah
(2)Nepatuwu
hidup,
yaitu;
(Menghidupi),
serta
Bahkan, saat konflik sara melanda wilayah Sulawesi Tengah, terutama yang terjadi
di Kabupaten Poso sedang bergejolak, pada tahun 2000 silam, masyarakat Kulawi
dikhawatirakan untuk terpicu juga. Namun pemuka adat dan pemuka agama kala itu,
langsung mengantisipasinya. Mereka bersama-sama membuat kesepakatan yang pouler
dikalangan masyarakat, yakni Momepanimpu , yang artinya hidup damai dalam situasi
saling menghargai satu sama lain, untuk menjalin persatuan dan kesatuan. Hingga saat ini
slogan itulah yang menjadi lambang corak umat beragama yang ada di Kulawi
(http://rilparigi.blogspot.com/2009/09/ada-damai-di-kulawi.html).Ada
beberapa
jenis
eksekusi hukuman yang dilakukan di Lobo; Nehaha, sanksi ini dijatuhkan apabila
pelanggaran yang dilakukan sangat berat. Prosesnya, pelanggar adat diberikan makanan
hingga ia kenyang, kemudian diikat di tiang tengah lobo, kemudian para penari rego dan
koloa8 menari mengelilinginya. Lalu kemuadian, sang pengeksekusi masuk ke dalam lobo
sambil membawa guma9lalu kemudian mengiris-iris pelanggar adat, kemudian pelanggar
adat tersebut dipenggal kepalanya. Biasanya, orang yang menerima sanksi ini Karena
melanggar Bualohi10 dan Torokoni11.
B. Politisasi Lembaga Adat Kulawi
Menurut Tama Dei, perubahan adat yang diterapkan saat ini oleh orang Kulawi
bergantung pada 3 hal, yaitu; (1) Adat yang sesuai dengan aturan agama dan aturan
pemerintah, dipertahankan. (2) adat yang tidak sesuai dengan aturan agama dan aturan
Tarian kemenangan perang.
Parang adat, biasanya digunakan hanya pada saat perang.
10
Selingkuh dengan istri orang, atau menggagahi anak sendiri
11
Budak yang tidak bisa menyampaikan amanat tuannya.
8
9
8
pemerintah, ditinggalkan. (3) adat yang tidak bertentangan dengan aturan pemerintah dan
aturan pemerintah akan tetapi tidak mampu lagi diterapkan, menyesuaikan.
Tama Dei mengakui bahwa adat yang diterapkan oleh orang Kulawi saat ini telah
banyak yang berubah dari apa yang diterapkan oleh leluhur orang Kulawi. Kebanggan
mereka akan adat kulawi dan cerita kejayaan leluhur mereka yang sampai saat ini menjadi
bahan perbincangan suku-suku lain di Sulawesi Tengah, menjadi motivasi terbesar mereka
untuk kembali menguatkan adat mereka. Apa lagi momen terpilihnya Adam Ardjad
Lamarauna sebagai Bupati Donggala dengan simbol politiknya sebagai pewaris tahta
kerajaan Banawa di wilayah Kabupaten Donggala dan mengklaim dirinya sebagai raja
Banawa, Adam Ardjad Lamarauna juga mendeklarasikan lahirnya kembali Pitu Nggota Tana
Kaili (tujuh perwakilan wilayah keadatan Kalili di bawah kekuasaan Kerajaan Banawa) dan
adat Kulawi diakui keberadaannya di luar dari wilayah kekuasaan Kerajaan Banawa. Lahirnya
Pitu Nggota Tana Kaili, memperkuat taring adat sekaligus membangkitkan kembali
Maradika(bangsawan-bangsawan Kaili berdasarkan garis keturunan) di Sulawesi Tengah.
Terbukti setelah masa tersebut PEMILUKADA Propinsi dan Pilkada Kabupaten menggunakan
jargon ini sebagai senjata yang ampuh. Perlu diketahui, Gubernur Sulawesi Tengah saat ini
adalah Longki Djanggola yang merupakan Keturunan Raja Palu, Djanggola. Bupati Donggala,
Habir Ponulele (Keturunan Ponulele yang di klaim sebagai Tadulako dalam kerajaan Sigi
(Matulada, t.t.). Klaim keturunan bangsawan ini berpengaruh besar pada sistem politik yang
terjadi di Sulawesi Tengah termasuk wilayah adat Kulawi. Bak artis yang sedang naik daun,
para elit lembaga adat tiba-tiba dikerumuni oleh
infotainment
untuk sekedar
mendapatkan dukungannya. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh lembaga adat sangat
9
besar dalam membentuk paradigma masyarakat adatnya, sekaligus juga pilihan-pilihan
politisnya. Bahkan tidak jarang Calon Bupati atau Calon Gubernur bertemu langsung dengan
tokoh adat guna mendapatkan restu.
Menjaga eksistensi adat, juga tidak lepas dari upaya masyarakat lokal untuk
mengintimidasi masyarakat pendatang (William, 2002). konflik yang pernah terjadi di
Sulawesi tengah, telah menghadirkan prasangka-prasangka etnik. Stigmasisasi saya orang
asli dan kamu pendatang
menjadi isu yang tetap laku untuk dijual dalam rangka
PEMILUKADA. Apalagi jika dalam proses PEMILUKADA terdapat calon kandidat yang beretnis
pendatang. salah satu cara untuk menarik simpati masyarakat dengan melakukan
pendekatan pada pemangku adat.
Saat terjadinya pemekaran wilayah Kabupaten Donggala menjadi dua kabupaten,
yaitu Donggala dan Sigi pada tahun 2008, secara otomatis wilayah Kulawi termasuk
dalamwilayah Kabupaten Sigi (http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sigi). Pada awal
lahirnya kabupaten Sigi, di pimpin oleh Bupati yang dan belum di pilih secara langsung oleh
masyarakat
melainkan
penunjukan
langsung.Pada
tahun
2010,
Kabupaten
sigi
melaksanakan Pilkada secara langsung dan momen tersebut memberikan ruang bagi
masyarakat Sigi untuk memilih secara langsung. Selama periode tersebut, saya berada di
Kulawi dan mengamati secara langsung proses tersebut. hal yang menarik saat itu,
bagaimana Majelis Adat Kulawi (istilah pemangku adat tingkat kecamatan) dikerubuti oleh
para Tim Suksesi Calon Bupati. Bahkan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati semuanya
mengunjungi Majelis Adat Kulawi secara langsung bertandang ke rumahnya, dengan alasan
10
memohon doa restu. Memahami fenomena ini, elit-elit lokal yang dahulunya di berangus
keistimewaannya oleh Masa Orde Baru, menancapkan kembali tombak kekuasaannya
melalui legitimasi adat (Erb,2010:271).
Sebelum PILKADA Kabupaten Sigi di selenggarakan, pemangku-pemangku adat
melakukan demonstrasi untuk menunjukkan eksistensinya, termasuk dalam peserta
tersebut adalah pemangku adat Kulawi. Pemangku adat yang sebelumnya berkutat dengan
urusan norma dan kebiasaan masyarakat mulai terlibat dalam politik praktis entah
terjerumus atau sengaja menjerumuskan dirinya, isu yang mereka angkat saat itu,
penolakan PEMILUKADA oleh pemerintah Kabupaten Donggaladan mendesak Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) Sigi, DPRD Kabupaten (Dekab) Sigi, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Provinsi Sulteng, agar secepatnya membentuk KPU Kabupaten Sigi. Protes dan desakan dari
para pemangku adat yang tergabung dalam Dewan Polibu Masyarakat Adat Sigi itu,
disampaikan dalam pertemuan dengan penjabat Bupati Sigi, Sutrisno N Sembiring, dan
seluruh anggota Dekab Sigi (Sumber: Harian KompasSenin 17/5, 2010). Menjadi ironis,
dewan adat yang menjadi tameng terakhir adat yang selama ini didengung-dengungkan
menjadi jawaban ketidak-jelasan hukum di negara ini serta lembaga yang secara langsung
hadir di tengah masyarakat dan menjadi bagian dari masyarakat, terjebak dalam pusara elit
baru oleh hegemoni politik praktis yang sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan
peran mereka di tengah masyarakat, justru mengunakan legitimasi kelembagaan mereka
untuk berpolitik praktis yang tidak menutup kemungkinan mereka ditunggangi oleh
politikus.
11
Peran dan politisasi di sini dipahami sebagai tindakan sosial, seperti apa yang telah
disampaikan oleh Weber, dunia seperti apa yang kita saksikan terwujud karena tindakan
sosial. Manusia melakukan sesuatu karena mereka memutuskan untuk melakukan itu untuk
mencapai apa yang mereka kehendaki. Setelah memilih sasaran, mereka memperhitungkan
keadaan, kemudian memilih tindakan. Struktur sosial adalah produk (hasil) dari tindakan itu
(Jones, 2009:114); lembaga adat kulawi melakukan perannya serta masuk dalam pusara
politisasi bukan tanpa rasional. Selain peran mereka selaku lembaga adat yang
menempatkan mereka pada struktur elit di tengah masyarakat, juga momen pemilukada
sebagai sasaran yang empuk selain untuk menunjukkan eksistensi mereka, hal ini juga
sebagai bentuk respon pragmatis terhadap sistem politik daerah yang memanfaatkan serta
diharapkan memberi manfaat bagi para elit (Bailey, 1970; Aragon, 2009:54).
III.
Penutup
Memahami struktur kelas masyarakat Kulawi yang terbentuk berdasarkan garis
keturunan, tertutup, serta tidak memungkinkan terjadi mobilisasi secara vertikal termasuk
pada struktur lembaga adat, jelaslah bahwa hal tersebut dalam pengambilan keputusan,
lembaga adat berada dalam posisi utama, dan masyarakat jelata hanya sebagai
pendengar.Proses PEMILUKADA semakin mengukuhkan posisi elit para pemangku adat
untuk mengambil kesempatan dari proses ini, untuk melakoni perannya.
12
DAFTAR PUSTAKA
Aragon, Lorraine V., Persaingan Elit di Sulawesi Tengah di dalam Henk Schulte Nordholt,
dkk (eds), Politik Lokal di Indonesia (Jakarta:YOI dan KITLV, 2009) hlm. 49-86
Bailey, F.G.,Stratagems and Spoils: A Social Anthropology of Politics. (Oxford: Basil Blackwell,
1970).
Brouwer, Melattie M, 60 Tahun Bala Keselamatan di Sulawesi Tengah (Bandung: Bala
Keselamatan Kantor Pusat di Indonesia, 1977)
Erb, Maribeth., Kebangkitan Adat di Flores Barat , di dalam Jamie Davidson, dkk (Eds.),
Adat Dalam Politik Indonesia (Jakarta: YOI dan KITLV, 2010) hlm. 269-300
Jones,Pip., Pengantar Teori-Teori Sosial (Jakarta: YOI, 2010)
Li, Tania M., Adat di Sulawesi Tengah: Penerapan Kontemporer , di dalam Jamie Davidson,
dkk (Eds.), Adat Dalam Politik Indonesia (Jakarta: YOI dan KITLV, 2010) hlm. 367-405
Matulada H.A., (t.t) Sejarah Kebudayaan to kaili (Orang Kaili), (Palu: Universitas Tadulako)
McWilliam, Andrew. 2002. Paths of Origin Gates of Life: A Study of Place and Precedence in
Southwest Timor. Leiden: KITLV.
Sangaji, Arianto., Kritik Terhadap Gerakan Masyarakat Adat di Indonesia , di dalam Jamie
Davidson, dkk (Eds.), Adat Dalam Politik Indonesia (Jakarta: YOI dan KITLV, 2010) hlm.
347-366
Sumber lain:
Kompas, Senin 17 Mei 2010
http://infosulawesitengah.wordpress.com/2010/08/kulawi
http://rilparigi.blogspot.com/2009/09/ada-damai-di-kulawi.html
13
(Studi kasus Lembaga Adat di Kulawi)
Oleh Ferry Rangi
I.
Pendahuluan
Istilah adat dalam Bahasa Indonesia memiliki arti kebiasaan atau tradisi , serta
mengandung konotasi tata tertib yang tertram serta konsensus. Akan tetapi, dalam
beberapa tahun terakhir, istilah ini serta-merta menjadi memiliki arti yang diasosiasikan
dengan aktivisme, protes, dan konflik disertai kekerasan. Sejak turunnya Presiden Soeharto
pada tahun 1998 atas nama adat di beberapa daerah di Indonesia secara terang-terangan,
lantang, dan kadang-kadang dengan kekerasan, menuntut haknya melaksanakan unsurunsur adat atau hukum adatnya dalam wilayah kampung halaman mereka. Juga
mengatasnamakan adat, para aktivis di daerah ataupun Jakarta menjalin kekuatan bersama
untuk membentuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sebuah organisasi
masyarakat adat tingkat nasional yang pertama di Indonesiasebagai upaya mempengaruhi
kebijakan. kalau negara tidak mengakui kami, kamipun tidak akan mengakui negara
merupakan semboyan provokatif AMAN yang didengungkan dalam kongres Masyarakat
Adat Nusantara pertama pada tahun 1999 (Li,2010:367).
Adat tidak akan dapat berfungsi tanpa adanya orang-orang sebagai pendukung
legitimasi serta penganutnya, oleh sebab itu, dibutuhkan lembaga adat. Lembaga adat hadir
di tengah masyarakat selaku hakim bagi pelanggar adat. Adat disini dipahami sebagai
aturan-aturan yang dianut oleh suatu kelompok secara turun temurun, tidak tertulis, dan
mengandalkan daya ingat sang pemangku adat. Sayangnya saat ini, setelah terbentuknya
negara, sejarah migrasi dan masuknya agama, adat yang digunakan saat ini tentunya tidak
semurni saat dahulu, telah terjadi penyesuaian dan perubahan mengikuti jaman.
Hal inilah yang menurut saya menjadi menarik, dengan menghubungkan bagaimana
PEMILUKADA di Kabupaten SIGI yang mencerminkan sistem demokrasi negara Indonesia
1
justru dimanfaatkan oleh segelintir orang melalui legitimasi Lembaga Adat, terutama di
wilayah Kecamatan Kulawi. Memahami kondisi tersebut, melahirkan pertanyaan seperti apa
adat bagi masyarakat Kulawi?, dan sejauh mana peran elit pemangku adat dalam
pengambilan keputusan pada setiap libu (musyawarah)
dalam hidup ber adat bagi
masyarakat kulawi?, serta bagaimana PEMILUKADA menciptakan posisi Lembaga dalam
pusaran pragmatisme politik praktis?
II.
Pembahasan
Ada dua hal penting yang menjadi faktor perubahan terhadap struktur dan tatanan
adat pada masyarakat Kulawi. Pertama, masuknya agama melalui misionaris kewilayah
Sulawesi Tengah, terutama oleh gereja Bala Keselamatan (The Salvation Army) pada tanggal
15 Septembar 1913 (Brouwer,1977: 4). Kedua terbentuknya negara Indonesia serta sistem
pemerintahan negara yang mempengaruhi sistem pemerintahan wilayah kulawi. Masuknya
agama di Kulawi telah merubah hampir seluruh ritual agama suku yang dianut oleh
masyarakat Kulawi sebelumnya. Pengaruh Sistem Negara Indonesia telah mampu merubah
sistem pemerintahan dan berimbas pada struktur masyarakat. Wilayah Kulawi mulai
terpetakan oleh kecamatan, desa, RT dan RW. Hal ini mengakibatkan wilayah kekuasaan
Kulawi semakin menyempit. Sistem politik demokrasi yang dianut oleh negara, juga
berdampak terhadap sistem politik lokal yang dahulunyamemiliki karakter tersendiri dan
bersifat lokal menjadi lebih demokratis yang bersifat seragam di seluruh pelosok wilayah
Indonesia, terutama saat PEMILUKADA berlangsung. Demokrasi yang digembor-gemborkan
menjadi jalan keluar dari sistem otoritarian gaya Orde Baru, justru tanpa diprediksi
sebelumnya, melahirkan elit-elit baru yang bersifat lokalan .
Pada bab ini, saya gambarkan dengan terlebih dahulu menjelaskan adat Kulawi yang
ter-manifestasi melalui simbol ruang yaitu Lobo. Hal ini saya maksudkan, untuk melihat
peran elit lembaga adat sebelum terjadinya perubahan akibat masuknya agama serta
terbentuknya Negara Indonesia dengan sistem politiknya yang berpengaruh pada sistem
politik daerah. Perlu diketahui, bahwa artikel maupun buku yang menuliskan mengenai elit
lokal dan lembaga adat di Sulawesi Tengah secara umum masih sangat minim, yang ada
2
sekalipun masih mengunakan bahasa Kolonial, yaitu Belanda. Saya bergantung pada
pengalaman saya, pada beberapa kesempatan saat saya ke Kulawi dan menyempatkan diri
untuk melakukan wawancara terhadap beberapa Pemangku Adat serta pengamatan
langsung selama proses PEMILUKADA di Kabupaten Sigi, dan saat itu saya berada di
Kecamatan Kulawi yang merupakan bagian dari Kabupaten Sigi hal ini saya maksudkan
untuk menunjukan politisasi pemangku adat sebagai elit lokal.
A. Lobo sebagai manisfestasi Peran Lembaga adat masyarakat Kulawi
Lembaga adat Kulawi dikukuhkan berdasarkan garis keturunan dan dipilih
berdasarkan tingkat pengetahuan serta pengalaman akan adat yang di terapkan. Terdapat
empat wilayah jaringan keadatan kerajaan Kulawi yang disebut opo ngota berdasarkan sub
etniknya, yaitu ;(1) Moma : Kulawi, (2) Uma ; Pipikoro, (3) Tado : Lindu, dan (4)Tobaku :
Pipikoro. Jaringan tersebut terbentuk berdasarkan garis kekerabatan atas wilayah dan
pengaruh penjajahan Belanda di wilayah tersebut. Garis kekerabatan yang terjalin akibat
proses kawin mawin diantara ke empat wilayah. Walaupun keempat wilayah tersebut
sebelumnya terjadi perang antar kelompok-kelompok hingga, masuknya Belanda Tahun
1905 dan terjadi pertempuran di Bulu Momi antara masyarakat Kulawi melawan kolonial
Belanda dibawah pimpinan seorang pahlawan Kulawi yaitu Towualangi yang juga disebut
Taentorengke. Ketika perang berlangsung, pada saat itu pula kolonial Belanda mulai
berkuasa di Kulawi untuk menjadikan Kulawi sebagai daerah kerajaan, maka pada tahun
1906 Kolonial Belanda mengangkat Towualangi menjadi raja Kulawi yang pertama dan
menjadikan pusat administrasi dan militer untuk menguasai ke empat wilayah sub etnik
moma, Uma, tado dan ompa dan melakukan pendekatan pada elit di Kulawi (Magau dan
Maradika) yang kemudian secara tidak langsung juga berpengaruh pada kerajaan Kulawi
3
untuk memperluas wilayah ekspansinya pada ke empat wilayah sub etnik uma, ompa dan
tado (http://infosulawesitengah.wordpress.com/2010/08/kulawi).
Sumber Peta: Perkumpulan KARSA Sulawesi Tengah
Saya menyempatkan diri berdiskusi dengan majelis adat tersebut, sebut saja
namanya Tama Dei1 (nama disamarkan). Tama Dei banyak menceritakan perihal bagaimana
sejarah dan kejayaan Lembaga Adat Kulawi. Dan data-data tulisan saya pada artikel ini
banyak berasal dari informasi Tama Dei dan Pendeta Mohyanto yang telah mengalami
perubahan dan penyesuaian kata tanpa merubah maknanya. Berbicara lembaga adat
Kulawi, tidak lepas dari peran Lobo yang merupakan bangunan dengan beberapa fungsi,
1
Saat saya bertemu dengan beliau, menjabat sebagai Majelis Adat Kecamatan Kulawi
4
yaitu; (1)Tempat peradilan Adat, (2) Tempat melakukan ritual adat dan, (3) Tempat Tempat
penginapan (digunakan bagi tamu yang sedang melakukan perjalanan dan membutuhkan
tempat istirahat di wilayah Kulawi serta tidak memiliki sanak saudara jadi mereka dapat
tidur di tempat tersebut sebelum melanjutkan perjalanan), (4) tempat musyawarah untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di ngata2. Kecamatan Kulawi mayoritas dihuni
oleh sub etnis moma dan sebagian lagi Uma serta beberapa suku-suku pendatang baik dari
Bugis, Toraja, Pamona, Batak dan Jawa. Dalam penelitian saya di Kecamatan Kulawi
mengenai Lobo dan Lembaga Adat, dengan mengambil desa Mataue dan Sungku. Saya
membatasi penjelasan fungsi lobo, (1) dan (2), dengan pertimbanagn telah cukup
menjelaskan apa yang saya maksudkan dalam penulisan ini.
1.
Tempat Melakukan Peradilan Adat
Lobo di sini sebagai sarana dalam melakukan libu3. Bagi orang Kulawi mengenal 3
jenis tingkatan Libu, yaitu:
1).
Libu Bohe : Pertemuan yang bertujuan memilih raja dan diikuti oleh seluruh
elemen masyarakat, yang terdiri dari ;Maradika (keluarga kerajaan), Totua
ngata (kaum bangsawan serta tokoh-tokoh adat) dan Todea (Rakyat jelata).
2).
Libu ngkokotio : pertemuan yang bersifat pribadi dan tertutup yang hanya
dihadiri oleh kelurga yang dianggap bersalah bersama dengan tokoh-tokoh
adat. Pertemuan ini dilakukan secara tertutup dengan maksud agar menjaga
2
3
Dapat diartikan Desa.
Musyawarah, pertemuan bisa juga diartikan sebagai proses peradilan adat.
5
harga diri pelaku dan keluarganya serta berusaha mencari solusi terbaik
sebelum di bawa ke libu todea. Libu ini tidak dilakukan di lobo melainkan di
rumah yang dianggap bersalah.
3).
Libu todea : yaitu pertemuan yang dilakukan di Lobo setelah Libu ngkokotio.
Dengan maksud melakukan peradilan adat yang disksikan oleh ;Maradika
(Magau/ Rajadan kerabatnya), Totuangata (Tokoh adat), Todea (Masyarakat
jelata) serta Batua (Pembatu atau budak).
Setiap libu yang dilakukan, selalu dipimpin oleh Pampou Poromu,4 dan keputusan
diambil oleh pampou poromu setelah mendengar pertimbangan dari totua ngata5 dan
maradika.Setiap libu, kaum todea dan batua tidak diberikan hak untuk mengemukakan
pendapat dan mereka tidak boleh masuk dalam Lobo saat libu sedang berlangsung, mereka
hanya boleh menyaksikan dari luar lobo. 6
Apabila dalam libu, tidak terdapat penyelesaian masalah dan tampaknya akan
terjadi
kekacauan,
maka
seorang
wanita
(
yang
disebut
Ova/Tina
Ngata7=
pendingin/pengambil keputusan)dan ditokohkan oleh masyarakat, wajib mengambil
keputusan akhir dan semua peserta libu wajib menghargai dan menerima keputusan
tersebut. Wanita sebagai pengambil keputusan akhir karena orang meyakini bahwa wanita
Orang tua yang dianggap paling berpengaruh diantara totua ngata.
Sama dengan pemangku adat. Terdiri dari beberapa orang yang ditokohkan, semuanya berjenis
kelamin laki-laki.
6
Keluarga dan keturunan Raja
7
Perempuan yang ditokohkan.
4
5
6
sebagai Tua Tambi/tina ngata yang artinya penyimpan semua kekayaan atau sebagai ahli
waris.
Dalam libu orang Kulawi, memiliki filosofis keputusan yang diistilahkan Bohe-bohe,
kodi-kodi
yang artinya, besar-besar, kecil-kecil
maksudnya, setiap perkara yang
diselesaikan ke lobo dan diselesaikan oleh lembaga adat , masalah yang sanksinya kecil
dapat menerima sangksi yang berat atau sebaliknya. Hal ini tergantung dari pengakuan
orang yang diadili, apabila ia mengakui kesalahan maka sanksi yang di jatuhkan akan
diperingan demikian pula sebaliknya, apabila orang tersebut tidak mengakui kesalahannya
maka sanksi yang dijatuhkan sangat berat walaupun pelanggaran yang dilakukan ringan.
Sanksi adat dalam masyarakat Kulawi dikenal dalam bahasa lokal yaitu waya (denda).
2. Tempat Melakukan Ritual Adat
Dalam hal ini, lobo difungsikan sebagai tempat untuk melakukan upacara adat
seperti Vunca, yaitu upacara ritual pendirian Lobo.Lobo memiliki simbol tanduk kerbau di
depan dan terletak di bumbungan atas, yang maksudya persatuan yang kuat, hal ini di ilhami
dari pola perilaku kerbau yang hidup bergerombol dan selalu bersama-sama dihubungkan
dengan orang kulawi yang memiliki persatuan yang kuat. Semangat persatuan ini dimaknai
berlakunya sistem gotong-royong (mosiala pale) dalam sistem pengolahan tanah dan hasil
pertanian hal ini menjadi bentuk penerapan filososfis dalam kepemimpinan orang kulawi
yang
hidup
berdasarkan
tiga
(1)Momepanimpu(mengayomi/mempersatukan),
(3)Nepotolawai (Melindungi).
7
falsafah
(2)Nepatuwu
hidup,
yaitu;
(Menghidupi),
serta
Bahkan, saat konflik sara melanda wilayah Sulawesi Tengah, terutama yang terjadi
di Kabupaten Poso sedang bergejolak, pada tahun 2000 silam, masyarakat Kulawi
dikhawatirakan untuk terpicu juga. Namun pemuka adat dan pemuka agama kala itu,
langsung mengantisipasinya. Mereka bersama-sama membuat kesepakatan yang pouler
dikalangan masyarakat, yakni Momepanimpu , yang artinya hidup damai dalam situasi
saling menghargai satu sama lain, untuk menjalin persatuan dan kesatuan. Hingga saat ini
slogan itulah yang menjadi lambang corak umat beragama yang ada di Kulawi
(http://rilparigi.blogspot.com/2009/09/ada-damai-di-kulawi.html).Ada
beberapa
jenis
eksekusi hukuman yang dilakukan di Lobo; Nehaha, sanksi ini dijatuhkan apabila
pelanggaran yang dilakukan sangat berat. Prosesnya, pelanggar adat diberikan makanan
hingga ia kenyang, kemudian diikat di tiang tengah lobo, kemudian para penari rego dan
koloa8 menari mengelilinginya. Lalu kemuadian, sang pengeksekusi masuk ke dalam lobo
sambil membawa guma9lalu kemudian mengiris-iris pelanggar adat, kemudian pelanggar
adat tersebut dipenggal kepalanya. Biasanya, orang yang menerima sanksi ini Karena
melanggar Bualohi10 dan Torokoni11.
B. Politisasi Lembaga Adat Kulawi
Menurut Tama Dei, perubahan adat yang diterapkan saat ini oleh orang Kulawi
bergantung pada 3 hal, yaitu; (1) Adat yang sesuai dengan aturan agama dan aturan
pemerintah, dipertahankan. (2) adat yang tidak sesuai dengan aturan agama dan aturan
Tarian kemenangan perang.
Parang adat, biasanya digunakan hanya pada saat perang.
10
Selingkuh dengan istri orang, atau menggagahi anak sendiri
11
Budak yang tidak bisa menyampaikan amanat tuannya.
8
9
8
pemerintah, ditinggalkan. (3) adat yang tidak bertentangan dengan aturan pemerintah dan
aturan pemerintah akan tetapi tidak mampu lagi diterapkan, menyesuaikan.
Tama Dei mengakui bahwa adat yang diterapkan oleh orang Kulawi saat ini telah
banyak yang berubah dari apa yang diterapkan oleh leluhur orang Kulawi. Kebanggan
mereka akan adat kulawi dan cerita kejayaan leluhur mereka yang sampai saat ini menjadi
bahan perbincangan suku-suku lain di Sulawesi Tengah, menjadi motivasi terbesar mereka
untuk kembali menguatkan adat mereka. Apa lagi momen terpilihnya Adam Ardjad
Lamarauna sebagai Bupati Donggala dengan simbol politiknya sebagai pewaris tahta
kerajaan Banawa di wilayah Kabupaten Donggala dan mengklaim dirinya sebagai raja
Banawa, Adam Ardjad Lamarauna juga mendeklarasikan lahirnya kembali Pitu Nggota Tana
Kaili (tujuh perwakilan wilayah keadatan Kalili di bawah kekuasaan Kerajaan Banawa) dan
adat Kulawi diakui keberadaannya di luar dari wilayah kekuasaan Kerajaan Banawa. Lahirnya
Pitu Nggota Tana Kaili, memperkuat taring adat sekaligus membangkitkan kembali
Maradika(bangsawan-bangsawan Kaili berdasarkan garis keturunan) di Sulawesi Tengah.
Terbukti setelah masa tersebut PEMILUKADA Propinsi dan Pilkada Kabupaten menggunakan
jargon ini sebagai senjata yang ampuh. Perlu diketahui, Gubernur Sulawesi Tengah saat ini
adalah Longki Djanggola yang merupakan Keturunan Raja Palu, Djanggola. Bupati Donggala,
Habir Ponulele (Keturunan Ponulele yang di klaim sebagai Tadulako dalam kerajaan Sigi
(Matulada, t.t.). Klaim keturunan bangsawan ini berpengaruh besar pada sistem politik yang
terjadi di Sulawesi Tengah termasuk wilayah adat Kulawi. Bak artis yang sedang naik daun,
para elit lembaga adat tiba-tiba dikerumuni oleh
infotainment
untuk sekedar
mendapatkan dukungannya. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh lembaga adat sangat
9
besar dalam membentuk paradigma masyarakat adatnya, sekaligus juga pilihan-pilihan
politisnya. Bahkan tidak jarang Calon Bupati atau Calon Gubernur bertemu langsung dengan
tokoh adat guna mendapatkan restu.
Menjaga eksistensi adat, juga tidak lepas dari upaya masyarakat lokal untuk
mengintimidasi masyarakat pendatang (William, 2002). konflik yang pernah terjadi di
Sulawesi tengah, telah menghadirkan prasangka-prasangka etnik. Stigmasisasi saya orang
asli dan kamu pendatang
menjadi isu yang tetap laku untuk dijual dalam rangka
PEMILUKADA. Apalagi jika dalam proses PEMILUKADA terdapat calon kandidat yang beretnis
pendatang. salah satu cara untuk menarik simpati masyarakat dengan melakukan
pendekatan pada pemangku adat.
Saat terjadinya pemekaran wilayah Kabupaten Donggala menjadi dua kabupaten,
yaitu Donggala dan Sigi pada tahun 2008, secara otomatis wilayah Kulawi termasuk
dalamwilayah Kabupaten Sigi (http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sigi). Pada awal
lahirnya kabupaten Sigi, di pimpin oleh Bupati yang dan belum di pilih secara langsung oleh
masyarakat
melainkan
penunjukan
langsung.Pada
tahun
2010,
Kabupaten
sigi
melaksanakan Pilkada secara langsung dan momen tersebut memberikan ruang bagi
masyarakat Sigi untuk memilih secara langsung. Selama periode tersebut, saya berada di
Kulawi dan mengamati secara langsung proses tersebut. hal yang menarik saat itu,
bagaimana Majelis Adat Kulawi (istilah pemangku adat tingkat kecamatan) dikerubuti oleh
para Tim Suksesi Calon Bupati. Bahkan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati semuanya
mengunjungi Majelis Adat Kulawi secara langsung bertandang ke rumahnya, dengan alasan
10
memohon doa restu. Memahami fenomena ini, elit-elit lokal yang dahulunya di berangus
keistimewaannya oleh Masa Orde Baru, menancapkan kembali tombak kekuasaannya
melalui legitimasi adat (Erb,2010:271).
Sebelum PILKADA Kabupaten Sigi di selenggarakan, pemangku-pemangku adat
melakukan demonstrasi untuk menunjukkan eksistensinya, termasuk dalam peserta
tersebut adalah pemangku adat Kulawi. Pemangku adat yang sebelumnya berkutat dengan
urusan norma dan kebiasaan masyarakat mulai terlibat dalam politik praktis entah
terjerumus atau sengaja menjerumuskan dirinya, isu yang mereka angkat saat itu,
penolakan PEMILUKADA oleh pemerintah Kabupaten Donggaladan mendesak Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) Sigi, DPRD Kabupaten (Dekab) Sigi, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Provinsi Sulteng, agar secepatnya membentuk KPU Kabupaten Sigi. Protes dan desakan dari
para pemangku adat yang tergabung dalam Dewan Polibu Masyarakat Adat Sigi itu,
disampaikan dalam pertemuan dengan penjabat Bupati Sigi, Sutrisno N Sembiring, dan
seluruh anggota Dekab Sigi (Sumber: Harian KompasSenin 17/5, 2010). Menjadi ironis,
dewan adat yang menjadi tameng terakhir adat yang selama ini didengung-dengungkan
menjadi jawaban ketidak-jelasan hukum di negara ini serta lembaga yang secara langsung
hadir di tengah masyarakat dan menjadi bagian dari masyarakat, terjebak dalam pusara elit
baru oleh hegemoni politik praktis yang sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan
peran mereka di tengah masyarakat, justru mengunakan legitimasi kelembagaan mereka
untuk berpolitik praktis yang tidak menutup kemungkinan mereka ditunggangi oleh
politikus.
11
Peran dan politisasi di sini dipahami sebagai tindakan sosial, seperti apa yang telah
disampaikan oleh Weber, dunia seperti apa yang kita saksikan terwujud karena tindakan
sosial. Manusia melakukan sesuatu karena mereka memutuskan untuk melakukan itu untuk
mencapai apa yang mereka kehendaki. Setelah memilih sasaran, mereka memperhitungkan
keadaan, kemudian memilih tindakan. Struktur sosial adalah produk (hasil) dari tindakan itu
(Jones, 2009:114); lembaga adat kulawi melakukan perannya serta masuk dalam pusara
politisasi bukan tanpa rasional. Selain peran mereka selaku lembaga adat yang
menempatkan mereka pada struktur elit di tengah masyarakat, juga momen pemilukada
sebagai sasaran yang empuk selain untuk menunjukkan eksistensi mereka, hal ini juga
sebagai bentuk respon pragmatis terhadap sistem politik daerah yang memanfaatkan serta
diharapkan memberi manfaat bagi para elit (Bailey, 1970; Aragon, 2009:54).
III.
Penutup
Memahami struktur kelas masyarakat Kulawi yang terbentuk berdasarkan garis
keturunan, tertutup, serta tidak memungkinkan terjadi mobilisasi secara vertikal termasuk
pada struktur lembaga adat, jelaslah bahwa hal tersebut dalam pengambilan keputusan,
lembaga adat berada dalam posisi utama, dan masyarakat jelata hanya sebagai
pendengar.Proses PEMILUKADA semakin mengukuhkan posisi elit para pemangku adat
untuk mengambil kesempatan dari proses ini, untuk melakoni perannya.
12
DAFTAR PUSTAKA
Aragon, Lorraine V., Persaingan Elit di Sulawesi Tengah di dalam Henk Schulte Nordholt,
dkk (eds), Politik Lokal di Indonesia (Jakarta:YOI dan KITLV, 2009) hlm. 49-86
Bailey, F.G.,Stratagems and Spoils: A Social Anthropology of Politics. (Oxford: Basil Blackwell,
1970).
Brouwer, Melattie M, 60 Tahun Bala Keselamatan di Sulawesi Tengah (Bandung: Bala
Keselamatan Kantor Pusat di Indonesia, 1977)
Erb, Maribeth., Kebangkitan Adat di Flores Barat , di dalam Jamie Davidson, dkk (Eds.),
Adat Dalam Politik Indonesia (Jakarta: YOI dan KITLV, 2010) hlm. 269-300
Jones,Pip., Pengantar Teori-Teori Sosial (Jakarta: YOI, 2010)
Li, Tania M., Adat di Sulawesi Tengah: Penerapan Kontemporer , di dalam Jamie Davidson,
dkk (Eds.), Adat Dalam Politik Indonesia (Jakarta: YOI dan KITLV, 2010) hlm. 367-405
Matulada H.A., (t.t) Sejarah Kebudayaan to kaili (Orang Kaili), (Palu: Universitas Tadulako)
McWilliam, Andrew. 2002. Paths of Origin Gates of Life: A Study of Place and Precedence in
Southwest Timor. Leiden: KITLV.
Sangaji, Arianto., Kritik Terhadap Gerakan Masyarakat Adat di Indonesia , di dalam Jamie
Davidson, dkk (Eds.), Adat Dalam Politik Indonesia (Jakarta: YOI dan KITLV, 2010) hlm.
347-366
Sumber lain:
Kompas, Senin 17 Mei 2010
http://infosulawesitengah.wordpress.com/2010/08/kulawi
http://rilparigi.blogspot.com/2009/09/ada-damai-di-kulawi.html
13